Peranan Neuroinflamasi pada Delirium

13 Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu, pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein CRP, fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada penyakit ini Mittal dkk, 2011. Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi EEG bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan pemeriksaan klinis misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada kepala atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan fisik Choi, 2012

2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium

2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan terjadinya Delirium Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa kondisi medis dan bedah yang berhubungan dengan delirium, terutama ketika proses 14 ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu, delirium merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik. Misalnya pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi saluran kemih atau pneumonia khususnya pada pasien lansia yang mengalami dementia Siami dkk., 2008 atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor O’Keeffe, Chonchubair, 1994. Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida LPS dari bakteri gram negatif, oleh fagosit dalam sirkulasi Sheng dkk., 2003. Banyak sekali faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan, kehilangan darah, nyeri dan anestesi dapat mempengaruhi fungsi dari sel imunokompeten dan menghasilkan mediator inflamasi. Bahkan pada kondisi yang steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan jaringan dengan pelepasan ligan endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan, β-defensin dan kristal asam urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha TNF- α dan IL-1 akan merangsang ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung, cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang berkontribusi terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar mediator inflamasi juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada pembedahan nonkardiak Groeneveld dkk.,1997. 15 Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF- α tinggi pada pasien yang mengalami delirium postoperasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium Van Munster dkk., 2008.

2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak

2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi hypothalamus-pituitary- adrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks. Respon imun alamiah ini merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon ini adalah Hopkins, 2007: 1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada. 2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi energy-dependent atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar darah otak. 3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa informasi ke otak melalui sistem saraf otonom. 16 2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak Penelitian-penelitian pada binatang menunjukkan bahwa rangsangan inflamasi perifer berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein tight-junctional dilaporkan pada tiga model inflamasi yang berbeda. Injeksi LPS merangsang kaskade inflamasi pada fase awal yang menyebabkan kerusakan sawar darah otak, over-expresion dari molekul adhesi di sel endotel, perekrutan dan infiltrasi dari derivat sel darah putih ke dalam jaringan otak Nishioku, 2009. Penelitian postmortem pada jaringan otak manusia juga menunjukkan hubungan antara inflamsi sistemik dengan aktivasi sel sel endotel dan sel perivaskular. Walaupun konfirmasi neuropatologi dari kerusakan sawar darah otak pada manusia sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan kadar S100B dapat dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas sawar darah otak Munster dkk, 2010. Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan dengan inflamasi sistemik akut misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung mungkin berhubungan dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan sawar darah otak selama episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar S100B serum pada pasien lansia yang menderita penyakit medis. Begitu pula delirium yang terjadi pada fase awal syok sepsis, berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak. Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak. Sebagai tambahan, faktor lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak adalah hipoksia, iskemik dan nyeri Gambar 3 Sharshar dkk., 2007. 17 2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-molekul dalam Sirkulasi Sistemik Pada SSP, bermacam-macam molekul, seperti LPS dapat berinteraksi secara langsung dengan reseptor yang terdapat dalam sel endotel dan sel parenkim otak. Sel mikroglia merupakan sel yaang paling bisa mendeteksi perubahan pada lingkungan SSP melalui banyak resptor inti dan reseptor permukaan. Oleh karena itu, pada SSP tikus, sel yang terletak pada pembuluh darah besar dan mikroglia mengekspersikan Toll-like Recptor 4 TLR4; reseptor dari LPS. Aktivasi TLR4 merupakan kunci utama dalam respon inflamasi SSP terhadap LPS perifer. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa mediator lainya juga berpengaruh terhadap komunikasi antara sel perifer dengan otak, termasuk TNF- α dan protein chemoattractant monosit. Sekali teraktivasi, mikroglia mengalami perubahan morfologi dan bersamaan dengan itu, mikroglia mengekspresikan beberapa molekul seperti MHC klas I, CD45, CD4, ICAM-1, VLA-4, LFA-4 dan Fas. Setelah terstimulasi, beberapa mikroglia mengekspersikan MHC klas II dan molekul B7. Perubahan ini bergabung dengan produksi dari sitokin proinflamasi oleh mikroglia TGF-B1, IL-1B, TNFa, IGF-1, spesies oksigen reaktif Reactive Oksigen Species, ROS dan ekspansi dari populasi mikroglia melalui proliferasi dari sel dan perekrutan dari sekitarnya atau melalui darah Block dkk., 2007. Pengenalan awal rangsangan inflamasi di sawar darah otak diikuti oleh aktivasi kaskade inflamasi yang mengakibatkan pergerakan sel-sel berdekatan dan unit struktural neurovaskular. Sel endotel, astrosit, mikroglia, sel periset dan lamina basal berinterkasi melalui perantaraan mediator inflamasi, termasuk sitokin, kemokin dan metaloproteinase. Astrosit merupakan sel yang paling penting dalam 18 mengantarkan sinyal di dalam unit neurovaskular kepada bagian otak lainnya dengan menggunakan kontrol multimodal dari transmisi sinaptik, eksitabilitas sel saraf dan aliran darah otak Block dkk., 2007. Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP. Interakasi awal dari mediator inflamasi sitokin proinflamasi dan LPS dengan unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas sawar darah otak Cerejeira dkk, 2010.

2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi

Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS 0.2 ngKgBB dan perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori Qin., 2007. Yang terbaru adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging MRI yang mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor. Hal 19 ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra SN kiri Brydon, 2008. Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya, IL- 10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth factor BDNF dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida NO dan kemokin menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat mengganggu memori dan proses belajar. Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer dapat mengakibatkan ketidak seimbangan BaxBcl-2 dan mempengaruhi sel intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang 20 mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi. Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF- α dapat menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27 dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat 47 dalam sepuluh bulan setelah paparan pertama. Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa paparan akut terhadap inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis neurokognisi yang dapat disamakan dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan homeostasis otak, dimana proses neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik yang berkaitan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya dopamin, serotonin dan norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat menjelaskan secara lengkap mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan struktural, fungsional dan neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan emosional. Data dari bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama delirium melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian juga, perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian otak yang berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Kemudian, mekanisme neuroinflamasi ini juga mungkin terlibat dalam beberapa gejala spesifik delirium Qin dkk., 2007. 21

2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium