Awal perkembangan pers di Indonesia pada masa VOC
ABSTRAK : Pers dapat tumbuh di Indonesia sejak abad ke-17 pada masa Kolonial Belanda
di mana pada saat itu kemerdekaan masih belum Indonesia miliki, hingga pers menjadi salah
satu yang sangat penting bagi Negara Indonesia sendiri seperti sekarang ini . Walaupun
demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun,
mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita
kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam
menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi,
orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal
ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya,
selalu disimpan untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain media masa dimasa itu telah
dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di
negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di
Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka
kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20
sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang
Belanda dalam pendokumentasian ini. Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en
Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah
memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni
tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu
macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.
KATA KUNCI :Awal Perkembangan Pers Di Indonesia.
1
A.
Latar Belakang
Di Indonesia, pers memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan
nasional. Pers Indonesia pada awal perkembangannya memusatkan perhatian terhadap
masalah masalah yang timbul dalam masyarakat kolonial dengan ketegasan membela
kepentingan tujuan pergerakan nasional. Bahkan pers nasional bertindak sebagai
oposisi dari pers kolonial, yang lebih mengutamakan kepentingan. pemerintah Hindia
Belanda. Pers nasional setidaknya memiliki sejarah panjang sebagai institusi
pemberdaya masyarakat serta alat perjuangan bangsa. Pers berasal dari bahasa
Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press.1
Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran
secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Definisi pers yaitu, suatu lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan jenis media dan segala jenis saluran yang
tersedia. Dan
Indonesia pun ialah Negara penganut sistem demokrasi. Sebelum menganut sistem
pers ini , Negara kita mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tak dapat
dipungkiri pengaruh pers di negara kita sangat besar. Keberadaan kaum pers di
Indonesia baik buruknya selalu menjadi kelompok yang memiliki peran yang cukup
besar bagi Negara ini.
Sepak terjang kaum dari pers pun sering kali menjadi hal yang controversial di
dunia informasi, dan sering menjadi pula pihak pers menjadi korban atas kejelasan
bukti yang mereka ungkapkan mengenai tokoh-tokoh informan. Perkembangannya
pun juga temasuk sangat kompleks, pers di Indonesia terbagi beberapa periode
dimana satu periode ,mewakili satu era/masa dimulai dari pers di masa kolonial VOC.
Di Indonesia, aktifitas junalistik dapat dilacak jauh kebelakang sejak penjajahan
Belanda. Pers mulai dikenal abad ke-18 tepatnya pasa 1744, ketika sebuah surat kabar
bernama Bataviasch Nouvelles diterbitkan dengan pengunaan orang-orang Belanda.
Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti
dokumentasi, segala hal ikhwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya
maupun di negeri jajahannya selalu disimpan sebagai keperluan.2
1 Reny ,Triwardani.(2010). Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Prespektif Politik Media (Online)
Tersedia: http:// www.google.com/jurnal-awal-pers/reny.html. Diakses pada tanggal 17 September
2014.
2 Reny ,Triwardani.(2010). Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Prespektif Politik Media (Online)
Tersedia: http:// www.google.com/jurnal-awal-pers/reny.html. Diakses pada tanggal 17 September
2
Dalam makalah ini akan membahas tentang awal perkembangan pers di
Indonesia, yang akan dibagi menjadi tiga bagian. Bab pertama pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, studi terdahulu dan pentingnya tulisan. Bab kedua
tentang pembahasan seperti awal perkembangan pers di Indonesia dan Bab ketiga
tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan implikasi.
B. Pentingnya Tulisan
Makalah ini memberikan informasi akan sejarah awal perkembangan pers di
Indonesia, yang penting untuk dikaji. Makalah menjabarkan / mendeskripsikan
perjalanan pers di Indonesia ,agar memberi kesan menggabarkan dan kita dapat
mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa sejarah ini. Dan tujuan pers bukan cuma
sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, media masa disamping sebagai
alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga
punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan
rakyat pada umumnya.
1.1.
Awal Perkembangan Pers di Indonesia
Percetakan di Indonesia3 bermula pada kedatangan Belanda di kepulauan itu.
Peryumbuhan dan perkembangannya berjalan sejajar dengan ekspansi bertahap
kolonialisme
Belanda.4
Sejarahnya
dimulai
keteika
Verenigde
Nederlandsche
Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) menyadari manfaat pers untuk mencetak
aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan percetakan
2014.
3 Muller Kruger, Th.1969. Indonesia dan orang-orang Indonesia, dalam:S. Ichimura dan
Koentjaraningrat (ed.), Indonesia: Masalah dan Peristiwa; Bunga Rampai. hlm. 1-25.
4 Ricklefs, M.C.1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792, A History of the Division of
Java. London: Oxford University Press.hlm 14.
3
itu juga diprakasai oleh para misionaris Gereja Protestan Belanda yang menggunakannya
untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah untuk keperluan penginjilan.
Para minoritas Gereja itu jugalah mula-mula berusaha memperkenalkan percetaka
Hindia-Belanda dengan membeli sebuah mesin cetak dari Belanda pada 1624. Namun,
karena tak ada tenaga terampil yang menjalankannya, mesin cetak itu pun menganggur
belaka. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pencetak untuk menertibkan pencetak untuk
menertibkan kitab keagamaan dan traktat-traktat, pengurus Gereja mengusulkan kepada
pemerintah pusat di Batavia untuk mencari dab menugaskan seorang tenaga operator
terampil dari Belanda. Tetapi upaya memperkenalkan percetakan tidaklah terwujud
hingga 1659 sampai seseorang bernama Kornelis Pijl memprakasai percetakan dengan
memproduksi sebuah Tijkboek, yakni sejenis almanak, atau “buku waktu”.5
Setelah itu tidak ada percetakan hingga 1667, yaitu ketika pemerintah pusat
berinisiatif mendirikan sebuah percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik
termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf. Produk pertama percetakan ini
adalah Perjanjian Bingaya, yaitu perjanjian perdamaian yang ditandatangani Laksamana
Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makassar pada 15 Maret 1668. 6 Dokumen
ini dicetak oleh Hendrick Brant yang pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan
menjilid buku atas nama VOC.7 Menurut kontak itu, Brant mendapat upah 86 dollar, yang
dibayarkan secara mencicil, tapi percetakan tetaplah kepunyaan kompeni. Brant diberi
hak sebagai pencetak tunggal untuk Batavia dan VOC selama tiga tahun. Tak lama
kemudian, ia menjalin kerja sama dengan Jan Bruyning. Percetakan itu terletak di
Prinsestraat, Batavia.
Setelah kontrak dengan Brant berakhir pada 16 Februari 1671, VOC menandatangani
kontrak baru dengan Pieter Overwater dan tiga pegawai kompeni lainnya. Percetakan ini (
kontraknya berlaku hingga 1695) dinamakan Boeckdrucker der Edele Compagnie
(pencetak buku Kompeni).8 Kemudian , nama-nama lain muncul sebagai pencetak resmi
VOC. Tapi, tokoh yang paling penting adalah seorang mantan pendeta, Andreas
Lambertus Loderus, yang pada 1699 mengambil alih percetakan itu untuk didayagunakan
secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin lahir
5 Graaf, H.. J de. 1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern Hemisphere.
Amsterdam: Bangent, hlm. 12.
6 Chijs, J.A. van der.1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke-39, 1
Batavia.hlm.2.
7 Isa, Zubaidah.1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana
University).hlm.13.
8 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana
University).hlm 16.
4
dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin –Belanda-Melayu yang disusun oleh
Loderus sendiri.
Walaupun para pencetak di batavia tersebut diatas telah diberi kontrak bekerja untuk
VOC, pemerintahan pusat tetap merasa perlu mendirikan percetakan sendiri di benteng (
kasteel, kastil) Batavia untuk mencetak dokumen-dokumen resmi. Percetakan ini baru
terwujud pada 1718 setelah personel dan peralatannya tiba dari Belanda. Dengan
berdirinya percetakan pemerintahan ini, pencetak di Batavia tadi hanya diperbolekan
mencetak pesanan swasta, sedangkan semua cetakan resmi diserahkan kepada percetakan
pemerintah.
Keberadaan dua percetakan pada tahun-tahun pertama abad ke-18 itu menandakan
bahwa percetakan akan berperan penting di Hindia Belanda dan akan secara tetap
digunakan untuk “menghemat tenaga penulis pengganda”9.Namun sementara percetakan
cukup aktif mencetak dokumen dan buku-buku Kompeni untuk para pegawainya, tidak
terlihat upaya menertibkan surat kabar sampai sekitar 120 tahun setelah sebuah
percetakan berdiri di Batavia.
Sebelum surat kabar pertama muncul, sebuah laporan berkala para saudagar dalam
tulisan tangan, Memorie der Nouvelles, telah beredar. Laporan berkala ini sebetulnya
merupakan kompilasi berita dan saripati surat-surat, semuanya menggunakan tulisan
tangan. Dalam bentuk lembaran, laporan ini diedarkan dikalangan pegawai VOC yang
bertugas jauh dipelosok, yang sangat haus akan berita. Penyebaran berita seperti ini
konon sudah ditempuh oleh Jan Pieterazoon Coen pada 1615. 10 Baru pada 1744, dibawah
pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, surat kabar tercetak
pertama lahir dari Benteng. Nomor contoh surat kabar itu Bataviase Nouvelles, muncul
pada 8 Agustus 1744. Bataviase Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas berukuran
folio yang kedua halamannya masing- masing berisi dua kolom. Pembaca diberi tahu
bahwa mereka bisa mendapatkannya setiap senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan
milik Kompeni di Benteng.11
Selain membuat maklumat pemerintahan, surat kabar itu juga menyisipkan iklan yang
biasanya berisi pengumuman lelang. Surat kabar itu akhirnya diberi petunjuk untuk
menghentikan penerbitannya pada 20 Juni 1746, setelah baru menikmati dua tahun
keberadaannya, meskipun penerbitnya, Jordens, telah mendapat jaminan izin terbit selama
9 Graaf, H. J de 1969.‘Indonesia’,
dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern
Hemisphere. Amsterdam: Bangent.hlm. 13.
10 Wormser, C.W. (s.a.)a. Drie en dertigjaren op Java. Jil. III: In het dagbladwezen. Amsterdam:
W.ten Have. Hlm.6.
11 Faber, G.H. von.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff.hlm.15.
5
tiga tahun. Surat kabar pertama yang pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia
adalah Vendu Nieuws, yang terbit pada 1776, tiga dasawarsa setelah Batviase Nouvelles.
Diterbitkan oleh L. Dominicus, pencetak di Batavia, Vendu Nieuws sebetulnya
merupakan media iklan minggua, terutama mengenai berita lelang. Dikenal oleh
masyarakat setempat sebagai “Soerat lelang”, koran ini juga memuat ,maklumat
penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan.
Vendu Nieuws merupakan surat kabar kedua dan terakhir yang terbit selamat masa
VOC. Vendu Nieuws menghentikan penerbitannya pada 1809 semasa pemerintahan
Jenderal Herman Willem Daendels yang menjabar Gubernur membeli percetakan sejak
1808 hingga 1811. Daendles membeli percetakan Kota dan menggabungkannya dengan
percetakan Benteng menjadi Landsrdrukkerij ( Percetakan Negara) yang masih terus
bekerja sampai pemerintahan kolonial berakhir. Percetakan resmi pemerintah itu
merangsang Daendels menertibkan media resmi pemerintah untuk mempublikasikan
kegunaan reformasi pemerintahannya di Jawa. Pada 15 Januari 1810 terbit edisi pertama
mingguan Bataviasche Koloniale Courant di Batavia. Diterbitkan dalam format kuarto
lebar, koran ini diasuh sejak 1788.12
Selama masa pemerintahan Inggris, Batavia menyaksikan terbitnya koran resmi yang
lain. Pada 29 Februari 1812, pemerintahan yang baru menerbitkan Java Government
Gazette, sebuah mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H.
Hubbard. Isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Namun, surat
kabar ibi pun memuat berita-berita dari Eropa dan berbagai artikel tentang kehidupan dan
adat istiadat anak negeri.13 Tetapi, surat kabar ini pun berhenti terbit sewaktu Belanda
kembali berkuasa pada 1816, namun segera digantikan oleh Bataviasche Courant yang
terbit pada 20 Agustus 1816. Dua belas tahun kemudian , surat kabar ini berganti nama
menjadi Javasche Courant.14
Koran-koran resmi pemerintah tampaknya hanya berhasil mendapatkan beberapa
pelanggan (mengikat peredarannya). Dan baru pada 1831 muncul surat kabar partikelir
yang pertama. Lahirnya surat kabar yang terlambat ini mungkin akibat sedikitnya orang
di Hindia Belanda yang bisa membaca. Lagi pula, kecuali percetakan milik pemerintah
dan misionaris, sangat sedikit percetakan yang diupayakan pihak swasta. Salah satu
12 Faber, G.H. von.1930.
A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff. hlm. 18.
13 Faber, G.H. von.
.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff. hlm.29.
1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern
Hemisphere. Amsterdam: Bangent. hlm.29.
14 Graaf, H.J. de.
6
kendalanya adalah kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tetapi, lebih
penting dari itu adalah ketiadaan tenaga ( kompositor) terampil. Karena percetakan
misionaris menjadi satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetakmencetak selama abad ke- 18.
1.1.1. Percetakan Misionaris
Setelah gagal mencoba mendirikan percetakan misionaris yang pertama di
Batavia pada 1624, komunitas gereja tidak lagi punya kesempatan mengoperasikan
mesin percetakan hingga 119 tahun kemudian, ketika pada 1743 Seminarium
Theologicum di Batavia memperoleh satu unit alat percetakan. Tidak banyak yang
diketahui tentang nasib percetakan ini, tetapi ada laporan, percetakan itu pernah
menertibkan perjanjian baru dan beberapa buku doa dalam terjemahan Melayu.15
Hidupnya pun Cuma sebentar, sebab pada 1755 percetakan itu dipaksa bergabung
dengan Percetakan Benteng.16 Percetakan misionaris terhadap percetakan tentu jelas
sekali.
Percetakan
penting
dalam
pekerjaan
penginjilan,
terutama
untuk
pmemublikasikan kepustakaan Kristen dan penerjemahan Injil serta katekismakatekisma keagamaan. Percetakan juga merupakan aset yang berharga dalam upaya
menyebabkan kemampuan membaca dan pendidikan gereja di kalangan anak-anak
pribumi.
Jumlah misionaris di Hindia berfluktuasi selama pemerintahan VOC,17 tapi
terus bertambah setelah 1800. Juga setelah VOC bubar, usaha percetakan yang
digunakan kalangan misionaris kian bertambah.18 Kegiatan misionaris semakin
menonjol setelah tebentuknya Nederlandsch Zendelingen Genootschap19 pada 1797
pada 1831, sebagian besar rintangan misionaris protestan dapat diatasi, yang
berpuncak pada didirikannya sejumlah pos mini Protestan. Menjelang pertengahan
abad ke-19, perhatian misionaris dibidang percetakan melebar ke penerbitan surat
kabar dalam bahasa anak negeri.
1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke- 39,
1 Batavia.hlm.7.
16 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.22.
17 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
18 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
15 Chijs, J. A. Van der.
19 Zwemer, S.M.1911. Islam and Christianity in Malaysia. The Modern Word.Jil. ke—1.hlm.243.
7
Percetaka pertama milik misionaris adalah kepunyaan Joseph Kam, yang tiba
dikepulauan Maluku pada 1813. Percetakan misi yang paling terkenal adalah
percetakan seminari yang didirikan Walter Henry Medhurst. Sebagai misionaris yang
tertarik pada dunia cetak-mencetak, Medhurst menerbitkan produk dalam bahasa
Inggris, Belanda ,Cina, Jepang dan Melayu. Pada 1828 percetakan itu menggunakan
litografi dan demikian produktifnya hingga antara 1823 dan 1842 telah menerbitkan
total 189.294 cetakan dari berbagai karya. Penerbitan ini meliputi khotbah, bagianbagian dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebuah kamus dan beberapa pamflet
sekular dari berbagai jenis.20
Percetakan misi lainnya yang juga aktif pada abad ke- 19 meliputi sejumlah
percetakan yang terdapat di Ambon, Tohoman, Tondano,Kupang dan Banjarmasin.
Lembaga misoinaris aktif mencetak buku-buku keagamaan dan kepustakaan gereja
pada umumnya, dan baru pada paruh kedua abad ke-19 masuk ke dunia penertiban
surat kabar. Mungkin itu disebabkan oleh ketatnya peraturan sensor untuk percetakan
sebelum undang-undang percetakan direvisi pada 1856. Betapapun ,prioritas utama
misionaris adalah menyebarkan penertiban keagamaan dan buku-buku pendidikan
untuk sekolah misi mereka.21
1.1.2. Munculnya koran berbahasa Belanda
Kuartal kedua abad ke-19 membuka sebuah babak baru persurat kabaran di
Hindia Belanda. Periode ini ditandai dengan munculnya percetakan milik swasta dan
tampilannya koran yang diusahakan oleh swasta. Pada 1825, Landsdrukkerij
menertibkan Bataviaasch Advertentieblad di Batavia. Surat kabar lain berorientasi
komersial, Nederlandsch Indisch Handelsbland, juga terbit di Batavia pada 1829.
Tetapi, penerbit dan percetakannya tak diketahui, kendati bisa dipastikan surat kabar
ini tidak dicetak di Percetakan Negara.22 Di Surabaya muncul surat kabar pertama
dalam bentuk mingguan, Soerabayasche Courant pada 1837, mungkin diterbitkan
oleh C.F. Smith, yang sekitar 1834 membeli sebuah percetakan dari H.J. Domis,
residen Semarang, Pasuruan dan Surabaya antara 1827 dan 1834, sebelum pensiun
dan pulang ke Belanda. Pada 1845, di Semarang juga terbit mingguan media
1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970.
Indiana. ( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
20Isa, Zubaidah. Isa, Zubaidah.
21 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hlm.11.
22 Chijs, J.A. van der. 1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke 39,
1 Batavia. hlm. 57-61
8
pengiklan dengan nama Semarangsch Advertentieblad, yang pada 1852 berganti
menjadi De Locomotief. Semarangsch Advertentieblad ini menyaksikan terbitnya
sebuah surat kabar lagi, Semarangsche Courant.
Pada paruh kedua abad ke-19, Semarang menjadi pusat industri surat kabar
yang penting, yang bersaing ketat dengan Surabaya dan Batavia dalam menerbitkan
surat kabatr termuka berbahasa Belanda dan Melayu. Sebagai kota pelabuhan pusat
lalu lintas pengapalan hasil pertanian, Batavia, Semarang dan Surabaya cenderung
menarik saudagar dan pedagang berbagai bangsa. Mereka membutuhkan media
pengiklanan, bukan hanya untuk memasarkan komoditas mereka tetapi juga
mengetahui harga terakhir di pasar serta informasi mengenai kedatangan dan
keberangkatan kapal dan benda pos. Demikianlah pertama kali muncul di kota-kota
besar tersebut pada dasawarsa terakhir abad ke- 19 koran ( secara populer pada masa
itu dikenal dengan surat kabar berita dan iklan itu). Sebelum 1856, tidak kurang dari
16 surat kabar, baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta mundul di Hindia
Belanda.
Semua surat kabar dan berkala yang terbit sebelum 1855 menggunakan bahasa
Belanda. Tingginya tingkat buta huruf di kalangan pribumi menyebabkan penerbitan
dalam bahasa anak negeri sulit dibayangkan pada periode ini. Walaupun penduduk
muslim umumnya mengikuti pendidikan agama tradisional di pesantren dan langgar,
kemampuan baca tulis di kalangan penduduk terbatas pada kemampuan membaca
teks-teks Arab, yang lebih sering dikutip tanpa pemahaman. Meskipun orang Jawa
mempunyai tradisi sastra, akses ke sana dimonopoli oleh lapisan atas masyarakat dan
biasannya terbatas pada para penulis keraton. Upaya pertama memperkenalkan bentuk
pendidikan Barat kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaris, didalam
karya penginjilan mereka, dengan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan
membaca dan menulis dalam bahasa Arab Melayu dan Rumi. Hingga 1850, perhatian
pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya terbatas pada pribumi Kristen di
Maluku.23
Sekolah pertama yang dikelola oleh lembaga gerejawi VOC kebanyakan
didirikan di Ambon, dimana bahasa Belanda digantikan oleh bahasa Melayu sebagai
alat pengajaran pada sekitar dasawarsa ketiga abad ke-18. Mecoloknya peningkatan
bahasa Melayu sebagai lingua franca di Hindia Belanda membantu pertumbuhan dan
perkembangan pers berbahasa Melayu pada paruh kedua abad ke-19. Karena itu, latar
23 Manual. 1918. A Manual of Nedherlands India ( Dutch East Indies). Naval Staff Intelligence
Departement.hlm.139.
9
belakang sejarah perkembangan bahasa Melayu, seperti yang digunakan di sejumlah
kota besar, dimana kegiatan cetak-mencetak sangat aktif, patut mendapat perhatian.24
1.1.3. Perkembangan bahasa “Melayu rendah”
Ragam bahasa Melayu percakapan tersebut adalah jenis yang sederhana, yang
biasanya dikenal sebagai bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Ragam bahasa
Melayu inilah yang umumnya digunakan dalam pergaulan antara pribumi dan
pendatang.25 Di Batavia, ragam bahasa ini menjalani sejarahnya sendiri cukup
dipengaruhi oleh kehadiran Portugis dan Belanda, varian ini kemudian disebut
Melayu Betawi.26 Banyak orang non-Melayu menggangap ragam Melayu Betawi
paling mudah diterima karena kelenturannya dalam menyerap kata asing, bahkan
dalam sintakis.27
Di pulau-pulau luar Jawa, ragam Melayu rendah juga memiliki keunikan
tersendiri. Di Minahasa ragam itu dinamakan Melayu Menado, sebuah varian yang
berkembang sebagai akibat penggunannya di gereja dan sekolah-sekolah. Di
kepulauan Maluku, bahasa Melayu menemukan bentuknya yang lain. Berkat
pemakaiannya oleh para misionaris sebagai bahasa gereja dan pendidikan , bahasa ini
diterima luas oleh masyarakat luas. Di Jawa, apa yang dikenal sebagai Melayu Betawi
di kota-kota lain disebut juga Melayu rendah, atau bahasa Melayu adukan
( campuran ), Melayu kaun dan Melayu pasar. Ragam ini merupakan bahsa yang
dipahamiu oleh orang kebanyakan dari berbagai suku disejumlah kota dan bandar
perniagaan.
Belanda, karena dipaksa keadaan, sejak jaman VOC sudah menerima bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar tak resmi serta sebagai bahasa administrasi dan
perdagangan. Meskipun demikian, tetap saja ada kontroversi mengenai ragam bahasa
Melayu mana yang sebaiknya dianjukan dan dipopulerkan. Kontroversi ini berlanjut
hingga pertengshsn abad ke-19. Meskipun para misionaris dan orang awam lebih
akrab dengan apa yang disebut Melayu rendah, para penguasa administrasi tratif di
Batavia, bahkan sejak jaman VOC, selalu menganjurkan bentuk bahasa Melayu yang
lebih murni yaitu Melayu tinggi. Menjelang pertengahan abad ke-19, perkembangan
dan pertumbuhannya lebih terpacu ketika koran dan terbitan berkala dalam bahasa
24 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 14.
25 Crawfurd, John. 1852. A Grammar and Dictionary of the Malay Language with Preliminary
Dissertation.2 Jil. London.hlm.10.
26 Hoffman, John.1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901, Indonesia no.27.hlm.68.
27 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (18551913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm. 14-15.
10
Melayu rendah mulai bermunculan disejumlah kota dan kotapraja. Ragam ini bukan
hanya dipakai orang pribumi, tapi juga oleh orang Tionghoa, Eropa (tulen atau Indo),
Arab serta semua orang timur asing yang tinggal di Hindia dan bekerja di sektor
perdagangan.28
1.1.4. Masyarakat Kolonial
Mayoritas orang asing berkecimpung dalam berbagai kegiatan ekonomi,
memberi warna kota-kota besar pesisir di pulau Jawa, misalnya Batavia, Semarang
dan Surabaya. Kota-kota pesisir di pulau-pulau luar Jawa, misalnya Padang, Medan
dan Makassar, juga merupakan kota dagang utama yang menarik orang asing. Pada
1973, populasi warga asing di Jawa terdiri dari 27.448 Eropa, 153.186 Tionghoa,
5.608 Arab dan 16.456 orang nonpribumi lainnya. Daya tarik industri gula yang
menguntungkan dan pembukaan koloni untuk perusahaan swasta juga banyak
menggoda orang Belanda yang berstatus sosial bagus datang ke Hindia Belanda untuk
mencari peruntungan.29
Untuk mengetahui perkembangan pers pada paruh kedua abad ke-19, penting
menyimak asing, khususnya Eropa dan Tionghoa. Kedua komunitas inilah yang
menjadi pembaca surat kabar pada hari-hari pers di Hindia Belanda. Pelanggan surat
kabar berbahasa Belanda adalah para pejabat, pedagang dan warga sipil Eropa. Tetapi
untuk orang Tionghoa pedagang dan pemukiman di perkotaan, surat kabar perlu untuk
mempromosikan kepentingan bisnis dan perniagaan mereka sehingga, ketika surat
kabar berbahsa anak negeri mulai muncul, merekalah yang mendukung sirkulasinya
dengan menjadi pelanggan, bersama para priyai bergaji, alias pegawai pribumi pada
sekitar pertengahan abad ke-19, jumlah orang Tionghoa sudah cukup lumayan
dibeberapa kota penting di Jawa, yakni di Batavia, Semarang dan Surabaya. Di luar
Jawa kota-kota seperti Medan , Padang , Makassar dan Banjarmasin juga
berpenduduk Tionghoa cukup banyak. Orang Tionghoa ini menjebatani populasi
pribumi dengan orang Eropa lewat usaha dagang dan komersial, diantarannya menjadi
pengelola rumah candu, pegadaian dan rumah judi.
Ada dua kategori orang Tionghoa, sebagian bear orang Tionghoa di Jawa pada
abad ke-19 adalah peranakan yaitu mereka yang nenek moyangnya Tionghoa dan
28 Ahmat B. Adam..2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.16.
29 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (18551913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.18.
11
pribumi.30 Budaya peranakan, yang aslinya berkembang di Batavia dan Jawa, lambat
laut mengembangkan bahasa sendiri, campuran antara dialek Hokkien dan Melayu
Betawi.31 Menjelang pertengahan abad ke-19, mayoritas orang Tionghoa adalah
peranakan. Baru pada 1860-an orang Tionghoa didatangkan langsung dari negerinya
untuk keperluan tenaga kerja bagi perkebunan dan pertambangan di luar Jawa.32
Kelompok peranakan lain yang sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan surat kabar berbahasa anak negeri pada paruh kedua abad ke-19 adalah
komunitas Indo atau Indo-Eropa. Seperti peranakan Tionghoa , komunitas Indo ini
lahir dari perkawinan campuran atau pengendakan dengan pertemuan pribumi.
Meskipun secara resmi dikategorikan sebagai Eropa, orang Indo ini tetap mewarisi
dua budaya, Eropa dan Pribumi. Dari total 1800 orang Eropa di Jawa pada 1854,
sekitar 9.000 sesungguhnya adalah Indo. Seperti sudah diterangkan di atas dalam
hierarki masyarakat kolonial, orang Indo secara teoritis menikmati status setara
dengan Eropa. Kendati demikian dalam kenyataanya status orang Indo terutama
ditentukan oleh posisi ekonomi dan latar belakang pendidikannya. 33 Orang Indonesia,
mereka umumnya yang berbahasa Belanda atau Melayu rendah disebut sinyo atau
disingkat nyo. Secara kultural, mereka menyerap unsur-unsur dari budaya Eropa dan
Indonesia. Pada abad ke- 19 peringkat status mencerminkan menguatnya peran ras
dan kriteria pembedaan. Sementara orang Eropa berada dipuncak hierarki status
dalam masyarakat kolonial dan orang Timur asing ( meliputi Tionghoa, Arab ,India
dan orang asing lainnya).
Pada sekitar 1850 keadaan ekonomi penduduk pribumi di Jawa menyedihkan.
Meskipun cultuurstelsel (sistem tanam paksa) tampaknya menguntungkan elite
masyarakat Jawa, bagian terbesar populasi pribumi tidak memperoleh banyak dari
sistem itu.34 Kesulitan petani pribumi Jawa sudah kentara sejak menjelang 1840-an.
Pengetatan tanam paksa , yang bertujuan memacu produksi kopi, gula dan nila
berakibat pada pengabaian produksi beras. Secara tak meningkat tajam, sementara itu
wabah penyakit ternak terjangkit secara sporadis dan cuaca yang tidak bersahabat
30 Broek, J.O.M. 1942. Economic Development of the Netherlands Indies. New York: Institue of
Pacific Relations.hlm.25.
31 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial Capital.
Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.199.
32 Ahmat B. Adam. Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.19.
33 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial
Capital. Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.149.
34 Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. London:MacMillan.hlm.117.
12
membuat panen gagal serius, yang ,mengakibatkan kekurangan pangan yang gawat,
sehingga menimbulkan kelaparan dan epidemi sepanjang 1843 hingga 1849. 35
Penderitaan orang pribumi Jawa membuka mata banyak orang akan kegagalan besar
sistem pemerintahan.
Salah seorang yang mencela perlakuan kejam penduduk pribumi di bawah
Tanam Paksa adala W.R. Baron van Hoevell, editor Tijdschrift voor NederlandschIndie. Baron van Hoevell sendiri sudah bosan akan sewenang-wenangan pemerintah
yang mengontrol opini publik dan memberangus pers. Upayanya menyingkap
kegagalan Tanam Paksa melalui Tijdschrift sering dirintangi oleh apa yang
dianggapnya sebagai campur tangan pemerintah yang terang-terangan dan berkelanjut
dengan perundungan terhadap penerbitan berkala itu oleh Sekretariat Negara, yang
berkuasa atas hidup matinya penerbitan. Tentangan terhadap tanam Paksa juga mulai
muncul di Belanda, dibangkitkan oleh kalangan liberal di Majelis Tinggi. Menjelang
akhir 1840-an, perhatian terhadap manajemen negeri-negeri kolonial memang kian
meningkat di Parlemen Belanda. Keinginan membuka mata para anggota Majelis
Rendah akan berbagai kejadian di Hindia serta merta membawa kesadaran mengenai
perlunya mengubah undang-undang yang dirancang pada 1848.36
1.1.5. Perubahan UU 1848 dan pengumuman UU Pers
Pada 1848 reformasi konstitusional dilembagakan supaya Majelis Tinggi bisa
bersuara lebih banyak mengenai tata pemerintahan di Hindia Belanda, serta
menambah hak para anggota Partai Liberal dan Partai Kristen untuk mengkritik
dampak Tanam Paksa. Harapan akan perubahan tampaknya tidak hanya didukung
oleh para politikus Belanda, tapi juga kelas menengah yang menjadi sejahtera berkat
keuntungan ekonomi Belanda yang dipetik dari Jawa. Tekanan untuk mengganti
Tanam Paksa dengan perdagangan terbuka bermuara pada imbauan melakukan
liberalisasi yang lebih besar dalam ekonomi kolonial dan menghapuskan sejumlah
hambatan hukum yang membatasui usaha swasta secara berlebihan . terkait dengan
tuntutan untuk usaha swasta ini adalah kebutuhan akan kemerdekaan pers yang lebih
besar.37
35 Mansvelt, W.M.F. dan P. Creutzberg. 1978. Changing Economy in Indonesia: A Selection of
Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940. Jil. Ke-4:Rice
Price.s’Gravenhage:Nijhoff.hlm.25
36 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.22.
13
Hasil agitasi untuk perubahan ke bentuk sistem pemerintahan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip liberal ialah lahirnya konstitusi baru untuk Hindia Belanda, yang
disebut Regeerings Reglement pada 1854, konstitusi ini baru meliputi pasal 110
mengenai pers:
Penyeliaan terhadap pers oleh pemerintah harus diatur oleh ordonasi,
yang sesuai dengan prinsip bahwa publikasi gagasan dan sentimen oleh
pers dan izin memasukkan barang cetakan dari luar Belanda tidak dibatasi,
kecuali hal itu untuk menjamin ketertiban masyarakat.
Pasal ini tidak menetapkan bagaimana penyeliaan terhadap pers akan diatur,
tetapi bagaimanapun juga menghasilkan sebentuk penyeliaan preventif. Kegagalan
menaati peraturan tersebut akan membahayakan kelangsungan usaha sebuah
percetakan atau penerbit. UU Pers ini juga memberi kekuasaan kepada Gubernur
Jenderal untuk menutup sebuah percetakan yang dianggap melakukan pelanggaran
serius terhadap undang-undang. UU Pers yang terakhir ini tidak pernah dilaksanakan
hingga 1856, dan ketika muncul, banyak pihak yang berharap banyak akan
kemerdekaan Pers menjadi kecewa. Apa yang dituangkan dalam UU Pers 1856 dari
Resolusi Kerajaan 8 April 1856 (staatsblad 1854 No.74) tidak lebih sebuah undangundang
preventif
dan
represif.38
Pada
dasarnya
UU
Percetakan
atau
Drukpersreglement itu bertujuan mengintimidasi dan mengekang pers yang baru
mulai bangkit. UU itu dirancang untuk melumpuhkan kritik terhadap pemerintahan
kolonial melalui cara-cara preventif dan represif. Inilah latar belakang yang
menumbuhkan dan mengembangkan pers berbahasa anak negeri di Indonesia.39
1.2.
Asal Usul Pers Berbahasa Anak Negeri
Tinjauan terhadap sejarah awal surat kabar dan terbitan berkala bahasa anak negeri
serta peran orang yang terlibat di dalamnya memperlihatkan bahwa pada tahun-tahun
pertama penerbitan itu berangkat dari motivasi komersial, tetapi beberapa diantarannya
adalah oranf idealis, dan yang lain melihat pers sebagai alat yang bermanfaat untuk
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.22.
37 Ahmat B. Adam. .
38 Louter, J.de. 1914. Handboek van het staats- en administratief recht van Nederlandsch-Indie.
Amsterdam.hlm.161.
39 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.24.
14
menjaring pengikut. Karena itu, beberapa dari mereka bertujuan terutama menyediakan
bahan bacaan bagi sejumlah sekolah pribumi dan lembaga pelatihan guru yang baru
berdiri, sementara misionaris Kristen mengupayakan penebitan brosur guna menyebarkan
agama mereka.
Jumlah pembaca dan isi ketiga jenis surta kabar dan penerbitan berkala ini yakni yang
komersial, yang idealis dan misionaris karena itu harus diteliti. Sementara itu
pertumbuhan pers di Jawa dan luar Jawa dari 1855 hingga 1873 harus
,mempertimbangkan pula penyebaran pendidikan model barat melalui sekolah-sekolah
pemerintah dan misi, serta peran pendidikan model baru itu dalam perkembangan pers
disini.
1.2.1. Para Pionir
Sejarah Pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika mingguan
berbahasa Jawa, Bromartani, meluncurkan penebitan perdanannya pada 25 Januari
1855. Dipimpin oleh C.F. Winter Sr.,40 dan putranya,Gustaaf Winter, surat kabar itu
terbit setiap kamis dari percetakan Hartevelt di Surakarta. Lingkungan di sekitar
kelahirannya cukup menarik, begitu pula hal-ikhwal yang memicu penebitan surat
kabar ini. Bromartani didirikan setelah UU tahun 1854 (Regeerings Reglement) yang
membayangkan kelonggaran peraturab pers di Hindia diumumkan. Tatkala surat kabar
itu terbit untuk pertama kalinya, UU Pers masih diperdebatkan oleh Parlemen
Belanda. Entah merupakan respon terhadap janji”kemerdekaan” pers yang disiratkan
oleh UU tahun 1854 atau hanya sebuah kebetulan , Bromartani lahir ditengah
pengharapan yang besar akan liberalisme pers hanya setahun sebelum UU Pers 1856
diperkenalkan. Namun, ketatnya UU Pers itu ketika akhirnya tersusun, hasruslah
ditempatkan dalam konteks masa itu, ketika kritik kaum Liberal terhadap sistem
Tanam Paksa Van den Bosch diangkat dan digaungkan oleh pers swasta Belanda yang
lahir di Hindia.41
Peraturan pers yang baru itu dimaksudkan untuk mematahlan kritik terhadap
pemerintahan kolonial tersebut. Meskipun demikian, dibanding dengan periode
sebelumnya, ketika pemerintah tidak mengubris dan karena itu bahkan tidak
mengakui, keberadaan pers, UU pers 1856 yang baru mungkin dapat dianggap
sebagai suatu kemajuan. Sebelumnya pemerintah mempunyai wewenang melarang
40 Encyclopaedae, Encyclopaedae van Nederlandsch-Indie. Cet 2.’s-Gravenhage: Nijhoff.
Leiden:Brill.Jil.4.hlm. 786.
41 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.26.
15
barang cetakan apa saja semau-maunya, dan Gubernur Jenderal berkuasa penuh
mengusir siapa saja yang dianggap mengancam keamanan Hindia Belanda. Keadaan
ini pun menyebabkan tak seorangpun yang berani mengambil resiko menerbitkan
suatu sebelum meminta izin dari pemerintah. Jadi, kendai undang-undang yang baru
ini sangat ketat, beberapa orang melihatnya sebagai sedikit kemajuan, dan mungkin
untuk sebagian menjelaskan mengapa muncul sejumlah surat kabar baru milik swasta
termasuk Bromartani, surat kabar berbahasa daerah yang pertama.42
Sebenarnya Bromartani bukanlah satu-satunya publikasi berbahasa daerah
yang muncul pada Januari 1855. Secara stimulan muncul pula sebuah penerbitan
berkala, Poespitamantjawarna. Dipimpin dan diterbitkan oleh Gustaaf Winter, yang
menguasai bahasa dan sastra Jawa. Seperti Bromartani, Poespitamantjawarna
mungkin juga bisa dikategorikan sebagai penerbitan idealistis, dengan muatan sastra
dan pendidikan yang bertujuan menyajikan semacam dorongan belajar bagi pribumi
Indonesia. Baik Bromartani maupun Poespitamantjawarna menggunakan bahasa
kromo inggil, ragam bahasa Jawa tinggi. Ini tentu bukan sesuatu yang luar biasa,
sebab keduanya terbit dan beredar di kota Keraton Surakarta. Seperti Yogyakarta,
Surakarta, Ibu kita Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran, yang memiliki Keraton
Susuhunan dan Pangeran Adipati Mangkunegara adalah wilayah kebudayaan dan
tradisi Jawa. Kegiatan sastra di sebuah lembaga kajian bahasa Jawa, seperti Raden
Panji Puspowilogi dan Raden Ngabei Reksodiputro, bersama para ahli Eropa.43
Sekolah- sekolah di Surakarta itu segera menemui kesulitan memperoleh buku
yang layak untuk para muridnya. Karena itu , kepala sekolah guru, Palmer van den
Broek, yang selalu berusaha mengumpulkan bahan bacaan bagi para muridnya,
menyambut baik kelahiran Bromartani dan Poespitamantjawarna. Memang, mungkin
saja C.F. Winter dan Hartevelt bersaudara membayangkan siswa di Surakarta itu
menerbitkan korannya, sebab isinya seolah-olah ditunjukan kepada siswa sekolah.
Berita dari berbagai daerah sejumlah artikel tentang ilmu atau fisika, perhatian kepada
subjek tertentu seperti berat udara, air dan berbagai jenis materi, jelas ditunjukan
untuk siswa sekolah guru, kalau tak bisa dikatakan untuk semua murid secara umum.
Namun untuk pembaca umum, Bromartani juga menyuguhkan topik-topik seperti
berita kamatian, berita kelahiran, obral, lelang, maklumat pemerintah, penunjukan dan
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.28.
42 Ahmat B. Adam. .
43 Kroeskamp, H.1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of Experiments in
School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum.hlm.304.
16
mutasi pejabat serta berbagai artikel tentang perkembangan pertanian, industri,
hikayat dan berita-berita yang menggugah minat pembaca tentang peristiwa-peristiwa
dunia. Berita lokal dan disekitar Surakarta juga dimuat. Pada 1856, misalnya surat
kabar tersebut melaporkan secara rinci upacara penobatan sultan Yogyakarta yang
baru, Hamengku Buwono VI. Surat kabar itu juga memuat iklan, pengumunan lelang,
serta jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal.44
Sampai akhir abad ke-1856 jumlah pelanggan surat kabar tersebut tak lebih
dari 290 sehingga penerbit mengumumkan, kelak mereka akan menghadapi
kesulitan.45
Karena
tidak
mampu
menarik
pelanggan,
Hartevelt
terpaksa
menghentikan penerbitan sebab, sebagai usaha bisnis, surat kabar tersebut telah gagal.
Edisi terakhir Bromartani terbit pada 23 Desember 1856, tetapi penerbit menyatakan
harapan mereka bahwa penghentian ini hanya bersifat sementara dan bahwa akan ada
pihak yang lain yang melanjutkan. Penerbit pun berharap kelak isinya lebih
berkembang. Ternyata, surat kabar itu tidak terbit lagi hingga 1871, ketika penerbitan
di Surakarta, P.F. Voorneman, menerbitkan lagi Bormartani dengan kop yang sama,
dan tarif berlangganan rata-rata 12 gulden pertahun.46
Pada 1856, ketika Bormartani memasuki tahun kedua penerbitannya, seorang
penerbit di Surabaya, E.Fuhri menerbitkan surat kabar pertama berbahsa Melayu di
Indonesia, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe. Penerbitan diumumkan oleh De Oostpost,
sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang beredar di Surabaya. Edisi pertama Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe yang berorientasi komersial itu terbit pada 5 Januari 1856,
dan penerbitnya menjanjikan terbit setiap Sabtu. Karena berorientasikan komersial,
pemvaba surat kabar tersebut diperkirakan komunitas pedagang Tionghoa, serta
saudagar Arab dan pribumi di kota. Oplahnya yang pasti tidak diketahui, tetapi
pembacanya tidaklah lebih banyak dari tiga sampai empat ratus orang dan mungkin,
sebabnya surat kabar ini gagal mendapatkan pelanggan yang menyebabkan berhenti
terbit setelah edisinya yang ke-13, artinya hanya bertahan sekitar tiga bulan.
Kematiannya mungkin sebagian disebabkan karena tak pernah meiliki seorang editor
permanen. Meskipun menggunakan bahasa Melayu rendah, surat kabar ini gagal
menjaring cukup pelanggan untuk bertahan.47
44 Ahmat B. Adam.Ibid.hlm.31.
45 Hartevelt.1856. Gebroeders Hartevelt en Co. Brosur yang dilampirkan pada Bromartani, edisi
Agustus 1856.
46 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.32.
17
Tahun 1856 bukan hanya tahun munculnya surat kabar, tetapi juga penerbitan
berkala berbahasa Melayu yang pertama di Hindia. Jurnal bulanan ini, Bintang
Oetara, terbit perdana pada 5 Februari 1856. Diterbitkan oleh H.Nygh di Rotterdam,
jurnal ini mula-mula dipimpin oleh P.P Roorda van Eysinga, profesor filologi di Delft,
yang konon jatuh cinta pada ragam bahasa Melayu Tinggi seperti digunakan, misalnya
di Padang dan Palembang. Setelah P.P Roorda van Eysinga wafat, putranya W.A.P
Roorda van Eysinga, yang kemudian memimpin Bintang Oetara menyatakan, karena
penebitan berkala itu punya pasar yang bagus di Jawa, ia akan mencoba menggunakan
ragam bahasa Melayu yang lebih sederhana, yang disebutnya Melayu Luar.
Distributor penerbitan berkala ini adalah Lange dan Co., sebuah toko buku di
Batavia.48
Bintang Oetara, adalah penerbitan berkala yang berorientasi pada pencerahan,
yang menyediakan halaman-halamannya untuk hikayat Melayu dan Indo-Persia,
pantun, artikel pengetahuan umum dan reportase berbagai peristiwa di negeri-negeri
yang jauh, seperti Amerika dan Belanda. Muatan lain Bintang Oetara adalah
permainan catur,kuis dan teka-teki, cerita kiasan bergambar, fabel dan artikel tentang
tempat-tempat seperti Amsterdam, Instanbul, Prancis, Rusia dan Tiongkok. Sebagai
pemikat untuk pembaca pribumi, redaktur juga memuat cerita-cerita tentang ajaran
moral, misalnya tentang kehidupan Nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya dan
keluarganya. Bentuk sastra Melayu yang digunakannya ternyata menjadi rintangan
kelanjutan sirkulasinya, sebab orang Jawa dan Sunda sulit memahaminya. Sekali lagu
kekurangan pembaca memaksa sebuah penerbitan berkala dalam bahasa anak negeri
menghentikan penerbitannya dan menjelang pertengahan 1857, nama Bintang Oetara
tak lagi terdengar, meskipun isinya telah mencerahkan dan menghibur serta
menggugah para pembaca berbahsa Melayu.49
Sekitar setahun setelah kematian Bintang Oetara, Lange dan Co., pemilik toko
buku di Batavia yang bertindak sebagai agen jurnal, meluncurkan surat kabar sendiri
yang berbahsa Melayu Soerat Chabar Betawi. Rupanya pengalaman buruk dengan
Soerat Kabar Bahasa Melajoe tidak membuat mereka jera untuk mencoba
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Tetapi hidup Soerat Chabar Betawi
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.
48 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.
49 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm 34.
47 Ahmat B. Adam.
18
berlangsung singkat. Upaya membangun citra komersial demi menarik pembaca dan
pelanggan dari kalangan bisnis dan perdagangan di Batavia, tak membantu
mendapatkan pelanggan yang cukup untuk mendukung kehadirannya. Soerat Chabar
Betawi harus menghentikan penerbitannya pada 1858, dan kehadirannya sudah
dilupakan oleh dunia pers pada tahun berikutnya.50
Periode antara 1855 dan 1860 menandai fase pertama sejarah pers di
Indonesia. Itulah periode eksperimentasi bagi para penerbit yang giat mendirikan pers,
dan lahan ujinya adalah kota-kota Surakarta, Surabaya dan Batavia. Pada periode itu
terbit tiga surat kabar mingguan dan dua penerbitan berkala. Kendari semua berusia
singkat dan keberadaannya didera oleh sedikitnya pelanggan, potensi pers itu untuk
menemukan “rumah”-nya di kora-kota provinsi tak bisa diabaikan, terlebih jika
pendidikan lebih tersebar diantara penduduk asli Hindia. Pertumbuhan sekolah dan
pusat pendidikan guru pada dasawarsa berikutnya ternyata menunjang pertumbuhan
pers dalam bahasa anak negeri di Hindia Belanda.51
1.2.2. Pertumbuhan pers berbahasa anak negeri , 1860-1873
Periode antara 1863 dan 1871 adalah titik balik yang menentukan kebijakan
pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan. Jumlah sekolah untuk anak pribumi
segera bertambah dan ditunjuklah seorang inspektur pendidikan pribumi. Sejak 1867,
departemen pendidikan, kepercayaan masyarakat dan industri mengambil alih
pengelolaan pendidikan secara terpusat di Jawa, pada periode anatar 1849 dan 1871
berdiri 77 sekolah pemerintahan.52 Yaitu sekolah-sekolah kabupaten, sekolah
pemerintah kebanyakan terdapat di Semarang, Surabaya, Surakarta dan Batavia.
Untuk pulau berpenduduk padat seperti Jawa, jumlahnya sangat kecil.53
Pembukaan jaringan telegram pada 1856 dan diperkenalkan jasa pelayanan
pos yang modern pada 1862, diikuti oleh pembukaan jakur kereta api yang pertama
pada 1867, secara tidak langsung memfasilitasi perkembangan pers. Pelayanan pos
jauh lebihj mempermudah dan mempercepat para penerbit mengirimkan surat kabar
mereka kepada para pelanggan serta menerima berita tulisan dari koresponden.
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.
51 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.
52 Kroeskamp, H. 1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of
Experiments in School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum.hlm.331.
53 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.36-37.
50 Ahmat B. Adam.
19
Pelayanan telegram menyebabkan redaktur dapat menerima berita dan laporan dari
sumber-sumber pemerintah dan redaktur surat kabar yang lain. Semua ini,
berbarengan dengan pertumbuhan sekolah pribumi di Jawa dan pulau-pulau lainnya,
membuka babak kedua sejarah pers di Hindia Belanda. 54
Dasawarsa antara 1860 dan 1870 adalah periode konsolidasi bagi pers. Dari
lima surat kabar di Jawa ( Bintang Timor, Selompret Melajoe, Djoeroemartani,
Bintang Barat dan Biang-Lala) dan satu di Minahasa (Tjahaja Siang), Bintang Timor
dan Selompret Melajoe yang paling hidup, dan karena itu paling populer. Berita dari
kedua surat kabar ini sering dimuat kembali oleh koran lainnya.
Menjelang awal 1870-an pers dalam bahasa anak negeri telah meneguhkan
pijakannya di kota-kota penting di Jawa dan luar Jawa. Pada tahun awal terbit
sejumlah surat kabar dana penerbitan berkala yang mencerahkan dengan
kecenderungan bahasa dan sastra yang dipimpin oleh orang Belanda dan Indo,
sedangkan pada tahun 1860-an dan 1870-an pers berkembang lebih bersifat komersial
dan brorientasi misi. Selama periode ini, pertumbuhan dan ekspansi pers berlangsung
lebih cepat di kota-kota pesisir, yakni kawasan permukiman para pembaca multirasial
dan lingkungan urban kosmopolitan. Di kota-kota bandar pula ragam bahasa Melayu
rendah berkembang dan menjadi medium pers, kendati bahasa Jawa tetap berfungsi
sebagai bahasa sejumlah surat kabar yang terbit di Vorstenlanden (Yogyakarta dan
Surakarta).
Periode 1870-an dan sesudahnya akan memetakan perkembangan baru pers
berbahasa anak negeri. Pentingnya pertumbuhan itu kini ditandai tidak hanya oleh
bertambahnya penerbit dan editor, tetapi juga oleh minat yang diperhatikan pembaca
dari berbagai latar belakang. Perkembangannya dimasa depan akan tergantung tidak
hanya pada upaya para penerbit Belanda dan Editor Indo, tetapi juga pada partisipasi
golongan Tionghoa peranakan dan orang Indonesia. Namun, para editor Indo-lah yang
pertama-tama menunjukkan cara mengelola surat ,kabar dan menggunakannya
sebagai agen perubahan sosial.
1.3.
Pembredeilan Pers dan Penyebabnya
Penguasa negara merumuskan kebijakan yang mengatur kehidupan pers sejak zaman
kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan pa
di mana pada saat itu kemerdekaan masih belum Indonesia miliki, hingga pers menjadi salah
satu yang sangat penting bagi Negara Indonesia sendiri seperti sekarang ini . Walaupun
demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun,
mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai berita
kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam
menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi,
orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal
ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya,
selalu disimpan untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain media masa dimasa itu telah
dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di
negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di
Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka
kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20
sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang
Belanda dalam pendokumentasian ini. Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en
Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah
memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni
tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu
macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.
KATA KUNCI :Awal Perkembangan Pers Di Indonesia.
1
A.
Latar Belakang
Di Indonesia, pers memiliki andil besar dalam pergerakan kemerdekaan
nasional. Pers Indonesia pada awal perkembangannya memusatkan perhatian terhadap
masalah masalah yang timbul dalam masyarakat kolonial dengan ketegasan membela
kepentingan tujuan pergerakan nasional. Bahkan pers nasional bertindak sebagai
oposisi dari pers kolonial, yang lebih mengutamakan kepentingan. pemerintah Hindia
Belanda. Pers nasional setidaknya memiliki sejarah panjang sebagai institusi
pemberdaya masyarakat serta alat perjuangan bangsa. Pers berasal dari bahasa
Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press.1
Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran
secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Definisi pers yaitu, suatu lembaga sosial
dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan jenis media dan segala jenis saluran yang
tersedia. Dan
Indonesia pun ialah Negara penganut sistem demokrasi. Sebelum menganut sistem
pers ini , Negara kita mengalami beberapa revolusi dalam bidang pers. Tak dapat
dipungkiri pengaruh pers di negara kita sangat besar. Keberadaan kaum pers di
Indonesia baik buruknya selalu menjadi kelompok yang memiliki peran yang cukup
besar bagi Negara ini.
Sepak terjang kaum dari pers pun sering kali menjadi hal yang controversial di
dunia informasi, dan sering menjadi pula pihak pers menjadi korban atas kejelasan
bukti yang mereka ungkapkan mengenai tokoh-tokoh informan. Perkembangannya
pun juga temasuk sangat kompleks, pers di Indonesia terbagi beberapa periode
dimana satu periode ,mewakili satu era/masa dimulai dari pers di masa kolonial VOC.
Di Indonesia, aktifitas junalistik dapat dilacak jauh kebelakang sejak penjajahan
Belanda. Pers mulai dikenal abad ke-18 tepatnya pasa 1744, ketika sebuah surat kabar
bernama Bataviasch Nouvelles diterbitkan dengan pengunaan orang-orang Belanda.
Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti
dokumentasi, segala hal ikhwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya
maupun di negeri jajahannya selalu disimpan sebagai keperluan.2
1 Reny ,Triwardani.(2010). Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Prespektif Politik Media (Online)
Tersedia: http:// www.google.com/jurnal-awal-pers/reny.html. Diakses pada tanggal 17 September
2014.
2 Reny ,Triwardani.(2010). Pembreidelan Pers di Indonesia dalam Prespektif Politik Media (Online)
Tersedia: http:// www.google.com/jurnal-awal-pers/reny.html. Diakses pada tanggal 17 September
2
Dalam makalah ini akan membahas tentang awal perkembangan pers di
Indonesia, yang akan dibagi menjadi tiga bagian. Bab pertama pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, studi terdahulu dan pentingnya tulisan. Bab kedua
tentang pembahasan seperti awal perkembangan pers di Indonesia dan Bab ketiga
tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan implikasi.
B. Pentingnya Tulisan
Makalah ini memberikan informasi akan sejarah awal perkembangan pers di
Indonesia, yang penting untuk dikaji. Makalah menjabarkan / mendeskripsikan
perjalanan pers di Indonesia ,agar memberi kesan menggabarkan dan kita dapat
mengambil pelajaran dari sebuah peristiwa sejarah ini. Dan tujuan pers bukan cuma
sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, media masa disamping sebagai
alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga
punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan
rakyat pada umumnya.
1.1.
Awal Perkembangan Pers di Indonesia
Percetakan di Indonesia3 bermula pada kedatangan Belanda di kepulauan itu.
Peryumbuhan dan perkembangannya berjalan sejajar dengan ekspansi bertahap
kolonialisme
Belanda.4
Sejarahnya
dimulai
keteika
Verenigde
Nederlandsche
Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie (VOC) menyadari manfaat pers untuk mencetak
aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah. Pengenalan percetakan
2014.
3 Muller Kruger, Th.1969. Indonesia dan orang-orang Indonesia, dalam:S. Ichimura dan
Koentjaraningrat (ed.), Indonesia: Masalah dan Peristiwa; Bunga Rampai. hlm. 1-25.
4 Ricklefs, M.C.1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792, A History of the Division of
Java. London: Oxford University Press.hlm 14.
3
itu juga diprakasai oleh para misionaris Gereja Protestan Belanda yang menggunakannya
untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah untuk keperluan penginjilan.
Para minoritas Gereja itu jugalah mula-mula berusaha memperkenalkan percetaka
Hindia-Belanda dengan membeli sebuah mesin cetak dari Belanda pada 1624. Namun,
karena tak ada tenaga terampil yang menjalankannya, mesin cetak itu pun menganggur
belaka. Guna memenuhi kebutuhan tenaga pencetak untuk menertibkan pencetak untuk
menertibkan kitab keagamaan dan traktat-traktat, pengurus Gereja mengusulkan kepada
pemerintah pusat di Batavia untuk mencari dab menugaskan seorang tenaga operator
terampil dari Belanda. Tetapi upaya memperkenalkan percetakan tidaklah terwujud
hingga 1659 sampai seseorang bernama Kornelis Pijl memprakasai percetakan dengan
memproduksi sebuah Tijkboek, yakni sejenis almanak, atau “buku waktu”.5
Setelah itu tidak ada percetakan hingga 1667, yaitu ketika pemerintah pusat
berinisiatif mendirikan sebuah percetakan dan memesan alat cetak yang lebih baik
termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf. Produk pertama percetakan ini
adalah Perjanjian Bingaya, yaitu perjanjian perdamaian yang ditandatangani Laksamana
Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di Makassar pada 15 Maret 1668. 6 Dokumen
ini dicetak oleh Hendrick Brant yang pada Agustus 1668 mendapat kontrak mencetak dan
menjilid buku atas nama VOC.7 Menurut kontak itu, Brant mendapat upah 86 dollar, yang
dibayarkan secara mencicil, tapi percetakan tetaplah kepunyaan kompeni. Brant diberi
hak sebagai pencetak tunggal untuk Batavia dan VOC selama tiga tahun. Tak lama
kemudian, ia menjalin kerja sama dengan Jan Bruyning. Percetakan itu terletak di
Prinsestraat, Batavia.
Setelah kontrak dengan Brant berakhir pada 16 Februari 1671, VOC menandatangani
kontrak baru dengan Pieter Overwater dan tiga pegawai kompeni lainnya. Percetakan ini (
kontraknya berlaku hingga 1695) dinamakan Boeckdrucker der Edele Compagnie
(pencetak buku Kompeni).8 Kemudian , nama-nama lain muncul sebagai pencetak resmi
VOC. Tapi, tokoh yang paling penting adalah seorang mantan pendeta, Andreas
Lambertus Loderus, yang pada 1699 mengambil alih percetakan itu untuk didayagunakan
secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa Belanda, Melayu dan Latin lahir
5 Graaf, H.. J de. 1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern Hemisphere.
Amsterdam: Bangent, hlm. 12.
6 Chijs, J.A. van der.1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke-39, 1
Batavia.hlm.2.
7 Isa, Zubaidah.1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana
University).hlm.13.
8 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana. ( Desertasi, Indiana
University).hlm 16.
4
dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin –Belanda-Melayu yang disusun oleh
Loderus sendiri.
Walaupun para pencetak di batavia tersebut diatas telah diberi kontrak bekerja untuk
VOC, pemerintahan pusat tetap merasa perlu mendirikan percetakan sendiri di benteng (
kasteel, kastil) Batavia untuk mencetak dokumen-dokumen resmi. Percetakan ini baru
terwujud pada 1718 setelah personel dan peralatannya tiba dari Belanda. Dengan
berdirinya percetakan pemerintahan ini, pencetak di Batavia tadi hanya diperbolekan
mencetak pesanan swasta, sedangkan semua cetakan resmi diserahkan kepada percetakan
pemerintah.
Keberadaan dua percetakan pada tahun-tahun pertama abad ke-18 itu menandakan
bahwa percetakan akan berperan penting di Hindia Belanda dan akan secara tetap
digunakan untuk “menghemat tenaga penulis pengganda”9.Namun sementara percetakan
cukup aktif mencetak dokumen dan buku-buku Kompeni untuk para pegawainya, tidak
terlihat upaya menertibkan surat kabar sampai sekitar 120 tahun setelah sebuah
percetakan berdiri di Batavia.
Sebelum surat kabar pertama muncul, sebuah laporan berkala para saudagar dalam
tulisan tangan, Memorie der Nouvelles, telah beredar. Laporan berkala ini sebetulnya
merupakan kompilasi berita dan saripati surat-surat, semuanya menggunakan tulisan
tangan. Dalam bentuk lembaran, laporan ini diedarkan dikalangan pegawai VOC yang
bertugas jauh dipelosok, yang sangat haus akan berita. Penyebaran berita seperti ini
konon sudah ditempuh oleh Jan Pieterazoon Coen pada 1615. 10 Baru pada 1744, dibawah
pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, surat kabar tercetak
pertama lahir dari Benteng. Nomor contoh surat kabar itu Bataviase Nouvelles, muncul
pada 8 Agustus 1744. Bataviase Nouvelles hanya terdiri dari selembar kertas berukuran
folio yang kedua halamannya masing- masing berisi dua kolom. Pembaca diberi tahu
bahwa mereka bisa mendapatkannya setiap senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan
milik Kompeni di Benteng.11
Selain membuat maklumat pemerintahan, surat kabar itu juga menyisipkan iklan yang
biasanya berisi pengumuman lelang. Surat kabar itu akhirnya diberi petunjuk untuk
menghentikan penerbitannya pada 20 Juni 1746, setelah baru menikmati dua tahun
keberadaannya, meskipun penerbitnya, Jordens, telah mendapat jaminan izin terbit selama
9 Graaf, H. J de 1969.‘Indonesia’,
dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern
Hemisphere. Amsterdam: Bangent.hlm. 13.
10 Wormser, C.W. (s.a.)a. Drie en dertigjaren op Java. Jil. III: In het dagbladwezen. Amsterdam:
W.ten Have. Hlm.6.
11 Faber, G.H. von.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff.hlm.15.
5
tiga tahun. Surat kabar pertama yang pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia
adalah Vendu Nieuws, yang terbit pada 1776, tiga dasawarsa setelah Batviase Nouvelles.
Diterbitkan oleh L. Dominicus, pencetak di Batavia, Vendu Nieuws sebetulnya
merupakan media iklan minggua, terutama mengenai berita lelang. Dikenal oleh
masyarakat setempat sebagai “Soerat lelang”, koran ini juga memuat ,maklumat
penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan.
Vendu Nieuws merupakan surat kabar kedua dan terakhir yang terbit selamat masa
VOC. Vendu Nieuws menghentikan penerbitannya pada 1809 semasa pemerintahan
Jenderal Herman Willem Daendels yang menjabar Gubernur membeli percetakan sejak
1808 hingga 1811. Daendles membeli percetakan Kota dan menggabungkannya dengan
percetakan Benteng menjadi Landsrdrukkerij ( Percetakan Negara) yang masih terus
bekerja sampai pemerintahan kolonial berakhir. Percetakan resmi pemerintah itu
merangsang Daendels menertibkan media resmi pemerintah untuk mempublikasikan
kegunaan reformasi pemerintahannya di Jawa. Pada 15 Januari 1810 terbit edisi pertama
mingguan Bataviasche Koloniale Courant di Batavia. Diterbitkan dalam format kuarto
lebar, koran ini diasuh sejak 1788.12
Selama masa pemerintahan Inggris, Batavia menyaksikan terbitnya koran resmi yang
lain. Pada 29 Februari 1812, pemerintahan yang baru menerbitkan Java Government
Gazette, sebuah mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H.
Hubbard. Isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Namun, surat
kabar ibi pun memuat berita-berita dari Eropa dan berbagai artikel tentang kehidupan dan
adat istiadat anak negeri.13 Tetapi, surat kabar ini pun berhenti terbit sewaktu Belanda
kembali berkuasa pada 1816, namun segera digantikan oleh Bataviasche Courant yang
terbit pada 20 Agustus 1816. Dua belas tahun kemudian , surat kabar ini berganti nama
menjadi Javasche Courant.14
Koran-koran resmi pemerintah tampaknya hanya berhasil mendapatkan beberapa
pelanggan (mengikat peredarannya). Dan baru pada 1831 muncul surat kabar partikelir
yang pertama. Lahirnya surat kabar yang terlambat ini mungkin akibat sedikitnya orang
di Hindia Belanda yang bisa membaca. Lagi pula, kecuali percetakan milik pemerintah
dan misionaris, sangat sedikit percetakan yang diupayakan pihak swasta. Salah satu
12 Faber, G.H. von.1930.
A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff. hlm. 18.
13 Faber, G.H. von.
.1930. A Short History of Jurnalism in the Ducth East Indies. Sourabaya:
Kolff. hlm.29.
1969. ‘Indonesia’, dalam: Colin Clair, The Spread of Printing: Eastern
Hemisphere. Amsterdam: Bangent. hlm.29.
14 Graaf, H.J. de.
6
kendalanya adalah kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tetapi, lebih
penting dari itu adalah ketiadaan tenaga ( kompositor) terampil. Karena percetakan
misionaris menjadi satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetakmencetak selama abad ke- 18.
1.1.1. Percetakan Misionaris
Setelah gagal mencoba mendirikan percetakan misionaris yang pertama di
Batavia pada 1624, komunitas gereja tidak lagi punya kesempatan mengoperasikan
mesin percetakan hingga 119 tahun kemudian, ketika pada 1743 Seminarium
Theologicum di Batavia memperoleh satu unit alat percetakan. Tidak banyak yang
diketahui tentang nasib percetakan ini, tetapi ada laporan, percetakan itu pernah
menertibkan perjanjian baru dan beberapa buku doa dalam terjemahan Melayu.15
Hidupnya pun Cuma sebentar, sebab pada 1755 percetakan itu dipaksa bergabung
dengan Percetakan Benteng.16 Percetakan misionaris terhadap percetakan tentu jelas
sekali.
Percetakan
penting
dalam
pekerjaan
penginjilan,
terutama
untuk
pmemublikasikan kepustakaan Kristen dan penerjemahan Injil serta katekismakatekisma keagamaan. Percetakan juga merupakan aset yang berharga dalam upaya
menyebabkan kemampuan membaca dan pendidikan gereja di kalangan anak-anak
pribumi.
Jumlah misionaris di Hindia berfluktuasi selama pemerintahan VOC,17 tapi
terus bertambah setelah 1800. Juga setelah VOC bubar, usaha percetakan yang
digunakan kalangan misionaris kian bertambah.18 Kegiatan misionaris semakin
menonjol setelah tebentuknya Nederlandsch Zendelingen Genootschap19 pada 1797
pada 1831, sebagian besar rintangan misionaris protestan dapat diatasi, yang
berpuncak pada didirikannya sejumlah pos mini Protestan. Menjelang pertengahan
abad ke-19, perhatian misionaris dibidang percetakan melebar ke penerbitan surat
kabar dalam bahasa anak negeri.
1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke- 39,
1 Batavia.hlm.7.
16 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.22.
17 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
18 Isa, Zubaidah. 1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970. Indiana.
( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
15 Chijs, J. A. Van der.
19 Zwemer, S.M.1911. Islam and Christianity in Malaysia. The Modern Word.Jil. ke—1.hlm.243.
7
Percetaka pertama milik misionaris adalah kepunyaan Joseph Kam, yang tiba
dikepulauan Maluku pada 1813. Percetakan misi yang paling terkenal adalah
percetakan seminari yang didirikan Walter Henry Medhurst. Sebagai misionaris yang
tertarik pada dunia cetak-mencetak, Medhurst menerbitkan produk dalam bahasa
Inggris, Belanda ,Cina, Jepang dan Melayu. Pada 1828 percetakan itu menggunakan
litografi dan demikian produktifnya hingga antara 1823 dan 1842 telah menerbitkan
total 189.294 cetakan dari berbagai karya. Penerbitan ini meliputi khotbah, bagianbagian dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebuah kamus dan beberapa pamflet
sekular dari berbagai jenis.20
Percetakan misi lainnya yang juga aktif pada abad ke- 19 meliputi sejumlah
percetakan yang terdapat di Ambon, Tohoman, Tondano,Kupang dan Banjarmasin.
Lembaga misoinaris aktif mencetak buku-buku keagamaan dan kepustakaan gereja
pada umumnya, dan baru pada paruh kedua abad ke-19 masuk ke dunia penertiban
surat kabar. Mungkin itu disebabkan oleh ketatnya peraturan sensor untuk percetakan
sebelum undang-undang percetakan direvisi pada 1856. Betapapun ,prioritas utama
misionaris adalah menyebarkan penertiban keagamaan dan buku-buku pendidikan
untuk sekolah misi mereka.21
1.1.2. Munculnya koran berbahasa Belanda
Kuartal kedua abad ke-19 membuka sebuah babak baru persurat kabaran di
Hindia Belanda. Periode ini ditandai dengan munculnya percetakan milik swasta dan
tampilannya koran yang diusahakan oleh swasta. Pada 1825, Landsdrukkerij
menertibkan Bataviaasch Advertentieblad di Batavia. Surat kabar lain berorientasi
komersial, Nederlandsch Indisch Handelsbland, juga terbit di Batavia pada 1829.
Tetapi, penerbit dan percetakannya tak diketahui, kendati bisa dipastikan surat kabar
ini tidak dicetak di Percetakan Negara.22 Di Surabaya muncul surat kabar pertama
dalam bentuk mingguan, Soerabayasche Courant pada 1837, mungkin diterbitkan
oleh C.F. Smith, yang sekitar 1834 membeli sebuah percetakan dari H.J. Domis,
residen Semarang, Pasuruan dan Surabaya antara 1827 dan 1834, sebelum pensiun
dan pulang ke Belanda. Pada 1845, di Semarang juga terbit mingguan media
1972. Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970.
Indiana. ( Desertasi, Indiana University). hlm.19.
20Isa, Zubaidah. Isa, Zubaidah.
21 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hlm.11.
22 Chijs, J.A. van der. 1880.’ Proeve eener Nederlandsch Indische Biblographie (1659-1870);
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen. Jil. Ke 39,
1 Batavia. hlm. 57-61
8
pengiklan dengan nama Semarangsch Advertentieblad, yang pada 1852 berganti
menjadi De Locomotief. Semarangsch Advertentieblad ini menyaksikan terbitnya
sebuah surat kabar lagi, Semarangsche Courant.
Pada paruh kedua abad ke-19, Semarang menjadi pusat industri surat kabar
yang penting, yang bersaing ketat dengan Surabaya dan Batavia dalam menerbitkan
surat kabatr termuka berbahasa Belanda dan Melayu. Sebagai kota pelabuhan pusat
lalu lintas pengapalan hasil pertanian, Batavia, Semarang dan Surabaya cenderung
menarik saudagar dan pedagang berbagai bangsa. Mereka membutuhkan media
pengiklanan, bukan hanya untuk memasarkan komoditas mereka tetapi juga
mengetahui harga terakhir di pasar serta informasi mengenai kedatangan dan
keberangkatan kapal dan benda pos. Demikianlah pertama kali muncul di kota-kota
besar tersebut pada dasawarsa terakhir abad ke- 19 koran ( secara populer pada masa
itu dikenal dengan surat kabar berita dan iklan itu). Sebelum 1856, tidak kurang dari
16 surat kabar, baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta mundul di Hindia
Belanda.
Semua surat kabar dan berkala yang terbit sebelum 1855 menggunakan bahasa
Belanda. Tingginya tingkat buta huruf di kalangan pribumi menyebabkan penerbitan
dalam bahasa anak negeri sulit dibayangkan pada periode ini. Walaupun penduduk
muslim umumnya mengikuti pendidikan agama tradisional di pesantren dan langgar,
kemampuan baca tulis di kalangan penduduk terbatas pada kemampuan membaca
teks-teks Arab, yang lebih sering dikutip tanpa pemahaman. Meskipun orang Jawa
mempunyai tradisi sastra, akses ke sana dimonopoli oleh lapisan atas masyarakat dan
biasannya terbatas pada para penulis keraton. Upaya pertama memperkenalkan bentuk
pendidikan Barat kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaris, didalam
karya penginjilan mereka, dengan mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan
membaca dan menulis dalam bahasa Arab Melayu dan Rumi. Hingga 1850, perhatian
pemerintah terhadap pendidikan pribumi hanya terbatas pada pribumi Kristen di
Maluku.23
Sekolah pertama yang dikelola oleh lembaga gerejawi VOC kebanyakan
didirikan di Ambon, dimana bahasa Belanda digantikan oleh bahasa Melayu sebagai
alat pengajaran pada sekitar dasawarsa ketiga abad ke-18. Mecoloknya peningkatan
bahasa Melayu sebagai lingua franca di Hindia Belanda membantu pertumbuhan dan
perkembangan pers berbahasa Melayu pada paruh kedua abad ke-19. Karena itu, latar
23 Manual. 1918. A Manual of Nedherlands India ( Dutch East Indies). Naval Staff Intelligence
Departement.hlm.139.
9
belakang sejarah perkembangan bahasa Melayu, seperti yang digunakan di sejumlah
kota besar, dimana kegiatan cetak-mencetak sangat aktif, patut mendapat perhatian.24
1.1.3. Perkembangan bahasa “Melayu rendah”
Ragam bahasa Melayu percakapan tersebut adalah jenis yang sederhana, yang
biasanya dikenal sebagai bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Ragam bahasa
Melayu inilah yang umumnya digunakan dalam pergaulan antara pribumi dan
pendatang.25 Di Batavia, ragam bahasa ini menjalani sejarahnya sendiri cukup
dipengaruhi oleh kehadiran Portugis dan Belanda, varian ini kemudian disebut
Melayu Betawi.26 Banyak orang non-Melayu menggangap ragam Melayu Betawi
paling mudah diterima karena kelenturannya dalam menyerap kata asing, bahkan
dalam sintakis.27
Di pulau-pulau luar Jawa, ragam Melayu rendah juga memiliki keunikan
tersendiri. Di Minahasa ragam itu dinamakan Melayu Menado, sebuah varian yang
berkembang sebagai akibat penggunannya di gereja dan sekolah-sekolah. Di
kepulauan Maluku, bahasa Melayu menemukan bentuknya yang lain. Berkat
pemakaiannya oleh para misionaris sebagai bahasa gereja dan pendidikan , bahasa ini
diterima luas oleh masyarakat luas. Di Jawa, apa yang dikenal sebagai Melayu Betawi
di kota-kota lain disebut juga Melayu rendah, atau bahasa Melayu adukan
( campuran ), Melayu kaun dan Melayu pasar. Ragam ini merupakan bahsa yang
dipahamiu oleh orang kebanyakan dari berbagai suku disejumlah kota dan bandar
perniagaan.
Belanda, karena dipaksa keadaan, sejak jaman VOC sudah menerima bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar tak resmi serta sebagai bahasa administrasi dan
perdagangan. Meskipun demikian, tetap saja ada kontroversi mengenai ragam bahasa
Melayu mana yang sebaiknya dianjukan dan dipopulerkan. Kontroversi ini berlanjut
hingga pertengshsn abad ke-19. Meskipun para misionaris dan orang awam lebih
akrab dengan apa yang disebut Melayu rendah, para penguasa administrasi tratif di
Batavia, bahkan sejak jaman VOC, selalu menganjurkan bentuk bahasa Melayu yang
lebih murni yaitu Melayu tinggi. Menjelang pertengahan abad ke-19, perkembangan
dan pertumbuhannya lebih terpacu ketika koran dan terbitan berkala dalam bahasa
24 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm. 14.
25 Crawfurd, John. 1852. A Grammar and Dictionary of the Malay Language with Preliminary
Dissertation.2 Jil. London.hlm.10.
26 Hoffman, John.1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901, Indonesia no.27.hlm.68.
27 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (18551913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm. 14-15.
10
Melayu rendah mulai bermunculan disejumlah kota dan kotapraja. Ragam ini bukan
hanya dipakai orang pribumi, tapi juga oleh orang Tionghoa, Eropa (tulen atau Indo),
Arab serta semua orang timur asing yang tinggal di Hindia dan bekerja di sektor
perdagangan.28
1.1.4. Masyarakat Kolonial
Mayoritas orang asing berkecimpung dalam berbagai kegiatan ekonomi,
memberi warna kota-kota besar pesisir di pulau Jawa, misalnya Batavia, Semarang
dan Surabaya. Kota-kota pesisir di pulau-pulau luar Jawa, misalnya Padang, Medan
dan Makassar, juga merupakan kota dagang utama yang menarik orang asing. Pada
1973, populasi warga asing di Jawa terdiri dari 27.448 Eropa, 153.186 Tionghoa,
5.608 Arab dan 16.456 orang nonpribumi lainnya. Daya tarik industri gula yang
menguntungkan dan pembukaan koloni untuk perusahaan swasta juga banyak
menggoda orang Belanda yang berstatus sosial bagus datang ke Hindia Belanda untuk
mencari peruntungan.29
Untuk mengetahui perkembangan pers pada paruh kedua abad ke-19, penting
menyimak asing, khususnya Eropa dan Tionghoa. Kedua komunitas inilah yang
menjadi pembaca surat kabar pada hari-hari pers di Hindia Belanda. Pelanggan surat
kabar berbahasa Belanda adalah para pejabat, pedagang dan warga sipil Eropa. Tetapi
untuk orang Tionghoa pedagang dan pemukiman di perkotaan, surat kabar perlu untuk
mempromosikan kepentingan bisnis dan perniagaan mereka sehingga, ketika surat
kabar berbahsa anak negeri mulai muncul, merekalah yang mendukung sirkulasinya
dengan menjadi pelanggan, bersama para priyai bergaji, alias pegawai pribumi pada
sekitar pertengahan abad ke-19, jumlah orang Tionghoa sudah cukup lumayan
dibeberapa kota penting di Jawa, yakni di Batavia, Semarang dan Surabaya. Di luar
Jawa kota-kota seperti Medan , Padang , Makassar dan Banjarmasin juga
berpenduduk Tionghoa cukup banyak. Orang Tionghoa ini menjebatani populasi
pribumi dengan orang Eropa lewat usaha dagang dan komersial, diantarannya menjadi
pengelola rumah candu, pegadaian dan rumah judi.
Ada dua kategori orang Tionghoa, sebagian bear orang Tionghoa di Jawa pada
abad ke-19 adalah peranakan yaitu mereka yang nenek moyangnya Tionghoa dan
28 Ahmat B. Adam..2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (1855-
1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.16.
29 Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (18551913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.18.
11
pribumi.30 Budaya peranakan, yang aslinya berkembang di Batavia dan Jawa, lambat
laut mengembangkan bahasa sendiri, campuran antara dialek Hokkien dan Melayu
Betawi.31 Menjelang pertengahan abad ke-19, mayoritas orang Tionghoa adalah
peranakan. Baru pada 1860-an orang Tionghoa didatangkan langsung dari negerinya
untuk keperluan tenaga kerja bagi perkebunan dan pertambangan di luar Jawa.32
Kelompok peranakan lain yang sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan surat kabar berbahasa anak negeri pada paruh kedua abad ke-19 adalah
komunitas Indo atau Indo-Eropa. Seperti peranakan Tionghoa , komunitas Indo ini
lahir dari perkawinan campuran atau pengendakan dengan pertemuan pribumi.
Meskipun secara resmi dikategorikan sebagai Eropa, orang Indo ini tetap mewarisi
dua budaya, Eropa dan Pribumi. Dari total 1800 orang Eropa di Jawa pada 1854,
sekitar 9.000 sesungguhnya adalah Indo. Seperti sudah diterangkan di atas dalam
hierarki masyarakat kolonial, orang Indo secara teoritis menikmati status setara
dengan Eropa. Kendati demikian dalam kenyataanya status orang Indo terutama
ditentukan oleh posisi ekonomi dan latar belakang pendidikannya. 33 Orang Indonesia,
mereka umumnya yang berbahasa Belanda atau Melayu rendah disebut sinyo atau
disingkat nyo. Secara kultural, mereka menyerap unsur-unsur dari budaya Eropa dan
Indonesia. Pada abad ke- 19 peringkat status mencerminkan menguatnya peran ras
dan kriteria pembedaan. Sementara orang Eropa berada dipuncak hierarki status
dalam masyarakat kolonial dan orang Timur asing ( meliputi Tionghoa, Arab ,India
dan orang asing lainnya).
Pada sekitar 1850 keadaan ekonomi penduduk pribumi di Jawa menyedihkan.
Meskipun cultuurstelsel (sistem tanam paksa) tampaknya menguntungkan elite
masyarakat Jawa, bagian terbesar populasi pribumi tidak memperoleh banyak dari
sistem itu.34 Kesulitan petani pribumi Jawa sudah kentara sejak menjelang 1840-an.
Pengetatan tanam paksa , yang bertujuan memacu produksi kopi, gula dan nila
berakibat pada pengabaian produksi beras. Secara tak meningkat tajam, sementara itu
wabah penyakit ternak terjangkit secara sporadis dan cuaca yang tidak bersahabat
30 Broek, J.O.M. 1942. Economic Development of the Netherlands Indies. New York: Institue of
Pacific Relations.hlm.25.
31 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial Capital.
Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.199.
32 Ahmat B. Adam. Ahmat B. Adam.2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran
Keindonesiaan (1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.19.
33 Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the East:The Metamorphosis of a Colonial
Capital. Berkeley. [Desertasi, University of California].hlm.149.
34 Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia. London:MacMillan.hlm.117.
12
membuat panen gagal serius, yang ,mengakibatkan kekurangan pangan yang gawat,
sehingga menimbulkan kelaparan dan epidemi sepanjang 1843 hingga 1849. 35
Penderitaan orang pribumi Jawa membuka mata banyak orang akan kegagalan besar
sistem pemerintahan.
Salah seorang yang mencela perlakuan kejam penduduk pribumi di bawah
Tanam Paksa adala W.R. Baron van Hoevell, editor Tijdschrift voor NederlandschIndie. Baron van Hoevell sendiri sudah bosan akan sewenang-wenangan pemerintah
yang mengontrol opini publik dan memberangus pers. Upayanya menyingkap
kegagalan Tanam Paksa melalui Tijdschrift sering dirintangi oleh apa yang
dianggapnya sebagai campur tangan pemerintah yang terang-terangan dan berkelanjut
dengan perundungan terhadap penerbitan berkala itu oleh Sekretariat Negara, yang
berkuasa atas hidup matinya penerbitan. Tentangan terhadap tanam Paksa juga mulai
muncul di Belanda, dibangkitkan oleh kalangan liberal di Majelis Tinggi. Menjelang
akhir 1840-an, perhatian terhadap manajemen negeri-negeri kolonial memang kian
meningkat di Parlemen Belanda. Keinginan membuka mata para anggota Majelis
Rendah akan berbagai kejadian di Hindia serta merta membawa kesadaran mengenai
perlunya mengubah undang-undang yang dirancang pada 1848.36
1.1.5. Perubahan UU 1848 dan pengumuman UU Pers
Pada 1848 reformasi konstitusional dilembagakan supaya Majelis Tinggi bisa
bersuara lebih banyak mengenai tata pemerintahan di Hindia Belanda, serta
menambah hak para anggota Partai Liberal dan Partai Kristen untuk mengkritik
dampak Tanam Paksa. Harapan akan perubahan tampaknya tidak hanya didukung
oleh para politikus Belanda, tapi juga kelas menengah yang menjadi sejahtera berkat
keuntungan ekonomi Belanda yang dipetik dari Jawa. Tekanan untuk mengganti
Tanam Paksa dengan perdagangan terbuka bermuara pada imbauan melakukan
liberalisasi yang lebih besar dalam ekonomi kolonial dan menghapuskan sejumlah
hambatan hukum yang membatasui usaha swasta secara berlebihan . terkait dengan
tuntutan untuk usaha swasta ini adalah kebutuhan akan kemerdekaan pers yang lebih
besar.37
35 Mansvelt, W.M.F. dan P. Creutzberg. 1978. Changing Economy in Indonesia: A Selection of
Statistical Source Material from the Early 19th Century up to 1940. Jil. Ke-4:Rice
Price.s’Gravenhage:Nijhoff.hlm.25
36 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.22.
13
Hasil agitasi untuk perubahan ke bentuk sistem pemerintahan yang didasarkan
pada prinsip-prinsip liberal ialah lahirnya konstitusi baru untuk Hindia Belanda, yang
disebut Regeerings Reglement pada 1854, konstitusi ini baru meliputi pasal 110
mengenai pers:
Penyeliaan terhadap pers oleh pemerintah harus diatur oleh ordonasi,
yang sesuai dengan prinsip bahwa publikasi gagasan dan sentimen oleh
pers dan izin memasukkan barang cetakan dari luar Belanda tidak dibatasi,
kecuali hal itu untuk menjamin ketertiban masyarakat.
Pasal ini tidak menetapkan bagaimana penyeliaan terhadap pers akan diatur,
tetapi bagaimanapun juga menghasilkan sebentuk penyeliaan preventif. Kegagalan
menaati peraturan tersebut akan membahayakan kelangsungan usaha sebuah
percetakan atau penerbit. UU Pers ini juga memberi kekuasaan kepada Gubernur
Jenderal untuk menutup sebuah percetakan yang dianggap melakukan pelanggaran
serius terhadap undang-undang. UU Pers yang terakhir ini tidak pernah dilaksanakan
hingga 1856, dan ketika muncul, banyak pihak yang berharap banyak akan
kemerdekaan Pers menjadi kecewa. Apa yang dituangkan dalam UU Pers 1856 dari
Resolusi Kerajaan 8 April 1856 (staatsblad 1854 No.74) tidak lebih sebuah undangundang
preventif
dan
represif.38
Pada
dasarnya
UU
Percetakan
atau
Drukpersreglement itu bertujuan mengintimidasi dan mengekang pers yang baru
mulai bangkit. UU itu dirancang untuk melumpuhkan kritik terhadap pemerintahan
kolonial melalui cara-cara preventif dan represif. Inilah latar belakang yang
menumbuhkan dan mengembangkan pers berbahasa anak negeri di Indonesia.39
1.2.
Asal Usul Pers Berbahasa Anak Negeri
Tinjauan terhadap sejarah awal surat kabar dan terbitan berkala bahasa anak negeri
serta peran orang yang terlibat di dalamnya memperlihatkan bahwa pada tahun-tahun
pertama penerbitan itu berangkat dari motivasi komersial, tetapi beberapa diantarannya
adalah oranf idealis, dan yang lain melihat pers sebagai alat yang bermanfaat untuk
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.22.
37 Ahmat B. Adam. .
38 Louter, J.de. 1914. Handboek van het staats- en administratief recht van Nederlandsch-Indie.
Amsterdam.hlm.161.
39 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta. hlm.24.
14
menjaring pengikut. Karena itu, beberapa dari mereka bertujuan terutama menyediakan
bahan bacaan bagi sejumlah sekolah pribumi dan lembaga pelatihan guru yang baru
berdiri, sementara misionaris Kristen mengupayakan penebitan brosur guna menyebarkan
agama mereka.
Jumlah pembaca dan isi ketiga jenis surta kabar dan penerbitan berkala ini yakni yang
komersial, yang idealis dan misionaris karena itu harus diteliti. Sementara itu
pertumbuhan pers di Jawa dan luar Jawa dari 1855 hingga 1873 harus
,mempertimbangkan pula penyebaran pendidikan model barat melalui sekolah-sekolah
pemerintah dan misi, serta peran pendidikan model baru itu dalam perkembangan pers
disini.
1.2.1. Para Pionir
Sejarah Pers berbahasa daerah di Indonesia dimulai ketika mingguan
berbahasa Jawa, Bromartani, meluncurkan penebitan perdanannya pada 25 Januari
1855. Dipimpin oleh C.F. Winter Sr.,40 dan putranya,Gustaaf Winter, surat kabar itu
terbit setiap kamis dari percetakan Hartevelt di Surakarta. Lingkungan di sekitar
kelahirannya cukup menarik, begitu pula hal-ikhwal yang memicu penebitan surat
kabar ini. Bromartani didirikan setelah UU tahun 1854 (Regeerings Reglement) yang
membayangkan kelonggaran peraturab pers di Hindia diumumkan. Tatkala surat kabar
itu terbit untuk pertama kalinya, UU Pers masih diperdebatkan oleh Parlemen
Belanda. Entah merupakan respon terhadap janji”kemerdekaan” pers yang disiratkan
oleh UU tahun 1854 atau hanya sebuah kebetulan , Bromartani lahir ditengah
pengharapan yang besar akan liberalisme pers hanya setahun sebelum UU Pers 1856
diperkenalkan. Namun, ketatnya UU Pers itu ketika akhirnya tersusun, hasruslah
ditempatkan dalam konteks masa itu, ketika kritik kaum Liberal terhadap sistem
Tanam Paksa Van den Bosch diangkat dan digaungkan oleh pers swasta Belanda yang
lahir di Hindia.41
Peraturan pers yang baru itu dimaksudkan untuk mematahlan kritik terhadap
pemerintahan kolonial tersebut. Meskipun demikian, dibanding dengan periode
sebelumnya, ketika pemerintah tidak mengubris dan karena itu bahkan tidak
mengakui, keberadaan pers, UU pers 1856 yang baru mungkin dapat dianggap
sebagai suatu kemajuan. Sebelumnya pemerintah mempunyai wewenang melarang
40 Encyclopaedae, Encyclopaedae van Nederlandsch-Indie. Cet 2.’s-Gravenhage: Nijhoff.
Leiden:Brill.Jil.4.hlm. 786.
41 Ahmat B. Adam. . 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.26.
15
barang cetakan apa saja semau-maunya, dan Gubernur Jenderal berkuasa penuh
mengusir siapa saja yang dianggap mengancam keamanan Hindia Belanda. Keadaan
ini pun menyebabkan tak seorangpun yang berani mengambil resiko menerbitkan
suatu sebelum meminta izin dari pemerintah. Jadi, kendai undang-undang yang baru
ini sangat ketat, beberapa orang melihatnya sebagai sedikit kemajuan, dan mungkin
untuk sebagian menjelaskan mengapa muncul sejumlah surat kabar baru milik swasta
termasuk Bromartani, surat kabar berbahasa daerah yang pertama.42
Sebenarnya Bromartani bukanlah satu-satunya publikasi berbahasa daerah
yang muncul pada Januari 1855. Secara stimulan muncul pula sebuah penerbitan
berkala, Poespitamantjawarna. Dipimpin dan diterbitkan oleh Gustaaf Winter, yang
menguasai bahasa dan sastra Jawa. Seperti Bromartani, Poespitamantjawarna
mungkin juga bisa dikategorikan sebagai penerbitan idealistis, dengan muatan sastra
dan pendidikan yang bertujuan menyajikan semacam dorongan belajar bagi pribumi
Indonesia. Baik Bromartani maupun Poespitamantjawarna menggunakan bahasa
kromo inggil, ragam bahasa Jawa tinggi. Ini tentu bukan sesuatu yang luar biasa,
sebab keduanya terbit dan beredar di kota Keraton Surakarta. Seperti Yogyakarta,
Surakarta, Ibu kita Kesultanan Surakarta dan Mangkunegaran, yang memiliki Keraton
Susuhunan dan Pangeran Adipati Mangkunegara adalah wilayah kebudayaan dan
tradisi Jawa. Kegiatan sastra di sebuah lembaga kajian bahasa Jawa, seperti Raden
Panji Puspowilogi dan Raden Ngabei Reksodiputro, bersama para ahli Eropa.43
Sekolah- sekolah di Surakarta itu segera menemui kesulitan memperoleh buku
yang layak untuk para muridnya. Karena itu , kepala sekolah guru, Palmer van den
Broek, yang selalu berusaha mengumpulkan bahan bacaan bagi para muridnya,
menyambut baik kelahiran Bromartani dan Poespitamantjawarna. Memang, mungkin
saja C.F. Winter dan Hartevelt bersaudara membayangkan siswa di Surakarta itu
menerbitkan korannya, sebab isinya seolah-olah ditunjukan kepada siswa sekolah.
Berita dari berbagai daerah sejumlah artikel tentang ilmu atau fisika, perhatian kepada
subjek tertentu seperti berat udara, air dan berbagai jenis materi, jelas ditunjukan
untuk siswa sekolah guru, kalau tak bisa dikatakan untuk semua murid secara umum.
Namun untuk pembaca umum, Bromartani juga menyuguhkan topik-topik seperti
berita kamatian, berita kelahiran, obral, lelang, maklumat pemerintah, penunjukan dan
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.28.
42 Ahmat B. Adam. .
43 Kroeskamp, H.1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of Experiments in
School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum.hlm.304.
16
mutasi pejabat serta berbagai artikel tentang perkembangan pertanian, industri,
hikayat dan berita-berita yang menggugah minat pembaca tentang peristiwa-peristiwa
dunia. Berita lokal dan disekitar Surakarta juga dimuat. Pada 1856, misalnya surat
kabar tersebut melaporkan secara rinci upacara penobatan sultan Yogyakarta yang
baru, Hamengku Buwono VI. Surat kabar itu juga memuat iklan, pengumunan lelang,
serta jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal.44
Sampai akhir abad ke-1856 jumlah pelanggan surat kabar tersebut tak lebih
dari 290 sehingga penerbit mengumumkan, kelak mereka akan menghadapi
kesulitan.45
Karena
tidak
mampu
menarik
pelanggan,
Hartevelt
terpaksa
menghentikan penerbitan sebab, sebagai usaha bisnis, surat kabar tersebut telah gagal.
Edisi terakhir Bromartani terbit pada 23 Desember 1856, tetapi penerbit menyatakan
harapan mereka bahwa penghentian ini hanya bersifat sementara dan bahwa akan ada
pihak yang lain yang melanjutkan. Penerbit pun berharap kelak isinya lebih
berkembang. Ternyata, surat kabar itu tidak terbit lagi hingga 1871, ketika penerbitan
di Surakarta, P.F. Voorneman, menerbitkan lagi Bormartani dengan kop yang sama,
dan tarif berlangganan rata-rata 12 gulden pertahun.46
Pada 1856, ketika Bormartani memasuki tahun kedua penerbitannya, seorang
penerbit di Surabaya, E.Fuhri menerbitkan surat kabar pertama berbahsa Melayu di
Indonesia, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe. Penerbitan diumumkan oleh De Oostpost,
sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang beredar di Surabaya. Edisi pertama Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe yang berorientasi komersial itu terbit pada 5 Januari 1856,
dan penerbitnya menjanjikan terbit setiap Sabtu. Karena berorientasikan komersial,
pemvaba surat kabar tersebut diperkirakan komunitas pedagang Tionghoa, serta
saudagar Arab dan pribumi di kota. Oplahnya yang pasti tidak diketahui, tetapi
pembacanya tidaklah lebih banyak dari tiga sampai empat ratus orang dan mungkin,
sebabnya surat kabar ini gagal mendapatkan pelanggan yang menyebabkan berhenti
terbit setelah edisinya yang ke-13, artinya hanya bertahan sekitar tiga bulan.
Kematiannya mungkin sebagian disebabkan karena tak pernah meiliki seorang editor
permanen. Meskipun menggunakan bahasa Melayu rendah, surat kabar ini gagal
menjaring cukup pelanggan untuk bertahan.47
44 Ahmat B. Adam.Ibid.hlm.31.
45 Hartevelt.1856. Gebroeders Hartevelt en Co. Brosur yang dilampirkan pada Bromartani, edisi
Agustus 1856.
46 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.32.
17
Tahun 1856 bukan hanya tahun munculnya surat kabar, tetapi juga penerbitan
berkala berbahasa Melayu yang pertama di Hindia. Jurnal bulanan ini, Bintang
Oetara, terbit perdana pada 5 Februari 1856. Diterbitkan oleh H.Nygh di Rotterdam,
jurnal ini mula-mula dipimpin oleh P.P Roorda van Eysinga, profesor filologi di Delft,
yang konon jatuh cinta pada ragam bahasa Melayu Tinggi seperti digunakan, misalnya
di Padang dan Palembang. Setelah P.P Roorda van Eysinga wafat, putranya W.A.P
Roorda van Eysinga, yang kemudian memimpin Bintang Oetara menyatakan, karena
penebitan berkala itu punya pasar yang bagus di Jawa, ia akan mencoba menggunakan
ragam bahasa Melayu yang lebih sederhana, yang disebutnya Melayu Luar.
Distributor penerbitan berkala ini adalah Lange dan Co., sebuah toko buku di
Batavia.48
Bintang Oetara, adalah penerbitan berkala yang berorientasi pada pencerahan,
yang menyediakan halaman-halamannya untuk hikayat Melayu dan Indo-Persia,
pantun, artikel pengetahuan umum dan reportase berbagai peristiwa di negeri-negeri
yang jauh, seperti Amerika dan Belanda. Muatan lain Bintang Oetara adalah
permainan catur,kuis dan teka-teki, cerita kiasan bergambar, fabel dan artikel tentang
tempat-tempat seperti Amsterdam, Instanbul, Prancis, Rusia dan Tiongkok. Sebagai
pemikat untuk pembaca pribumi, redaktur juga memuat cerita-cerita tentang ajaran
moral, misalnya tentang kehidupan Nabi Muhammad, sahabat-sahabatnya dan
keluarganya. Bentuk sastra Melayu yang digunakannya ternyata menjadi rintangan
kelanjutan sirkulasinya, sebab orang Jawa dan Sunda sulit memahaminya. Sekali lagu
kekurangan pembaca memaksa sebuah penerbitan berkala dalam bahasa anak negeri
menghentikan penerbitannya dan menjelang pertengahan 1857, nama Bintang Oetara
tak lagi terdengar, meskipun isinya telah mencerahkan dan menghibur serta
menggugah para pembaca berbahsa Melayu.49
Sekitar setahun setelah kematian Bintang Oetara, Lange dan Co., pemilik toko
buku di Batavia yang bertindak sebagai agen jurnal, meluncurkan surat kabar sendiri
yang berbahsa Melayu Soerat Chabar Betawi. Rupanya pengalaman buruk dengan
Soerat Kabar Bahasa Melajoe tidak membuat mereka jera untuk mencoba
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu. Tetapi hidup Soerat Chabar Betawi
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.
48 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.33.
49 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm 34.
47 Ahmat B. Adam.
18
berlangsung singkat. Upaya membangun citra komersial demi menarik pembaca dan
pelanggan dari kalangan bisnis dan perdagangan di Batavia, tak membantu
mendapatkan pelanggan yang cukup untuk mendukung kehadirannya. Soerat Chabar
Betawi harus menghentikan penerbitannya pada 1858, dan kehadirannya sudah
dilupakan oleh dunia pers pada tahun berikutnya.50
Periode antara 1855 dan 1860 menandai fase pertama sejarah pers di
Indonesia. Itulah periode eksperimentasi bagi para penerbit yang giat mendirikan pers,
dan lahan ujinya adalah kota-kota Surakarta, Surabaya dan Batavia. Pada periode itu
terbit tiga surat kabar mingguan dan dua penerbitan berkala. Kendari semua berusia
singkat dan keberadaannya didera oleh sedikitnya pelanggan, potensi pers itu untuk
menemukan “rumah”-nya di kora-kota provinsi tak bisa diabaikan, terlebih jika
pendidikan lebih tersebar diantara penduduk asli Hindia. Pertumbuhan sekolah dan
pusat pendidikan guru pada dasawarsa berikutnya ternyata menunjang pertumbuhan
pers dalam bahasa anak negeri di Hindia Belanda.51
1.2.2. Pertumbuhan pers berbahasa anak negeri , 1860-1873
Periode antara 1863 dan 1871 adalah titik balik yang menentukan kebijakan
pemerintah Hindia Belanda di bidang pendidikan. Jumlah sekolah untuk anak pribumi
segera bertambah dan ditunjuklah seorang inspektur pendidikan pribumi. Sejak 1867,
departemen pendidikan, kepercayaan masyarakat dan industri mengambil alih
pengelolaan pendidikan secara terpusat di Jawa, pada periode anatar 1849 dan 1871
berdiri 77 sekolah pemerintahan.52 Yaitu sekolah-sekolah kabupaten, sekolah
pemerintah kebanyakan terdapat di Semarang, Surabaya, Surakarta dan Batavia.
Untuk pulau berpenduduk padat seperti Jawa, jumlahnya sangat kecil.53
Pembukaan jaringan telegram pada 1856 dan diperkenalkan jasa pelayanan
pos yang modern pada 1862, diikuti oleh pembukaan jakur kereta api yang pertama
pada 1867, secara tidak langsung memfasilitasi perkembangan pers. Pelayanan pos
jauh lebihj mempermudah dan mempercepat para penerbit mengirimkan surat kabar
mereka kepada para pelanggan serta menerima berita tulisan dari koresponden.
2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.
51 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.35.
52 Kroeskamp, H. 1974. Early Schoolmasters in a Developing Country: A History of
Experiments in School Education in 19 th Century Indonesia. Assen : Van Gorcum.hlm.331.
53 Ahmat B. Adam. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
(1855-1913).PT.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.hlm.36-37.
50 Ahmat B. Adam.
19
Pelayanan telegram menyebabkan redaktur dapat menerima berita dan laporan dari
sumber-sumber pemerintah dan redaktur surat kabar yang lain. Semua ini,
berbarengan dengan pertumbuhan sekolah pribumi di Jawa dan pulau-pulau lainnya,
membuka babak kedua sejarah pers di Hindia Belanda. 54
Dasawarsa antara 1860 dan 1870 adalah periode konsolidasi bagi pers. Dari
lima surat kabar di Jawa ( Bintang Timor, Selompret Melajoe, Djoeroemartani,
Bintang Barat dan Biang-Lala) dan satu di Minahasa (Tjahaja Siang), Bintang Timor
dan Selompret Melajoe yang paling hidup, dan karena itu paling populer. Berita dari
kedua surat kabar ini sering dimuat kembali oleh koran lainnya.
Menjelang awal 1870-an pers dalam bahasa anak negeri telah meneguhkan
pijakannya di kota-kota penting di Jawa dan luar Jawa. Pada tahun awal terbit
sejumlah surat kabar dana penerbitan berkala yang mencerahkan dengan
kecenderungan bahasa dan sastra yang dipimpin oleh orang Belanda dan Indo,
sedangkan pada tahun 1860-an dan 1870-an pers berkembang lebih bersifat komersial
dan brorientasi misi. Selama periode ini, pertumbuhan dan ekspansi pers berlangsung
lebih cepat di kota-kota pesisir, yakni kawasan permukiman para pembaca multirasial
dan lingkungan urban kosmopolitan. Di kota-kota bandar pula ragam bahasa Melayu
rendah berkembang dan menjadi medium pers, kendati bahasa Jawa tetap berfungsi
sebagai bahasa sejumlah surat kabar yang terbit di Vorstenlanden (Yogyakarta dan
Surakarta).
Periode 1870-an dan sesudahnya akan memetakan perkembangan baru pers
berbahasa anak negeri. Pentingnya pertumbuhan itu kini ditandai tidak hanya oleh
bertambahnya penerbit dan editor, tetapi juga oleh minat yang diperhatikan pembaca
dari berbagai latar belakang. Perkembangannya dimasa depan akan tergantung tidak
hanya pada upaya para penerbit Belanda dan Editor Indo, tetapi juga pada partisipasi
golongan Tionghoa peranakan dan orang Indonesia. Namun, para editor Indo-lah yang
pertama-tama menunjukkan cara mengelola surat ,kabar dan menggunakannya
sebagai agen perubahan sosial.
1.3.
Pembredeilan Pers dan Penyebabnya
Penguasa negara merumuskan kebijakan yang mengatur kehidupan pers sejak zaman
kolonial. Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda dituangkan pa