Eksplorasi Protein dari Sponge Asal Perairan Pulau Nias dan Binuangeun yang Mengkatalisis Polimerisasi Silika

EKSPLORASI PROTEIN DARI SPONGE
ASAL PERAIRAN PULAU NIAS DAN BINUANGEUN
YANG MENGKATALISIS POLIMERISASI SILIKA

SITI NURJANAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

EKSPLORASI PROTEIN DARI SPONGE
ASAL PERAIRAN PULAU NIAS DAN BINUANGEUN
YANG MENGKATALISIS POLIMERISASI SILIKA

SITI NURJANAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul "Eksplorasi
Protein dari Sponge Asal Perairan Pulau Nias dan Binuangeun yang
Mengkatalisis Polimerisasi Silika" adalah karya sendiri di bawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, MSc., dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, 11 Januari 2006
Siti Nurjanah
NIM P055030011

Judul Tesis
Nama
NIM

: Eksplorasi Protein dari Sponge Asal Perairan Pulau Nias dan
Binuangeun yang Mengkatalisis Polimerisasi Silika
: Siti Nurjanah
: P055030011

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono
Ketua

Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc

Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Bioteknologi

Dr. Ir. Muhammad Jusuf

Tanggal Ujian : 12 Desember 2005

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc

Tanggal Lulus:

© Hak cipta milik Siti Nurjanah, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


ABSTRAK
SITI NURJANAH. Eksplorasi Protein dari Sponge Asal Perairan Pulau Nias dan
Binuangeun yang Mengkatalisis Polimerisasi Silika. Dibimbing oleh MAGGY T.
SUHARTONO dan EKOWATI CHASANAH.
Silika merupakan polimer dari silikon dioksida yang banyak digunakan
sebagai bahan dasar untuk pembuatan peralatan, antara lain filter agent, cutter,
polisher yang digunakan pada industri pangan; bahan pelapis alat-alat
semikonduktor dan elektronik; biochips, biosensor, kit analisis, stateskop dan
peralatan medis lainnya. Sponge (Filum porifera) merupakan organisme yang
secara alamiah dapat membentuk struktur silika yang padat dan sangat teratur
pada suhu kamar dan pH netral. Pembentukan silika ini terjadi dengan bantuan
protein silicatein. Di industri, proses pembentukan silika memerlukan kondisi
suhu dan tekanan tinggi, pH ekstrim dan penambahan bahan kimia yang dapat
mencemari lingkungan. Isolasi protein yang terlibat dalam pembentukan silika
pada sponge membuka peluang penggunaan katalis protein untuk membuat silika
secara invitro pada suhu yang relatif rendah dan pH netral.
Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan isolasi protein yang mengkatalisis polimerisasi silika
dari beberapa spesies sponge asal perairan Pulau Nias dan Binuangeun serta

menganalisis aktivitasnya terhadap substrat tetraethoxyorthosilicate (TEOS).
Isolasi protein dilakukan dengan memisahkan silika spikula dari sponge,
kemudian melarutkan silika spikula dan membebaskan protein dengan
perendaman silika dalam buffer HF/NH4F (pH 5,0). Protein dikumpulkan setelah
didialisis dan disentrifugasi.
Aktivitas protein dilihat dengan mereaksikannya
dengan substrat TEOS membentuk polimer silika yang diukur dengan
colorimetric molibdate assay dan analisis struktur dengan Scanning Electron
Microscopy (SEM).
Protein dari Sponge ST1 dan Sponge ST3 mempunyai berat molekul yang
sama (21,4 kDa), berbentuk filamen dengan panjang sekitar 0,1 mm dan diameter
10 µm. Kedua protein tersebut mampu melakukan polimerisasi silika dari substrat
TEOS pada suhu kamar selama 12 jam. Protein Sponge ST1 sebanyak 250 µl
(konsentrasi protein di bawah 5 µg/ml) dapat mempolimerisasi 15,9 µmol
monomer TEOS dan protein Sponge ST3 pada kondisi yang sama dapat
mempolimerisasi 3,0 µmol monomer TEOS. Polimer silika yang terbentuk dari
hasil reaksi protein Sponge ST1 selama 48 jam, melapisi protein tersebut dan
memperbesar diameter sekitar 4 kali lebih besar dari diameter protein semula.
Sponge ST5, ST6 dan ST7 mempunyai silika spikula berbentuk
microscleres yang unik, sponge ini berpotensi untuk menghasilkan protein yang

dapat membentuk struktur silika yang unik.
Sponge ST8 dan ST9 yang
mempunyai spikula bukan berasal dari silika, tetapi dari kalsium karbonat, tidak
potensial untuk dijadikan sumber protein untuk katalis pembentukan silika.
Silica formed from polymerization reaction by protein Sponge ST1 during
48 hours, coated this protein and increased its diameter four times.

ABSTRACT
SITI NURJANAH.
Exploration of Protein Isolated from Nias Island and
Binuangeun Sea Sponges Catalyze Silica Polymerization. Under the direction of
MAGGY T. SUHARTONO and EKOWATI CHASANAH.
Silica, polymerized silicon dioxide, was widely used as raw materials for
industries, such as food industry, semiconductor, electronic and medical
equipment.
Marine sponges (Phylum porifera) were living system that can
produce a remarkable diversity of nanostructured silicates at ambient temperature
and near-neutral pH. In contrast to living system, synthesis of these materials in
industry require extreme of temperature, pressure, and pH with addition surfactant
that can cause environmental pollution. Isolating protein that can catalyze

nanostructured silica polymerization will make a new route for silica development
under mild conditions using protein/enzyme biocatalyst.
This research was aimed to extract and analyze protein from Nias Island
Sea sponges and Binuangeun Sea sponges and to study their activity to
polymerize tetraethoxyorthosilicate (TEOS).
Protein in silica spicule of sponge
was isolated by collecting silica spicule and soaked in HF/NH4F buffer (pH 5,0)
for dissolving silica and releasing this protein. Then, protein was dialyzed and
centrifuged.
Activity
of
this
protein
to
polymerize
substrate
tetraethoxyorthosilicate was measured by colorimetric molybdate assay.
Protein of Sponge ST1 (from Binuangeun Sea) and protein of Sponge
ST3 (from Nias Island Sea) have the same moleculer weight about 21.4 kDa and
the same shape (filament) and size. Both of them have the length approximately

0,1 mm and diameter 10 µm.
Protein of Sponge ST1 (250 µl, protein
concentration less than 5 µg/ml) could polymerize 15,9 µmol TEOS after 12
hours reaction at room temperature and near-neutral pH and protein of Sponge
ST3 could polymerize 3,0 µmol TEOS in the same reaction conditions. Silica
formed from polymerization reaction by protein Sponge ST1 during 48 hours,
coated this protein and increased its diameter four times. Sponge ST5, ST6 and
ST7 which have unique microscleres silica spicule were potential to become
sources of protein that can catalyze unique shape of biosilica. Sponges which
have no silica spicule such as Sponge St8 and ST9 were not potential to become
protein sources.

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Penelitian

yang dilaksanakan sejak bulan September 2004 ini berjudul Eksplorasi Protein

dari Sponge Asal Perairan Pulau Nias dan Binuangeun yang Mengkatalisis
Polimerisasi Silika.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Maggy T.
Suhartono dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc sebagai komisi pembimbing, serta
Dr. Ir. Hj. Utut Widyastuti, MSc sebagai penguji.

Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Ketua Program Studi Bioteknologi, Dr. Ir. M. Jusuf, Kepala
Pusat Studi Ilmu Hayat dan Bioteknologi, Dr. Ir. Suharsono, Pimpinan Badan
Riset Kelautan dan Perikanan atas sampel sponge beserta datanya, serta kepada
Kepala Laboratorium Material Science, FMIPA, UI, atas peralatan SEM.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak dan mimi atas
segala bantuan, doa dan kasih sayangnya; serta teteh, asep dan ende atas
dukungannya.

Ucapan terima kasih kepada suami, Dr. Mujahidin yang penuh

cinta dan kesabaran telah mendukung dan membantu penulis selama penelitian
dan penulisan tesis, serta orang tua dan keluarga aa, juga anak-anakku tercinta

Zahid dan Izzul atas keceriaannya. Terima kasih juga kepada Ibu Ika yang telah
membantu penelitian, juga Ibu Eni, Mbak Pepi, Pak Mulya dan teman-teman
seperjuangan Rudi, Bu Ema, Bu Yuyun, Bu Tati, Bu Rika dan semuanya yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006
Siti Nurjanah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, 31 Januari 1976 dari ayah Udi Suardi dan
ibu Uum Umamah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sukabumi.

Tahun 1999

lulus S1 dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor dengan
predikat Cum Laude dan menjadi wisudawan terbaik pada tingkat Fakultas
Teknologi Pertanian.


Penulis sekarang adalah staf pengajar pada Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...

x

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..

xi

PENDAHULUAN ………………..…………………………………………

1

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….
Sponge …………………………………………………………………..
Struktur Sponge ………………………………………………………….
Struktur Biosilika ………………………………………………………..
Fabrikasi Silika …………………………………………………………..
Protein Silicatein …………………………………………………………
Isolasi Protein dan Analisis Berat Molekul ……………………………..

3
3
4
6
10
12
16

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………….
Alat dan Bahan ………………………………………………………
Metode Penelitian …………………………………………………........
Pengumpulan dan Pemilahan Sampel Sponge ………………………
Isolasi Silika Spikula dari Sponge …………………………………..
Isolasi Protein dari Silika ……………………………………………
Penentuan Konsentrasi Protein ………………………………………
Penghitungan Jumlah Protein
Penentuan Berat Molekul dengan Teknik SDS-PAGE ………………
Reaksi Protein dengan Substrat TEOS ………………………………
Analisis Hasil Reaksi dengan Colorimetric Molybdate Assay ………

19
19
19
19
20
20
20
21
22
22
22

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas dan Pemilahan Sponge …………………………………………
Sponge ST1 …………………………………………………………..
Sponge ST2 ………………………………………………………….
Sponge ST3 ………………………………………………………….
Sponge ST4 ………………………………………………………….
Sponge ST5, ST6 dan ST7 …………………………………………..
Sponge ST8 dan ST9 ………………………………………………...
Silika Spikula ……………………………………………………………
Protein Silicatein …………………………………………………………
Isolasi Protein ………………………………………………………..
Pelarutan Silika dalam Buffer HF ……………………………………
Dialisis ……………………………………………………………….
Sentrifugasi …………………………………………………………..
Bentuk Protein ……………………………………………………….
Jumlah Protein dalam Larutan ……………………………………….
Berat Molekul Protein ………………………………………………..
Reaksi Protein Silicatein dengan Substrat ……………………………….
Pelarutan Polimer Silika …………………………………………….

24
24
26
27
27
28
29
30
35
35
35
36
38
39
40
40
41
43

Aktivitas Protein Sponge ST1 dan Sponge ST3 …………………….
Model Pembentukan Silika Spikula pada Sponge ……………………...

44
46

SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….
Simpulan …………………………………………………………………
Saran …………………………………………………………………….

51
51
51

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….

52

LAMPIRAN …………………………………………………………………

56

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hubungan Presentase Poliakrilamida dengan Berat Molekul Protein ....... 17
2 Lokasi dan Ciri Fisik Sponge ………………………………………… …

25

3 Perbandingan Berat Silika antar Sponge …………………………………

31

4 Bentuk dan Ukuran Silika ………………………………………………..

34

5 Hasil Pengukuran Silikat pada Beberapa Tahapan ………………………

44

6 Perbandingan Jumlah TEOS Terpolimerisasi ……………………………

45

7 Perbandingan Jumlah TEOS Terpolimerisasi Beberapa Protein ………...

46

ix

DAFTAR GAMBAR

1

Halaman
Struktur Tubuh Sponge …………………………………………………. 5

2

Pembentukan Spikula Oleh Sel Sclerocytes …………………………….

7

3

Tipe Spikula ……………………………………………………………..

7

4

Bentuk Nanosphere dari Lapisan Silika Spikula ………………………..

8

5

SEM dari Silika Spikula …………………………………………………

8

6

Jaringan Tiga Dimensi dari Silikon Dioksida ..................................…….

9

7

Silica Chips ...............................................................................................

10

8

Proses Kondensasi Silika dengan Menggunakan Template .....................

11

9

Pembuatan Silika dengan Menggunakan Radiasi Ultraviolet ..................

12

10 SEM dari Proses Sekresi Silika Spikula dengan Protein .............. ……..

13

11 Susunan Filamen Protein dalam Silika Spikula …………………….......

14

12 Model Tiga Dimensi Silicatein …………………………………………

15

13 Garis-garis pada Haemacytometer ……………………………………..

21

14 Sebagian dari Sponge ST1 ; di Atas Permukaan Air…………………….

26

15 Sebagian dari Sponge ST2; di Atas Permukaan Air ..………………......

26

16 Sponge ST3 a. di Bawah Permukaan Air, b. di Atas Permukaan Air …..

27

17 Sponge ST4; di Bawah Permukaan Air ………………………………...

28

18 a. Sponge ST5, b. ST6 dan c. ST7; di Bawah Permukaan Air.................

28

19 a. Sponge ST8, b. ST9; di Bawah Permukaan Air............... ...................

29

20 Grafik Perbandingan Berat Silika Beberapa Sampel …………………...

32

21 Silika Spikula dari Sponge : a. ST1, b. ST2, c.ST3 dan d.ST4 …….…...

33

22 a. Silika Spikula Sponge ST5, b. Bentuk Unik Microscleres …………..

34

23 Silika Spikula dari Sponge : a. ST6, b. ST7, c. Bentuk Microscleres
Starburst ………………………………………………………………... 34
24 Dialisis Larutan Protein dan Buffer HF ...................................................

37

25 Difusi yang Terjadi saat Dialisis ..............................................................

37

26 Penurunan Jumlah Silikat yang Diukur pada Cairan di Luar Tabung
Dialisis .....................................................................................................
27 a. Protein filamen Sponge ST3 dan b. Protein filamen Sponge ST1 .......

38
40

28 Hasil SDS-PAGE Protein Silicatein ........................................................

41

29 Mekanisme Reaksi Silicatein terhadap Substrat TEOS ...........................

43

x

30 Kurva Standar TEOS ...............................................................................

45

31 Grafik Perbandingan Hasil Reaksi Polimerisasi Oleh Protein Sponge
ST1 dan ST3 ............................................................................................

46

32 Perbandingan Ukuran Protein dan Silika Spikula dari Sponge ST1 ........

47

33 Hasil Scanning Electron Microscopy Protein ST1 ..................................

48

34 Hasil Scanning Electron Microscopy Protein ST1 yang Telah
Direaksikan dengan TEOS 48 Jam ..........................................................
35 Hasil SEM dari Polimerisasi Silika oleh Silicatein T. Aurantia ..............

48
49

37 Perband ingan Ukuran Protein Sponge ST1 dan Silika yang Terbentuk
dari Analisis SEM ....................................................................................
37 Susunan Protein yang Membentuk Silika spikula Sponge ST1 ………..

49
50

xi

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Halaman
Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sponge ……………………………..
56

3

Pereaksi Bradford, Pereaksi untuk SDS PAGE dan Pereaksi untuk
Colorimetric Molybdate Assay …………………………………………
Komposisi Gel Penahan dan Pemisah SDS PAGE ……………………..

4

Prosedur Silver Staining ………………………………………………..

5

Data Penghitungan Jumlah Protein dengan Haemacytometer ………….

6

Perhitungan Berat Marker dan Sampel Protein …………………………

7

Absorbansi Hasil Colorimetric Molibdate Assay Cairan Hasil Dialisis
dan Hasil Reaksi Polimerisasi Silika …………………………………...

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Silika merupakan bahan dasar bagi industri- industri besar. Penggunaan
bahan berbasis silika sangat luas untuk industri- industri yang memproduksi
perlengkapan sehari- hari, seperti pasta gigi, pengemas makanan, keramik sampai
ke peralatan semikonduktor, elektronik dan peralatan medis.
Beberapa organisme secara alamiah dapat membentuk struktur silika,
diantaranya

biota

(Bacillariophyta).

laut

seperti

Pada sponge,

sponge

(Filum

porifera)

dan

diatom

pembentukan struktur silika ini melibatkan

suatu protein yang dikenal dengan protein silicatein (Cha et al. 1998), yang
pertama kali diisolasi dari sponge Tethya aurantia. Pada diatom, protein tersebut
telah mengalami penambahan gugus karbohidrat, dan dikenal dengan nama
silaffins (Poulsen et al. 2003). Struktur silika juga ditemukan pada dinding sel
beberapa bakteri seperti Bacillus subtilis (Coradin dan Lopez 2003). Struktur
yang hampir sama juga ditemukan pada tanaman dalam bentuk silikon katekolat
(Perry dan Lu 1992).
Kemampua n sponge dalam membentuk struktur padat silika mulai dari
skala kecil (nano) dengan morfologi yang teratur dan spesifik merupakan hasil
pengontrolan secara genetik. Mekanisme pengontrolan pembentukan biosilika ini
sangat menarik para peneliti, tetapi masih belum banyak terungkap. Hal menarik
lainnya adalah pada sistem biologis sponge, pembentukan biosilika berlangsung
pada suhu ruang dan pH netral. Di industri, proses kondensasi prekursor silika
menjadi struktur dengan pola dan morfologi yang spesifik memerlukan kondisi
pH dan suhu ekstrim disertai penambahan surfaktan yang dapat mencemari
lingkungan (Richardson 2001).

Selain itu, pembuatan silika di industri

memerlukan waktu preparasi dan reaksi yang lama, dan sulit untuk dilakukan
dalam proses kontinu.
Isolasi protein yang terlibat dalam pembentukan biosilika ini membuka
peluang penggunaan katalis protein untuk membuat struktur silika yang spesifik
dan

teratur

secara

invitro. Penggunaan

protein

sebagai

katalis

dapat

2
meminimumkan kondisi reaksi ekstrim, mempersingkat waktu reaksi dan aman
untuk lingkungan. Hasil penelitian ini sangat diperlukan untuk industri- industri
strategis yang memproduksi semikonduktor, biosensor, biochips, filter agent,
pengemas makanan, kit analisis dan lain- lain.
Sebagai bagian dari wilayah Indopasifik, Indonesia merupakan salah satu
negara dengan pusat keanekaragaman biota laut terbesar di dunia, termasuk
mempunyai keragaman sponge. Sumber daya biota laut tersebut merupakan aset
potensial yang dapat digunakan sebagai sumber genetik protein yang dapat
mengkatalisis reaksi pembentukan struktur nanosilika.

Isolasi protein yang

terlibat dalam pembentukan biosilika saat ini belum pernah dilakukan di
Indonesia. Isolasi berbagai protein yang terlibat dalam pembentukan biosilika
pada berbagai sponge laut Indonesia beserta karakterisasinya sangat penting
dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya genetik laut Indonesia.

Tujuan
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

melakukan

isolasi

protein

yang

mengkatalisis polimerisasi silika dari beberapa spesies sponge asal perairan Pulau
Nias dan Binuangeun serta menganalisis aktivitasnya terhadap substrat
tetraethoxyorthosilicate (TEOS).

3
TINJAUAN PUSTAKA
Sponge
Sponge merupakan organisme multiselluler yang dikelompokkan dalam
Filum porifera (Kozloff 1990; Brusca dan Brusca 1990). Organisme ini tergolong
hewan yang telah hidup jutaan tahun yang lalu, karena kemampuannya untuk
bertahan dalam berbagai kondisi ekstrim. Beberapa spesies sponge telah hidup
dari zaman Precambrian sekitar 600 juta tahun yang lalu (University of Stutgart
Sponge Reef Project 2003). Hewan ini tidak bergerak, tetapi tinggal sepanjang
hidupnya seperti tanaman, dan mampu menyaring air untuk memperoleh partikel
makanan dari air dan substansi terlarut lainnya.
Diperkirakan terdapat lebih dari 7.000 spesies sponge yang tersebar di laut
ataupun di perairan tawar, tetapi baru sebagian yang telah teridentifikasi dan
diberi nama spesies (University of Stutgart Sponge Reef Project 2003). Secara
garis besar terdapat 4 kelas dalam filum porifera ini, yaitu Calcarea,
Hexactinellida, Demospongiae dan Sclerospongiae (Kozloff 1990; Brusca dan
Brusca 1990). Keempat kelas ini dibedakan berdasarkan bentuk dari skeleton
internal (spikula) dan masing- masing kelas mempunyai ciri-ciri tersendiri. Kelas
Calcarea mempunyai spikula yang terdiri dari kalsium karbonat, bentuk
spongenya relatif kecil dan sederhana, contoh kelas ini adalah Sycon dan Grantia.
Kelas Sclerospongiae mempunyai spikula yang mengandung kalsium karbonat,
calcite atau aragonite, mempunyai tekstur yang kuat dan umumnya hidup pada
palung yang dalam. Kelas Hexactinellida atau dikenal dengan glass sponge
mempunyai spikula yang terdiri dari silika denga n bentuk silindris yang simetrik
dengan 6 sudut, hidup pada kedalaman lebih dari 50 m (Brusca dan Brusca 1990).
Kelas Demospongiae merupakan kelas yang terbesar, meliputi 95% dari semua
spesies sponge, spikula nya terdiri dari silika, umumnya tidak mempunyai bentuk
yang teratur atau asimetrikal, termasuk dalam kelas ini adalah bath sponges, fresh
water sponges dan boring sponges. Umumnya sponges yang banyak diteliti untuk
diambil proteinnya atau kandungan metabolit sekunder adalah yang termasuk
dalam kelas ini seperti Tethya, Axinella dan Suberitus.

4
Struktur Sponge
Sponge tidak mempunyai struktur tubuh yang jelas, karena tidak
mempunyai batas jaringan yang nyata (Brusca dan Brusca 1990; Hawking dan
Smith 1997).

Sponge ada yang berbentuk sederhana seperti tabung dengan

dinding tipis seperti yang dijumpai pada marga Leucosolenia, segumpal jaringan
yang tidak menentu bentuknya, membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak
atau tumbuh-tumbuhan.

Kelompok sponge lain mempunyai bentuk yang lebih

teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula.

Jenis-jenis

tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badan.
Selain bentuknya beragam, sponge juga mempunyai warna dan ukuran
yang beragam.
atau hijau.

Warna sponge ada yang putih, abu-abu, kuning, orange, merah

Sponge yang berwarna hijau umumnya disebabkan oleh adanya alga

yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge. Sponge berukuran mulai dari
sebesar kepala jarum pentul sampai berukuran diameter 0,9 m dan tebal 30,5 cm.
Bagian tubuh sponge terdiri dari sistem saluran (canal), sistem kerangka dan sel
somatik (Gambar 1).

Sistem saluran ini bertindak seperti halnya sistem sirkulasi

pada hewan tingkat tinggi.

Sistem ini merupakan jalan untuk pemasukan

makanan ke dalam tubuh dan untuk saluran pembuangan.

Ada tiga macam

sistem, yaitu askon, sikon dan ragon.
Semua sponge, kecuali yang termasuk ordo kecil Myxospongia, dilengkapi
dengan kerangka.

Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat dan silika

dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat yang kurang lebih erat
bersatu. Sponge tidak dapat berdiri tegak jika tidak ada spikula atau spongin yang
menopang tubuhnya dan membuat saluran dan ruang-ruang bercambuk.
tertimbun dalam sel-sel yang disebut scleroblast.

Spikula

Spikula silikon tersusun dari

opal, suatu bentuk silika terhidrasi seperti kuarsa dalam struktur kimianya. Kapur
karbonat dan silikon sebagai bahan dasar spikula diekstrak oleh sel-sel dari air di
sekitarnya. Spongin adalah senyawa kimia yang menyerupai struktur sutera, yang
dihasilkan oleh sel berbentuk toples yang disebut spongoblast.

5
Spikula
Sel archaeocyte
Sel sclerocyte
Jaringan mesohyl
Sel pinacocyte
Sel Choanocyte
Sel Porocyte
Pori-pori
Saluran air

Aliran air

Flagela
Tabung
Bagian dalam Bagian luar
Sumber : http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/pororg.html

Gambar 1 Struktur Tubuh Sponge.
Sel- sel sponge mempunyai fungsi-fungsi khusus dan pembagian kerja
yang jelas (Brusca dan Brusca 1990; Hawking dan Smith 1997).

Sel-sel ini

dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu 1). Sel yang menyusun lapisan kulit, 2).
Sel yang membentuk organ skeleton, dan 3) sel yang terletak di dalam jaringan
mesohyl (sel amoeboid), yang berdiferensiasi dan mempunyai fungsi tertentu.
Sel yang termasuk kelompok pertama terdiri dari sel pinacocyte, porocyte,
dan choanocyte.

Sel pinacocyte merupakan sel penyusun lapisan permukaan

sponge (seperti sel epitel pada hewan) yang membentuk pinacoderm.

Sel ini

berbentuk datar dan saling overlap, yang diselingi juga sel pinacocyte berbentuk
T.

Porocytes merupakan sel yang berbentuk silinder seperti tabung, dapat

membuka dan menutup porinya untuk mengatur diameter ostial.

Choanocytes

merupakan sel yang berflagel yang berbaris membentuk lapisan choanoderm. Sel
ini mempunyai colar (tabung) yang menjadi tempat masuknya air yang membawa
makanan.

Makanan disimpan dalam vakuola makanan dan dikirim ke sel di

sampingnya (sel ameboid) tempat mencerna makanan (Brusca dan Brusca 1990) .
Sel

yang

membentuk

organ

skeleton terdiri dari sel sclerocytes,

collencytes, lophocytes dan spongocytes.

Sel sclerocytes bertanggung jawab

6
memproduksi spikula silika atau spikula karbonat (Brusca dan Brusca 1990).
Pada sel ini juga terbentuk protein aksial yang kemudian dikenal dengan silicatein
(Shimizu et al. 1998). Sel tersebut, merupakan sel yang aktif, mempunyai
sejumlah besar mitokondria, retikulum endoplasma kasar dan vakuola.

Diketahui

kemudian bahwa vakuola dalam sel ini merupakan tempat untuk mendepositkan
asam silika yang diambil dari perairan. Sel collencytes dan lophocytes bentuknya
hampir

sama

sedangkan sel

dengan

pinacocytes, berfungsi untuk menghasilkan kolagen,

spongocytes memproduksi serat seperti kolagen yang disebut

spongin.
Sel yang terletak di jaringan mesohyl adalah myocytes, archaeocytes dan
rhabdiferous.

Sel myocytes merupakan sel kontraktil.

Sel archaeocytes

berukuran besar, sangat motil dan mempunyai peranan penting dalam mencerna
dan mentranspor makanan.

Sel ini mempunyai sejumlah enzim pencernaan

(seperti acid phospatase, amilase, protease, lipase) dan menerima bahan phagocyt
dari choanocytes. Sel rhabdiferous merupakan sel dalam mesohyl yang berukuran
paling besar mengandung mucopolisakarida (Brusca dan Brusca 1990).

Struktur Biosilika

Sponge dan diatom serta beberapa organisme mensintesis giga ton silika
pertahun dari asam silikat.

Struktur biosilika yang dibuat mempunyai beragam

struktur dengan ketepatan pengontrolan nanoarsitektur yang melebihi kemampuan
manusia.

Dalam sponge, biosilika ini terkumpul pada bagian yang bernama

spikula.
Spikula merupakan organ skeleton dari sel sponge yang menopang
struktur jaringan dan tubuh sponge.

Pada sponge, spikula ini tersusun atas

kalsium karbonat (calcareous spicule) atau silika (silica spicule) dan sebagian
kecil kolagen.

Pada beberapa sponge, skeleton hanya terdiri dari kolagen saja.

Spikula dibentuk oleh sel yang terletak di bagian mesohyl yang disebut
sclerocytes (Gambar 1).

Sel yang terdiri dari mitokondria, mikrofilamen

sitoplasma dan vakuola kecil ini dapat menyimpan kalsium karbonat atau silika
dan menyusunnya menjadi spikula atau silika spikula. Satu sel sclerocytes dapat

7
menghasilkan 1 silika spikula atau beberapa sel bekerja sama untuk menghasilkan
1 silika spikula (Gambar 2).

nukleus
pusat

nukleus
feriferal

sel menebal
spikula

sel
diting
galkan

Sumber : Kozloff (1990)

Gambar 2 Pembentukan Spikula oleh Sel Sclerocytes.
Berdasarkan ukurannya spikula dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
microscleres dan megacleres

(Gambar 3).

Pada sponge kelas Hexactinellida

umumnya kedua tipe ini ada, dengan bentuk hexactinal.

Pada sponge kelas

Demospongiae terdapat spikula tipe megacleres dan terkadang bersamaan dengan
tipe microscleres (Brusca dan Brusca 1990).

c

Sumber : Kozloff (1990)

Sumber: Black (2003)

Gambar 3 Tipe Spikula. a. Megascleres dan b. Microscleres
c. Bentuk Microscleres, Starburst pada T.aurantia.

8
Spikula terdiri dari polimer silikon dioksida (SiO 2 ) yang membentuk silika
nanosphere (Gambar 4). Nanosphere ini tersusun secara berlapis (streated shell)
dan di tengah terdapat pusat silinder (cylinder core).
protein silicatein berada (Gambar 5) (Aizenberg 2004).

Pada pusat silinder inilah
Pada pusat silinder ini

tersimpan kandungan silika yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian di
luarnya.

Ukuran silika spikula yang dijumpai pada Tethya aurantia mempunyai

diameter sekitar 30 µm (Shimizu et al. 1998).

Sumber : http://www.sciencedirect.com

Gambar 4 Bentuk Nanosphere dari Lapisan Silika Spikula
(a,b dan c dari Beberapa Sudut Pandang).

Sumber : Aizenberg (2004)

Gambar 5. SEM dari Silika Spikula, SS= Streated Shell, CC=Cylinder Core
Ikatan atom silikon dan oksigen yang membentuk struktur "ring" (Gambar
2.6) dalam membentuk struktur tiga dimensi silikon dioksida membuat molekul
ini sangat fleksibel (Aizenberg 2004), tidak rigid seperti struktur kristalin (ikatan

9
Si-Si).

Struktur seperti ini dikenal dengan amorphous, dan struktur ini membuat

beberapa ion anorganik penting, seperti Na+ dapat melewati lapisan silika.
.

Oksigen
Silikon
Sumber: http://www.batnet.com/enigmatics/semiconductor_
processing/CVD_Fundamentals/films/SiO2_properties.html

Gambar 6 Jaringan Tiga Dimensi dari Silikon Dioksida.
Pembentukan biosilika dalam sponge dan diatom sangat dipengaruhi oleh
keberadaan asam silikat, garam natrium dan adanya protein transporter. Krasko
(2000) mempelajari ekspresi gen silicatein dengan meningkatkan konsentrasi
asam silikat dari 1 µM menjadi sekitar 60 µM, dan ternyata menghasilkan ekspresi
gen yang sangat meningkat. Tidak adanya penambahan asam silikat dalam media,
menyebabkan ekspresi gen yang sangat kecil. Begitupun halnya dengan ekspresi
gen kolagen, gen yang sering dihubungkan dengan silicatein, meningkat dengan
penambahan asam silikat tersebut.
Konsentrasi asam silikat di lautan berada pada level mikromolar per ml,
sedangkan yang terdeposit dalam vakuola sponge terdapat 1000 kali lebih besar.
Banyaknya asam silikat yang terdeposit ini diduga karena adanya protein
transporter yang mengangkut asam silikat dari lingkungan ke dalam vakuola sel.
Schroder et al. pada tahun 2004 mempelajari protein transporter yang mengangkut
asam silikat ke dalam sponge Suberites domuncula; protein ini mirip dengan Na+
/HCO3 – cotransporters.

Coradin dan Lopez (2003) juga menemukan hal yang

sama bahwa silika transporter mirip dengan Na+ /HCO3 – cotransporters, karena
sangat tergantung pada keberadaan natrium, dengan perbandingan antara silikat
yang diangkut dengan natrium yang diperlukan (Si(OH)4 : Na+) sebesar 1:1.

10
Fabrikasi Silika

Silika merupakan bahan dasar untuk industri- industri besar.

Produk

intermediet silika yang umum digunakan adalah silica chips, fiber glass dan bahan
keramik. Silica chips diaplikasikan untuk sparepart komputer, assay kit, dan lainlain. Silica chips (Gambar 7) dibuat melalui beberapa langkah dan diawali dengan
pembuatan lapisan- lapisan polisilikon (disebut wafer).

Pembentukan wafer ini

terdiri dari pembuatan polisilikon dari reaksi triklorosilane dengan hidrogen pada
suhu 1000o C dan dikristalkan pada suhu 1200o C. Polikristalsilikon merupakan
template untuk pembentukan lapisan-lapisan tipis silikon dioksida yang
mampunyai ketebalan beberapa mikron. Melalui proses pemberian muatan dan
pengemasan, wafer ini menjadi chips (Richardson 2001).

Sumber: Richardson (2001)

Gambar 7 Silica Chips.
Fiber glass merupakan bahan utama pembuatan peralatan medis, seperti
statesteskop, alat pendeteksi, mikroskop

serta peralatan elektronik (sebagai

pelapis penghantar). Fiber glass dibuat dengan cara oksidasi termal dari silicon
tetrachloride (SiCl4 ), pada suhu yang sangat tinggi (sekitar 2100°C), dengan
formula: SiCl4 + O2

SiO 2 + 2Cl2 (Fiber Tech 2004) .

Dalam sistem alami, pembentukan kristal lapisan tipis terjadi melalui
perangkaian atom-atom yang diawali dengan penempelan ion pada permukaan
bahan

organik

maupun

anorganik

sebagai

template

(Banfield

2000).

Pembentukan lapisan tipis silika, seperti pada chips dan keramik, juga

11
memerlukan adanya template.

Adamson (2004) menggambarkan proses

kondensasi silika menjadi lapisan film pada industri keramik memerlukan adanya
template (Gambar 8).

surfaktan

tetraethoxyorthosilicate

Sumber : Adamson (2004)

Gambar 8 Proses Kondensasi Slika dengan Menggunakan
Template.
Dari uraian di atas, terdapat dua hal penting yang diperlukan dalam
pembuatan polimer silika yaitu suhu yang sangat tinggi dan template. Para
ilmuwan mulai memikirkan untuk mengganti cara pembuatan silika dengan cara
yang lebih aman yaitu pada suhu rendah.

Takezoe et al. (1999) mencoba

melakukan pembuatan silika pada suhu kamar dengan menggunakan radiasi
ultraviolet di bawah kondisi vakum dalam chamber yang terkontrol (Gambar 9).
Proses ini menggunakan substrat murni tetraethoxyorthosilicate (TEOS) dengan
katalis gas LiF dan MgF 2 .

12

Pengukur tekanan

Katup LiF

Katup SiO2

Katup MgF2

Pompa vakum
Sumber: Takezoe et al (1999)

Gambar 9 Pembuatan Silika dengan Menggunakan Radiasi
Ultraviolet.
Penggunaan katalis protein yang dapat melakukan kondensasi dan
polimerisasi silika pada suhu rendah merupakan alternatif yang lebih aman.
Shimizu et al. (1999) telah menunjukkan bahwa silicatein secara invitro dapat
mengkatalisis hidrolisis tetraethoxyorthosilicate (TEOS) membentuk polimer
silika pada pH netral, tekanan normal dan suhu kamar. Keistimewaan protein
silicatein ini, selain berfungsi sebagai katalis juga dapat berfungsi sebagai
template untuk penempelan silika.

Protein Silicatein

Tahun 1998, ditemukan protein yang menjadi katalis reaksi pembentukan
biosilika dari sponge Tethya aurantia yang kemudian dikenal dengan silicatein
oleh Shimizu et al.

Protein silicatein diproduksi di dalam sel sclerocytes

kemudian disekresikan ke membran vakuola tempat terdepositnya asam silikat. Di
dalam vakuola protein terus memanjang dan dilapisi dengan silika yang
terkondensasi dan terpolimerisasi olehnya, kemudian setelah membentuk spikula

13
dengan panjang yang cukup protein dan spikula ini disekresikan ke luar sel.
Sekresi protein ini dibuktikan dari foto mikroskop electron pada Gambar 10
(Aizenberg 2004). Pada Gambar 10a terlihat proses pemanjangan sel seiring
dengan tumbuhnya protein dan silika spikula. Pada Gambar 10b, spikula pertama
(s1 ) telah dikeluarkan dan sel siap membuat protein dan spikula berikutnya (s2 ).
Dalam sel ini banyak ditemukan mitokondria yang mengindikasikan bahwa
pembentukan protein ini memerlukan banyak energi.

a

b

Sumber : Aizenberg (2004)

Gambar 10 SEM dari Proses Sekresi Silika Spikula dengan Protein
a. Protein dan Spikula Memanjang
b. Protein dan Spikula Keluar dari Sel.
Susunan filamen protein di dalam silika spikula menjadi pertanyaan para
peneliti. Croce (2004) meneliti hal ini dari spikula dua kelas sponge berbeda, yaitu
sponge G. cydonium dan spikula dari Suberitus joubini dengan menggunakan Xray fiber diffraction dengan SAXS beamline dari radiasi ELETTRA synchrotron.
Digambarkan dalam dua dimensi, filamen protein ini menyusun hexagonal yang
sangat teratur (Gambar 11a).

Susunan filamen dari spikula G. cydonium, kelas

Demospongiae (Gambar 11b) berbeda dengan model susunan filamen dari spikula
S. joubini (Gambar 11c) dari kelas Hexactinellida.
Shimizu et al. (1998) yang mengisolasi protein ini, menemukan tiga pita
protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian menyebutnya
sebagai 3 subunit α,β dan γ. Peneliti lain menyebutnya sebagai 3 protein isomer,
karena satu subunit saja mampu melakukan reaksi katalisis sendiri terlepas dari
sub unit lainnya. Ketiga protein ini mempunyai susunan asam amino yang hampir

14
sama. Ketiganya tersusun secara berulang membentuk protein filamen, yang
diduga melalui ikatan nonionik dan nonkovalen, karena ikatan antar subunit
mudah putus oleh penambahan SDS atau urea.

Hasil analisis densitomer

memperlihatkan bahwa silicatein α merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 70%
dengan perbandingan silicatein α,β dan γ =12:6:1 (Shimizu et al. 1998).

Sumber : Croce (2004)

Gambar 11 Susunan Filamen Protein dalam Silika Spikula
a. Susunan Protein Secara Hexagonal
b. Susunan Protein pada Spikula G. cydonium
c. Susunan Protein pada Spikula S. joubini.
Shimizu et al. (1998) lebih lanjut mengemukakan bahwa sekuens dari
silicatein α ini mempunyai similaritas yang tinggi dengan famili cathepsin-L dari
grup cystein protease. Persamaan ini pertama terletak pada residu asam amino
pada sisi aktif yaitu His dan Asn.

Persamaan kedua, kedua protein ini

mengandung 6 sistein yang membentuk jembatan disulfida; dan persamaan ketiga,
pada kedua protein terdapat mekanisme pemotongan proprotein menjadi protein
matang,.

Berdasarkan kesamaan struktur ini diduga model tiga dimensi dari

protein ini seperti pada Gambar 12.
Krasko et al. (2000) berhasil mengisolasi silicatein dari sponge Suberites
domuncula dan menemukan bahwa ekspresi gen penyandi silicatein dikontrol
secara positif oleh kehadiran substrat asam silikat. Protein ini mempunyai 79%
similarity dengan silicatein dari T. aurantia dan tersusun dari 331 asam amino
dengan berat molekul proprotein 36306 dalton dan 23125 dalton untuk protein

15
matang. Kecepatan sponge dalam membentuk spikula dari silika sangat tinggi,
sekitar 5 µm per jam.

Sumber: Shimizu et al. (1998)

Gambar 12 Model Tiga Dimensi Silicatein.

Mekanisme pembentukan biosilika oleh protein ini belum banyak
dimengerti. Diduga banyaknya asam amino hidroksil (serin, tirosin, dan treonin)
pada silicatein berpengaruh besar pada proses biosilification. Hal ini didasarkan
pada penelitian Perry dan Lu (1992) yang meneliti pembentukan silikon catekolat
pada tanaman, yang melibatkan protein yang banyak mengandung gugus
hidroksil.

Begitu pula protein yang diduga pembentuk silika

pada diatom

mengandung sejumlah besar asam amino hidroksil (Kroger 1997).
Penelitian selanjutnya, pada tahun 1999 oleh Cha et al., menunjukkan
bahwa protein ini secara invitro mampu mengkatalisis reaksi kondensasi dan
polimerisasi silika dari substrat tetraethoxyorthosilicate dan siloxane walaupun
belum diketahui mekanisme reaksinya secara pasti. Mekanisme reaksi katalisis
dari protein ini diduga berdasarkan mekanisme reaksi pada serine protease atau
cysteine protease.
Pembentukan biosilika pada sponge bersifat spesifik untuk setiap spesies
diduga melibatkan protein sebagai katalis yang berbeda pula.

Demikian pula

16
lingkungan yang berbeda diduga berpengaruh terhadap karakteristik proses
katalisis dari protein tersebut.

Isolasi Protein dan Analisis Berat Molekul

Metode yang digunakan untuk isolasi protein tergantung dari sumber
protein dan lokasi protein dalam sumber tersebut. Sumber protein dapat berasal
dari hewan, tanaman atau bakteri. Sel hewan umumnya lebih mudah dipecah
dibandingkan dengan sel tanaman, karena sel hewan tidak berdinding sel,
sedangkan sel tanaman berdinding sel selulosa (Brummer dan Gunzer 1987).
Lokasi protein mempengaruhi teknik pemisahan protein dari komponen lainnya.
Ekstraksi dan isolasi protein ekstraseluler lebih mudah dibandingkan dengan
protein intraseluler.

Untuk isolasi protein ekstraseluler umumnya hanya

dilakukan pemisahan berdasarkan sifat fisik (Thenawijaya 1989).
Masalah utama dalam isolasi protein adalah terjadinya denaturasi,
kontaminasi protein oleh pirogen dan asam nukleat serta adanya proteolisis
(Errson et al. 1998). Hal tersebut dapat diatasi dengan pemilihan larutan ekstraksi
dan larutan penyangga yang tepat, waktu preparasi yang singkat dan suhu rendah.
Faktor-faktor yang diperlukan dalam pemilihan larutan ekstraksi adalah pH, jenis
larutan penyangga (anionik atau kationik), variasi pH dengan kekuatan ion atau
suhu, reaktivitas, pengaruhnya terhadap aktivitas biologis protein yang
diinginkan, kelarutan, pengaruh deterjen atau senyawa khaotropik, logam
pengikat dan penghambatan proteolitik (Errson et al. 1998).
Protein dikarakterisasi berdasarkan beberapa sifat biokimianya.

Sifat

biokimia yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi protein adalah berat
molekul dan reaksi katalisis terhadap substrat tertentu. Berat molekul protein
dapat dianalisis dengan menggunakan teknik elektroforesis.

Elektroforesis

merupakan teknik pemisahan fraksi- fraksi zat berdasarkan migrasi partikel
bermuatan atau ion- ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik karena
adanya perbedaan ukuran, bent uk, muatan atau sifat kimia molekul (Pomeranz
dan Meloan 1980). Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan berat molekul,
mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein, menetapkan titik isoelektrik protein

17
serta memisahkan spesies-spesies molekular yang berbeda secara kuantitatif dan
kualitatif (Boyer 1986).
Pada elektroforesis harus digunakan media yang dapat mengurangi atau
mencegah terjadinya konveksi dan tidak bereaksi dengan sampel atau
menghambat pergerakan partikel sebagai akibat terjadinya ikatan antara sampel
dengan matriks.

Menurut Dunn (1989) elektroforesis dengan media gel

poliakrilamida yang dikenal dengan PolyAcrilamide Gel Electrophoresis (PAGE)
merupakan teknik yang paling banyak digunakan

untuk memisahkan protein

karena mempunyai kapasitas pemisahan yang tinggi.

Gel poliakrilamida

terbentuk melalui polimerisasi monomer akrilamida dan pembentukan ikatan
silang kovalen antar rantai panjang akrilamida baik melalui reaksi kimia maupun
fotokimia. Pembentukan gel melalui reaksi kimia dengan ammonium persulfat
sebagai inisiator dan N,N,N’,N’-tetrametilendiamin (TEMED) sebagai katalis.
Cross-linking agent yang digunakan adalah N,N’-metilen-bis- akrilamida (bis)
(Perbal 1988)
Pembentukan ikatan silang antar rantai panjang akrilamida membuat
struktur seperti pori-pori pada gel.

Besar kecilnya pori-pori ini menentukan

kecepatan pemisahan protein dalam gel. Ukuran pori-pori dapat diatur dengan
mengubah persentase akrilamida. Persentasi akrilamida yang dibutuhkan untuk
dapat memisahkan protein dengan berat molekul tertentu dapat

dilihat pada

Tabel 1.
Tabel 1 Hubungan Persentase Poliakrilamida dengan Berat
Molekul Protein
% poliakrilamida

Kisaran berat molekul

3-5
5-12
15
>15

>100.000
20.000-150.000
10.000-80.000