Urbanisasi Di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin

URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL
KELUARGA PENDATANG MISKIN

A. NURUL MUTMAINNAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Urbanisasi di Balikpapan:
Formasi Sosial Keluarga Pendatang Miskin adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015


A. Nurul Mutmainnah
NIM I353120041

RINGKASAN
A. NURUL MUTMAINNAH. Urbanisasi di Balikpapan: Formasi Sosial Keluarga
Pendatang Miskin. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING dan EKAWATI SRI
WAHYUNI.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji urbanisasi dan formasi sosial
keluarga pendatang miskin. Dalam hubungan ini, urbanisasi di Balikpapan ditandai
dengan perkembangan penduduk yang tinggal di perkotaan relatif cepat. Pada
periode 2000-2010 perkembangan penduduk di wilayah tersebut mencapai 3.24 %.
Tingkat pertumbuhan migrasi dalam beberapa tahun lebih tinggi dibanding tingkat
pertumbuhan alami. Sementara itu, masih ditemukan keluarga miskin di Balikpapan
dengan persentase sebesar 2.23 % dan jumlah kemiskinan yang menonjol pada
wilayah pinggiran Balikpapan di Kelurahan Karang Joang.
Penelitian dilakukan di Kelurahan Karang Joang Balikpapan dan dilakukan
dalam dua tahap. Penelitian tahap pertama dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2013
dan tahap kedua pada bulan April-Mei 2014. Penelitian ini merupakan penelitian
studi kasus (case study), dengan metode pengumpulan data melalui full

enumeration terhadap 85 keluarga, wawancara mendalam dan catatan harian
lapangan. Selain itu, penelitian ini menggunakan studi pustaka yang bersumber dari
data kependudukan serta artikel lainnya terkait dengan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merupakan
pendatang dari luar kota Balikpapan. Awal kedatangan keluarga pendatang miskin
di Balikpapan tidak terlepas dari peran serta kerabat sesama etnis untuk bisa
mendapatkan pekerjaan. Proses sosial yang terjadi antara pada keluarga pendatang
miskin adalah solidaritas, kesetiaan, dan kerjasama yang berakibat pada
melanggengkan kelas sosial antar sesama etnis. Keluarga pendatang miskin
tergabung dalam proses produksi yang dijalani oleh kerabat mereka yang sukses.
Selanjutnya, yang terjadi pembentukan kelas dalam proses produksi yang
dijalaninya yaitu terdapat kelas pemilik modal dan kelas pekerja. Dalam hal ini,
keluarga miskin masuk dalam kelas bawah yaitu sebagai pekerja.
Selanjutnya, moda produksi kaum pendatang terbentuk melalui sektor mata
pencaharian yang dikerjakan oleh masing-masing keluarga pendatang. Penyediaan
alat produksi tidak terlepas dari hubungan dengan pemilik modal sesama etnis.
Melalui hubungan produksi dengan pemilik modal maka terjadi penyerapan surplus
produksi ke pemilik modal yang berakibat pada eksploitasi. Selain itu, pemilik
modal menggunakan jaringan etnis dan ikatan kekerabatan ke kampung asal agar
mendapatkan pekerja yang bisa dibayar dengan upah murah. Dengan demikian,

proses sosial melalui ikatan kekerabatan etnis menciptakan kelas sosial produksi
yang timpang dan memiskinkan.
Kebijakan pemerintah menanggulangi
kemiskinan hanya mampu menfasilitasi dan meringankan kebutuhan keluarga
miskin. Selain itu, kedatangan keluarga miskin yang terus meningkat karena
kerabat yang menarik mereka untuk kerja ke Balikpapan. Hal ini menyebabkan
kemiskinan akan selalu bertambah di kota.
Kata kunci: Keluarga Pendatang Miskin, Pemilik Modal, Etnis, Moda Produksi, dan
Kelas Sosial

ABSTRACT
A. NURUL MUTMAINNAH. Urbanization at Balikpapan: Social Formation of
Pauper Migrant Family. Supervised by LALA M KOLOPAKING and EKAWATI
SRI WAHYUNI.
This research intended to examine the urbanization and social formation of
pauper migrant family. In this relation, urbanization at Balikpapan marked by the
population growth that live at the city is relativity fast. At 2000-2010 periods the
population growth at the region reached 3.24%. Thereby, the urbanization
contributor at Balikpapan is the present of migrant family from outside region.
Meanwhile, there was found pauper family at Balikpapan with percentage at 2.23%

and the prominent poverty area was at suburban area that is Karang Joang Village.
The research was conduct at Karang Joang Village Balikpapan City and done
on two stage. First stage was conduct on July-October 2013 and the second stage
conduct on April-May 2014. This was case study research, with data gathering
method through full enumeration over 85 family, in-depth interview and the field
log book. Besides that, the research also using literature study from demography
data and related articles due to the research.
The result shown that most of the respondent was migrant from out of
Balikpapan. The early arrival of the pauper migrant family at Balikpapan
impartially from the role of the family with the same ethnic to have a job. The social
process that happened among the pauper migrant family was solidarity, loyalty, and
cooperation that imply on preserve social class among the ethnic. The pauper
migrant family are bound in production process taken by their success relative.
Furthermore, there are class formation on the production process that their have on,
which is the lenders class and the worker class. In this condition, the pauper family
include in lower class as worker.
Furthermore, the production mode of the urban form through working sector
that applied by each migrant family. The providing of working tools is related with
the ethnic lenders. Through the production relation with the lenders it create surplus
production from the pauper migrant family to the lenders that cause exploitation.

Meanwhile, the lenders using the ethnic networks and the family bond to the home
land to gain cheap labor. Thus, the social process through the bond of ethnic relative
create unbalanced and poverty of social production classes. The government policy
to prevent poverty only can facilitate and helping out the needs of pauper family.
Meanwhile, the migration of pauper family that more commonly is because the
influence of their relative for work in Balikpapan. This cause poverty always
increase in the city.
Keywords: Pauper migrant family, lenders, ethnic, mode of production and social
class.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL

KELUARGA PENDATANG MISKIN

A. NURUL MUTMAINNAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Sofyan Sjaf S.Pt M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah urbanisasi dan kemiskinan,
dengan judul URBANISASI DI BALIKPAPAN: FORMASI SOSIAL KELUARGA
PENDATANG MISKIN.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Lala M Kolopaking dan Ibu Dr
Ekawati Sri Wahyuni selaku pembimbing, serta Bapak Dr Sofyan Sjaf yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Joko dari
Mantan Kepala Kelurahan Karang Joang Balikpapan, Bapak Kosir beserta seluruh
pemangku kepentingan di Kelurahan Karang Joang, serta teman-teman Persatuan Pemuda
Karang Joang, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Ayahanda Andi Jamaluddin Syam, Ibunda Alm.Andi Herawati,
dan kakak serta adik atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

A. Nurul Mutmainnah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan dan Kegunaan

1
1
3
3


2 TINJAUAN PUSTAKA
Urbanisasi
Formasi Sosial dan Moda Produksi
Proses Sosial
Keluarga Miskin
Sektor Informal dan Kelas Kemiskinan Kota
Kaum Pendatang dan Etnis
Kerangka Pemikiran

4
4
4
6
8
9
11
12

3 PENDEKATAN PENELITIAN
Metode Penelitian

Pengumpulan dan Analisis Data
Metode Pemilihan Daerah Penelitian
Teknik Pengambilan Data Keluarga Miskin Pendatang

14
14
14
15
15

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Balikpapan
Urbanisasi di Balikpapan
Kondisi Masyarakat dan Kemiskinan di Balikpapan

17
17
21
25


5 SEJARAH KETIKA MEMULAI KEHIDUPAN DI BALIKPAPAN DAN
PROSES SOSIAL KELUARGA PENDATANG MISKIN
Awal Kedatangan Keluarga Pendatang
Pemanfaatan Jaringan Sosial Melalui Perekrutan Kerabat di Tempat Asal
Proses Asosiatif
Proses Disosiatif
Dominasi Kelas Produksi Dalam Hubungan Etnis

32
33
41
45
51
54

6 MODA PRODUKSI KAUM PENDATANG MISKIN
Peranan Etnis Sebagai Penentu Moda Produksi Pada Diskursus Formasi
Sosial
Etnis Jawa
Etnis Banjar
Etnis Bugis
Etnis Madura

58
58
61
65
67
69

Moda Produksi Subsisten
Moda Produksi Komersil
Moda Produksi Kapitalis

72
74
76

7 URBANISASI DAN FORMASI SOSIAL KELAS MISKIN KOTA
Urbanisasi dan Penetrasi Kapitalis
Penguasaan Moda Produksi Kapitalis Pembentu Kelas Miskin Kota
Kebijakan Pemerintah Menanggulangi Kemiskinan

79
79
81
85

8 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

87
87
88

DAFTAR PUSTAKA

88

LAMPIRAN

93

RIWAYAT HIDUP

99

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jenis Data dan Sumber/ Responden Penelitian Lapangan
Tabel 4.1 Pertumbuhan penduduk tahun 1961-2010a
Tabel 4.2 Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kecamatan Balikpapan (%)a
Tabel 4.3 Sebaran Penduduk Berdasarkan Suku di Kalimantan Timur a
Tabel 4.4 Persentase Penduduk Berdasarkan Suku di Balikpapan (%)a
Tabel 4.5 Jumlah Keluarga Miskin di Balikpapan a
Tabel 4.6 Jarak Ibukota Kecamatan Kota ke Kelurahan Balikpapan Utara
2012 a
Tabel 4.7 Sebaran Asal Pendatang a
Tabel 5.1 Tahun Kepindahan Responden a
Tabel 5.2 Moda Produksi Komersil Pada Produksi Merintis tahun 1954
-1990 a
Tabel 5.3 Faktor Pendorong Keluarga Pendatang ke Balikpapan a
Tabel 5.4 Proses sosial antar etnis keluarga pendatang miskin a
Tabel 5.5 Tahun Kedatangan dengan Pendapatan Responden a
Tabel 6.1 Artikulasi Produksi Petani Keluarga Miskin Etnis Jawa a
Tabel 6.2 Artikulasi Moda Produksi Subsisten Berkebun Petani Keluarga
Miskin Etnis Banjar a
Tabel 6.3 Artikulasi Berdagang (Pedagang Baju dan Tengkulak) pada
Keluarga Miskin etnis Bugis a
Tabel 6.4 Artikulasi Proses Produksi Pemecah Batu Etnis Madura a
Tabel 6.5 Moda Produksi Subsisten a
Tabel 6.6 Moda Produksi Komersil a
Tabel 6.7 Moda Produksi Kapitalis a
Tabel 7.1 Moda produksi basis etnis a
Tabel 7.2 Jumlah Responden yang mendapatkan Bantuan Pemerintah a

16
21
21
24
24
27
28
29
31
34
41
54
55
63
66
69
71
74
76
79
82
87

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 5.1
Gambar 5.2

Skema moda produksia
Kerangka Pemikiran
Grafik Struktur Umur Penduduk Balikpapan Tahun 2011 a
Migrasi Balikpapan a
Grafik Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Kelurahan
di Balikpapan a
Persentase Tingkat Pendidikan Responden a
Mata Pencaharian Responden a
Struktur Pekerja dan Pembagian Lahan Periode Merintis I a
Pola Jaringan Kedatangan Keluarga Miskin di Balikpapan a

6
13
22
23
27
30
30
35
37

Gambar 5.3 Perkembangan Pola Jaringan Kedatangan Keluarga Miskin di
Balikpapan a
Gambar 5.5 Proses Pembentukan Startifikasi Sosial a
Gambar 6.1 Pendapatan responden pada setiap etnis a

44
56
59

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Kependudukan Balikpapan
Lampiran 2 Rekapitulasi Data Responden (%)
Lampiran 3 Data Kemiskinan Balikpapan

94
95
112

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Urbanisasi di Indonesia sampai saat ini memiliki sumbangsih terhadap
pembangunan namun di sisi lain juga menjadi masalah terhadap tingkat
kesejahteraan pada sebagian masyarakat. Urbanisasi merupakan proses
meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan (Rusli 2012).
Berkaitan dengan dengan hal tersebut, Todaro 1 (1981) menuliskan masyarakat
yang cukup beruntung memperoleh pekerjaan di kota mempunyai penghasilan jauh
lebih besar dibanding di desa. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat mengisi
sektor mata pencaharian informal di kota dengan berpendapatan rendah dan dalam
kondisi miskin.
Pada Survei Penduduk` Antara Sensus 2010, tingkat urbanisasi di Indonesia
menjadi 49.8 % penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan. Angka ini
meningkat dari 14.8 % dari tahun 1961 (Rusli 2012). Di Indonesia terdapat
beberapa provinsi yang memiliki tingkat urbanisasi lebih tinggi dibanding provinsiprovinsi lainnya. Salah satu provinsi yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi yaitu
Kalimantan Timur. Berdasarkan perkembangan penduduk sejumlah kota di
Indonesia antar Sensus 2010 tingkat urbanisasi di Kalimantan Timur mencapai
66.2 % per tahun.
Persebaran penduduk di Kalimantan Timur menurut luas wilayah sangat
timpang, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat penduduk antara
daerah terutama antar daerah Kabupaten dengan Kota. Wilayah Kabupaten dengan
luas 99.17 % dari wilayah Kalimantan Timur dihuni oleh sekitar 54.31 % dari total
penduduk Kalimantan Timur. Selebihnya yaitu sekitar 45.56 % menetap di daerah
kota dengan luas hanya 0.83 % dari luas wilayah Kalimantan Timur. Akibatnya,
kepadatan penduduk di daerah kabupaten hanya berkisar 1-48 jiwa/km2
dibandingkan kepadatan penduduk di wilayah kota seperti Balikpapan sebanyak 1
148.35 jiwa/km2, Samarinda 1 087.30 jiwa/km2, Tarakan 767.61 jiwa/km2,
sedangkan kepadatan penduduk Kalimantan Timur adalah 18.18 jiwa/km2
(Kalimantan Timur Dalam Angka 2012). Dalam hal ini, salah satu kota yang
memiliki kepadatan penduduk yang tinggi adalah Balikpapan. Kepadatan penduduk
di Balikpapan diakibatkan oleh perkembangan penduduk yang relatif cepat. Pada
periode 2000-2010 perkembangan penduduk di Balikpapan mencapai 3.24 %
(Rusli 2012). Tingkat pertumbuhan migrasi dalam beberapa tahun lebih tinggi
dibanding tingkat pertumbuhan alami di Balikpapan. Hal tersebut menjadi
penjelasan pertumbuhan penduduk di Balikpapan juga dipicu oleh penduduk
pendatang dari luar Balikpapan (Lampiran 1).
Pendatang dari berbagai daerah menjadi sumbangsih urbanisasi dan
keanekaragaman suk/etnis di Balikpapan. Dalam hal ini, pada tahun 2011, tingkat
urbanisasi di Balikpapan mencapai 93.45% (BPS 2012). Dengan demikian,
Balikpapan menjadi kota dengan masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai
macam suku/etnis dan budaya. Penduduk di Balikpapan didominasi oleh penduduk
Dalam buku “Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota” disunting oleh Manning dan
Effendi (1985). Dikutip tulisan Todarro dan Stiglitz (1971) dengan judul “The Urbanization
Dilemma” (New York: The Population Council, 1981).

1

2

pendatang dari berbagai etnis dimana etnis yang banyak dijumpai adalah Etnis Jawa,
Banjar, Bugis, Madura dan etnis lainnya seperti Batak, Buton, Sunda, Ambon.
Berdasarkan BPS (2010), nilai gini rasio Balikpapan 0.140 lebih besar dibanding
gini rasio Ibukota Kaltim yaitu Samarinda 0.110 dan untuk keseluruhan masih lebih
rendah dibanding indeks gini Kalimantan Timur sebesar 0.202. Dalam artian indeks
gini di Balikpapan masih sangat merata 2 . Walaupun indeks gini di Balikpapan
sangat merata, masih ditemukan penduduk miskin. Berdasarkan data Bappeda
Balikpapan persentase penduduk miskin pada tahun 2012-2013 sebesar 2.23 %
(Lampiran 3).
Balikpapan terkenal sebagai kota minyak, dimana terdapat pusat kilang
minyak Pertamina dari tahun 1957. Letak kota industri di kota ini terpusat pada
dua kelompok areal yang cukup dominan dalam konteks ekonomi kota, yaitu:
pertama, kawasan industri kilang minyak milik Pertamina dengan luas areal sekitar
250 Ha. Keberadaan kilang ini sangat strategis karena merupakan bagian dari cikal
bakal pertumbuhan kota sekaligus memberikan jiwa pada fungsi utama kota sebagai
kota industri. Kedua, kawasan industri pendukung pengelolahan tambang/migas,
berupa pengelompokkan pabrik, tempat usaha, bengkel/workshop dan
distribusi/supplier. Pertumbuhan industri di Balikpapan juga seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk.
Berkaitan dengan hal tersebut terdapat 2 sektor perekonomian yang saling
berdampingan ditemukan di kota. McGee (1971) mengutip penelitian dari Geertz
bahwa struktur perekonomian di Mojokerto terbagi dalam 2 bagian. Pertama,
perekonomian firma merupakan perniagaan dan industri berlangsung melalui
seperangkat pranata sosial dan mengorganisir berbagai pekerjaan khusus dengan
memperhatikan tujuan-tujuan produksi dan distribusinya yang utama. Kedua,
perekonomian bazaar yang didasarkan atas “ kegiatan-kegiatan tidak terikat yang
dilakukan oleh sekumpulan pedagang komoditi yang bersaing ketat dan
berhubungan satu sama lain melalui sejumlah besar transaksi yang ad hoc (tidak
menentu). Dalam hal ini, hampir mirip dengan sektor perekonomian di kota. Seperti
perekonomian firma merupakan sektor formal yang dimiliki oleh industri,
pemerintahan yang memiliki aturan kontrak hukum yang berlaku. Sementara itu,
perekonomian bazaar hampir mirip dengan sektor informal di kota. McGee (1971)
juga menjelaskan bahwa kedua sektor tersebut tidak dapat dipisahkan karena
produksi serta arus barang dan jasa yang diciptakan dan disalurkan melalui kota,
dihasilkan dalam masing-masing sektor tersebut.
Balikpapan menyediakan berbagai sector formal dari industri dan jasa yang
menjamin pendapatan yang tinggi. Namun, tidak semua keluarga pendatang mampu
untuk masuk dalam sektor pekerjaan tersebut. Walaupun Balikpapan memiliki
pusat industri minyak, namun tidak semua masyarakat terserap dalam sektor
industri tersebut. Hal ini, disebabkan oleh diperlukannya keahlian-keahlian dan
pendidikan yang tinggi untuk bisa masuk dalam sektor industri dan jasa. Akibatnya
2

Todaro (2000) indeks gini (Gini Ratio) merupakan pendekatan yang digunakan untuk melihat
adanya hubungan antara jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh keluarga atau individu
dengan total pendapatan. Ukuran indeks dini dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) 0-0,19 = sangat
merata; (b) 0.20-0.35 = merata; (c) 0.36-0.45 = kurang merata (agak timpang); (c) 0.46-0.70=
timpang dan (e) 0.71-1 = sangat timpang.

3

keluarga yang datang dari desa ke Balikpapan tanpa memiliki keahlian dan
pendidikan yang terendah akan terserap di sektor informal dengan pendapatan yang
rendah. Hal tersebut, menjadi penyumbang kemiskinan dalam hal ini masuk dalam
kategori keluarga pendatang miskin di Balikpapan. Hal menarik untuk diteliti dan
menjadi pertanyaan besar dari penelitian ini adalah Bagaimana kehidupan keluarga
pendatang miskin di tengah kota yang maju seperti Balikpapan?
Penelitian ini dilakukan tidak hanya menjelaskan kemiskinan dari sisi
ekonomi saja, akan tetapi kemiskinan dijelaskan dari proses sosial keluarga miskin.
Selain itu, dari cara bertahan hidup yang dimiliki keluarga miskin tidak terlepas dari
cara produksi (mode of production) sehingga terbentuknya formasi sosial. Oleh
karena itu, penelitian ini menguraikan urbanisasi di Balikpapan dan kehidupan
keluarga miskin pendatang yang dijelaskan melalui proses sosial dan formasi sosial
mereka.
Rumusan Masalah
Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bahwa urbanisasi di dunia ketiga
tidak hanya diikuti oleh penambahan fasilitas perkotaan dan lapangan pekerjaan
tapi menyebabkan munculnya kantong-kantong miskin di perkotaan. Akibatnya
terbentuknya nilai sosial yang mengarah ke kebudayaan kemiskinan lebih
disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi di kota ketimbang oleh proses
kemiskinan di desa. Perbedaan lingkungan dan kebudayaan yang dihadapi oleh
keluarga pendatang miskin, mengharuskan mereka untuk melakukan adaptasi
dengan masyarakat sekitar. Adaptasi yang dilakukan merupakan proses sosial yang
mereka alami untuk bisa bertahan di Balikpapan. Oleh karena itu hal yang menarik
untuk diteliti bahwa bagaimana proses sosial yang dialami keluarga pendatang
miskin ketika memulai kehidupan di Balikpapan?
Daerah perkotaan yang belum siap menerima tambahan tenaga kerja, maka
menghasilkan pekerja sektor informal. Breman dalam Manning dan Effendi (1985)
menjelaskan di perkotaan khususnya sektor informal terdapat dimensi sosial dalam
pembagian kerja dalam kelompok sosial tertentu. Berhubungan dengan hal ini,
masih terdapat struktur pekerjaan yang beranggotakan suatu kasta, daerah,
kelompok etnis, kesukuan atau komunitas agama tertentu yang merupakan faktor
penting untuk mencari kerja. Dengan demikian, maka bagaimana formasi sosial
yang terjadi pada keluarga pendatang miskin di Balikpapan? Hal tersebut
sangat menarik untuk diteliti. Keluarga miskin yang melakukan migrasi ke kota
memiliki harapan mendapatkan pendapatan yang lebih baik daripada di tempat asal.
Dalam hal ini, melalui proses sosial yang melibatkan jaringan sosial dan kelompok
etnis.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan secara umum untuk mengetahui pengaruh
urbanisasi terhadap kemiskinan di Balikpapan. Secara khusus penelitian ini untuk
mengetahui: (a) proses sosial yang dialami keluarga pendatang miskin. Proses
sosial disini lebih menitik beratkan proses sosial pada basis ekonomi. Dalam hal ini,
proses sosial yang dialami keluarga pendatang miskin untuk memperoleh
pendapatan yang lebih baik di kota. (b) hubungan pola produksi keluarga miskin
hingga terbentuknya formasi sosial pada keluarga miskin pendatang di Balikpapan.

4

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kemiskinan dengan melihat karakteristik urbanisasi yang terjadi di wilayah
perkotaan saat ini, khususnya di Balikpapan. Melalui analisis proses sosial dan
formasi sosial keluarga miskin khusus pendatang, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi upaya peningkatan kesejahteraan penduduk miskin di
perkotaan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Urbanisasi
Definisi urbanisasi adalah proses meningkatnya proporsi penduduk yang
bermukim di perkotaan (Rusli 2012). Perpindahan penduduk atau migrasi menjadi
salah satu faktor terjadinya peningkatan proporsi jumlah penduduk di kota. Strategi
pembangunan pedesaan seperti pembangunan pasar-pusat pertumbuhan (growth
center) maupun program kawasan terpadu seperti membentuk konsep desa kota
ternyata kurang efektif dalam mencegah migrasi yang masuk ke kota karena mau
tren urbanisasi di Indonesia hingga sekarang ini masih terjadi pada tataran
perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan harapan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di kota (Yunus 2005).
Lee (1992) menjelaskan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang
sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah-daerah di wilayah tersebut. Di
daerah asal dan di daerah tujuan menurut Lee (1992), terdapat faktor-faktor yang
disebut sebagai (a) faktor positif (+) yaitu faktor yang memberikan nilai
keuntungan bila bertempat tinggal di tempat tersebut, (b) faktor negatif (-) yaitu
faktor yang memberikan nilai negatif atau merugikan bila tinggal di tempat tersebut
sehingga seseorang merasa perlu untuk pindah ke tempat lain. Dengan demikian,
perekonomian perkotaan akan merupakan dasar tujuan bagi para pekerja yang
berasal dari pedesaan, karena nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif
maka menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada kondisi optimal
yang mungkin dicapai, sehingga industri di perkotaan masih menyediakan lapangan
kerja di mana akan diisi oleh pekerjan dari pedesaan dengan jalan bermigrasi.
Todaro menyebutkan kebijakan yang mementingkan industri dan mengabaikan
pertanian ditambah pula dengan kecendrungan mementingkan kota (urban bias)
dalam investasi pemerintah di bidang sarana umum makin mendesak dan
merangsang kaum miskin di desa untuk pindah ke kota.
McGee (1971) menjelaskan dua fakta yang menjadi ciri umum di kebanyakan
negara di Dunia Ketiga. Pertama, dalam dasawarsa terakhir, kota-kota di dunia
ketiga telah berkembang secara besar-besaran; kedua, perkembangan kota itu
ternyata tidak disertai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat untuk
menyediakan kesempatan kerja bagi pertambahan penduduk kota yang makin
meningkat.
Todaro dan Smith (2006) menjelaskan bagi negara berkembang, kebijakan
pembangunan yang mengabaikan sektor pertanian telah menimbulkan kemandekan
atau tidak memadainya pertumbuhan pendapatan di daerah pedesaan. Mayoritas
negara berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya
dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Kebijakan ini
sangat mengutamakan urban bias (kecendrungan mengutamakan kota) akan
memperlebar jurang pendapatan antara kota dan desa. Kaum migran dari desa akan
terus mengalir ke kota untuk mencari pekerjaan di sektor modern yang upahnya
lebih baik walaupun sukar.
McGee (1971) yang menjelaskan tentang bazaar yang hampir mirip dengan
sektor informal di kota. Sektor bazaar menurut pemahaman McGee mengalami
involusi dengan beberapa pemikiran yang mendasari. Pertama, landasan

5

kelembagaan dari kegiatan usaha dalam sistem perekonomian bazaar masih
keluarga, meskipun para anggota keluarga ini bisa bertindak dengan bebas di pasar,
dan keterlibatan pekerja pada umumnya masih bersifat total. Dengan demikian,
kepala rumah tangga bertanggung jawab atas masuknya anggota-anggota
keluarganya ke dalam sistem. Kedua, sistem arus barang dan jasa yang menjadi ciri
sistem bazaar memungkinkan masuknya lebih banyak pekerja. Ketiga, sistem
bazaar mempunyai ciri yang memungkinkan pertumbuhan secara mandiri. Seperti,
berlipat gandanya penjual-penjual makanan jadi yang jumlahnya meningkat
bersamaan dengan pertumbuhan penduduk kota. Faktor keempat adalah hubungan
sektor bazaar dengan ekonomi pertanian. Sering terjadi perpindahan penduduk
serta arus barang dan jasa antara dua sektor itu. Ciri terakhir meliputi hubungan
antara sektor bazaar dan sektor yang padat modal. Keuntungan yang lebih besar di
sektor padat modal mengalir ke bawah. Dalam hal ini, seperti upah pembantu atau
kesempatan kerja pada bangunan proyek-proyek mewah, maupun dalam bentuk
penghasilan dari berbagai macam fasilitas kesejahteraan memungkinkan sektor
bazaar untuk menyerap jumlah penduduk yang lebih besar.
Formasi Sosial dan Moda Produksi
Formasi sosial banyak dibahas oleh kaum Marxisme yang merupakan
konsep dari cara produksi (mode of production) yang ada dalam masyarakat.
Formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir bersamaan
dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya
(Budiman 2000). Pada konsep formasi sosial tersebut dimuat suatu artikulasi cara
produksi, yakni proses strukturasi dalam konteks budaya tertentu dimana
sekurangnya dua cara produksi berbeda (kapitalis dan non-kapitalis) berdampingan
dalam suatu pola saling mengkait yang bersifat asimetris, yang berarti cara produksi
kapitalis mendominasi non kapitalis.
Mode of production atau moda produksi terdiri dari kekuatan produksi dan
hubungan produksi. Kekuatan produksi mencakup alat-alat kerja, manusia dan
kecakapannya, dan pengalaman-pengalaman dalam produksi (teknologi) (Budiman
2000). Sementara itu, hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau
pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi, yakni struktur
pengorganisasian sosial produksi, seperti hubungan antara pemilik modal dan
pekerja (Magnis-Suseno 1999). Hubungan-hubungan produksi tersebut ditentukan
oleh tingkat pembagian kekuatan produksi, dan struktur kelas yang tercipta dalam
masyarakat juga ditentukan oleh susunan efisiensi produksi seperti hubungan
produksi feodal, komunitas primitif, perbudakan, sosialisme/komunisme, dan
kapitalis (Sanderson 1993).
Sjaf (2006) mengutip dari Kahn bahwa artikulasi cara produksi yang hadir
dalam masyarakat Minangkabau terdiri dari tiga, masing-masing: (a) cara produksi
subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana
hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat
egaliter; (b) cara produksi komersil (petty commodity production) yakni usaha
pertanian atau luar pertanian yang sudah berorientasi pasar dengan hubungan
produksi menunjuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan
hubungan sosial antara pekerja bersifat egaliter tetapi kompetitis, dan (c) cara
produksi kapitalis (capitalis production) yakni usaha padat modal berorientasi pasar
dimana hubungan produksi mencakup struktur majikan-buruh, atau pemilik modal-

6

pemilik tenaga. Selain itu, terdapat teori lain tentang moda produksi yang kekuatan
produksinya diartikulasikan sebagai basis material produksi, mencakup: alat-alat
produksi (teknologi), manusia dengan kecakapannya, pengalaman-pengalaman
produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja (Sjaf 2006). Peet (1999) juga
menjelaskan bahwa moda produksi terdiri atas kekuatan produksi dan hubungan
produksi yang terbentuk akibat adanya peran ideologi dan budaya serta negara dan
politik (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Skema moda produksia
a

Sumber : Peet (1999)

Ideologi dan budaya dari masyarakat multikultur, seperti di Indonesia lebih
menekankan unsur etnis di dalamnya (Barlan 2014). Kekuatan produksi yang tidak
terlepas dari peran teknologi dan lahan sebagai alat produksi yang membentuk
moda produksi tertentu mendominasi moda produksi lainnya. Seperti dalam
penelitian Kano (1990) di Desa Pagelaran Malang. Ciri produksi di wilayah tersebut
terdiri atas non kapital dan kapitalis. Non-kapitalis merujuk pada sistem pertanian
padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah untuk keperluan sendiri dan
sedikit yang dipertukarkan sehingga proses produksinya masih bersifat subsisten.
Di sisi lain, pertanian tebu sangat komersial dengan artikulasi ciri kapitalis. Usaha
tani tebu dikembangkan oleh perusahaan gula Krebet baru diintodusir oleh penjajah
Belanda. Perluasan tanaman padi pada satu areal persawahan dapat menggeser
tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda
produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian
tradisional).
Menurut Watson (1997) teknologi dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu
(1) teknologi modern, memiliki ukuran kecil sampai ukuran yang besar, (2)
teknologi tradisional, memiliki ukuran workshop kecil; dan (3) teknologi rumah
tangga, dengan tenaga kerja satu orag hingga rumah tangga secara luas.
Keluarga miskin pendatang menjadi penyumbang meningkatnya jumlah
penduduk. Mereka banyak berkecimpung sebagai kaum proletariat antara lain
buruh kasar, pekerja, anak buah, pembantu, dan pemulung. Meningkatnya jumlah
mereka serta munculnya industri-industri besar padat modal mengakibatkan

7

keterbatasan akses pekerjaan, lahan sumber produksi dan pelayanan sosial pada
keluarga miskin. Walaupun mereka berada dalam formasi sosial, dimana mereka
memiliki moda produksi atau alat produksi namun mereka tetap berada dalam
hubungan produksi yang mengalami ketimpangan dimana pihak keluarga miskin
pendatang sebagai proletar yang tereksploitasi serta tetap dalam posisi miskin.
Proses Sosial
Proses sosial adalah suatu hubungan timbal balik dalam kehidupan manusia.
Menurut Soekanto (2002) proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat
apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan
menemukan sistem bentuk-bentuk hubungan atau apa yang akan terjadi apabila ada
perubahan-perubahan pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial
digolongkan menjadi dua macam yaitu pertama, proses asosiatif, yang mencakup
akomodasi dan kerja sama. Kedua yaitu proses disosiatf, yang mencakup
persaingan, pertentangan, atau pertikaian yang berupa konflik. Keluarga pendatang
miskin di kota tidak terlepas dari proses sosial yang akan selalu mengalami
perubahan karena kondisi masyarakat yang berbeda pada setiap wilayah. Begitu
pula masyarakat atau keluarga miskin yang akan mengalami proses sosial berupa
kerjsama, pertentangan, dan perubahahan kondisi sosial. Hal tersebut membuat
mereka terus bergerak demi mempertahankan sumber matapencaharian untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Proses asosiatif berupa kerjasama terbagi dalam beberapa bagian seperti
bergaining, cooptation, dan koalisi. Masyarakat Balikpapan yang heterogen
menjadikan kondisi masyarakat yang terpilarisasi berdasarkan etnis. Kelompok
etnis membentuk paguyuban sebagai media kerjasama sesama etnis. Paguyuban
juga memiliki peran dalam pengaman bagi masyarakat miskin (Barlan, 2014).
Sehubungan dengan itu, untuk keluarga pendatang miskin tidak sedikit dari mereka
yang masuk dalam puguyuban dan bekerja dengan kelompok sesama etnis.
Kerjasama yang dilakukan oleh setiap kelompok etnis dapat dilihat dari
bagaimana cara mereka saling membantu hingga mencapai tujuan. Tujuan dari
keluarga miskin pendatang adalah untuk memperoleh kehidupan dan pendapatan
yang lebih baik. Berkaitan dengan itu, terdapat aktor pemilik modal yang mampu
mereka difasilitasi dengan tujuan untuk mendapat surplus modal. Dalam hal ini,
mereka mampu bekerjasama karena memiliki tujuan yang saling menguntungkan
satu sama lain.
Proses sosial dimulai dari kerjasama hingga terbentuknya solidaritas antar
etnis di keluarga pendatang miskin. Menurut Ritzer (2011), solidaritas terbagi
dalam 2 bagian yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Bentuk solidaritas
terdiri dalam empat dimensi kesadaran kolektif. Keempat dimensinya adalah
volume, kekuatan, kejelasan, dan isi. Volume adalah sejumlah orang yang diikat
bersama oleh suatu kesadaran kolektif. Kekuatan adalah bagaimana sebenarnya
individu merasakan kesadaran kolektif tersebut. Kejelasan adalah bagaimana
aplikasi di lapangannya, dan isi adalah bentuk yang dihasilkan oleh kesadaran
kolektif di dalam masyarakat.
Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanis, kesadaran
kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya; dia sangat
diyakini, sangat rigid, dan isinya sangat bersifat religius. Sementara dalam

8

masyarakat yang memiliki solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada
sebagian kelompok; tidak dirasakan terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya
adalah kepentingan individu yang lebih tinggi dari pada pedoman moral (Ritzer
2011).
Berhubungan dengan hal itu, solidaritas terbentuk dalam kelompok sosial.
Kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama
karena adanya hubungan di antara mereka. Adapun hubungan tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan menimbulkan
suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. Dasar untuk membedakan
kelompok-kelompok sosial adalah faktor-faktor antara lain adanya kesadaran akan
jenis yang sama, adanya hubungan sosial dan orientasi pada tujuan yang sudah
ditentukan. Ferdinand Tonnies dalam Soekanto (2002) membagi tipe kelompok
sosial bahwa hubungan-hubungan positif antara manusia selalu bersifat
gemmeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan). Paguyuban
merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota kelompok diikat oleh
hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan bersifat kekal. Bentuk paguyuban
dapat ditemukan pada kelompok keluarga, kelompok kekerabatan atau etnis, rukun
tetangga dan sebagainya. Pada kelompok paguyuban terdapat suatu kemauan
bersama (common will), pengertian (understanding) serta hal-hal yang timbul
dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Bila terdapat perselisihan di antara
anggota paguyuban akan sangat mempengaruhi elemen-elemen lainnya karena
hubungan yang begitu menyeluruh di antara anggota-anggotanya. Patembayan
merupakan ikatan lahiriyah yang bersifat pokok dalam jangka waktu yang pendek,
strukturnya bersifat mekanistik sebagaimana fungsi sebuah mesin. Hubungan
anggota dalam kelompok berdasarkan ikatan timbal balik karena mempunyai
kepentingan-kepentingan rasional. Artinya, kepentingan individual berada di atas
kepentingan hidup bersama. Pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi
pada bidang-bidang tertentu karena keeratan antar anggotanya tidak seperti
paguyuban karena darah dan keturunan.
Proses sosial dalam bentuk disosiatif berupa pertentangan, persaingan, dan
pertikaian atau konflik juga terjadi dalam kelompok keluarga pendatang miskin.
Konflik bisa terjadi dalam kelomppok karena disebabkan oleh beberapa faktor
penyebab. Faktor penyebab dari munculnya konflik bisa berhubungan dengan
konrol terhadap alat-alat produksi maupun sumber produksi.
Pada analisis Neo-Marxis, Negara Dunia Ketiga banyak mengalami
pembangunan yang bergantung. Proses sosial yang merujuk pada kebergantungan
ekonomi antara Negara Dunia Ketiga dengan perekonomian negara maju. Surplus
produki yang banyak diserap oleh negara maju merupakan warisan dari penjajahan
kolonial. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan keluarga pendatang miskin dalam
proses kedatangan mereka ke Balikpapan tidak terlepas dari peranan keluarga atau
kerabat etnis yang membantu mereka. Dengan demikian, ketergantungan bukan
hanya pada eksternal akan tetapi juga karena faktor internal. Faktor internal dalam
hal ini penyebab keluarga pendatang miskin bisa bergantung oleh pemilik modal.
Keluarga pendatang miskin dalam faktor internalnya berimplikasi pada proses
sosial yang mereka alami. Peran kerabat etnis menjadi pemicu terbentuknya kelas
sosial karena awal datangnya keluarga pendatang miskin di Balikpapan adalah
karena peran jaringan etnis di dalamnya. Kemudian, keluarga pendatang miskin
dipekerjakan sebagai buruh dengan upah rendah. Keluarga pendatang etnis menjadi

9

bergantung pada pemilik modal karena faktor ekonomi yang membelenggu
bertahannya terciptanya ketergantungan. Namun yang terjadi adalah mereka
digunakan sebagai pekerja upah rendah oleh para pemilik modal dari kerabat etnis
mereka sendiri.
Keluarga Miskin
Keluarga miskin merupakan keluarga yang memiliki kriteria kemiskinan
ataupun berada dalam garis kemiskinan. BPS Provinsi telah menetapkan konsep,
definisi dan kriteria keluarga miskin berdasarkan sejumlah variabel yang berkaitan
dengan masalah kemiskinan.
Keluarga miskin juga memiliki 7 (tujuh) variabel kemiskinan yaitu : l) Luas
lantai hunian < 8 m2 per anggota keluarga, 2) Jenis lantai hunian sebagian besar
tanah atau lainnya, 3) Tidak ada fasilitas air bersih, 4) Tidak memiliki fasilitas
jamban/WC sendiri/bersama, 5) Konsumsi lauk pauk tidak bervariasi dalam
seminggu, 6) Tidak mampu membeli pakaian minimal 1 (satu) stel setahun untuk
setiap, anggota keluarga, dan 7) Tidak memiliki set seperti tanah, sawah, warung,
bengkel, motor, perhiasan yang disimpan. Beberapa aspek yang menjadi tolok ukur
untuk mengukur kemiskinan yaitu pangan, pakaian, perumahan, pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan yang ada di perkotaan dan di pedesaan menurut Sajogyo
(1997) membagi menjadi 3 kelompok berdasarkan pengeluaran perkapita per tahun
setara dengan nilai tukar beras. Wilayah desa dan kota memiliki ukuran sebaga
berikut: (1) miskin = 320 kg dan 480 kg, (2) sangat miskin= 240 kg dan 360 kg,
serta (3) melarat= 180 kg dan 270 kg.
Suharto (2003) menjelaskan ada tiga kategori kemiskinan yaitu: (1)
kelompok yang paling miskin (destitute) atau sering didefinisikan sebagai fakir
miskin. Kelompok ini secara tetap memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan
dan umumnya tidak mempunyai sumber-sumber pendapatan dan tidak mempunyai
akses untuk meningkatkan kesejahteraan. (2) kelompok miskin (poor), kelompok
ini memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan namun secara relatif memiliki
jalan masuk terhadap peningkatan pendapatan, seperti memiliki sumber-sumber
keuangan, memiliki pendidikan yang memadai atau tidak buta huruf. (3) kelompok
rentan. Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari miskin, karena memiliki
tingkat kehidupan yang relatif lebih baik dibanding kelompok paling miskin dan
miskin. Namun sebenarnya kelompok ini sering disebut near poor (mendekati
miskin), karena kelompok ini masih sangat rapuh terhadap berbagai perubahan
sosial di sekitarnya.
Penyediaan sarana dan prasarana di perkotaan selalu terlambat mencukupi
kebutuhan yang meningkat pesat dengan adanya migrasi penduduk. Ketiga hal
tersebut telah turut mengakibatkan rendahnya produktivitas dan terjadinya
kemiskinan di daerah perkotaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan
keterbatasan lahan usaha serta sarana dan prasarana pelayanan dasar di perdesaan
mengakibatkan terjadinya migrasi ke kota seperti yang dilakukan keluarga miskin
pendatang. Selain itu, keterlibatan komunitas etnis paguyuban yang banyak
dijumpai di Balikpapan membuat dalam proses sosial keluarga miskin pendatang
banyak terbantu dalam hal pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup selama
berada di Balikpapan. Hal tersebut menjadi penguat masyarakat desa untuk
melakukan migrasi (Barlan 2014).

10

Sektor Informal dan Kelas Miskin Kota
Hart (1970) menuliskan perbedaan sektor formal dan informal pada
pokoknya didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan
dari usaha sendiri. Dia mengelompokkan usaha kegiatan informal yang sah, salah
satunya adalah kegiatan-kegiatan primer dan sekunder. Kegiatan primer dan
sekunder antara lain pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar. Selain itu,
distribusi kecil-kecilan seperti pedagang pasar, kaki lima, pengusaha makanan jadi,
pelayan bar dan pengangkut barang, agen atas komisi dan penyalur. Sesuai dengan
pendapat Breman (1976) yang menegaskan bahwa sektor informal meliputi massa
pekerja kaum miskin yang produktivitasnya jauh lebih rendah daripada pekerja di
sektor modern yang tertutup bagi kaum miskin. Akibatnya sektor informal mampu
menciptakan kelas kemiskinan di kota.
Berhubungan dengan hal tersebut, maka kelas miskin kota difenisikan
sebagai sekelompok masyarakat yang tinggal di perkotaan yang tidak berharta
benda atau serba kekurangan dan berada pada sektor informal kelas rendah. Kelas
kemiskinan kota juga bisa terjadi karena keterbelakangan modernisasi.
Keterbelakangan merupakan akibat dari banyaknya kekurangan yang ada di dalam
suatu masyarakat. Praktek dan teknik bisnis kuno sebagai faktor-faktor penghambat
perkembangan ekonomi. Beberapa tokoh berpendapat masyarakat yang terbelakang
biasanya tidak mempunyai teknik modern yang rasional dalam hal pemasaran,
akuntansi, keuangan, penjualan, dan lain-lain yang sudah sangat umum untuk di
negara maju. Kegagalan masyarakat seperti itu untuk mengadopsi praktek-praktek
bisnis modern yang rasional menjadikan produktivitas dan tingkat keuntungan tetap
rendah dan menghambat perkembangan yang berarti dalam masyarakat tersebut
(Sanderson 1993).
Dalam konsep kemiskinan menurut Suharto (2003) terdapat beberapa
kategori kemiskinan salah satunya kategori masyarakat yang rentan terhadap
kemiskinan. Sementara itu, Breman (1976) menyebutkan masyarakat yang rentan
masuk dalam kelas kemiskinan kota/sub proletar. Angkatan kerja di kota yang
merupakan kaum sub proletar. Breman mengutip kata Worsley bahwa mereka
adalah korban urbanisasi tanpa industrialisasi. Menurut Breman (1976), mereka
tidak hanya mencakup buruh-buruh tidak tetap dan tidak terampil, tetapi juga
orang-orang yang bekerja pada tempat kerja yang kecil serta cadangan pekerja
untuk perusahaan-perusahaan besar. Mereka terpecah dalam kelompok-kelompok
kecil, kumpulan-kumpulan pekerja, yang komposisinya senantiasa berubah dan
jarang terikat dengan tempat kerja yang tetap. Namun mereka akan mengalami
kekurangan pekerjaan dan kesempatan yang terbatas untuk mengumpulkan modal
atau untuk berinvestasi lewat pendidikan formal, bisa menggiring pada posisi
bertahan untuk mencari perlindungan sebanyak-banyaknya pada kegiatan yang
biasanya dilakukan, dan jalur untuk memasukinya hanya terbuka bagi mereka yang
bisa menuntut kesetiaan partikularistis meskipun dalam kenyataan keberhasilannya
cukup bervariasi. Kesetiaan partikularistis bisa berupa menjadi salah satu
keanggotaan suatu kasta, daerah, kelompok etnis, kesukuan, atau komunitas agama
tertentu masih merupakan faktor penting untuk mencari pekerjaan, menyebabkan
banyak orang menyimpulkan bahwa sistem tradisional masih kokoh, meskipun
dengan beberapa penyesuaian.

11

Soto (2000) menjelaskan bahwa penduduk miskin dari negara-negara
miskin sebagai mayoritas melimpah memiliki barang-barang tapi tidak dapat
merepresentasikan properti mereka dan tidak mampu menghasilkan kapital. Mereka
memiliki rumah tetapi tidak memiliki izin, memiliki alat produksi tetapi tanpa surat
kepemilikan, dan memiliki bisnis tetapi tanpa status perusahaan. Soto (2000)
menyebutkan ketiadaan representasi ditunjukkan melalui bentuk adaptasi
masyarakat terhadap dunia barat mulai dari klip kertas sampai reaktor nuklir.
Namun, mereka belum mampu memproduksi kapital yang diperlukan untuk
memborong kapitalisme domestik bisa bekerja. Dalam hal ini Soto (2000) membuat
suatu jalan keluar dari kelemahan kapitalis di dunia berkembang melegalkan asetaset propertis, struktur yang berasaskan hukum dan perluasan jaringan pada sektor
informal.
Kaum Pendatang dan Etnis
Kaum pendatang dalam penelitian ini merujuk pada definisi komunitas
transmigran dalam Sjaf (2006). Kaum pendatang hampir mirip dengan situasi
komunitas transmigran dalam hal ini didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja
maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi dari latar
belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam
sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang
tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Sjaf (2006) mengambil konsep
komunitas ala Marxis yang salah satunya adalah komunitas dengan ciri-ciri
komunisme kuno terlihat pada moda produksi kekerabatan.
Identitas kekerabatan seseorang akan mengontrol semua akses kehidupan
yang dihubungkan dengan simbol. Simbol dalam hal ini dianalogikan sebagai
hubungan biologis seperti perkawinan, keturunan lineal, keturunan affinal (melalui
perkawinan), dan aktivitas-aktivitas individu terorganisasi ke dalam tingkah laku
kelompok. Kelompok-kelompok kekerarabatan seperti keluarga secara luas, silsilah
keturunan, dan marga yang menentukan organisasi produksi. Ketidaksamaan utama
di dalam masyarakat komunisme kuno berdasarkan antara senior dan yunior atau
laki-laki dan wanita atau seseorang yang lebih dekat pada suatu keturunan gaib
(Pattner 1989).
Wolf dalam Pattner (1989) membagi moda produksi kekerabatan
membaginya ke dalam dua bagian, yaitu sumberdaya tersedia lebih luas bagi siapa
saja dengan keahlian tertentu dan dan akses sumberdaya terstruktur melalui
kelompok kekerabatan yang terorganisasi. Pimpinan dalam kelompok kekerabatan
diranking berdasarkan prestise dan kekuasaan, dimana pemimpin tertinggi (migran)
dapat mengorganisasi secara baik pekerjaan dan perdagangan. Sehubungan dengan
itu, adanya kelas-kelas ekonomi dalam kelompok terdefinisikan secara jelas dan
mempunyai akses perbedaan nyata terhadap kekayaan produksi. Kondisi ini
kemudian menyebabkan perbedaan hubungan dalam tingkat kehidupan sehingga
menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat komunisme kuno. Dalam hubungan
ini, seperti dominasi laki-laki atas wanita, dan keeratan geneologi terhadap “pendiri”
patrilineal atau matrilineal (Sjaf 2006).
Sanderson (1993) menuliskan bahwa kelompok-kelompok etnis ialah
penduduk yang dapat dibedakan secara kultural, bukan secara fisik. Sanderson
(1993) menjelaskan etnis dari sudut pandang stratifikasi. Dia membagi dua tipe
utama hubungan ras/etnis yaitu paternalistik dan kompetitif. Relasi paternalistik

12

adalah karakteristik pada masyarakat praindustri, yang didasarkan pada pertanian
perkebunan dan perbudakan. Pembagian seperti kasta di antara suatu kelompok ras
yang dominan dan kelompok subordinasi timbul, dan suatu etiket ras yang luas
mengatur hubungan di antara kelompok-kelompok itu. Hubungan ras yang
kompetitif diasosiasikan dengan masyarakat kapitalis industri yang mempunyai
perekonomian manufaktur dan tenaga kerja upah. Paternalisme dan etiket ras masa
lalu membuka jalan untuk timbulnya konflik di antara kelompok-kelompok ras/
etnik mengenai akses ke posisi-posisi ekonomi.
Kerangka Pemikiran
Penetrasi kapitalis melalui perindustrian dan pertambangan yang
berkembang sejak jaman kolonial memicu urbanisasi di Balikpapan. Kapitalisme
hadir di Balikpapan sejak berkembangnya sektor indsutri minyak dari jaman
kolonial Belanda dan Jepang. Hal tersebut, secara tidak langsung juga
mempengaruhi struktur sosial dan karakteristik masyarakat menjadi masyarakat
pekerja dan industri. McGee (1971) menjelaskan bahwa suatu perubahan struktur
sistem ekonomi bazaar yang masih tradisional atau prakapitalis yang banyak
dijumpai di negara berkembang terjadi dengan adanya campur tangan sektor
kapitalis. Dalam hal ini penetrasi kapitalis mampu merubah sistem bazaar menjadi
komersial dan oraganisasional. Selain itu, perubahan terjadi hingga mendobrak
batas kultural (cultural insulation) yang membuat kantong pada modal kapitalis dan
sektor tradisional bisa terhubung.
Kegagalan masyarakat untuk mengadopsi praktek-praktek bisnis modern
yang rasional menjadikan produktivitas dan tingkat keuntungan tetap rendah dan
menghambat perkembangan yang berarti dalam masyarakat tersebut (Sanderson
1993). Dalam hal ini, keluarga miskin pedesaan yang melakukan imigrasi ke kota
untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik, juga menjadi penyumbang
kepadatan penduduk di kota dan urbanisasi seperti yang terjadi di kota Balikpapan.
Kegagalan tersebut dialami oleh Keluarga pendatag miskin yang memiliki alat
produksi namun mereka berada dalam kekuatan produksi yang rendah sehingga
bergantung pada pemilik modal. Selain itu, kemampuan dan pendidikan ti