2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan berlakunya undang-undang ini maka
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud seperti diatur dalam KUHPerdata dan Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen S.1933 Nomor 74 dinyatakan tidak berlaku. 3.
Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tesebut dalam Pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat 6.
C. Tata Cara Perkawinan
Tata cara pelaksanaan perkawinan ditentukan dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. 3.
Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Disamping itu seusai dilangsungkannya perkawinan, kemudian
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan penandatanganan akta perkawinan sesuai peraturan sehingga urutannya sebagai berikut:
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku. 2.
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh kedua mempelai, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.
D. Akibat-Akibat Hukum dari Perkawinan
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat akibat-akibat yang timbul dalam perkawinan terhadap suami istri, yaitu :
1. Bagi suami dan istri akan timbul hak dan kewajiban di antara mereka berdua
dan hubungan mereka dengan masyarakat luas, hal ini tertuang pada pasal 30 sd pasal 34 UUP.
Pasal 30 UUP menyebutkan bahwa : Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan
masyarakat. Menurut Prof. Sardjono, menegakkan rumah tangga artinya berusaha supaya rumah tangga tetap utuh dan tidak bubar karena terjadi perceraian.
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban ini harus pula dihubungkan dengan tujuan perkawinan yang disebutkan dalam pasal 1 UUP yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Dengan
tetap utuhnya setiap perkawinan dalam suatu masyarakat tertentu, akan berakibat terpeliharanya masyarakat yang bersangkutan dengan baik dan tertib serta
sejahtera, karena suatu keluarga adalah merupakan sendi dasar yang paling utama dan pertama dalam susunan masyarakat.
Kewajiban suami istri dalam pasal 30 tersebut di atas lebih lanjut ditegaskan lagi atau diperinci lebih lanjut dalam pasal 33 UUP bahwa : Suami istri
wajib saling cinta-mencinta, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Karena dengan saling mencintai, saling
menghormati, saling membantu lahir batin dan saling setia serta saling memberi di antara suami istri itu, maka terpenuhi kewajiban masing-masing dalam
menegakkan rumah tangga mereka. Sebab dengan demikian akan terwujud suasana damai dan saling pengertian yang merupakan syarat mutlak bagi tegaknya
sebuah rumah tangga. Dengan pengertian akan kewajiban saling mencintai dan saling membantu itu, jelas harus diakui oleh masing-masing suami istri, mereka
telah menjadi satu kesatuan yang utuh dan masing-masing mengakui bahwa diantara mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal itu ditegaskan dengan
jelas dalam Penjelasan Umum UUP pada butir 4 a : untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan sprituil dan materiil. Yaitu untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut dalam pasal 1 UUP. Lebih lanjut lagi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya masing-masing dalam
Universitas Sumatera Utara
saling membantu untuk mencapai kesejahteraan di bidang materi keduniawian tetapi juga di bidang sprituil kerohanian dan keakhiratan.
Pasal 31 ayat 1 mengatakan bahwa : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Prof. Sardjono, maksud dari pasal 31 ayat 1 ini bila dihubungkan
dengan ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 dan 3, serta dalam pasal 32, 35, 36, 41, 45 dan 47 UUP, dimana isi dari pasal-pasal ini tidak lain adalah perincian dari
ketentuan pasal 31 ayat tersebut. Dimana dapat disimpulkan bahwa : Undang-undang memberikan kepada suami dan istri masing-masing
wewenang tertentu yang memungkinkan mereka bersama-sama atau masing- masing melaksanakan tugas membina keluarga yang bahagia dan sejahtera atas
dasar tanggung jawab bersama atau masing-masing dengan tetap menghindarkan pembagian atau pemisahan tugas antara suami-istri
17
.
Pasal 31 ayat 2 mengatakan bahwa : Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Yang dimaksudkan masing-masing pihak tertentu tidak lain adalah sang suami itu atau sang istri sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan perbuatan hukum,
adalah setiap perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Dalam keadaan sehari-hari suami dan istri melakukan perbuatan hukum itu dapat berupa
melakukan atau mengadakan perjanjian dengan pihak luar, yang tentu saja dalam rangka mencapai dan mengusahakan suatu keluarga yang bahagia dan kekal.
Walaupun dikatakan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum,
17
Sardjono, H.R. 1975 : Berbagai-bagai masalah Hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974. Naskah yang tidak pernah dipublikasikan, tetapi menjadi naskah
wajib pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1975-1999
Universitas Sumatera Utara
yang berarti tidak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada suami atau istri, alangkah baiknya masing-masing pihak itu tetap saling
memberi informasi kepada sang suami atau istri apa yang telah mereka lakukan sehari-hari dalam melakukan perbuatan hukum itu demi mencapai keluarga yang
bahagia dan kekal. Menurut Prof. Sardjono, kewenangan dari masing-masing suami istri itu sebaiknya juga diperluas dengan mencakup pula kewenangan untuk
mengadakan proses di forum pengadilan guna mempertahankan perjanjian dalam hal terjadi ingkar janji. Ketentuan pasal 31 ayat 2 UUP ini adalah sebagai
perubahan yang sangat fundamental atas ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW Indonesia, yang mengatakan bahwa wanita yang bersuami
tidak berwenang membuat suatu perjanjian. Pasal 31 ayat 3 berbunyi : Suami adalah Kepala Keluarga dan Istri adalah
Ibu Rumah Tangga. Ketentuan tersebut di atas sangat erat sekali dengan ketentuan dalam
agama, terutama dalam agama Islam yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan, sehingga oleh pembentuk undang-undang
diterjemahkan pula dalam kehidupan rumah tangga dimana dikatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga. Walaupun demikian hal itu tidak berarti
kedudukan sang istri berada di bawah sang suami, karena berdasarkan kodratnya maka sang istri ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai ibu rumah
tangga. Tetapi justru sekarang ini setelah tiga dasawarsa umur UUP ini, timbul
reaksi atau pendapat dari masyarakat terutama kaum perempuan yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
ketidaksetujuan mereka terhadap anggapan bahwa sang istri tidak bisa sebagai kepala rumah tangga, kalau memang sang istri mampu dan dalam praktak
kemungkinan sang istri mempunyai penghasilan atau gaji yang lebih besar dari sang suami. Hal tersebut timbul sekarang ini dalam rangka gerakan persamaan
gender di masyarakat Indonesia sekarang ini. Menurut paham persamaan gender ini, ketentuan pasal 31 ayat 3 UUP berarti adanya diskriminasi tanggung jawab
antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, sebab dengan demikian sang istri tidak dimungkinkan sebagai kepala rumah tangga atau sebaliknya sang
suami tidak bisa ditugaskan sebagai ibu atau bapak rumah tangga. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah istilah kepala keluarga dapatkah dimasukkan di
dalam pengertian sebagai bapak rumah tangga yang dapat diartikan juga sebagai ibu rumah tangga, begitu pula sebaliknya istilah ibu rumah tangga dapatkah
dimasukkan ke dalam pengertian kepala rumah tangga. Sebetulnya menurut pendapat umum bahwa semua itu adalah sekedar penyebutan pembagian tugas
dalam rangka menjalankan kehidupan rumah tangga, masing-masing suami dan istri mempunyai tugas dan kedudukan yang sama, yang pembagian kekuasaan itu
berdasarkan kodrat dari seorang laki-laki dan kodrat seorang perempuan. Sebetulnya yang ditentang dalam masyarakat sekarang ini ketentuan dalam
peraturan atau sistem penggajian yang ada selama ini terhadap tenaga laki-laki dan tenaga wanita, baik yang ada pada instansi pemerintah pegawai negeri atau
TNI dan POLRI ataupun swasta perusahaan. Dimana seorang pegawai negeri atau karyawan laki-laki mendapatkan tunjangan istri dan anak-anak, karena dalam
UUP dia sebagai kepala keluarga kalau memang mereka sudah berkeluarga,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan seorang pegawai negeri atau karyawan perempuan tidak mendapatkan tunjangan suami dan anak, walaupun mereka sudah berkeluarga, bahkan juga
tidak mendapatkan tunjangan anak kalau pegawai atau karyawan perempuan itu sebagai janda yang mempunyai anak. Jadi sebetulnya pemerintah bisa saja
memberikan tunjangan istri dan tunjangan suami beserta tunjangan anak kepada setiap pegawai atau karyawan dengan tidak membedakan perempuan atau laki-
laki, kalau memang mereka sudah berkeluarga dan tidak lagi berstatus belum menikah. Hanya kalau sampai demikian jauh ditentukan, tentu perlu juga
diadakan peraturan yang melarang suami dan istri bersama-sama sebagai pegawai negeri, TNI dan POLRI pada instansi pemerintah, begitu pula pada perusahaan
yang sama pada pihak swasta. Prof. Sardjono, menghubungkan ketentuan pasal 31 ayat 3 ini dengan
ketentuan dalam pasal 34 UUP dan menurut beliau kalau dilihat isinya dapat dianggap sebagai perincian dari pasal 31 ayat 3 UUP.
Pasal 34 ayat 1 UUP : Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Kewajiban suami tersebut adalah dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Kedudukan sebagai kepala keluarga membawa tanggung
jawab tersebut. Mengenai jumlah nafkah penghidupan keluarga yang harus diberikan oleh
suami kepada istrinya, menurut Prof. Sardjono lazimnya penentuannya didasarkan atas dua faktor yaitu :
1. Kemampuan pihak yang wajib memberi nafkah dan
Universitas Sumatera Utara
2. Kebutuhan keluarga yang akan menerima nafkah itu.
Karena dua faktor itu selalu berubah, maka jumlah nafkah itu selalu menyesuaikannya, misalnya mengenai biaya pendidikan anak akan selalu berubah
sesuai dengan tingkat sekolahnya. Pasal 34 ayat 2 UUP : Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-
baiknya. Maksudnya adalah menjadi urusan sehari-hari dari pihak istri untuk
mengurus rumah tangga dan mendidik anak, jika mempunyai anak. Kewajiban sang istri ini dilimpahkan kepadanya dalam kedudukannya sebagai ibu rumah
tangga. Pasal 34 ayat 3 UUP : Jika suami atau istri melalaikan kewajiban, masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Memang menurut UUP antara suami dan istri harus ada pembagian tugas
dalam melaksanakan kewajiban membina keluarga bahagia dan sejahtera seperti yang dibicarakan di atas.
Pasal 31 ayat 1 : Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
Pasal 32 ayat 2 : Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1 pada pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama.
Kewajiban yang tersebut dalam pasal 32 ini merupakan kewajiban utama dari suami istri, sebab dengan memenuhi kewajiban itu dapat dijamin keberhasilan
dari kehidupan perkawinan artinya terbuka kesempatan seluas-luasnya bagi suami istri untuk membina kehidupan kekeluargaan yang bahagia dan sejahtera, spirituil
Universitas Sumatera Utara
dan materiil yang menjadi tujuan perkawinan. Menurut Prof. Sardjono, hidup terpisah dari sang suami atau sang istri adalah bertentangan dengan kewajiban
suami dan istri dalam perkawinan. Sebagai sanksinya, bila diantara suami istri terjadi hidup terpisah selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah akan
menjadi alasan masing-masing pihak untuk menggugat cerai pasal 19 No. 9 b PP No. 9 Tahun 1975.
Ketentuan dalam ayat 2 pasal 32 adalah sesuai dengan bunyi pasal 31 ayat 1 UUP, dimana suami istri seimbang kedudukannya, sehingga dalam menentukan
tempat tinggal bersama haruslah ditentukan bersama antara suami istri. Bukan ditentukan oleh orang luar seperti orang tua atau mertua dari masing-masing
pihak, walaupun disediakan rumah yang lengkap dan mewah, kalau tidak disetujui oleh suami istri, hal itu perlu dipertanyakan oleh suami istri yang bersangkutan.
Prof. Sardjono, menghendaki agar pasal 32 ayat 1 ini ditambah dengan kata
bersama di antara kata kediaman dan yang tetap, untuk lebih menekankan adanya
kewajiban dari suami istri untuk hidup bersama dan tidak hidup terpisah satu dari yang lain. Tanpa perkataan bersama, maka mungkin pasal 32 ayat 1 UUP ini bisa
ditafsirkan secara salah di kemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
2. Terbentuknya harta benda yang ada dalam perkawinan.
Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35, 36, 37 UUP. Ketentuan mengenai harta benda perkawinan ini sangat dipengaruhi oleh
hukum adat yang berlaku di Indonesia, khususnya hukum adat Jawa. Sedangkan pengaruh dari ketentuan hukum agama, khususnya agama Islam tidak ada
terhadap ketentuan harta benda perkawinan
18
Dalam hal harta benda perkawinan ini, Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa :
.
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama diatur
dalam pasal 35 ayat 1. Jadi di sini semua harta yang dibeli atau diperoleh selama perkawinan
adalah harta bersama, walaupun harta tersebut di atas namakan salah seorang, baik suami maupun istri. Bahkan juga harta yang dibeli bersama dengan uang yang
diperoleh selama perkawinan juga masuk harta bersama. b.
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak diatur dalam pasal 36 ayat 1.
Menurut Prof. Sardjono, istilah bertindak dapat ditafsirkan meliputi hak beheer mengelola atau mengurus maupun beschikking mengalihkan,
meminjamkan, menjual. Di sini kewenangan dari suami atau istri adalah sama, sesuai dengan ketentuan pasal 31 ayat 1 UUP dimana kedudukan suami dan istri
adalah sama dan seimbang, demi suksesnya pelaksanaan tugas pembinaan rumah tangga yang bahagia. Karena itulah suami istri dalam melaksanakan pengelolaan
18
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, Halaman 59-60.
Universitas Sumatera Utara
dan menentukan harta bersama ini harus saling terbuka dan saling memberitahukan dan adanya persetujuan dari kedua belah pihak baik suami
maupun istri. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan hukum adat terhadap harta benda bersama perkawinan yang disebut dengan “harta gono-gini”.
c. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
diatur dalam pasal 35 ayat 2. Mengenai apa yang disebut harta masing-masing atau harta sang suami
atau harta sang istri pada pasal 35 ayat 2 ini secara tegas dan limitatif disebutkan terdiri dari :
− Harta bawaan sang suami dan harta bawaan sang istri sebelum perkawinan
berlangsung, dibawa ke dalam perkawinan. −
Harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan atas nama sang suami atau atas nama sang istri, baik sebelum atau pun selama melangsungkan
perkawinan. Sehingga dengan demikian semua harta benda atau uang lainnya yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik karena hasil kerja sang suami ataupun karena hasil kerja sang istri mungkin sebagai dokter, pengacara, artis,
dsb., tetap sebagai harta bersama dan bukan sebagai harta masing-masing. d.
Mengenai harta bawaan, masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
diatur dalam pasal 36 ayat 2 UUP.
Universitas Sumatera Utara
Di sini kewenangan masing-masing suami-istri adalah sama, baik berupa beheer
mengelola ataupun beschikking menentukan pengalihan =
vervreemden, atas harta masing-masing tadi, sehingga tidak perlu adanya persetujuan dari pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing tadi. Hal ini sesuai dengan apa ygn berlaku dalam hukum adat. e.
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing diatur dalam pasal 37 UUP.
Menurut penjelasan UUP pasal 37, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Menurut Prof. Sardjono, pasal 35 ayat 2 bagian akhir membuka kemungkinan bagi para pihak, yaitu suami atau istri untuk menentukan lain
tentang penguasaan harta bawaan. Menentukan lain itu dapat diartikan bahwa para pihak suami dan istri dapat membuat perjanjian mengenai penguasaan harta
bawaan tersebut, yang kewenangan lebih lanjut diatur dalam pasal 20 UUP tentang perjanjian perkawinan.
3. Lahirnya keturunan atau anak.
Mengenai hal ini ada tiga hal yang perlu dibahas yaitu : a.
Tentang status anak atau kedudukan anak : Mengenai hal ini diatur dalam bab IX dari UUP yang meliputi pasal 42, 43
dan 44 UUP. Di dalam UUP hanya dikenal dua buah status atau kedudukan anak, yaitu
anak sah dan anak tidak sah. Anak sah disebutkan dalam pasal 42 UUP : Anak
Universitas Sumatera Utara
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan anak yang tidak sah artinya tidak dilahirkan dalam perkawinan yang sah dimana disebut dalam pasal 43 ayat 1 UUP : Anak yang diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Selanjutnya dalam pasal 43 ayat 2 UUP dikatakan bahwa : Kedudukan anak tersebut dalam ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Sayang sampai sekarang Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan itu
belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Status dan kedudukan anak dalam UUP sangat dipengaruhi oleh hukum agama, khususnya agama Islam yang hanya
mengenal dua status anak yaitu anak sah dan anak haram tidak sah. Sedangkan dalam hukum adat di Indonesia juga dikenal anak angkat. Mengenai anak angkat
ini pernah dicantumkan atau diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perkawinan pada pasal 62 dahulu, tetapi ditolak atau dihilangkan dalam
pembahasan DPR RI pada akhir tahun 1973. b.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Anak-anak yang sah lahir karena dan dalam perkawinan yang sah antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Karena itu antara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah itu timbul hubungan hukum dengan orang
tuanya itu yaitu ibu dan bapaknya. Hubungan hukum itu yang menimbulkan hak dan kewajiban antara si anak dengan orang tuanya dan oleh UUP diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
Bab X dengan judul Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak yang meliputi pasal 45, 46, 47, 48 dan 49 UUP.
Unsur-unsur yang perlu diperhatikan mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak adalah antara lain :
1. Usia belum dewasa bagi seorang anak :
Mengenai ini peraturan perundang-undangan kita belum secara komprehensif mengatur segala sesuatu tentang usia seorang anak untuk
dapat atau tidak dapat berbuat sesuatu. Misalnya : −
Peraturan tentang Kartu Tanda Penduduk, menentukan bahwa sesorang telah berumur 17 tahun wajib mempunyai KTP.
− Peraturan Perundang-Undangan tentang PEMILU menentukan bahwa
seseorang baru boleh ikut mencoblos atau ikut pemilihan umum pada umur 17 tahun.
− Seseorang baru boleh memiliki Surat Izin Mengemudi SIM A, pada
umur 18 tahun, sedangkan SIM C pada umur 17 tahun menurut peraturan lalu lintas.
− UUP menentukan seorang wanita minimal berumur 16 tahun untuk
bisa melangsungkan perkawinan, sedangkan laki-laki minimal berumur 19 tahun Pasal 17 ayat 1 UUP, dll.
2. Kewajiban dan kekuasan orang tua terhadap anak
Pasal 45 ayat 1 : Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak- anak mereka sebaik-baiknya.
Pasal 45 ayat 2 : Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal
Universitas Sumatera Utara
ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
Pasal 48 : Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 47 ayat 1 : Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 3.
Kewajiban anak terhadap orang tua Pasal 46 ayat 1 : Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. Pasal 46 ayat 2 : Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
c. Perwalian atas anak-anak
Mengenai perwalian ini diatur dalam bab XI UUP dengan judul Perwalian yang terdiri dari pasal 50 sd pasal 54. Pertama kali kita sedikit menyinggung
tentang istilah wali atau perwalian, yang bagi masyarakat hukum perlu mencari atau mengusahakan pembakuan istilah. Sebab istilah wali bisa digunakan dalam
kaitannya dengan perwalian anak, ada lagi istilah wali dalam hubungannya dengan wali nikah dalam hukum perkawinan Islam yang hanya boleh dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh seorang laki-laki. Karena itu lebih baik untuk wali di dalam hukum perkawinan Islam dipakai istilah wali nikah, secara lengkap tidak setengah-
setengah, sedangkan wali atau perwalian atas anak-anak cukup dengan istilah wali atau perwalian atau perwalian anak.
Pasal 50 ayat 1 : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada di bawah kekuasaan wali. Pengaturan tentang perwalian anak-anak ini pada hakikatnya mengandung
asas-asas yang hampir sama dengan pengaturan tentang kekuasaan orang tua.
Universitas Sumatera Utara
45
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN DI
INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan Campuran
` Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan
lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara
ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut hasil survei online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002, dari 574
responden yang terjaring, 95,19 adalah perempuan warga WNI yang menikah dengan pria WNA. Angka terbesar adalah perkenalan melalui internet, kemudian
bekas teman kerjabisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah dan sahabat pena. Perkawinan campur terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan
tenaga kerja dari negara lain. Di lain pihak, Kantor Catatan Sipil KCS DKI Jakarta mencatat 878 perkawinan selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4
persennya adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA 829 pernikahan. Angka tersebut belum termasuk pernikahan di KUA yang tidak
didaftarkan di KCS dan di seluruh Tanah Air
19
Perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak
perempuan. Salah satunya adalah UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang .
19
www.mixecouple.com, Masalah-Masalah Yang Saat Ini Dihadapi Keluarga Perkawinan Campuran, 12 Agustus 2006.
Universitas Sumatera Utara
Kewarganegaraan telah menempatkan perempuan sebgai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur Pasal 8 ayat 1 dan kehilangan
hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya. Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum
antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken Stb. No. 158 Tahun1898.
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”.
Pasal 1 di atas memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas,
warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku
hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk
dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan, terutama yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan agama
dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang
Universitas Sumatera Utara
seragam. Pasal 2 GHR menyebutkan dengan tegas mengenai status seorang
perempuan dalam perkawinan campuran, yaitu selama pernikahan belum putus, seorang istri tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik di lapangan
hukum ublik maupun hukum sipil. Pasal 10 GHR mengatur tentang perkawinan campuran di luar negeri, di antaranya mengatur perkawinan campuran antar
bangsa antar negara, antara lain yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 memberikan
definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan
adalah : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-
Undang ini untuk perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga
padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut
20
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa
:
20
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, Halaman 36.
Universitas Sumatera Utara
seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama
kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu
21
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan Intergentiel
:
Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda
kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat Interlocal
Mengatur hubungan hukum perkawinan antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin dengan
orang Jawa. 3.
Perkawinan Campuran Antar Agama Interreligius Mengatur hubungan hukum perkawinan antara 2 orang yang masing-masing
tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat asas, yaitu
22
1. Asas Mengikuti
:
Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan
21
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka Publiser, 2006, Halaman 242.
22
Ibid, hal. 244
Universitas Sumatera Utara
maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. 2.
Asas Persamarataan Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang,
dalam arti mereka masing-masing suami dan istri bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.
Suatu kemajuan dibuat dalam Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1957 di mana setiap negara
yang ikut menandatangani menyetujui bahwa baik penyelenggaraan maupun pembubaran perkawinan antara salah satu warga negaranya dan seorang asing,
atau suatu perubahan kewarganegaraan oleh si suami selama perkawinan, tidak akan mempunyai suatu efek otomatis kewarganegaraan istrinya dan ketentuan
dibuat untuk memudahkan melalui naturalisasi perolehan sukarela oleh seorang istri asing atas kewarganegaraan suaminya.
B. Tata Cara dan Syarat-Syarat Perkawinan Campuran