Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan

(1)

TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM

KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L

DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

D

D

R

R

I

I

H

H

A

A

R

R

I

I

A

A

D

D

I

I

NIM. 090200368

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

TI NJAUAN YURI DI S PERJANJI AN PROGRAM

KEMI TRAAN BANTUAN USAHA KEPADA EKONOMI KECI L

DI PT. JASA MARGA ( PERSERO) TBK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

A

A

D

D

R

R

I

I

H

H

A

A

R

R

I

I

A

A

D

D

I

I

NIM. 090200368

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NI P. 196603031985081001 Pembimbing I

O. K. Saidin, SH, M.Hum NI P. 196202131990031002

Pembimbing I I Zulfi Chairi, SH, M.Hum NI P. 197108012001122006

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,


(4)

SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O. K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

5. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini

6. Kepada Papa Agus Heriadi dan Mama Sudarsih, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009, selama menjalani perkuliahan..


(5)

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, September 2013


(6)

DAFTAR I SI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan ... 4

D. Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 9

A. Pengertian Perjanjian ... 9

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian... 16

C. Perjanjian Pinjam Meminjam... 26

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA ... 31

A. Pengertian Kemitraan ... 31

B. Pengertian Bantuan Usaha ... 33

C. Pengertian Jaminan ... 35

D. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) ... 44 BAB IV PERJANJIAN PROGRAM KEMITRAAN BANTUAN USAHA


(7)

(PERSERO) TBK MEDAN ... 55

A. Pelaksanaan Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil Di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan ... 55

B. Bentuk-Bentuk Jaminan Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program Kemitraan Bantuan Usaha . 67 C. Akibat Hukum Terhadap Jaminan Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil ... 75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.


(9)

ABSTRAK

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha dan Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan yang besar akan jasa keuangan di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Dalam peta tentang keuangan yang beredar di pedesaan Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal dari 5 (lima) sumber, yaitu:

1. Arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif

2. Kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif

3. Lembaga keuangan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif

4. Rentenir dan pedagang.

5. Teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.1

Antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat pedesaan, yang diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Keuangan Non Formal. Lembaga keuangan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan, karena organisasinya sederhana dan biasanya pemberian pinjaman tanpa adanya jaminan formal seperti hak atas tanah. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi, bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya.

1

Suki-KTM, “Memberdayakan Masyarakat Dengan Mikrokredit”,


(11)

Salah satu kebijakan terhadap pemberian pinjaman modal di Indonesia yang dilahirkan pemerintah adalah kebijakan melalui lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan pemberdayaan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin/pengusaha kecil. Jadi keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah. Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor informal.

Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah, pelayanan kesehatan dan masalah gender. Cakupan dari keuangan mikro jelas terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal. Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Pengusaha kecil umumnya adalah penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga. 2

Perkembangan lembaga keuangan mikro ini dalam perwujudannya menunjukkan eksistensi yang positif. Mencontoh apa yang diterapkan oleh Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya. Muhammad Yunus adalah seorang bankir Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum.3

2

PT Indosiar Visual Mandiri, “Muhammad Yunus: Bankir Rakyat Miskin”,

www.indosiar.com, Copyright 2005, diakses tanggal 3 September 2013.

3 Ibid.


(12)

Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro yang memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan kebijakan pinjaman yang dikembangkan oleh beberapa Badan Usaha Milik Negara dewasa ini. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital

formation) tergantung pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana

pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia miliki.

Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman untuk modal kerja bagi usaha ekonomi kecil adalah perihal jaminan dari pihak ekonomi kecil. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa pengusaha ekonomi kecil terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit kepada pengusaha ekonomi kecil.


(13)

Kondisi ketiadaan jaminan inilah yang menjadi kendala bagi pengusaha ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit. Sebaliknya di satu sisi ketiadaan jaminan tentunya akan memberikan kondisi sulitnya bagi pengusaha ekonomi kecil dan kecil untuk mendapatkan kredit.

Kenyataan di atas menjadi suatu alasan ketertarikan penulis untuk mengetengahkan pembahasan tentang “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga

(Persero) Tbk Medan”.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan?

b. Bagaimana bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha?

c. Bagaimana akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil?

B. Tujuan Penulisan

Adapun yang jadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.


(14)

ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha.

c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil.

D. ManfaatPenulisan a. Secara Teoritis :

Hasil penelitian ini berfaedah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang perkembangan pemberian jaminan kredit usaha kecil dan menengah melalui program kemitraan.

b. Secara praktis :

Hasil penelitian ini berfaedah bagi usaha pencegahan dan penanggulangan masalah perjanjian kemitraan antara ekonomi kecil dan menengah.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum yuridis empiris atau penelitian hukum doktriner, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain serta penelitian lapangan.

2. Sumber data


(15)

sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian lapangan pada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, sedangkan data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Nasional, serta KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta penelitian lapangan melalui wawancara di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen dan penelitian lapangan pada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.


(16)

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Dari analisis kepustakaan di Fakultas Hukum USU tidak ditemukan, sehingga dengan demikian kajian dan penelitian ini adalah yang pertama sekali. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan judul sub bab yaitu: Pengertian dan Jenis Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, serta Perjanjian Pinjam Meminjam.


(17)

Bab III. Tinjauan Umum Tentang Kemitraan dan Bantuan Usaha

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal-hal yang secara umum dibahas mengenai: Pengertian Kemitraan, Pengertian Bantuan Usaha, Jaminan dan Bentuk-Bentuknya, serta Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).

Bab IV. Perjanjian program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan.

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Pelaksanaan Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan, Bentuk-Bentuk Jaminan Yang Dapat Diberikan Oleh Usaha Ekonomi Kecil Dalam Program Kemitraan Bantuan Usaha serta Akibat Hukum Terhadap Jaminan Apabila Debitur Wanprestasi Dalam Perjanjian Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil.

Bab V. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. Hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata adalah hukum pelengkap yang merupakan peraturan umum artinya orang bebas mengadakan perjanjian apapun isinya dan hukum perikatan hanya bersifat melengkapi saja4 Perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst

dalam bahasa Belanda atau agreement dalam bahasa Inggeris.5

Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pada Pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi perjanjian. Menurut ketentuan Pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas. Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti diuraikan berikut ini:

4

Purwahid Patrik. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang). Mandar Maju. Bandung, 1994. hal. 1.

5

Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 2.


(19)

Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga hukum ke III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.6

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal”.7 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut: “Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut”.8

M. Yahya Harahap berpendapat perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

6

Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis. Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

7

R. Wirjono Prodjodikoro. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung, 2008. hal. 4.

8

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. hal. 91.


(20)

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi” 9

Pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum

(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban di pihak lain tentang suatu prestasi. 10

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam lapangan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris.

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Dalam setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan.

Perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh

9

M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, 2002, hal. 6.

10


(21)

hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan hukum yang terjadi karena adanya kontrak (perjanjian tertulis) tersebut dikatakan perikatan, karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. Dimana apabila hak tersebut tidak terpenuhi dan kewajiban tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut tidak akan terjadi.11 Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang berdasarkan

tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.

11


(22)

Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai schuldeiser

atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.

Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak.12

Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Vermogenrecht/hukum kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.

Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde

persoon).

Perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum perjanjian.

a. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai droit de suite.

b. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, in violable et sacre.

c. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas

12

Universitas Sumatera Utara, “Perjanjian Dan Akibat Hukumnya, https://doc-0k-94-docsviewer.googleusercontent.com/viewer/securedownload/dsn1aovipa7l846l sfcf94nedj8q2p4u/ gsr0po45odqgl60csurfr23adc9ltmj6/1349336700000/Ymw=/AGZ5hq8BgbJY1gwaOYx83cPOdNw 6/QURH, Diakses tanggal 3 September 2013 halaman 2.


(23)

benda tersebut.13

Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum / recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.14

Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam BW dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “inviolable et sacre” dan memiliki droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, Buku II BW tidak dinyatakan berlaku lagi.15

Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada

persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas

perbuatan hukum.

Akan tetapi ada beberapa pengecualian bahwa perbuatan itu tidak lahir dari suatu perjanjian yaitu:

13

Ibid., hal. 3.

14

Ibid., hal. 4.

15 Ibid.


(24)

a. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu

(bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan

tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.

b. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata, dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).16

Verbintenis/perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam

perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang diperjanjikan. Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.

Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Jadi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara:

a. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).

Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya

16


(25)

perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.

b. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti natuurlijke

verbintenis.

Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

c. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat

dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan dan eksekusi riel, ganti rugi serta uang paksa.

Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain: adalah orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.17

B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

17


(26)

c. Mengenai suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .18

Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri dari :

a. Syarat itikad baik,

b. Syarat sesuai dengan kebiasaan, c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,

d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum,

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Abdul R. Saliman dkk terdiri dari:

a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilangar maka kontrak dapat dibatalkan meliputi:

1) Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan). 2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum

18


(27)

meliputi:

1) Suatu hal (objek) tertentu.

2) Sesuatu sebab yang halal (kausa). 19 Menurut Mariam Darus Badrulzaman:

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan sebagai syarat objektif, karena mengenai subyek dari perjanjian. Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut20

Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain:

a. Barang-barang yang dapat diperdagangkan,

b. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

c. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari.

19

Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus), Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 12-13.

20

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1993, hal. 98.


(28)

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah:

a. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara,

b. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika, c. Warisan yang belum terbuka.

Objek perjanjian ditentukan bahwa :

a. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

b. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.

Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.

Contoh dari paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalan persetujuan ialah ancaman dengan penganiayaan, dengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu rahasia. Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin serta kedudukan orang-orang yang bersangkutan.21

21


(29)

Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.

Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan. Untuk itu harus dilihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.

Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa


(30)

barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.

Misalnya sesorang membeli sebuah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafan mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal itu bukan orang yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama.22

Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.

Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. Yurisprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian

22


(31)

kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat dibedakan:

a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah. b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk

mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.

Perihal ketidak cakapan pada umumnya disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :

a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa

b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan c. Wanita yang bersuami

Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan

curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal

1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.

Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang dikenal dengan istilah maritale macht. Walau, demikian,


(32)

melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang dikenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tergolong tidak cakap, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh para pihak yang dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu sendiri, apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat dari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak berhak atau tidak berkuasa bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata, kiranya dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan tanggung-jawab yang harus


(33)

dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa sesungguhnya tanggung-jawab itu.

Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya. Dimana kenyataan yang demikian itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.

Syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya hal tertentu yang diperjanjikan, maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang mereka buat. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan,


(34)

maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”.

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri. Pengertian causa adalah bukan hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”. Jenis-jenis perjanjian tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum. Misalnya pengadilan tidak akan memperkenankan seorang pembunuh bayaran memperoleh ganti rugi jika orang yang menyuruh membunuh itu menolak pembayaran yang telah disetujui.23

Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang. “Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang”

Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah di kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.

23


(35)

C. Perjanjian Pinjam Meminjam

Perjanjian pinjam meminjam dapat diambil pengertiannya dari pengertian perjanjian pinjam mengganti. Pengertian perjanjian pinjam mengganti dirumuskan dalam Pasal 1754 KUH Perdata Indonesia sebagai berikut: Pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan pada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan sifat yang sama pula.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan: “Bahwa barang-barang yang menghabis, seyogianya diganti dengan kalimat barang-barang yang dapat diganti”.24 Demikian juga rumusan menurut Asser dalam Wirjono Prodjodikoro, rumusan yang diberikan undang-undang itu tidak tepat, yang menghabis tidak dapat diganti, sedangkan di dalam perjanjian pinjam mengganti barang yang dipinjam wajib dikembalikan.25

Adanya kewajiban mengembalikan barang yang dipinjam tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dalam persetujuan, maka sudah jelas bahwa perjanjian kredit termasuk dalam kategori persetujuan pinjam meminjam, yaitu : pinjam meminjam uang yang diatur dalam Pasal 1765 jo 1754 KUH Perdata. Sebagai mana diketahui bahwa perjanjian kredit bank, adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang diperbuat antara Bank selaku pihak yang meminjamkan dan nasabah

24

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Soeroengan, Jakarta, 1980, hal. 132.

25 Ibid.


(36)

selaku si peminjam.

Perjanjian pinjam meminjam uang dapat diperbuat antara Bank selaku pihak yang meminjamkan dan nasabah selaku si peminjam. Di dalam perjanjian pinjam meminjam uang dapat diperjanjikan bunga, dan janji tersebut harus dibuat secara tertulis dan tegas diperjanjikan. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 1765 KUH Perdata yang berbunyi: “Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian”.

Subekti mengatakan: “bahwa lagi pula disini boleh diperjanjikan suatu pembayaran dari pihak si peminjam, pembayaran mana dinamakan bunga atau rate”. 26

Biasanya suatu perjanjian pinjam uang memakai bunga. Jika tidak diperjanjikan suatu pembayaran bunga tetapi si peminjam membayar bunga, maka menurut undang-undang pembayaran rente itu tidak boleh diminta kembali, artinya pembayaran itu dianggap sah. Inilah salah satu contoh dari apa yang dinamakan suatu Naturlijk Verbintenis.

Hanya bila apa yang dibayar melebihi bunga menurut undang-undang (6%) pembayaran yang melebihi ketentuan ini dapat diminta kembali.27

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa : “kedua belah pihak leluasa untuk berjanji, bahwa jumlah uang atau barang-barang yang harus dikembalikan akan lebih banyak dari pada jumlah yang semula diberikan”.28

Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan jumlah yang sama adalah bukan peraturan

26

Ibid., hal. 137.

27

Ibid., hal. 138

28


(37)

mutlak (geen dwingend recht) dan Pasal 1765 KUH Perdata malahan memperkenankan secara tegas, untuk dalam peminjaman uang memperjanjikan pembayaran bunga.

Terpenting dalam perjanjian pinjam mengganti dan pinjam meminjam uang, adalah dilaksanakannya kewajiban si peminjam. Mengenai kewajiban pinjam meminjam yang sama dengan kewajiban peminjaman barang yang diatur dalam bagian ke XIII Buku III.

Pada prinsipnya kewajiban si peminjam uang adalah memenuhi isi perjanjian pinjam meminjam uang yang telah diikat antara ia dan pihak yang meminjamkan.

Pasal 1764 KUH perdata menetapkan bahwa siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan untuk mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang ditetapkan.

Orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama pada waktu yang ditentukan. Bila tidak ditetapkan suatu waktu maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran menurut ketentuan Pasal 1760 KUH Perdata. Dengan demikian kewajiban utama dari si peminjam adalah mengembalikan uang pinjaman sebesar jumlah yang diperjanjikan pada waktu tertentu.

Membayar bunga uang pinjaman bukan suatu kewajiban kecuali hal itu tegas diperjanjikan.

Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh R. Subekti mengatakan: Bahwa BW sendiri tidak membatasi tingginya bunga ini hanya menghendaki supaya bunga itu ditulis dalam surat perjanjian hutang (Pasal 1767 ayat 2)


(38)

alasan dari penentuan ini sekiranya adalah : bahwa seorang berhutang yang menjanjikan pembayaran bunga yang amat tinggi, akan malu menyatakan secara hitam di atas putih. Maka dari itu sekiranya ketentuan ini adalah untuk mencegah penarikan bunga yang terlalu tinggi.29

Sebagai sanksi dari ketentuan ini harus dianggap bahwa apabila bunga dijanjikan, tetapi secara lisan saja dan tidak tertulis, hakim harus menganggap tidak ada perjanjian pembayaran bunga, atau menurut Pasal 1768 KUH Perdata dianggap dijanjikan pembayaran bunga sebesar yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu stbl. 1848 No. 22 yang menyebutkan bunga 6 % setahun.

Bunga yang ditetapkan dalam perjanjian pinjam meminjam uang tersebut dapat lebih besar dari bunga menurut undang-undang.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan :

Bahwa penetapan bunga ini diperbatasi oleh Woeker Ordonantie 1938 (Undang-Undang untuk pemberantasan lintah darat stbl. 1938 No. 524 mulai berlaku pada tanggal 17 – 9 – 1938) yang menetapkan hakim leluasa untuk menurunkan jumlah bunga itu dari pada yang diperjanjikan. Apabila bunga itu adalah terlalu tinggi, kecuali apabila dapat dianggap bahwa si berhutang tahu betul beratnya pembayaran bunga itu dan dia tidak bertindak secara semberono atau sebagai akibat dari kurang pengalamannya, dalam hal hutang piutang, atau dalam keadaan memaksa (lincht zinnigheid, onervarenheid atau

noodtoestend).30

Pasal 1769 KUH Perdata, menentukan suatu tanda bukti, bahwa uang pinjaman pokok dibayar kembali, adalah membebaskan si berhutang dari pembayaran bunga, jadi dengan bukti tanda terima uang pokok telah dibayar, berarti bunganya juga telah dibayar.

Sebaliknya kewajiban pihak berpiutang juga diatur dalam Pasal 1759 s/d 1762 KUH perdata, yang merupakan kewajiban yang sebenarnya dari si berpiutang

29

Ibid, hal. 141.

30


(39)

hanya diatur dalam Pasal 1762 KUH Perdata.

Ketentuan Pasal 1753 KUH Perdata adalah berlaku terhadap perjanjian pinjam pengganti. Sedangkan ketentuan Pasal 1759 KUH Perdata hanya secara negatif menentukan si berpiutang tidak boleh meminta pembayaran kembali sebelum tiba waktunya yang ditentukan dalam perjanjian.

Ketentuan-ketentuan pinjam meminjam mengganti/perjanjian pinjam mengganti dan pinjam uang dalam buku III KUH Perdata berlaku juga untuk perjanjian kredit.


(40)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KEMITRAAN DAN BANTUAN USAHA

A. Pengertian Kemitraan

Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Pasal 8 ayat 1 yang berbunyi “Kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan usaha oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan ”.

Upaya peningkatan mutu penyelenggaraan industri akan terus didorong dengan meningkatkan partisipasi masyarakat secara optimal terutama masyarakat dunia usaha melalui peran sertanya dalam melakukan invetasi untuk mencapai sinergi yang optimal. Partisipasi dunia usaha diharapkan akan memberikan penyertaan modal, teknologi, manajemen dan pemasaran untuk dipadukan dengan aset lahan, tenaga kerja serta fasilitas dan sarana umum. Dalam hal ini diharapkan dunia usaha, melakukan kerjasama usaha sehingga akan terwujud pertumbuhan ekonomi wilayah yang mandiri dan handal. Sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan melalui kerjasama kemitraan.

Kemitraan sekarang ini sudah menjadi perhatian semuah pihak, karena kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk pengembangan usaha kecil dan menengah melalui “permberdayaan” dalam rangka memperoleh peningkatan pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan daya saing dari usaha kecil dan menengah atau usaha besar. Pemberdayaan


(41)

tersebut disertai perbaikan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dengan demikian kemitraan merupakan suatu tindakan dan hubungan bisnis untuk membesarkan usaha kecil secara rasional.

Tujuan kemitraan adalah untuk mengangkat usaha kecil menjadi pilar pembangunan ekonomi karena kelemahan mendasar usaha kecil adalah dari segi ekonomi dan akses ke sumber permodalan dan pasar. Kelompok usaha kecil memerlukan dorongan pemerintah dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia, teknologi, permodalan/kredit dan pemasaran.31

Melalui kemitraan akan tercipta Transfer of Knowledge dalam hal pengalaman pengelolaan usaha yang lebih efisien dan prospektif bagi usaha kecil, sedangkan bagi usaha besar dan usaha menengah akan memperolah kontinuitas produksi atau meningkatkan kapasitas yang lebih besar.

Apabila diamati, usaha yang dikembangkan akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumberdaya yang dimiliki masing-masing pihak yang bermitra sehingga kemitraan dapat menjawab masalah Diseconomies of scale yang sering dihadapi oleh usaha besar atau usaha menengah. Disamping itu kemitraan juga dapat memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif, sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau aligopoli. Bagi usaha kecil seperti transmigran, kemitraan jelas sangat menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat pasar, modal, teknologi, manajemen dan kewirausahaan yang dikuasi oleh usaha besar atau usaha

31


(42)

menengah.

Mewujudkan kerjasama kemitraan diperlukan upaya-upaya nyata dalam menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya usaha yang kokoh berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Kerjasama kemitraan dalam upaya keterkaitan usaha dilaksanakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan memberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada transmigran baik oleh pemerintah maupun dunia usaha.

B. Pengertian Bantuan Usaha

Bantuan usaha yang dimaksudkan disini adalah adalah pemberian bantuan permodalan agar suatu usaha dapat melakukan aktivitasnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka maksud dari pengertian bantuan usaha dalam kapasitas penelitian ini dapat disamakan dengan kredit.

Kredit ialah penyediaan uang, atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan lain pihak dalam hal, pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.32

Kredit menurut etimologi berasal dari bahasa latin “credere” berarti “kepercayaan, karena pihak yang memperoleh kredit pada dasarnya, adalah pihak

32


(43)

yang memperoleh kepercayaan”.33

Perkembangannya kata kredit berubah makna menjadi pinjaman. Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu.

Pemberian kredit harus dilakukan secara terang dan nyata serta dengan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian dibutuhkan analisis kredit yang mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya.34

Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan antara lain:

1. Kredit pada hakekatnya dapat meningkatkan daya guna uang.

a. Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau untuk meningkatkan usahanya.

b. Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.

2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.

Kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro bilyet, dan wesel sehingga apabila pembayaran-pembayaran dilakukan dengan cek, giro bilyet, dan wesel maka akan dapat meningkatkan peredaran uang giral.

3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran barang. Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat.

Di samping itu kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari suatu tempat dan menjualnya ke tempat lain.

4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi.

Arus kredit diarahkan pada sektor-sektor yang produktif dengan

33

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 236.

34


(44)

pembatasan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri agar bisa diekspor. Kebijakan tersebut telah berhasil dengan baik.

5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.

Setiap orang yang berusaha selalu ingin meningkatkan usaha, namun ada kalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurang mampuan para pengusaha di bidang permodalan tersebut, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya.

6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.

Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek-proyek baru. Peningkatan usaha dan pendirian proyek baru akan membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proyek tersebut.35

C. Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan adalah terjemahan dari kata Zekerheid atau Cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.36

Menurut Undang No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan arti jaminan menurut Pasal 1 angka 23 jaminan diartikan sebagai agunan yaitu jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Dapat dijelaskan dari uraian di atas bahwa jaminan itu suatu tanggungan

35

Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 16.

36

Rheynaldeyy, “Pengertian Jaminan”, http://likesrin-rheinaldyy.blogspot.com/ 2010/09/pengertian-jaminan.html, Diakses tanggal 3 September 2013


(45)

yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain.

Macam-macam jaminan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Menurut terjadinya yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang yaitu jaminan umum dan jaminan yang lahir karena perjanjian yaitu jaminan khusus.

2. Menurut sifatnya yaitu jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tersebut dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan.

3. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur semuanya.

4. Menurut Obyeknya. Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang dijadikan jaminan atas utang debitur (Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata). Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.

5. Menurut Penguasaannya. Jaminan dengan penguasaan bendanya dan jaminan yang tanpa penguasan bendanya.37

Adapun jenis-jenis jaminan kredit dalam hal ini adalah jaminan kebendaan yaitu berupa :

1. Gadai

Praktek gadai telah dikenal sejak zaman dahulu sampai sekarang. Oleh sebab itu banyak yang membahas mengenai gadai dan mengemukakan definisinya.

Secara umum pengertian gadai dapat didefinisikan sebagai berikut : “Kredit yang diperoleh dengan memakai jaminan barang-barang berharga seperti :

37

Kuliahade's Blog, “Hukum jaminan : Pengertian dan macam-macam jaminan”,

http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminan- pengertian-dan-macam-macam-jami- nan/, Diakses tanggal 4 September 2013.


(46)

emas, permata, berlian dan lain sebagainya”.38

Sedangkan pengertian lain gadai dapat didefinisikan sebagai berikut : “Suatu hak yang diperoleh seseorang, yang berpiutang atau suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh si berhutang atau orang lain atau namanya untuk menjamin pembayaran hutang”.39

Pemerintah membuat gadai ini, terutama ditujukan untuk kepentingan masyarakat golongan ekonomi kecil dengan persyaratan yang mudah dan praktis. Selain itu juga berusaha untuk menghindarkan masyarakat dari praktek rentenir, ijon dan pelepas uang lainnya.

Dalam hubungannya dengan syarat sahnya gadai, yaitu barang gadai harus dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai, maka barang gadai harus dialihkan dalam penguasaan bank atau pihak ketiga yang disetujui para pihak.40 Untuk itu jika Bank memiliki gudang, maka barang gadai itu disimpan di dalam gudang Bank. Akan tetapu dalam hal gudang Bank tidak ada, untuk menampung barang gadai, khususnya barang perniagaan yang jumlahnya banyak, maka dapat dipergunakan gudang nasabah atau pihak ketiga.

Apabila syarat-syarat ini terpenuhi maka jadilah gadai dan prakteknya dapat bermacam-macam. Barang jaminan yang telah diterima tidak boleh digadaikan lagi kepada orang lain. Dan penerima gadai memiliki hak untuk melarangnya, misalnya si A menggadaikan sebuah sepeda motor kepada pegadaian

38

M. Manullang, Pengantar Ekonomi Perusahaan, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 213.

39

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung, 1979, hal. 62.

40

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 270.


(47)

kemudian ia menggadaikannya kepada orang lain, maka gadai yang kedua batal dan pegadaian berhak melarangnya karena ia mempunyai hak sampai dilunasinya piutang.

Gadai berkaitan dengan hak barang yang digadaikan, maka apabila terjadi gadai barang jaminan harus diserahkan sepenuhnya kepada orang yang menerima gadai, dengan demikian jika penggadai melunasi hutangnya, maka keseluruhan barang gadai akan diserahkan kepada pemberi gadai.

Apabila benda yang dapat digadaikan itu telah dipegang maka telah sempurnalah gadai. Jadi penerima gadai lebih berhak dengan barang daripada orang lain. Penggadaian tidak boleh melepaskan hak gadainya jika jangka waktu yang ditentukan belum sampai.

2. Hak Tanggungan

Pada tanggal 9 April 1996 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) diundangkan sebagai realisasi dari Pasal 51 Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) Undang-undang ini mencabut ketentuan-ketentuan Hypotheek sepanjang mengenai tanah (KUH Perdata Buku II) dan ketentuan Credietverband S. 1908 –542. Jo. S. 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190 jo. S 1937-191.

Menurut Undang-undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah dan dengan lahirnya, UUHT, unifikasi hukum tanah nasional menjadi tuntas, yang merupakan salah satu tujuan utama UUPA.


(48)

Pengertian hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau hak tanggungan menurut Undang-undang Hak Tanggungan ini adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Hak tanggungan di dalam Undang-undang Hak Tanggungan tidaklah dibangun dari suatu yang belum ada. Hak tanggungan dibangun dengan mengambil alih atau mengacu asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur oleh KUH Perdata.41

Pengertian hak tanggungan di atas tidak terbatas difokuskan pada tanah saja, tetapi benda-benda lain yang berkaitan atau menjadi satu kesatuan dengan tanah. Hampir sama dengan ketentuan hipotik sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, accesoir, melekat pada benda, dan adanya hak preferen atau hak didahulukan dari kreditur lainnya. Sifat-sifat Hak Tanggungan ini dapat memberikan jaminan dan perlindungan kepada Bank selaku Kreditur dalam rangka memperoleh penggantian, apabila timbul wanprestasi. Dengan demikian apabila agunan yang diterima bank telah diikat secara sempurna sesuai

Undang-undang Tanggungan tersebut, bank mempunyai kedudukan yang

41

Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.


(49)

diutamakan dibandingkan dengan kreditur lainnya.

Pembebanan obyek hak tanggungan menurut Undang-undang ini dapat dilakukan lebih dari satu kali. Masing-masing kreditur akan diberi peringkat yang berurutan berdasarkan tanggal pendaftaran Hak tanggungan pada Kantor Pertanahan, khususnya dalam Buku Tanah. Bahkan apabila terdapat lebih dari satu kreditur atau bank yang membebankan Hak Tanggungan pada obyek dan hari yang sama, masih dapat dibedakan. Pembedaan peringkat dilakukan dengan mengacu pada nomor urut Akta Pemberian Hak Tanggungan.42 Hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hanya dapat dilakukan oleh PPAT yang sama. Berdasarkan ketentuan ini, perselisihan dalam penentuan kreditur atau bank mana yang lebih didahulukan dapat dicegah.

Obyek yang dapat dibebani Hak Tanggungan ternyata lebih luas bila dibandingkan dengan hipotik. Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan tidak hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tetapi juga Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah-tangankan, khususnya yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum Perdata.43 Hal tersebut dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat dan memberi kemungkinan bagi golongan ekonomi kecil yang tidak berkemampuan mempunyai tanah dengan status Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, sehingga menjadi terbuka kemungkinan untuk memperoleh kredit yang diperlukan dengan menggunakan tanah yang dipunyai sebagai jaminan. Demikian pula dunia

42

Ibid, hal. 26.

43


(50)

perbankan dapat memanfaatkan ketentuan tersebut untuk menerima agunan berupa gedung-gedung yang mempunyai nilai ekonomis tinggi yang berada di atas tanah Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan kepada orang-perorangan atau Badan Hukum perdata. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak pakai atas tanah hak milik artinya apabila perkembangan dan kebutuhan masyarakat menghendaki, hal ini masih terbuka dan akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja. Hak tanah yang dapat dijadikan jaminan sesuai Undang-undang pokok agraria yaitu hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai atas tanah negara yang sifatnya dapat dipindahkan.44 Asas ini sebagai perwujudan dari sistem hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Dengan asas pemisahan horisontal ini maka dalam kitan dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah dianggap bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda yang ada di atas tanah tersebut.

Dengan masih terbukanya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah Hak Pakai, diharapkan dapat menjembatani hubungan yang lebih erat antara pihak ketiga dengan perbankan. Cakupan operasional perbankan dalam menyalurkan kredit akan lebih luas, karena adanya kesempatan dan kemungkinan masyarakat memperoleh kredit dengan jaminan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.

Hak tanggungan juga memberikan kondisi bagi kepentingan kreditur

44

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alpabeta, Bandung, 2004, hal. 158.


(51)

sebagai pemegang hak tanggungan. Kreditur memiliki kepentingan atas tetap tingginya nilai objek hak tanggungan, terutama sekali waktu ia akan mengeksekusi objek hak tanggungan,45 semakin besar kemungkinan hak tagihnya terlunasi dari penjualan jaminan debitur tersebut.

Dengan uraian di atas maka dapatlah dimengerti tentang pengertian apa yang dimaksudkan sebenarnya dengan Hak Tanggungan ini, yaitu Hak yang berupa penjaminan atas kredit yang diambil oleh seorang debitur kepada kreditur.

3. Fidusia

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu Undang-undang No. 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah “ fidusia “. dengan demikian istilah fidusia ini disebut juga dengan istilah “ penyerahan hak milik secara kepercayaan “. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendom Overdracht, sedangkan dalam bahasa Inggerisnya secara lengkap sering disebut dengan istilah Fiduciary Transfer of

Ownership. Namun demikian, kadang-kadang dalam literatur Belanda kita jumpai

pula pengungkapan jaminan fidusia ini dengan istilah-istilah sebagai berikut :

1) Zakerheids-eigendom (hak milik sebagai jaminan)

2) Bezitloos Zakerheidsrecht (Jaminan tanpa menguasai).

3) Verruimd Pand Begrip (Gadai yang diperluas).

4) Eigendom Overdracht tot Zekerheid (Penyerahan hak milik secara

jaminan)

5) Bezitlos Pand (Gadai tanpa penguasaan).

6) Een Verkampt Pand Recht (Gadai berselubung)

45

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 1.


(52)

7) Uitbaouw dari Pand (Gadai yang diperluas).46

Beberapa prinsip utama dari jaminan fidusia adalah sebagai berikut : 1) Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang

jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya.

2) Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur.

3) Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.

4) Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.

Fidusia atau lengkapnya disebut juga dengan Fiduciaire Eigendoms Over

Dracht dan sering juga disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan,

merupakan suatu jaminan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak disamping gadai yang dikembangkan oleh Yuridisfrudensi.

Tetapi saat sekarang ini lembaga jaminan fidusia telah menampakan wujudnya yang baru, dengan bentuk yang baru dan disesuaikan dengan kebutuhan pada jaman sekarang ini, fidusia yang baru ini dikenal dengan istilah fiduciare eigendoms overdracht. Sedang di Indonesia telah diatur di dalam peraturan perUndang-undangan tersendiri yaitu pada Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

46

Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 35.


(53)

D. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan di perusahaan itu sendiri (internal) maupun di luar lingkungan perusahaan yaitu masyarakat di sekitar perusahaan.47 Dari berbagai pengalaman yang berkembang selama ini, praktik-praktik CSR umumnya berdasarkan pada nilai-nilai etis dan penghargaan perusahaan terhadap keberadaan serta peranan seluruh tenaga kerja, masyarakat, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Karena itu, seringkali CSR dapat dijelaskan sebagai pengambilan keputusan bisnis yang dikaitkan secara langsung dengan nilai-nilai etis, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta penghargaan atas keberadaan dan peranan tenaga kerja, masyarakat, dan lingkungan.48

Mengacu pada praktik serta pengalaman penerapan CSR, definisi lain mengenai CSR yang digagas oleh Holmes dan Watts menjelaskan maksud CSR sebagai suatu komitmen perusahaan yang berkelanjutan untuk selalu bertindak etis dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi sembari meningkatkan kualitas hidup para karyawan dan keluarganya, komunitas lokal maupun masyarakat luas.49

Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable

Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200

perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan"

47

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Seri Filsafat Atmajaya: 21), Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 296.

48

Heka Hertanto, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Ekonomi Rakyat, http://www.arthagrahapeduli.org. Diakses tanggal 3 September 2013.

49 Ibid.


(54)

(sustainable development) yang menyatakan bahwa: "CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya."

CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya.

Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.50

Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate

Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy), Relasi

Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relation), dan

50 Sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Seminar Sehari “A Promise of Gold

Rating : Sustainable CSR” Tanggal 23 Agustus 2006, lihat www.menlh.go.id. diakses tanggal 3 September 2012.


(1)

tanggungan, perpanjangan hak atas tanah yang masa berlakunya telah habis, pengukuhan hak atas tanah dan biaya pemeliharaan barang jaminan berupa sewa gudang diperhitungkan sebagai penambahan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil dan menengah adalah dilakukannya upaya proses perdamaian terlebih dahulu. Upaya perdamaian ini berupa suatu upaya yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian kemitraan tersebut agar debitur tetap dapat melakukan prestasinya melakukan pembayaran pinjamannya kepada kreditur.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan perjanjian program kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan adalah dimulai dari adanya permohonan pengajuan kredit kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan. Permohonan tersebut dilengkapi dengan pengisian aplikasi permohonan yang disediakan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan dan juga melampirkan hal-hal yang diwajibkan. Selanjutnya dengan adanya permohonan tersebut maka PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan melakukan survei dan pemeriksaan apakah pemohon tersebut dapat diberikan modal bantuan usaha. Apabila layak, maka tingkatan selanjutnya adalah dibuatnya perjanjian pemberian pinjaman untuk modal kerja UKM yang diteruskan dengan penyerahan uang pinjaman yang ditandai dengan penyerahan.

3. Bentuk-bentuk jaminan yang dapat diberikan oleh usaha ekonomi kecil dalam program kemitraan bantuan usaha adalah seluruh perlengkapan/peralatan, persediaan barang dan lain-lain yang dibiayai maupun yang tidak dibiayai melalui bantuan pinjaman dari pihak pertama, surat tanda kepemilikan atas tanah baik itu dalam bentuk sertifikat, SK Camat, surat akte jual beli yang disaksikan oleh Notaris dan BPKB kendaraan bermotor yang nilainya minimal sesuai dengan jumlah pinjaman.


(3)

3. Akibat hukum terhadap jaminan apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian kemitraan bantuan usaha kepada ekonomi kecil maka jaminan tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain untuk menutupi jumlah kewajiban debitur kepada PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

B. Saran

1. Dalam hal pelaksanaan perjanjian pinjaman modal kerja UKM dengan prinsip kemitraan kepada usaha kecil menengah hendaknya BUMN termasuk juga PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan Mememberikan keringanan dalam hal jaminan yang harus disediakan debitur sehingga pengusaha kecil dapat menambah modalnya.

2. Pihak PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan hendaknya turun kelapangan yaitu pada usaha kecil untuk melihat lebih jauh tentang kendala-kendala operasional usaha kecil menengah itu sendiri dalam hal penggunaan pinjaman modal kerja UKM dengan prinsip kemitraan yang diberikan oleh PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan.

3. Disarankan dalam hal ini para pihak termasuk kreditur (PT. Jasa Marga (Persero) Tbk. Medan) dan debitur dalam menyelesaikan masalah bantuan pinjaman dana kemitraan yang bermasalah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat sehingga tidak terjadi suatu keadaan yang sangat merugikan kedua belah pihak misalnya dengan jalan penyitaan dan penjualan secara lelang barang-barang jaminan debitur.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdulkadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.

Abdul R. Saliman, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia (Teori dan Contoh Kasus), Jakarta: Prenada Media.

Daryanto, S.S. 1998, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo. Hasanuddin Rahman, 2003, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mariam Darus Badrulzaman. 2005, Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.

Mariam Darus Badrulzaman, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung: Alumni.

Munir Fuady. 2001. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.

M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

Purwahid Patrik. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang). Bandung: Mandar Maju. Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.

___________, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa.

Thomas Suyatno, dkk, 2003, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(5)

R. Wirjono Prodjodikoro. 2008. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju.

___________, 1980, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Jakarta: Soeroengan.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan.

Surat Keputusan dari Direktur Jenderal Pembinaan BUMN Departemen Keuangan dan Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan PPK No. KEP.155/BU/1994, Tanggal 4 Oktober 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara.

Internet :

Denny Yudho Budyanto, “Mengapa Kredit untuk Industri Kecil Sering Gagal”, http://usaharumah.com/industri-kecil/mengapa-kredit-untuk-industri-kecil-sering-gagal/.

Jasa Marga, “Program Kemitraan”, http://www.jasamarga.com/id_/csr/program-kemitraan.html.

Kuliahade's Blog, “Hukum jaminan : Pengertian dan macam-macam jaminan”, http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminan-pengertian-dan-macam-macam-jaminan/.

Legality Matters, “Legalisasi, Waarmerking, dan Akta Notaris”,

http://www.jasalegalisasidokumen.org/2011/05/legalisasi-waarmerking-dan-akta-notaris.html.

PT Indosiar Visual Mandiri, “Muhammad Yunus: Bankir Rakyat Miskin”, www.indosiar.com, Copyright 2005.

Rheynaldeyy, “Pengertian Jaminan”, http://likesrin-rheinaldyy.blogspot.com/ 2010/09/pengertian-jaminan.html.


(6)

sciences/economics/2235596-pengertian-modal-kerja/.

Suki-KTM, “Memberdayakan Masyarakat Dengan Mikrokredit”, http://www.sukiktm_memberdayakan.

Universitas Sumatera Utara, “Perjanjian Dan Akibat Hukumnya, https://doc-0k-94-docsviewer.googleusercontent.com/viewer/securedownload/dsn1aovipa 7l846l sfcf94nedj8q2p4u/ gsr0po45odqgl60csurfr23adc9ltmj6/1349336 700000/Ymw=/AGZ5hq8BgbJY1gwaOYx83cPOdNw6/QURH.

Wikipedia, “Usaha Kecil dan Menengah”, http://id.wikipedia.org/wiki/ Usaha_Kecil_dan_Menengah.


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-Faktor Penghambat Pengembalian Dana Bantuan PT. Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Melalui Program Kemitraan Kepada Usaha Kecil Di Kota Medan.

0 65 67

Implementasi Penyaluran Kredit Modal Bergulir pada Program Kemitraan PT Jasa Marga (Persero),Tbk Cabang Semarang Kepada Pengusaha Kecil Menengah di Kota Semarang

1 15 157

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN PINJAMAN DANA ANTARA PENGUSAHA KECIL DAN BUMN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KEMITRAAN DI PT. JASA MARGA (PERSERO) Tbk.

0 0 1

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

0 4 13

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

0 0 20

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

0 0 20

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero) Chapter III V

0 0 62

Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perjanjian Pemberian Pinjaman Bantuan Modal Bagi Usaha Kecil Dalam Program Kemitraan pada PT. Angkasa Pura II (Persero)

0 0 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Perjanjian Program Kemitraan Bantuan Usaha Kepada Ekonomi Kecil di PT. Jasa Marga (Persero) Tbk Medan

0 0 8