Data dan Peralatan Karakteristik Hujan Berdasarkan

2.3 Ketinggian Wilayah Jawa Bagian

Barat Wilayah Jawa bagian Barat terdiri dari Provinsi Banten, Provinsi Daerah Khusus Ibukota, dan Provinsi Jawa Barat. Provinsi Banten mempunyai profil ketinggian yang berkisar dari 0 sampai 2000 mdpl. Secara umum wilayah Banten terbagi menjadi tiga kelompok morfologi, yakni dataran dengan kemiringan 0-2, perbukitan landai-sedang dengan kemiringan 2-15, dan perbukitan terjal dengan kemiringan 15-40 sumber: www.deptan.go.iddaerahbanten keadaan_geografis.htm. Kondisi topografi provinsi daerah khusus Ibukota relatif datar dengan kisaran ketinggian secara umum 0-100 mdpl. sumber: http:www.jakarta.go.id. Provinsi Jawa Barat dengan luas 3.7 juta hektar terbagi menjadi sekitar 60 daerah bergunung dengan ketinggian antara 500 sampai 3079 mdpl dan 40 daerah daratan yang memiliki variasi tinggi antara 0 sampai 500 mdpl. Wilayah pegunungan umumnya menempati bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Daerah dataran Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi beberapa karater sebagai berikut:  Dataran pegunungan curam dibagian selatan dengan ketinggian 1500 mdpl,  Daerah lereng bukit landai dibagian tengah dengan ketinggian 100 sampai 1500 mdpl,  Daerah dataran rendah yang luas dibagian utara dengan ketinggian 0 sampai 100 mdpl. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat 2010.

2.4 Hujan dan Jarak Antar Stasiun

Curah hujan dan unsur iklim lainnya memiliki sebaran wilayah tertentu. Hal ini memungkinkan sebuah stasiun cuaca mewakili wilayah tertentu, akan tetapi sejauh mana sebuah stasiun dapat mewakili dan memiliki kesamaan dengan stasiun cuaca di tempat lain sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti topografi dan karakter wilayahnya. Seperti pada Lakitan 1994, curah hujan dan unsur-unsur iklim lainnya pada suatu wilayah seluas beberapa kilometer persegi dapat berbeda sangat nyata dengan unsur-unsur iklim pada wilayah di sekitarnya. Sedangkan pada penelitian Mulyantari dan Triweko 2007 untuk studi kasus wilayah Pekalongan mendapatkan hasil dimana dengan jarak 11,88 km atau radius 23,76 km dapat dikatakan hujan harian maksimum tahunan antar dua buah stasiun mempunyai karakteristik yang sama. III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai bulan Juni 2012 di Laboratorium Instrumentasi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB.

3.2 Data dan Peralatan

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data curah hujan harian stasiun hujan di Jawa Barat dengan sumber PUSAIR Bandung. Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak pengolah Spreadsheet Microsoft Excel. 3.3 Penyiapan Data Penelitian ini menggunakan data curah hujan harian 129 stasiun yang tersebar di Wilayah Jawa Bagian Barat. Masing-masing stasiun mempunyai ketersediaan data dengan rentang waktu yang berbeda-beda.

3.4 Karakteristik

Hujan di Jawa Bagian Barat Pada penelitian ini karakteristik hujan dilihat dari pengelompokan data curah hujan berdasarkan wilayah sungai dan DAS, ketinggian tempat, dan jarak antar stasiun. Masing-masing pengelompokan tersebut dianalisa secara terpisah dan menggunakan sampel stasiun yang berbeda-beda baik jumlah stasiun maupun rentang data yang digunakan.

3.4.1 Pengelompokan Berdasarkan

Wilayah Sungai dan DAS Data curah hujan 129 stasiun dikelompokkan berdasarkan letak stasiun dengan wilayah sungai WS dan DAS terdekat, dimana kelompok wilayah sungai dan DAS yang dianalisa yakni sebagai berikut:  WS Cimanuk - Cisanggarung simbol a  WS Cisadane - Ciliwung simbol b  WS Cisadea - Cimandiri simbol c  WS Citanduy - Ciwulan simbol d  DAS Citarum simbol e Pengelompokan data hujan berdasarkan wilayah sungai dan DAS ditentukan dengan mengelompokkan stasiun- stasiun yang berada dalam satu wilayah sungai danatau DAS, berdekatan secara kedekatan jarak, serta mempunyai kemiripan topografi di peta secara visual. Kelompok stasiun hujan yang terbentuk yakni sebagai berikut:  Kelompok Ia o Stasiun a1, a2, a3, a5, a7, a9, a10, a13, a14, a16, a17, a18, a19, a20, a21, a22, a24, a26, a27, a29, a30, a33, a35, a37, a38, a46, a47, a48, a52.  Kelompok IIa o Stasiun a4, a6, a8, a15, a34, a43, a49, a53.  Kelompok IIIb o Stasiun b3, b5, b7, b9, b10, b11, b13, b15.  Kelompok IVc o Stasiun c2, c3, c6, c10, c11, c12, c19, c26, c32.  Kelompok Vd o Stasiun d13, d18, d26, d27, d36.  Kelompok VIe o Stasiun e2, e3, e6, ee8, 10, e12, e17, e19, e21, e22, e24, e25. Karakter hujan kemudian dianalisa berdasarkan sifat data per stasiun dan sifat keeratan data antar stasiun dari stasiun hujan yang telah dikelompokkan. Analisa sifat data per stasiun dilakukan dengan membandingkan pola hujan harian, akumulasi 10-harian, 30-harian, dan tahunan. Ketersediaan data hujan yang dimiliki tiap stasiun berbeda-beda dalam rentang tahunnya, oleh karena itu dalam analisa sifat data per stasiun dipilih satu stasiun dari tiap kelompok yang memiliki data dengan rentang yang panjang. Stasiun hujan yang dianalisa yakni a19, a49, b3, c19, d36 dan e3. Analisa sifat keeratan data antar stasiun dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi dan p-value data hujan dua stasiun dalam skala akumulasi 3-harian, 5-harian, 7-harian, 10-harian, 30-harian, dan tahunan. Stasiun-stasiun yang digunakan untuk analisa ini yaitu:  Ia : a19, a22, a24, a29.  IIa : a4, a8, a34, a49.  IIIb : b3, b5, b9, b10, b11, b13, b15.  IVc : c6, c10, c19.  Vd : d13, d27, d18.  VIe : e3, e12, e17, e19.

3.4.2 Pengelompokan Berdasarkan

Ketinggian Tempat Pengelompokan data hujan berdasarkan ketinggian tempat dilakukan dengan membagi wilayah Jawa bagian Barat menjadi 2 bagian yakni wilayah bagian utara dan selatan dengan jajaran pegunungan sebagai pemisahnya. Kemudian dipilih stasiun-stasiun yang mempunyai ketinggian berbeda dan ketersediaan data curah hujan dari bulan Maret 2007 sampai bulan Mei 2009. Stasiun-stasiun yang dianalisa yakni:  Utara : e3, e4, e7, e11, e16.  Selatan : c6, c10, c14, c15, c19, c29. Analisa dilakukan dengan membandingkan pola hujan Maret-April-Mei MAM, Juni-Juli-Agustus JJA, September- Oktober-November SON, dan Desember- Januari-Februari DJF dengan pola ketinggian stasiun yang diurutkan dari ketinggian tertinggi ke terendah untuk masing-masing wilayah utara dan selatan. 3.4.3 Pengelompokan Berdasarkan Jarak Antar Stasiun Analisa data hujan berdasarkan jarak antar stasiun diperoleh dari nilai representasi perubahan jarak terhadap persentase selisih hujan antar stasiun-stasiun hujan dengan stasiun acuannya. Masing-masing kelompok stasiun hujan yang dianalisa merupakan stasiun-stasiun yang berada dalam satu wilayah sungai atau DAS. Kelompok stasiun yang digunakan dalam analisa ini disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang berbeda- beda, yakni kelompok Ia merepresentasi stasiun-stasiun yang berbatasan langsung dengan pesisir laut, kelompok IIa merepresentasi stasiun yang berbatasan dengan pesisir laut namun lebih jauh ke daratan dibanding kelompok Ia, kelompok IIIb merepresentasi stasiun-stasiun yang berada di daratan dalam, dan terakhir kelompok IVe merepresentasi stasiun-stasiun yang berada di daratan tinggi dan pegunungan. Dari masing-masing kelompok stasiun tersebut dipilih satu stasiun acuan. Penentuan stasiun acuan tersebut berdasarkan letak stasiun yang berada di tengah, yakni antar stasiun-stasiun yang lain. Stasiun acuan masing-masing kelompok yakni sebagai berikut:  Kelompok Ia : stasiun a19  Kelompok IIa : stasiun a8  Kelompok IIIb : stasiun b3  Kelompok IVe : stasiun e17 Data hujan yang diolah merupakan hasil dari analisa sifat keeratan data antar stasiun yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Analisa selanjutnya dilakukan dengan membandingkan pola hujan 3-harian, 5-harian, 7-harian, 10-harian, 30-harian, dan tahunan antar stasiun-stasiun pembanding dengan stasiun acuan.

3.4.4 Analisis Karakteristik Hujan di Jawa Bagian Barat

Karakteristik hujan dari masing- masing pengelompokan dianalisis dengan membandingkan pola hujan spasial dan temporal antar satu stasiun dengan stasiun lainnya. Analisa karakter hujan yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan letak stasiun. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Hujan Berdasarkan Wilayah Sungai dan DAS Hujan merupakan salah satu faktor cuaca yang karakternya ditentukan oleh faktor fisik lingkungan. Faktor fisik yang membatasi daerah cakupan pengaruh hujan yakni gunung dan lembah yang juga merupakan batas fisik wilayah sungai ataupun DAS. Oleh karena itu karakter hujan di wilayah Jawa bagian Barat dianalisa berdasarkan hasil pengelompokan stasiun- stasiun hujan yang berada di sekitar wilayah sungai dan atau DAS. Analisa karakteristik hujan berdasarkan wilayah sungai dan DAS ini dibagi menjadi dua bagian yakni analisa berdasarkan sifat data per stasiun dan analisa berdasarkan sifat keeratan data antar stasiun. Wilayah sungai WS dan DAS di Jawa bagian Barat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:  WS Cimanuk - Cisanggarung simbol a  WS Cisadane - Ciliwung simbol b  WS Cisadea - Cimandiri simbol c  WS Citanduy - Ciwulan simbol d  DAS Citarum simbol e Stasiun-stasiun yang berada dalam satu wilayah sungai danatau DAS serta secara visual terlihat berdekatan satu sama lain dijadikan satu kelompok. Kelompok stasiun hujan yang terbentuk yakni Ia, IIa, IIIb, IVc, Vd, dan VIe Gambar 2. Jumlah stasiun dan rentang data yang dimiliki tiap kelompok berbeda-beda. Oleh karena itu analisa karakter hujan yang dilakukan hanya menggunakan beberapa stasiun sebagai sampel.

4.1.1 Sifat Data per Stasiun

Analisa berdasarkan sifat data per stasiun untuk stasiun-stasiun yang berada dalam satu wilayah sungai danatau DAS dilakukan dengan membandingkan pola akumulasi hujan harian, 10-harian, 30-harian, dan pola tahunannya dari tiap rentang data tahun pengamatan. Stasiun yang digunakan sebagai sampel dalam analisa ini yaitu:  a19 1990-2010  a49 1990-2001  b3 2004-2010  c19 2005-2010  d36 1979-1991  e3 2004-2010 Hujan bukan merupakan unsur cuaca yang kontinyu dari waktu ke waktu, namun gambaran nilai akumulasi hujan untuk tiap skala ditampilkan menggunakan tampilan garis. Tampilan garis tersebut digunakan untuk melihat keragaman pola hujan yang terbentuk. Pola hujan dilihat berdasarkan nilai hujan terhadap kejadian dalam waktu. Pola hujan harian ditunjukkan dengan garis berwarna biru, 10-harian dengan warna merah muda, 30-harian dengan warna oranye, dan warna hitam untuk pola hujan tahunan Gambar 3. Secara umum keragaman hujan 10-harian dibentuk oleh keragaman nilai hujan harian. Begitu pula untuk pola hujan 30-harian dan tahunan, keragaman yang terlihat dibentuk oleh skala akumulasi hujan dibawahnya secara berturut-turut. Wang dan Cho 1997 dalam tulisannya menyatakan bahwa presipitasi bulanan mempunyai kecenderungan yang naik selama setengah abad terakhir. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk wilayah Northern Eurasia. Gambar 2 Kelompok stasiun hujan berdasarkan wilayah sungai dan DAS Kecenderungan yang naik pada presipitasi bulanan tentunya akan membentuk pola hujan tahunan yang cenderung naik juga. Namun pada Gambar 3 dapat dilihat pola hujan bulanan di stasiun a19 yang memiliki rentang data pengamatan selama 21 tahun tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Terjadi penurunan hujan tahunan dari tahun 1990 ke tahun 1991 untuk stasiun d36, sebaliknya pada tahun yang sama namun di wilayah sungai berbeda, terjadinya kenaikan hujan tahunan di stasiun a19 dan a49. Stasiun a19 mempunyai keragaman pola hujan tahunan yang besar dari tahun 1990 sampai 2001, namun dengan wilayah sungai yang sama hal tersebut tidak terjadi di stasiun a49 dimana keragamannya cenderung kecil. Stasiun b3 dan e3 mempunyai rentang data pengamatan yakni dari tahun 2004 sampai 2010 dimana hujan tahunan kedua stasiun tersebut cenderung naik dari tahun ke tahun ke tahun. Begitu pula untuk stasiun c19 yang mempunyai rentang data pengamatan dari tahun 2005 sampai 2010. Stasiun b3, e3, dan c19 tersebut merupakan stasiun-stasiun dengan wilayah sungai berbeda. Namun pada rentang tahun yang sama, yakni 2004 sampai 2010, hujan tahunan di stasiun a19 cenderung kecil keragamannya. Keragaman hujan tahunan di stasiun a19 yang kecil tersebut juga berbeda dibanding dengan tahun-tahun pengamatan sebelumnya, yakni tahun 1990 sampai 2004 Gambar 3. Begitu pula untuk hujan 30-harian yang membentuk keragaman hujan tahunan pada tahun-tahun tersebut. Dengan ini dapat dilihat bahwa sifat data hujan per stasiun mempunyai kecenderungan yang berbeda- beda dari tahun ke tahun. Hal tersebut berlaku baik untuk stasiun yang berada dalam satu wilayah sungai ataupun tidak. Namun secara umum terlihat bahwa keragaman hujan yang terbentuk cukup besar sehingga tidak adanya pola hujan yang teratur baik untuk skala tahunan maupun 30-harian. Selama ini terdapat banyak metode pembangkitan data hujan yang menggunakan pola pengulangan hujan yang terjadi sebagai dasar. Semakin besar klasifikasi data hujan 10-harian, 30-harian, tahunan yang ingin dibangkitkan maka semakin kecil keragamannya karena pola pengulangannya dapat terlihat dengan jelas dari tahun ke tahun. Namun hal tersebut tidak terlihat pada Gambar 3 dimana keragaman data harian, 10-harian, 30-harian, dan tahunan yang terbentuk cenderung besar dari tahun ke tahun tanpa adanya pola pengulangan yang jelas. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh lokal yang kuat seperti topografi dan karakter wilayahnya, misal ketinggian atau lokasi stasiun hujan yang dikaji. a b c d e f Gambar 3 Pola hujan harian, akumulasi tahunan, 30-harian, dan 10-harian stasiun hujan: a a19 kelompok DAS Ia 1990-2010; b a49 kelompok DAS IIa 1990-2001; c b3 kelompok DAS IIIb 2004-2010; d c19 kelompok DAS IV 2005-2010; e d36 kelompok DAS Vd 1990-2010; f e3 kelompok DAS VIe 2004-2010

4.1.2 Sifat Keeratan Data antar Stasiun

Karakteristik yang ingin dilihat berdasarkan sifat keeratan data antar stasiun didapatkan dari nilai koefisien korelasi dan p-value. Nilai tersebut merupakan hasil kombinasi semua stasiun hujan per kelompok DAS yang mempunyai kesamaan rentang ketersediaan data lampiran 2 dan 3. Koefisien korelasi menunjukkan derajat kekuatan hubungan antar parameter yang dibandingkan, dalam hal ini nilai curah hujan antar dua stasiun dalam skala akumulasi yang berbeda. Skala akumulasi hujan yang digunakan yakni 3-harian, 5-harian, 7-harian, 10-harian, 30-harian, dan tahunan. Nilai koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan kemiripan pola naik dan turunnya curah hujan pada skala akumulasi yang sama, tanpa memperhatikan nilai curah hujannya. Rentang data yang digunakan untuk kelompok DAS Ia yakni 19 tahun, DAS IIa 12 tahun, DAS IIIb 7 tahun, dan 6 tahun untuk DAS IVc, Vd, dan VIe. Perbedaan rentang data yang dianalisis tersebut berpengaruh kepada nilai p-value yang dihasilkan untuk tiap skala akumulasi hujan. P-value menunjukkan peluang spesifik dari uji statistik terhadap parameter yang dibandingkan, dimana derajat bebas yang digunakan yakni 0.05. Semakin banyak jumlah data yang digunakan maka p-value cenderung kecil. Nilai p-value yang kecil menunjukkan bahwa peluang kesalahan dua parameter yang dibandingkan juga kecil. Dalam hal ini jika nilai p-value kurang dari 0.05 maka keeratan antar dua stasiun hujan yang dibandingkan bersifat nyata untuk skala akumulasi hujan tersebut. Secara umum nilai koefisien korelasi untuk setiap kombinasi stasiun hujan pada masing-masing kelompok DAS memiliki nilai yang lebih tinggi pada akumulasi hujan 30-harian dengan p-value 0.05. Hal tersebut menunjukkan bahwa data curah hujan di satu stasiun mempunyai hubungan yang kuat dan bersifat nyata dengan stasiun pembanding pada data akumulasi hujan 30-harian. Sedangkan untuk kombinasi stasiun yang memiliki nilai koefisien korelasi rendah dan p-value tinggi dapat disebabkan oleh dominannya karakteristik lokal stasiun yang mempengaruhi hujan pada tahun-tahun pengamatan. Dengan demikian berdasarkan DAS didapatkan karakteristik hujan yang jika dilihat sifat data per stasiunnya maka masing- masing stasiun mempunyai keragaman data hujan yang besar baik untuk skala akumulasi harian, 10-harian, 30-harian, dan tahunan. Sedangkan sifat keeratan data antar stasiun untuk masing-masing DAS di wilayah Jawa bagian Barat secara umum mempunyai hubungan yang kuat dan nyata dengan stasiun lain pada data akumulasi hujan 30-harian.

4.2 Karakteristik Hujan Berdasarkan

Ketinggian Pengidentifikasian karakteristik hujan berdasarkan ketinggian dilakukan dengan memperhitungkan faktor gerak semu matahari yang mempengaruhi sebaran hujan. Oleh karena itu wilayah kelompok kajian berdasarkan ketinggian dibagi lagi menjadi wilayah utara dan selatan dengan jajaran gunung dan dataran tinggi sebagai pemisahnya Gambar 4. Gambar 4 Peta pemisahan wilayah utara-selatan stasiun hujan di Jawa Barat Gambar 5 Contoh posisi semu matahari Berdasarkan letak geografisnya wilayah Jawa bagian Barat terletak di belahan bumi bagian selatan dari garis ekuator. Letak tersebut menyebabkan wilayah Jawa bagian Barat mendapat radiasi maksimum pada bulan-bulan disaat matahari berada di belahan bumi selatan. Dan bulan-bulan dimana matahari berada di atas wilayah Jawa bagian Barat tersebut menyebabkan tingginya intensitas hujan yang terjadi. Sebaliknya, pada saat matahari berada di belahan bumi utara maka intensitas hujannya kecil. Wilayah Jawa bagian Barat mempunyai karakter topografi yang bergunung-gunung di sebagian besar wilayah selatannya. Jajaran pegunungan tersebut membagi lagi wilayah Jawa bagian Barat menjadi dua bagian yakni utara dan selatan dimana kelompok stasiun yang dianalisa karakter hujannya yakni sebagai berikut:  Utara : e3, e4, e7, e11, e16  Selatan : c6, c10, c14, c15, c19, c29 Karakter hujan dilihat dari nilai akumulasi hujan 3-bulanan yang dimulai pada bulan Maret, yakni pada saat matahari tepat berada di atas ekuator Gambar 5. Analisa yang dilakukan menggunakan data curah hujan dari Maret 2007 sampai Mei 2009 yang dimaksudkan untuk melihat pola hujan yang terjadi dengan pola gerak semu matahari. Hujan 3-bulanan yang digunakan yakni diberi simbol sesuai dengan bulan pengamatan, yaitu: MAM 2007, JJA 2007, SON 2007, DJF 2007, MAM 2008, JJA 2008, SON 2008, DJF 2008, dan MAM 2009. Stasiun-stasiun yang telah dikelompokkan menjadi bagian utara dan selatan diurutkan dari stasiun yang mempunyai ketinggian tertinggi sampai terendah. Kelompok stasiun bagian utara yang memiliki ketinggian tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah e11 1446 mdpl, e7 1332 mdpl, e16 1191 mdpl, e4 845 mdpl, dan e3 766 mdpl. Sedangkan kelompok stasiun bagian selatan yang memiliki ketinggian tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah c15 974 mdpl, c29 854 mdpl, c10 511 mdpl, c19 354 mdpl, c6 314 mdpl, dan c14 294 mdpl. Curah hujan 3-bulanan minimum di kelompok stasiun bagian utara yakni 23 mm dan maksimum 1132 mm. Curah hujan minimum tersebut terjadi pada periode JJA tahun 2008, yakni di stasiun e3 dengan ketinggian 766 mdpl. Sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada periode DJF tahun 2007, yakni di stasiun e4 dengan ketinggian 845 mdpl. Kedua stasiun tersebut merupakan stasiun yang memiliki ketinggian terendah dibanding tiga stasiun yang lain. Dari tiap periode tidak menunjukkan adanya stasiun yang tetap memiliki curah hujan lebih tinggi dibanding stasiun lain. Namun secara umum terlihat jelas pola hujan monsunal dimana curah hujan relatif rendah di periode JJA dan cenderung tinggi di periode DJF. Hal tersebut berlaku untuk tahun 2007 maupun 2008 Gambar 6. Curah hujan 3-bulanan kelompok stasiun bagian selatan berada dalam rentang 21 mm sampai 2139 mm. Periode JJA baik tahun 2007 atau tahun 2008 memiliki hujan maksimum pada rentang 200 mm. Sedangkan hujan maksimum terjadi pada periode DJF untuk tahun 2007 dan juga 2008. Curah hujan pada periode MAM cenderung stabil untuk semua tahun. Sedangkan periode SON tahun 2007 lebih rendah dibanding periode SON tahun 2008 Gambar 7. Stasiun-stasiun di kelompok bagian selatan mempunyai ketinggian yang lebih rendah terendah 294 mdpl dan tertinggi 974 mdpl dibanding stasiun di kelompok bagian utara terendah 766 mdpl dan tertinggi 1446 mdpl. Rataan hujan 3-bulanan untuk semua stasiun di masing-masing kelompok menunjukkan intensitas hujan kelompok bagian utara selalu lebih kecil dibanding kelompok bagian selatan. Rataan hujan 3-bulanan untuk semua stasiun di periode JJA tahun 2007 yakni 110 mm untuk kelompok bagian utara, dan 147 mm untuk kelompok bagian selatan. Pada periode JJA tahun 2008 kelompok bagian utara memiliki intensitas hujan rataan dari semua stasiun sebesar 51 mm dan 104 mm untuk kelompok bagian selatan. Untuk periode DJF tahun 2007 kelompok utara memiliki intensitas hujan rataan sebesar 723 mm dan kelompok selatan sebesar 1267 mm. Pada periode yang sama di tahun 2008 kelompok utara memiliki intensitas hujan rataan sebesar 722 mm dan kelompok selatan sebesar 1298 mm. Dan untuk periode yang lain pun berlaku hal yang sama. Dari kedua kelompok stasiun tersebut tidak terlihat adanya hubungan yang jelas antara ketinggian dengan intensitas hujan yang terjadi. Sebelumnya telah dilakukan pula perhitungan nilai rasio hujan periode DJF dengan periode JJA untuk stasiun- stasiun di beberapa rentang ketinggian. Kelompok stasiun berdasarkan beberapa rentang ketinggian tersebut juga dibagi lagi menjadi dua kelompok yakni bagian utara dan selatan. Perhitungan rasio tersebut dilakukan untuk melihat apakah rasio DJF- JJA mempunyai hubungan dengan adanya perbedaan ketinggian tempat. Semakin besar nilai rasionya menunjukkan perbedaan intensitas hujan yang besar antara periode DJF bulan basah dengan periode JJA bulan kering. Namun rasio yang didapatkan tidak menunjukkan adanya hubungan hujan dengan ketinggian tempat karena di setiap rentang ketinggian terdapat beberapa stasiun yang memiliki rasio DJF-JJA yang kecil maupun yang besar Lampiran 4. Nilai rasio yang besar lebih didominasi oleh bentuk orografiknya, yakni letak stasiun yang berada pada lereng di atas angin windward side maupun daerah dekat pesisir. Hal tersebut serupa dengan pernyataan Simon dan Mohankumar 2004 dimana hasil penelitiannya di Kerala yang menggunakan metode angin menunjukkan cuaca di Kerala secara mendalam dipengaruhi oleh bentuk orografiknya. Dalam hal ini pun dapat terlihat kelompok stasiun bagian selatan berada pada daerah atas angin windward side dan berbatasan dengan laut di bagian selatannya, sedangkan kelompok stasiun bagian utara berada di daerah bawah angin leeward side dan berada di tengah daratan luas Jawa bagian Barat Lampiran 5. Sehingga lokasi stasiun lebih mempegaruhi hujan yang terjadi di suatu tempat. Selain itu, pernyataan tersebut juga didukung oleh analisis dari principal component series menggunakan rataan bergerak dan uji Mann-Kendall oleh Esteban-Parra et al. 1998, dimana terlihat adanya penurunan jangka panjang yang signifikan untuk presipitasi di wilayah- wilayah daratan bagian dalam, dan kenaikan presipitasi di wilayah pesisir. Gambar 6 Perbandingan hujan 3-bulanan periode MAM 2007 sampai periode MAM 2009 kelompok stasiun bagian utara dengan ketinggian masing-masing stasiun Gambar 7 Perbandingan hujan 3-bulanan periode MAM 2007 sampai periode MAM 2009 kelompok stasiun bagian selatan dengan ketinggian masing-masing stasiun

4.3 Karakteristik Hujan Berdasarkan