Sensitivitas dan Spesifisitas Metode PCR

ini menunjukkan bahwa kisaran suhu yang digunakan dalam penelitian ini spesifik. Yuwono 2006 menyatakan bahwa pada suhu annealing yang lebih tinggi dari 37 C, yaitu antara 55 hingga 65 C, maka spesifisitas reaksi amplifikasi akan meningkat. Deekshit et al. 2013 menggunakan berbagai macam primer salah satunya primer penyandi gen invA untuk menentukan suhu annealing paling optimum yaitu pada 55 C selama 1.5 menit. Secara keseluruhan, amplifikasi spesifik tergantung pada primer yang menempel ke target selama siklus amplifikasi. Design primer dan komponen bufer yang buruk, serta suhu annealing merupakan beberapa faktor yang dapat mengurangi optimasi tahap annealing. Demikian juga pada tahap extension, dimana target primer spesifik dipengaruhi oleh aktivitas enzim, MgCl 2 , ketersediaan komponen deoxyribonucleoside triphosphates dNTPs, dan kemurnian DNA target. Oleh karena itulah mayoritas optimasi metode untuk meningkatkan fungsi PCR diarahkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi annealingextension Devananda, 2011. Berdasarkan ketebalan pita yang tampak, dapat disimpulkan bahwa suhu annealing 64 C menghasilkan pita yang paling tebal sehingga untuk tahap penelitian selanjutnya digunakan suhu 64 C sebagai suhu annealing. Penentuan suhu 64 C sebagai suhu annealing dalam tahapan PCR pada penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Upadhyay et al. 2010 dan Zou et al. 2011.

II. Sensitivitas dan Spesifisitas Metode PCR

Sensitivitas PCR dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui limit deteksi PCR dengan menggunakan pasangan primer F-139 dan R-141 yang menargetkan gen invA Salmonella. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa pita spesifik dari gen invA sebesar 284 bp dapat dideteksi pada pengenceran DNA hingga 10 -5 , dengan konsentrasi DNA sebesar 27.81 µgmL. Ketika DNA diekstrak dari kultur S. Typhimuriumyang diencerkan, gen invA dapat dideteksi hingga pada pengenceran kultur tertinggi yaitu pada 1 cfuml. DNA dari kontrol negatif, S. aureus tidak memberikan amplikon. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini memiliki limit deteksi yang lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. Kimura et al. 1999 melaporkan bahwa uji PCR mampu mendeteksi keberadaan Salmonella pada sampel feses hingga 3 cfu per tabung PCR Salmonella spp.dalam kultur biakan 120 cfumLkultur TSB. Cheng et al. 2008 melaporkan bahwa dengan menggunakan Real Time PCR dan primer penyandi gen invA, yang diawali dengan pengayaan selektif, Salmonella spp. pada udang masih dapat terdeteksi hingga 0.04 cfug. Deteksi gen invA pada Salmonella spp. dengan PCR yang dilakukan Uphadhyay et al. 2010 hanya mendeteksi hingga 10 4 cfumL. Penelitian Deekshit et al. 2013 melaporkan bahwa dengan pengayaan dalam lactose broth LB selama 4 – 20 jam, kultur Salmonella Newport dapat terdeteksi hingga pengenceran 10 -8 , yang setara dengan 9.1 cfumL. Selanjutnya Garrido et al. 2013 dengan menggunakan qPCR berhasil mendeteksi keberadaan Salmonella spp., L. monocytogenes, dan E. coli pada sampel makanan hingga mencapai limit deteksi 5 cfu25 g. Dari berbagai hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa metode PCR yang terpilih dari penelitian ini juga memiliki sensitivitas yang tinggi. Spesifisitas PCR dalam penelitian ini mampu menghasilkan pita tunggal pada 284 bp keseluruhan 6 isolat Salmonella dengan serovar yang berbeda Gambar 7. Gambar 7 b menunjukkan bahwa tidak adanya amplifikasi pada 5 isolat non – Salmonella, mengindikasikan bahwa spesifisitas PCR pada penelitian ini sebesar 100. Disamping itu, gen invA yang terkandung dalam primer F-139 dan R-141 spesifik untuk mendeteksi serovar Salmonella. Gen invA Salmonella ini merupakan gen virulensi dimana ketersediaan gen invA ini menunjukkan tingkat patogenitas yang mempengaruhi infeksi Salmonella. Data terbaru dari Karunasagar et al. 2012 menyebutkan bahwa Salmonella memiliki tingkat patogenitas yang disebut dengan Salmonella Patogenicity Island SPI, dan sudah teridentifikasi sebanyak 17 SPI. Patogenitas ini mempengaruhi karakteristik virulensi Salmonella, dimana SPI 1 dan SPI 2 284 bp Gambar 6 Batasan PCR dalam mendeteksi gen invA Salmonella, a. Pengenceran DNA, lajur 1-10 : DNA S. Typhimurium mulai dari 10 – 10 -9 ; lajur 11 : DNA S. aureus sebagai kontrol negatif; lajur M : marker DNA ladder 100 bp. b. Pengenceran kultur, lajur 1-10 :DNA S. Typhimurium mulai dari 10 9 – 1 cfumL; lajur 11 : DNA S. aureus sebagai kontrol negatif; lajur M : marker DNA ladder 100 bp. a b M 3 1 2 4 5 6 7 8 9 10 M 11 M 3 1 2 4 5 6 7 8 9 10 M 11 284 bp berperan dalam invasi dan pertumbuhan sel dalam inang. SPI ini memiliki gen virulensi yang hanya tampak pada spesies patogen dan memliki perbedaan komposisi genom. SPI menggambarkan struktur gen virulensi seperti mozaik, dan memiliki region kromosom yang luas yaitu antara 10 – 200 kb. Komposisi dasar SPI berbeda dengan inti genom G + C = 40 – 60, berada dekat dengan tRNA yang menunjukkan bahwa gen tRNA sebagai sisi integrasi untuk PAI yang berperan dalam transfer gen. Gen-gen yang terdapat dalam setiap SPI secara keseluruhan dapat diidentifikasi dengan membandingkan antara sekuens genom Salmonella dengan E. coli K12 Groisman et al., 1989. Gen invA termasuk ke dalam SPI 1, yang bertanggungjawab dalam invasi dan infeksi oleh Salmonella Malorny et al., 2003. Gen-gen virulensi dalam SPI 1 menyandi protein efektor yang mengakibatkan invasi Salmonella ke dalam epitel pencernaan inang Zou et al., 2011. Secara keseluruhan gen invA spesifik untuk Salmonella seperti yang telah dilaporkan oleh Shanmugasamy et al. 2011.

III. DeteksiSalmonella spp. pada udang segar dengan metode