Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kerapudengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Di Pulau Karimunjawa) Taman Nasional Karimunjawa

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU

DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS DI

PULAU KARIMUNJAWA) TAMAN NASIONAL

KARIMUNJAWA


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kerapu Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Di Pulau Karimunjawa) Taman Nasional Karimunjawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam DaftarPustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Beta Indi Sulistyowati


(3)

RINGKASAN

BETA INDI SULISTYOWATI. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan KerapuDengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus di Pulau Karimunjawa) Taman Nasional Karimunjawa.Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan YONVITNER.

Kerapu adalah anggota dari famili Epinephelidae yang memainkan peran penting secara ekologi pada ekosistem terumbu karang sebagai predator tingkat atas. Secara ekonomi, kerapu merupakan target penangkapan nelayan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.Pulau Karimunjawamerupakan pulau yang termasuk dalam 26 gugusan pulau di Taman Nasional Karimunjawa. Di sekitar perairannya merupakan daerah kaya akan terumbu karang yang merupakan habitat khusus kerapu. Nilai ekonomis kerapu yang tinggi mendorong intensitas eksploitasi penangkapan dengan berbagai cara dan sering berpotensi merusak terumbukarang.

Penelitian dilakukan pada April 2015 di Desa Karimunjawa Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Desa Karimunjawa merupakan pulau yang termasuk dalam gugusan kepulauan Karimunjawa di bawah pengelolaanTaman Nasional Karimunjawa.Pendataan dilakukan dengan mencatat hasil tangkapan ikan (spesies, panjang total, alat tangkap, dan lokasi tangkapan harian kerapu)yang didaratkan pada tiga tempat pendaratan ikan terbesar di Desa Karimunjawa dan ditangkap dari perairan Taman Nasional Karimunjawa.Wawancara dilakukan terhadap nelayan (bubu, pancing, panah), rumah tangga perikanan (pengepul/pedagang) dan lembaga (pemerintahan/non pemerintahan). Dari penilaian perikanan melalui indicator EAFM didapatkan kondisi pengelolaan perikanan kerapu di Karimunjawa termasuk dalam kategori sedang (nilai70.59).Penerapan indikator EAFM dalam praktek pemanfaatan kerapu di Karimunjawa pada domain SDI, habitat dan ekosistem dinilai baik, pada domain teknologi penangkapan, sosial, dan kelembagaan dinilai sedang, dan pada domain ekonomi dinilai buruk.

Strategi pengelolaan perikanan kerapu dimulai dari strategi pengembangan social sampai dengan mempertahankan strategi yang sudah ada (maintain existing strategy). Rumusan langkah taktis tersebut yaitu: pembuatan rencana pengelolaan perikanan kerapu, pengaturan selektifitas alat tangkap sesuai Lm spesies, waktu dan lokasi penangkapan, pembatasan jumlah alat tangkap panah dan pancing serta memberi penyuluhan penggunaan alat tangkap, penambahan zona inti untuk lokasi Spawning Aggregation(SPAG) yang tidak termasuk pada zona inti, peningkatan pengawasan penangkapan destruktif/ilegal, penggunaan panduan alat tangkap, pengurangan alat tangkap panah dan pancing, pendampingan kesepakatan disesuaikan kondisi sumberdaya ikan, sosialisasi zona inti dan perlindungan yang lebih massif dan penegakan hokum terhadap nelayan yang menangkap di zona tersebut, optimasi penegakan aturan, pembentukan kelompok kerja dan mengadakan pertemuan rutin.


(4)

SUMMARY

BETA INDI SULISTYOWATI. Ecosystem Approach Grouper Fisheries Management (Study Case in Karimunjawa Island) Karimunjawa National Park. Supervised by MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL and YONVITNER.

Groupersare member of family Epinephelidae that plays important role in ecology ofcoral reefs ecosystem as top level predators.Economically, groupersare catch targets of fishermen which high economic values. Karimunjawa island include in 26 archipelago of national park in Karimunjawa.Around the waters have rich coral reefs which is therestricted habitats of groupers. Because of thats high economic value, groupers encourage intensity exploitation arrest in various ways and often potentially destroy coral reefs.

The study was conducted in April 2015 in Karimunjawavillage, District Karimunjawa, Jepara, Central Java Province. Karimunjawa village included in the Karimunjawaarchipelago under Karimunjawa National Parkmanagement. Data collection done by recorded the catches (species, total length, fishing gear, and the location of daily catches of grouper) which landed on three biggest fish landing sites in the village and captured from Karimunjawawaters,Karimunjawa National Park. Interviews were conducted with fishermen (traps, lines, speargun), household fishery (collector / trader) and institutions (government / non government). Fishery assessments through EAFM indicators obtained grouper fishery management conditions in Karimun included in the medium category (value 70.59). The implementation of indicators EAFM in uutilizationpractice of grouper in Karimun on SDI, habitats and ecosystems domain is considered good, in the domain of fishing technology, social, and institutional rated moderate, and the economic domain considered bad.

Grouper fishery management strategies starting from social development strategy up to maintain the existing strategy. The formulation of tactical measures are: manufacturing of grouper fishery management plans, setting the selectivity of fishing gear in accordance Lm species, time and location of arrest, restrictions on the number of speargun and handline as well as provide counseling fishing gears, additional core zone for Spawning Aggregation (SPAG) site which not included in the core zone, increasing supervision destructive fishing / illegal use of guides fishing gear, mentoring agreement adjusted the conditions SDI, socialization and more massive protection of core zone,and law enforcement against fishermen who catch in the zone, optimization enforcement, establishment of working groups and hold regular meetings.


(5)

©HakCiptaMilik IPB, Tahun 2016

HakCiptaDilindungiUndang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

BETA INDI SULISTYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU

DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS DI

PULAU KARIMUNJAWA) TAMAN NASIONAL

KARIMUNJAWA


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini adalah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kerapu Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi KasusDi Pulau Karimunjawa) Taman Nasional Karimunjawa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir M Mukhlis Kamal MSc dan Bapak Dr Yonvitner Spi MSi selaku pembimbing, serta Bapak penguji luar komisiDr Suharyanto MSc dan Kaprodi SPL selaku penguji program studi, yang telah banyak memberikan saran dan masukan didalam penyempurnaan tesis ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Drs Mabrur MT dan Dra Estiwihanani atas doa dan kasih sayang tanpa batas untuk ananda dan keluarga tercinta Andhina Uli Urfah ST dan Setyo Gunawan SE serta keponakan tersayang Fathimah Aulia Zahra, eyang Suyarti SPd dan eyang Sudiastuti SPd serta teman-teman SPL-IPB angkatan tahun 2013 yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Wildlife Conservation Society (WCS) yang telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terimakasih penulis kepada seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu atas suport dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

Bogor, September 2016


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

3 METODE PENELITIAN 13

Waktu dan Lokasi Penelitian 13

Jenis dan Sumber Data 13

Analisis Data 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 23

Karakteristik Sosial Ekonomi Responden 23

Kondisi Perikanan Karang Secara Umum 26

Kondisi Perikanan Kerapu Karimunjawa 27

Penilaian SDI Kerapu di Karimunjawa Menggunakan Indikator EAFM 28

KeputusanTaktis (Tactical Decision) 47

Rencana Jangka Pendek 55

5 SIMPULAN DAN SARAN 58

Simpulan 58

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59

LAMPIRAN 64


(11)

DAFTAR TABEL

1 Spesies Kerapu Yang Paling Banyak Tertangkap di Karimunjawa (Data Pendaratan Ikan Tahun 2010 sampai 2014)

9 2 Indikator Perdomain, Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Metode

Analisis

14 3 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera 19

4 Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder 20

5 Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder 21

6 Ukuran Kuantitatif Terhadap Identifikasi Pemetaan Stakeholder 22

7 Analisis Komposit Domain SDI 28

8 Rata-rata Panjang Kerapu/Spesies/Tahun 30

9 Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem 35

10 Analisis Komposit Domain Teknologi Penangkapan 37

11 Analisis Komposit Domain Sosial 38

12 Analisis Komposit Domain Ekonomi 40

13 Analisis Komposit Domain Kelembagaan 42

14 Analisis Agregat Seluruh Domain Pengelolaan Perikanan Kerapu Dengan Indikator EAFM

46 15 Langkah Taktis Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kerapu Dengan

Pendekatan Ekosistem

49 16 Rencana Jangka Pendek Pengelolaan Perikanan Kerapu di Karimunjawa 55


(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pendekatan Penelitian 4

2 Peta Lokasi Penelitian 13

3 Alur Penelitian 17

4 Tactical Decision 19

5 Matriks Hasil Analisis Stakeholder 21

6 Sebaran Umur Responden Nelayan di Desa Karimunjawa 24 7 Komposisi Tingkat Pendidikan Responden Nelayan di Desa

Karimunjawa

24 8 Lama Melakukan Pekerjaan Sebagai Nelayan di Karimunjawa 25 9 Perbandingan Antara Modal Nelayan/AlatTangkap dengan

Modalnya

26 10 Tren CPUE (Kg/Trip) Kerapu di Karimunjawa, TNKJ 29 11 Perbandingan CPUE Kerapu Masing-masing

AlatTangkap/Tahun

29 12 Rata-rata Tren Panjang Ikan Per-spesies di Pulau

Karimunjawa TNKJ, Tahun 2010 Sampai 2015

31

13 Rata-rata Proporsi Juvenil (%) Per-alat Tangkap (1) Pancing, (2) Panah, (3) Bubu di Pulau Karimunjawa TNKJ, Tahun 2010 Sampai 2015

33

14 Rata-rata Kelimpahan Ikan Kerapu di Kepulauan Karimunjawa TNKJ, Tahun 2010 Sampai 2015

34 15 Persen Tutupan Karang Hidup (Tahun 2004-2013) 36 16 Frekuensi Kejadian Penangkapan Destruktif Dan Ilegal 37 17 Grafik Partisipasi Pemangku Kepentingan 39 18 Peta Partisipatif Kesesuaian Zonasi Penangkapan Kerapu 41 19 Hasil Pemetaan Stakeholder Perikanan Tangkap Kerapu di

Karimunjawa

44

20 Rencana Perbaikan Perikanan 46


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis Kerapu Yang Menjadi Objek Penelitian 65

2 Alat Tangkap dan Armada Kapal Yang Digunakan Nelayan 66

3 Sampling danWawancara 67

4 Rata-rata Ukuran Panjang Ikan Kerapu/Spesies/Tahun 68

5 Tren CPUE 68

6 Proporsi Juvenil/Alat Tangkap/Spesies 68

7 Kelimpahan Kerapu /Spesies Di Alam 68

8 Persen Tutupan Karang Keras Hidup/Tahun 69

9 Kesesuaian Zonasi Penangkapan 69

10 Jumlah Kejadian Pelanggaran 69

11 Partisipasi Lembaga Dalam Pengelolaan Perikanan 69

12 Persentase Pendapatan Nelayan Yang Berasal Dari Penjualan Kerapu Dari Total Semua Tangkapan

70

13 Kelengkapan Aturan Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa

71

14 Konektivitas 72

15 Kuisioner Nelayan 73

16 Kuisioner Pengumpul 81

17 Kuisioner Lembaga/Instansi 90

18 Analisis Panduan scoring untuk Mengetahui Besarnya Tingkat Kepentingan Stakeholder

95 19 Panduan Scoring untuk Mengetahui Besarnya Tingkat Pengaruh

Stakeholder

96 20 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Sumberdaya Ikan 98 21 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Habitat dan

Ekosistem

99

22 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Ekonomi 99

23 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Teknologi Penangkapan

100 24 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Sosial 101 25 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Kelembagaan 102

26 Rencana Perbaikan Pengelolaan Perikanan 104


(14)

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae yang merupakan marga ikan yang mempunyai peran penting secara ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, pada ekosistem terumbu karang kerapu merupakan top predator yang tinggal pada habitat yang spesifik (Kordi 2001), sehingga keberadaannya sangat penting bagi keseimbangan ekologis. Apabila habitatnya mengalami degradasi maka akan berdampak langsung pada keberlanjutan kerapu itu sendiri. Menurut Sadovy et al.

(2013) ikan kerapu termasuk jenis ikan yang bergerak lambat, mode reproduksi massal pada lokasi tertentu (spawning aggregation), umur yang panjang, dan periode pemijahan yang lebih sedikit dari spesies lain.

Aspek biologi yang paling penting yang berkontribusi terhadap penurunan kerapu adalah biologi reproduksi mereka. Mode reproduksi protogynous kerapu menimbulkan permasalahan untuk pengelolaan perikanan. Perubahan jenis kelamin ini yang membuat kerapu rentan pada aktivitas penangkapan sebelum memasuki fungsi reproduksi. Mode reproduksi kerapu yang bersifat massal di satu waktu tertentu secara bersama-sama dengan membentuk agregasi, pada musim agregasi sering dijadikan nelayan sebagai target penangkapan. Hal ini sangat rentan dan dapat menyebabkan menurunnya keberlanjutan hasil perikanan kerapu (Sadovy et al.2012).

Secara ekonomi kerapu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, selain itu merupakan komoditas unggulan ekspor non migas indonesia (9.38% dari kebutuhan Hong Kong. Keberlanjutan sumberdaya ikan kerapu berkaitan erat dengan sumber pendapatan nelayan. Hal ini mendorong intensitas eksploitasi penangkapan ikan kerapu dengan berbagai cara, sehingga berpotensi merusak habitat alami kerapu. Rusaknya habitat alami kerapu berdampak pada menurunnya populasi. Eksploitasi terus menerus dapat menyebabkan overfishing

di banyak lokasi, contohnya antara lain adalah di Pulau Burunglue sulawesi selatan (Tandipayuk 2005) dan Laut Berau Kalimantan Timur (Wiryawan 2005).

Perairan kepulauan Karimunjawa memiliki lima spesies yang merupakan target penangkapan selama tahun 2010 sampai 2014. Spesies tersebut antara lain

C.cyanostigma, E. areolatus, E.ongus, P.maculatus, P.areolatus, Pl.oligochantus, dan P.leopardus. Genus kerapu yang mempunyai nilai komersial cukup tinggi antara lain genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus. Tiga tipe alat tangkap digunakan nelayan untuk menangkap kerapu di Karimunjawa, yaitu pancing, bubu, dan panah. Panah merupakan alat tangkap yang paling efektif dalam perikanan kerapu.

Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Karimunjawa, produksi perikanan kerapu cenderung menurun. Pada tahun 2007 produksi kerapu sebesar 33.716 kg, tahun 2011 sebesar 11.425 kg, dan tahun 2014 sebesar 3.475 kg. Sebagai sebuah wilayah yang menjadi bagian dari kawasan konservasi seharusnya dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan yang ada pada kawasan tersebut. Perencanaan yang baik pada kawasan konservasi dapat menjadi alat yang optimal bagi pengelolaan perikanan. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya ikan kerapu di kawasan Taman Nasional Karimunjawa perlu menyertakan semua aspek yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan pengelolaannya.


(16)

Pengelolaan perikanan kerapu mempunyai keterkaitan tidak hanya pada faktor biologi, dan ekonomi, juga berkaitan dengan aspek sosial dan kelembagaan yang mengaturnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan ekosistem yang disebut Ecosystem Approach to FisheriesManagement (EAFM).

FAO (2003) mendefinisikan EAFM sebagai pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan yang berusaha menyeimbangkan berbagai aspek yang menyeluruh. Aspek tersebut antara lain tujuan sosial yang beragam dengan mempertimbangkan pengetahuan, ketidakpastian faktor biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi semua bagiannya. Sehingga diharapkan dapat menerapkan pendekatan terpadu.

EAFM bukanlah pendekatan baru yang mempertimbangkan dinamika ekosistem dalam pengelolaan wilayah laut. EAFM melihat sektor perikanan sebagai starting point dan melihat hubungan keterkaitan antar sektor dalam ekosistem. Berbeda dengan Ecosystem Based Fisheries Management (EBFM) yang melihat ekosistem sebagai starting point dan kemudian dikaitkan dengan sektor perikanan. Penggunaan EAFM di indonesia diperlukan karena ekosistem tropis perairan indonesia dicirikan dengan keanekaragaman jenis spesies tinggi yang berasosiasi antar spesies, namun stok relatif tidak banyak. Di sisi lain sumberdaya ikan menjadi sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat baik dalam konteks mata pencaharian maupun sumber protein (ketahanan pangan). Dengan demikian pada realitasnya pengelolaan perikanan merupakan sebuah sistem sosial-ekologis. Sehingga penggunaan EAFM dalam penelitian ini relatif diperlukan dalam penyempurnaan pengelolaan perikanan kerapu di Karimunjawa.

Perumusan Masalah

Ikan Kerapu merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, yang menyebabkan tingkat eksploitasi yang tinggi. Salah satu upaya menjaga produksi perikanan adalah dengan membentuk sebuah kawasan konservasi. Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan kawasan konservasi yang pengelolaannya dibawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pembentukan kawasan tersebut diharapkan dapat secara signifikan menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan termasuk ikan kerapu.

Kawasan Karimunjawa merupakan habitat ikan kerapu, walaupun belum terjadi overfishing namun produksi ikan kerapu berdasarkan data statistik perikanan cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2007 produksi perikanan kerapu sebesar 33.716 kg, namun pada tahun 2011 produksi menurun hingga 11.425 kg, pada tahun 2014 kembali menurun menjadi 3.475 kg. Upaya penangkapan kerapu sejak tahun 2003 hingga 2011 juga cenderung menurun untuk alat tangkap bubu dan pancing, dan meningkat untuk alat tangkap panah.

Catch Per-unit Effort (CPUE)baku meurun dari tahun 2003 hingga 2004, dan meningkat pada tahun 2004 hingga 2005. Setelah tahun 2005, menurun lagi hingga tahun 2011. CPUE paling tinggi adalah sebesar 8,75 kg trip-1 di tahun 2003, dan terendah adalah 2,40 kg trip-1 di tahun 2011 (Yulianto et al. 2015).

Taman Nasional bekerjasama dengan beberapa stakeholder dalam pengelolaan perikanan kerapu. Dengan Rare sejak tahun 2009 hingga 2013 untuk pembatasan ukuran tangkap 3 jenis kerapu dengan kampanye, yaitu Plectropomus


(17)

areolatus, Epinephelus fuscoguttatus, dan Epinephelus polyphekadion. Dengan Taka melakukan monitoring lokasi spawning aggregation (SPAGS) kerapu. Dengan Wildlife Conservation Society (WCS) melakukan monitoring pendaratan ikan dan aspek sosial ekonomi perikanan tangkap, dan mendorong adanya kesepakatan antar nelayan yang mengatur nelayan pengguna alat tangkap panah dengan nelayan alat tangkap pancing, yang difasilitasi oleh Desa. Kesepakatan dan kampanye ini mampu menurunkan angka pengguna alat tangkap panah dan meningkatkan biomasa ikan kerapu di alam.

Menurut Yulianto et al. (2015) biomasa kerapu di alam dari tahun 2009 hingga 2012 mengalami peningkatan, dibuktikan dengan perubahanan ukuran kerapu di Taman Nasional Karimunjawa selama periode tersebut. Dapat diasumsikan bahwa terdapat keberhasilan rekruitmen beberapa spesies kerapu di Kepulauan Karimunjawa selama dua tahun tersebut. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata biomasa kerapu di zona inti dan yang berada di zona perlindungan dan zona wisata. Hal ini disebabkan lemahnya kepatuhan terhadap peraturan perikanan di Taman Nasional. Kondisi ini berkaitan dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat nelayan Karimunjawa yang ikut berperan menjadi faktor penentu keberlanjutan sumberdaya perikanan kerapu di Karimunjawa.

Penetapan kawasan konservasi terkadang menimbulkan konflik kepentingan antara nelayan tradisional, pengusaha wisata dan juga pengelola kawasan. Oleh karena itu, dari realitas kondisi pengelolaan perikanan khususnya di Karimunjawa memerlukan upaya pengelolaan yang memerhatikan keseimbangan dan dinamika antara sistem yang kompleks. Pengelolaan perikanan secara alami dihadapkan pada dinamika sistem sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; sistem pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam konteks kepentingan sosial ekonomi; dimensi kebijakan dan pengelolaan perikanan itu sendiri (Charles 2001). Pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) merupakan pendekatan yang menyeimbangkan tiga sistem tersebut. Sehingga perlu diketahui status pengelolaan dan keberlanjutan pemanfaatan ikan kerapu ini dengan menggunakan pendekatan ekosistem. Status pengelolaan yang ada digunakan sebagai dasar dalam merumuskan strategi pengelolaan perikanan kerapu dengan pendekatan ekosistem.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menganalisis status pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu dengan mengunakan indikator pendekatan ekosistem di Karimunjawa.

b. Menyusun tactical decision (keputusan taktis) dan

c. Merumuskan strategi dan rekomendasi yang tepat bagi pengelolaan perikanan kerapu dengan mengunakan indikator pendekatan ekosistem di Karimunjawa.


(18)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran status pengelolaan perikanan kerapu di Taman Nasional Karimunjawa. Diharapkan dapat bermanfaat untuk masyarakat Karimunjawa pada khususnya, dan juga untuk daerah lainnya di Indonesia, antara lain :

1. Memperkaya metode kajian/penelitian pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu dengan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management

(EAFM) agar dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan kerapu di Taman Nasional Karimunjawa.

2. Sebagai salah satu referensi tentang perkembangan pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu di Karimunjawa. Sehingga dapat digunakan sebagai informasi atau sumbangan pikiran bagi pembangunan khususnya terkait pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu di Karimunjawa

3. Sebagai bahan masukan/rujukan bagi penentu kebijakan dalam menyusun kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu di perairan Taman Nasional Karimunjawa. sehingga tetap lestari.

Kerangka Pendekatan

Input

Proses

Output

Gambar 1 Kerangka Pendekatan

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kerapu di Karimunjawa TNKJ

Potensi Ekobiologi dan Sosial Ekonomi

SDI Kerapu

Pola Pemanfaatan SDI Kerapu

Diagnosis Indikator Pengelolaan SDI Kerapu dengan Pendekatan Ekosistem

SDI Habitat Teknologi

penangkapan Sosial Ekonomi Kelembagaan

Tactical Decision Analysis

Pengelolaan Adaptif Perikanan Kerapu Berkelanjutan


(19)

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah dengan menilai kondisi eksisting pengelolaan dengan indikator EAFM dari potensi ekobiologi dan sosial ekonomi sumberdaya perikanan kerapu serta pola pemanfaatannya. Penilaian yang dihasilkan digunakan untuk menyusun tactical decision. Strategi pengelolaan disusun untuk mempermudah implementasi. Pendekatan ini bersifat adaptif guna mendukung keberlanjutan perikanan kerapu di Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa (Gambar 1).

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada beberapa hal, yaitu:

a. Jenis sumberdaya ikan yang menjadi fokus Utama dari penelitian ini adalah SDI Kerapu yang didaratkan di Pulau Karimunjawa.

b. Lokasi Penelitian adalah di Pulau Karimunjawa, tepatnya di Desa Karimunjawa Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah.

c. Kondisi Perikanan Kerapu di Pulau Karimunjawa diuji atau dinilai dengan manual standar indikator pengelolaan perikanan dengan menggunakan pendekatan ekosistem (EAFM) yang telah dimodifikasi.


(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Kerapu

Subfamili Epinephelinae adalah anggota dari famili Serranidae yangterdiri dari sekitar 159 spesies dari 15 genus, umumnya dikenal sebagai ikan kerapu. Spesies ini mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar, terutama untuk perikanan pesisir/artisanal daerah tropis dan subtropis. Diperkirakan bahwa 90% dari hasil panen dunia makanan laut berasal dari perikanan artisanal, dan kerapu merupakan komponen utama dari sumber daya perikanan artisanal (Hemstra 1993).

Kerapu (Serranidae, Epinephinae) merupakan predator tingkat atas penting dalam ekosistem terumbu karang di seluruh dunia. Kerapu merupakan ikan demersal (bentik atau orientasi kehidupannya di dasar perairan) di daerah tropis dan subtropis, mulai dari perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman moderat; kerapu menempati berbagai habitat pada rentang kedalaman (1-300 m), dan sebagian besar spesies hidup pada landas kontinen atau pulau dalam kedalaman kurang dari 200 m. Beberapa jenis kerapu hidup di padang lamun dan lumpur atau pasir dasar, sebagian besar ditemukan di terumbu karang dan substrat berbatu. Mereka hidup sangat menetap, hidup dekat bagian bawah di lubang, gua-gua, dan celah-celah dan pakan utamanya adalah ikan dan udang. Juvenile dari beberapa spesies yang umum ditemukan di hilir muara. Banyak spesies dapat mencapai ukuran besar (> panjang total I00 cm [TL]) (Sadovy 2013).

Kerapu merupakan ikan yang hidup soliter: dan penelitian dengan tagging menunjukkan bahwa ikan kerapu umumnya menetap pada jenis karang tertentu untuk jangka waktu yang lama (menahun). Spesifisitas habitat dan tingkat pertumbuhan yang relatif lambat membuat kerapu sangat rentan terhadap over-fishing. Selain itu, beberapa jenis kerapu bermigrasi dari jarak beberapa kilometer menuju lokasi pemijahannya. Lokasi pemijahan ini sering dimanfaatkan oleh nelayan setempat yang menangkap sejumlah besar ikan selama periode pemijahan yang singkat yaitu satu atau dua minggu (Afonso et al.2016)

Sebagian besar spesies kerapu merupakan hermaprodit. Spesies Anthiines

dan sebagian kerapu (Suku Epinephelini) adalah hermafrodit protogynous, yaitu pertama kali pemijahan sebagai betina, setelah pemijahan satu kali atau lebih sebagai betina, mereka mengubah jenis kelamin, pemijahan setelahnya sebagai jantan. Sedangkan karakteristik dari sebagian besar spesies di Subfamili

Serranidae adalah hermafroditisme sinkron, dengan kedua jenis kelamin fungsional pada saat yang sama dalam satu individu. Meskipun hermafrodit sinkron dapat membuahi telur mereka sendiri, biasanya mereka bereproduksi secara berpasangan dan mempunyai alternatif pelepasan telur atau sperma untuk dibuahi telurnya oleh ikan kerapu lainnya. Aspek biologi yang paling penting yang berkontribusi terhadap penurunan kerapu adalah biologi reproduksi mereka. Banyak ikan kerapu yang mempunyai umur panjang (1-4 dekade) dan memakan waktu bertahun-tahun (biasanya 5-10) untuk dewasa secara seksual yang kemudian membuat mereka rentan pada aktivitas penangkapan untuk waktu yang relatif lama sebelum memasuki fungsi reproduksi (Sadovy de Mitcheson dan Colin 2012).

Selama musim agregasi, beberapa aktivitas penangkapan sementara menggeser upaya mereka sepenuhnya untuk fokus pada spesies agregasi agar


(21)

mendapatkan keuntungan jangka pendek dari 'jackpot' perikanan kerapu. Lenyapnya sejumlah besar ikan yang aktif bereproduksi dari populasi dapat menurunkan keberlanjutan hasil perikanan. Individu jantan dari kerapu dapat bertelur beberapa kali selama periode perkembangbiakan, sebaliknya individu betina kerapu hanya dapat menelurkan sekali periode dalam satu tahun. Beberapa spesies (misalnya, Epinephelus akaara) dapat bereproduksi secara berpasangan, sebagian besar spesies yang lain (misalnya, E. striatus) bereproduksi pada lokasi agregasi secara masal (Heemstra 1993).

Perikanan Kerapu

Kerapu mempunyai peran yang besar pada aspek ekonomi perikanan komersial dunia, dimana lebih dari 97 000 ton didaratkan pada tahun 1990. Statistik ini belum termasuk jumlah tangkapan yang tertangkap oleh perikanan skala kecil, karena sebagian besar ikan kerapu yang tertangkap merupakan hasil tangkapan perikanan skala kecil yang tidak melaporkan statistik hasil tangkapan (Heemstra 1993).

Kerapu biasanya ditangkap dengan alat tangkap pancing, jaring insang,

trammel net, rawai dasar, panah, bubu, dan trawl. Data yang cukup diperlukan untuk lebih memahami dan mengelola stok ikan kerapu. Program pengumpulan data yang diperlukan untuk memantau sumber daya ikan kerapu tersebut haruslah mempunyai jangka waktu yang panjang, terencana, dan harus distandarisasi hingga seluas mungkin wilayah geografis, karena kemungkinan adanya stok yang sama dari daerah yang luas. Data sosial ekonomi juga perlu dikumpulkan untuk menentukan dampak pengelolaan pada berbagai pengguna sumber daya ikan kerapu (Sadovy 1994).

Mode reproduksi protogynous dari kerapu menjadi salah satu permasalahan dalam pengelolaan perikanan, terutama bagi nelayan dalam menentukan ukuran tangkapan. Kerapu berjenis kelamin jantan (yang berasal dari transformasi seksual jenis betina dewasa) biasanya lebih besar, lebih tua dan lebih sedikit jumlahnya daripada yang berjenis kelamin betina; perikanan komersil, olahraga dan skala kecil sering salah menangkap (ukuran mata pancing dan teknik memancing) terhadap penangkapan kerapu ukuran dewasa yang besar, sehingga dalam populasi tersebut jumlah kerapu jantan memiliki proporsi yang lebih besar. Konsekuensi selektifitas penangkapan dengan mempertimbangkan reproduksi seksual ini mungkin berbeda dari konsekuensi dari nelayan non-selektif dalam spesies gonochoristic pada umumnya, ini merupakan konsekuensi dari pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu (Bannerot et al. 1987).

Mengingat bahwa tekanan penangkapan adalah pendorong utama penurunan populasi spesies kerapu yang paling mengancam, hal tersebut harus diatasi agar penurunan dapat dipulihkan. Multi-stakeholder telah sangat efektif dalam meningkatkan peran pemerintah dan dukungan nelayan untuk pengelolaan. Perlindungan agregasi pemijahan melalui pengelolaan lokasi agregasi, larangan memancing musiman selama musim reproduksi atau kombinasi dari dua opsi pengelolaan tersebut telah menghasilkan hasil yang positif dalam beberapa kasus. Spesies Epinephelus guttatus, di AS Virgin Islands dilindungi di lokasi agregasi selama musim reproduksi yang mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam ukuran ikan, jumlah ikan, tingkat tangkapan dan pemulihan seks ratio dewasa (Nemeth 2005). Perlindungan menahun kerapu Nassau di perairan


(22)

kepulauan Cayman, selama musim reproduksi mejadi alasan pasti untuk keberlanjutan agregasi, dan peningkatan dalam kelimpahan (Whaylen et al. 2007). Batas ukuran dapat membantu melindungi ikan usia produktif dan jantan dalam spesies protogynous, sekaligus memungkinkan lebih banyak juvenil mencapai usia reproduksi. Langkah-langkah lain seperti batas kuota penangkapan, batas jumlah nelayan, pengelolaan regional, melintasi batas-batas nasional mungkin diperlukan untuk mengatasi spesies dengan konektivitas yang luas (Sadovy 2013).

Kegiatan Perikanan Kerapu di Taman Nasional Karimunjawa

Perkembangan permintaan pasar untuk komoditas ikan Kerapu hidup terjadi karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau ikan beku kepada ikan segar dalam keadaan hidup. Hal ini yang mendorong masyarakat Kepulauan Karimunjawa untuk memenuhi permintaan pasar ikan Kerapu baik melalui usaha budidaya maupunusaha penangkapan. Masih banyaknya kendala dalam budidaya menyebabkan tingginya usaha penangkapan ikan Kerapu. Melihat perkembangan permintaan pasar yang tinggi dikhawatirkan akan berdampak terhadap upaya penangkapan ikan karang secara besar-besaran (Mujianto 2014) Komoditi perikanan karang yang paling banyak diekploitasi adalah jenis kerapu (Grouper). Jenis ikan ini memiliki harga relatif mahal dibanding ikan karang lain dan belum ada pembatasan penangkapan. Kerapu adalah ikan dengan beberapa genus dalam subfamili Epinephelinae, famili Serranidae dalam ordo Perciformes. Secara umum habitat ikan kerapu adalah di dasar perairan dan sebagian besar berasosiasi denga terumbu karang di daerah dangkal walaupun beberapa species hidup di daerah estuari, berbatu, berpasir dan berlumpur. Terdapat 39 species ikan kerapu di Indonesia dan di perairan kepulauan Karimunjawa terdapat tujuh species yang paling sering ditemukan pada tempat pendaratan ikan (tahun 2010-2014), yaitu Epinephelus areolatus, E. ongus, Plectropomus areolatus, P. leopardus, P. maculatus, P. oligochantus, dan

Cepalopholis cyanostigma (Tabel 1).

Harga kerapu di Karimunjawa berada di titik terendah selama April 2003. Seperti banyak dari nelayan ikan kerapu di Karimunjawa hanya bergantung pada penangkapan kerapu hidup untuk pendapatan mereka, pengurangan harga ini terasa drastis. Penurunan harga itu bukan satu-satunya hal yang terjadi di awal 2003. Biaya bahan bakar meningkat pada akhir tahun 2002, sehingga biaya operasional keseluruhan meningkat. Banyak sekali nelayan mencoba untuk membatasi pengeluaran mereka dengan memancing lebih dekat dari rumah, tapi stok kerapu di daerah-daerah sudah hampir habis sehingga hasil tangkapan mereka lebih kecil dari sebelumnya, ketika mereka melakukan perjalanan jauh.

Berkurangnya tangkapan dan harga yang lebih rendah membuat penurunan yang signifikan dalam hal pendapatan nelayan dari kerapu di Karimunjawa. Pengepul berusaha mencari kegiatan lain bagi mereka untuk melengkapi pendapatan mereka. Menyediakan alat tangkap panah dengan bantuan kompresor untuk menembak ikan dengan cara yang awalnya dari menggunakan metode memancing muro ami.


(23)

Tabel 1 Spesies Kerapu yang paling banyak tertangkap di Karimunjawa (data pendaratan ikan tahun 2010 sampai 2014)

Spesies Gambar

Plectropomus oligacanthus

Plectropomus areolatus

Plectropomus leopardus

Plectropomus maculatus

Epinephelus ongus

Epinephelus areolatus

Cephalopolis cyanostigma


(24)

Studi Perikanan Kerapu Terdahulu

Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan dalam menilai pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu di Karimunjawa. Pertama adalah Irnawati et al.

(2012) tentang model pengelolaan ikan karang di Taman Nasional Karimunjawa. Dalam studi ini menyebutkan, berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenisnya ikan kerapu di perairan Karimunjawa memiliki tekanan ekologis. Tekanan penangkapan berlebih oleh nelayan ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah hasil tangkapan. Penangkapan ikan kerapu ke perairan Karimunjawa berlangsung cukup intensif, yaitu dilakukan pada waktu siang dan malam hari dengan menggunakan pancing, jaring insang, atau dengan jaring muroami.

Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyanto (2014) yang dilakukan pada tahun 2011 sampai 2013 tentang bioekologi kerapu di Karimunjawa menyebutkan hasil analisis indeks ekologi ikan kerapu menunjukkan bahwa ikan kerapu di Perairan Karimunjawa memiliki keanekaragaman yang rendah sampai sedang. Nilai indeks dominasi jenis ikan Kerapu menunjukkan adanya beberapa stasiun dengan dominansi spesies ikan kerapu tertentu di perairan dengan kedalaman 5-6 meter. Hal ini menunjukkan adanya tekanan ekologis terhadap keberadaan ikan Kerapu di perairan Kepulauan Karimunjawa.

Studi yang telah dilakukan oleh Yulianto et al. (2015) menyebutkan terdapat tiga tipe alat tangkap digunakan oleh nelayan Karimunjawa dalam menangkap kerapu, yaitu pancing, panah, dan bubu, dengan panah sebagai alat tangkap yang paaling efektif yang digunakan untuk menangkap kerapu. Kelimpahan kerapu di Karimunjawa mengalami penurunan dan cenderung tidak berubah secara signifikan, dengan biomasa yang berfluktuasi. Ukuran kerapu di alam mengalami penurunan , sejalan dengan berat ikan tangkapan yang juga mengalami penurunan. CPUE untuk hasil tangkapan kerapu dengan alat tangkap pancing menurun dan bubu yang berfluktuasi. Hanya CPUE alat tangkap panah yang meningkat antara tahun 2004 hingga 2010.

Distribusi ukuran ikan tangkapan dipengaruhi oleh proporsi ukuran target tangkapan yang berbeda pada masing-masing alat tangkap dan dipengaruhi oleh aturan yang berlaku. Aturan baru tersebut mengatur penangkapan ikan kerapu oleh alat tangkap panah yang telah dibuat sejak tahun 2011. Alat tangkap panah sangat berpengaruh pada tekanan penangkapan ukuran kerapu yang lebih kecil karena alat tangkap ini cenderung menangkap pada perairan yang lebih dangkal daripada alat tangkap pancing yang lebih sering digunakan pada perairan yang lebih dalam. Berkurangnya tekanan penangkapan tersebut berpengaruh pada peningkatan kelimpahan kerapu yang berukuran lebih besar pada tahun 2012.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pembentukan kawasan konservasi sendiri dapat direpresentasikan dengan penegakan tiga zona inti di Taman Nasional Karimunjawa, penegakannya tidak cukup hanya dengan perlindungan populasi kerapu di alam, pengaturan alat tangkap dan peran serta masyarakat juga dibutuhkan. Diperlukan partisipasi masyarakat, dan pengaturan alat tangkap juga untuk meningkatkan ketersediaan sumberdaya perikanan. Keberlanjutan stok kerapu di kepulauan Karimunjawa adalah lemah yang mengacu pada rendahnya rekruitmen pada beberapa tahun terakhir ( 2007-2012). Penurunan kelimpahan dan biomasa dipengaruhi oleh lemahnya penjagaan pada zona inti, tingkat kemiskinan, dan lemahnya penegakan aturan pada kawasan pemanfaatan lain.


(25)

Aktivitas Perikanan Pada Zona Pemanfaatan Perikanan Tradisional Taman Nasional Karimunjawa

Aktifitas yang boleh dilakukan di zona pemanfaatan perikanan adalah pemanfaatan perikanan tradisional dan kegiatan budidaya dalam karamba. Aktifitas yang tidak boleh dilakukan di zona pemanfaatan perikanan tangkap adalah semua yang dilarang pada zona inti (1-5) dan introduksi jenis biota serta penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (Muroami, Jaring Ambai, Jaring Pocong, Cantrang dan Sianida). Pembangunan sarana dan prasarana harus dilakukan dengan ijin khusus (Balai Taman Nasional Karimunjawa 2004).

Sistem zonasi yang diterapkan saat ini membagi TNKJ menjadi tujuh zona, dan menempatkan kegiatan perikanan tangkap di zona pemanfaatan perikanan tradisional (PPT). Walaupun luas zona PPT mencapai 93% dari total luasan TNKJ, kondisi perikanan tangkap cenderung stagnan dan bahkan mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir. Penurunan terlihat dari keberadaan Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa (PPP Karimunjawa) yang tidak lagi melakukan kegiatan pelelangan ikan sejak 2006, pabrik es yang tidak lagi beroperasi serta banyaknya perahu nelayan yang hanya bersandar saja di sepanjang dermaga pelabuhan karena bahan bakar minyak yang semakin sulit diperoleh untuk melakukan kegiatan penangkapan.

Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa meskipun luasan zona untuk kegiatan perikanan tangkap sangat luas (93% atau 103.883,86 ha), belum optimal dalam pengelolaannya. Perikanan karang sebagai salah satu kegiatan perikanan tangkap yang sudah berkembang jauh sebelum Karimunjawa ditetapkan sebagai Taman Nasional, saat ini kondisinya masih belum optimal. Meskipun produksi perikanan karang sejak tahun 2005 (68 ton) terus mengalami peningkatan hingga tahun 2008 (284 ton), pada tahun 2009 menurun menjadi 115 ton. Di samping itu, usaha penangkapan ikan karang juga belum diatur dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya penangkapan ikan karang yang dilakukan dengan alat tangkap muroami, yang dibawa oleh nelayan-nelayan dari Kepulauan Seribu ke Karimunjawa sejak tahun 2000-an. Hal tersebut menunjukkan kurangnya pengawasan dan pengelolaan yang belum optimal.

Pengelolaan taman nasional dilakukan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSAHE), dan menempatkan pemerintah sebagai aktor utama dan sentral dalam pengelolaan taman nasional. Meski demikian, UU No. 31 Tahun 2004 Jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan juga mengamanatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengelola kawasan konservasi laut, di antaranya taman nasional laut. Perbedaan peraturan dalam bidang perikanan dan konservasi juga menyebabkan konflik yang belum terpecahkan. Peran pemerintah daerah dalam mengelola kawasan konservasi juga masih sangat kecil sehingga rawan menimbulkan konflik. Selain itu, lemahnya keterlibatan stakeholder dalam kegiatan pengelolaan TNKJ terutama kegiatan perikanan tangkap juga merupakan masalah penting yang harus diselesaikan. Usaha penangkapan ikan karang di TNKJ harus dilakukan sesuai dengan prinsip konservasi karena merupakan wilayah Taman Nasional. Usaha penangkapan ikan karang yang dilakukan harus dapat menjamin keberlanjutan SDI dan habitatnya (Irnawati et al. 2012)


(26)

EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management)

Menurunnya perikanan dan ekosistem yang rusak telah didokumentasikan di seluruh dunia dan dampak ekosistem dari kegiatan penangkapan ikan telah banyak diteliti. FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah: (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi, (4) Pendekatan kehati-hatian (PA) harus diterapkan karena pengetahuan tentang ekosistem tidak lengkap, (5) Pemerintah harus memastikan baik manusia dan ekosistem mendapat kesejahteraan dan keadilan".

Konsep EAFM tidaklah baru dan telah dimasukkan dalam sejumlah perjanjian dan konferensi internasional selama empat dekade terakhir. Secara khusus, Deklarasi Reykjavik (2001) mensyaratkan bahwa saran ilmiah harus didasarkan pada EA dengan 2010, dan pada WSSD disepakati untuk "mengembangkan dan memfasilitasi penggunaan berbagai pendekatan dan sarana, termasuk pendekatan ekosistem, penghapusan praktik destruktif, dan pembentukan kawasan perlindungan laut". EAFM bukanlah pengganti untuk pendekatan perikanan saat ini. Sebaliknya perkembangannya cenderung mengikuti serangkaian modifikasi untuk praktek saat menjadi perpanjangan pemerintahan perikanan hari ini (Sutinen dan Soboil 2001; FAO 2003; García et al. 2003; FAO 2005; Murawski 2007). Untuk memfasilitasi pelaksanaan kode dan instrumen terkait, FAO telah menerbitkan serangkaian pedoman teknis. Kode itu sendiri tidak terbuka untuk revisi tetapi diperbarui. Indikator EAFM meliputi 6 domain yaitu (1) sumberdaya ikan, (2) habitat dan ekosistem, (3) teknik penangkapan ikan, (4) ekonomi, (5) sosial, dan (6) kelembagaan. Lebih lanjut, bahasan mengenai parameter menurut domain yang terdapat didalamnya disajikan pada uraian berikut (Adrianto et al. 2014).


(27)

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan:

1. Desa Karimunjawa Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah merupakan kawasan Taman Nasional Karimunjawa yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan;

2. Tersedianya data pendukung yang dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian(Kartawijaya 2012)

Sebagai pulau terbesar, Desa Karimunjawa yang merupakan pusat pemerintahan, paling padat aktivitas perikanannya, dan jumlah lokasi pendaratan ikan yang terbanyak dibandingkan pulau lain. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, sehingga kemudahan mendapatkan data dapat terakomodasi. Data yang dikumpulkan adalah data pendaratan Ikan Kerapu yang didaratkan di pulau Karimunjawa beserta data aspek pengelolaan yang melengkapinya yang ditangkap dari perairan Taman Nasional Karimunjawa.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan mencakup 6 indikator, antara lain: sumberdaya ikan, teknologi penangkapan, habitat dan ekosistem, sosial, ekonomi dan kelembagaan.


(28)

Tabel 2 Indikator Perdomain, Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Metode Analisis

Tahapan

Penelitian Jenis Data

Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data

Data Primer Data Sekunder

1. Mendata atribut EAFM per domain untuk perikanan kerapu

A. Domain Sumberdaya Ikan (SDI) : Skor likert (berbasis

ordinal 1.2.3) (Boone et al. 2012)

1. Tren CPUE (dalam ± 5 thn terakhir) Data hasil tangkapan harian kg/spesies dan satuan upaya penangkapannya, informasi nelayan

Data hasil tangkapan kg/spesies dan satuan upaya penangkapannya/tahun (tahun 2010-2014)

2. Tren panjang ikan kerapu yang tertangkap (dalam ± 5 thn terakhir) Pengukuran panjang standar/spesies, informasi nelayan Data panjang standar/spesies (tahun 2010-2014)

3. Proporsi juvenil Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa

(ditandai dengan Lm)/alat tangkap dari data panjang ikan

Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (ditandai dengan Lm)/alat tangkap dari data panjang ikan

4. Kelimpahan Jumlah individu per satuan luas dengan metode uvc (underwater visual census)

B. Domain Habitat dan Ekosistem Perairan

1. Status Terumbu Karang Persentase tutupan live hard coral cover

2. Habitat/musim khusus Kerapu Informasi lembaga tekait dan nelayan Luasan, waktu, siklus, distribusi spawning ground, nursery ground,feeding ground, upwelling, nesting beach dari dokumen TNKJ, laporan monitoring SPAG

C. Domain Teknologi Penangkapan Ikan :

1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Observasi penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku dan informasi lembaga tekait dan nelayan

Data penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku pada laporan kejadian pelanggaran milik TNKJ (tahun 2010-2014)

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Sampling ukuran ikan target/ikan dominan dibandingkan dengan ukuran Lm, informasi nelayan

Data ukuran ikan target/ikan dominan dibandingkan dengan ukuran Lm (tahun 2010-2014)

3. Selektivitas Penangkapan Informasi nelayan tentang aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan

D. Domain Ekonomi

1. Proporsi pendapatan kerapu Catatan yang ada di lapangan tentang pendapatan total RTP yang dihasilkan dari penjualan kerapu hasil tangkapan

E. Domain Sosial

1. Partisipasi pemangku kepentingan Informasi lembaga terkait dan nelayan Pencatatan partisipasi yang dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan dari dokumen lembaga

2. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan dari lembaga terkait dan informasi nelayan

Dokumen tentang aturan TEK dan catatan pelanggaran

3. Konflik pemanfaatan kerapu Informasi lembaga terkait dan nelayan

4. Kesesuaian zonasi penangkapan Informasi nelayan Data lokasi penangkapan kerapu (tahun 2010-2014)

5. Persepsi masyarakat mengenai pengelolaan berkelanjutan kerapu Informasi nelayan

F. Domain Kelembagaan

1. Tingkat kepatuhan terhadap prinsip perikanan yang bertanggung jawab Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya

Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas

2. Koordinasi antar stake holder Analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Analisis dokumen antar lembaga

3. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Informasi lembaga terkait tentang adanya pengelola/pengawas, bentuk dan intensitas penindakan, dan aturan pengawasan

Analisis kelengkapan dokumen aturan

4. RPP Informasi tentang ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan

perikanan yang dimaksud

Ada atau tidaknya dokumen RPP

5. Tingkat sinergisitas kebijakan , kelembagaan dalam pengelolaan perikanan

Analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner Analisis dokumen antar lembaga

2. Mengevaluasi indikator EAFM dalam praktek pemanfaatan SDI kerapu

Status level pengelolaan kerapu Data olahan dari hasil skor likert Indeks Komposit;

Diagram Flag Modelling (Adrianto

et al. 2014)

3. Rumusan strategi pengelolaan kerapu dengan pendekatan ekosistem

Keenam domain EAFM Wawancara Studi literatur, rujukan kebijakan, laporan terkait Tactical Decision


(29)

Indikator pengelolaan sumberdaya perikanan kerapu dengan pendekatan ekosistem di Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa

Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari modul Indikator Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem EAFM yang telah ditetapkan (Adrianto et al. 2014). Terdapat beberapa indikator yang tidak digunakan dan indikator yang ditambahkan dengan pertimbangan karakteristik perikanan kerapu khususnya di Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa.

Pada domain sumberdaya ikan (SDI) indikator yang dihilangkan antara lain komposisi spesies hasil tangkapan, range collapse dan indikator spesies

Endangered species, Threatened species and Protected species (ETP). Indikator komposisi spesies dikarenakan dalam penelitian ini telah dipilih tiga alat tangkap yang memang menjadikan kerapu sebagai target penangkapan (pancing, bubu, panah), sehingga indikator ini tidak digunakan. Seperti yang telah diungkapkan dalam Adrianto et al. (2014) bahwa penentuan indikator komposisi spesies ini hanya berlaku untuk alat tangkap pukat udang dan pancing tuna di perikanan skala besar. Indikator range collapse tidak digunakan dalam penelitian. Sebab indikator tersebut adalah untuk mengukur tingkat kesulitan memperoleh tangkapan dengan peningkatan luasan daerah penangkapan (Adrianto et al. 2014), sedangkan lokasi penangkapan kerapu spesifik pada terumbu karang saja yang terbatas pada kedalaman tertentu. Spesies ETP dihilangkan karena tiga alat tangkap yang digunakan sebagai alat tangkap kerapu sudah termasuk alat tangkap yang selektif dan aman dari tertangkapnya spesies ETP. Alat tangkap panah, pancing dan bubu merupakan alat tangkap dengan dampak sangat rendah berdasarkan metode penangkapan dan dampak ekologis spesifik terhadap perikanan (bycatch dan dampak merusak/ilegal alat tangkap) (MCS 2012). Indikator yang ditambahkan adalah indikator kelimpahan ikan di alam, sebab kelimpahan ikan di ekosistem merupakan salah satu prinsip keberlanjutan perikanan tangkap (FAO 1999).

Pada domain habitat dan ekosistem indikator yang dihilangkan antara lain indikator status ekosistem lamun, status ekosistem mangrove, kualitas perairan, dan indikator perubahan iklim terhadap kondisi perairan. Tujuh spesies yang menjadi objek penelitian (Cephalopolis cyanostigma, Plectropomus oligacanthus, Plectropomus areolatus, Plectropomus leopardus, Plectropomus maculatus, Epinephelus ongus dan Epinephelus areolatus) merupakan spesies yang menjadikan terumbu karang sebagai habitatnya, interaksi dengan ekosistem lamun dan mangrove sangat sedikit dan sebagian besar spesies tidak berinteraksi.

Dalam Kuiter dan Tonozuka (2001) spesies Cephalopolis cyanostigma

misalnya hidup pada terumbu karang di daerah pantai dan laguna yang mempunyai terumbu karang dengan pertumbuhan yang tinggi. Spesies

Plectropomus leopardus yang umum ditemukan melimpah pada terumbu karang bagian dalam yang terlindung. Spesies Plectropomus maculatus mempunyai habitat pada terumbu karang di wilayah pesisir dengan kombinasi algae dan terumbu karang pada kedalaman 6-10 meter hingga 40 meter. Spesies

Plectropomus oligacanthus terdapat pada habitat terumbu karang pesisir pada zona buffer hingga tubir dengan pertumbuhan karang yang tinggi. Spesies

Plectropomus areolatus pada terumbu karang pesisir dan laguna yang luas yang menjorok ke arah pantai dan terumbu karang berdinding rendah. Spesies


(30)

dengan invertebrata biasanya lebih dalam dari 10 meter. Spesies Epinephelus ongus berhabitat pada sepanjang dinding terumbu karang bagian dalam dan luar, ketika dewasa biasanya ditemukan pada kedalaman 20 meter ke atas. Interaksi spesies yang menjadi objek penelitian hampir semua berkaitan erat interaksinya dengan ekosistem terumbu karang. Oleh sebab itu ekosistem yang menjadi fokus penelitian adalah ekosistem terumbu karang.

Indikator kualitas perairan dan perubahan iklim tidak digunakan pada penelitian ini, sebab apabila tutupan terumbu karang pada suatu lokasi baik, maka kualitas dan kondisi perairan tersebut telah baik dan sesuai untuk pertumbuhan karang. Seperti yang dipaparkan oleh Guan et al (2015) bahwa kesehatan terumbu karang di daerah tropis tergantung pada beberapa variabel kualitas perairan termasuk suhu, salinitas, nutrisi, keadaan saturasi aragonite dan cahaya. Seperti banyak ekosistem lainnya, tutupan terumbu karang dapat menurun oleh faktor perubahan iklim seperti eutrofikasi, kenaikan permukaan laut, pemanasan global dan pengasaman laut.

Pada domain teknologi penangkapan indikator yang dihilangkan pada domain ini antara lain indikator kapasitas penangkapan dan upaya penangkapan, kesesuaian ukuran kapal dengan dokumen legal, sertifikasi awak kapal, kepemilikan asset. Indikator kapasitas penangkapan dan upaya penangkapan dihilangkan karena objek penelitian ini hanyalah kerapu sedangkan kapasitas perikanan merupakan kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan (Adrianto et al. 2014). Sama halnya dengan indikator kepemilikan aset yang dihitung berdasarkan jumlah aset produktif dari aktivitas perikanan tangkap tidak dapat digunakan karena batasan kajian yang hanya mengkaji sumberdaya perikanan kerapu. Indikator kesesuaian ukuran kapal dengan dokumen legal, sertifikasi awak kapal tidak digunakan. Hal ini dipertimbangkan karena mayoritas masyarakat nelayan di karimunjawa merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal dibawah 5 GT.

Pada domain sosial indikator yang ditambahkan pada domain ini antara lain indikator kesesuaian zonasi penangkapan dengan pertimbangan lokasi penelitian yang merupakan kawasan konservasi yang merupakan perlindungan bagi habitat penting dan indikator persepsi masyarakat terhadap pengelolaan kerapu berkelanjutan dengan pertimbangan banyaknya hasil penelitian yang menyatakan perlunya aspek sosial yang melibatkan masyarakat nelayan secara langsung sebagai pemangku kepentingan, bukan hanya sebagai objek pengelolaan (Taruc 2011).

Pada domain ekonomi menggunakan Indikator proporsi pendapatan dari ikan kerapu dengan total ikan dengan pertimbangan indikator ini spesifik langsung pada objek penelitian, sebab indikator yang telah ada pada modul penelitian sulit diterapkan pada sumberdaya perikanan kerapu, karena nelayan tidak hanya mendapat ikan kerapu sebagai hasil tangkapan. Pada domain kelembagaan indikator yang dihilangkan dalam domain ini adalah indikator kapasitas pemangku kepentingan dan indikator mekanisme pengambilan keputusan yang diganti dengan indikator koordinasi antar stakeholder, sebab pengelolaan perikanan di kawasan konservasi melibatkan multi stakeholder. Hal ini karena setiap stakeholder mempunyai tujuan dan tugas pokok masing-masing, sehingga diharapkan praktek pengelolaan perikanan dapat terkoordinasi (Reed et al. 2009).


(31)

Gambar 3 Alur Penelitian

Dalam pengumpulan data dibagi menjadi dua proses yaitu melalui data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer diperoleh melalui: 1. Survei lapang

Survei lapang dilakukan untuk mendapatkan kondisi eksisting dari aktivitas penangkapan dan pendaratan ikan kerapu di Desa Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa. Data yang diambil adalah tangkapan ikan harian (jenis dan ukuran), alat tangkap dan lokasi tangkapnya.

2. Wawancara

Wawancara terarah secara kualitatif melalui kuesioner kepada lembaga terkait dan responden rumah tangga perikanan. Wawancara pada responden rumah tangga perikanan akan dilakukan secara perorangan. Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini:

Pengumpulan Data Kondisi Eksisting Pengelolaan Kerapu

Menilai Tingkat Pemanfaatan

Scoring berdasarkan pendekatan EAFM

Flag Modelling (Analisa komposit)

Tactical Decision

Nelayan/alat tangkap Kelembagaan

Kondisi Habitat Kondisi SDI

Teknologi Penangkapan

Pengumpul Sosial

Ekonomi Tata Kelola

Perikanan

Ekologi SDI Kerapu

Pemanfaat

Analisis Status Pengelolaan

Strategi dan Rekomendasi Pengelolaan Komoditas SDI Kerapu Konsistensi Skor


(32)

a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun

b. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi berdasarkan kriteria klasifikasi alat tangkap

c. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua informasi yang dibutuhkan

d. Merupakan daerah yang dikelola dalam perencanaan tata ruang wilayah atau zonasi

b. Data Sekunder

Pengambilan data sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian ilmiah, dokumen, laporan pemerintah, kebijakan nasional dan daerah yang mencakup pengelolaan perikanan di Karimunjawa oleh lembaga yang terkait.

Analisis Data Analisis Komposit

Analisis komposit ini bertujuan membuat sistem multikriteria yang terkait dengan pencapaian sebuah pengelolaan perikanan sesuai dengan prinsip EAFM. Dimana pengelolaan perikanan dengan prinsip EAFM sendiri adalah dengan menyatukan dua konsepsi yaitu pedekatan ekosistem dan pengelolaan perikanan yang mencakup berbagai apek yang menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan tersebut. Meskipun terlihat berlawanan, analisis dengan pendekatan multi atribut/kriteria (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit ini (Adrianto et al. 2005), akan merefleksikan keterkaitan antara pengelolaan ekosistem dan pengelolaan perikanan, dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Melakukan skoring (nij) untuk setiap indikator ke-i domain ke-j dengan

menggunakan skor Likert (berbasis ordinal 1.2.3) sesuai dengan keragaan pada unit perikanan dan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing domain (Dj). Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM.

2) Menentukan bobot untuk setiap indikator berdasarkan rangking (brij) untuk

setiap indikator ke-i, domain ke-j.

3) Melakukan penilaian komposit pada masing-masing domain ke-j (Dj) dengan

formula:

C-Dj = nsij x brij x sdi

4) Kembangkan indeks komposit agregat untuk seluruh domain ke-j (Dj) pada

unit perikanan dengan model fungsi sebagai berikut: C-UPR = f (Dj, nsij, brij, sdi) Basis formula untuk analisis komposit agregat adalah:

C-UPR = AVE dj: nsij x brij x sdi; Dimana:

AVE = rata-rata aritmetik dari domain ke-j,

Dj = total perkalian antara nsij (nilai skor indikator ke-i dari domain ke-j)

brij = bobot ranking indikator ke-i domain ke-j


(33)

Nilai sdi dapat diidentifikasi dari berapa jumlah garis linkages yang masuk ke

dalam indikator tersebut. Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang bersangkutan atau dengan rumusan:

Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot.

Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 3 penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat pada Tabel berikut ini:

Tabel 3 Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera

Nilai Skor Nilai Komposit Model Bendera Deskripsi

1.00 – 1.50 33.33-55.55 Buruk/Kurang

1.51 – 2.50 55.56-77.77 Sedang

2.51 – 3.00 77.78-100 Baik

Sumber: Modifikasi Adrianto et al. (2014)

Pendekatan Keputusan Taktis

Pendekatan keputusan taktis merupakan suatu tindakan untuk menentukan langkah taktis yang akan dilakukan untuk mencapai rencana strategi pengelolaan. Pengambilan keputusan taktis adalah memutuskan pada tindakan (taktik) untuk mencapai strategi pengelolaan. Sebuah strategi spesifik akan dilakukan terhadap tekanan dari manusia menggunakan rujukan sebagai sinyal ketika tekanan tidak dapat diterima. Referensi berasal dari pertimbangan atas respon terhadap nilai atribut sebagai referensi alternatif. Dua jenis keputusan manajemen dalam proses perencanaan meliputi: (1) keputusan strategis yang menetapkan referensi yang cocok untuk tekanan dan (2) keputusan taktis yang mengidentifikasi tingkat ukuran pengelolaan sehingga mampu menjaga agar tekanan terhadap referensi relatif tetap dapat diterima. Kelebihan yang diperoleh antara lain dapat mengkuantifikasi respon yang ada, namun apabila terdapat keterbatasan pengetahuan, maka pemahaman kualitatif dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan (Gavaris 2009).

Tujuan Strategi Taktik

(Atribut) (Tekanan dinilai (Hal yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan) dengan reference point)

Gambar 4 Tactical Decision

Langkah-langkah pendekatan keputusan taktis adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan pengelolaan (management objective) yang dapat dilakukan. 2. Menetapkan titik acuan (reference point).

3. Menetapkan strategi yang akan dilakukan.


(34)

Analisis Stakeholders

Analisis stakeholders adalah suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off (Brown et al. 2001). Ada tiga cara untuk melakukan analisis stakeholders yaitu; lokakarya, focus group dan interview. Pendekatan yang penting dalam analisis stakeholders yaitu: 1) mengidentifikasi stakeholders dan kepentingan masing-masing; 2) menilai pengaruh, pentingnya dan tingkat dampak pada masing-masing stakeholders; dan 3) mengidentifikasi cara terbaik untuk melibatkan para pemangku kepentingan.

Pemetaan stakeholder dilakukan pada matriks analisis stakeholder melalui nilai kepentingan dan pengaruh. Nilai yang diperoleh masing-masing stakeholder

adalah 25 poin untuk kepentingan dan 25 poin untuk pengaruh. Skoring dilakukan terhadap kepentingan setiap stakeholder dengan menggunakan 5 (lima) parameter (Tabel 4).

Tabel 4 Penilaian tingkat kepentingan stakeholder

No. Variabel Indikator Skor

1 Keterlibatan Tidak terlibat Terlibat 1 proses Terlibat 2 proses Terlibat 3 proses Terlibat seluruh proses

1 2 3 4 5 2 Manfaat pengelolaan Tidak mendapat manfaat

Mendapat 1 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 3 manfaat Mendapat 4 manfaat

1 2 3 4 5 3 Sumberdaya yang

disediakan

Tidak menyediakan

Menyediakan 1 sumberdaya Menyediakan 2 sumberdaya Menyediakan 3 sumberdaya Menyediakan semua sumberdaya

1 2 3 4 5 4 Prioritas pengelolaan Tidak prioritas

Kurang Cukup Prioritas Sangat prioritas 1 2 3 4 5 5 Ketergantungan terhadap

sumberdaya

≤ 20% bergantung 21-40% bergantung 41-60% bergantung 61-80% bergantung 81-100% bergantung 1 2 3 4 5 Sumber: Modifikasi Indrayanti (2012)


(35)

Skoring dilakukan terhadap pengaruh setiap stakeholder dengan menggunakan 5 (lima) parameter (Tabel 5).

Tabel 5 Penilaian tingkat pengaruh stakeholder.

No. Variabel Indikator Skor

1 Aturan/kebijakan pengelolaan Tidak terlibat Terlibat 1 proses Terlibat 2 proses Terlibat 3 proses Terlibat seluruh proses

1 2 3 4 5 2 Peran dan partisipasi Tidak berkontribusi

Berkontribusi dalam 1 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam seluruh point

1 2 3 4 5 3 Kemampuan dalam berinteraksi Tidak ada interaksi

Berinteraksi dalam 1 point Berinteraksi dalam 2 point Berinteraksi dalam 3 point Berinteraksi dalam seluruh point

1 2 3 4 5 4 Kewenangan dalam pengelolaan Tidak memiliki kewenangan

Kewenangan dalam 1 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam seluruh proses

1 2 3 4 5 5 Kapasitas sumberdaya yang

disediakan

Tidak menyediakan sumberdaya 1 sumberdaya 2 sumberdaya 3 sumberdaya Seluruh sumberdaya 1 2 3 4 5 Sumber: Modifikasi Indrayanti (2012)

Setelah mengetahui besarnya nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder, selanjutnya melakukan pemetaan pada matriks kepentingan pengaruh seperti yang tersaji pada Gambar 4.


(36)

Posisi kuadran pada Gambar 4, menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh tiap-tiap stakeholder yang terkait dengan pengelolaan. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kuadran tersebut:

1. Kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah pada kuadran 1. 2. Kepentingan dan pengaruh yang tinggi pada kuadran 2.

3. Kepentingan dan pengaruh yang rendah pada kuadran 3. 4. Kepentingan rendah tetapipengaruhtinggi pada kuadran 4.

Pengolahan data kualitatif dari hasil wawancara dapat dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data (Tabel 5).

Tabel 6 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi pemetaan stakeholder.

Skor Nilai Kriteria Keterangan

Pengaruh

1 1-5 Sangat rendah Tidak mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

2 6-10 Rendah Kurang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

3 11-15 Cukup Cukup mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

4 16-20 Tinggi Mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

5 21-25 Sangat tinggi Sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya

Kepentingan

1 1-5 Sangat rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya

2 6-10 Rendah Kurang bergantung pada sumberdaya

3 11-15 Cukup Cukup bergantung pada sumberdaya

4 16-20 Tinggi Bergantung pada sumberdaya

5 21-25 Sangat tinggi Sangat bergantung pada sumberdaya


(37)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Desa Karimunjawa merupakan satu pulau yang masuk dalam gugusan kepulauan Karimunjawa terletak di utara Provinsi Jawa Tengah, tepatnya berada pada posisi 5o40’-5o57’ LS dan 110o04’-110o40’ BT. Secara geografis terletak di Laut Jawa, ke arah barat laut dari Jepara. Luas wilayah teritorial Karimunjawa 107.225 ha, sebagian besar berupa perairan (100.105 ha) dengan luas daratan 7.120 ha yang terbagi menjadi 27 pulau besar dan kecil (BTNKJ 2010). Karimunjawa menjadi pusat kecamatan yang berjarak ± 83 km dari Kota Jepara, Jawa Tengah. Memiliki luas sekitar 110.117 ha dengan ketinggian 0 hingga 605 m dari permukaan laut. Letak geografis 5°42’ - 6°00’ LS, 110°07’ - 110°37’ BT (DEPHUT 2002b). Pulau Karimunjawa merupakan pulau terbesar di kawasan kepulauan Karimunjawa dimana banyak terdapat tempat aktivitas pendaratan ikan yang paling banyak dibandingkan dengan pulau yang lain.

Undang-Undang No. 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Pada tahun 1999 Karimunjawa ditetapkan sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/Kpts-II/1999, dengan pengelolaan berdasarkan zonasi. Sistem zonasi yang diterapkan saat ini membagi TNKJ menjadi tujuh zona dan menempatkan kegiatan perikanan tangkap di zona pemanfaatan perikanan tradisional (PPT). Perikanan karang sebagai salah satu kegiatan perikanan tangkap yang sudah berkembang jauh sebelum Karimunjawa ditetapkan sebagai taman nasional (Mujiyanto 2014).

Setelah adanya revisi zonasi berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK 28/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, saat ini terdapat 9 (sembilan) zona dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Zonasi ini merupakah hasil akhir revisi zonasi yang dimulai sejak tahun 2010. Zona-zona yang ada di kawasan Taman Nasional Karimunjawa adalah: zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona religi, budaya dan sejarah, zona rehabilitasi dan zona perikanan tradisional.

Zona tradisional perikanan merupakan zona yang paling luas yaitu 102.899,249 ha, meliputi Seluruh perairan di luar zona yang telah ditetapkan yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Zona inti memiliki luas 444, 629 ha. Zona rimba memiliki luas 1.451,767 ha. Zona perlindungan bahari memiliki luas 2.599,770 ha. Zona pemanfaatan darat memiliki luas 55,933 ha. Zona pemanfaatan wisata bahari memiliki luas 2.733,735 ha. Zona Budidaya Bahari memiliki luas 1.370,729 ha. Zona religi, budaya dan sejarah memiliki luas 0.859 ha. Zona rehabilitasi memiliki luas 68.329 ha.

Karakteristik Sosial Ekonomi Responden

Responden yang menjadi fokus penelitian adalah rumah tangga nelayan dan lembaga yang terkait dengan aktifitas pengelolaan perikanan di Taman


(1)

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA

DATA ISIAN SKOR

DENSIT

AS BOBOT RAN

KING NILAI

NILAI MAXS TERTINGGI

NILAI KONVERSI SKALA SETIAP DOMAIN (Nk-i)

NILAI

1. Partisipasi pemangku kepentingan

Keterlibatan pemangku kepentingan

Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan penetahapan pengelolaan perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pemangku kepentingan

1 = < 50%; 2 18 35 1 1260 1890 66.67 2 2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan

Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

Rerata jumlah data konflik selama 5 tahun terakhir.

1 = Lebih dari 5 kali/tahun;

1 11 15 3 1,36 4.09 33.33 1

2 = 2-5 kali/tahun; 3 = Kurang dari 2

kali/tahun 3. Kesesuaian

zonasi penangkapan

Lokasi penangkapan kerapu yang dilakukan oleh nelayan sudah sesuai zonasi atau tidak

Data kesesuaian zonasi, dan peta partisipatif

1= Penangkapan zona lain>zona pemanfaatan perikanan tradisional

3 16 20 2 960 960 100 3

2= Zona lain >50% dari zona pemanfaatan perikanan tradisional 3= Zona lain< dari zona

pemanfaatan perikanan tradisional 4. Persepsi

masyarakat terhadap pengelolaan kerapu berkelanjutan

Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan SDI Kerapu secara berkelanjutan

Interview 1= Rendah (masyarakat tidak mengetahui sama sekali)

2 17 30 5 1020 1530 66.67 2

2= Paham, namun belum diterapkan dalam pemanfaatan sumberdaya kerapu 3= Paham dan telah

dimanfaatkan dalam pemanfaatan


(2)

Lampiran 25 Matriks EAFM Kerapu Karimunjawa Domain Kelembagaan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

DENSI

TAS BOBOT RAN KING NILAI

NILAI MAXS TERTINGGI NILAI KONVERSI SKALA SETIAP DOMAIN (Nk-i) NILAI 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal

Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap

pelanggaran formal dari pengawas,

2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya

3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya

1= Lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran

hukum;

3 = Kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

2 17 28 1 952 1428 67 2

Non formal 2

1= Lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= Lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= Tidak ada informasi pelanggaran 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan

1. Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2.Membandingkan situasi

sekarang dengan yang sebelumnya 3.Replikasi kearifan lokal

1= Tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain;

2= Tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain;

3= Tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain

2 17 25 2 850 1275 66.67 2

Elaborasi untuk poin 2

1= Ada tapi jumlahnya berkurang; 2= Ada tapi jumlahnya tetap; 3= Ada dan jumlahnya bertambah

3

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1.Ketersediaan alat pengawasan,

orang

2.Bentuk dan intensitas

penindakan (teguran, hukuman)

1= Tidak ada penegakan aturan main; 2= Ada penegakan aturan main namun

tidak efektif;

3= Ada penegakan aturan main dan efektif


(3)

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

DENSI

TAS BOBOT RAN KING NILAI

NILAI MAXS TERTINGGI NILAI KONVERSI SKALA SETIAP DOMAIN (Nk-i) NILAI 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1.Ketersediaan alat pengawasan,

orang

2.Bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)

1= Tidak ada alat dan orang; 2.5 2= Ada alat dan orang tapi tidak ada

tindakan;

3= Ada alat dan orang serta ada tindakan

1= Tidak ada teguran maupun hukuman;

2 2= Ada teguran atau hukuman;

3= Ada teguran dan hukuman 3. Rencana

pengelolaan perikanan

Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud

Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:

1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah

2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat

1= Belum ada RPP; 1 18 20 3 1.11 334 33.3 1 2= Ada RPP namun belum sepenuhnya

dijalankan;

3= Ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 4. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

1= Konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda

kepentingan);

2 17 15 4 510 765 67 2

2= Komunikasi antar lembaga tidak efektif;

3= Sinergi antar lembaga berjalan baik Semakin tinggi tingkat

sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

1= Terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

2 2 = Kebijakan tidak saling

mendukung;

3 = Kebijakan saling mendukung 5. Koordinasi antar

stake holder

Ada atau tidaknya mekanisme Koordinasi dalam pengelolaan perikanan

Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1. Ada atau tidak, berapa kali 2. Materi

1= Tidak ada koordinasi 2 17 12 5 408 612 67 2 2 = Ada namun tidak semua lembaga,

kurang efektif

3 = Ada dan melibatkan lembaga terkait dan efektif


(4)

Lampiran 26 Rencana Perbaikan Pengelolaan Perikanan

Indikator Nilai

Tahun 0

Rencana Perbaikan

Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang Tahun

1

Tahun 2

Tahun 3

Tahun 4

Tahun 5

Tahun 6

Tahun 7

Tahun 8

Tahun 9

Tahun 10

Tahun 11

Tahun 12

Tahun 13

Tahun 14

Tahun 15

Domain Sumberdaya Ikan

1. CpUE Baku 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

2. Tren ukuran ikan 2 2 2 2 2 2.1 2.1 2.2 2.2 2.2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.5 2.5 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 2 2 2 2 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.6 2.7 2.7 2.8 4. Kelimpahan 1 1 1 1 1 1 1.1 1.2 1.2 1.3 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.9

Domain Habitat dan Ekosistem

1. Status ekosistem terumbu karang 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

2. Habitat unik/khusus 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Domain Teknik Penangkapan Ikan

1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 2 2 2 2.1 2.1 2.1 2.2 2.2 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.6 2.7 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan 2 2 2 2 2 2 2.1 2.1 2.2 2.3 2.3 2.4 2.5 2.5 2.6 2.7

3. Selektivitas penangkapan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Domain Sosial

1. Partisipasi pemangku kepentingan 2 2 2 2 2.1 2.1 2.1 2.2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.4 2.4 2.5 2.6

2. Konflik perikanan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

3. Kesesuaian zonasi penangkapan 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan kerapu berkelanjutan 2 2 2 2 2.1 2.1 2.1 2.1 2.2 2.2 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5

Domain Ekonomi

1. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dari hasil penjualan kerapu 1 1 1.1 1.1 1.2 1.2 1.3 1.3 1.4 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 Domain Kelembagaan

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3 3 3 3 3 3 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3 3 3 3 3 3 3. Rencana pengelolaan perikanan 1 1 1 1.1 1.1 1.2 1.2 1.3 1.3 1.4 1.4 1.5 1.5 1.5 1.6 1.7 4. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 2 2 2 2.1 2.2 2.2 2.2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.6 2.6 5. Koordinasi antar stake holder 2 2 2 2.1 2.1 2.1 2.1 2.3 2.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.6 2.6 2.7


(5)

Domain Komposit Tahun 0

Rencana Perbaikan

Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 6 Tahun 7 Tahun 8 Tahun 9 Tahun 10 Tahun 11 Tahun 12 Tahun 13 Tahun 14 Tahun 15

Sumberdaya Ikan 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3

Habitat & ekosistem 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Teknik Penangkapan Ikan 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3

Sosial 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Ekonomi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2

Kelembagaan 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3

Lampiran 28

Karakteristik Pengelolaan Perikanan Komposit Tahun 0

Rencana Perbaikan

Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang Tahun

1

Tahun 2

Tahun 3

Tahun 4

Tahun 5

Tahun 6

Tahun 7

Tahun 8

Tahun 9

Tahun 10

Tahun 11

Tahun 12

Tahun 13

Tahun 14

Tahun 15 Ekologi (Sumberdaya Ikan, Habitat & ekosistem) 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Sosial (Teknik Penangkapan Ikan, Sosial,


(6)

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 9 Agustus 1989

sebagai anak ke dua dari dua bersaudara,dari pasangan Drs

Mabrur MT dan Dra Esti Wihanani. Penulis pernah menempuh

pendidikan S1 pada program studi Manajemen Sumberdaya

Perairan di Universitas Diponegoro, Semarang dan lulus pada

tahun 2012. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa program studi

Pengelolaan Pesisir dan Lautan (SPL) Institut Pertanian Bogor.

Penulis mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana

Dalam Negeri (BPPDN). Kegiatan penulis di luar akademik yang diikuti adalah

sebagai anggota dari Bogor Science Club (BSC) Pascasarjana IPB.