Karakteristik Fenotipik Kerbau Rawa (Swamp Buffalo) Di Kabupaten Bogor

KARAKTERISTIK FENOTIPIK KERBAU RAWA
(Swamp Buffalo) DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI
ABDI ROBBI ROBBANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

i

RINGKASAN
ABDI ROBBI ROBBANI. D14104082. 2009. Karakteristik Fenotipik Kerbau
Rawa (Swamp Buffalo) Di Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Teknologi
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Ternak kerbau hampir tersebar di seluruh pelosok tanah air dan sudah lama
dipelihara oleh masyarakat. Ternak kerbau sangat penting dalam kehidupan

masyarakat Indonesia terutama kehidupan masyarakat petani sebagai sumber tenaga
untuk membajak sawah. Namun terbatasnya informasi mengenai kerbau rawa di
Kabupaten Bogor maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik ukuran tubuh kerbau yang ada di Kabupaten Bogor.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cibungbulang, Pamijahan, Nanggung
dan Sukajaya Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan pada bulan
September 2008 sampai Januari 2009. Ternak yang digunakan sebanyak 238 ekor
ternak kerbau, yang terdiri dari 54 ekor; 27 ekor kerbau jantan dan 27 ekor kerbau
betina yang berasal dari Kecamatan Cibungbulang, 40 ekor; 23 ekor kerbau jantan
dan 17 ekor kerbau betina yang berasal dari Kecamatan Pamijahan, 79 ekor; 29 ekor
kerbau jantan dan 50 ekor kerbau betina yang berasal dari Kecamatan Nanggung, dan
65 ekor; 22 ekor kerbau jantan dan 43 ekor kerbau betina yang berasal dari
Kecamatan Sukajaya. Peubah yang diamati terdiri dari tinggi pundak, tinggi pinggul,
lebar pinggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada. Data ukuranukuran tubuh dianalisis dengan analisis uji-t dengan menggunakan perangkat lunak
komputer Minitab 14. Data kualitatif dianalisis dengan analisis deskriptif.
Hasil uji-t karakteristik sifat kuantitatif kerbau rawa umur 0-1 tahun baik
jantan dan betina menunjukkan tidak berbeda (P>0,05) antar daerah penelitian.
Rataan ukuran tubuh kerbau jantan tertinggi terdapat di Cibungbulang meliputi tinggi
pundak (100,43±15,85 cm), tinggi pinggul (100,29±16,47 cm), lebar pinggul
(30,14±7,17 cm), panjang badan (91,14±21,71 cm), lingkar dada (131,60±28,0 cm)

dan dalam dada (49,43±7,07 cm) sedangkan lebar dada (27,30±6,62 cm) terdapat di
Sukajaya. Pada kerbau betina rataan ukuran tubuh tertinggi terdapat di Sukajaya
meliputi ukuran panjang badan (90,33±13,59 cm) dan lingkar dada (130,67±24,14
cm) sedangkan ukuran tinggi pinggul (98,00±9,91 cm) dan dalam dada (48,20±11,80
cm) terdapat di Nanggung kemudian ukuran lebar pinggul (31,50±2,34 cm), tinggi
pundak (97,50±9,91 cm) dan lebar dada (30,16±2,32 cm) terdapat di Cibungbulang.
Ukuran tubuh pada kerbau rawa umur 1-3 tahun pada kerbau jantan
menunjukkan perbedaan nyata (P0,05) antar lokasi penelitian. Rataan ukuranukuran tubuh kerbau betina terbesar meliputi tinggi pundak (117,20±6,30 cm), tinggi
pinggul (116,70±4,06 cm) dan panjang badan (115,20±6,18 cm) terdapat di

ii

Nanggung sedangkan ukuran lebar pinggul (41,67±4,13 cm), lingkar dada
(168,83±12,24 cm) dan lebar dada (38,00±4,34 cm) terdapat di Pamijahan.
Ukuran tubuh kerbau jantan umur >3 tahun menunjukkan tidak berbeda
(P>0,05) antar lokasi penelitian. Rataan ukuran tubuh kerbau jantan terbesar meliputi
tinggi pundak (120,00±0 cm), tinggi pinggul (119,50±0 cm), lebar pinggul (48,00±0
cm), panjang badan (123,00±0 cm), dalam dada (67,00±0 cm), dan lebar dada
(42,00±0 cm) terdapat di Cibungbulang sedangkan ukuran lingkar dada (174,00±5,66
cm) terdapat di Nanggung. Pada kerbau betina umur >3 tahun menunjukkan

perbedaan nyata (P0,05) antar lokasi penelitian. Rataan ukuran tubuh kerbau jantan terbesar meliputi
tinggi pundak (120,00±0 cm), tinggi pinggul (119,50±0 cm), lebar pinggul (48,00±0
cm), panjang badan (123,00±0 cm), dalam dada (67,00±0 cm), dan lebar dada
(42,00±0 cm) terdapat di Cibungbulang sedangkan ukuran lingkar dada (174,00±5,66
cm) terdapat di Nanggung. Pada kerbau betina umur >3 tahun menunjukkan
perbedaan nyata (P3 Tahun...................................................................

71

11. Tabel Rekapitulasi Uji-t Pada Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau
Betina Umur >3 Tahun...................................................................

71

12. Tabel Populasi Kerbau Per Desa di Kecamatan Pamijahan
Berdasarkan Jenis Umur…………………………………………

72

13

14
15

Tabel Populasi Kerbau Per Desa di Kecamatan Nanggung
Berdasarkan Jenis Umur…………………………………………

73

Tabel Populasi Kerbau Per Desa di Kecamatan Cibungbulang
Berdasarkan Jenis Umur…………………………………………

74

Tabel Populasi Kerbau Per Desa di Kecamatan Sukajaya
Berdasarkan Jenis Umur…………………………………………

75

xiv


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan data Pusat Statistik (2007) bahwa pertanian merupakan salah
satu faktor penopang pembangunan ekonomi Indonesia karena mampu menyerap
43,7% dari total angkatan kerja Indonesia. Salah satunya sub sektor peternakan yang
mensuplai kebutuhan masyarakat akan protein asal hewan adalah daging. Daging
unggas, monogastrik, ruminansia kecil dan besar merupakan sumber protein asal
hewan.
Kebutuhan masyarakat akan daging tiap tahunnya terus mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya populasi penduduk Indonesia. Kontribusi protein
hewani asal daging sebagian besar dipenuhi oleh daging asal unggas sebesar 65%,
diikuti daging sapi 18,8%, babi 8,7%, kambing 2,6%, domba 2,5%, kerbau 1,9% dan
kuda 0,1%. Konsumsi daging sapi nasional 28% masih dipenuhi oleh luar negeri
(impor) berupa daging/jeroan beku dan ternak bakalan yang kemudian digemukkan
selama 2-3 bulan. Kontribusi daging kerbau dalam mensuplai kebutuhan protein asal
daging masih sangat kecil yaitu kurang dari 2% (Ditjen Peternakan, 2006).
Data Dinas Peternakan Bogor (2007) menunjukkan bahwa jumlah populasi
kerbau tahun 2007 sebesar 16.662 ekor yang tersebar di hampir seluruh kecamatan
kecuali Gunung Putri. Sepuluh populasi kerbau terbanyak terdapat di Kecamatan
Sukajaya 2.566 ekor, Tanjungsari 2.238 ekor, Sukamakmur 1237 ekor,


Nanggung

1.205 ekor, rumpin 970, Jonggol 892 ekor, Pamijahan 631 ekor, Parung Panjang 620
ekor ,Tenjo 562 ekor dan Jasinga 545 ekor. Populasi kerbau terendah terdapat di
kecamatan Cibinong 9 ekor, Sukaraja 13 ekor, Bojonggede 17 ekor dan Cileungsi 34
ekor.
Kabupaten Bogor potensial untuk dikembangkan ternak kerbau rawa karena
kondisi lingkungan sesuai untuk hidup kerbau, ketersediaan limbah hasil pertanian
melimpah, jenis pekerjaan masih didominasi dari sektor pertanian, dan budaya
masyarakat dalam memelihara kerbau masih secara turun-temurun. Kondisi tersebut
membuat populasi kerbau lebih banyak dari ternak sapi potong dan sapi perah.
Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Bogor (2007) jumlah sapi potong 17.502 ekor
dan sapi perah 5.301 ekor.

xv

Faktor lain yang mendorong petani maupun peternak memelihara kerbau
diantaranya memanfaatkan sebagai sumber tenaga untuk membajak areal
persawahan, sebagai usaha sampingan dari matapencahariaan utama sebagai petani,

kotoran kerbau sebagai pupuk kandang untuk area pertanian dan pangsa pasar kerbau
cukup luas. Jual beli kerbau baik untuk daging konsumsi maupun kerbau hidup
masih tinggi. Penjualan kerbau hidup biasanya pembelinya para petani yang
memiliki areal persawahaan.
Namun Informasi mengenai kerbau rawa di Kabupaten Bogor masih kurang
terutama ukuran-ukuran tubuh, penampilan (performane) luar tubuh, perubahan
populasi kerbau di tiap-tiap kecamatan, manajemen pemeliharaan kerbau dan kondisi
petani maupun peternak kerbau. Kurangnya informasi tersebut menjadi dasar
penelitian ini dilakukan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan :
1. Mendapatkan karakteristik morfologi ternak kerbau rawa di Kabupaten Bogor.
2. Mengetahui struktur populasi ternak kerbau rawa di Kabupaten Bogor.
3. Mengetahui manajemen pemeliharaan ternak kerbau rawa di Kabupaten Bogor.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ternak
kerbau rawa di Kabupaten Bogor sehingga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam
membuat kerangka kebijakan pemerintah daerah dalam meningkatkan populasi
kerbau.


2
xvi

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kerbau
Menurut Reksohadiproto (1984) ada dua tipe kerbau Asia yang tergolong
dalam spesies yang sama dengan taksonomi sebagai berikut :
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Mamalia

Subkelas


: Theria

Ordo

: Artiodactyla

Subordo

: Ruminantia

Famili

: Bovidae

Subfamili

: Bovinae

Genus


: Bubalus

Spesies

: Bubalus bubalis
Asal-usul Penyebaran Kerbau

Bhattacharya (1993) mengatakan semua kerbau domestik diduga berevolusi
dari arni (Bubalus arnee), kerbau liar dari India, yang masih bisa dijumpai pada
hutan-hutan di daerah Assam. Umumnya tipe kerbau domestik dibagi menjadi dua
kelompok yaitu kerbau sungai dan kerbau rawa. Kerbau air (water buffalo) terdiri
atas tipe kerbau sungai (river buffalo) atau kerbau rawa (swamp buffalo).
Penemuan-penemuan arkeologis di India menyatakan bahwa kerbau
didomestikasi selama periode kehidupan di lembah Indus, kira-kira 4.500 tahun yang
lalu. Terdapat alasan-alasan untuk mempercayai bahwa domestikasi kerbau rawa
terjadi secara bebas di China kira-kira 1.000 tahun yang lalu. Tetapi, terdapat
beberapa pendapat berlawanan yang menyangkut prioritas dari domestikasi ternak di
India atau di China (Cockrill, 1966a). Kerbau tidak dikenal di Mesir selama zaman
Firaun. Impor kerbau ke negara-negara lain di Asia Tenggara, Asia Barat, Eropa,

Australia dan ke Amerika Selatan dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap.
Tetapi usaha pemasukan ternak ini pada beberapa negara tidak berhasil (Cockrill,
1966a).

xvii

Rouge (1970) melaporkan suatu kejadian pada Lilfordia Estates, di luar
Salisbury di Rhodesia, yang mendemonstrasikan bahwa kerbau Afrika bisa dengan
mudah dijinakkan. Dua belas kerbau betina dan seekor jantan dikumpulkan dengan
satu kelompok sapi Africander dan dibiarkan bersama-sama dalam padang
penggembalaan yang berpagar. Pada tahun 1965, kerbau tersebut sudah berumur 3
tahun dan memiliki tingkah laku penurut seperti sapi Africander. Kerbau domestik
sangat mudah kembali menjadi liar atau semi liar. Kerbau rawa yang telah
didomestikasi dimasukkan ke Australia selama pertengahan pertama abad ke-19,
karena kekurangan pengelolaan, sejumlah besar dari kerbau-kerbau impor tersebut
menjadi liar dan dewasa ini terdapat lebih dari 200.000 kerbau liar berkeliaran di
Australia bagian utara. Kerbau rawa masuk ke Kalimantan pada abad ke-12 dan abad
ke-15 sekarang berada dalam keadaan semi-liar. Kerbau liar juga terdapat dalam
jumlah besar di Sumatera bagian tenggara.
Kerbau lumpur (swamp buffalo) memiliki kulit coklat kehitam-hitaman,
berkembang di Asia Tenggara diantaranya Vietnam, Kamboja, Thailand, Philipina,
Malaysia dan Indonesia, terutama di Jawa Barat. Kerbau lumpur diternakkan sebagai
ternak kerja (Siregar et al., 1996).
Kerbau Rawa
Kerbau adalah binatang bertulang besar, agak kompak (masif) dengan badan
tergantung rendah pada kaki-kaki yang kuat dengan kuku-kuku besar, tidak
mempunyai gelambir atau punuk. Bentuk tubuh dari kerbau rawa sama dengan
bentuk tubuh ras pedaging Zebu. Semua kerbau mempunyai tanduk yang pada
umumnya tanduknya lebih kampah (padat) daripada tanduk sapi (Bhattacharya,
1993).
Kerbau berdasarkan habitatnya digolongkan dalam dua tipe yaitu kerbau tipe
sungai (water buffalo) dan kerbau tipe rawa (swamp buffalo). Kerbau tipe sungai
menyenangi air yang mengalir dan bersih, sedangkan kerbau tipe rawa suka
berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air yang menggenang (Bhattacharya,
1993). Kerbau rawa dapat beradaptasi secara luas terhadap lingkungan rawa yang
banyak ditumbuhi semak dan rumput. Kerbau rawa sering dijumpai di daerah
lembah-lembah sungai dan dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian
230 m dpl (Toelihere, 1978).

xviii4

Kerbau merupakan hewan tropik yang memiliki daya tahan rendah terhadap
panas karena kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang rendah. Zona nyaman
untuk kerbau berkisar 15,5-210C dengan curah hujan 500-2000 mm per tahun.
Kerbau akan mengalami stres pada suhu di atas 240C (Fahimuddin,1975). Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup akibat lingkungan panas, ternak kerbau
melakukan adaptasi fisiologis melalui perubahan tingkah laku seperti berkubang atau
berbaring ditempat yang dingin (Joseph, 1996).
Sistem Pemeliharaan Kerbau
Pemeliharaan kerbau di Indonesia dilakukan secara ekstensif, semi intensif
dan intensif. Pemeliharaan secara intensif yaitu pemeliharaan ternak hampir
sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan hijauan melebihi
kebutuhan kerbau dari segi kualitas maupun kuantitas supaya pertumbuhan bobot
badan cepat. Pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak yang dilepas di
padang penggembalaan sepanjang hari mulai dari pagi sampai sore dan pemeliharaan
semi intensif yaitu pemeliharaan ternak yang dilepas untuk mengembala mencari
makanan sendiri. Kemudian diawasi dan pada saat tertentu dikandangkan lagi
(Murtidjo, 1991).
Sistem pemeliharaan dan pemberian pakan kerbau, disesuaikan dengan
kepemilikan dan kedudukan kerbau dimasyarakat. Kerbau yang dipekerjakan untuk
membajak areal sawah telah berumur minimal dua tahun baik jantan maupun betina.
Selepas dipekerjakan kerbau dimandikan. Kemudian dimasukkan ke dalam kandang
dan diberikan makan. Kerbau yang tidak dipekerjakan akan digembalakan pada pagi
hari dan pada sore hari dimasukkan ke kandang, di kandang kerbau tidak diberi
pakan lagi (Sosroamidjojo, 1991). Penelitian yang dilakukan Petheram et al. (1982)
di daerah Bogor dan Serang menunjukkan bahwa tujuan petani memelihara kerbau
adalah untuk mengelola lahan pertanian. Ada beberapa pemilik menyewakan kerbau
yang oleh para penyewa dipakai untuk mengolah tanah. Diantara petani yang
memiliki kerbau ada yang beranggapan kerbau dapat dijadikan tabungan yang dapat
diuangkan bila diperlukan dan ada pemilik yang berjual beli kerbau sebagai sumber
penghasilan.

5
xix

Tabe 1. Populasi Ternak Kerbau di Seluruh Propinsi Di Indonesia
Tahun
No

Propinsi
2002

2003

2004

1
NAD
395,414 403,838 409,071
2
Sumatera Utara
260,044 261,734 263,435
3
Sumatera Barat
288,958 317,789 322,692
4
Riau
46,233
47,936
48,417
5
Jambi
69,713
70,154
68,159
6
Sumatera Selatan
83,147
83,104
86,528
7
Bengkulu
43,910
63,596
48,976
8
Lampung
50,095
52,351
52,203
9
D.K.I. Jakarta
160
210
195
10 Jawa Barat
148,778 146,758 149,960
11 Jawa Tengah
148,665 144,384 122,482
12 D.I. Yogyakarta
5,636
5,618
5,584
13 Jawa Timur
113,383 112,241 110,685
14 Bali
5,634
7,225
7,133
15 NTB
157,199 161,359 156,792
16 NTT
132,497 134,900 136,966
17 Kalimantan Barat
5,849
5,772
5,353
18 Kalimantan Tengah
7,359
8,285
14,864
19 Kalimantan Selatan
37,463
37,550
38,488
20 Kalimantan Timur
15,415
15,507
14,973
21 Sulawesi Utara
27
27
22 Sulawesi Tengah
3,734
4,614
4,637
23 Sulawesi Selatan
186,564 175,617 161,504
24 Sulawesi Tenggara
8,115
8,626
7,900
25 Maluku
23,322
24,109
24,294
26 Papua
622
1,111
1,503
27 Bangka Belitung
1,400
1,429
681
28 Banten
163,564 163,564 139,707
29 Gorontalo
30 Maluku Utara
120
26
89
31 Kepulauan Riau
32 Irian Jaya Barat
33 Sulawesi Barat
Sumber
: Direktorat Jenderal Peternakan (2006)
Keterangan
: *) Angka sementara
-) Data tidak tersedia

2005

2006*)

338,272
259,672
201,421
47,799
72,852
90,300
48,539
49,219
242
148,003
123,815
5,253
54,688
7,064
154,919
139,592
4,185
16,241
40,163
13,560
27
4,461
124,760
7,926
22,604
1,261
801
135,040
89
329
16
15,378

340,031
261,308
211,008
52,197
83,930
103,577
49,024
49,342
228
156,570
123,826
5,306
54,685
7,097
156,468
141,236
5,760
16