Hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa.

(1)

ABSTRACT

FEVRINA LENY TAMPUBOLON Relationship between Jepara fisher and Karimunjawa fisher in use fisheries resources in Karimunjawa National Park. Supervised byARIF SATRIA

The objectives of this research are: (1) to find, identify, and analyze fisheries resource management by National Park Karimunjawa and Local Government Jepara; (2) to identify, and analyze social bridging social capital between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara; (3) to find, identify, and analyze the relationship between social capital and perception of conflict between fishers in Karimunjawa and fishers in Jepara. Bridging social capital consists of three aspects, the network outside the community, the participation and membership in groups outside the community, and the level of trust to the outside community. The research shows that there is a relationship between bridging social capital and perception of conflict. The low bridging social capital between fishers in Karimunjawa dan Jepara cause high perception of conflict among the fisher.


(2)

RINGKASAN

FEVRINA LENY TAMPUBOLON. Hubungan antara Nelayan Jepara dengan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa. Di bawah bimbinganARIF SATRIA

Konflik seringkali terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antarkomunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda (bridging social capital). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya jaringan antar komunitas yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa, modal sosial menyambung (bridging social capital) antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa dan hubungan modal sosial menyambung terhadap persepsi konflik antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa.

Pendekatan yang digunakan adalah kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah metode survai (deskriptif) dengan instrumen kuesioner. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk


(3)

mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara.

Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Desa Karimunjawa dan di Desa Ujungbatu. Sampel penelitiannya adalah individu Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi. Sementara pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling dan diperoleh informan kunci sebanyak enam orang di Karimunjawa dan tiga orang di Ujungbatu, Jepara.

Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat.

Modal sosial menyambung di Karimunjawa dan Jepara dapat digolongkan rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan antara Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa berbeda. Nelayan Jepara memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap Nelayan Karimunjawa, sedangkan Nelayan Karimunjawa memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap Nelayan Jepara. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain.


(4)

Modal sosial menyambung memiliki pengaruh terhadap hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara. Modal sosial menyambung Nelayan Karimunjawa dan Jepara yang rendah mengakibatkan hubungan antara kedua nelayan cenderung konflik. Berdasarkan hasil penelitian modal sosial menyambung berupa jaringan kerja, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas memiliki pengaruh yang berbanding terbalik dengan hubungan Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Modal sosial menyambung berupa tingkat kepercayaan tidak selalu berpengaruh pada hubungan antar Nelayan Karimunjawa dengan Jepara. Hubungan antar komunitas nelayan hanya dapat tercipta dengan baik apabila kedua belah pihak memiliki tingkat kepercayaan yang sama.


(5)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Data pokok kelautan dan perikanan 20101 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak. Berdasarkan data indikator fisik Indonesia, luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km2. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km dengan luas wilayah laut mendominasi total luas teritorial Indonesia. Berdasarkan data dari DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) 2007, Indonesia juga dikaruniai sekitar 3.000 jenis ikan di perairan laut dan tawar. Indonesia berada di wilayah pusat segitiga terumbu karang dunia sehingga memiliki berbagai jenis terumbu karang yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumberdaya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati.

Luas lautan Indonesia yang mendominasi, menempatkan sumberdaya kelautan menjadi salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama dalam bidang perikanan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat terutama di daerah pesisir. Oleh karena itu, kelestariannya harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini pemanfaatan sumberdaya perikanan kurang memerhatikan kelestariannya. Sumberdaya hayati perikanan dan kelautan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang sangat parah. Berdasarkan riset Coremap LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) akhir Tahun 20082, hampir sepertiga kondisi terumbu karang di Indonesia berkategori rusak. Kerusakan juga terjadi di sektor perikanan dimana sumberdaya ikan telah terdegradasi yang menyebabkan menurunnya stok ikan.

1

Pusat data statistik dan informasi kementrian kelautan dan perikanan 2011. Data pokok kelautan dan perikanan 2010. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/20/data-pokok-2011. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2012, pukul 13.00 WIB.

2Riset Coremap LIPI dan LAPAN akhir tahun 2008.


(6)

Hal ini disebabkan karena sebagian besar WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) Indonesia telah dieksploitasi secara berlebihan (DKP 2007). Degradasi sumberdaya ikan disebabkan oleh pengelolaan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak kelestarian sumberdaya ikan. Apabila kondisi ini terus terjadi dapat dipastikan potensi sumberdaya perikanan akan semakin menurun.

Penurunan sumberdaya perikanan ternyata tidak diikuti dengan penurunan pemanfaatan sumberdaya perikanan seperti yang disebutkan dalam Kep 18/Men/20113. Pada tahun 2006-2007 jumlah nelayan naik terus, yaitu 2,06%, sedangkan ikan makin langka. Penurunan potensi sumberdaya perikanan dan peningkatan jumlah nelayan dapat dipastikan akan meningkatkan persaingan di kalangan nelayan. Tidak menutup kemungkinan persaingan yang semakin ketat akan meningkatkan potensi konflik antar nelayan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam bukan hanya masyarakat tetapi pemerintah bahkan swasta juga memiliki kepentingan.

Konservasi menjadi suatu desain pengelolaan yang komprehensif dalam rangka mengatasi dergradasi sumber daya kelautan di Indonesia. Taman Nasional Laut adalah bentuk konservasi4. Taman Nasional Karimunjawa adalah salah satu bentuk konservasi di Indonesia. Konservasi pada dasarnya adalah tindakan melindungi agar tercipta keberlangsungan atau keberlanjutan dari suatu sumberdaya. Penetapan zonasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan salah satu tindakan konservasi yang dilakukan oleh Taman Nasional. Penetapan zonasi dilakukan sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990.

Perubahan dari Orde Baru kemudian menjadi Orde Reformasi menghasilkan dua produk hukum baru, yaitu UU No.22 Tahun 1999 dan Keppres tentang Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan. UU No.22/1999 mengatur beberapa ketetapan dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Pertama, menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana 12 mil kawasan laut dari garis pantai di bawah kekuasaan pemerintah propinsi dan 4 mil di bawah kekuasaan pemerintah kabupaten/ kota. Kedua, menetapkan

3Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan. 4Tertulis di Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990


(7)

kebijakan pengelolaan berupa kebijakan investasi, perpajakan, pengawasan berbasis masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Satria dkk 2002). Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditetapkan pembagian wilayah tersebut tidak berlaku bagi nelayan kecil

Penetapan sistem zonasi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan menghadapi banyak kendala. Hal ini juga dialami oleh Taman Nasional Karimunjawa dalam mengelola sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Produk hukum dan peraturan yang tidak sinergis merupakan salah satu kendalanya. Pemerintah daerah mengunakan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 sesuai dengan peraturan otonomi daerah. Taman Nasional Karimunjawa menggunakan UU No.5 Tahun 1990 untuk mengelola sumberdaya perikanan sesuai dengan landasan hukum konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa menimbulkan kaburnya batas-batas wilayah pemanfaatan oleh nelayan karena masing-masing pihak menetapkan batas wilayah pemanfaatan perikanan. Kaburnya batas-batas pengelolaan akhirnya menimbulkan perebutan wilayah tangkap dan konflik dalam pemanfaatan kawasan perikanan.

Konflik tidak selalu terjadi karena permasalahan tersebut, seringkali konflik terjadi hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar komunitas nelayan dengan wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda sehingga aturan main seringkali dilanggar atau terjadi salah tafsir. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital (Grafton 2005; Satria 2009a). Dalam mengelola sumberdaya perikanan diperlukan adanya modal sosial menyambung (bridging social capital) yang baik sehingga tercipta komunikasi yang baik antar nelayan. Komunikasi yang baik antar nelayan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial antar nelayan apabila disertai dengan kinerja yang baik oleh pemerintah dalam membuat produk hukum yang sinergis. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka kajian mengenai hubungan antar Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Karimunjawa menjadi menarik untuk diteliti.


(8)

1.2. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa masalah diteliti, yaitu:

1. Bagaimana pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa?

2. Bagaimana modal sosial menyambung Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa?

3. Bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dilaksanakannya penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa.

2. Menganalisis modal sosial menyambung antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa.

3. Menganalisis hubungan antara modal sosial menyambung dengan persepsi konflik antara Nelayan Jepara dan Karimunjawa dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Sekitar Taman Nasional Karimunjawa.

1.4. Kegunaan Penelitian

Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah dan akademisi. Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:


(9)

1. Kegunaan Penelitian bagi Pemerintah, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk pemerintah khususnya dalam membentuk kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang sinergis sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan konflik dapat diperkecil.

2. Kegunaan Penelitian bagi Akademisi, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan hazanah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pengaruh kinerja pemerintah dan modal sosial berupa jaringan kerjasama antar nelayan terhadap kesejahteraan sosial nelayan dan membuka realitas pikiran bagi mahasiswa dalam menanggapi permasalahan ini.


(10)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Nelayan

Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut. UU No 45 Tahun 2009 yang merupakan revisi UU No. 31 Tahun 2004 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan (2000) diacu dalam Satria (2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/ tanaman air. Selanjutnya, Ditjen Perikanan (2002) dalam Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan, yaitu:

1. Nelayan ikan penuh yaitu orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air

2. Nelayan ikan sambilan yaitu orang yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air dan memiliki pekerjaan lain.

3. Nelayan ikan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air

Berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan, yaitu:

1. Peasant fisher yang biasanya hanya berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan sendiri. Umumnya, mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional duyung maupun sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.


(11)

2. Post-Peasant fisher yaitu nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja.

3. Commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh sampai manajer.

4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah:

a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju;

b. Secara relatif lebih padat modal;

c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan

d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.

2.1.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Sebagai sumberdaya yang bersifat kolektif, laut ada yang memiliki dan mengelola sekecil apa pun tingkat pengelolaannya. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan nelayan biasanya memiliki seperangkat hak sebagaimana diklasifikasikan OstromdanSchlager (1990)dalamSatria (2009b), yaitu:

1. Hak akses yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.

2. Hak pemanfaatan yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya atau berproduksi.

3. Hak pengelolaan yaitu hak untuk menentukan aturan operasional pemanfaatan sumberdaya.

4. Hak ekslusi yaitu hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain.


(12)

5. Hak pengalihan yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas.

Hak-hak pengelolaan status kepemilikan sumberdaya terhadap pesisir (Tabel 2) akan mengacu pada wilayah penangkapan, teknik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan.

Tabel 1. Status Kepemilikan Sumberdaya Alam

Tipe Hak Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Akses X X X X X

Pemanfaatan X X X X

Pengelolaan X X X

Eksklusi X X

Pengalihan X

Sumber: OstromdanSchlager (1996)dalamSatria (2009b)

Merujuk pada konsep Berkes dan Scott (1989) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat. Pertama, dimensi normatif yang berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan sumberdaya pesisir. Disinilah tujuan pengelolaan dirumuskan. Kedua,adalah dimensi regulatif yang berisi tata pengelolaan sumberdaya pesisir. Ketiga,dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal. Untuk kasus perikanan, Ruddle (1999) dalam Satria (2009b) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan perikanan sebagai berikut:

1. Batas Wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.

2. Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.

3. Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan OstormdanSchlager.

4. Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun


(13)

informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi.

5. Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan). 6. Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi

oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.

Sumberdaya laut dan perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang berbentuk akses terbuka. Akan tetapi pada aplikasinya jarang ada sumberdaya yang sepenuhnya akses terbuka karena selalu ada pengaruh baik dari pemerintah maupun peraturan lokal yang ditetapkan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia didominasi oleh pemerintah. Pemerintah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh dengan menetapkan berbagai aturan-aturan seperti UU (Undang-Undang), PP (Peraturan-aturan Pemerintah), SK.Menteri (Surat Keputusan Menteri) dan Perda (Peraturan Daerah).

Salah satu aturan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal pengelolaan laut yaitu UU No.22 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur batas wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan daerah kabupaten/kota yaitu sejauh sepertiga dari wilyah laut daerah Provinsi atau 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas atau perairan kepulauan. Selanjutnya, Undang-Undang No. 32 Tahun 20045 Pasal 18 ayat 4,5, dan 6 menjelaskan lebih lanjut mengenai pengelolaan sumberdaya laut, yaitu:

1. Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

5

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

http://www.smecda.com/Files/infosmecda/uu_permen/UU_32_2004.pdf . Diunduh pada tanggal 18 Maret 2012 pukul 15.00 WIB.


(14)

2. Apabila wilayah laut diantara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumberdaya pesisir di wilayah laut dibagi ke dalam jarak yang sama atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.

3. Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan diatas tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

Batasan wilayah yang sudah ditetapkan, pihak kabupaten/kota mendapatkan kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Eksploitasi atas sumberdaya alam dapat dilakukan dengan melakukan penangkapan ikan oleh nelayan. Dalam melakukan penangkapan ikan nelayan pada umumnya menggunakan alat tangkap. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2010, Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) menurut jenisnya, yaitu:

1. Surrounding nets(Jaring lingkar); 2. Seine nets(Pukat tarik);

3. Trawls(Pukat hela); 4. Dredges(Penggaruk); 5. Lift nets(Jaring angkat);

6. Falling gears(Alat yang dijatuhkan); 7. Gillnets and entangling nets(Jaring insang); 8. Traps(Perangkap);

9. Hooks and lines(Pancing); dan

10. Grappling and wounding(Alat penjepit dan melukai).

2.1.3. Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait

Identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait merupakan upaya memotret para pelaku dan perannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di daerah (Satria dkk 2002). Dengan adanya


(15)

identifikasi ini, kita bisa menemukan titik-titik kepentingan antara pemangku kepentingan sehingga dapat memudahkan dalam mengatasi masalah konflik yang selama ini sering terjadi.

Identifikasi dilakukan dengan membuat tabel jenis kegiatan yang ada di wilayah laut daerah, jenis pelaku, masalah dan isu pokok, dan lembaga terkait. Selanjutnya, terhadap lembaga atau organisasi sosial juga perlu dilakukan pemetaan dan fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Tabel 2 menyajikan bagaimana melakukan identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga terkait.

Tabel 2. Langkah-langkah Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Lembaga Terkait

Jenis pelaku Jenis Kegiatan di Daerah

Masalah dan Isu Pokok

Lembaga Terkait Nelayan Penangkapan ikan

dengan mini trawl

Konflik dengan nelayan tradisional

Kerusakan ekologis

Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) HNSI/ organisasi nelayan

Nelayan Penangkapan ikan dengan bagan

Penataan lokasi bagan DKP

HSNI/ organisasi nelayan

Pembudidaya ikan

Budidaya laut Penataan lokasi DKP

HSNI/ organisasi nelayan

Pengusaha pelayaran

Pelayaran Jalur-jalur pelayaran Dep.hub

Pengusaha wisata

Penyelaman dan wisata bahari

Penataan daerah wisata Dinas Pariwisata

Pengusaha pasir Penambangan pasir Kerusakan ekologis Kerugian nelayan Dinas Pertambangan Sumber: Satriadkk 2002

2.1.4. Modal sosial

Modal sosial merupakan seperangkat nilai, norma, organisasi, kepemimpinan dan jaringan sosial yang berpusat pada kepercayaan dan digunakan untuk mengelola modal fisik, modal uang, sumberdaya manusia, dan sumberdaya alam (Woolcock 1998; Sulaeman dkk 2010). Coleman (1990) dalam Vipriyanti (2007) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik barang publik namun setara dengan modal finansial, modal


(16)

fisik dan modal manusia. Sedangkan Putnam (1993) dalam Lawang (2004) mendefinisikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lawang (2004) merumuskan konsep inti dari modal sosial, yaitu:

1. Kepercayaan yaitu keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita.

2. Norma adalah nilai-nilai yang bertujuan membangun kegiatan bersama dan menguntungkan bagi semua pihak dapat dilihat dari kemudahan menitipkan anak kepada tetangga, memberikan bantuan fisik, uang dan perilaku pemboncengan.

3. Jaringan kerja yaitu ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya.

Pretty dan Ward (2001)dalamVipriyanti (2007) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek utama yang dapat membangun modal sosial yaitu (1) Hubungan dari rasa percaya; (2) Resiprositas dan pertukaran; (3) Aturan umum, norma, dan sanksi; (4) Koneksi kerjasama dan kelompok.

Modal sosial menurut Uphoff (2000) dalam Yulidar (2003) adalah suatu akumulasi dari beragam jenis aset sosial, psikologis, budaya, kognitif, institusional dan sejenisnya yang meningkatkan jumlah (atau kemungkinan) perilaku kerjasama bagi kepentingan bersama. Uphoff memisahkan modal sosial menjadi dua kategori yang saling terkait yaitu kategori struktural dan kategori kognitif (Tabel 3).


(17)

Tabel 3. Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial

Struktural Kognitif

Sumber dan manifestasi

• Peran dan aturan

• Network dan hubungan interpersonal lainnya

• Tata cara dan keteladanan

• Norma

• Nilai

• Sikap

• Kepercayaan

Domain Organisasi sosial Kebudayaan

Masyarakat Faktor dinamis • Keterkaitan horisontal

• Keterkaitan vertikal

• Rasa percaya

• Solidaritas

• Kerjasama

• Kedermawanan Elemen utama Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama

yang menghasilkan manfaat bersama Sumber: Uphoff (2000) dalamVipriyanti (2007)

Woolcock (2000) dalamVipriyanti (2007) membedakan modal sosial atas tiga tipe yaitu : modal sosial yang mengait (bonding social capital),modal sosial menyambung (bridging social capital) dan modal sosial mengait (linking social capital). Tipologi modal sosial dilihat dari bagaimana pola-pola interaksi yang terjadi dalam masyarakat.

1. Bonding Social Capital(Modal Sosial Mengikat)

Modal sosial terikat cenderung bersifat ekslusif. Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, yaitu baik kelompok maupun anggota kelompok, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, lebih berorientasi kedalam dibandingkan berorientasi ke luar. Ragam masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya memiliki persamaan. Misalnya, seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama. Apa yang menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun-temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku dan perilaku moral dari suku atau entitas sosial tersebut. Mereka cenderung konservatif dan lebih mengutamakan kebersamaan atau solidaritas daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma masyarakat yang lebih terbuka (Hanafri 2009). Modal sosial yang bersifat mengikat berinteraksi secara intensif, langsung (face to face), dan saling


(18)

mendukung, contohnya ikatan kekeluargaan, bertetangga atau bersahabat (Vipriyanti, 2007).

2. Bridging Social Capital(Modal Sosial Menyambung)

Bentuk modal sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Menurut Woolcock (2000) dalam Vipriyanti (2007), modal sosial menyambung adalah keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekwensi yang relatif lebih rendah seperti kelompok agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang persamaan dan kemanusiaan, terbuka dan mandiri. Pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan humanitarian. Bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, grup, kelompok atau suatu masyarakat tertentu. Dengan sikap yang melihat ke luar memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan asosiasi atau kelompok di luar kelompoknya (Hanafri 2009). Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada modal sosial menyambung biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Modal sosial menyambung akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan jaringan (networking) yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan resiprositas (pertukaran antar individu dan kelompok yang timbal-balik) yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal.


(19)

3. Linking Social Capital(Modal Sosial Mengait)

Modal sosial yang berhubungan menunjuk pada sifat dan luas hubungan vertikal diantara kelompok orang yang mempunyai saluran terbuka untuk akses sumberdaya dan kekuasaan dengan siapa saja. Hubungan antara pemerintah dan komunitas termasuk di dalam modal sosial mengait. Sektor umum (seperti negara dan institusinya) adalah pusat untuk kegunaan dan kesejahteraan masyarakat (Hanafri 2009). Colletta dan Cullen (2000) dalam Yulidar (2003) menguraikan hubungan bidang sosial vertikal dan horizontal dengan kohesi sosial yang disajikan dalam Gambar 1.

Sumber: Colleta dan Cullen , 2000dalamYulidar , 2003

Gambar 1. Kohesi Sosial sebagai Integrasi antara Modal Sosial Keterikatan Vertikal dengan Modal Sosial Keterikatan Horisontal

Kuat atau lemahnya ikatan suatu kelompok dikenal dengan kohesi sosial yang merupakan variabel kunci yang berada diantara konflik dan modal sosial. Jika kohesi dalam suatu kelompok rendah (ditandai oleh adanya eksklusi, aturan yang otoriter, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang tertutup dan Kohesi sosial tinggi, konflik rendah:

• Akses dan kesamaan atas peluang

• Ketercakupan

• Masyarakat terbuka

Negara dan pasar

Modal sosial vertikal Modal sosial horizontal

bridging bonding

Kohesi sosial rendah, konflik tinggi:

• Ketidakadilan dan ketidaksamaan

• Keterpisahan

• Masyarakat tertutup


(20)

terjadinya ketidakadilan) maka konflik akan berlangsung secara keras atau ekstrim. Sebaliknya, jika kohesi di dalam suatu kelompok tinggi (ditandai oleh adanya inklusi, aluran yang demokrasi, birokrasi yang tidak efisien, masyarakat yang terbuka dan keadilan mengakses peluang) maka konflik berlangsung dalam tingkat yang lebih rendah. Konsep modal sosial merupakan konsep yang relevan baik di tingkat mikro, meso dan makro. Pada tingkat makro, modal sosial mencakup institusi seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga, dan masyarakat.

Modal sosial pada tingkat makro mencakup institusi seperti pemerintah. Woolcock dan Narayan (2000) dalam Vipriyanti (2007) menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara modal sosial dengan kinerja pemerintah. Gambar 2 menyajikan bagaimana modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan.

Sumber: Woolcock dan Narayan, 2000dalamVipriyanti, 2007

Gambar 2. Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah

Kinerja pemerintah yang baik dan modal sosial yang kuat akan menciptakan kesejahteraan baik ekonomi maupun sosial. Sebaliknya,apabila kinerja pemerintah buruk dan modal sosial lemah maka akan berpeluang untuk terjadinnya konflik laten. Apabila kinerja pemerintah buruk maka konflik akan

Well Fuctioning State

Exclution (Latent Conflict)

Social And

Economic Wellbeing Low Level

of Bridging Social Capital

High Level of Bridging Social Capital

Conflict Coping


(21)

muncul ke permukaan. Kuatnya modal sosial namun tidak disertai dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinyacoping.Kelompok–kelompok yang memiliki modal sosial kuat akan mengambil alih fungsi-fungsi formal pemerintahan.

2.1.5. Hubungan Antar Nelayan

Secara sosiologis, kajian konflik merupakan bagian dari kajian proses sosial. Proses sosial sendiri adalah cara-cara berhubungan yang dapat diamati jika perorangan atau kelompok manusia saling bertemu. Menurut Gillin dan Gillin dalam Murdiyatmoko (2007) proses sosial ada dua bentuk yaitu proses sosial yang bersifat asosiatif dan proses sosial yang bersifat disosiatif. Proses sosial yang asosiatif, yaitu:

1. Kerjasama yang merupakan suatu usaha bersama antara orang atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, bargaining yang merupakan pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi. Kedua, co-optation yang merupakan proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi. Ketiga, coalition yang merupakan kombinasi antara dua organisasi yang berbeda tetapi memiliki tujuan-tujuan yang sama. Untuk sementara waktu akan terjadi stabilitas dalam struktur sosial akan tetapi karena ingin mencapai tujuan bersama maka dapat terjadi kerjasama.

2. Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk merujuk pada suatu keadaan dan pada suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti suatu keadaan seimbang dalam interaksi antar orang dan kelompok sehubungan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk meredakan suatu pertentangan untuk mencapai kestabilan.

3. Asimilasi adalah sutu proses mengembangkan sikap-sikap yang sama. Asimilasi bertujuan untuk mencapai kesatuan atau integrasi dalam


(22)

organisasi sehingga dua kelompok yang berasimilasi dapat menghilangkan perbedaan diantara mereka.

4. Akulturasi adalah suatu proses sosial dimana suatu kelompok mendapatkan suatu unsur kebudayaan yang baru sebagai akibat dari pergaulan yang intensif dan lama dengan kelompok yang lain tanpa harus membentuk kebudayaan baru.

Proses sosial yang asosiatif bersifat mendekatkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Berbeda dengan proses sosial dissosiatif yang bersifat menjauhkan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Proses sosial disosiatif terdiri dari:

1. Persaingan yaitu suatu proses sosial ketika seseorang mencari keuntungan dari segala aspek kehidupan. Sepanjang proses persaingan masing-masing pihak berusaha untuk menarik perhatian publik untuk menguasai opini publik tanpa melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat ancaman atau pun kekerasan

2. Kontravensi yaitu bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan konflik. Jika persaingan yang terjadi diikuti dengan gejala-gejala ketidakpastian, keraguan tentang sikap seseorang dan sikap tersembunyi atas gagasan dan budaya yang dimilikinya. Sikap tersembunyi dapat berkembang menjadi rasa benci dan curiga tetapi tidak menunjukkan indikasi pertentangan atau pun pertikaian di kedua belah pihak.

3. Konflik yaitu suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena dikuasai amarah yang berlebihan. Situasi konflik ditandai dengan tindakan menentang pihak lain yang diikuti dengan ancaman dan tindakan kekerasan ( Soekanto 2002). Lebih ekstrim lagi, tindakan ini dilakukan dengan perasaan ingin melukai dan menghancurkan pihak lawan sehingga tidak jarang terjadi perkelahian atau bentrokan antara kedua belah pihak.

Konflik pada dasarnya terjadi bila dalam satu peristiwa terdapat dua atau lebih pendapat atau tindakan yang dipertimbangkan, konflik tidak harus berarti perseteruan meski situasi ini dapat menjadi bagian dari situasi konflik. Fisherdkk


(23)

(2001), menjelaskan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena adanya ketidakseimbangan antara hubungan hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah diskriminasi.

Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan (dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap nilai dalam masyarakat. Bentuk-bentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara lain:

1. Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masingmasing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya.

2. Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang dilatarbelakangi oleh penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan.

3. Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda.

4. Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam masyarakat.

Konflik nelayan adalah masalah yang perlu dicermati oleh karena itu berdasarkan berbagai kajian empiris yang telah dilakukan Satria (2006) dalam Satria (2009a) mengidentifikasikan konflik menjadi 7 tipologi, yaitu:

1. Konflik kelas, yaitu konflik antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan.


(24)

2. Konflik kepemilikan, yaitu konflik yang sering terjadi akibat dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat terdefinisi secara jelas milik siapa.

3. Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik yang terjadi akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” serta adanya isu-isu siapa yang berhak mengelola sumberdaya perikanan atau laut.

4. Konflik cara produksi/alat tangkap, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak.

5. Konflik lingkungan, yaitu konflik akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain.

6. Konflik usaha, yaitu konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan.

7. Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Akan tetapi konflik konflik primordial tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama

Kinseng (2007) membagi konflik sumberdaya yang terjadi di kalangan umum nelayan mencakup dua kategori utama. Pertama, konflik yang terjadi diantara sesama nelayan itu sendiri atau konflik internal. Kedua, konflik antara nelayan dengan pihak-pihak non-nelayan atau konflik eksternal.

Konflik yang sering terjadi pada masyarakat nelayan sering tidak dapat diselesaikan. Kegagalan dalam menyelesaikan konflik terjadi karena kurang memahami asal-usul masalah sehingga langkah penyelesaian yang dilakukan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, Fishers dkk (2000) dalam Satria (2002) menjabarkan beberapa penyebab konflik, yaitu:


(25)

1. Teori Hubungan Masyarakat

Konflik terjadi disebabkan oleh kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masing-masing kelompok. Arogansi kelompok tersebut menimbulkan polarisasi yang berkepanjangan. Bahkan tidak jarang diikuti pula dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat.

2. Teori Negosiasi Prinsip

Konflik terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak yang tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu.

3. Teori Kebutuhan Manusia

Konflik terjadi ketika kebutuhan mendasar setiap manusia dihambat atau dibatasi seseorang atau suatu kelompok. Hambatan yang dirasakan akan menimbulkan perlawanan dari kelompok yang terdeskriminasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

4. Teori Identitas

Upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam sejarah akibat penderitaan masa lalu. Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain.

5. Teori Kesalahpahaman Antarbudaya

Konflik terjadi karena kurangnya pengetahuan akan budaya lain. Selain itu, konflik semacam ini juga muncul karena streotipe negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka.

6. Teori Transformasi Konflik

Konflik terjadi karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai akibat masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur


(26)

sosial suatu masyarakat sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus.

Berbagai bentuk kemungkinan intervensi dapat dilakukan apabila sifat-sifat konflik yang memiliki potensi dan tantangan sendiri dapat digambarkan. Fisherdkk(2001)dalamSembiringdkk(2010) mengajukan sifat konflik, yaitu:

1. Tanpa konflik, yaitu kesan umumnya baik. Dalam kehidupan bersifat dinamis, memanfaatkan konflik perilaku tujuan serta mengelola konflik secara kreatif.

2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

3. Konflik terbuka, berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran dimana dapat diatasi dengan komunikasi.

Untuk menganalisis berbagai kasus konflik, Fisher dkk (2000) dalam Shaliza (2004) menawarkan penggunaan beberapa alat bantu yang dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Diantaranya sebagai berikut:

1. Urutan kejadian yang dipergunakan untuk menenunjukkan sejarah suatu konflik berdasarkan waktu kejadiannya (tahun, bulan, hari sesuai skalanya) yang ditampilkan secara berurutan.

2. Penahapan konflik yang dipergunakan untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pasa masing-masing tahap konflik. Analisis tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik.

Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk mengidentikasi masalah atau isu-isu yang dihadapu oleh masing-masing pihak, alat ini juga berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan di antara pihak-pihak tersebut.


(27)

2.2. Kerangka penelitian

Indonesia merupakan negara kepulauan dan hampir dua per tiga luas wilayahnya merupakan perairan yang memiliki potensi besar di bidang perikanan. Luas lautan Indonesia seluas 3,56 juta km2 dengan hak pengelolaan dan pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2. Disamping itu, Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km merupakan suatu khasanah tersendiri yang sangat potensial untuk dikembangkan mulai dari usaha pertambakan hingga industri pariwisata.

Sumberdaya perikanan dan kelautan Indonesia yang kaya menjadi daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk memanfaatkannya. Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat akses terbuka dimana setiap pihak dapat memanfaatkannya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak ada sumberdaya yang sepenuhnya bersifat akses terbuka karena adanya sistem pemerintahan dan masyarakat yang memiliki aturan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia bersifat desentralistik dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki. Pengelolaan sumberdaya perikanan dilandasi oleh Undang-Undang, Keputusan Menteri, dan peraturan-peraturan pemerintah.

Sumberdaya perikanan yang potensial di Indonesia menempatkan perikanan sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat di Indonesia. Berkembangnya pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah nelayan di Indonesia. Kondisi tersebut dapat meningkatkan persaingan antar nelayan dalam memperebutkan wilayah tangkap. Persaingan yang semakin ketat dapat menghasilkan konflik. Konflik seringkali hanya disebabkan oleh karena kurangnya komunikasi. Kejadian ini menggambarkan menipisnya jaringan antar komunitas nelayan yang memiliki wilayah geografis dan identitas etnik yang berbeda atau yang disebut juga bridging social capital. Tingkat bridging social capital dapat di lihat dari partisipasi dan keanggotaan kelompok di luar komunitas, jaringan kerja di luar komunitas, tingkat kepercayaan.


(28)

Kerangka Pemikiran

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Keterangan: Mempengaruhi :

Aspek yang diteliti :

Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Karimunjawa

TingkatBridging Social Capital

Hubungan antara nelayan Persepsi Konflik

Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Pemerintah Daerah

Pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh Nelayan Jepara

Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa

UU No.32 Tahun 2004 UU No 5 Tahun 1990

Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas • Pengurus organisasi

keagamaan

• Pengurus organisasi partai politik

• Pengurus organisasi nelayan • Kehadiran rapat pengurus/

anggota

(kelompok/perkumpulan)

Jaringan Kerja di Luar Komunitas • Merasa bagian komunitas

nelayan

• Merasa sebagai tim saat bekerja • Memiliki teman atas jaringan

kerja

• Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan

Tingkat Kepercayaan • Terbuka dengan nelayan

dari luar komunitas • Saling memberikan

pinjaman

• Saling memberikan bantuan

• Merasa aman hidup dengan komunitas lain


(29)

2.3. Hipotesis Penelitian

Mengacu pada tujuan penelitian, kerangka pendekatan studi penelitian, serta beberapa literatur maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara modal sosial menyambung (bridging social capital) Nelayan Jepara dan Karimunjawa dengan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa.

2.4. Definisi konseptual

1. Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah bagaimana pihak-pihak yang berwenang mengelola sumberdaya perikanan dimana didalamnya terdapat unsur-unsur berupa:

a. Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.

b. Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan yang dirumuskan OstormandSchlager.

c. Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi. d. Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga

berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi formal (melalui mekanisme pengadilan formal), dan sanksi fisik ( pemukulan).

e. Pemantauan dan Evaluasi: terdapat mekanisme pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.


(30)

2. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah cara yang dilakukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan.

3. Hubungan antar nelayan adalah sebuah ikatan yang terbentuk dari komunikasi antar nelayan. Ikatan tersebut dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. Ikatan yang bersifat asosiatif terdiri dari kerjasama, asimilasi, akulturisme dan akomodasi. Sedangkan ikatan yang bersifat disosiatif terdiri dari persaingan, kontravensi dan konflik.

2.5. Definisi Operasional

1. Tingkat modal sosial menyambung adalah tingkat keterhubungan yang terbentuk dari interaksi antar kelompok yang memiliki perbedaan agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu (Woolcock 2000; Vipriyanti 2007). Tingkat modal sosial menyambung dapat di ukur dengan menggunakan indikator:

a. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas

b. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang

c. Tingkat kepercayaan

2. Partisipasi dan Keanggotaan Kelompok di Luar Komunitas adalah keikutsertaan kelompok nelayan dalam suatu komunitas di luar kelompoknya dapat diukur dengan menggunakan indikator:

a. Menjadi pengurus/anggota organisasi keagamaan (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1, “tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).

b. Menjadi pengurus/anggota organisasi partai politik (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1, “tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).


(31)

c. Menjadi pengurus/anggota organisasi nelayan (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).

d. Kehadiran rapat pengurus/ anggota (kelompok/perkumpulan) (jika “tidak sama sekali”diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya” diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).

3. Jaringan kerja di luar komunitas adalah ikatan ikatan formal dan informal yang dimiliki seseorang dapat dilihat dari jumlah keanggotaan dalam organisasi serta jumlah teman yang berkeluh kesah kepadanya, dapat diukur dengan menggunakan indikator:

a. Merasa bagian komunitas nelayan (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”

diberikan skor 4).

b. Merasa sebagai tim saat bekerja melaut (jika“tidak sama sekali” diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3, “pasti”diberikan skor 4).

c. Memiliki teman atas jaringan kerja sebagai nelayan (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).

d. Teman di luar daerah yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai nelayan (jika“tidak sama sekali”diberikan skor 1,“tidak”diberikan skor 2,“ya”diberikan skor 3,“pasti”diberikan skor 4).

4. Tingkat kepercayaan adalah keyakinan bahwa orang lain tidak akan berlaku maupun berniat buruk pada diri kita dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a. Sikap terbuka dengan nelayan dari luar komunitas (jika“sangat tidak setuju”diberikan skor 1,”tidak setuju”diberikan skor 2,“setuju” diberikan skor 3,“sangat setuju”diberikan skor 4).


(32)

b. Saling memberikan pinjaman (jika“sangat tidak setuju”diberikan skor 1,“tidak setuju”diberikan skor 2, “setuju”diberikan skor 3, “sangat setuju”diberikan skor 4).

c. Saling memberikan bantuan (jika“sangat tidak setuju”diberikan skor 1,“tidak setuju”diberikan skor 2,“setuju”diberikan skor 3,“sangat setuju”diberikan skor 4).

d. Merasa aman hidup dengan komunitas lain (jika“sangat tidak setuju” diberikan skor 1,“tidak setuju”diberikan skor 2,”setuju”diberikan skor 3,“sangat setuju”diberikan skor 4).

5. Persepsi Konflik adalah pandangan mengenai suatu kondisi dimana terdapat ketegangan dalam hubungan antar seseorang atau kelompok karena dikuasai amarah yang berlebihan, dapat diukur dengan menggunakan indikator:

a. Ancaman terhadap nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”).

b. Penyitaan atau perusakan alat tangkap nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”).

c. Pembakaran atau pengrusakan kapal nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”).

d. Pemukulan atau tindakan fisik kepada nelayan luar komunitas (jika “tidak pernah” diberikan skor 1, “pernah” diberikan skor 2, “sering” diberikan skor “3”, “sangat sering” diberikan skor “4”).


(33)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuntitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dengan menggunakan survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui bagaimana tingkat modal sosial menyambung dan persepsi konflik antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Hasil survai yang didapat kemudian menjadi dasar untuk menganalisis bagaimana hubungan antara modal sosial menyambung terhadap hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa akibat pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara. Metode kualitatif digunakan untuk mempertajam data dari metode kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan oleh Taman Nasional Nasional Karimunjawa dan Pemerintah Daerah Jepara, pemanfaatan sumberdaya perikanan di Taman Nasional Karimunjawa oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory research, yaitu untuk menguji hubungan antarvariabel yang dihipotesiskan. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus 1998).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan kondisi Laut di Taman Nasional Karimunjawa dikelola oleh pemerintah daerah dan Taman Nasional Karimunjawa. Nelayan Karimunjawa diatur oleh sistem pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa sementara Nelayan Jepara diatur oleh


(34)

pengelolaan dari Pemerintah daerah. Sementara, pemanfaatan perikanan di Taman Nasional Karimunjawa tidak hanya dilakukan oleh Nelayan Karimunjawa tetapi juga nelayan dari Jepara. Pertemuan antara dua nelayan dapat menimbulkan konflik apabila tidak terdapatbridging social capitalyang baik.

Desa Karimunjawa dan Kabupaten Jepara dipilih sebagai tempat penelitian karena diharapkan dapat memberikan manfaat dan solusi dari permasalahan yang diteliti oleh penulis terhadap masyarakat Desa Karimunjawa. Pengumpulan data sekunder, dan data primer akan dilakukan selama satu bulan, dimulai pada bulan April–bulan Mei 2012 (Tabel 4). Dalam kurun waktu satu bulan tersebut peneliti mengumpulkan semua data dan informasi yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi.

Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012

No

Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I Studi Lapang Pengumpul an data Analisis data Konsultasi data

II Penulisan laporan Analisis

lanjutan Penyusuna n draft revisi Konsultasi laporan III Ujian Skripsi

Ujian Perbaikan dan

pengganda an skripsi


(35)

3.3. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Data tersebut didapatkan langsung dari responden dan informan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam, serta hasil pengamatan langsung. Data primer berupa data bagaimana tingkatbridging social capital nelayan dan pengelolaan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah.

Pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Karimunjawa, Kantor Kabupaten Jepara, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara. Jumlah nelayan di Desa Karimunjawa adalah sebanyak 1750 orang dan nelayan di Desa Ujungbatu sebanyak 387 orang. Unit dari penelitian ini adalah individu yaitu nelayan Desa Karimunjawa dan nelayan Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di sekitar Taman Nasional Karimunjawa. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan teknik aksidental stratifikasi yang didasarkan pada kemudahan untuk ditemui Sampel yang terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah 2005). Nelayan memiliki waktu kerja yang tidak dapat diperkirakan oleh karena itu apabila menggunakan kerangka sampling akan sulit mendapatkan data dari sampel yang sudah ditentukan. Nelayan Karimunjawa dan Jepara memiliki status dan alat tangkap yang cukup beragam. Sampel diambil dari berbagai status nelayan untuk mewakili kondisi populasi yang diteliti. Banyaknya sampel yang diambil di masing-masing daerah adalah 30 responden berdasarkan ketentuan batas minimal responden penelitian kuantitatif dalam Singarimbun dan Effendi (1989).


(36)

Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai hubungan antar Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informan ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh.

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis bridging social capital antar nelayan akibat pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional dan Pemerintah Daerah Jepara. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi dkk. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam kartu atau berkas (file) data. Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabel silang. Ketiga, mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang.

Data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square untuk data nominal dan ordinal, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara tingkat bridging social capital terhadap hubungan antar nelayan nelayan. Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data.


(37)

Pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan bagaimana modal sosial menyambung antara Nelayan Karimunjawa dan Jepara. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini.


(38)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis

Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5040’39”-5055’00” LS dan 110005’57”-110031’15” BT. Karimunjawa ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut Karimunjawa sesuai SK Menhut No.123/Kpts-II/1986. Tingginya kepentingan berbagai sektor mendorong perubahan fungsi Karimunjawa dari Cagar Alam menjadi TNKJ. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/Kpts-II/1999, Cagar Alam Karimunjawa dan sekitarnya yang terletak di Kabupaten Dati II Jepara Provinsi Dati I Jawa Tengah ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama TNKJ. Kawasan TNKJ terdiri dari pulau-pulau kecil dan perairan. Berikut ditampilkan gambar peta wilayah TNKJ.

Gambar 4. Peta TNKJ

TNKJ memiliki luas kawasan wilayah sebesar 111.625 ha yang dibagi menjadi tiga kawasan wilayah. Kawasan wilayah TNKJ didominasi oleh perairan. Pembagian kawasan wilayah TNKJ disajikan dalam Tabel 5.


(39)

Tabel 5. Pembagian Kawasan Wilayah Taman Nasional dan Luas Masing-Masing Wilayah Tahun 2012.

Kawasan Luas (hektar)

Wilayah daratan di Pulau Karimunjawa yang berupa ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah

1.285,50

Wilayah daratan di Pulau Kemujan berupa ekosistem hutan mangrove

222,20

Wilayah perairan

Dalam perkembangannya kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (KPA)

berdasarkan Surat Keputusan Menhut No.74/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001

110.117,30

Total Luas Kawasan 111.625,00

Sumber data: Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa, 2011

Hampir sembilan puluh sembilan persen kawasan Karimunjawa adalah perairan. Perairan Karimunjawa memiliki potensi berupa keindahan alam dan sumberdaya perikanan. Luas daratan hanya sekitar satu persen dari total kawasan TNKJ. Daratan Karimunjawa sebagian besar merupakan hutan magrove dan tanah merah yang kurang subur. Pulau Karimunjawa dan Kemujan adalah pulau yang memiliki kawasan daratan paling luas dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Karimunjawa. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat.

4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat merupakan objek sekaligus subjek pembangunan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Secara administratif, kawasan Taman Nasional Karimunjawa berada dalam wilayah kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Terdapat empat desa yang berada di sekitar kawasan yaitu Desa Karimunjawa, Kemujan, Parang, dan Nyamuk. Berdasarkan data sensus penduduk di Kecamatan Karimunjawa tahun 2011, di Sekitar kawasan Taman Nasional Karimunjawa terdapat 8.733 jiwa penduduk.


(40)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Karimunjawa Tahun 2011

Sumber: BPS Tahun, 2010 dalam Zonasi Taman Nasional Karimunjawa, 2012

Masyarakat Karimunjawa menjadikan tiga pulau besar di Karimunjawa sebagai tempat tinggal. Pulau Karimunjawa dan Kemujan menjadi pulau yang paling banyak dihuni oleh masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh karena di Pulau Karimunjawa dan Kamujan memiliki luas daratan yang paling luas dibandingkan dengan pulau Parang yang memungkinkan masyarakat untuk menghuni pulau tersebut. Desa Karimunjawa adalah pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Pulau Karimunjawa. Kondisi ini yang mendukung Desa Karimunjawa menjadi desa yang paling banyak dihuni oleh penduduk Karimunjawa.

Mata pencaharian masyarakat Karimunjawa sangat beragam. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai Nelayan dan pembudidaya ikan. Pekerjaan yang menduduki posisi kedua sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa adalah sebagai petani. Profesi sebagai pegawai negeri dan buruh tani menduduki posisi ketiga dan keempat sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Karimunjawa. Sumber mata pencaharian yang paling sedikit dilakukan oleh masyarakat Karimunjawa adalah Dokter. Berikut adalah tabel yang menyajikan mata pencaharian masyarakat Karimunjawa.

Desa Sensus 2011

L P L+P

Karimunjawa 2222 2200 4422

Kemunjan 1374 1356 2736

Parang 804 777 1581


(41)

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008.

Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase

Petani 564 19.32%

Buruh tani 97 3.32%

Buruh/Swasta 83 2.84%

Pegawai negeri 332 11.37%

Pengrajin 30 1.03%

Pedagang 30 1.03%

Peternak 27 0.92%

Nelayan 1.750 59.93%

Montir 5 0.17%

Dokter 2 0.07%

Total 2920 100.00%

Sumber: Data potensi desa diolah, 2008

Wilayah Karimunjawa yang terdiri dari perairan dan daratan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Wilayah perairan dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Wilayah Daratan Karimunjawa dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Jumlah pegawai negeri yang tinggi di Karimunjawa disebabkan karena Karimunjawa merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Di Desa Karimunjawa terdapat kantor kecamatan sekaligus kantor desa. Penduduk Karimunjawa sangat beragam, terdiri dari berbagai etnis (suku). Karimunjawa tidak memiliki suku asli. Suku-suku di Karimunjawa berasal dari berbagai suku yang datang ke Pulau Karimunjawa untuk menangkap ikan yang kemudian menetap di Karimunjawa. Keberagaman suku ini tercermin dari masih banyaknya rumah-rumah penduduk yang masih tradisional sesuai dengan tempat asal. Di dalamnya terdapat penduduk dari suku Jawa, Bugis, Makassar, dan Madura. Masyarakat Jawa banyak tinggal di Dukuh Karimunjawajawa, Dukuh Legon Lele, Dukuh Nyamplungan dan Dukuh Marican.


(42)

4.1.3. Pendidikan

Tingkat pendidikan di Karimunjawa dapat dikatakan masih rendah. Penduduk Karimunjawa sebagian besar merupakan lulusan SD/ sederajat. Berdasarkan Tabel 8 ditunjukkan tingkat pendidikan masyarakat Karimunjawa.

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Masyarakat Karimunjawa berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Karimunjawa, Kabupaten Jepara Tahun 2008.

Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase

Belum sekolah 40 1.58%

Pernah sekolah di SD tetapi tidak tamat 826 32.67%

Tamat SD/ sederajat 1.213 47.98%

SLTP/ sederajat 206 8.15%

SLTA/sederajat 206 8.15%

D-1 1 0.04%

D-2 11 0.44%

D-3 25 0.99%

Total 2528 100.00%

Sumber : Data potensi desa diolah, 2008

Hampir setengah dari masyarakat Desa Karimunjawa merupakan lulusan SD. Hanya sedikit yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Berdasarkan data yang disajikan dalam tabel belum ada masyarakat Desa Karimunjawa yang menjadi sarjana. Tingkat pendidikan di Karimunjawa yang rendah disebabkan oleh karena masih minimnya fasilitas pendidikan di Karimunjawa. Di Desa Karimunjawa belum terdapat perguruan tinggi. Lulusan SMA di Karimunjawa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi harus pergi ke Jepara atau Semarang. Mahalnya biaya pendidikan menjadi kendala untuk masyarakat dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mayoritas masyarakat Karimunjawa bekerja sebagai nelayan sehingga tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya. Setiap anak-anak di Karimunjawa sudah terbiasa ikut menangkap ikan dengan orang tuanya sehingga tidak dibutuhkan sekolah lebih tinggi untuk menjadi nelayan.


(43)

4.2. Desa Ujungbatu 4.2.1. Kondisi Geografis

Desa Ujungbatu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Jepara. Desa Ujungbatu memiliki tipografi berupa persisir atau tepi laut dengan ketinggian wilayah kurang dari lima ratus meter. Desa Ujungbatu memililiki luas sebesar 71.523 Ha dengan batas wilayah sebelah utara yaitu Desa Mulyoharjo, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Jobokuto, sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pengkol.

Gambar 5. Peta Kabupaten Jepara

4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk di Desa Ujungbatu berdasarkan data Jepara dalam angka adalah 4386 orang. Jumlah antara perempuan dan laki-laki tidak begitu timpang. Pada usia dewasa jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki dan sebaliknya pada usia anak-anak jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan.


(44)

Tabel 9. Jumlah Masyarakat Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010

Sumber: Data Kecamatan Jepara dalam Angka diolah, 2011

Desa Ujungbatu dikenal sebagai kampung nelayan. Hal ini disebabkan karena mata pencaharian pokok masyarakat Desa Ujungbatu adalah nelayan. Tabel 10 menyajikan data mata pencaharian pokok masyarakat di Desa Ujungbatu.

Tabel 10. Jumlah dan Persentase berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2011. Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase

Karyawan 197 23.18%

Wiraswasta 145 17.06%

Nelayan 387 45.53%

Tani -

-Pertukangan 69 8.12%

Buruh tani -

-Pensiunan 29 3.41%

Pemulung 6 0.71%

Jasa 17 2.00%

Total 850 100.00%

Sumber : Data Kelurahan Ujungbatu diolah, 2011

Hampir setengah penduduk Desa Ujungbatu yang bekerja sebagai nelayan. Kondisi geografis Desa Ujungbatu yang berbatasan dengan Laut Jawa menjadi salah satu faktor pendukung banyaknya masyarakat Desa Ujungbatu berprofesi sebagai nelayan. Mata pencaharian di Desa Ujungbatu tidak begitu beragam. Selain menjadi nelayan, masyarakat di Desa Ujungbatu bekerja sebagai karyawan, wiraswasta, bertukang, dan pemulung. Wilayah daratan di Desa

Desa Dewasa Anak-anak

L P L+P L P L+P


(45)

Ujungbatu tidak memiliki potensi untuk pertanian karena tanahnya berupa debu dan pasir. Selain itu, tidak ada lahan yang dapat digunakan untuk pertanian karena telah digunakan untuk pemukiman.

4.2.3. Pendidikan

Pendidikan masyarakat di Desa Ujungbatu lebih maju dibandingkan dengan masyarakat di Desa Karimunjawa. Di Desa Ujungbatu sudah terdapat masyarakat yang memiiki gelar Sarjana. Hal ini dapat dilihat di Tabel 11 Penduduk Desa Ujungbatu rata-rata sudah memperoleh pendidikan di sekolah dasar.

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Masyarakat Ujungbatu berdasarkan Tingkat pendidikan Masyarakat di Desa Ujungbatu, Kecamatan Jepara Tahun 2010.

Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase

Belum sekolah 306 12.10%

Pernah sekolah di SD tetapi tidak tamat

695 27.49%

Tamat SD/ sederajat 1.336 52.85%

SLTP/ sederajat 816 32.28%

SLTA/sederajat 704 27.85%

Perguruan tinggi 62 2.45%

Akademi 34 1.34%

Total 2528 100.00%

Sumber : Kecamatan Jepara dalam angka diolah, 2011

Masyarakat Desa Ujungbatu juga sudah sadar akan pentingnya pendidikan terbukti dengan cukup banyaknya penduduk yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ujungbatu menuntut tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Pekerjaan seperti karyawan memerlukan tingkat pendidikan minimal SMP atau SMA. Fasilitas pendidikan berupa perguruan tinggi swasta atau akademi swasta yang tersedia di Jepara. Jarak antara Jepara dengan Semarang yang dekat sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.


(46)

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Karimunjawa berbeda dengan pengelolaan perikanan yang dilakukan di Jepara. Pengelolaan perikanan yang dilakukan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa aktor yaitu, Balai Taman Nasional dengan menetapkan sistem zonasi, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan menetapkan peraturan jalur tangkap, Pemerintah Kabupaten Jepara sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur dan kearifan lokal yang merupakan hasil kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah desa dengan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa bersifat kolaboratif karena masyarakat juga memiliki hak mengelola. Masyarakat turut serta dalam menetapkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Nelayan Jepara hanya memiliki hak pemanfaatan yaitu menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya perikanan di Jepara. Peraturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Jepara bersifat terpusat. Dinas kelautan dan perikanan yang menetapkan sistem pengelolaan perikanan melalui jalur-jalur penangkapan. Penetapan pembagian wilayah yang dilakukan oleh berbagai aktor dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan belum berjalan secara efisien. Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap peraturan tersebut dan penegakan hukum (law enforcement) lemah.

Modal sosial menyambung (bridging social capital) dapat diukur dengan menggunakan variabel jaringan kerja di luar komunitas, tingkat partisipasi dan keanggotaan dalam organisasi di luar komunitas, dan tingkat kepercayaan. Modal sosial menyambung di Karimunjawa dapat digolongkan rendah karena ketiga variabel modal sosial menyambung di Karimunjawa rendah. Modal sosial menyambung di Jepara dapat digolongkan rendah karena dari ketiga variabel modal sosial menyambung dua diantaranya tergolong rendah. Jaringan kerja, tingkat partisipasi


(47)

dan keanggotaan dalam organisasi Nelayan Jepara dengan Nelayan Karimunjawa rendah. Tetapi, tingkat kepercayaan Nelayan Jepara terhadap Nelayan Karimunjawa tinggi. Hal ini disebabkan karena Nelayan Jepara tidak merasa terancam atau terganggu dengan keberadaan Nelayan Karimunjawa. Nelayan Jepara dalam melakukan operasi penangkapan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja Nelayan Jepara berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan dan daerah. Nelayan Jepara sudah terbiasa dengan adanya perbedaan sehingga menjadi lebih tebuka dan mudah menerima orang lain.

Hubungan yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara cenderung konflik. Hal ini dapat dibuktikan dengan Persepsi Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara yang tinggi terhadap persepsi konflik. Rendahnya modal sosial menyambung yang dimiliki oleh Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara mengakibatkan hubungan antara Nelayan Karimunjawa dan Nelayan Jepara cenderung konflik. Tingkat kepercayaan Nelayan Jepara yang tinggi tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi konflik. Konflik hanya dapat dihindari apabila terdapat kepercayaan dari dua belah pihak, baik Nelayan Karimunjawa maupun Nelayan Jepara. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial menyambung memiliki hubungan dengan konflik.

9.2. Saran

Konflik yang tercipta antara Nelayan Karimunjawa dengan Nelayan Jepara tidak hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar nelayan tetapi juga disebabkan oleh adanya sistem yang belum dapat mengatur dengan baik pemanfaatan sumberdaya perikanan di TNKJ. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya ada aturan-aturan yang jelas mengenai pemanfaatan sumberdaya perikanan mulai dari batas wilayah tangkap, jenis ikan yang dapat ditangkap, alat tangkap, dan sanksi.


(48)

2. Perlu diadakan sosialisasi aturan yang sudah ditetapkan kepada setiap pihak yang terkait sehingga setiap pihak dapat mengetahui status dan peranan serta hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.

3. Perlu dilakukan penegakan aturan (law enforcement) dengan menempatkan pengawas-pengawas yang berfungsi untuk mengawasi setiap pihak-pihak yang memanfaatkan sumberdaya perikanan agar peraturan yang ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan fungsinya.


(49)

BAB V

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KARIMUNJAWA DAN JEPARA

5.1. Pengelolaan Perikanan di Karimunjawa

Sumber daya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat diakses secara terbuka. Potensi sumberdaya perikanan yang tinggi terutama di Karimunjawa mendorong banyak pihak ingin memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa. Pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan sumberdaya perikanan di Karimunjawa yaitu, Nelayan Karimunjawa, Nelayan luar Karimunjawa, Pemerintah Kabupaten Jepara, Pemerintah Desa Karimunjawa, dan Departemen Perikanan dan Kelautan. Dibutuhkan suatu sistem yang mengelola sumberdaya perikanan agar pemanfaatannya dapat dirasakan secara merata. Pengelolaan sumberdaya perikanan di Karimunjawa dilakukan oleh beberapa pihak yaitu Balai Taman Nasional Karimunjawa, Pemerintah Desa yang bekerjasama dengan Nelayan Karimunjawa, Pemerintah Provinsi, dan Departemen Perikanan dan Kelautan.

5.1.1. Pengelolaan Perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa

Pengelolaan perikanan oleh Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dilakukan dengan membuat sistem zonasi. Sistem zonasi mengatur batas-batas wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Taman Nasional Karimunjawa dikelola berdasarkan sistem zonasi yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No.SK.79/IV/Set-3/2005 mengenai zonasi atau mintakat di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Di dalam kawasan ini terdapat 7 zona yaitu zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, pemukiman, rehabilitasi, budidaya dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional maka dilakukan revisi terhadap zonasi yang telah ditetapkan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi No.SK.28/IV-SET/2012.

Pembagian zonasi berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Tahun 2012 menetapkan terdiri dari delapan zona yaitu zona inti,


(50)

perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata bahari, budidaya bahari, religi dan sejarah, rehabilitasi dan perikanan Tradisional. Setiap zonasi memiliki deskripsi, tujuan dan aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.

1. Zona Inti

Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia dan mutlak dilindungi yang berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Fungsi dan peruntukan zona inti adalah sebagai pengawetan perwakilan tipe ekosistem perairan laut yang khas/ alami/unik dan biota laut lainnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan dan merupakan bank plasma nutfah dari biota laut, untuk kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada zona inti meliputi:

a. Perlindungan dan pengamanan.

b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya.

c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan atau penunjang budidaya.

d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.

Kegiatan-kegiatan yang dilarang adalah kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti seperti:

a. Mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

b. Sengaja maupun tidak sengaja melakukan penangkapan atau pengambilan sumberdaya laut seperti karang, ikan karang, molusca, penyu dan biota laut baik hidup, mati atau bagian-bagiannya.

c. Sengaja atau tidak sengaja menggali, mengganggu atau memindahkan setiap bagian atau komponen ekosistem perairan laut.

d. Melakukan kegiatan wisata bahari. e. Melakukan penambangan pasir.


(1)

(2)

98

Lampiran 1. Dokumentasi penelitian

1. Diskusi Kelompok Terarah dengan nelayan di Desa Karimunjawa


(3)

(4)

100


(5)

(6)

102