bab 1 prorad

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang. Upaya kesehatandiselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004).

Dukungan semua unit yang ada di dalam Rumah Sakit sangat diperlukan untuk membentuk sistem kerja pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Intalasi Radiologi sebagai salah satu komponen penunjang medis dalam rumah sakit juga memerlukan sistem pengelolaan dan pelayanan yang baik dengan didukung seluruh


(2)

komponen sumber daya manusia maupun kelengkapan sarana pencitraan yang ada.

Instalasi radiologi merupakan salah satu instalasi yang ada di rumah sakit. Keberadaan intalasi radiologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu menegakkan diagnosa. Baik dan buruknya sistem pelayanan pada salah satu instalasi radiologi dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanannya.

Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pelayanan radiologi adalah usaha untuk mengendalikan efek radiasi dari sinar-X atau sering disebut proteksi radaiasi. Proteksi radiasi sangat penting mengingat penggunaan radiasi sinar-X dapat menimbulkan efek biologis bagi tubuh. Salah satu bentuk usaha proteksi radiasi yaitu mengenai persyaratan ruang dan keselamatan fasilitas radiasi. Persyaratan ruang dan keselamatan dari fasilitas radiasi harus diperhatikan sejak awal dari perencanaan sebuah rumah sakit baru. Jika membuat kamar sinar-X baru, perlu diperhitungkan lapisan penahan radiasi untuk berkas utama pada semua arah, sehingga tidak ada masalah apabila kelak peralatan diganti atau dipindah posisinya (Batan I, 2001).

Apabila dana dan fasilitas sangat terbatas, maka selalu ada kecenderungan untuk mengambil jalan keluar dengan memasang beberapa buah pesawat dalam satu kamar. Tindakan ini menimbulkan bahaya, umpamanya petugas yang sedang mengatur pasien pada salah satu bagian ruangan akan memperoleh penyinaran dari pesawat yang lain. Hal ini dapat dihindari dengan memasang lampu peringatan pada


(3)

masing-masing tabung pesawat sinar-X dan panel pengendali dari generator (Batan III,2001).

Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen mempunyai lima ruang pemeriksaan, diantaranya kamar pemeriksan 2 yang didalamnya terdapat satu buah pesawat sinar-X, ruang oprator dan kamar ganti pasien.. Diantara pesawat dan ruang oprator memiliki jarak yang dekat dengan arah sinar-X menuju ke ruang oprator. Disamping itu, penulis mengamati adanya kecenderungan tidak selalu dikenakan apron pada pasien yang memungkinkan untuk mengenakannya, ataupun pengantar yang memegangi pasien. Penulis tertarik untuk mengkaji tentang penerapan proteksi radiasi di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Pijonegoro Sragen, khususnya kamar pemeriksaan 2, untuk memenuhi tugas dalam rangka Praktek Kerja Nyata (PKN) Pengelolaan Pelayanan Radiodiagnostik Di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen yang berjudul “TINJAUAN PROTEKSI RADIASI KAMAR 2 DI INSTALASI RADIOLOGI RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN”

1.2. Rumusan Masalah

Mengingat sangat luasnya masalah proteksi radiasi dan juga karena keterbatasan waktu serta fasilitas, maka pada penulisan laporan Praktek Kerja Nyata ini penulis membatasi masalah dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1. Apakah kontruksi ruang dan tata letak peralatan sinar-X di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen, khususnya di kamar 2 sudah memenuhi persyaratan ?


(4)

1.2.2. Apakah proteksi radiasi terhadap pasien, petugas dan masyarakat umum di kamar 2 Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen sudah sesuai dengan standart proteksi radiasi ?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan laporan Praktek Kerja Nyata (PKN) ini adalah sebagai berikut :

1.3.1. Untuk mengetahui kontruksi ruang dan tata letak peralatan sinar-X di kamar 2 Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen sudah memenuhi persyaratan atau belum.

1.3.2. Untuk mengetahui usaha-usaha proteksi radiasi terhadap pasien, petugas dan masyrakat umum di kamar 2 Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen.

1.4. Manfaat Penulisan 1.4.1. Bagi Penulis

Sebagai salah satu penunjang dan bekal pengalaman bagi penulis dan mahasiswa Jurusan Teknik Rontgen yang selanjutnya akan bekerja dalam pelayanan radiologi.

1.4.2. Bagi Pembaca

Menambah pengetahuan terhadap pembaca terutama mahasiswa Jurusan Teknik Rontgen tentang proteksi radiasi pada kamar pemeriksaan 2 di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen yang dilihat dari tinjauan teori.


(5)

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

Memberikan masukan terhadap pihak-pihak tertentu atau rumah sakit tentang pentingnya proteksi radiasi pada sebuah ruang pemeriksaan.

1.5. Metode pengumpulan Data 1.5.1. Jenis Metode

Pada penyusunan Laporan Praktek Kerja Nyata ini menggunakan metode Rapid Assesment Procedure (RAP).

1.5.2. Tempat dan Waktu Pengambilan Data

Tempat pengambilan data berada di Instalasi Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan waktu pengambilan data yaitu pada saat melaksanakan Praktek Kerja Nyata 8 Mei sampai 3 Juni 2006.

1.5.3. Subyek

Penyusunan laporan ini mengambil subyek yaitu radiografer

1.5.4. Metode a. Observasi

Yaitu pengamatan secara langsung tentang proteksi radiasi yang dilakukan di kamar pemeriksaan 2 di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen.


(6)

Pengambilan data secara langsung di kamar pemeriksaan 2 di Instalasi Radiologi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen.


(7)

BAB II

PENGELOLAAN PELAYANAN RADIODIAGNOSTIK 2.1. Tinjauan Umum Instalasi Radiologi

2.2. Tinjauan Umum Sinar-X 2.2.1. Pengertian Sinar-X

Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan gelombang radio, gelombang panas, gelombang cahaya dan gelombang ultraviolet, tetapi dengan panjang gelombang yang sangat pendek. Panjang gelombang sinar-X hanya 1/10.000 panjang gelombang cahaya tampak. Karena panjang gelombang yang pendek itu, maka sinar-X dapat menembus benda. Panjang gelombang sinar-X dinyatakan dalam Angstrom, 1 Angstrom = 10-8 cm, atau 1/100.000.000 cm (Rasad,

2005). 2.2.2. Sifat Sinar-X

Sifat-sifat sinar-X menurut Hoxter(1972) adalah sebagai berikut: a. Dapat menembus bahan, semakin tinggi tegangn tabung,

semakin besar pula daya tembus.

b. Mengalami atenuasi (diperlemah) saat menembus bahan. c. Menimbulkan radiasi sekunder dalam semua bahan yang

ditembusnya.

d. Menghitamkan emulsi film.

e. Membuat gas menjadi penghantar listrik (ionisasi). f. Menimbulkan efek biologis pada jaringan.


(8)

2.2.3. Efek Biologi Sinar-X

Menurut Batan I (2001), efek bilogi radiasi sinar-X digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Efek somatik deterministik

Efek somatik deterministik terjadi pada manusia yang terkena paparan radiasi sinar-X dengan dosis tertentu. Contohnya erythema kulit (kulit merah) atau kerontokan rambut. Efek somatik deterministik mengenal adanya dosis ambangn umumnya timbul beberapa saat setelah penerimaan dosis radiasi, dapat dilakukan penyembuhan spontan, keparahannya bergantung pada dosis radiasi yang diterima. b. Efek somatik stokastik

Efek somatik stokastik terjadi pada manusia yang menerima penyinaran, tetapi kemunculannya tidak bisa dipastikan. Efek somatik stokastik berkaitan dengan paparan radiasi dosis rendah yang dapat muncul pada tubuh manusia dalam bentuk kanker. Efek somatik yang bersifat stokastik tidak mengenal dosis ambang, timbul setelah melalui masa tunda yang lama, keparahannya tidak tergantung pada dosis radiasi, dan tidak ada penyembuhan spontan.

c. Efek genetik yang stokastik

Efek genetik yang stokastik terjadi pada keturunan orang yang menerima penyinaran, dan kemunculannya tidak bisa dipastikan. Contohnya cacat pada keturunan. Efek


(9)

genetik yang stokastik tidak mengenal dosis ambang, timbulnya setelah melalui masa tunda yang lama, keparahannya tidak tergantung pada dosis radiasi, dan tidak ada penyembuhan spontan (Akhadi, 2000).

2.3. Tinjauan Umum Proteksi Radiasi

2.3.1. Pengertian Dan Tujuan Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi merupakan cabang ilmu pengetahuan atau teknik yang mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan dan berkaitan dengan pemberian perlindungan pada seseorang atau sekelompok orang ataupun kepada keturunannya terhadap kemungkinan yang merugikan kesehatan akibat adanya paparan radiasi. Tujuan proteksi radiasi adalah untuk mencegah terjadinya efek deterministik yang membahayakan dan mengurangi peluang terjadinya efek stokastik (Bapeten, 2002). Selain itu proteksi radiasi bertujuan melindungi para pekerja radiasi serta masyarakat umum dari bahaya radiasi yang ditimbulkan akibat penggunaan zat radioaktif atau sumber radiasi lain (Akhadi, 2000). 2.3.2. Prinsip Dasar Proteksi Radiasi

a. Pengaturan waktu

Seorang pekerja radiasi yang berada di dalam medan radiasi akan menerima dosis radiasi yang besarnya sebanding dengan lamanya pekerja tersebut berada di dalam medan radiasi. Semakin lama seseorang berada di medan radiasi,


(10)

akan semakin besar dosis radiasi yang diterimanya, demikian pula sebaliknya.

b. Pengaturan jarak

Paparan radiasi berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber radiasi. Bila terlalu dekat pada sumber radiasi, misalnya langsung menyentuh atau memegang sumber radiasi, maka laju dosis pada tangan berlipat ganda besarnya. Oleh karena itu dilarang memegang sumber radiasi langsung dengan tangan. Untuk menangani sumber radiasi diperlukan perlengkapan khusus misalnya tang penjepit atau pinset. c. Penggunaan perisai radiasi

Untuk penanganan sumber-sumber radiasi dengan aktifitas sangat tinggi, seringkali pengaturan waktu dan jarak kerja tidak mampu menekan penerimaan dosis oleh pekerja di bawah nilai batas dosis yang telah ditetapkan (Akhadi, 2000).

Sifat dari bahan perisai radiasi harus mampu menyerap energi radiasi atau melemahkan intensitas radiasi. Perisai ini dibuat dari timbal dan beton. Ada dua jenis perisai radiasi yaitu :

1) Perisai primer, memberi proteksi radiasi terhadap radiasi primer (berkas sinar guna), contoh : tabung sinar-X dan kaca timbal.

2) Perisai sekunder, memberi proteksi radiasi sekunder (sinar bocor dan hambur), contoh : tabir sarat timbal pada tabir


(11)

flouroskopi, pakaian proteksi, dan perisai yang dapat dipindah-pindahkan (Rasad, 1992).

2.3.3. Asas-Asas Proteksi Radiasi

Menurut Akhadi (2000), asas proteksi radiasi ada tiga, yaitu : a. Asas jastifikasi atau pembenaran

Setiap kegiatan yang mengakibatkan paparan radiasi hanya boleh dilaksanakan setelah dilakukan pengkajian yang mendalam dan manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan kerugiannya.

b. Asas Optimisasi

Asas ini dikenal dengan sebutan ALARA atau As Low As Reasonably Achieveble. Asas ini menghendaki agar paparan radiasi dari suatu kegiatan harus ditekan serendah mungkin dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial.

c. Asas pembatasan dosis perorangan

Asas ini menghendaki agar dosis radiasi yang diterima oleh seseorang dalam menjalankan suatu kegiatan tidak boleh melebihi nilai batas yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

2.4. Proteksi Radiasi Terhadap Pasien, Petugas dan Masyarakat Umum 2.4.1. Proteksi radiasi terhadap pasien

Menurut Rasad (2005), proteksi radiasi terhadap pasien dilakukan dengan cara :


(12)

a. Pemeriksaan dengan sinar-X hanya dilakukan atas permintaan dokter.

b. Pemakaian perisai maksimum pada sinar primer. c. Pemakaian teknik kV tinggi.

d. Jarak fokus ke pasien tidak boleh terlalu dekat.

e. Daerah yang disinari harus sekecil mungkin, misalnya dengan mempergunakan konus atau diafragma.

f. Organ reproduksi dilindungi sebisanya.

g. Pasien yang hamil, terutama trimester pertama tidak boleh diperiksa secara radiologis.

2.4.2. Proteksi radiasi terhadap petugas

Proteksi radiasi untuk petugas menurut Batan III (2001) antara lain :

a. Selama penyinaran berlangsung, petugas berdiri di belakang penahan radiasi.

b. Sedapat mungkin petugas tidak berada dalam kamar pesawat sinar-X pada waktu dilaksanakan radiografi atau fluoroskopi.

c. Apabila sedang melakukan penyinaran dengan teknik khusus, seorang petugas mungkin diperlukan berada dalam ruangan. Untuk itu petugas perlu memakai apron dan sarung tangan proteksi.


(13)

2.4.3. Proteksi radiasi terhadap masyarakat umum

Dalam batan III (2001) dilakukan usaha proteksi radiasi untuk masyarakat umum dengan cara :

a. Ketebalan dinding, langit-langit, pintu dan jendela berpenahan radiasi harus diperhatikan agar masyarakat umum tidak terkena penyinaran.

b. Ruangan untuk ganti pakaian sebaiknya diberi penahan radiasi dan terpisah di luar ruangan penyinaran.

c. Pintu berpenahan radiasi timbal harus selalu ditutup selama dilakukan penyinaran.

d. Selama penyinaran berlangsung, setiap orang termasuk perawat yang menyertainya harus berlindung di balik penahan radiasi.

2.5. Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Di Ruang Pemotretan

2.5.1. Kontruksi Ruang Pemotretan a. Ukuran ruang

Ukuran minimum ruangan untuk sebuah pesawat sinar-X diagnostik adalah panjang 4 meter, lebar 3 meter dan tinggi 2,8 meter, tidak termasuk ruang opertor dan kabin pasien (Bapeten, 2002). Hal ini bertujuan untuk menjamin keleluasaan bagi petugas dalam melakukan pemeriksaan.


(14)

b. Dinding

Dinding ruang pemotretan terbuat dari beton yang tebalnya 20 cm atau batu bata dengan plester yang tebalnya 25 cm, kira-kira setara dengan timbal yang tebalnya 2 mm (Bapeten, 2002).

c. Lantai

Jika ruang pemotretan berada di lantai bawah, maka ketebalan lantai tidak begitu diperhatikan. Jika berada di lantai atas, maka tebal lantai setara dengan 2 mm timbal, begitu pula dengan langit-langit ruangan tebalnya setara 2 mm timbal jika di atasnya dipergunakan (Batan II, 2001)

d. Pintu

Menurut Batan I (2001), pintu dan kusen pintu harus meliputi ketebalan ekuivalen timbal untuk dinding di sebelahnya, dan timbal pelindung yang melapisi daun pintu harus menutupi kusen pintu selebar sekurang-kurangnya 1,5 cm, demikian pula timbal yang melapisi kusen pintu harus menutupi beton atau tembok dinding yang lebar minimum sama dengan tebal tembok. Pintu dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dengan brankart dapat masuk.

e. Jendela

Jendela harus mempunyai ketinggian sekurang-kurangnya 2 m dari lantai di luar kamar sinar-X dan sedikitnya 1,6 m dari lantai di dalam kamar sinar-X dan harus ditempatkan sedemikian sehingga radiasi hambur tidak dapat


(15)

secara langsung melalui jendela tersebut masuk ke jendela lain yang berdekatan (Batan III, 2001).

2.5.2. Tata Letak Peralatan Sinar-X

Penempatan pesawat sinar-X di berbagai ruangan harus diperhatikan, serta harus dibuat beban kerja untuk tiap-tiap kamar. Penataan peralatan dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan petugas bekerja. Menurut Batan III tahun 1985, tindakan memasang dua unit pesawat dalam satu ruangan akan membahayakan petugas dan pasien. Untuk itu perlu dipasang lampu peringatan pada masing-masing tabung penguat sinar-X dan panel pengendali dari generator. Survei radiasi harus dilakukan maksimal 2 tahun sekali meskipun tidak ada perubahan pada pesawat atau ruangan.

Kamar cuci film harus ditempatkan di tengah-tengah dari bagian radiologi, dan lebih baik jika berhubungan langsung dengan semua kamar sinar-X dan dengan jalan masuk yang mudah ke kamar utama sinar-X.

2.5.3. Prosedur Kerja di Bagian Radiologi

Prosedur kerja untuk radiografi menurut Batan III (2001) yaitu :

a. Pintu kamar sinar-X harus ditutup sebelum dilakukan penyinaran.

b. Berkas sinar-X tidak boleh diarahkan ke jendela atau panel kontrol dan dinding kamar gelap.


(16)

c. Selama dilakukan penyinaran, semua petugas harus berada di belakang panel kontrol dengan bahan pelindung radiasi dan mengawasi pasien melalui jendela gelas timbal.

d. Bila diperlukan pada pasien dipasang gonad shield dan lapangan penyinaran dibatasi seluas obyek yang dikehendaki.

e. Apabila film atau pasien memerlukan penyangga, maka diusahakan untuk menggunakan penyangga mekanik.

f. Selama dilakukan penyinaran, tidak boleh ada pasien yang lain yang menunggu atau ganti pakaian di dalam kamar sinar-X.

g. Jika diperlukan seseorang untuk membantu pasien atau memegang film selama penyinaran, maka seseorang tersebut harus memakai apron.

2.5.4. Spesifikasi Peralatan Proteksi Radiasi

Dalam Bapeten (2002), spesifikasi peralatan proteksi radiasi adalah sebagai berikut:

a. Penahanan Radiasi

1) Penahanan radiasi diletakkan di antara operator dan tabung sinar-X, dan mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 1,5 mm Pb.

2) Jendela pengamat yang terpasang pada penahan radiasi setidaknya mempunyai ketebalan yang setara dengan 1,5 mm Pb. Ketebalan yang setara dengan Pb tersebut harus tertera pada penahan radiasi dan jendela pengamat.


(17)

b. Apron Pelindung

Apron pelindung harus mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 0,25 mm Pb dan ukuran atau rancangannya harus memberikan perlindungan yang cukup pada bagian badan dan gonad pemakai dari radiasi langsung. c. Sarung Tangan Pelindung

Sarung tangan pelindung harus mempunyai ketebalan yang setara dengan 0,25 mm Pb dan rancangannya harus memberikan perlindungan yang cukup dari radiasi langsung yang mengenai tangan dan pergelangan tangan, dan harus memberikan kemudahan gerak bagi tangan atau jari.

d. Perisai Gonad (Gonad Shield)

Perisai gonad harus mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 0,5 mm Pb.

e. Pass Box

Kaset pass box yang dimaksudkan dipasang di dinding ruang sinar-X harus mempunyai perisai dengan ketebalan minimum setara dengan 2 mm Pb. Rancangannya harus sedemikian rupa sehingga pass box hanya dapat dibuka dari satu sisi saja.


(18)

Sistematika Penulisan Laporan Praktek kerja Nyata

-Halaman Judul

-Halaman Persetujuan

-Kata pengantar

-Daftar Isi

-Daftar Tabel Gambar/Grafik

-Daftar Lampiran

Bab I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan Laporan

1.4. Manfaat Penulisan Laporan

1.5. Metode Pengumpulan Data

Bab II PENGELOLAAN PELAYANAN RADIODIAGNOSTIK

2.1. Tinjauan Umum Instalasi Radiologi

(Berisi tentang profil, visi, misi radiologi, struktur organisasi, peralatan,

standar/alur pelayanan radiologi, analisis SWOT -Kelebihan&kekurangan-)

2.3. Tinjauan tentang tema yang diangkat

(berupa data- data di RS, peraturan pemerintah, teori terkai

t dll)

Bab III PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Permasalahan

(mendeskribsikan tema/permasalahan yang diangkat)

3.2. Pembahasan

Bab IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

Daftar Pustaka

Lampiran


(1)

2.4.3. Proteksi radiasi terhadap masyarakat umum

Dalam batan III (2001) dilakukan usaha proteksi radiasi untuk masyarakat umum dengan cara :

a. Ketebalan dinding, langit-langit, pintu dan jendela berpenahan radiasi harus diperhatikan agar masyarakat umum tidak terkena penyinaran.

b. Ruangan untuk ganti pakaian sebaiknya diberi penahan radiasi dan terpisah di luar ruangan penyinaran.

c. Pintu berpenahan radiasi timbal harus selalu ditutup selama dilakukan penyinaran.

d. Selama penyinaran berlangsung, setiap orang termasuk perawat yang menyertainya harus berlindung di balik penahan radiasi.

2.5. Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Di Ruang Pemotretan

2.5.1. Kontruksi Ruang Pemotretan a. Ukuran ruang

Ukuran minimum ruangan untuk sebuah pesawat sinar-X diagnostik adalah panjang 4 meter, lebar 3 meter dan tinggi 2,8 meter, tidak termasuk ruang opertor dan kabin pasien (Bapeten, 2002). Hal ini bertujuan untuk menjamin keleluasaan bagi petugas dalam melakukan pemeriksaan.


(2)

b. Dinding

Dinding ruang pemotretan terbuat dari beton yang tebalnya 20 cm atau batu bata dengan plester yang tebalnya 25 cm, kira-kira setara dengan timbal yang tebalnya 2 mm (Bapeten, 2002).

c. Lantai

Jika ruang pemotretan berada di lantai bawah, maka ketebalan lantai tidak begitu diperhatikan. Jika berada di lantai atas, maka tebal lantai setara dengan 2 mm timbal, begitu pula dengan langit-langit ruangan tebalnya setara 2 mm timbal jika di atasnya dipergunakan (Batan II, 2001)

d. Pintu

Menurut Batan I (2001), pintu dan kusen pintu harus meliputi ketebalan ekuivalen timbal untuk dinding di sebelahnya, dan timbal pelindung yang melapisi daun pintu harus menutupi kusen pintu selebar sekurang-kurangnya 1,5 cm, demikian pula timbal yang melapisi kusen pintu harus menutupi beton atau tembok dinding yang lebar minimum sama dengan tebal tembok. Pintu dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dengan brankart dapat masuk.

e. Jendela

Jendela harus mempunyai ketinggian sekurang-kurangnya 2 m dari lantai di luar kamar sinar-X dan sedikitnya 1,6 m dari lantai di dalam kamar sinar-X dan harus ditempatkan sedemikian sehingga radiasi hambur tidak dapat


(3)

secara langsung melalui jendela tersebut masuk ke jendela lain yang berdekatan (Batan III, 2001).

2.5.2. Tata Letak Peralatan Sinar-X

Penempatan pesawat sinar-X di berbagai ruangan harus diperhatikan, serta harus dibuat beban kerja untuk tiap-tiap kamar. Penataan peralatan dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan petugas bekerja. Menurut Batan III tahun 1985, tindakan memasang dua unit pesawat dalam satu ruangan akan membahayakan petugas dan pasien. Untuk itu perlu dipasang lampu peringatan pada masing-masing tabung penguat sinar-X dan panel pengendali dari generator. Survei radiasi harus dilakukan maksimal 2 tahun sekali meskipun tidak ada perubahan pada pesawat atau ruangan.

Kamar cuci film harus ditempatkan di tengah-tengah dari bagian radiologi, dan lebih baik jika berhubungan langsung dengan semua kamar sinar-X dan dengan jalan masuk yang mudah ke kamar utama sinar-X.

2.5.3. Prosedur Kerja di Bagian Radiologi

Prosedur kerja untuk radiografi menurut Batan III (2001) yaitu :

a. Pintu kamar sinar-X harus ditutup sebelum dilakukan penyinaran.

b. Berkas sinar-X tidak boleh diarahkan ke jendela atau panel kontrol dan dinding kamar gelap.


(4)

c. Selama dilakukan penyinaran, semua petugas harus berada di belakang panel kontrol dengan bahan pelindung radiasi dan mengawasi pasien melalui jendela gelas timbal.

d. Bila diperlukan pada pasien dipasang gonad shield dan lapangan penyinaran dibatasi seluas obyek yang dikehendaki.

e. Apabila film atau pasien memerlukan penyangga, maka diusahakan untuk menggunakan penyangga mekanik.

f. Selama dilakukan penyinaran, tidak boleh ada pasien yang lain yang menunggu atau ganti pakaian di dalam kamar sinar-X.

g. Jika diperlukan seseorang untuk membantu pasien atau memegang film selama penyinaran, maka seseorang tersebut harus memakai apron.

2.5.4. Spesifikasi Peralatan Proteksi Radiasi

Dalam Bapeten (2002), spesifikasi peralatan proteksi radiasi adalah sebagai berikut:

a. Penahanan Radiasi

1) Penahanan radiasi diletakkan di antara operator dan tabung sinar-X, dan mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 1,5 mm Pb.

2) Jendela pengamat yang terpasang pada penahan radiasi setidaknya mempunyai ketebalan yang setara dengan 1,5 mm Pb. Ketebalan yang setara dengan Pb tersebut harus tertera pada penahan radiasi dan jendela pengamat.


(5)

b. Apron Pelindung

Apron pelindung harus mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 0,25 mm Pb dan ukuran atau rancangannya harus memberikan perlindungan yang cukup pada bagian badan dan gonad pemakai dari radiasi langsung. c. Sarung Tangan Pelindung

Sarung tangan pelindung harus mempunyai ketebalan yang setara dengan 0,25 mm Pb dan rancangannya harus memberikan perlindungan yang cukup dari radiasi langsung yang mengenai tangan dan pergelangan tangan, dan harus memberikan kemudahan gerak bagi tangan atau jari.

d. Perisai Gonad (Gonad Shield)

Perisai gonad harus mempunyai ketebalan minimum yang setara dengan 0,5 mm Pb.

e. Pass Box

Kaset pass box yang dimaksudkan dipasang di dinding ruang sinar-X harus mempunyai perisai dengan ketebalan minimum setara dengan 2 mm Pb. Rancangannya harus sedemikian rupa sehingga pass box hanya dapat dibuka dari satu sisi saja.


(6)

Sistematika Penulisan Laporan Praktek kerja Nyata

-Halaman Judul

-Halaman Persetujuan

-Kata pengantar

-Daftar Isi

-Daftar Tabel Gambar/Grafik

-Daftar Lampiran

Bab I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan Laporan

1.4. Manfaat Penulisan Laporan

1.5. Metode Pengumpulan Data

Bab II PENGELOLAAN PELAYANAN RADIODIAGNOSTIK

2.1. Tinjauan Umum Instalasi Radiologi

(Berisi tentang profil, visi, misi radiologi, struktur organisasi, peralatan,

standar/alur pelayanan radiologi, analisis SWOT -Kelebihan&kekurangan-)

2.3. Tinjauan tentang tema yang diangkat

(berupa data- data di RS, peraturan pemerintah, teori terkai

t dll)

Bab III PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Permasalahan

(mendeskribsikan tema/permasalahan yang diangkat)

3.2. Pembahasan

Bab IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.2. Saran

Daftar Pustaka

Lampiran