Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

LAMPIRAN

The SAS System

18:08 Thursday, June 8, 2016

1

The REG Procedure
Model: MODEL1
Dependent Variable: HPK
Number of Observations Read
Number of Observations Used

117
117

Analysis of Variance

F Value


Source
Pr > F

Model
0.0915
Error
Corrected Total
Root MSE
Dependent Mean

Sum of
Squares

DF

Mean
Square

6


9.76766

1.62794

110
116

95.53148
105.29915

0.86847

0.93192
R-Square
1.68376
Adj R-Sq
Coeff Var

1.87


0.0928
0.0433
55.34731

Parameter Estimates

Variable
Value
Pr > |t|
Intercept
1
UT
1
BSC
1
ST
1
PI
1
WSIB

1
PA
1

DF

-0.14121
0.17271
0.00337
0.07358
0.00241
0.02597
0.59208

Parameter
Estimate
0.77210
0.10847
0.18275
0.11814

0.09017
0.22336
0.22392

Standard
Error
-0.18
1.59
0.02
0.62
0.03
0.12
2.64

t
0.8552
0.1142
0.9853
0.5347
0.9787

0.9076
0.0094

ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA TERNAK
KERBAU (Swamp buffalo ) dengan SINKRONISASI ESTRUS DI
KECAMATAN SIBORONGBORONG KABUPATEN TAPANULI UTARA
OLEH:
ROSINTA PASARIBU

Universitas Sumatera Utara

110306012

KUISIONER PETERNAKAN KERBAU
IDENTITAS PETERNAK
Nama

:…………………………

Umur


:…………………………tahun

Jenis Kelamin

: Laki - Laki

Pendidikan Terakhir

: SD

Wanita
SLTP

SLTA

Perguruan Tinggi
Alamat

: …………………………

Kecamatan

:………………………….

Desa

:…………………………

Tanggal wawancara

:………………………….

Variabel Dependen
A. TERNAK KERBAU
1. Berapa jumlah ternak kerbau yang mendapatkan GBIB Bapak/Ibu…. Ekor
a. 1 ekor
b. 2 ekor
c. 3 ekor
2. Umur ternak kerbau kerbau betina Bapak/Ibu …. ekor
a) ≥ 3 - 4 tahun

b) ≥ 4 - 5 tahun
c) ≥ 5 - 6 tahun
3. Skor kondisi tubuh kerbau Bapak/Ibu….
a) 2,5
b) 3
c) ≥ 3
4. Status ternak kerbau (beranak) …. kali
a. belum pernah
b. 1 kali
c. 2 kali
5. Apakah Bapak/Ibu pernah mengetahi tentang Inseminasi Buatan?

Universitas Sumatera Utara

a. Pernah
b. Tidak
6. Apakah ternak kerbau Bapak/Ibu sudah pernah di Inseminasi Buatan?
a. Sudah
b. Tidak
7. Jika sudah pernah di Inseminasi Buatan apakah penah berhasil?

a. Ya
b. Tidak
8. Umur ternak pertama kali dikawinkan Bapak/Ibu
a) ≤ 3 tahun
b) ≥ 3 tahun
9. Pakan yang diberikan Bapak/Ibu
a) Hijauan
b) Konsentrat
c) Dan lain-lain …
10. Bagaimanakah kondisi ketersediaan pakan ternak kerbau Bapak/Ibu?
a. Kurang
b. Cukup
c. Banyak
11. Bagaimana sistem pemeliharaan Bapak/Ibu ….
a) Intensif (ternak selalu dikandang, rumput dan konsentrat diberikan
dikandang)
b) Ekstensif (pagi–malam hari ternak digembalakan, konsentrat tidak
diberikan
c) Semi intensif (pagi–sore hari ternak digembalakan, malam
dikandangkan )

12. Apakah ternak kerbau Bapak/ Ibu di pekerjakan dan berapa …jam / hari?
a) Ya … jam/ hari
b) Tidak
13. Musim waktu melakukan Inseminasi Buatan
a) Musim panas
b) Musim penghujan
c)
B. VARIABEL INDEPENDEN UNTUK INSEMINATOR
1. Identitas inseminator
:
2. Nama inseminator
:…
3. Pendididkan inseminator
:
SD
SMP
SMA
S1 Sederajat
4. Lama sebagai inseminator
:

Universitas Sumatera Utara

5.
a)
b)
6.

1 - 10 tahun
11- 20 tahun
Waktu penyuntikan hormone
Pagi
Siang
Waktu IB dilakukan
a) Pagi
b) Sore

LAMPIRAN DOKUMENTASI WAKTU PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara

40
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G.H., E.N. David, & H. Pearson. 1989. Veterinary Reproduction and
Obstetrics (Theriogenology). 6th Ed. Bailliere Tindall, London.
Cockrill, W.R. 1976. The Buffaloes of China. FAO.
Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara. 2014. Data
populasi ternak kabupaten tapanuli utara
Chohan, K.R. 1998. Estrus synchronization with lower dose PGF2α and
subsequent fertility in subestrous buffalo. Theriogenology 50: 1101-1108
De Rensis, F. and Lo´Pez-Gatius. 2007. Protocols for synchronizing estrus and
ovulation in buffalo (Bubalus bubalis): A review. Theriogenology
67: 209 – 216.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis: Penanggulangan Gangguan
Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Pasuruan.
Ditjennak,J.B. 2008. Data Populasi Kerbau Dari: Statistic Pertanian. Direktoral
Jenderal Peternakan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Pedoman
Pelaksanaan Pelayanan IB pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta:
Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Farndon. 2008. Beternak Kerbau. Karnisius. Yogyakarta.
Fahimuddin, M. 1975. Domestic Water Buffalo. Gulab Pirmlai, Oxford and IBH
Publishing Co., New Delhi. Pp. 1,59-63, 79-91.
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Terjemahan B.
Srigandono dan Koen Praseno. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Guzman, M.R. 1980. An Overview of Recent Development in Buffalo Research
and Management in Asia. Dalam Buffalo Production for Small Farms.
ASPAC. Taipei.
Hafez, E.S.E. & Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animal. Seventh Edition
Lippincott William & Wilkins. Baltimore Maryland, USA.
Hardjopranjoto, S.H., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Air Langga University
Press. Surabaya.
Hasinah, H dan Handiwirawan, 2006. Keragaman genetik ternak kerbau
Indonesia. Pusat penelitian dan pengembangan peternakan. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

Kristianto, L., K., Mastur Dan R. Sintawati. 2008. Analisis potensi kerbau kalang
di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur.
Kusnadi, V. 1980. Pelayanan Perkebuntingan Hasik Kawin Alam dan Inseminasi
Buatan di Daerah Penggalangan dan Lembang. Lembaga Penelitian
Peternakan, Bogor.
Lasley, J.F. 1981. Genetics of Livestock Improve-ment. 3rd ed. Prentice-Hall of
India, Pvd., Ltd. New York.
Macmillan, K.L. And Cr. Burke. 1996. Effect of estrous cycle control on
reproductive efficiency. J. Anim. Sci. 42:307-436
Macmillan, K.L, B.V. Segwagwe and C.S. Pino. 2003. Associations between the
manipulation of patterns of follicular development and fertility in cattle.
Anim. Reprod. Sci. 78: 327-344.
Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV
Yasaguna, Jakarta.
Murti, T.W., 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo, B.A. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta
Mosher AT, 1983. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Penerbit CV
Yasaguna, Jakarta
Partodihardjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara, Jakarta.
Purtidjo, B.A., 1992. Memelihara Kerbau. Kanisius. Yogyakarta
Rahmat. 2003. Beternak kerbau. Kanisius. Yogyakarta
Roelofs, J., Eerdenburg Van., F.J.C.M. Hunte, R.H.F., Gtius, L., Hanzen, Ch.
(2010) When is a Cow in Estrus? Clinical and Practical Aspects: review.
J.Theriogen.74: 327-344.

Saacke, R.G. (2008) Insemination factors related to timed AI in Cattle. J.
Theriogen. 70: 479-484.

Salisbury, G.W. dan Vandemark, N.L. 1985. Fisiologi Reproduksi dan IBpada
Sapi. Gadjah mada Press, Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

Situmorang, P. And P. Sitepu. 1991. Comparative performance, semen quality and
draught capasity of Indonesia swamp buffalo and its crosses. ACIAR
Proceding 34:102

Subiyanto. 2010. Populasi Ternak Kerbau Semakin Menurun. Publikasi Budidaya
Ternak Ruminansia. (http://www. Ditjennak.go.id/bulletin/artikel_3pdf)
Suardi. 1989. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Universitas Andalas Padang.
Susilawati, E. dan Bustami.2008. Pengembangan Ternak Kerbau Di Propinsi
Jambi. Makalah. Bahan Pengkajian Teknologi Ternak, Jambi. Hal 11-17
Talib,C., 2008. Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor

Toelihere. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
_______ . 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
_______. 1987. Ilmu Kebidanan pada ternak Sapi dan kerbau. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
_______. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa. Bandung
Toleng, A.L., Sonjaya, H. dan Yusuf, M., 1999. The UseOf Progesterone RIA to
Increase Efficiency And Quality Of Articial Insemination Services Of Beef
Cattle In South Sulawesi, Indonesia.Faculty of Animal Husbandry,
Hasanuddin University, Makassar. Vienna (2001) 37-34.
Windiana, D. 1986. Pelaksanaan dan Evaluasi Hasil IB pada Ternak Sapi Perah di
Daerah Tingkat II Bandung FKH, IPB. Bogor.

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai dengan
Januari 2016, di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara.

Bahan dan Alat
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah quisioner untuk di isi
oleh peternak kerbau lumpur dan inseminator dan ternak kerbau lumpur sebagai
objek yang diteliti.

Alat
Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah buku dan alat tulis
untuk mencatat hasil data sementara, serta menggunakan camera digital alat
untuk mengambil dokumentasi lampiran penelitian dan computer sebagai alat
untuk mengolah data.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu
keberhasilan

Gertak

Birahi

dan

Inseminasi

Buatan

untuk mengetahui
yang

dilaksanakan

dipeternakan masyarakat yang ada di Kecamatan Siborongborong diperoleh
dengan melakukan pengamatan langsung. Data dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah informasi yang dapat dilihat secara langsung dilingkungan masyarakat
yang memiliki ternak kerbau betina yang mendapatkan Gertak Birahi dan
Inseminasi Buatan.

Universitas Sumatera Utara

Metode Penentuan Daerah Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di beberapa desa
yang ada di Kecamatan Siborongborong Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan,
Desa Simatemate, Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa Siborong-borong I,
Desa Siborong-borong II, Desa

Lumban Sosor, Desa Sitabotabo, Desa

Sitampurung, Desa Pohan Tonga, Desa Paniaran, dan Desa Sigumbang yang
mana desa tersebut memeliki peternak kerbau yang mau menerima ternaknya
yang ikut program Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi langsung
ke peternakan untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar tentang
peternakan tersebut. Dalam wawancara pengumpulan data yang digunakan adalah
data sekunder dari instansi yang terkait seperti Dinas Perikanan dan Peternakan
Tapanuli Utara sedangkan data primer dari peternakan kerbau yang akan di
survey.

Metode Pengambilan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi lansung
ke peternak kerbau untuk mengetahui keadaan lokasi dan wawancara seputar
tentang peternakan tersebut.
1. Survey dilaksanakan Desa Pohan Julu, Desa Parik Sabungan, Desa Simatemate,
Desa Sihatandohan, Desa Silaitlait, Desa Siborong-borong I, Desa Siborongborong II, , Desa Sosor Lumban, Desa Sitabotabo, Desa Sitampurung, Desa
Pohan Tonga, Desa Paniaran, Desa Sigumbang

Universitas Sumatera Utara

2. Pengambilan data dengan menggunakan Quisioner ke

peternak kerbau

masyarakat
3. Pengambilan data dari data recording Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dari
rekorder dari Dinas Perikanan Dan Peternakan Tapanuli Utara
4. Melakukan analisis keberhasilan Inseminasi Buatan dengan Gertak Birahi

Parameter Penelitian
Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau yang bunting hasil satu kali
Inseminasi.

CR

= Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding
dengan akseptor yang diperiksa
Jumlah bunting IB pertama
Jumlah akseptor yang diperiksa

X 100%

Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara responden di lapangan diolah
dan ditabulasi. Kemudian data dianalisis degan menggunakan metode analisis
keberhasilan inseminasi buatan dengan pendekatan ekonometri dan dijelaskan
secara metode deskriptif. Adapun untuk menghitung keberhasilan inseminasi
buatan ternak kerbau dengan rumus

CR

= Persentase jumlah akseptor yang bunting pada IB pertama dibanding
dengan akseptor yang diperiksa
Jumlah bunting IB pertama
Jumlah akseptor yang diperiksa

X 100%

Berdasarkan data yang diperoleh, maka untuk melihat faktor-faktoryang
mempengaruhi keberhasilan inseminasi buatan dapat dilihat dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

model pendekatan ekonometri dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda(alat bantu SAS) dengan model pendugaan sebagai berikut :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + µ
Keterangan :
Y = Kebuntingan Ternak Kerbau (%ekor)
a= koefisien intercept (konstanta)
b = koefisien regresi
X1 = Umur Ternak (tahun)
X2 = Bodi Score Condition (BSC)
X3 =Status beranak Ternak
X4 = Waktu Penyuntikan Hormon dan Waktu Melakukan IB
X5 = Pengalaman Sebagai Inseminator
X6 = Pakan yang di berikan
µ = Variabel yang tidak diteliti
Variabel-variabel pada hipotesis di uji secara serempak dan parsial untuk
mengetahui apakah variabel tersebut mempunyai pengaruh yang dominan atau
tidak. Jika variabel tersebut berpengaruh secara serempak maka yang digunakan
uji F yaitu:
r2
F =
(1 − r 2 )/(n − k − 1

Keterangan
r 2 = koefisien determinasi
n

= jumlah responden

n-k-1 = derajat bebas penyebut

Universitas Sumatera Utara

kriteria uji :
F-hit ≤ F-tabel ……………………………H0 diterima (H1 ditolak)
F-hit ≥ F-tabel ……………………………H0 diterima (H1 diterima)
a. t- hitung >t.tabel (taraf signifikan α≤0,10) : H0 ditolak, berarti koefisien regresi
dari faktor tertentu berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
b. t- hitung < t.tabel (taraf signifikan α≥0,10) : H0 diterima, berarti koefisien regresi
dari faktor tertentu berpengaruh tidak nyata terhadap variabel terikat.

Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan
Persiapan yang dilakukan yaitu mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
pada saat survey seperti Quisioner, dan form data recording
2. Survey Pendahuluan
Melakukan survey pendahuluan untuk mengetahui keadaan dan situasi peternakan
agar mengetahui kapan waktu untuk melakukan survey dan pelaksanaan
dilakukan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan dan menentukan lokasi yang
akan di survey
3. Survey dan Melalukan Survey
Survey dilakukan di peternakan masyarakat yang telah dipilih dan dilakukan
wawancara dengan menggunakan Quisioner yang telah disiapkan
4. Tabulasi Data
Mengumpulkan data dan menyusun data-data yang telah didapatkan dari survey
yang telah dikumpulkan

Universitas Sumatera Utara

5. Analisis Data
Analisis data yang sudah terkumpul untuk mengetahui data-data mana yang
diperlukan dan dapat menjadi sebuah informasi bagi penelitian tersebut
6. Menyimpulkan Data
Disimpulkan semua data menjadi sebuah rangkuman dan informasi yang
dibutuhkan dalam penelitian

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umun Lokasi Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di peternakan masyarakat di Kecamatan
Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara daerah ini terletak di wilayah dataran
tinggi Sumatera Utara berada yaitu pada ketinggian antara 300-1500 meter di atas
permukaan laut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara terletak pada
koordinat 1º20’00” -2º41’00” Lintang Utara (LU) dan 98005”-99016” Bujur Timur
(BT), sedangkan Kecamatan Tarutung terletak pada 01º54’00” -02º01’00”
Lintang Utara (LU) dan 98052”-99004” Bujur Timur (BT) (TAPUT.BPS,2014)
Hasil penelitian keberhasilan inseminasi pada ternak kerbau lumpur dengan
gertak birahi diperoleh melalui dan diperoleh hasil perhitungan dengan metode
analisis data dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Table 3. Angka kebuntingan dari inseminasi buatan ternak kerbau dengan gertak
birahi di Kecamatan Siborongborong
Jumlah Ternak yang di
IB

Jumlah Kerbau Bunting

117

40

Parameter
Nilai CR
34%

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 3, dari 117 ekor jumlah kerbau yang di gertak birahi,
yang berhasil bunting 40 ekor atau 34,18%. Hal ini memperlihatkan

bahwa

tingkat kebuntingan yang di dapat termasuk tingkat kebuntingan yang cukup
rendah dari standar. Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di
Negara maju

berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia

conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika di bawah 50%
berarti menunjukkan bahwa ternak kurang subur.

29

Universitas Sumatera Utara

Dari hasil pengamatan munculnya tanda-tanda estrus pada kerbau akseptor
yang disinkronisasi dengan penyuntikan hormon prostaglandin memang
menunjukkan hasil yang sangat baik yaitu

kerbau menunjukkan tanda-tanda

estrus yang cukup jelas sehingga bisa untuk di kawinkan. Namun

tidak

seluruhnya gejala estrus terlihat dengan kasat mata. Umumnya agresifitas, vulva
bengkak, sering urinasi, standing heat dapat terlihat jelas di hampir seluruh
ternak, namun gejala mengeluarkan lendir bening, hanya terjadi pada sebahagian
kerbau. Hal di atas sudah cukup menunjukkan metode sinkronisasi estrus sangat
baik dan efisien dalam merangsang terjadinya estrus pada ternak dan juga
menandakan kondisi reproduksi ternak sedang subur karena memilki siklus
reproduksi yang baik dan teratur. Hal ini dinyatakan oleh Hafez (1993) bahwa
respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang
mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase
lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena
prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis
karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu
hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang
hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang
perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang
merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel
preovulatori

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Angka kebuntingan kerbau dari kondisi tubuh BCS, Umur kerbau, dan
status ternak beranak kerbau terhadap angka kebuntingan
Variabel
Uraian
Jumlah Ternak (Ekor) Angka Kebuntingan(%)
Kondisi Tubuh

Umur Kerbau

2.5 BCS

31

38,7

3 BCS

86

32,5

3-4 Tahun

62

22,5

≥4-5 Tahun

33

51,5

≥5-6 Tahun

22

40,9

45

17,7

1 kali

37

43,2

2 kali

35

42,8

Status Beranak Kerbau 0 kali

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan antara keadaan ternak
dimana kondisi tubuh yang memiliki BCS 2,5 bisa dikatakan ukuran tubuh yang
sedang namun pada penelitian ini mendapatkan angka kebuntingan yang lebih
tinggi yaitu 38,7 % sedangkan pada kondisi tubuh pada kondisi skor 3 ternak
menunjukkan keragaan tubuh yang ”Sedang atau Menengah”, dimana tonjolan
tulang sudah tidak terlihat lagi dan kerangka tubuh angka kebuntingan 32,5% .
Menurut Arthur et al ( 2001) Body Condition Score ideal dari kerbau betina yang
akan di IB adalah 2,5-3 dari skala 1-5. Beberapa penelitian dan literature
menyatakan bahwa BCS < 2,5 dari skala 1-5 merupakan representasi dari
kekurangan nutrisi, yang salah satu manifestasinya adalah penurunan fungsi dan
efisiensi reproduksi. Namun pada kondisi kerbau yang memiliki kondisi tubuh 2,5
kebanyakan yang sudah pernah mengalami beranak minimal 1 kali dan pada umur
≥4-5 tahun .
Berdasarkan hasil analisis pengaruh umur terhadap angka kebuntingan
menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Pada kelompok umur kerbau 3-4 tahun
(n=62) angka kebuntingannya 22,5% sedangkan umur kerbau ≥ 4 -5 tahun (n=33)

Universitas Sumatera Utara

angka kebuntingannya 51,5% dan pada ≥5
umur

-6 tahun (n=22) angka

kebuntingan 40,9 %. Penyebab tidak diketahui dengan jelas dikarenakan
recording dari masing-masing kelompok umur kerbau yang di IB tidak tercatat
dengan jelas oleh masing-masing peternak kerbau tersebut. Hal ini dipertegas
oleh Salisbury dan Vandenmark (1985) bahwa pengaruh umur terhadap fertilitas
kerbau betina dan kerbau jantan sulit untuk diketahui karena faktor penyebabnya
sangat kompleks dan banyak. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor lingkungan
seperti musim setiap tahunnya, faktor tatalaksana dan faktor makanan yang
berpengaruh terhadap kelompok umur kerbau tertentu lebih daripada kelompok
umur lainnya.
Pada penelitian ini pengamatan terhadap status beranak ternak di peroleh
data angka kebuntingan yang paling tinggi pada status beranak 1 kali sebesar 43,2
% dan yang sudah 2 kali beranak sebesar 42,8 % sedangkan angka terendah pada
ternak yang masih belum pernah beranak yaitu 17,7% angka kebuntingan.
Menurut peneliti status beranak memberikan kontribusi untuk keberhasilan
inseminasi buatan dimana ternak yang sudah pernah beranak saluran reproduksi
sudah berfungsi dengan baik.

Namun dalam uji statistik tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan inseminasi buatan karena banyak
faktor yang dapat mempengaruhi. Menurut Toelihere (1993) CR tebaik mencapi
60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi
alam, manajeman dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika
nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu, rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh
kualitas maupun fertilitas semen beku, ketrampilan dan kemampuan inseminator
dan kemungkinan adanya gangguan reproduksi pada kerbau betina.

Universitas Sumatera Utara

Tatalaksana Pemeliharaan
Dalam meningkatkan keberhasilan IB diperlukan

perhatian khusus

terhadap tatalaksana pemeliharaan ternak kerbau dengan memperhatikan sistem
pemberian pakan, cara pemeliharaan, waktu perkawinan, waktu penyuntikan
hormone karena akan berpengaruhi pada angka kebuntingan.
Pola pemeliharaan ternak kerbau yang ada di kecamatan siborong-borong
dengan melepaskan ternak kerbau dan di ikat di padang rumput di wilayah ladang
milik sendiri pada pagi hari dan pada sore hari ternak kembali di bawa ke
kandang, di daerah sekitar rumah dan memberikan pakan hijauan yang sudah di
arit pada sore hari dan jika panas terik matahari ternak diberikan minum air
secukupnya.
Tabel 5. Angka kebuntingan kerbau dari waktu IB, waktu penyuntikan hormon,
pakan, pemeliharaan terhadap angka kebuntingan.
Variabel

Uraian

Jumlah Ternak (Ekor)

AngkaKebuntingan(%)

Waktu Penyuntikan
Hormon dan
Waktu IB

Pagi

24

37,5

Sore

93

33,3

Pakan

Rumput

94

34,0

Rumput +Dedak

23

34,7

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa waktu penyuntikan hormon
prostaglandin pada ternak kerbau dengan waktu yang berbeda memiliki angka
kebuntingan yang paling tinggi pada pagi hari yaitu 37,5% dan yang di suntik
pada sore hari angka kebuntingan lebih rendah yaitu 33,3%. Waktu penyuntikan
hormon baik pagi atau sore masih angka kebuntingan yang masih rendah. Dalam
hal ini waktu penyuntikan hormon perlu diketahui supaya waktu melakukan

Universitas Sumatera Utara

inseminasi buatan waktunya tepat dimana ternak sudah mengalami birahi.
Kecermatan peternak sangat dibutuhkan untuk hal ini supaya memperhatikan dan
melaporkan ternak ketika sudah ada tanda-tanda birahi yang terlihat. Sehingga
waktunya tepat dan mendapatkan pelayanan yang baik. Hal ini sesuai dengan
peryataan Rahmat (2003) yang menyatakan mengawinkan pada saat yang tepat,
yaitu kerbau betina nampak birahi pada pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari
itu juga (sesudah pukul 14.00) dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi
dapat dikawinkan. siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali,
sedangkan lamanya birahi lebih kurang 36 jam. Hal ini sesuai dengan peryataan
Windiana, (1986) yang menyatakan bahwa pada waktu IB ternak harus dalam
keadaan berahi karena pada saat itu liang leher rahim (serviks) pada posisi yang
terbuka. Kemungkinan terjadinya konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada
periode-periode tertentu dari berahi telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya
adalah permulaan berahi: 44% pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6
jam sesudah sesudah berahi : 62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam
sesudah berahi : 28% dan 24 jam sesudah berahi : 12% .
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemberian pakan pada ternak
kerbau memiliki angka kebuntingan yang mendekati yaitu pada kerbau yang
diberikan pakan rumput mendapatkan angka kebuntingan 34,0 % sedangkan pada
ternak kerbau yang diberikan pakan rumput dan ditambah dengan dedak diperoleh
hasil

angka

kebuntingan

34,7%.

Pakan

ternak

kerbau

di

kecamatan

siborongborong masih tergolong kurang, ternak di bawa ke ladang dan di
gembalakan dan ternak tidak diberikan pakan tambahan sehingga ternak masih
kekurangan akan nutrisi. Hal ini dipertegas oleh Lasley (1981) yang menyatakan

Universitas Sumatera Utara

bahwa kualitas dan kuantitas pakan yang baik menyumbangkan 95% peranan
terhadap pencapaian berat, kondisi dan ukuran tubuh ternak dan memungkinkan
untuk mulai terjadinya perkembangan anatomis dan fisiologis organ-organ
reproduksi sehingga dapat dicapai performance reproduksi yang baik.
Inseminator
Inseminator bertanggung jawab terhadap perbaikan pelayanan inseminator
terhadap akseptor IB sampai dengan pelaksanaan IB dilapangan dan peningkatan
penambahan jumlah akseptor serta dukungan petugas teknis IB dan sarana
prasarana. Hal tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB,
terutama sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam penanganan.
Tabel 6. Angka kebuntingan kerbau dari inseminator

Variabel
Nama Inseminator
Pengalaman
Mangelek
20 Tahun
Lisber
3 tahun

Jumlah Kerbau
Bunting

Nilai CR
63 36,5 %
54 31,4 %

Sumber: data primer penelitian

Berdasarkan Tabel 6 nilai angka konsepsi inseminator yang cukup tinggi
yaitu Mangelek (36,5 %) sedangkan yang paling rendah Lisber (31,4%)
meskipun masih berada dibawah nilai standart konsepsi Indonesia yaitu 50%.
Mangalek mempunyai pengalaman yang lebih lama dibandingkan Lisber dan
pendidikan. Peternak juga memberikan pengaruh terhadap keberhasilan
inseminasi buatan

namun inseminator juga harus yang terampil dan sering

melakukan inseminasi. Hal ini sesuai dengan peryataan Roelofs et al., (2010)
yang menyatakan bahwa inseminator harus mempunyai pengetahuan yang
berhubungan dengan tingkah laku seksual, perubahan temperatur tubuh, dapat
menentukan perubahan pada saluran reproduksi betina terutama vulva, vagina dan

Universitas Sumatera Utara

cervix kerbau betina dari setiap fase siklus estrus Peranan inseminator tidak
berpengaruh nyata terhadap angka kebuntingan, meskipun tingkat pendidikan
Inseminator yang rata-rata lulusan Sarjana.
Pengaruh Variabel Terhadap Angka Kebuntingan Ternak Kerbau
Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan inseminasi Buatan
pada ternak kerbau di kecamatan Siborongborong kabupaten tapanuli utara yang
digunakan dengan analisis liniear berganda dimana yang menjadi variabel bebas
(independen) adalah X1) Umur ternak (tahun) ,X2) Bodi score condition (BSC),
X3) Status beranak ternak, X4)

Waktu penyuntikan hormone, X5) Waktu

melakukan IB, X6) Pengalaman sebagai inseminator, X7 ) Pakan yang di berikan
(sedangkan yang menjadi variebel terikat/tidak bebas (dependen) adalah
kebuntingan ternak (Y).
Adapun hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dapat
dilihat sebagai berikut.
Table 7. Anova regresi linear berganda dari analisis keberhasilan Inseminasi
Buatan ternak kerbau
Sumber

Jumlah
kuadrat (JK)
Nilai Regresi 9.76766

dB
Rataan
(Derajat Bebas) JK
6
0,86847

Galat

95.53148

110

Total

105.29915

116

F-hitung
1.87

Sig
0,0915

Sumber : data primer
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka dapat dilihat dari faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan dengan menggunakan model pendekatan
ekonometri dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan alat

Universitas Sumatera Utara

bantu Statistical Analysys System (SAS) didapatkan hasil dan dapat dilihat dari
Tabel 8.
Table 8. Analisis linear berganda pengaruh angka kebuntingan terhadap Umur,
BCS, Status beranak, pengalaman inseminator, waktu IB, waktu penyuntikan
hormone,dan pakan yang diberikan di Kecamatan Siborongborong Kabupaten
Tapanuli Utara.
Variabel
Koefisien regresi
Std. Error
t-hitung
Signifikan
Konstanta

- 0,14121

0,77210

-0,18

0,8552

X1

0,17271

0,10847

1.59

0,1142

X2

0,00337

0,18275

0,02

0,9853

X3

0,07358

0,11814

0,062

0,5347

X4

0.00241

0,09017

0,03

0,9787

X5

0,02597

0,22336

0,012

0,9076

X6

0,59208

0,22392

2.64

0,0094

R Square

0,0928

Regresi

9.7676

F Ratio

1.87

F-tabel

2,96

Sumber : data primer
Berdasarkan tabel diatas diperoleh persamaan sebagai berikut :
Y = 0,17271 (X1)+ 0,00337 (X2) + 0,07358(X3)+0,00241(X4) + 0,02597(X5) +
0,59208(X6) - 0,014121 + µ
Y = 0,65533
Keterangan :
Y = Angka Kebuntingan
X1 = Umur Ternak (tahun)
X2 = Bodi Score Condition (BSC)
X3 = Status Beranak (kali)
X4 = Waktu Penyutikan hormone dan Waktu Melakukan IB
X5 = Pengalaman Sebagai Inseminator

Universitas Sumatera Utara

X6 = Pakan yang di berikan
µ = Variabel yang tidak diteliti
Berdasarkan hasil regresi di atas dapat diketahui
1. Variabel umur ternak (tahun) terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak
kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung
(X1) sebesar (1.59) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan
bahwa umur ternak kerbau berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan
inseminasi buatan.
2. Variabel body condition score (BCS) terhadap keberhasilan inseminasi buatan
ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan thitung (X2) sebesar (0,02) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini
menunjukan bahwa body condition score (BCS) berpengaruh tidak nyata terhadap
keberhasilan inseminasi buatan.
3. Variabel status beranak Ternak (kali) terhadap keberhasilan inseminasi buatan
ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan thitung (X3) sebesar (0,62) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini
menunjukan bahwa status beranak ternak (kali) berpengaruh tidak nyata terhadap
keberhasilan inseminasi buatan.
4. Variabel waktu penyuntikan hormon dan waktu IB terhadap keberhasilan
inseminasi buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel
yang ditunjukan t-hitung (X3) sebesar (0.03) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96
Hal ini menunjukan bahwa waktu penyuntikan hormon berpengaruh tidak nyata
terhadap keberhasilan inseminasi buatan.

Universitas Sumatera Utara

5. Variabel

pengalaman sebagai inseminator

terhadap keberhasilan inseminasi

buatan ternak kerbau, jika diukur dari kriteria uji

t- hitung ≤ F -tabel yang

ditunjukan t-hitung (X4) sebesar (0,12) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal
ini menunjukan bahwa pengalaman sebagai inseminator berpengaruh tidak nyata
terhadap keberhasilan inseminasi buatan.
6. Variabel pakan yang di berikan terhadap keberhasilan inseminasi buatan ternak
kerbau, jika diukur dari kriteria uji t- hitung ≤ F-tabel yang ditunjukan t-hitung
(X6) sebesar (2.64) lebih kecil dari t-tabel sebesar 2,96. Hal ini menunjukan
bahwa pakan yang di berikan berpengaruh tidak nyata terhadap keberhasilan
inseminasi buatan.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis kerberhasilan inseminasi buatan pada
ternak kerbau lumpur (swamp buffalo) dengan gertak birahi di Kecamatan
Siborongborong

Kabupaten

Tapanuli

Utara

dapat

disimpulkan

bahwa

keberhasilan penerapan teknologi IB masih rendah karena angka kebuntingan
34% pada kondisi ini ternak kerbau lumpur yang ada di kecamatan
siborongborong masih tergolong kurang subur dan pada t-hitung pada taraf
signifikan 0,01 pada parameter yang yang diteliti berpengaruh tidak nyata
terhadap variabel.

Saran
Untuk meningkatkan hasil angka kebuntingan

ternak kerbau melalui

gertak birahi dan inseminasi buatan di Kecamatan Siborongborong Tapanuli Utara
peneliti menyarankan diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hormon
prostadglandin dan sosialisasi kepada peternak serta melakukan recording ternak,
kondisi pakan, dan kontrol inseminator terhadap akseptor IB.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau
Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub family bovidae yang
berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari India. Kerbau
domestikasi atau water buffalo berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau
lain yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer
(Hasinah dan Handiwirawan, 2006)
Ada dua bangsa kerbau yang diternakkan di dunia, yaitu kerbau lumpur
(Swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau lumpur memiliki 48
pasang kromosom dan kerbau sungai memiliki 50 pasang kromosom, walaupun
berbeda dalam jumlah kromosom, tetapi perkawinan keduanya menurunkan
keturunan yang juga fertile baik pada jantan maupun betina, hanya diduga bahwa
daya reproduksi crossbreed tersebut lebih rendah dari masing-masing tetuanya
(Talib, 2008).

Habitat Kerbau
Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
kerbau. Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan
yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat
berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah
sampai daerah yang relatif kering. Kehidupan kerbau dipengaruhi oleh iklim
secara mikro dan keadaan lingkungan (Fahimuddin, 1975).
Kerbau adalah mamalia besar, kuat, berwarna gelap, dan bertanduk besar.
Kerbau liar biasanya hidup dalam kelompok yang berisikan beberapa ekor dan

5
Universitas Sumatera Utara

senang tinggal di dekat air karena senang berlumpur. Kerbau air ditemukan di
daerah basah Asia. Hanya sedikit yang masih liar, karena kebanyakan dipelihara
manusia untuk membantu diladang (Farndon, 2008).
Kerbau termasuk hewan primitive yang memiliki leher panjang, sanggup
hidup dengan makanan yang sangat sederhana, cenderung hidup dan berkembang
biak daerah yang cukup air. Dengan potensi ini, kerbau kerbau merupakan ternak
yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam mencerna serat kasar
dibanding dengan ruminansia lain (Murtidjo, 1989).

Ciri-Ciri Kerbau Lumpur
Murti (2002) menguraikan sistematika kerbau sebagai berikut :
Kelas : mamalia ,Ordo : ungulata , Sub ordo : ortiodactyla , Family : bovidae ,
Sub family : bovinae ,Genus : bos , Sub genus : bubalus.
Fahimuddin (1975) mengklasifikasikan kerbau menjadi dua tipe yaitu
kerbau sungai (river buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur
(swamp buffalo). Kerbau sungai merupakan kerbau tipe penghasil susu,
sedangkan kerbau lumpur sebagai kerbau tipe pedaging (Murti, 2002).
Penampilan kerbau sungai yaitu badan dan muka panjang, warna kulit hitam
legam, rambut sangat jarang yang berwarna putih meski sering ditemukan
dibagian kepala, muka dan bulu ekor (Fischer, 1975 dalam Soedarsono, 1989).
Kerbau Rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas
peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi
pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak
kerbau (Cockrill,1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif
tinggi yaitu 40–47% (Kristianto, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Penampilan umum kerbau lumpur yaitu memiliki tubuh yang pendek dan
gemuk (stocky animal), lingkar dada besar, kaki pendek dan lurus. Warna yang
menutupi tubuh kerbau lumpur adalah abu-abu dengan bercak putih pada bagian
permukaan atas leher diatas brisket, warna kulit kebiruan sampai abu-abu hitam,
kadang terdapat warna albino (Murti, 2002), sedangkan tanduk, kuku serta bulu
berwarna hitam (Toelihere, 1981).
Populasi ternak kerbau didunia sekitar 176,4 juta ekor tersebar di 129
negara. Dimana 167,4 juta (95%) terdapat di Asia. Populasi kerbau lumpur di
Indonesia sebesar 2,2 juta dan sebanyak 6% dari total populasi kerbau dunia.
Sedangkan populasi kerbau sungai di Indonesia hanya 1000 ekor yang terdapat di
sumatera utara dan merupakan jenis kerbau murah nilli-ravi. Secara umum
populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sebesar 8% antara tahun
2002 dan 2006. Meskipun dibeberapa provinsi meningkat seperti sumatera utara
(Ditjennak, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Data populasi ternak kerbau yang ada di Sumatera Utara
No

Kabupaten /Kota
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Nias
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Batu Bara
Padang Lawas Utara
Padang Lawas
Labuhan Batu
Selatan
Labuhan Batu Utara
Nias Utara
Nias Barat
Sibolga
Tanjungbalai
Pematang Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang Sidempuan
Gunung Sitoli
Jumlah

Kerbau
Jumlah (ekor)
Jantan
Betina
52
105
157
584
932
1516
277
236
513
2.093
5.976
8.069
2.616
5.975
8.591
2.583
7.872
10.455
49
64
113
271
550
821
3.335
2.118
5.453
954
1.672
955.672
2.066
1.472
3.538
967
1.923
968.923
746
969
1715
28
42
70
2.899
460
6.129
163
153
1.75
1.723

6.524
1.05
18.024
268
345
2950
3740

9.423
461.05
24.153
431
498
2951.75
3741.723

90
74
13
2

157
159
22
3

247
233
35
5
0
7
159
6
281
114
180
18
95.753

-

94
2
49
38
129
5
30.394

7
65
4
232
76
51
13
65.359

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara 2014

Universitas Sumatera Utara

Tabel . Populasi ternak kerbau di kabupaten Tapanuli Utara tahun 2014
No
Kecamatan
Jumlah Kerbau (ekor)
1 Tarutung
285
2 Sipoholon
824
3 Sipahutar
1.38
4 Pangaribuan
1.057
5 Garoga
43
6 Pahae Jae
18
7 Pahae Julu
3
8 Adian Koting
37
9 Parmonangan
760
10 Pagaran
901
11 Siborongborong
2.785
12 Muara
976
13 Purba Tua
37
14 Simangumban
12
15 Siatas Barita
128
Jumlah
9.246
Sumber : Dinas Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Utara, 2014

Tanda-Tanda Berahi Kerbau
Toelihere (1981) menyatakan bahwa tanda - tanda birahi pada ternak
kerbau adalah vulva membengkak dan mengeluarkan lendir berwarna bening pada
sore hari setelah digembalakan. Pengeluaran lendir tersebut akan terlihat lebih
jelas lagi ketika kerbau dalam keadan berbaring, karena perut yang tertekan akan
mendorong keluarnya lender tersebut yang akan jatuh ke tempat berbaring. Tetapi
jika lantainya tanah maka sesudah beberapa menit akan terserap oleh tanah dan
bekas lendir sudah tidak kelihatan lagi.
Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai
agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001).
tanda-tanda berahi dan akativitas perkawinan pada kerbau mesir pada umumnya
terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di
Indonesian

sedang

berada

dalam

kandang

yang

tertutup

yang

tidak

Universitas Sumatera Utara

memungkinkan terjadinya perkawinan. Tanda-tanda berahi pada kerbau,
umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan pada
pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini
bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem
pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

Saat Perkawinan Yang Tepat ternak Kerbau
Faktor yang harus diperhatikan dalam mengawinkan ternak kerbau adalah
sebagai berikut.
a. Hanya kerbau yang sudah mencapai dewasa yang cocok untuk dikawinkan,
yaitu kerbau jantan berumur 2,5 tahun, dan betina berumur 18-20 bulan.
b. Keadaan tubuh kerbau jantan maupun betina betul-betul sehat, dan tidak dalam
keadaan lemah.
c. Perkawinan dilaksanakan ketika betina memperlihatkan indikator (tandatanda) birahi, yaitu tampak gelisah, apabila dikerjakan tidak penurut,
melenguh-lenguh secara berantai, nafsu makan berkurang, alat kelamin luar
(vulva) bengkak memerah dan biasanya mengeluarkan cairan bening, dan
selalu berusaha mendekati kerbau jantan.
d. Mengawinkan pada saat yang tepat, yaitu kerbau betina nampak birahi pada
pagi hari (sebelum dikerjakan) sore hari itu juga (sesudah pukul 14.00)
dikawinkan atau bila berhalangan besok pagi-pagi dapat dikawinkan. Saat
perkawinan yang tepat pada ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2.
e.

Siklus birahi pada kerbau umumnya berkisar 21 hari sekali, sedangkan
lamanya birahi lebih kurang 36 jam (Rahmat, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2. Saat perkawinan yang tepat ternak kerbau
No

Waktu birahi

1

Pagi hari s/d pukul 10.00

2

Siang hari s/d pukul 13.00

3

Sore s/d malam hari

Saat
perkawinan Yang terlambat
yang tepat
Siang hari
Jangan lebih dari 6
jam setelah tandatanda birahi
Sore hari
Jangan lebih dari 6
jam setelah tandatanda birahi
Malam hari itu juga
Jangan lebih dari 6
jam setelah tandatanda birahi

Sumber: Rahmat (2003)

Daya Reproduksi
Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk
menghasilkan anak selama hidupnya. Berdasarkan informasi dari responden
bahwa kerbau rawa selama masa hidupnya mampu menghasilkan 5-10 ekor anak.
Jika beranak pertama terjadi pada umur empat tahun dan calving interval 1,5
tahun maka kerbau rawa mampu hidup lebih dari 20 tahun. Kerbau rawa mampu
menghasilkan anak 10-15 ekor selama hidupnya, dan bisa hidup sampai 25 tahun
Cockrill (1976),

Siklus Estrus Pada Ternak Kerbau
Sistem reproduksi hewan betina yang telah mengalami dewasa kelamin
biasanya mengalami perubahan secara teratur yang disebut siklus estrus. Lamanya
waktu siklus estrus pada seekor hewan dihitung mulai dari munculnya estrus
sampai muncul estrus lagi pada periode berikutnya (Suardi, 1989). Siklus estrus
kerbau yaitu 21 hari dengan kisarannya 18-24 hari. Frandson (1992) menyatakan

Universitas Sumatera Utara

siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan
diestrus.
Salah satu cara untuk mengatasi problema sulitnya deteksi estrus yaitu
dengan cara penerapan teknik sinkronisasi estrus, baik dengan menggunakan
sediaan progesteron atau prostaglandin FGF2 (De rensis dan Lo´Pez, 2007).
Sinkronisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan hormon prostaglandin
atau progesteron, yang keduanya bertujuan memanipulasi agar terjadi penurunan
hormone progesteron ke level terendah (Macmillan et al.,2003). Para peneliti
lainnya menyatakan bahwa kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 21 hari
sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980).
Intensitas estrus pada kerbau dan kerbau dinilai berdasarkan perubahan
vulva yaitu berwarna kemerahan, pembengkakan dan kenaikan suhu; lendir
tembus pandang dari vulva (Toelihere, et al, 1997); dan perubahan tingah laku
yaitu menguak, saling menaiki, mengangkat ekor bila vulva diraba. Waktu estrus
pada umumnya mempunyai kisaran 12-40 jam dengan rata-rata adalah 24 jam
(Murti, 2002). Waktu untuk mendeteksi gejala estrus kerbau lumpur sebaiknya
dilakukan antara pukul 05.00-06.00 dan 17.00-19.00. Gejala saling menaiki
terlihat pada waktu fajar sedangkan lendir vulva keluar pada waktu pagi hari dan
sore hari (Toelihere, 1981).
Prostaglandin F2α
Satu cara untuk melakukan tehnik sinkronisasi estrus adalah dengan
menggunakan hormon prostaglandin F2α. Prinsip pemberian prostaglandin F2α
adalah melisiskan atau meregresi corpus luteum (CL) diikuti penurunan sekresi
progesteron sehingga akan menyebabkan perubahan pada siklus reproduksi.

Universitas Sumatera Utara

Perubahan tersebut menyebabkan siklus estrus yang baru yang dimulainya
pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel masak akan
mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala estrus
(Husein dan kriddli, 2003).
Prostaglandin F2α sebagai hormon luteolitik telah banyak diteliti dan
dipakai untuk menggertak berahi dan mengendalikan siklus berahi beberapa jenis
ternak. Penggunaan PGF2α untuk penyerentakan berahi pada ternak
(Toelihere, 1981). PGF2α bekerja melisis CL, akibatnya hambatan dari
progesteron yang dihasilkan oleh CL terhadap hormon gonadotrophin hilang,
sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Karena yang dilisis adalah
CL maka pemberian PGF2α untuk pengendalian berahi hanya bisa dilakukan jika
CL sudah terbentuk. Oleh sebab itu penyuntikan dosis tunggal untuk
penyerentakan berahi tidak akan menjamin seluruh hewan bisa berahi sekaligus.
Agar semua hewan bisa birahi dalam priode waktu yang hampir bersamaan
dilakukan penyuntikan kedua yaitu 11 atau 12 hari setelah penyuntikan pertama
(Chohan 1998).
Respon pemberian hormone prostaglandin (PGF2α) terhadap ternak yang
mempunyai siklus teratur, dimana selalu ada CL (korpus luteum) dalam fase
lutealnya (sekitar 17 hari dari masa siklus estrus 21-22 hari), akan efektif, karena
prostaglandin akan melisiskan CL. Penurunan kadar progesterone yang drastis
karena regresinya CL, akan memberikan feedback negatif yang memicu
hipotalamus memproduksi hormon gonadoropin, yang kemudian merangsang
hipofisa anterior untuk mensekresi hormon FSH, LH. FSH merangsang
perkembangan folikel yang pada akhirnya meningkatkan sekresi estroegen yang

Universitas Sumatera Utara

merangsang terjadinya estrus. LH akan merangsang terjadinya ovulasi dari folikel
preovulatori (Hafez, 1993).
Pemberian PGF2α dapat dilakukan secara intramusculer atau secara
intrauterin. Pemberian secara intramuscular mudah dilakukan yaitu dengan cara
injeksi, namun dosis yang diperlukan cukup besar. Pemberian secara intrauterin
hanya diperlukan dosis yang jauh lebih rendah, namun memerlukan keterampilan
khusus. Penggunaan prostaglandin sintetis (estrumate) sebanyak 2 ml secara
intramusculer sangat efektif untuk tujuan menyerempakkan estrus kerbau, dimana
pemberian estrumate mengakibatkan penurunan level progesteron dari 1,90 gg/ml
menjadi 0,05 gg/ml setelah dua hari penyuntikan dan sebagian besar kerbau
menunjukkan gejala estrus dua hari setelah pemberian estrumate.
(Situmorang dan Sitepu, 1991).
Gertak Birahi
Sinkronisasi estrus adalah usaha manusia agar seekor atau sekelompok
hewan mengalami estrus sesuai dengan waktu yang diinginkan (Suardi, 1989),
sehingga memudahkan observasi deteksi estrus, dapat menentukan jadwal
kelahiran, menurunkan usia pubertas pada

kerbau dara, penghematan dan

efisiensi tenaga kerja inseminator (Husnurrizal, 2008).
Penyerentakan birahi adalah suatu teknik agar seekor atau sekelompok
ternak mengalami berahi sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dengan cara ini
sekelompok ternak dapat dimunculkan berahinya secara serentak atau hampir
bersamaan. Penyerentakan berahi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan
penyesuaian produksi dengan kebutuhan pasar. Bila berahi muncul serentak,
musim perkawinan dapat dipersingkat sehingga dapat menghemat biaya terutama

Universitas Sumatera Utara

bila perkawinan dilakukan dengan menggunakan teknologi IB. Menurut
Macmillan dan Burke (1996) dengan penyerentakan birahi dalam kelompok
ternak, dapat diperkirakan waktu birahi dan ketepatan pelaksanaan IB sehingga
dapat meningkatkan efisiensi reproduksi.
Inseminasi Buatan Pada Ternak
Inseminasi buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang telah
dan sedang diprogramkan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan
peternakan sebagai upaya peningkatan produktivitas ternak demi meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani peternak. Melalui teknologi ini peternak
dapat memiliki ternak yang berkualitas tanpa harus memiliki pejantan unggul
(Salisbury dan Vandemark, 1985).
Teknologi Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi
yang mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik
ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas
baik dalam jumlah yang besar dengan memanfaatkan pejantan unggul
(Susilawati, 2011).
Teknik IB merupakan salah satu penunjang keberhasilan IB. Hal ini
memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat
dilakukan pada waktu yang tepat pula. Demikiam juga teknik inseminasi yang
dilakukan secara cermat oleh petugas terampil, dan hewan betina yang sehat
dalam kondisi reproduksi yang optimal sangatlah penting. Semen harus
dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina pada tempat dan waktu yang
terbaik untuk memungkinkan pertemuan antara spermatozoa dan ovum serta
berlangsungnya proses pembuahan (Ditjen Peternakan, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Salisbury dan Vandemark (1985) mengatakan bahwa waktu optimum
untuk inseminasi selama atau sesudah estrus adalah dari pertengahan estrus
sampai 6 jam sesudah puncak berahi. Bila dikawinkan lebih awal atau lebih
lambat menyebabkan kebuntingan menjadi lebih kecil.
Inseminasi dilakukan pada pagi hari menghasilkan CR lebih tinggi
dibandingkan dengan yang diinseminasi pada sore hari. Pada peternakan komersil,
di mana semua hewan yang disinkronisasi untuk estrus, diinseminasi pada sore
hari menghasilkan CR lebih tinggi dibandingkan di pagi hari. Hal ini juga diduga
karena diantara teknisi

IB, tingkat pendidikan dan pekerjaan non-IB

mempengaruhi CR. Teknisi yang telah lulus dari sekolah tinggi memiliki CR lebih
tinggi daripada mereka yang hanya sekolah dasar pendidikan dan mereka yang
bekerja waktu penuh pada IB memiliki CR lebih tinggi dari CR yang bekerja
paruh waktu (Toleng, 1999).
Pada waktu IB ternak harus dalam keadaan berahi karena pada saat itu
liang leher rahim (serviks) pada posisi yang terbuka. Kemungkinan terjadinya
konsepsi (kebuntingan) bila diinseminasi pada periode-periode tertentu dari berahi
telah dihitung oleh para ahli, perkiraannya adalah permulaan berahi: 44%
pertengahan berahi: 82%, akhir berahi : 75%, 6 jam sesudah sesudah berahi :
62,5%, 12 jam sesudah berahi: 32,5%, 18 jam sesudah berahi : 28% dan 24 jam
sesudah berahi : 12% (Windiana, 1986).
Conception Rate (CR)
Conception Rate (CR) adalah persentase kerbau betina yang bunting pada
inseminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

kebuntingan. Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina,
kesuburan pejantan dan teknik IB (Feradis, 2010).
Angka konsepsi dapat ditentukan berdasarkan hasil diagnose dengan
palpasi rektal dalam waktu 40 sampai 60 hari sesudah inseminasi. Suatu
pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program
pemulia biakan ternak (Partodiharjo 1982).

Kesanggupan untuk menentukan

kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap dokter hewan
lapangan atau petugas pemeriksaan kebuntingan (BBPTU, 2009). Menurut
Toelihere (1993) CR tebaik mencapi 60-70%, sedangkan untuk ukuran Indonesia
dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajeman dan distribusi ternak yang
menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%. Selain itu,
rendahnya nilai CR dipengaruhi oleh kualitas maupun fertilitas s

Dokumen yang terkait

Peningkatan Produktivitas Kerbau Lumpur (Swamp Buffalo) di Indonesia melalui Kegiatan Pemuliaan Ternak Berkelanjutan (Review).

0 0 10

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

1 1 10

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 2

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

1 1 4

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 3 17

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 3

Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Ternak Kerbau Lumpur (Swamp buffalo) dengan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 5

Identifikasi Karakteristik Ternak Dalam Penentuan Harga Jual Kerbau Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 2 13

Identifikasi Karakteristik Ternak Dalam Penentuan Harga Jual Kerbau Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 2

Identifikasi Karakteristik Ternak Dalam Penentuan Harga Jual Kerbau Di Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

1 3 3