Bahasa Iklan (Studi Kasus di Aceh)

BAHASA IKLAN
Teguh Santoso*
Banda Aceh berkembang menuju ke arah kota metropolis. Geliat ke arah tersebut ditandai oleh
pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan setiap tahunnya. Pusat-pusat perbelanjaan baru dan
berbagai jenis usaha bak cendawan tumbuh di musim hujan. Salah satu ujung tombak dalam upaya
pemasaran barang atau jasa para pelaku usaha, tentu saja iklan yang menjadi salah satu pilihan jitu
guna mencapai tujuan atas usaha-usaha yang dilakukan masyarakat tersebut. Jika suatu saat kita
berjalan di Kota Banda Aceh, hampir di setiap perempatan lampu pengatur lalu lintas “ramai” akan
suguhan kepada kita iklan-iklan. Dari iklan yang berukuran relatif besar (baliho) hingga iklan ukuran
mini yang tertancap dengan riuhnya di median jalan. Sungguh membuat semarak ketika Banda Aceh
tidak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang terbelenggu pada persoalan iklan. Mungkin
alasan klise yang nantinya muncul; iklan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah kota. Akan
tetapi, terkadang pemasangan iklan terkesan memenuhi semua ruang publik di tengah-tengah
masyarakat. Akibatnya, kita seperti dikerubuti oleh iklan-iklan tersebut.
Urusan iklan dengan urusan pendapatan pajak dari iklan tersebut biarlah menjadi ranah lain untuk
dibahas. Iklan menjadi sesuatu yang setiap hari kita temui dalam kehidupan kita. Untuk menarik
minat masyarakat (konsumen), iklan berusaha menampilkan dirinya sedemikian rupa sehingga aspek
persuasif bisa tercapai. Iklan tidak hanya tampil cantik dengan ilustrasi gambar, ukuran, atau warna
yang mencolok. Hal lain yang tak kalah pentingnya atas iklan yakni bahasa. Ya bahasa iklan tentunya.
Karakteristik bahasa iklan dominan pada persoalan tujuan persuasif atau membujuk. Bagaimana
bahasa iklan bisa menarik orang untuk membeli atau mengonsumsi produk berupa barang atau jasa

yang diiklankan. Namun, pemakaian bahasa pada iklan cenderung tendensius. Hal ini yang perlu kita
cermati sebagai konsumen. Bahasa iklan yang tendensius terutama terlihat pada makna bahasa iklan
yang ambigu. Ambigu yaitu memiliki makna lebih dari satu, sehingga kadang-kadang menimbulkan
keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya. Pada dasarnya, oleh para kreator iklan,
ambiguitas inilah yang menjadi daya tarik. Selanjutnya, orang akan bertanya-tanya atas
ketendensiusan sebuah iklan. Malah bisa jadi orang tersebut akan mencoba mencari tahu akan
kebenaran apa yang diiklankan. Salah satu contoh iklan dengan bahasa yang ambigu, seperti sebuah
toko kain di Banda Aceh yang memasangnya besar-besar di tokonya dengan memberi diskon hampir
50% atas barang yang ditawarkan oleh toko tersebut karena toko tersebut mau tutup. Nah, ini salah
satu contoh iklan yang “menjebak”, terutama ketika ia mengatakan bahwa tokonya mau “tutup”.
Pertanyaan kita adalah: apakah tutup karena mau bangkrut? sehingga semua barang dagangannya
diobral? Ataukah “tutup” karena kebiasaan sehari-hari? Bahwa toko tersebut tutup sekitar pukul
17.00 atau pukul 20.00? Inilah menariknya iklan yang menggunakan bahasa sehingga membuat
konsumen penasaran. Ada juga sebuah toko di bilangan Kota Banda Aceh yang cukup strategis
membuat iklan dengan ukuran cukup besar bertuliskan “renovasi sale”. Apanya yang direnovasi?
Bangunan fisik toko tsb atau harga barangnya?
Tampaknya etika berbahasa dalam beriklan kurang diperhatikan. Hal itu mungkin saja terjadi karena
tujuan utama iklan adalah menggaet konsumen sebanyak-banyaknya supaya minimal konsumen mau
melirik barang atau jasa yang dipasarkan. Begitu menariknya bahasa iklan bahkan memunculkan
sekolah khusus yang secara fokus membahas tentang periklanan plus dengan media yang

mendukungnya. Iklan tidak hanya terbatas pada medium ruang publik tetapi juga iklan yang ada di
media elektronik maupun media cetak. Permainan dalam bahasa iklan juga menjadi salah satu
strategi pemasaran yang jitu dalam berkompetisi, khususnya ketika barang atau jasa yang ditawarkan
memiliki kesamaan (same core). Seperti di Banda Aceh akhir-akhir ini iklan yang berkaitan dengan
persoalan cetak-mencetak sangat gencar dilakukan. Apalagi menjelang pilkada Aceh yang akan tiba
nantinya. Iklan percetakan, baik spanduk, baliho, kaos mencoba menggaet para konstituen peserta
pilkada. Hukum ekonomi yang tidak menyeimbangkan antara permintaan (demand) dengan
penawaran (supply) seringkali memunculkan praktik-praktik iklan dengan bahasa iklan yang

cenderung tendensius. Satu contoh lagi jika kita berjalan di Kota Banda Aceh, hampir dapat kita
jumpai sebuah spanduk percetakan yang menawarkan Rp 0. Hal ini tentu saja menimbulkan
penasaran yang luar biasa. Secara logika tidak mungkin kita melakukan aktivitas tanpa didukung
biaya. Lalu, apakah yang ditawarkan tersebut memang benar-benar gratis alias free of charge? Tentu
tidak seperti itu. Ada sisi lain yang mungkin dibebasbiayakan, tetapi ada juga sisi lain yang kita mesti
membayarnya sebagai konsumen. Tidak ada orang di manapun di dunia ini mau menghadapi
kerugian dalam ia berusaha. Oleh karena itu, mencermati bahasa iklan sebelum kita menentukan
pilihan terhadap barang atau jasa yang diiklankan sangatlah penting.
Kecermatan kita sebagai konsumen atas barang atau jasa yang ditawarkan melalui iklan harus
diwujudkan dengan kita melakukan kroscek terhadap pihak yang menawarkan barang atau jasa di
iklan tersebut. Kroscek ini perlu sebagai upaya imbangan sebelum kita menjatuhkan pilihan. Artinya,

sebuah iklan yang menarik dengan menawarkan harga yang tidak masuk akal, belum tentu faktanya
demikian. Bisa saja justru harga yang kita peroleh lebih mahal daripada tidak diiklankan. Bahasa iklan
yang pada hakikatnya berfungsi sebagai alat penyampai informasi telah dimanipulasi sedemikian
rupa. Hal itu bukan hal yang aneh dan salah. Justru dengan maraknya bahasa iklan yang tendensius,
secara tidak langsung telah “mencerdaskan” masyarakat. Masyarakat akan menjadi semakin paham
bahwa tidak selamanya apa yang ditawarkan di iklan sesuai dengan kenyataan yang ada. Jadi, pandaipandailah mencermati bahasa iklan supaya kita lebih bijak dalam menentukan pilihan atas produk
yang ditawarkan melalui iklan.
*Penulis adalah pereksa bahasa dan Kepala Balai Bahasa Banda Aceh juga Dosen FKIP USM Banda
Aceh