Tata Cara dan Syarat-Syarat Perkawinan Campuran Kasus Posisi

maupun kemudian setelah perkawinan berjalan. 2. Asas Persamarataan Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing suami dan istri bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan. Suatu kemajuan dibuat dalam Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1957 di mana setiap negara yang ikut menandatangani menyetujui bahwa baik penyelenggaraan maupun pembubaran perkawinan antara salah satu warga negaranya dan seorang asing, atau suatu perubahan kewarganegaraan oleh si suami selama perkawinan, tidak akan mempunyai suatu efek otomatis kewarganegaraan istrinya dan ketentuan dibuat untuk memudahkan melalui naturalisasi perolehan sukarela oleh seorang istri asing atas kewarganegaraan suaminya.

B. Tata Cara dan Syarat-Syarat Perkawinan Campuran

Tata cara dan syarat-syarat perkawinan campuran di atur dalam Pasal 59 ayat 2 sampai dengan Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang menentukan sebagai berikut : 1. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini. 2. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka Universitas Sumatera Utara mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat- syarat telah terpenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak boleh dimintakan banding tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam Pasal 60 ayat 3 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 enam bulan sesudah keterangan itu diberikan. 6. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

C. Status Kewarganegaraan Pasangan Perkawinan Campuran

Setelah dilangsungkannya perkawinan campuran maka penentuan status kewarganegaraan adalah penting, hal ini adalah untuk menjamin kedua belah pihak dalam kehidupannya. Status hukum menandakan sebuah hubungan hukum antara seorang individu dengan sebuah negara. Status tersebut menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan penyelenggaraan hak dan kewajiban sipil bagi warga negara. Identitas kewarganegaraan akan berimplikasi pada hak dan kewajiban sebagai warga negara yang diatur dalam hukum kewarganegaraan. Universitas Sumatera Utara Pasal 58 UUP berbunyi sebagai berikut : “Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.” Kewarganegaraan ygn diperoleh itu menentukan hukum yang berlaku baik hukum publik maupun hukum privat, status anak-anak yang terlahir dari perkawinan campuran diatur sesuai dengan ketentuan tersebut di atas. Setelah melangsungkan perkawinan campuran maka ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan setelah perkawinan itu terjadi, seperti mengenai kehidupan hukum suami-istri. Pasal 2 GHR menentukan bahwa seorang wanita istri yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan itu belum diputus, tunduk pada hukum yang berlaku pada suaminya, singkatnya istri mengikuti status hukum suami. Dengan ketentuan ini jelaslah bahwa bagi istri tidak ada pilihan lain selain tunduk dengan sendirinya kepada hukum sang suami. Di samping itu ketentuan tersebut tidak pula memberikan kebebasan bagi sang istri untuk menentukan pilihan hukum mana yang berlaku baginya setelah ia melakukan perkawinan campuran itu. Istri memperoleh kewarganegaraan danatau kehilangan kewarganegaraannya sendiri, bergantung pada Undang-Undang Kewarganegaraan dari sang suami dan sang istri. Hal mengenai status kewarganegaraan perkawinan campuran dapat dilihat dalam pasal 26 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilang kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibar perkawinan tersebut. 2. Laki-laki warga negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. 3. Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 atau laki-laki sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 jika ingin tetap menjadi warga negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginnannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. 4. Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat 2 setelah 3 tiga tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung. Dari bunyi pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan kewarganegaraan kedua belah pihak maka harus juga memperhatikan hukum yang berlaku pada pihak suami dan pihak istri. Hal ini sangat penting, karena dalam penentuan hukum yang akan dipakai oleh kedua belah pihak. Tetapi berdasarkan ayat 3 dan 4 laki-laki atau perempuan yang menikah dengan Universitas Sumatera Utara warga negara asing dapat mempertahankan kewarganegaraannya dengan cara membuat surat pernyataan. Hal ini memberikan kemudahan untuk tetap menjadi warga negara Indonesia berdasarkan bunyi pasal tersebut, asalkan tidak menyebabkan kewarganegaraan seseorang menjadi ganda. Dengan kemudahan-mudahan itu maka perlindungan terhadap pasangan perkawinan campuran dapat terlaksana setelah Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini berlaku. Pada awal sebelum berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan ini, status perempuan sebagai istri warga negara asing sering dirugikan karena status kewarganegaraanya ambigu. Sebagai warga negara Indonesia ia dianggap orang asing. Selain itu status hukumnya terpisah dengan status hukum anaknya dan dalam banyak hal menimbulkan masalah bagi pasangan perkawinan campuran tersebut. Namun hal itu tidak menjadi masalah lagi setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ini. Universitas Sumatera Utara 54

BAB IV TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN

CAMPURAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN STUDI KASUS : YUNI VS LARRY

A. Kasus Posisi

Mulanya semua begitu indah. Dua hati yang bertaut membuat Yuni Warga Negara Indonesia dan Larry Levesque Warga Negara Amerika Serikat sungguh bahagia. Perbedaan suku bangsa bukan masalah. Larry yang bekerja di sebuah perusahaan asing di Indonesia lalu memberanikan diri untuk menikahi Yuni di Indonesia. Pernikahan campuran mereka tersebut lalu dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil di Jakarta. Mereka membayangkan masa depan yang bahagia bersama Thomas, sang buah hati hasil perkawinan campuran mereka yang lahir di Indonesia. Namun apa mau dikata. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia membuat Larry harus kehilangan pekerjaan. Perusahaan tempatnya bekerja ditutup dan harus pindah lokasi ke negara lain. Kualifikasi gaji dan posisi yang terlalu tinggi membuat pria asal Amerika ini tidak mudah mencari pekerjaan pengganti di Indonesia. Menghadapi situasi ini, Larry frustasi. Dia mulai menjadi pecandu alkohol. Pria yang ramah ini berubah pemarah. Keaadaan terus memburuk. Tabungan menipis. Akhirnya mereka sepakat berangkat ke Amerika, dengan mengikuti program repatriasi. Tapi sayang, nama Yuni tidak termasuk Universitas Sumatera Utara yang disetujui dalam program itu. Pihak Konjen AS mengatakan program itu hanya untuk warga negara Amerika. Maka Yuni terpaksa tinggal dan berjanji akan menyusul. Pada saat uang terkumpul, Yuni berangkat ke Amerika dengan visa turis. pertemuan yang diharapkan indah itu ternyata menjadi awal penderitaan Yuni. Selama di Amerika, suaminya ternyata semakin parah tenggelam dalam minuman keras. Larry yang kepergok sedang mabuk berat justru mengusir Yuni. Bahkan Yuni juga tidak diperkenankan bertemu sang buah hati. Ketika Yuni memaksa, Larry menelepon 911 bahkan kemudian polisi. Yuni ditangkap, diborgol, lalu ditahan. Larry dan Yuni lalu sepakat mengakhiri pernikahan mereka dengan jalan perceraian. Segala upaya telah dilakukan Yuni untuk membawa serta Thomas dalam asuhannya, tetapi selalu saja gagal. Bahkan Yuni terpaksa pulang ke Indonesia tanpa si buah hati. Sejak itu, dengan segala cara, Yuni berjuang mendapatkan hak perwalian atas Thomas. Apalagi ketika dia mendengar kabar anak semata wayangnya itu sekarang diasuh oleh orangtua angkat atas keputusan pengadilan karena menjadi korban kekerasan sang ayah. “Dengan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru saya berharap peluang mendapatkan Thomas jadi lebih besar...”, ujar Yuni penuh harap. Universitas Sumatera Utara B. Status Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Campuran Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Sebelum adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 adaiah mengenai ketentuanketentuan siapa yang dinyatakan berstatus Warga Negara Indonesia, naturalisasi atau pewarganegaraan biasa, akibat pewarganegaraan, pewarganegaraan istimewa, kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan siapa yang dinyatakan berstatus orang asing. Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran, Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan mengaturnya sebagai berikut 23 1. Pada dasarnya Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan menganut asas ius sangunis seperti yang terdapat dalam Pasal 1 huruf b, banwa orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang Warga Negara Indonesia dengan pengertian hubungan tersebut telah ada sebelum anak tersebut berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin di bawah 18 tahun. Keturunan dan hubungan darah antara ayah dan anak dipergunakan sebagai dasar menentukan kedudukan kewarganegaraan anak yang dilahirkan dalam perkawinan. : 23 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang, Universitas Diponegoro, 2000, Halaman 78 Universitas Sumatera Utara Seorang anak dianggap memiliki status kewarganegaraan seorang ayah, bila ada hubungan keluarga. Jadi bila anak lahir dari perkawinan yang sah seperti disebut dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka kewarganegaraan ayah dengan sendirinya menentukan status kewarganegaraan anaknya. 2. Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dalam 300 hari setelah ayahnya wafat, apabila waktu meninggal dunia ayahnya adalah Warga Negara Indonesia, maka anak tersebut memperoleh Warga Negara Indonesia. 3. Anak yang belum berumur 18 tahun pada waktu ayahnya memperoleh atau melepaskan kewarganegaraan RI dan antara ayah dan anak terdapat hubungan hukum keluarga. Bila ayahnya memperoleh kewarganegaraan RI karena naturalisasi, maka anak yang belurn berumur 18 tahun memperoleh kewarganegaraan RI dan anak tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. 4. Anak dapat kehilangan kewarganegaraan RI bila ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan RI Pasal 16 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006, sering kali terjadi rnasalah terhadap WNI. Seperti yang kita ketahui bahwa menurut Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama Indonesia menganut asas ius sanguinis. Meskipun lahir di Indonesia, status kewarganegaraannya adalah Universitas Sumatera Utara Warga Negara Asing. Jika terjadi sesuatu, mereka akan sangat rentan untuk dideportasi. Misalnya jika orang tuanya lupa memperpanjang visa anaknya. Banyak anak-anak dideportasi karena lupa memperpanjang visa. Ketika perceraian terjadi, munculah persoalan yang semakin rumit. Meskipun sang anak mengikuti ibunya yang WNI, namun status kewarganegaraannya tetap mengikuti ayahnya yang WNA sekalipun ayahnya sudah tidak tinggal di Indonesia. Masalah lain yang timbul adalah adanya ketentuan sejumlah negara, seperti Inggris, yang menolak memberikan kewarganegaraan terhadap anak dari lelaki Inggris yang lahir di luar negeri. Hanya pria Inggris yang bekerja untuk kerajaan atau yang bekerja di negara-negara Uni Eropa yang anaknya berhak mendapatkan kewarganegaraan Inggris. Akibatnya, anak tersebut kchilangan kewarganegaraan atau stateless. Solusinya adalah orangtuanya mengajukan permohonan ke pengadilan agar anaknya mendapat kewarganegaraan Indonesia. Mengenai kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran, diatur pula dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, di mana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak hasil perkawinan campuran berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya. Adapun bunyi Pasal tersebut adalah : Jika terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara Asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengun ketentuan peraturan perUndang- Undangan yang berlaku. Begitu pula dalam hal terjadi perceraian atau ayahnya yang meninggal, maka demi kepentingan terbaik anak, sang ibu dapat mengajukan permohonan Universitas Sumatera Utara kewarganegaraan anaknya Pasal 29 ayat 3 UU No. 23 tahun 2002. Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing mengacu pada Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Undang-Undang ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran terutama perlindungan untuk istri dan anak. Oleh karena itu diperlukan sebuah Undang- Undang Kewarganegaraan baru yang mampu memberikan perlindungan terhadap semua pihak dalam perkawinan campuran suami, istri dan anak tanpa adanya diskriminasi. Dalam Penjelasan Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa Undang-Undang No. 62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan RI. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Secara filosofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung ketentuan- ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. 2. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 yang menyatakan kembali ke Undang- Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar Republik Universitas Sumatera Utara Indonesiatahun 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. 3. Secara sosiologis Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga Negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, perlu dibentuk Undang- Undang Kewarganegaraan yang baru sebagai pelaksanaan Pasal 26 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. Maka pada tanggal 11 Juli 2006, Dewan Perwakilan Rakyat mensahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958. Undang-undang ini diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul mengenai kewarganegaraan, yang tidak dapat dipecahkan oleh undang-undang yang lama. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut : 1. Asas ius sanguinis law of the blood adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 2. Asas ius soli law of the soil secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang Universitas Sumatera Utara diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. 3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Asas-asas khusus yang dijadikan dasar penyusunan Undang-Undang ini adalah : 1. Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri. 2. Asas perlindungan maksimum, yaitu asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri. 3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap WNI mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. 4. Asas kebenaran substantif, yaitu prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai susbtansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Universitas Sumatera Utara 5. Asas non diskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. 6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, yaitu asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya. 7. Asas keterbukaan, yaitu asas yang menentukan bahwa dalam segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka. 8. Asas publisitas, yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan RI diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 tiga tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pernyataan ini dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yang menyatakan : Universitas Sumatera Utara 1 Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 delapan belas atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. 2 Penyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang- undangan. 3 Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan dalam waktu paling lambat 3 tiga tahun setelah anak berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. Dalam undang-undang ini, hilangnya kewarganegaraan ayah tidak langsung mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa belum berusia 18 tahun atau belum menikah. Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga tidak langsung mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa belum berusia 18 tahun belum menikah menjadi hilang apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menyatakan : 1 Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. 2 Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan Universitas Sumatera Utara ganda bipatride ataupun tanpa kewarganegaraan apatride. Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Hal ini dimaksudkan agar anak hasil perkawinan campuran mendapatkan jaminan hukum mengenai kewarganegaraannya. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewarganegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal Indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis. Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Universitas Sumatera Utara Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri hubungan darah garis lurus ke atas, berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang pasal 8 UU No.1 tahun 1974, namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya. Penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut di atas yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Di dalam kasus Yuni Vs Larry, Yuni merupakan WNI dan Larry Universitas Sumatera Utara merupakan WN Amerika Serikat. Keduanya melakukan pernikahan di Indonesia dan telah mempunyai seorang anak yang bernama Thomas. Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka Thomas dengan sendirinya memiliki 2 dua kewarganegaraan, yaitu Kewarganegaraan Indonesia dan Kewarganegaraan Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan isi dari pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang telah disebutkan di atas. Sesuai dengan pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Thomas dapat menjadi WNI dengan mendaftarkan dirinya ke pejabat yang berwenang setelah dirinya genap berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran Kewarganegaraan Ganda Apabila Terjadi Perceraian Kedua Orang Tuanya Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar akibat perceraian dari perkawinan sesama WNI dengan perkawinan campuran, mengingat sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Anak dari perkawinan campuran memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kecuali bagi pasangan perkawinan campuran yang anak-anaknya lahir sebelum Undang- Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku dan anak tersebut belum diajukan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Universitas Sumatera Utara Dalam suatu perkawinan campuran kembali harus dilihat hukum mana yang mereka sepakati untuk digunakan dengan melihat bagaimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Beberapa asas Hukum Perdata Internasional menyatakan bahwa masalah berakhirnya perkawinan karena perceraian serta akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum tempat, yaitu : − lex loci celebrationis hukum yang berlaku atas sebuah perkawinan adalah hukum tempat dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. − domicilie of choice pemilihan tempat tinggal tetap setelah perkawinan − tempat diajukannya gugatan perceraian lex fori Putusnya suatu perkawinan campuran karena perceraian yang berada dalam ruang lingkup HPI dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan, yaitu : 1. menyelesaikan perkara berdasarkan lex loci celebrationis, karena ada kemungkinan bahwa hakim belum mengenal kaidah-kaidah hukum locus celebrationis. 2. Menentukan sistem hukum yang berlaku, khususnya bila para pihak tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing. 3. Menetapkan tempat kediaman bersama para pihak, karena mungkin saja terjadi bahwa menjelang berakhirnya suatu perkawinan, suami istri tidak lagi hidup di tempat kediaman yang sama. Tampaknya asas lex loci celebrationis atau asas lex fori merupakan asas yang paling cocok dipergunakan untuk mengatur perceraian serta akibat-akibat perceraian. Jika perceraian terjadi di Indonesia tentu saja hukum yang Universitas Sumatera Utara mengaturnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan tersebut berlaku pula dalam perceraian pada mereka yang melakukan perkawinan campuran, sepanjang perceraiannya dilakukan di Indonesia dan melalui prosedur peradilan sebagaimana telah ditentukan. Sepanjang perkawinan dan perceraian itu dilakukan di Indonesia, maka peraturan yang berlaku adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Persoalan menjadi rumut tatkala perceraian itu terjadi antara dua insan yang berbeda kewarganegaraan. Karena di dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama yaitu Undang-Undang No. 62 Tahun 1958, terdapat dua bentuk perkawinan campuran, yaitu : 1. Pria Warga Negara Asing menikah dengan wanita Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958, seorang wanita Warga Negara Indonesia yang menikah dengan pria Warga Negara Asing dapat kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan ketarangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. 2. Wanita Warga Negara Asing menikah dengan pria Warga Negara Indonesia. Indonesia menganut kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 apabila seorang wanita Warga Negara Asing menikah dengan pria Warga Negara Indonesia, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tetapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu, perbedaan dua bentuk perkawinan campuran ini juga mempengaruhi kewarganegaraan seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran. Akan tetapi dengan lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2006, perbedaan dari kedua bentuk perkawinan ini tidak menjadi kendala bagi status kewarganegaraan anak, karena Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas. Hal ini ditegaskan dalam pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang berbunyi : “Anak yang belum berusia 18 delapan belas tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia.” Bahkan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 ini pada pasal 25 juga dikatakan bahwa : 1 Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. 2 Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. 3 Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. Universitas Sumatera Utara 4 Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 delapan belas tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Jadi dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tetap memberikan perlindungan hukum bagi anak hasil perkawinan campuran dengan tetap menjamin status kewarganegaraannya, yaitu tetap berkewarganegaraan ganda terbatas sampai dengan berumur 18 delapan belas tahun atau sudah kawin. Perlu ditegaskan disini, bahwa Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak mengatur secara tegas di dalam pasal-pasalnya tentang perlindungan hukum bagi anak dengan kewarganegaraan ganda apabila terjadi perceraian oleh kedua orang tuanya. Hingga saat ini di Indonesia belum ada undang-undang atau peraturan umum yang khusus mengatur tentang pemeliharaan anak child custody pada umumnya dan pemeliharaan anak sebagai dampak dari putusnya perkawinan campuran kedua orang tuanya pada khusunya. Ketentuan-ketentuan yang ada masih tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Akibat putusnya perkawinan terhadap anak diatur dalam pasal 41 UUP, yaitu : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannnya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi Universitas Sumatera Utara kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan ketentuan pasal 41 UUP di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan tanggung jawab antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materiil dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab materiil yang menjadi tanggung jawab suami atau bekas suami jika ia mampu dan sekiranya ia tidak mampu Pengadilan dapat menentukan lain. Kedudukan anak dalam perkawinan campuran yang mengalami perceraian juga diatur dalam pasal 29 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu : 1 Jika terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesaia dengan Warga Negara Asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 2 Dalam hal terjadinya perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya; 3 Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, sedangkan anak belum mampu melakukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut. Berkaitan dengan kasus Yuni Vs Larry di atas, di mana perkawinan campuran yang dilakukan mereka berdua telah berujung dengan perceraian, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tetap memberikan Universitas Sumatera Utara perlindungan hukum dengan anak dengan berkewarganegaraan ganda seperti Thomas. Hal ini berlaku sampai Thomas berumur 18 delapan belas tahun atau sudah menikah, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

D. Cara Pendaftaran Kewarganegaraan Indonesia Bagi Anak Dengan Kewarganegaraan Ganda