Alat dan Bahan Processing data radar cuaca C-Band Doppler untuk curah hujan: studi kasus Jabodetabek

Estimasi curah hujan yang dihasilkan oleh data radar menghubungkan antara refletivitas radar dan permukaan tempat radar ditempatkan.

2.3 Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca yang memiliki keragaman yang besar dalam ruang dan waktu, keragaman menurut ruang dipengaruhi oleh letak geografi lautan dan benua, topografi, ketinggian tempat, arah angin umum dan letak lintang. Hujan juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer Kartasapoetra, 2004. Keragaman curah hujan terjadi juga secara lokal di suatu tempat, yang disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi topografi, seperti adanya bukit, gunung atau pegunungan, yang menyebabkan hujan terjadi dengan tidak merata Asdak, 1995. Pembentukan hujan terjadi saat udara lingkungan lembab dan didukung oleh adanya dinamika awan yang kuat. Udara ini kemudian membentuk tetesan awan berukuran mikron yang dapat tumbuh menjadi tetes hujan yang berukuran milimeter Haryanto, 1998. Satuan curah hujan diukur dalam milimeter, artinya air hujan yang jatuh setelah 1 mm tidak mengalir, tidak meresap dan tidak menguap Kartasapoetra, 2004. Data dari curah hujan dapat diolah kembali untuk berbagai informasi cuaca dan iklim, salah satu contohnya adalah curah hujan wilayah. Curah hujan wilayah merupakan curah hujan yang turun ke dalam suatu wilayah dan penyebarannya tidak merata. Handoko 1993 dalam bukunya mengartikan curah hujan wilayah sebagai rata-rata curah hujan yang tertampung pada saat pengamatan dalam suatu luasan wilayah kajian. Melalui beberapa pengertian yang tertera di atas, dapat disimpulkan bahwa, curah hujan wilayah merupakan curah hujan rata-rata pada suatu wilayah kajian yang penyebarannya tidak merata.

2.4 Aplikasi Radar Cuaca untuk Curah Hujan

Penggunaan data radar cuaca adalah cara efektif untuk mengamati karakteristik hujan. Radar Cuaca dapat mengukur karakteristik fisik-awan hujan, seperti distribusi ukuran rintik hujan, distribusi spasial dan temporal intensitas curah hujan, perlengkapan hujan- sel, profil vertikal awan dan siklus presipitasi Chumchean et al. 2009. Ketepatan pengukuran radar untuk presipitasi adalah suatu pertimbangan penting untuk sejumlah aplikasi hidrologis. Kesulitan yang biasa ditemui dalam pengukuran curah hujan dengan radar adalah kesalahan pantulan radar dari darat maupun laut, kesalahan pengukuran ekstrapolasi terhadap nilai-nilai di permukaan, kesalahan dalam menafsirkan sinyal radar sebagai nilai curah hujan dan kesalahan melalui sampling sinyal cukup berfluktuasi Gray et al. 2004. Untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan- kesalahan tersebut diperlukan kalibrasi terhadap data radar yang dihasilkan. Kalibrasi dilakukan dalam proses pengolahan data radar sehingga didapatkan data curah hujan yang efektif dan efisien untuk aplikasi selanjutnya Picciotti et al. 2008. III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2010 sampai dengan September 2010. Pengolahan data curah hujan dilakukan di NEONet Nusantara Earth Observation Network, BPPT, Thamrin dan Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara IPB dan menggunakan daerah jangkauan radar cuaca CDR. Pada penelitian ini daerah jangkauan radar dibatasi pada daerah Jabodetabek Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi sebagai daerah studi kasusnya.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan Operating System Linux Ubuntu dan beberapa software terkait C, Fortran, Perl, NetCDF, NetCDF.perl, Grads serta Operating System Windows Vista yang dilengkapi dengan Microsoft Word dan Microsoft Excel. Bahan yang digunakan adalah data radar cuaca CDR harian, 6 menit-an dengan ketinggian vertikal sejauh 2 km. Data yang digunakan merupakan seluruh data jangkauan radar dalam radius 175 km dari sumber Serpong dan dibatasi hanya daerah Jabodetabek selama bulan Desember 2009 hingga Februari 2010. Data yang digunakan untuk dianalisis adalah data dengan kejadian hujan tertinggi, yaitu tanggal 12-14 Februari 2010. Bahan yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi wilayah Jabodetabek per Kabupaten dengan skala 1:50.000. data dengan format satuan waktu UTC. Format hasil data tahap ini ialah dalam format .mrf. 3.3.2 Konversi Data SPPI menjadi Data VSPPI Konversi data yang dilakukan pada tahap ini ialah dengan mengubah format data. Format data yang dihasilkan pada tahap ini ialah format NetCDF. Pengolahan data ke dalam format NetCDF digunakan untuk mengubah data ke dalam waktu setempat, karena data radar yang ada formatnya dalam waktu Jepang. Selain untuk mengubah ke dalam waktu setempat, pada tahap ini juga dilakukan pengelompokkan data ke dalam sistem menit, dimana data yang terekam dibagi dalam data 6 menit-an. Pengolahan data pada tahap ini juga menggunakan script yang akan dilampirkan. Pengolahan data ke dalam format NetCDF ini juga akan menghasilkan data yang memiliki sistem ordinat 3 dimensi, x, y, z. Dimana x mewakili koordinat bujur, y mewakili koordinat lintang, dan z mewakili koordinat ketinggian dengan satuan kilometer km. 3.3.3 Konversi Data VSPPI menjadi Data CAPPI Data yang dihasilkan pada tahap ini telah dalam format NetCDF dengan satuan waktu WIB. Persamaan pembobotan Cressman digunakan pada pengolahan data tahap ini. Persamaan ini merupakan teknik interpolasi spasial data radar NetCDF menjadi data curah hujan masih dalam bentuk reflektivitas. Metode ini juga digunakan untuk mengonversi data NetCDF ke dalam format data reflektivitas satuan dbz. Dalam tahap ini, dapat dilakukan perubahan tanggal, bulan, tahun, dan juga jam sesuai dengan keperluan pengamat. Penggunaan metode ini disertakan dalam script saat melakukan pengolahan data CAPPI. 3.3.4 Membaca Data CAPPI menjadi Data Curah Hujan Pembacaan data CAPPI menjadi data curah hujan ditujukan untuk membaca file CAPPI dan menerjemahkannya ke dalam file teks nilai. Pada tahap ini, masing-masing file yang dihasilkan sudah dapat dibaca oleh pengguna. File ini terdiri dari titik lintang, bujur, ketinggian km, dan curah hujan mmjam. Pada tahap ini, tidak digunakan script pengolahan data. Perintah pada tahapan ini, diketik di terminal tempat pemrosesan dilakukan. 3.3.5 Pola Sebaran Curah Hujan Jabodetabek Pola sebaran curah hujan untuk wilayah Jabodetabek didapatkan dengan cara memetakan nilai curah hujan berdasarkan bujur dan lintang ke dalam peta Rupa Bumi yang didapat dari Bakosurtanal tahun 1992, wilayah Jabodetabek. Pola sebaran hujan diolah menggunakan Arc View. Pada pengolahan ini, dilakukan pengonversian data dari data teks menjadi data raster. Tujuannnya adalah untuk melihat pola sebaran curah hujan di wilayah Jabodetabek, baik berdasarkan titik bujur maupun berdasarkan titik lintang. 3.3.7 Grafik Curah Hujan Jabodetabek Grafik curah hujan yang dibuat berdasrkan perbedaan kelompok waktu. Terdapat tiga 3 kelompok waktu yang digunakan pada penelitian ini, yaitu: per 6 menit, per 30 menit dan per 60 menit. Grafik hujan yang dibuat juga berdasarkan perbedaan titik bujur dan lintangnya untuk masing-masing kelompok data waktu. Kelompok bujur adalah 106.0-106.5°BT dan 106.5-107.0°BT. kelompok lintang adalah 7.0-6.5°LS dan 6.5-6.0°LS. 3.3.8 Analisis Curah Hujan Analisis curah hujan yang dilakukan menggunakan analisis data dengan 3 kelompok amatan, 6 menit-an, 30 menit-an, dan data 60 menit-an. Analisis curah hujan yang dilakukan jga menggunakan perbandingan berdasarkan titik lbujur dan lintangnya. Analisis curah hujan yang dilakukan digunakan untuk mengetahui sebaran atau pergerakan curah hujan yang terjadi dalam daerah kajian dalam 3 pengelompokkan data tersebut. Sehingga melalui analisis ini, dapat diketahui sejauh mana data radar dapat menghasilkan analisis mengenai pergerakan curah hujan dalam kurun waktu tertentu dan dalam ruang lingkup kajian tertentu. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Radar Data cuaca yang terekam oleh CDR dalam bentuk format data RAW IRIS. Format data RAW IRIS adalah data file yang memiliki 3 sistem data dalam satu pengamatan, Surveillance Plan Position Indicator SPPI, Volume Scan VS, Range Height Indicator RHI. Paragraf-prgraf berikut akan menjelaskan pengertian- pengertian dari SPPI dan VS. Doppler Radar CDR tidak melakukan pengamatan data dengan format RHI. Penyebab utamanya adalah spesifiksai antena yang tidak sesuai untuk dilakukannya pengamatan terhadap format data ini. Adapun, RHI adalah data dengan memanfaatkan rotasi vertikal antena radar pada arah angin tertentu misalnya arah Barat – Utara – Timur untuk memperoleh data cross section dengan keakuratan lebih tinggi dari data PPIPlan Position Indicator. Ketinggian yang dihasilkan oleh data radar ini sangat bervariasi, mulai dari 0 km dari sumber radar cuaca Serpong hingga mencapai titik 20 km dari sumber. Ketinggian yang dihasilkan oleh radar cuaca telah diproyeksikan terhadap keseluruhan sudut yang dihasilkan. Pada penilitian kali ini, peneliti menggunakan satu titik ketinggian, yaitu 2 km dari sumber. Hal-hal yang mendasari peneliti menggunakan ketinggian tersebut adalah hubungannya dengan struktur lapisan atmosfer. Pada lapisan atmosfer, ketinggian 2 km dari permukaan bumi merupakan lapisa troposfer. Lapisan troposfer merupakan lapisan atmosfer tempat terjadinya gejala-gejala cuaca. Lapisan troposfer dapat mencapai ketinggian 8 km dari permukaan laut di daerah kutub, sedangkan untuk daerah ekuator dapat mencapai 16 km. Ketinggian rata-rata atmosfer di seluruh dunia adaah sebesar 12 km Handoko, 1993. Selain mengenai lapisan atmosfer, hal yang mendasari peneliti menggunakan ketinggian 2 km dari sumber adalah hubungannya dengan tipe awan. Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong udara Handoko, 1993. Untuk ketinggian ini, tipe awan yang terbentuk adalah awan sedang atau awan pertengahan. Awan tipe ini merupakan campuran titik-titik air dan kristal es, contohnya adalah awan altocumulus dan altostratus Handoko, 1993. Data Raw yang terekam saat pengamatan akan dapat diolah menjadi data CAPPI. Data CAPPI yang dihasilkan kemudian diolah kembali sehingga menghasilkan data teks ASCII Format dan juga dalam bentuk gambar CAPPI Image. Data CAPPI yang dihasilkan dalam satuan waktu Western Indoensian Time WIT. Namun format data yang dapat dikonversi menjadi data ASCII ataupun Image CAPPI adalah format data NetCDF. Dalam pengonversian data NetCDF, data yang dapat diolah adalah data dalam bentuk satuan waktu Universal Time Coordniate UTC. Oleh karena itu data Raw yang terekam dikonversi terlebih dahulu ke dalam format UTC dan kemudian dikonversi kembali ke dalam format WIT. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan konversi data Raw ke dalam format UTC Universal Time Coordinate. Tujuannya adalah untuk mengubah data ke dalam bentuk grid NetCDF yang satuan waktunya telah berubah menjadi UTC. Data dalam pengonversian ini disebut sebagai data Surveillance Plan Position Indicator SPPI, yaitu data pengamatan dengan hanya menggunakan satu sudut elevasi antena dan frekuensi pengulangan pulsa Pulse Repetition FrequencyPRF rendah. Karena menggunakan PRF rendah, maka data ini memiliki radius amatan terluas dibandingkan dengan data lainnya 175 km untuk CDR Serpong dan hanya digunakan untuk pengamatan langsung secara visual surveillance. Dalam pengonversian data ini digunakan script dalam format perl, yaitu CDR_CONV.pl. Data dalam format SPPI ini dikonversi kembali ke dalam bentuk Volume Scan Plan Position Indicator VSPPI. Data VSPPI merupakan data yang dihasilkan melalui satu set pengamatan dengan menggunakan seluruh sudut elevasi antena yang ada pada radar. Dapat dikatakan pula, data dalam format set data ini terdiri dari data PPI dengan seluruh sudut elevasi 18 sudut elevasi. CDR Serpong merupakan radar cuaca yang dapat menghasilkan data 18 sudut elevasi. Data VSPPI telah dalam bentuk format data NetCDF yang akan digunakan untuk menghasilkan data CAPPI yang dapat dikonversi kembali menjadi data curah hujan, baik dalam bentuk ASCII ataupun Image CAPPI. Data yang dihasilkan dalam tahap ini memiliki radius 105 km. Prosessing data ini menggunakan script CDR_VOL.pl. Gambar 3 Sudut yang terbentuk oleh rekaman data radar cuaca Anonim, 2010 Data dalam format VSPPI telah terkonversi ke dalam format NetCDF yang satuan waktunya adalah UTC. Dalam prosessing data format ini, digunakan persamaan pembobotan Cressman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman yang ditulis ke dalam script PPI2CAPPI2.pl. Data yang dikonversi pada tahap ini menghasilkan data dalam bentuk reflektivitas .dbz. Teknik modifikasi ini merupakan teknik interpolasi spasial data radar NetCDF menjadi data curah hujan masih dalam bentuk reflektivitas. Modifikasi ini dilakukan untuk menginterpolasi data dari koordinat polar ke dalam koordinat linear. Prosessing data kemudian dilanjutkan ke dalam konversi data untuk format data CAPPI. Format data CAPPI ini yang kemudian dapat digunakan untuk pengamatan cuaca, khususnya curah hujan. Data curah hujan yang dihasilkan dalam pengonversian data tahap ini terbagi ke dalam dua jenis set data, tergantung hasil akhir yang diinginkan ASCII Format dan Image CAPPI. Pada penelitian ini, keluaran data yang dihasilkan dibatasi hanya pada data ASCII Format. Dalam pengoversian data ini, satuan waktu yang digunakan telah diubah kembali ke dalam format WIT Western Indonesian TimeWaktu Indonesia Barat. Dalam pengonversian data ini juga digunakan rumus Marshall-Palmer, sebagai berikut: Z = aR b Dimana, Z adalah reflectivity factorfaktor reflektivitas radar dB of Z dan R adalah rain ratecurah hujan mmhr. Selang beberapa waktu, Marshall-Palmer kemudian menentukan konstanta a dan b yag terkandung dalam rumus yang diutarakannya. Penentuan konstanta ini diutarakan saat melakukan penelitian terhadap curah hujan di Kanada. Rumus ini kemudian digunakan di seluruh dunia walaupun dalam penggunaannya data yang ada masih diwajibkan untuk divalidasi dan dikenal sebagai rumus Marshal-Palmer. Rumus Marshall-Palmer yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman yang digunakan pada script rainrate.f ini digunakan untuk mengonversi data yang masih dalam bentuk raflektivitas radar .dbz ke dalam bentuk curah hujan mmhari. Dalam rumus Marshall-Palmer, konstanta yang digunakan berbeda di setiap negara, bergantung pada lokasi negara tersebut. Konstanta yang tertera pada rumus di atas, merupakan konstanta yang digunakan untuk perhitungan di Indonesia data yang dihasilkan sudah tidak perlu untuk divalidasi kembali. Data yang telah dihasilkan kemudian diperiksa kembali menggunakan GFortran. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membaca file binary dan juga untuk melakukan konversi data hasil pengolahan menggunakan rumus Marshall-Palmer. Pemeriksaan ini tidak menggunakan script, namun perintah untuk menjalankan programnya langsung diketik dalam jendela terminal tempat processing dilaksanakan. Perintahnya adalah seperti berikut: Gfortran –o nama file output nama file input Keterangan: Gfortran merupakan nama perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data radar. –o merupakan perintah untuk menghilangkan data yang tidak perlu. nama file output merupakan tempat penyimpanan file hasil. nama file input merupakan tempat file yang menjadi masukan pemrosesan data radar. Tabel 2 Data teks curah hujan 12 Februari 2010 02.00 Bujur Lintang Ketinggian km CH mm6 menit 107.006 -6.7799 2 0.05 107.01 -6.7799 2 0.05 107.001 -6.7754 2 0.06 107.006 -6.7754 2 0.06 107.01 -6.7754 2 0.07 107.015 -6.7754 2 0.07 107.019 -6.7754 2 0.09 107.001 -6.7709 2 0.06 107.01 -6.7709 2 0.08 Bujur Lintang Ketinggian km CH mm6 menit 107.006 -6.7799 2 0.05 107.01 -6.7799 2 0.05 107.001 -6.7754 2 0.06 107.006 -6.7754 2 0.06 107.01 -6.7754 2 0.07 107.015 -6.7754 2 0.07 107.019 -6.7754 2 0.09 107.001 -6.7709 2 0.06 107.015 -6.7709 2 0.09 Data teks yang dihasilkan oleh processing data radar mencakup titik bujur, lintang, ketinggian km, dan juga curah hujan mmjam. Data curah hujan yang didapat terlebih dahulu diolah kembali. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai satu paket data per 6 menit, menggunakan rumus : CH = CH awal 60 x 6 Data teks yang telah didapat kemudian diolah kembali ke dalam bentuk peta penyebaran curah hujan di wilayah kajian dan juga grafik curah hujan yang menunjukkan besarnya sebaran curah hujan dalam setiap posisi bujur dan lintang. Satu titik lintang dan bujur dari data radar mewakili 0.0045° atau 524 meter untuk masing-masing titiknya. Dalam setiap posisi bujur maupun lintang, dibagi kembali ke dalam dua posisi, 106.0- 106.5°BT dan 106.5-107.0°BT untuk titik bujur dan 7.0-6.5°LS dan 6.5-6.0°LS untuk titik lintang. Pengolahan grafik awal dilakukan untuk data per 6 menit. Kemudian dilanjutkan dengan data per 30 menit dan data per 60 menit. Adapun pengelompokkan data ke dalam 3 kelompok data ini dilakukan secara sederhana, yaitu dengan mengakumulasi kan waktu pengamatan data awal data per 6 menit menjadi data per 30 menit dan per 60 menit. Untuk contoh data hasil pengelompokkan terhadap waktu, dapat dilihat dalam lampiran. Masing-masing grafik kemudian di analisis bagaimana penyebaran curah hujan dalam wilayah kajiannya. Hasil analisis yang didapat kemudian dapat dimanfaatkan untuk pengembangan informasi mengenai curah hujan lebih lanjut, misalnya untuk mengetahui volume hujan wilayah dan prediksi banjir. Penelitian ini hanya membatasi penggunaan data radar hingga mendapatkan curah hujan wilayah kajian saja.

4.2 Analisis Curah Hujan di Wilayah Jabodetabek