Rekognisi Frasa Adposisional Dalam Bahasa Indonesia

Telangkai Bahasa dan Sastra, April 2014, 9-20 Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

Tahun ke-8, No 1

REKOGNISI FRASA ADPOSISIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

Awaluddin Sitorus Universitas Alwashliyah Medan awaluddinsitorus@yahoo.com

Abstract
Artikel ini meninjau kajian rekognisi f rasa adposisional dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan teori transformasi generatif, penganalisasian bagaimana rekognisi frasa adposisional. Hasil analisis dapat menguraikan bahwa terjadinya frasa adposisional melibatkan adposisional dan objek-nya, adposisional berupa preposisi, posposisi dan ambiposisi, adposisional bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua adposisi, adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan, adposisional sebagai atribut.
Kata kunci: frasa adposisional, preposisi, posposisi, dan ambiposisi.

This article reviews recognition adposisional phrases in Indonesian by using the theory of generative transformation. The analysis results that the phrase adposisional involves adposisional and its object, adposisional a preposition, posposisi and ambiposisi, adposisional piled parent constituency consisting of two adposisi, adposisional marking parent and subordinate, adposisional as attributes.
Keyword: adposisional phrases, preposition, posposisi, and ambiposisi.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
Pandangan deskriptif bahwa kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam bentuk lisan, kalimat merupakan ujaran yang diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam bentuk tertulis, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?) dan tanda seru (!). Kalimat dalam ragam resmi, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P), walaupun objek (O) dan keterangan (K) bersifat fakultatif (boleh ada boleh tidak hadir pada kalimat. Kedua unsur utama subjek dan predikat tersebut adalah inti untuk membedakannya dengan sebuah frasa. Frase menduduki satu fungsi sintaksis dalam kalimat. Fungsi sintaksis itu berupa predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Oleh karena itu, istilah deskriptif sengaja digunakan untuk menyatakan bahwa sebuah rekognisi frasa adposisional dapat diperifrasekan menjadi beberapa fungsi berdasarkan struktur batiniahnya yang dibicarakan pada uraian-uraian rekognisi frasa adposisional. Di dalam pertuturan (lisan) atau karangan (tertulis), bahasa itu diwujudkan dalam bentuk satuan-satuan bahasa yang disebut kalimat. Sedangkan kalimat itu sendiri terbentuk dari satuan-satuan kata yang dirangkaikan ( Chaer, 2006: 300). Kalimat-kalimat ini, secara teoretis, dibentuk oleh fungsi sintaksis subjek, predikat, objek, dan keterangan.

9

Awaluddin Sitorus

Unsur yang berfungsi sebagai Subjek dapat dikatakan sebagai agen (A). Dalam pola kalimat bahasa Indonesia, subjek biasanya terletak sebelum predikat, kecuali jenis kalimat inversi. Subjek umumnya berwujud nomina, tetapi pada kalimat-kalimat tertentu, katagori lain bisa juga mengisi kedudukan subjek. Perhatikan contoh kalimat ini: (a) Hafni duduk-duduk di ruang tamu, Dari contoh tersebut yang berfungsi sebagai subjek adalah kata Hafni. Predikat dalam bahasa Indonesia bisa berwujud kata atau frasa verbal, adjektival, nominal, numeral, dan preposisional. Kalimat di atas, berfungsi sebagai predikat berkategori verbal dan dapat dikatakan kalimat verbal. Objek dalam kalimat umumnya berkategori nomina atau kata benda dapat juga dikatakan sebagai paisen (P), terletak setelah predikat yang berkategori verbal transitif. Objek pada kalimat aktif berubah menjadi subjek jika kalimatnya dipasifkan. Demikian pula, objek pada kalimat pasif menjadi subjek jika kalimatnya dijadikan kalimat aktif transitif. Contohnya yakni: (a) Adik dibelikan ayah sebuah buku. (b) Kami telah memicarakan peristiwa itu. Katakata ayah, sebuah buku, dan peristiwa itu adalah contoh objek. Khusus pada kalimat a. Terdapat dua objek yaitu ayah (objek 1) dan sebuah buku (objek 2) yang mempunyai aspek benefaktif. Pelengkap atau komplemen mirip dengan objek, namun berbeda karena pelengkap tidakmampu menjadi subjek jika kalimatnya yang semula aktif transitif dijadikan bentuk kalimat pasif. Contohnya yakni: (a) Indonesia berdasarkan Pancasila. (b) Kele ingin selalu berbuat kebaikan. (c) Kaki Raja tersandung kayu.
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan (Keraf, 1984:138). Frase juga didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 1991:222). Hal tersebut senada juga yang disampaikan (Ramlan, 2001:139) bahwa frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan. Artinya sebanyak apapun kata tersebut asal tidak melebihi jabatannya sebagai Subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa. Contoh: (1) Rumah bersalin itu(S) luas(P). (2) Beliau (S) yang akan datang (P) besok(Ket). (3) Bapak(S) sedang memasak (P) nasi goreng (O). (4) Gadis itu(S) cantik sekali(P). (5) Minggu depan (Ket) aku(S) kembali(P). (6) Bu Camat(S) berdiri (P) di depan(Ket).
Dari uraian kalimat contoh di atas, yang menjadi bentuk frase adalah rumah bersalin, yang akan datang, sedang memasak, nasi goring, gadis itu,cantik sekali, minggu depan, Bu camat, di depan. Sintaksis frasa, disamping frasa nominal, juga meliputi frasa adposisional, ajektival, adverbial. Sintaksis frasa dapat dipandang menurut struktur intra frasalnya dan menurut struktur ekstraprasalnya. Misalnya, frasa preposisi dapat berfungsi sebagai objek ekstrafrasal. Contoh: (a) Guru menguraikan tentang teori itu. (b) Olah tanah dengan cangkul. Pada hal, sacara intrafrasal semua frasa yang dicetak tebal di atas adalah sama dengan frasa adposisional.
Artikel ini menggunakan teori Transformasi Generatif (TG). Teori ini sangat tepat dipergunakan untuk membahas rekognisi frasa adposisional dalam bahasa Indonesia karena berdasarkan ancangan dapat menjelaskannya berdasarkan kontruksi pada struktur penerapan frasa dalam kalimat. Ruang lingkup penelitian ini adalah membicarakan frasa adposisional (FA). Hal ini penting dikaji karena masih ada frasa jenis lain dalam bahasa Indonesia, seperti frasa verbal, nominal, adjektiva adverb. Namun karena rumitnya persoalan tentang frasa, maka difokuskanlah hanya pada FA, munculnya hal ini, muncullah nantinya penelitian-penelitian tentang FA bahasa daerah yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia. Permasalahan yang menyangkut frasa adposisional dalam bahasa Indonesia, yaitu: (a) Bagaimana adposisional dan objek-nya? (b) Bagaimana adposisional berupa preposisi, posposisi dan ambiposisi? (c) Bagaimana adposisional
10

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
bertumpuk konstituen induk yang terdiri dari dua adposisi? (d) Bagaimana adposisional bermarkah induk dan bermarkah bawahan? (e) Bagaimana adposisional sebagai atribut?
KAJIAN PUSTAKA
Frase merupakan satuan sintaksis yang tersusun dari dua buah kata atau lebih, yang menempati tiap-tiap fungsi sintaksis. Frase, sebagai salah satu konstituen penting dalam satuan bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis. Frase merupakan konstruksi awal yang perlu dipahami terlebih dahulu untuk memahami sintaksis secara keseluruhan. Dalam satuan bahasa, konstituen frasa terletak pada tataran keempat setelah kata dan sebelum klausa, sehingga frase dapat menggantikan kata sebagai unsur pembentuk kalimat. Kalimat adalah telaah mengenai pola-pola yang dipergunakan sebagai sarana untuk menggabung-gabungkan kata menjadi frasa (Stryker, 1969:21). Ada pula yang mengatakan bahwa ―analisis mengenai konstruksi yang hanya mengikutkan bentuk-bentuk bebas disebutkan sintaksis frasa‖ (Bloch and trager, 1942:7).
Frase tidak boleh dipisahkan dari kesatuan fungsinya. Bila urutan-urutan unsur kalimat itu dipindahkan, maka frasa itu harus dipindahkan secara keseluruhan. Frase juga memiliki bentuk yang fleksibel, artinya kata-kata itu dapat rapat dan renggang. Frasa itu bisa disisipi dengan kata lain. Misalnya frasa di kamar, bisa menjadi frasa di suatu kamar atau di kamar kakek. Ada lagi yang mengatakan bahwa ―sintaksis adalah bahagian dari tatabahasa yang membicarakan struktur frasa dan kalimat‖ (Ramlan, 1976:57). Dari keterangan-keterangan serta batasan-batasan di atas, maka terbentuklah batasan sebagai berikut: sintaksis adalah cabang tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa, dan frasa. Maka di dalam struktur tersebutlah dibicarakan rekognisi frasa adposisional dalam bahasa Indonesia. Adapun jenis-jenis frasa terbagi atas dua, yakni berdasarkan hubungan konstituen-konstituennya dan kategori gramatikalnya. Berdasakan hubungan konstituen-konstituennya, frasa terbagi menjadi frasa endosentris dan frasa eksosentris. Sedangkan berdasarkan kategori gramatikalnya, frasa terbagi menjadi frasa nominal (FN), frasa pronominal (FPro), frasa verba (FV), frasa adjektiva (FA), frasa adverbial (FAdv), dan frasa numeralia (FNum). Karena memperhatikan kondisi seperti ini, di dalam bahasa Indonesia masih ada frase yang disebut frasa adposisional yang belum dibicarakan secara tuntas oleh ahli linguistik.
Berdasarkan makna leksikal rekognisi menurut kamus adalah perkenalan atau memperkenalkan. Dengan demikian, pengkolaborasian dengan frase adposisional merupakan memperkenalkan struktur bentuk dalam kategori bahasa serapan ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Menurut Elson dan Picklett (1983), “A phrase is a unit potentially composed of two or more word but which does not have the propositional characteristic of a sentence” (sebuah frasa ialah satuan yang secara potensial terdiri atas dua buah kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri proposisi sebuah kalimat). Sedangkan menurut Kridalaksana (1984), frasa ialah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, juga dapat renggang (Dola, 2010:39). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Satuan gramatikal sedang membuat dan patung presiden Habibie dalam kalimat Ayah Adi sedang membuat patung presiden Habibie merupakan frasa karena anggota pembentuk satuan bahasa itu tidak menjabat sebagai subjek maupun predikat. Istilah lain yang sering digunakan dalam linguistik Indonesia adalah kelompok kata. Frasa adposisional merupakan bagian dari frasa eksosentris. Jadi frasa eksosentris adalah frasa yang tidak berhulu, tidak berpusat atau non-headed (Dik,
11

Awaluddin Sitorus
1979:9) ataupun noncentered (Dik, 1979:90). Beradsarkan struktur internalnya, frasa adposisional yang terdapat pada frasa eksosentris disebut juga relater-axix phrase atau frase relasional (Bloch, 1968:165). Mengenai konsep frase, frase tidak dibatasi oleh jumlah kata atau panjang-pendeknya satuan. Frase bisa terdiri dua kata, tiga kata, empat kata, lima kata, dan seterusnya. Jadi, ukurannya bukanlah ukuran kuantitatif kata, melainkan ukuran rasional subjek dan predikat. Berapa pun panjang satuan atau jumlah kata dalam satuan itu, jika dipecah tidak menghasilkan subjek maupun predikat, maka satuan itu merupakan frase. Di dalam gramatika (grammar), frase merupakan salah satu konstituen dari tataran (level) sintaksis, sehingga frase merupakan bagian dari konstruksi sintaksis (Dola, 2010: 18).
Frase, dalam konstruksi sintaksis, terletak pada tataran awal -sebelum klausa dan kalimat. Walaupun kata termasuk dalam tataran sintaksis, tetapi kata di sini hanya sebagai pembentuk satuan yang lebih besar di atasnya erta hubungan kata dengan satuan bahasa di atasnya. Berbicara mengenai frasa, kita akan diingatkan kembali pada satuansatuan bahasa yang telah kita ketahui sebelumnya. sekedar mengingatkan, satuan bahasa (linguistic unit) merupakan bentuk lingual yang merupakan komponen pembentuk bahasa.
Menurut Pike & Pike, satuan-satuan bahasa terdiri atas: morfem, gugus morfem, kata, frasa, kalimat, paragraf, monolog, pertukaran, dan konversasi. Frasa terletak pada konstituen ke-4. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982) membedakan satuan bahasa menjadi morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, gugus kalimat, paragraf, dan wacana. Frasa terletak pada konstituen ke-3. Frasa sebagai salah satu konstituen penting dalam satuan bahasa ternyata memegang peranan penting dalam proses pembentukan sintaksis. Jadi, untuk memahami sintaksis secara keseluruhan, terlebih dahulu kita perlu memahami tentang apa dan bagaimana konstituen terkecilnya, yaitu frasa. Namun, dapat juga berwujud dua buah kata atau lebih, yang merupakan satu kesatuan, sebagai contoh:

Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon.


SP

O

Melihat konstruksi kalimat di atas, kita dapat mengidentifikasi subjeknya terdiri atas dua buah kata, yaitu ayah dan Poltak; predikatnya terdiri atas dua buah kata, yaitu sedang dan membuat; objeknya terdiri atas tiga buah kata, yaitu patung, marga, dan narasaon. Gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan dan menjadi salah satu unsur kalimat (S, P, O, atau K) biasa dikenal dengan istilah frasa. Jadi, dalam kalimat Ayah Poltak sedang membuat patung marga narasaon, yang menempati subjek adalah frasa Poltak; yang menempati predikat adalah frasa sedang membuat; dan menempati objek adalah frasa patung marga narasaon.

METODOLOGI
Dalam penyediaan data, metodologi yang dipakai adalah metode pustaka dengan mengkobolarasikan metode teknik catat. Adapun sumber data dari bahan yang tertulis adalah buku, majalah, jurnal ilmiah, dll. Data-data tersebut akan diuraikan berdasarkan masalah yang akan dideskripsikan pada penelitian ini. Teknik yang digunakan pada tahapan ini adalah teknik lesap, teknik ganti, teknik sisip, teknik balik, dan teknik ganti ujud dasar. Dengan demikian, data-data dianalisis dengan metode yang menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri untuk mendeskripsikan ancangan rekognisi frasa adposisional dalam bahasa Indonesia.

12

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Frase adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa nominal sebagai konsisten bawahan. Konstituen tersebut dalam ilmu linguistic lazim disebut objek artinya objek pada adposisi induk. Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk membedakannya dari ―objek‖ (huruf besar) sebagai argument dalam klausa; artinya Objek pada verba. Kebiasaan menyebut kokonstituen adposisi ―objek‖ pernah muncul oleh karena dalam banyak bahasa adposisi berasal dari verba. Tumpang –tindihnya kedua kelas kata itu, adposisi dan verba, masih terlihat dalam contoh (1) dan (2) bahasa Inggris (partisipia presen), contoh (3) bahasa Indonesia (bentuk man-), dan contoh (4) bahasa Tok Pisin (bentuk –im):

(1) considering mempertimbangkan ‗karena hal ini‘

this ini


(2) exceeding five lebih: dari lima ‗lebih dari lima kio

kilos kilo

(3) mengingat hal itu mempertimbangkan hal itu;

menurut dia; melebihi tuntutan

(4) winim

hat

lebih: dari panasnya

‗lebih panas adri air‘

bilong PRP:POS

wara air


Banyak bahasa adposisi tidak berasal dari verba (atau asal yang demikian tidak dapat
dibuktian), namun istilah ―objek‖ untuk kokonstituen adposisi umum dipakai para ahli linguistic. Selain dari itu, bahkan dalam hal adposisi berupa verbal, ―objek‖-nya belum

tentu diperlukan seperti objek pada verba predikatif. Misalnya, dalam bahasa Indonesia

bentuk verba dangan men- dapat menyufikskan objek pronominal (misalnya membaca-

nya, mengingat-nya), tetapi bentuk serupa sebagai objek adposisi tidak gramatikal: frasa

adposisional mengingat hal itu tidak dapat diubah menjadi*mengingat-nya dalam arti

yang sama. Sebaliknya, banyak adposisi nonverbal dalam bahasa ini dapat menyufikskan

objeknya dalam bentuk pronominal. Adposisi yang dapat mendahului objeknya disebut
―preposisi‖, sedangkan adposisi yang dapat mengikuti objeknya lazim dinamai ―posposisi‖. Selain dari kedua jenis ini ada juga yang dapat kita sebut ―ambiposisi‖, yaitu adposisi dengan dua bagian yang didepan dan dibelakang objeknya. Istilah ―ambiposisi‖, seperti juga istilah ―ambifiks‘ dan ―sirkumfiks‖ tidak sangat umum dipakai dalam ilmu

linguistik.

Ada bahasa-bahasa yang memiliki adposisi yang preposisional saja dan bahasa


tersebut bersusun beruntun VO secara konsisten misalnya dalam bahasa Woleai

(Mikronesia, daerah Pasifik) sebagai berikut:

(5) woal

Mariiken

dala;nya

amerika

‗di Amerika‘

13

Awaluddin Sitorus
(6) faal mai we di:bawah:nya pohon: sukun itu ‗di bawah pohon sukun itu‘
(7) ttir tangi Bill cepat dari Bill ‗lebih cepat dari Bill‘


Bahasa-bahasa yang bersusun beruntun OV secara konsisten biasanya memiliki adposisi hanya dalam bentuk posposisi saja: contohnya dalam bahasa Jepang (contoh 8 dan 9), bahasa Manam Papua Niugini (contoh 10 dan 11), dan bahasa Punjabi (contoh 12 dan 13):

(8) Tookyoo ni

(atau:)

Tokio ke

‗ke Tokyo‘

(9) Yokohama made

Yokohama sampai

‗sampai Yokohama‘

(10) p‟atu bo?ana batu seperti

‗seperti batu‘


(11) ?a‟i tongkat

o‟no dengan

‗dengan tongkat‘

(12) ker yc

rumah di:dalam

‗di dalam rumah‘

(13) pwtrang

tong

anak:anak:putera dari

‗dari anak-anak putera


tookyoo e Tokio

ke

Adanya banyak bahasa yang tidak memiliki keselarasan infraklausal untuk susunan beruntun, sehingga frasa adposisi meliputi baik preposisi maupun posposisi antara lain dalam bahasa Jerman (contoh 14, 15 dan 16), bahasa Belanda (contoh 17 dan 18) dan bahasa Inggeris (contoh 19 dan 20).

(14) mit

diese-n

denan ini J:DAT

‗dengan buku-buku ini‘

(15) fur die

untuk ART:DEF:N:J:AK

‗untuk anak-anak itu‘


(16) ihm

zuwider

3:M:T:DAT melawan

Buch-er-n buku J DAT
kind-er anak J:AK

14

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014

‗melawan dia‘

(17) over

het

erf


melintasi

ART:DEF:N:T pekarangan

(18) het

erf

over

ART:DEF:N:T pekarangan melintas

melintasi pekarangan‘

(19) notwithstanding the

problem

Walaupun:ada ART;DEF masalah


‗walaupun ada masalah itu‘

(20) the

problem notwithstanding

ART:DEF

masalah walaupun:ada

‗walaupun ada masalah itu‘

Ambiposisi dapat diperiksa dalam bahasa Belanda dan Inggeris sebagai berikut:

(21) tegen

mijn

wens-en in

melawan

POS;1:T

kehendak J

‗melawan kehendak saya‘

(22) door de

kamer heen

melalui ART:DEF ruang

‗melalui ruang itu‘

(23) for peter-„s sake

demi Peter

JEN

‗demi Peter‘

Dalam banyak bahasa, frasa adposisi membutuhkan adposisi mejemuk atau adposisi frasal atau adposisi rangkap sebagai induk frasa adposisional. Adposisi itu seakan-akan bertumpuk satu pada yang lain dan oleh sementara ahli disebut ―adposisi bertumpuk‖. Apakah adposisi bertumpuk dipandang sebagai adposisi majemuk atau adposisi frasal rupanya tidak begitu penting dan istilah ―adposisi bertumpuk‖ menghindari masalah tersebut. Contoh berikut ini adalah contoh bahasa Inggris (adposisi bertumpuk dicetak tebal):

(24) They took it from under

the

cabinet.

3:J ambil 3:T dari di:bawah ART:DEF lemari

‗Mereka mengambilnya dari tempat di bawah lemari‘.

(25) They dragged it to* (thespace) under

the cabinet

3:J seret 3:T ke ART:DEF tempat di:bawah ART:DEF lemari

‗Mereka menyeretnya ke tempat di bawah lemari‘.

15

Awaluddin Sitorus
Dalam kasus (16), preposisi bertumpuk from under memang ―bertumpuk‖ secara semantic pula, karena temapat barang yang diambil adalah di bawah (under) almari, sedangkan barang tersebut lalu pindah dari (from) tempat tersebut. Padahal ada kendala gramatikal pada alat semantic tersebut, seperti terlihat dalam (17): * to under tidak gramatikal (frasa the space atau prasa serupa wajib dipakai), dan under the cabinet adalah atribut pada nomina space.

Dalam bahasa Indonesia preposisi bertumpuk *dari di bawah tidak gramatikal, bukan karena preposisi bertumpuk dalam bahasa ini tidak mungkin, melainkan karena yang bertumpuk rangkap tiga tidak mungkin (di bawah sudah rangkap).

Dalam penelitian antarbahasa kita temukan berbagai sistem adposisi bertumpuk.
Periksalah system adposisi dalam bahasa Inggris. Bahasa ini memiliki system adposisi (tunggal) yang cukup terperinci: ada of ‗dari‘, from ‗dari‘, ‗daripada‘, to ‗ke‘, ‗kepada‘, above ‗di atas‘, below ‗di bawah‘, behind ‗di belakang‘, before ‗sebelum‘, ‗di depan‘ after ‗sesudah‘, between ‗di antara‘, dan sejumlah lain lagi. Menyangkut system adposisi bertumpuk dalam bahasa ini, system tersebut tergantung dari kebutuhan semantic (dengan
kendala gramatikal tertentu), tetapi seluruh system adposisi adalah system yang terdiri dari banyak adposisi tunggal. Sistem ini kiranya dapat kita sebut system ―tipe Inggris‖.

Sebaliknya, dalam bahasa tertentu yang lain ada sistem yang agak lain sifat-
sifatnya: jumlah adposisi tunggal hanya sedikit saja, sehingga kebutuhan semantis perlu
diungkapkan dengan sistem adposisi bertumpuk. Dalam bahasa Tok Pisin, misalnya, ada hanya tiga adposisi tunggal (kebetulan preposisi semua), yaitu: long ‗di‘, ‗dari‘; bilong ‗dari‘, ‗PRP:POS‘; dan wantaim ‗dengan‘ )tidak terhitung bentuk verbal winim ). Semua preposisi lainnya berupa preposisi bertumpuk (dengan long semua), sebagai contoh Tok
Pisin:

(26) aninit long antap long ausait long insait long

bawa di atas di luar di dalam di

‗di bawah‘ ‗di atas‘ ‗di luar‘ ‗di dalam‘

(27) namel long paslain long raun

long

antara di depan di keliling di

‗di antara‘ ‗di depan‘ ‗di keliling‘

Konstituen di depan long (kecuali paslain dan raun) , bila dipakai tanpa long, dapat berfungsi sebagai nomina atau sebagai adverbial. Contohnya aninit ‗bagian bawah‘ (seperti dalam long aninit ‗di bagian bawah) atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di bawah‘; contoh lain adalah antap ‗bagian atas‘ (seperti dalam long antap ‗di bagian atas‘), atau (dalam pemakaian adverbial) ‗di atas. Yang penting disadari adalah bahwa konstruksi seperti long aninit dan long antap adalah frasa preposisional (dengan long
sebagai preposisi tunggal), sedangkan aninit long dan antap long adalah preposisi
bertumpuk dan baru dengan nomina berikut merupakan frasa preposisional, seperti dalam
bahasa Tok Pisin,

(28) antap long haus

aninit long haus

atas di rumah

bawah di rumah

‗di atas rumah‘

‗di bawah rumah‘

16

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
Hampir semua kebutuhan semantik terpenuhi dengan adposisi bertumpuk dan sistem ini dapat kita juluki sistem ―tipe Tok Pisin‘. Dalam kontinuum di antara kedua sistem ini, yaitu tipe Inggris dan tipe Tok Pisin itu, ada sistem yang berlaku untuk banyak bahasa yang lain, bahasa Indonesia (―tipe Indonesia‖, katakanlah) di antaranya. Artinya, jumlah adposisi tunggal (seperti: di, dari, ke, pada, dengan, tanpa, untuk, bagi) tidak sangat besar tetapi juga tidak sangat kecil, sedangkan adposisi bertumpuk dalam bahasa ini agak besar jumlahnya juga (contohnya: di bawah, di atas, di belakang, dan seterusnya, dan adposisi serupa dengan dari dan pada sebagai adposisi pertama: dari bawah, dari atas, dan seterusnya). Pendek kata, adposisi bertumpuk cukup besar jumlahnya, dalam bahasa ini. Ada pula kendala gramatikal: ke + sufiks promominal tidak mungkin tanpa pada (kepadanya-nya, bukan * ke-nya; daripada-ku, bukan * dari-ku, dan seterusnya), sedangkan di antara adposisi tunggal ada yang dapat ditambahi sufiks (dengan-nya, untuk-nya), dan ada yang tidak (*tanpa-nya). Bahkan adposisi yang berprefiks men- tidak dapat ditambahi sufiks, sedangkan bentuk yang sama sebagai verba. Contoh bahasa Indonesia
(29) Saya kirim pesan ke* (pada) kepala kantor itu.
(30) Saya kirim pesan ke (*pada) kantor itu.
(31) Kalau label untuk buku, tempelkan saja kepada-nya.
Ada dua tipologi morfologis, yaitu bahasa pemarkah induk dan bahasa pemarkah bawahan. Kebetulan bahasa Indonesia (dan banyak bahasa Austronesia khususnya di Indonesia) sebagian besar memarkahi induk dalam konstruksi yang bermarkah. Contohnya: untuk-nya; bagi-nya; daripada-nya.
Frasa adposisional pemarkah induk ada dua jenis: 1. Pemarkahan adposisi secara pronominal sebagai pengganti nimona. Misalnya,
dalam bentuk Indonesia untuk-nya atau bagi-nya, sufiks-nya menggantikan nomina; artinya, bila nomina hadir, tak ada pemarkahan – nya: tidak mungkin konstruksi seperti *untuk-nya guru, haruslah untuk guru. 2. Pemarkahan adposisi induk adalah pemarkahan yang hanya menyertai, tidak mengganti, nomina objek, jadi ada baik pemarkahan (tebal) maupun nomina objek. Contoh bahasa Abkhaz (Kaukasia)
(32) a- jeyas a- q‟ne ART sungai 3:T pada ‗pada sungai itu‘
Pemarkahan bawahan dalam frasa adposisional terjadi dalam bentuk kasus nominal. Adposisi ―menguasai‖ (istilahnya) kasus tertentu dalam objek. Dalam bahasa yang termasuk dalam tipologi ini, adposisi dengan bentuk yang sama dapat berbeda menurut kasus-kasus yang ―dikuasainya‖ dalam objek, seperti dalam bahasa Latin: preposisi in dalam bahasa Latin menguasai kasus ablative dalam objeknya, bila artinya lokatif, sedangkan in menguasai akusatif bila sesuatu bergerak masuk tempat yang ditunjuk oleh objek:
17

Awaluddin Sitorus
(33) Est Ada:3:T:KPR:IND PRP ‗dia ada di rumah‘

in dom- o rumah T:ABL

(34) It

in dom- um

Gerak;KPR:IND:3:T PRP rumah Ak

‗dia masuk ke dalam rumah‘

Dalam bahasa Jerman, preposisi tertentu menguasai kasus datif dalam objeknya
(misalnya, mit ‗dengan‘ atau seit ‗sejak‘), sedangkan preposisi yang lain (misalnya wegen ‗karena‘, atau wa'hrend ‗selama‘) menguasai kasus jenitif dalam objeknya; preposisi lain lagi menguasai kasus akusatif (misalnya fu”r ‗untuk‘ atau durch ‗melalui‘).

(35) mit den

Kind- er- n

dengan ART:DEF:N:J:DAT anak J DAT

‗dengan anak-anak itu‘

(36) seit dem

Krieg

sejak ART:DEF:M:T:DAT perang

‗sejak perang itu‘

(37) wegen des

schlechten

wetter-s

karena ART:DEF:N:T:JEN buruk:T:JEN cuaca EN

‗karena cuaca yang buruk‘

(38) durh den

Saal

melalui ART:DEF:M:T:AK ruangan

‗melalui ruangan‘

Pembahasan ini hanya membahas dalam struktur intrafrasalnya. Namun

struktur tersebut kadang-kadang tergantung dari struktur ekstrafrasalnya. Dalam tradisi

pembahasan gramatikal baik untuk bahasa Inggris (contoh 39) maupun untuk bahasa

Indonesia (contoh 40) tidak terlihat adanya masalah. Misalnya frasa preposisional bahasa

Inggeris on the table dapat menjadi atribut pada the flowers, dan dalam frasa

preposisional dalam bahasa Indonesia di samping lemari dapat menjadi atribut pada kursi.

(39) the

flower on the

table

ART:DEF bunga di:atas ART:DEF meja

‗bunga di atas meja‘

(40) kursi di samping lemari

Akan tetapi, dalam bahasa Tok Pisin tidak semua frasa preposisional dapat dipakai sebagai atribut. Misalnya, frasa long ston dapat, tetapi konstruksi seperti itu agak jarang dipakai, dan hanya bila long sebagai preposisi tunggal bermakna lokatif (tidak bila bermakna ‗ke‘); dalam makna lokatif lebih ―normal‖-lah bentuk klausa relative.
(41) hul long ston lobang di:dalam batu
‗lobang di dalam batu‘

18

Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
(42) olgeta samting I stap long graun semua benda PRK ada di bumi ‗semua benda yang ada di dalam bumi‘
(43) rot * (i) raun long maunten jalan PRK keliling di bukit ‗jalan yang mengelilingi bukit‘
Dalam bahasa OV dengan keselarasan infraklausal yang konsisten yakni bahasa dengan posisi pronominal yang wajib untuk semua atribut, ada kendala-kendala ketat untuk frasa posposisional sebagai atribut. Misalnya, dalam bahasa Jepang hanya frasa dengan posposisi no ‗dari‘, ‗POS‘, dapat berperan sebagai atribut, dan alasan semantik, posposisi lain dibutuhkan, penambahan posposisi no di belakangnya perlu demi kegramatikalan frasa posposisional sebagai atribut, seperti contoh berikut.
(44) Niho no fune Jepang PSP kapal ‗kapal Jepang‘; atau: ‗kapal dari Jepang‘;atau: ‗kapal yang tujuannya Jepang‘; atau: ‗kapal milik Jepang‘
(45) Nihon kara no fune Jepang PSP PSP kapal ‗kapal yang dari Jepang (datangnya)‘
KESIMPULAN
Frase adalah satuan konstruksi yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan. Frasa adposisional terdiri atas adposisi sebagai induk dan kata atau frasa nominal sebagai konsisten bawahan. Selain itu juga adposisi dan objek-nya, preposisi, posposisi, ambioposisi, adposisi bertumpuk. Konstituen pada frasa adposisional itu disebut objek artinya objek pada adposisi induk. Istilah objek itu, dieja dengan ‗o‖ kecil‖, untuk membedakannya dari ―objek‖ (huruf besar) sebagai argument dalam klausa; artinya Objek pada verba.
DAFTAR PUSTAKA
Bloch and trager. 1942. Readings in Linguistics. New York: American Council. Chaer. Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Chaer. Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dik, Simion C. 1979. Functional Grammar. Amsterdam: Nort Holland. Dola, Abdullah. 2010. Tataran Sintaksis dalam Gramatika Bahasa Indonesia. Makassar:
Badan Penerbit Univesitas Negeri Makassar.
19

Awaluddin Sitorus
Elson and Picklett. 1983. Language Teaching: A scientific Approach. New York: McGraw-Hill, Inc.
Keraf, Gorys. 1984. Tatabahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah. Kridalaksana .1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Kushartanti, dkk. 2009. Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. P, Wardihan. 2010. Diktat Pengantar Linguistik. Makassar: Universitas Negeri Makassar. Pike, Kenneth L., and Evelyn G. Pike.1977. Grammatical Analysis, The Summer Institu
of Linguistics and The University of Texas at Arlington. Ramlan, M. 1985. Tatabahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Ofset. Samsuri. 1978. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sudaryanto. 1991. Tatabahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press. Stryker. 1969. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa. Verhaar, J.W.M. 1977. Pengantar Linguistik, Jilid I: Yogyakarta: Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada. Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. Verhaar, J.W.M. 1994c. ―Language underived. “Notes on Linguistics, 67: 41-44. Verhaar, J.W.M. 1995a. ―Endony and exonyms. “Notes on Linguistics, 70: 11-14.
20