Isolasi Khamir dari Nira, Tuak dan Laru Asal Pulau Nias dan Uji Kemampuannya dalam Memproduksi Bioetanol dari Limbah

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Khamir (yeast)
Khamir merupakan jamur mikroskopis, eukariotik dan uniseluler. Ukuran sel
khamir pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan sel bakteri. Khamir
memiliki dua mekanisme reproduksi yaitu reproduksi seksual dan aseksual.
Semua khamir dapat berkembang biak secara aseksual, tetapi tidak semua khamir
dapat melakukan reproduksi seksual. Khamir yang hanya dapat bereproduksi
secara aseksual masuk dalam kelas Deuteromycetes atau jamur imperfecti (Volk
et al., 1971).

Khamir melakukan reproduksi aseksual dengan cara bertunas (budding ),
pembelahan langsung atau dengan hifa. Sebagian besar khamir melakukan
reproduksi seksual dengan membentuk asci, yang mengandung askospora haploid
dengan jumlah bervariasi antara satu hingga delapan askospora. Askospora dapat
menyatu dengan nukleus dan membelah seiring dengan pembelahan vegetatif,
tetapi beberapa khamir memiliki askospora yang menyatu dengan askospora lain
(Schneiter, 2004).

Khamir dapat ditemukan pada berbagai tempat di lingkungan terutama
substrat yang kaya gula. Khamir telah berhasil diisolasi dari daun, bunga, buahbuahan, biji-bijian, serangga, kotoran hewan dan tanah (Spencer and Spencer,
1997). Khamir dari kelompok Saccharomycetales terdapat pada kulit kayu pohon
tertentu dan juga pada buah-buahan serta lingkungan dengan kadar gula yang
tinggi seperti nektar dan nira (Sampaio et al., 2008).
Khamir

memiliki

manfaat

yang

penting

dalam

perkembangan

bioteknologi. Isolasi dan identifikasi dari total perkiraan keanekaragaman khamir

di dunia baru dilakukan sekitar 1%. Diantara 89 genera khamir yang pernah
terdaftar dalam monograf khamir, sebanyak 37 genera atau 42% ditemukan di
Indonesia. Hal ini mengindikasikan eksplorasi khamir masih sangat jarang
dilakukan, sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya
keanekaragaman khamirnya (Kurtzman et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

5

Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis khamir yang telah

dikenal secara luas dan banyak dimanfaatkan terutama dalam proses fermentasi.
Organisme ini sudah sejak lama digunakan memfermentasikan gula dari beras,
gandum, gerst dan jagung untuk memproduksi minuman beralkohol dan juga
digunakan oleh industri makanan sebagai pengembang adonan roti. Proses
fermentasi yang dilakukan khamir menghasilkan gas karbondioksida dan etanol.
Karbondioksida terperangkap di dalam gelembung-gelembung kecil sehingga roti
dapat mengembang. Khamir sering diolah menjadi suplemen vitamin karena
khamir mengandung 50% protein serta merupakan sumber vitamin B, niacin dan

asam folat yang sangat baik (Schneiter, 2004).
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang sangat penting dalam

bioindustri. Toleransinya terhadap etanol merupakan karakter yang menentukan
sehingga mikroorganisme ini dapat digunakan sebagai sumber biofermentasi.
Toleransi yang tinggi terhadap etanol disebabkan komposisi lipid yang unik dari
membran plasmanya yang menyintesis lebih banyak ergosterol dibandingkan
dengan kolesterol dan fosfolipid. Kolesterol dan fosfolipid mengandung residu
asam lemak tidak jenuh dalam proporsi yang sangat tinggi (Ingram et al., 1984).

2.2 Nira
Nira adalah cairan manis yang diperoleh dari air batang atau getah tandan bunga
tanaman seperti tebu, bit, sorgum, mapel, siwalan, bunga dahlia dan tanaman dari
keluarga palma seperti aren, kelapa, nipah, sagu, kurma dan sebagainya. Produkproduk nira dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu yang tidak mengalami
proses fermentasi dan yang mengalami fermentasi (Barlina dan Lay, 1994). Nira
yang masih segar dapat langsung diminum dan digunakan untuk obat sariawan,
TBC, disentri, wasir dan untuk memperlancar buang air besar. Nira yang telah
mengalami fermentasi (peragian) berubah menjadi tuak (Ismanto et al., 1995).
Beberapa daerah di Indonesia mengolah nira menjadi minuman fermentasi
beralkohol yang disebut tuak. Tuak (tuo mbanua ) adalah minuman penting di

Kepulauan Nias diminum saat santai, pesta pernikahan dan musyawarah adat.
Pesta pernikahan di Pulau Nias yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat, selalu
menyuguhkan tuak bagi tamu pria. Tuak mempunyai arti yang khusus bagi suku

Universitas Sumatera Utara

6

Nias karena tuak dapat digunakan sebagai sarana keakraban, sebagai
pengungkapan rasa terima kasih dan juga minuman persahabatan (Laoli et al.,
1995).

2.1.1 Nira Kelapa
Nira merupakan cairan bening, terdapat dalam tandan bunga kelapa yang
belum terbuka (Dyanti, 2002). Rasa manis pada nira kelapa disebabkan
kandungan sukrosanya yang cukup tinggi. Xia et al (2011) mendapatkan
kandungan sukrosa sebesar 14% pada nira kelapa segar yang baru disadap,
sedangkan Barh dan Mazumdar (2008) mendapatkan kandungan gula 9,3 gr/100
ml nira kelapa segar. Komposisi kimia nira kelapa disajikan pada tabel berikut :


Komposisi Kimia Nira Kelapa
No Komposisi Kimia
1 Total Gula (g)
2 Total Protein (mg)
3 Total lipids (g)
4 Calcum (mg)
5 Magnesium (mg)
6 Iron (mg)
7 Sodium (mg)
8 Potassium (mg)
9 Cu (mg)
10 Zinc (mg)
11 P (mg)
12 Niacin (mg)
13 Thiamine (mg)
14 Riboflavin (mg)
15 Ascorbic acid (mg)
16 Vitamin A (IU)
17 Ethanol (%) (v/v)
18 pH (keasaman)

Sumber: Barh dan Mazumdar, 2008

Kandungan
9,30
13,30
0,03
1,62
2,15
1,20
6,95
3,16
0,03
0,03
1,55
0,02
0,02
0,03
2,93
43,0
0,0

7,4

2.2.2 Nira Aren
Nira aren mengandung sukrosa sebesar 10-15%. Sukrosa sebagai komponen kimia
utama nira, akan segera mengalami perubahan dengan adanya mikroorganisme.

Universitas Sumatera Utara

7

Ragi dan bakteri merupakan mikroorganisme utama yang mengubah komposisi
karbohidrat dalam nira. Kecepatan perubahan oleh mikroorganisme ini sangat
tergantung pada konsentrasi kontaminasi awal. Dengan keadaan di lapangan, yaitu
penyadapan dengan kondisi terbuka di atas pohon, dapat dikatakan bahwa tingkat
kontaminasi cukup tinggi tetapi masih bervariasi pula dari setiap perlakuan
penyadapan (Pontoh, 2012).
Dalam keadaan segar nira berasa manis, berbau khas nira dan tidak
berwarna. Nira aren mengandung beberapa zat gizi antara lain karbohidrat,
protein, lemak dan mineral. Rasa manis pada nira disebabkan kandungan
karbohidratnya mencapai 11,28%. Nira yang baru menetes dari tandan bunga

mempunyai pH sekitar 7 (pH netral), akan tetapi pengaruh keadaan sekitarnya
menyebabkan nira aren terkontaminasi dan mengalami fermentasi sehingga rasa
manis pada nira aren cepat berubah menjadi asam (pH menurun) (Lempang,
2000).

2.3 Laru
Laru merupakan sebutan untuk kelompok jenis kulit kayu yang ditambahkan pada
nira dengan tujuan meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol minuman tuak.
(Ikegami, 1997). Penelitian Erika (2005), menyebutkan bahwa kulit kayu dari
tumbuhan meranti (Shorea faguetiana Heim) dapat digunakan sebagai laru.
Penelitian Pasaribu (2007), menemukan bahwa salah satu jenis laru yang berasal
dari Kabupaten Tapanuli Tengah diidentifikasi sebagai giam (Cotylelobium
melanoxylon Pierre). Lebih lanjut disebutkan bahwa jenis ini memiliki komponen

kimia kayu berturut-turut adalah sebagai berikut: hemiselulosa 29,26%,
alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31 %. Selanjutnya kadar
ekstraktif kayu laru yang larut dalam air dingin 3,19%, air panas 9,08%, alkohol
benzena 1,76%, NaOH (1%) 19,27%. Masyarakat Tapanuli Tengah juga
menggunakan resak (Vatica pauciflora Blume) sebagai laru untuk campuran
dalam minuman tuak (Ikegami, 1997).

Masyarakat Pulau Nias menggunakan kulit kayu tumbuhan tertentu
sebagai laru. Laru diyakini dapat mengawetkan dan meningkatkan kadar alkohol
dari nira yang dikonsumsi sebagai minuman tradisional. Masyarakat di Pulau Nias

Universitas Sumatera Utara

8

biasa menggunakan kulit kayu pohon durian, kulit kayu pohon langsat, kulit kayu
pohon golikhe dan berbagai macam kulit kayu tumbuhan lain sebagai laru.
Menurut masyarakat setempat, kulit kayu dikeringkan di bawah sinar matahari
kemudian disimpan di tempat yang kering. Sebelum digunakan laru diremukkan
dan dibakar ujungnya untuk memberikan aroma yang khas pada tuak.

2.4 Fermentasi
Fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dibawah kondisi anaerobik
menghasilkan bentuk yang stabil dari produk-produk fermentasi yaitu senyawa
organik yang menjadi penerima elektron terakhir dalam proses ini (Volk et al.,
1971). Ketika glukosa difermentasi menjadi etanol akan terjadi reaksi :
Glukosa (C6H12O6)


2 Etanol (C2H5OH) + 2CO2

Proses ini dilakukan oleh khamir dan merupakan proses penting dan bernilai
ekonomi tinggi karena berhubungan dengan produksi alkohol yang merupakan
unsur penting pembuatan bir, wine, whiskey dan lain sebagainya. Fermentasi yang
sama terjadi pada pembuatan roti, tetapi unsur pokok yang penting adalah CO2
yang dihasilkan sehingga roti dapat mengembang. Ketika khamir memfermentasi
glukosa dalam kondisi aerobik, produk akhirnya adalah karbondioksida dan air
Glukosa (C6H12O6) + 6O2

6CO2 + 6 H2O

karena pada reaksi ini keseluruhan karbon dari glukosa diubah menjadi CO2, lebih
banyak energi yang dilepas (Brock and Brock, 1978).
Dengan menggunakan khamir, proses fermentasi akan mengubah gula
menjadi etanol, karbondioksida dan beberapa produk sampingan. Brazil dan USA
merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia, kira-kira 62% dari produksi
dunia (Maris et al., 2006). Berhasil atau tidaknya produksi bioetanol melalui
proses fermentasi menggunakan khamir, ditentukan oleh tingkat toleransi khamir

terhadap kadar gula dan etanol yang tinggi di lingkungan. Karakteristik seluler ini
sangat penting dalam

proses fermentasi. Biasanya pada industri etanol,

peningkatan konsentrasi gula, akan terjadi pada pada awal proses fermentasi, dan
konsentrasi etanol yang tinggi terjadi di akhir dari proses fermentasi (Hansel et
al., 1998).

Universitas Sumatera Utara

9

Ada beberapa karakteristik mikroorganisme yang digunakan untuk
fermentasi antara lain mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang biak
dengan cepat dalam substrat yang sesuai, dapat menghasilkan enzim dengan cepat
untuk mengubah glukosa menjadi alkohol, mempunyai daya fermentasi yang
tinggi terhadap glukosa, fruktosa, galaktosa dan maltosa, mempunyai daya tahan
dalam lingkungan dengan kadar alkohol yang relatif tinggi, serta tahan terhadap
mikroorganisme lain (Minier dan Goma, 1982).

2.5 Bioetanol
Bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat
(pati) menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol adalah cairan tak
berwarna dengan karakteristik antara lain mudah menguap, mudah terbakar, larut
dalam air, tidak karsinogenik dan jika terjadi pencemaran tidak memberikan
dampak lingkungan yang signifikan. (Seftian et al., 2012). Bioetanol adalah salah
satu bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui, ramah lingkungan, dan
menghasilkan gas emisi karbon yang rendah dibandingkan dengan bensin atau
sejenisnya. Beberapa negara maju telah lebih dahulu mengembangkan bioetanol
sebagai biofuel, Indonesia tidak mau tertinggal untuk turut serta mengembangkan
etanol sebagai bahan bakar alternatif (Khairani, 2007).
Pada saat ini, pengembangan produksi bioetanol di Indonesia sedang
berkembang pesat. Penggunaan bioenergi secara luas dikenal ramah lingkungan
dan dapat meningkatkan performa dari kendaraan. Produksi bioetanol juga dapat
secara langsung bermanfaat pada sektor pertanian karena produksi bioetanol dapat
memanfaatkan beberapa produk pertanian seperti singkong, jagung, kentang,
sagu, dan talas (Sondari et al., 2006).
Bahan baku untuk proses produksi bioetanol diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu gula, pati, dan selulosa. Sumber gula berasal dari gula tebu, gula
bit, molase dan buah-buahan, dapat langsung dikonversi menjadi etanol. Sumber
dari bahan berpati seperti jagung, singkong, kentang dan akar tanaman harus
dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula. Sumber lainnya yaitu selulosa berasal
dari kayu, limbah pertanian, limbah pabrik pulp dan kertas, semuanya harus
dikonversi menjadi gula. Namun sumber gula dan bahan berpati dapat

Universitas Sumatera Utara

10

menimbulkan permasalahan baru jika dikonversi terus menerus menjadi bioetanol
karena bahan-bahan tersebut berpotensi juga sebagai bahan pangan (Lin et al.,
2006).

2.6 Pemanfaatan Limbah Untuk Produksi Bioetanol
Limbah pertanian yang keberadaannnya sangat berlimpah di Indonesia dapat
menjadi bahan baku pembuatan bioetanol. Pengembangan limbah pertanian untuk
produksi bioetanol tidak akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Selain itu,
hal ini dapat mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan. Bioetanol dapat
dibuat dari bahan-bahan bergula, berpati (karbohidrat), ataupun berserat, seperti
limbah kulit singkong, limbah kulit kentang dan limbah kulit talas (Irfan, 2013).
Umbi singkong (Manihot utilissima ) sebanyak 10 miliar ton, dapat
menghasilkan limbah 0,3 miliar ton tetapi pemanfaatannya hanya mencapai 0,1
milliar ton (Sriroth, 2008). Setiap singkong yang dikupas dapat menghasilkan 1520% kulit umbi dengan kandungan karbohidrat berkisar antara 68-85% dari berat
keseluruhan kulit umbi singkong, sehingga memiliki potensi yang cukup besar
untuk digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol (Cuzin et al., 1991).
Limbah kulit kentang (Solanum tuberosum) adalah salah satu contoh
limbah organik yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol.
Selama ini kupasan kentang umumnya digunakan sebagai makanan ternak, pupuk
organik, dan terkadang hanya dibuang begitu saja menjadi sampah. Kandungan
kimia yang terdapat dalam kupasan kentang belum diketahui secara spesifik,
namun dari penelitian yang telah dilakukan oleh Tima, (2011) kandungan
karbohidrat yang terdapat dalam kupasan kentang cukup tinggi.
Pemanfaatan talas sebagai bahan pangan telah dikenal secara luas. Di
Indonesia, talas sebagai bahan makanan cukup populer dan produksinya cukup
tinggi terutama di daerah Papua dan Jawa. Pengolahan talas saat ini kebanyakan
memanfaatkan umbi segar yang dijadikan berbagai hasil olahan, diantaranya yang
paling populer adalah keripik talas. Hingga saat ini pemanfaatan limbah kupasan
talas sebagai bahan baku pembuatan bioetanol masih jarang dilakukan sehingga
kandungan pati dalam limbah belum diketahui, tetapi kandungan pati pada umbi
talas mencapai 80% (Rahmawaty et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara