Dayasaing Bawang Merah Di Wilayah Sentra Produksi Di Indonesia

DAYASAING BAWANG MERAH DI WILAYAH SENTRA
PRODUKSI DI INDONESIA

HARIS FATORI ALDILA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN
MENGENAI
TESIS
DAN
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

SUMBER

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dayasaing Bawang Merah
di Wilayah Sentra Produksi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Haris Fatori Aldila
NIM H351130251

RINGKASAN
HARIS FATORI ALDILA. Dayasaing Bawang Merah di Wilayah Sentra Produksi
di Indonesia. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan NETTI TINAPRILLA.
Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia.
Usahatani bawang merah menjadi sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi
petani di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap
perkembangan ekonomi wilayah. bawang merah sebagai salah satu komoditas
hortikultura yang termasuk dalam kategori komoditas bernilai tinggi (high value
comodity) sehingga banyak petani yang mengusahakannya. Produksi bawang
merah semakin meningkat dari tahun 2010 sampai 2014. Rata-rata peningkatan
produksi bawang merah di Indonesia selama lima tahun terakhir sebesar 4.85 persen

per tahun. Meskipun produksinya terus meningkat, permintaan bawang merah
dalam negeri sebagian besar masih dipenuhi dari impor. Indonesia mengimpor
bawang merah dari beberapa negara di antaranya Thailand, Vietnam, India,
Filipina, Malaysia dan Cina. Selama periode tahun 2010-2014 Indonesia masih
menjadi net importer bawang merah. Hal ini disebabkan oleh produksi bawang
merah yang bersifat musiman, manajemen stok yang tidak berjalan baik, kendala
budidaya yang menyebabkan produktivitas rendah dan tingginya biaya produksi
bawang merah dalam negeri. Untuk mengurangi impor bawang merah, pemerintah
telah menetapkan beberapa kebijakan seperti kebijakan harga referensi impor untuk
bawang merah. Dengan adanya ketetapan harga referensi ini diharapkan dapat
mencegah terjadinya pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat. Pemerintah
juga menerapkan beberapa kebijakan untuk mendorong produksi bawang merah
dalam negeri seperti kebijakan subsidi pupuk, subsidi bunga kredit dan subsidi
bahan bakar minyak.
Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis dayasaing dan dampak
kebijakan pemerintah terhadap usahatani bawang merah di Indonesia yang diwakili
oleh tiga daerah sentra produksi yaitu Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal.
Metode analisis data menggunakan analisis kualitatif dan juga kuantitatif. Analisis
kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum lokasi penelitian dan
gambaran umum usahatani bawang merah di lokasi penelitian. Analisis kuantitatif

digunakan untuk menentukan dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah
terhadap dayasaing bawang merah di lokasi penelitian dengan menggunakan
metode PAM (Policy Analysis Matrix). Data yang digunakan merupakan data
sekunder dari hasil penelitian Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB tahun 2014.
Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 120 sampel dengan sebaran masingmasing lokasi penelitian sebanyak 40 sampel.
Usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal
menguntungkan secara finansial tetapi tidak menguntungkan secara ekonomi.
Besarnya keuntungan finansial yang diperoleh petani bervariasi antar musim dan
juga antar wilayah. Keuntungan privat usahatani bawang merah antar musim di
Kabupaten Cirebon berkisar antara Rp 20.4 – Rp 24.6 juta per hektar, di Kabupaten
Brebes antara Rp 0.21 – Rp 3.75 juta per hektar, dan di Kabupaten Tegal berkisar
antara Rp 0.62 – Rp 21.78 juta per hektar. Keuntungan privat tertinggi yang dicapai
di Kabupaten Cirebon terjadi pada kemarau II, sedangkan Kabupaten Brebes dan

Tegal pada saat musim hujan. Berdasarkan perhitungan keuntungan sosial,
usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal mengalami
kerugian. Rata-rata kerugian yang diterima oleh petani di Kabupaten Cirebon,
Brebes dan Tegal masing-masing sebesar Rp 29 814 441/ha, Rp 41 403 653/ha, dan
Rp 37 229 280/ha. Keuntungan finansial yang diterima petani lebih besar daripada
keuntungan ekonominya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan

usahatani bawang merah yang berlaku saat ini mampu memberikan insentif bagi
petani bawang merah di ketiga lokasi penelitian.
Hasil analisis dayasaing usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon,
Brebes dan Tegal menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di ketiga lokasi
penelitian memiliki dayasaing yang lemah. Nilai PCR usahatani bawang merah
antar musim di Kabupaten Cirebon berksiar antara 0.80-1.14, di Brebes 0.96-1.03
dan di Tegal 0.79-1.22. Petani bawang merah di Kabupaten Cirebon memiliki
keunggulan kompetitif pada musim kemarau I dan kemarau II, petani di Kabupaten
Brebes pada musim hujan dan petani di Kabupaten Tegal pada musim hujan dan
musim kemarau II. Sementara itu, usahatani bawang merah di ketiga lokasi
penelitian menunjukkan tidak memiliki keunggulan komparatif karena nilai DRCR
yang diperoleh lebih dari satu di ketiga lokasi penelitian. Nilai DRCR usahatani
bawang merah antar musim yang diperoleh di Kabupaten Cirebon sebesar 1.531.79, di Brebes sebesar 2.50-2.60 dan di Tegal sebesar 2.16-2.59. Lemahnya
dayasaing bawang merah di ketiga lokasi penelitian disebabkan oleh rendahnya
produktivitas bawang merah dan tingginya biaya produksi bawang merah.
Berdasarkan hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output
diketahui bahwa pemerintah memberikan proteksi terhadap harga bawang merah
dalam negeri melalui peraturan pembatasan impor, tarif impor, dan harga referensi
bawang merah. Kebijakan tersebut menyebabkan harga bawang merah dalam
negeri lebih tinggi daripada harga bawang merah di tingkat pasar internasional.

Sementara itu, kebijakan pemerintah terhadap input masih bersifat disinsentif
terhadap petani. Petani bawang merah harus membayar input lebih mahal dari
seharusnya karena tingkat proteksi pemerintah terhadap input usahatani bawang
merah lemah. Namun secara bersama-sama, kebijakan input dan output usahatani
bawang merah yang berlaku di Indonesia masih mendukung terhadap produksi
bawang merah dalam negeri. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan
produktivitas bawang merah, meningkatkan harga jual bawang merah dan
menurunkan biaya produksi secara simultan dapat meningkatkan dayasaing bawang
merah di ketiga lokasi penelitian.
Kata kunci: Bawang Merah, Dayasaing, Policy Analysis Matrix

SUMMARY
HARIS FATORI ALDILA. Competitiveness Shallot Farming in Production Center
in Indonesia. Supervised by ANNA FARIYANTI and NETTI TINAPRILLA.
Shallot is a strategic commodity in Indonesia. Shallot farming has been being
a source of income, employment opportunities for farmers and high enough to
contribute to the economic development of the region. Shallot is included in the
category of high-value commodities, so that many farmers are working on it. Shallot
production has increased from 2010 to 2014. The average increase shallot
production in Indonesia over the past five years at 4.85 percent per year. Although

production continues to rise, Shallot domestic demand is still largely met from
imports. Shallot has been imported from several countries including Thailand,
Vietnam, India, Philippines, Malaysia and China. During 2010-2014, Indonesia
remains a net importer of shallot. This is caused by the seasonal production of
shallot, stock management are not going well, constraints in production activity
which causes low productivity and high cost of production. To reduce the import of
shallots, the government has established several policies such as the policy of
import reference prices for shallots. This policy is expected to prevent
unappropriate of shallot imports supply. The Government is also implementing
several policies to encourage the production of Shallots in the country such as
fertilizer subsidy policy, loan interest subsidies and fuel subsidies.
The objectives of this study are to analyze the competitiveness and impact of
government policy on shallot farming in Indonesia which was represented by three
production centers that Cirebon, Brebes, and Tegal. Data analysis methods using
qualitative and quantitative analysis. Qualitative analysis is used to describe a
general overview of the study site and a general description of shallot farming at
the sites. Quantitative analysis is used to determine the competitiveness and impact
of government policy on the competitiveness of shallot at the study site using PAM
(Policy Analysis Matrix). The data used is secondary data from the study of
Tropical Horticulture Research Center of IPB in 2014. The number of samples used

were 120 samples with the distribution of each study site as much as 40 samples.
The result shows that shallot farming in the district of Cirebon, Brebes and
Tegal financially profitable but not profitable economically. The amount of the
financial benefits obtained by farmers vary between seasons and also between
regions. Financial profits of shallot farming in Cirebon range between Rp 20.4 24.6 million per hectare, Brebes between Rp 0.21 - 3.75 million per hectare, and
in Tegal regency ranged between Rp 0.62 - 21.78 million per hectare. The highest
private profits achieved in Cirebon occur in the second dry season, while Brebes
and Tegal during the rainy season. Based on the calculation of economic profit,
shallot farming in Cirebon, Brebes, and Tegal got loss. The average loss received
by farmers in Cirebon, Brebes and Tegal each amounting to Rp 29 814 441/ha, Rp
41 403 653/ha, dan Rp 37 229 280/ha. Farmers receive financial benefits outweigh
its economic benefits showed that current government policies related to shallot
farming is able to provide incentives for shallot farmers in the three study sites.
The analysis of the competitiveness of shallot farming in Cirebon, Brebes and
Tegal showed that shallot farming in the three study sites have weak

competitiveness. PCR values received Shallot farmers in Cirebon range between
0.80-1.14, in Brebes at 0.96-1.03 and in Tegal at 0.79-1.22. Shallot farmers in
Cirebon has a competitive advantage in the first and second dry season, farmers in
Brebes get in the rainy season and farmers in Tegal get in the rainy season and the

second dry season. Meanwhile, shallot farming in the three study sites show does
not have a comparative advantage because DRCR obtained more than one in three
locations. DRCR obtained in Cirebon at 1.53-1.79, in Brebes at 2.50-2.60 and in
Tegal at 2.16-2.59. Weak competitiveness of shallot in three locations due to low
productivity and high costs shallot production.
Based on the results of the impact of government policy analysis on output is
known that the government provide protection against the price of shallots in the
country through the regulation of import restrictions, import tariffs, and the import
reference price of Shallot. The policy is causing the price of shallots in the country
is higher than the price of shallot in the international market level. Meanwhile, the
government's policy towards the input is still a disincentive to farmers. Shallot
farmers have to pay for inputs more expensive than it should be because of the level
of government protection against Shallot farming inputs weak. But simultaneously,
the policy input and output prevailing shallot farming in Indonesia is still supportive
of shallot production in the country. The government's policy to increase the
productivity of shallot, shallot increase selling prices and lower production costs
simultaneously increasing the competitiveness of shallot in the three study sites.
Keywords: Competitiveness, Policy Analysis Matrix, Shallot Farming

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAYASAING BAWANG MERAH DI WILAYAH SENTRA
PRODUKSI DI INDONESIA

HARIS FATORI ALDILA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Amzul Rifin, SP, MA

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah dayasaing,
dengan judul Dayasaing Bawang Merah di Wilayah Sentra Produksi di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan Dr Ir
Netti Tinaprilla, MM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan
bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Amzul Riffin, SP, MA selaku penguji luar
komisi pada ujian tesis dan Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku penguji wakil
program studi yang telah banyak memberi saran dalam perbaikan tesis ini. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik, dan seluruh keluarga besar,
serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya

kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat
Kajian Hortikultura Tropika IPB yang telah memfasilitasi dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dinas
Pertanian Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal yang telah membantu selama
pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan
dukungan kepada rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016
Haris Fatori Aldila

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
9
9
10

2 TINJAUAN PUSTAKA
Agribisnis Bawang Merah di Indonesia
Dayasaing Bawang Merah di Indonesia
Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Hortikultura
Pengukuran Dayasaing

10
10
15
17
19

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Konsep Dayasaing
Mekanisme Perdagangan Internasional
Konsep Kebijakan Pemerintah
Policy Analysis Matrix (PAM)
Kerangka Pemikiran Operasional

24
24
27
29
36
38

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

42
42
42
43

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Petani Responden
Keragaan Usahatani Bawang Merah di Lokasi Penelitian
Pemasaran Bawang Merah di Lokasi Penelitian
Penerapan Kebijakan Input-Output pada Usahatani Bawang Merah

55
55
58
60
73
76

6 DAYASAING USAHATANI BAWANG MERAH
Keuntungan Usahatani Bawang Merah di Cirebon, Brebes, dan Tegal
Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Bawang Merah di
Cirebon, Brebes, dan Tegal
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Dayasaing Bawang Merah di
Cirebon, Brebes, dan Tegal

80
80
88
99

Analisis Sensitivitas Dayasaing Usahatani Bawang Merah di Cirebon,
Brebes, dan Tegal
106
Alternatif Kebijakan untuk Peningkatan Dayasaing Usahatani Bawang
Merah
128
7 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

133
133
134

DAFTAR PUSTAKA

136

LAMPIRAN

142

RIWAYAT HIDUP

164

DAFTAR TABEL
1 Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia
tahun 2010-2014
2 Neraca perdagangan bawang merah tahun 2010-2014
3 Tipe alternatif kebijakan pemerintah
4 Policy analysis matrix (PAM)
5 Tabulasi matrix analisis kebijakan
6 Karakteristik petani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan
Tegal
7 Identifikasi hama dan penyakit pada tanaman bawang merah yang
terjadi di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal
8 Produktivitas dan harga jual bawang merah per musim di Kabupaten
Cirebon, Brebes, dan Tegal musim tanam tahun 2013-2014
9 Kebutuhan benih dan harga benih pada budidaya bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal pada musim tanam tahun 20132014
10 Jumlah penggunan pupuk pada budidaya bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal pada musim tanam tahun 2013-2014
11 Jumlah pengeluaran obat-obatan pada budidaya bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal pada musim tanam tahun 20132014
12 Kebutuhan tenaga kerja budidaya bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal pada musim tanam tahun 2013-2014
13 Keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal pada musim tanam tahun 2013-2014
14 Keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di lokasi
penelitian menurut musim pada musim tanam tahun 2013-2014
15 Struktur biaya usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes
dan Tegal musim tanam tahun 2013-2014

3
4
29
37
48
59
65
67

69
71

72
73
81
82
83

16 Indikator keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang
merah di Cirebon, Brebes dan Tegal menurut musim pada musim
tanam 2013-2014
17 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output usahatani
bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal pada musim
tanam tahun 2013-2014
18 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani
bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal pada musim
tanam tahun 2013-2014
19 Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output
usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal
pada musim tanam tahun 2013-2014
20 Dampak kenaikan harga output sebesar 17 persen terhadap keuntungan
privat dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon,
Brebes dan Tegal per musim tanam
21 Dampak perubahan harga output terhadap keunggulan kompetitif dan
komparatif usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes
dan Tegal per musim tanam
22 Dampak peningkatan produktivitas bawang merah menjadi 20 ton/ha
terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
23 Dampak peningkatan produktivitas bawang merah menjadi 20 ton/ha
terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang
merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
24 Tingkat break even point produktivitas bawang merah pada tingkat
harga sosial (border price)
25 Dampak penurunan harga benih bawang merah menjadi Rp 10 000/kg
terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
26 Dampak penurunan harga benih bawang merah menjadi Rp 10 000/kg
terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang
merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
27 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keuntungan
privat dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon,
Brebes dan Tegal per musim tanam
28 Dampak penurunan penggunaan tenaga kerja terhadap keunggulan
kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
29 Dampak penurunan biaya obat-obatan sebesar 82 persen terhadap
keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
30 Dampak penurunan biaya obat-obatan sebesar 82 persen terhadap
keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
31 Dampak pelemahan nilai tukar rupiah menjadi Rp 14 728/US$
terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah di
Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam

89

100

103

105

107

108

109

110
111

112

113

114

115

116

117

118

32 Dampak pelemahan nilai tukar rupiah menjadi Rp 14 728/US$
terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani bawang
merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
33 Dampak penurunan biaya produksi terhadap keuntungan privat dan
sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan
Tegal per musim tanam
34 Dampak penurunan biaya produksi terhadap keunggulan kompetitif
dan komparatif usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon,
Brebes dan Tegal per musim tanam
35 Dampak peningkatan harga bawang merah dengan penurunan biaya
produksi terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani bawang
merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
36 Dampak peningkatan harga bawang merah dengan penurunan biaya
produksi terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani
bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim
tanam
37 Dampak peningkatan produktivitas bawang merah dengan penurunan
biaya produksi terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani
bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim
tanam
38 Dampak peningkatan produktivitas bawang merah dengan penurunan
biaya produksi terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif
usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per
musim tanam
39 Dampak peningkatan harga bawang merah dan produktivitas bawang
merah dengan penurunan biaya produksi terhadap keuntungan privat
dan sosial usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan
Tegal per musim tanam
40 Dampak peningkatan harga bawang merah dan produktivitas bawang
merah dengan penurunan biaya produksi terhadap keunggulan
kompetitif dan komparatif usahatani bawang merah di Kabupaten
Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
41 Dampak kombinasi peningkatan harga bawang merah, peningkatan
produktivitas, penurunan biaya produksi dan pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap keuntungan privat dan sosial usahatani bawang merah
di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim tanam
42 Dampak kombinasi peningkatan harga bawang merah, peningkatan
produktivitas, penurunan biaya produksi dan pelemahan nilai tukar
rupiah terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani
bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal per musim
tanam

119

120

120

122

122

123

124

125

125

126

127

DAFTAR GAMBAR
1 Perbandingan harga bawang merah dalam negeri dengan harga
bawang merah impor tahun 2013-2014
2 Volume impor dan produksi bawang merah menurut bulan tahun
2014
3 Mekanisme terjadinya perdagangan internasional
4 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang
ekspor dan impor
5 Pajak dan subsidi pada input tradable
6 Pajak dan subsidi pada input non tradable
7 Kerangka pemikiran operasional
8 Pola tanam I bawang merah secara monokultur di dataran rendah
yang dilakukan oleh petani responden di lokasi penelitian pada
musim tanam Oktober 2013 sampai Oktober 2014
9 Pola tanam II bawang merah secara monokultur di dataran rendah
yang dilakukan oleh petani responden di lokasi penelitian pada
musim tanam Oktober 2013 sampai Oktober 2014
10 Salah satu pola tanam bawang merah yang dilakukan oleh petani
responden di lahan dataran tinggi Kabupaten Tegal pada musim
tanam Oktober 2013-Oktober 2014

6
7
28
32
34
35
41

61

62

63

DAFTAR LAMPIRAN
1 Produksi dan pangsa produksi bawang merah di provinsi sentra
produksi bawang merah di Indonesia
2 Alokasi komponen biaya input domestik dan asing pada usahatani
bawang merah
3 Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange
rate tahun 2014
4 Perhitungan harga bayangan output
5 Perhitungan harga bayangan benih bawang merah
6 Perhitungan harga bayangan pupuk urea
7 Perhitungan harga bayangan pupuk TSP
8 Perhitungan harga bayangan pupuk KCl
9 Perhitungan harga bayangan pupuk ZA
10 Perhitungan harga bayangan pupuk phonska
11 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah kabupaten
Cirebon
12 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Cirebon musim hujan
13 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Cirebon musim kemarau I
14 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Cirebon musim kemarau II

143
144
145
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155

15 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Brebes
16 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Brebes musim hujan
17 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Brebes musim kemarau I
18 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Brebes musim kemarau II
19 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Tegal
20 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Tegal musim hujan
21 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Tegal musim kemarau I
22 Analisis budget privat dan sosial usahatani bawang merah Kabupaten
Tegal musim kemarau II

156
157
158
159
160
161
162
163

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan dayasaing produk pertanian telah menjadi fokus utama dalam
program pembangunan pertanian di Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam program
Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019. Salah satu sasaran
strategis yang ingin dicapai Kementerian Pertanian tahun 2015-2019 adalah
peningkatan komoditas bernilai tambah dan berdayasaing dalam memenuhi pasar
ekspor dan substitusi impor (Kementan 2015). Peningkatan dayasaing produk
pertanian menjadi perhatian utama karena Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar
yang semakin liberal. Liberalisasi perdagangan telah menjadi salah satu isu penting
dalam perdagangan termasuk dalam perdagangan komoditas pertanian. Sebagai
negara yang menganut ekonomi terbuka (open economic) situasi pasar domestik di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh gejolak pasar dunia yang semakin liberal.
Proses liberalisiasi pasar tersebut dapat terjadi karena kebijakan unilateral dan
konsekuensi keikutsertaan meratifikasi kerjasama perdagangan regional maupun
global yang menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan baik kendala
tarif maupun non tarif (Hardono et al. 2004). Salah satu bentuk kerja sama ekonomi
regional yang saat ini sedang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah kerja sama
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dilaksanakan mulai pada tahun 2016.
MEA adalah bentuk integrasi ekonomi di kawasan ASEAN di mana ASEAN
sebagai pasar tunggal dan basis produksi. MEA merupakan langkah lebih maju dan
komperhensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade
Area/AFTA). Kesepakatan dalam MEA memungkinkan adanya aliran produk
(barang dan jasa), tenaga kerja terampil, investasi dan arus modal yang lebih bebas
di negara-negara kawasan ASEAN. Dalam kesepakatan MEA ini, arus perdagangan
bebas barang mengharuskan adanya penurunan dan penghapusan tarif secara
signifikan (0-5 persen) maupun penghapusan hambatan non tarif sesuai skema yang
sudah diatur dalam AFTA. MEA bertujuan menciptakan pasar bebas di kawasan
ASEAN serta menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang
kompetitif sehingga produk-produk ASEAN memiliki dayasaing kuat di pasar
global. Kondisi ini tentu saja menjadi peluang sekaligus tantangan bagi bangsa
Indonesia terutama bagi pemasaran produk pertanian di Indonesia. Menurut Irawan
(2003), liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru
dalam pengembangan komoditas pertanian ke depan. Dikatakan memberi peluang
karena pasar komoditas pertanian akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya
berbagai hambatan perdagangan antar negara. Namun, liberalisasi perdagangan
tersebut akan menimbulkan masalah jika komoditas pertanian yang dihasilkan
petani di dalam negeri tidak mampu bersaing dengan komoditas pertanian dari
negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas pertanian
impor, yang pada akhirnya akan merugikan petani di dalam negeri (Supriyati dan
Rachman 2003).
Semakin terbukanya pasar di ASEAN dengan dihilangkannya hambatan tarif
maupun non tarif menyebabkan semakin bebasnya arus keluar-masuk produk
pertanian antar negara ASEAN yang berdampak pada semakin ketatnya persaingan
pasar. Dalam mengatasi ketatnya pesaingan pasar maka diperlukan peningkatan

2

efisensi produksi dalam negeri sebagai upaya peningkatan dayasaing. Apabila
dayasaing komoditas pertanian di dalam negeri lemah maka pasar dalam negeri
akan dibanjiri oleh produk impor dari negara lain yang memiliki dayasaing lebih
tinggi. Hal tersebut tentu saja akan merugikan bagi petani yang ada di dalam negeri.
Supaya dapat bersaing dengan produk impor, peningkatan produksi komoditas
pertanian di dalam negeri perlu diiringi dengan peningkatan dayasaing dan efisiensi
usaha (Irawan 2003). Salah satu komoditas pertanian yang saat ini mendapat
perhatian serius dari pemerintah terkait dengan peningkatan dayasaingnya adalah
bawang merah. Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
banyak dikembangkan di Indonesia dan memiliki peranan penting bagi
perekonomian di Indonesia.
Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Hal
ini dikarenakan perubahan harga bawang merah dapat mempengaruhi inflasi. Data
inflasi bulanan dari BPS menunjukkan selama tahun 2011-2013 inflasi tertinggi
terjadi pada bulan Juli 2013 dengan nilai inflasi sebesar 3.29 persen. Salah satu
penyebab inflasi yang tinggi ini adalah adanya kenaikan harga bawang merah.
Harga bawang merah pada bulan Juli 2013 naik sebesar 67.04 persen dari bulan
Juni 2013. Bawang merah menyumbang 0,48 persen terhadap inflasi bulan Juli
2013 (BPS 2013). Nilai kontribusi bawang merah terhadap inflasi ini merupakan
yang tertinggi diantara kelompok bahan makanan lainnya. Hal tersebut yang
menyebabkan bawang merah masuk dalam kelompok produk pertanian penting
pengendali inflasi bersama dengan cabai dan bawang putih (Kementan 2015).
Sebagai salah satu komoditas pertanian yang dapat menyebabkan inflasi, agribisnis
bawang merah di Indonesia tidak terlepas dari campur tangan pemerintah baik pada
aspek produksi maupun pada aspek perdagangan.
Bawang merah merupakan komoditas pertanian yang sudah banyak
dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Usahatani bawang merah merupakan
sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup
tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Deptan 2005). Hal ini tidak
terlepas dari status bawang merah sebagai salah satu komoditas hortikultura yang
termasuk dalam kategori komoditas bernilai tinggi (high value comodity) sehingga
banyak petani yang mengusahakannya. Usahatani bawang merah sudah tidak lagi
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani semata tetapi sudah
berorientasi pada usaha komersial. Hal ini dilakukan petani karena usahatani
bawang merah mampu mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan usahatani pada komoditas pangan seperti padi atau jagung.
Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Bandung (2006) yang dikutip dalam
Natawidjaja (2007) menunjukkan bahwa petani memperoleh pendapatan dari
usahatani padi sawah Rp 6.6 juta/ha/musim dan jagung Rp 4.5 juta/ha/musim.
Sedangkan petani yang mengusahakan bawang merah memperoleh pendapatan
mencapai Rp 40 juta/ha/musim. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usahatani
bawang merah menjadi salah satu akternatif dalam meningkatkan pendapatan
petani.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memproduksi bawang
merah yang ditunjukkan dengan produksi bawang merah yang semakin meningkat
dari tahun 2010 sampai 2014. Rata-rata peningkatan produksi bawang merah di
Indonesia selama lima tahun terakhir sebesar 4.85 persen per tahun. Pada tahun

3

2011, produksi bawang merah turun drastis sebesar 14.85 persen dari produksi
tahun 2010. Namun setelah tahun 2011, produksi bawang merah kembali
meningkat dengan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar 21.48
persen dari tahun sebelumnya. Dalam periode lima tahun terakhir, produksi bawang
merah tertinggi dicapai pada tahun 2014 yaitu sebesar 1 227 839 ton per tahun. Luas
panen bawang merah juga mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 21.25
persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Peningkatan luas panen pada tahun
2014 ini merupakan yang terbesar selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Produktivitas bawang merah di Indonesia mencapai 10.22 ton/ha pada tahun 2013
meningkat menjadi 10.23 ton/ha pada tahun 2014. Rata-rata peningkatan
produktivitas bawang merah sebesar 1.72 persen per tahun dalam lima tahun
terakhir. Secara lebih rinci mengenai perkembangan luas panen, produksi dan
produktivitas bawang merah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun
2010-2014
Luas Panen
Tahun

Produksi
Pertumbuhan
(%)
0

Produktivitas
Pertum(Ton/Ha)
buhan
(%)
9.57
0

(Ha)

Pertumbuhan (%)

(Ton)

2010

109 634

0

1 048 934

2011

93 667

-14.56

893 124

-14.85

9.54

-0.31

2012

99 519

6.25

964 221

7.96

9.69

1.57

2013

98 937

-0.58

1 010 773

4.83

10.22

5.47

2014
119 966
21.25
1 227 839
Sumber : http://bps.go.id [Diakses 17 Desember 2015]

21.48

10.23

0.15

Sentra produksi bawang merah di Indonesia terkonsentrasi pada pulau Jawa.
Pulau Jawa konsisten dalam memberikan sumbangan terbesar terhadap produksi
bawang merah dalam kurun waktu tahun 2010-2014. Menurut data dari BPS, pulau
Jawa menyumbang rata-rata 74.63 persen produksi bawang merah di Indonesia. Di
antara provinsi yang ada di pulau Jawa, Jawa Tengah merupakan provinsi yang
mendominasi pada sumbangan produksi bawang merah yaitu sebesar 43 persen
terhadap produksi nasional. Rata-rata produksi bawang merah di Jawa Tengah
selama lima tahun terakhir sebesar 439 851 ton per tahun. Jawa Timur menempati
urutan kedua dalam sumbangan produksi bawang di Indonesia dengan kontribusi
sebesar 21 persen. Selanjutnya urutan ketiga penyumbang produksi bawang merah
terbesar di Indonesia ditempati oleh provinsi Jawa Barat dengan kontribusi sebesar
11 persen.
Permintaan bawang merah dari dalam negeri ternyata belum sepenuhnya
dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Walaupun Indonesia memiliki potensi
yang besar dalam memproduksi bawang merah, permintaan bawang merah dalam
negeri masih dipenuhi dari impor. Indonesia mengimpor bawang merah dari
beberapa negara di antaranya Thailand, Vietnam, India, Filipina, Malaysia dan
Cina. Selama periode tahun 2010-2014, Indonesia masih menjadi net importer
bawang merah. Volume ekspor untuk komoditas bawang merah secara konsisten
selalu lebih rendah dibandingkan volume impornya. Hal tersebut mengindikasikan

4

bahwa pasar bawang di Indonesia masih dibanjiri oleh bawang impor.
Perkembangan ekspor dan impor bawang merah di Indonesia selama periode tahun
2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Neraca perdagangan bawang merah tahun 2010-2014
Keterangan
Ekspor
Volume (Ton)
Nilai (000 US$)
Impor
Volume (Ton)
Nilai (000 US$)
Neraca
Volume (Ton)
Nilai (000 US$)

2010

2011

Tahun
2012

3 234
1 814

13 792
6 594

18 754
8 552

4 982
2 985

4 439
2 978

73 270
33 862

160 467
77 444

120 354
53 615

96 139
54 009

74 903
28 309

-70
036
-32
048

-146
675

-101
600

-70 850

-45 063

-91
157
-51
023

-70
464
-25
331

2013

2014

Sumber : Pusdatin (2015)

Jika dilihat berdasarkan total produksi bawang merah dalam satu tahun,
jumlah produksi bawang merah sebenarnya sudah dapat mecukupi kebutuhan
konsumsi bawang merah bagi masyarakat di Indonesia bahkan terjadi surplus
produksi. Sebagai gambaran, kosumsi per kapita bawang merah di Indonesia pada
tahun 2014 sebesar 2.49 kg/tahun (BPS 2015). Dengan jumlah penduduk sebesar
252 164 800 jiwa pada tahun 2014 (BPS 2015), maka total jumlah konsumsi
bawang merah oleh masyarakat di Indonesia sebesar 627 890 ton. Selain untuk
konsumsi langsung, bawang merah juga dimanfaatkan untuk bahan baku industri,
benih dan ekspor. Menurut Deptan (2005), kebutuhan bawang merah untuk industri
diperkirakan sebesar 40 000 ton/tahun. Kebutuhan benih bawang merah dalam
setahun mencapai 80 000 ton1. Kebutuhan untuk ekspor pada tahun 2014 hanya
sebesar 4 439 ton. Berdasarkan data tersebut maka diperkirakan total kebutuhan
bawang merah di dalam negeri mencapai 752 329 ton pada tahun 2014. Sementara
itu, pada tahun yang sama jumlah produksi bawang merah di Indonesia mencapai 1
227 839 ton, jauh lebih besar dibandingkan jumlah kebutuhannya. Total kebutuhan
bawang merah hanya sebesar 61 persen dari total produksi nasional. Terjadi surplus
produksi sebesar 475 510 ton pada tahun 2014 atau sebesar 39 persen dari total
produksi bawang merah nasional. Akan tetapi pada kenyataanya Indonesia masih
mengimpor bawang merah sebesar 74 903 ton pada tahun 2014.
Indonesia mampu memproduksi sendiri bawang merah bahkan mampu
menghasilkan surplus produksi, namun pada kenyataannya Indonesia masih
mengimpor bawang merah. Meskipun secara akumulasi dalam satu tahun produksi
bawang merah di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
kebutuhan bawang merah dalam negeri, produksi bawang merah di dalam negeri
1

http://finance.detik.com/read/2015/06/12/164509/2940967/4/ri-impor-benih-bawang-merah-darifilipina-kenapa-ya [Diakses 24 Maret 2016]

5

tidak merata sepanjang tahun. Produksi bawang merah masih bersifat musiman.
Kondisi tersebut menyebabkan pada saat-saat musim tertentu jumlah permintaan
bawang merah jauh lebih tinggi daripada jumlah ketersediaannya sehingga
kekurangan pasokan bawang merah dalam negeri harus dipenuhi dari impor.
Dengan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah, Indonesia
seharusnya dapat memenuhi kebutuhan bawang merah dari produksi dalam negeri.
Namun, kenyataan yang terjadi tidak demikian. Hal ini mengindikasikan bahwa
dayasaing usahatani bawang merah dalam negeri masih lemah sehingga Indonesia
masih banyak mengimpor produk bawang merah dari negara lain. Oleh karena itu
penting untuk dilakukan penelitian mengenai dayasaing usahatani bawang merah
di Indonesia sebagai produk substitusi impor bawang merah impor.
Perumusan Masalah
Bawang merah menjadi salah satu komoditas pertanian yang mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah karena bawang merah merupakan komoditas
strategis di Indonesia. Kondisi pasar yang semakin liberal menuntut bawang merah
di dalam negeri harus memiliki dayasaing supaya dapat bersaing dengan bawang
merah dari negara lain mengingat status Indonesia sampai saat ini masih menjadi
net importer bawang merah. Ketergantungan terhadap bawang merah impor di
Indonesia ini tidak terlepas dari masih adanya permasalahan yang saat ini dihadapi
oleh petani bawang merah di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi petani bawang
merah adalah rendahnya produktivitas bawang merah, tingginya biaya produksi dan
produksi yang masih bersifat musiman.
Rata-rata produktivitas bawang merah di Indonesia pada tahun 2014 hanya
mencapai 10.23 ton/ha, sedangkan produktivitas potensialnya bisa mencapai 20
ton/ha. Rendahnya produktivitas bawang merah terkait dengan permasalahan pada
sistem budidaya bawang merah. Petani masih dihadapkan beberapa kendala terkait
dengan penggunaan input produksi dan masalah infrastruktur pertanian. Petani
bawang merah sebagian besar menggunakan benih jabal (jaringan benih antar
lapang) yang tidak bersertifikat sehingga hasil produksi tidak optimal karena
kualitas benih tidak terjamin. Petani sangat jarang menggunakan benih bersertifikat
karena harga benih bersertifikat lebih mahal dan ketersediaannya juga masih
terbatas. Petani tidak sanggup membeli benih yang bersertifikat karena adanya
keterbatasan modal usaha. Permasalahan lain terkait dengan penggunaan input
yaitu penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan sehingga berdampak
pada penurunan kesuburan lahan dan kekebalan hama terhadap obat-obatan. Sarana
irigasi pertanian juga kurang mendukung sehingga sering terjadi kekeringan ketika
musim kemarau. Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada pencapaian
hasil produksi yang tidak optimal.
Selain kendala rendahnya produktivitas, produksi bawang merah dalam
negeri juga dihadapkan pada budidaya berbiaya tinggi. Budidaya bawang merah
membutuhkan biaya yang tinggi terutama untuk pembelian input pertanian seperti
benih dan biaya tenaga kerja. Tingginya biaya produksi bawang merah yang
dikeluarkan petani menyebabkan biaya produksi per kilogram bawang merah juga
tinggi mencapai Rp 10 000 - 12 000/kg. Tingginya biaya produksi tersebut
menyebabkan harga jualnya juga tinggi. Berdasarkan data harga eceran bawang

6

merah yang diperoleh dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa rata-rata
harga eceran bulanan bawang merah dalam negeri pada tahun 2013-2014 berkisar
antara Rp 18 898 – 60 768/kg dengan harga rata-rata sebesar Rp 28 479/kg.
Sementara itu, harga bawang merah impor jauh lebih rendah dari harga bawang
merah di dalam negeri. Harga bawang merah impor yang diperoleh dari harga c.i.f
(HS 0703102900) berkisar antara Rp 2 433 – 12 269/kg dengan harga rata-rata
sebesar Rp 5 139/kg. Perbedaan harga yang sangat jauh ini menyebabkan dayasaing
bawang merah dalam negeri lemah sehingga pasar dalam negeri masih banyak
dibanjiri oleh bawang merah impor karena harganya yang jauh lebih murah. Secara
lebih jelas, perkembangan rata-rata harga bulanan bawang merah di dalam negeri
dan harga bawang merah impor pada tahun 2013-2014 dapat dilihat pada Gambar
1.
70.000

Harga (Rp/Kg)

60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013
Harga Domestik

2014
Harga Impor

Gambar 1 Perbandingan harga bawang merah dalam negeri dengan harga bawang
merah impor tahun 2013-2014
Sumber : http://www.kemendag.go.id dan http://www.bps.go.id (diolah) [Diakses 07
September 2015]

Ketersediaan bawang merah yang tidak merata sepanjang tahun juga menjadi
salah satu penyebab Indonesia masih memiliki ketergantungan terhadap impor
bawang merah. Ketersediaan bawang merah yang tidak merata sepanjang tahun ini
dikarenakan produksi bawang merah di Indonesia masih bersifat musiman. Musim
tanam bawang merah (in season) pada umumnya dilakukan pada musim kemarau
yaitu pada bulan April-November. Sementara itu petani jarang menanam bawang
merah pada musim hujan yaitu pada bulan Desember – Maret (off season)
(Maryowani dan Darwis 2010; Winarso 2003; Purmiyati 2002). Menurut Purba
(2014), penanaman pada bulan Juli-September merupakan waktu yang terbaik yang
dapat memberikan hasil optimal bawang merah, sedangkan penanaman pada bulan
Januari-Februari merupakan musim terburuk. Tanaman bawang merah merupakan
tanaman hortikultura yang sangat peka terhadap hujan dan kekeringan (Widyantara
dan Yasa 2013). Petani tidak menanam bawang merah pada musim hujan
dikarenakan petani dihadapkan pada tingginya serangan penyakit dan jamur pada

7

bawang merah yang sulit untuk diatasi sehingga menyebabkan tingginya
kehilangan hasil panen bawang merah pada musim hujan (Purba dan Astuti 2013).
Pengaruh tingginya intensitas hujan juga menyebabkan terjadinya kerusakan fisik
pada daun bawang merah dan busuk umbi bawang merah. Selain itu, pada musim
hujan harga benih relatif lebih mahal dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini
dikarenakan ketersediaan benih pada musim hujan juga menurun sehingga
harganya meningkat (Putrasamedja 2010). Sementara itu pada musim kemarau,
petani dihadapkan pada tingginya serangan hama dan ancaman kekeringan.
Perbedaan musim tidak hanya berpengaruh terhadap hasil produksi bawang merah
tetapi juga berpengaruh terhadap harga jual bawang merah dan biaya yang
dikeluarkan. Hal tersebut berdampak pada adanya perbedaan keuntungan usahatani
bawang merah yang diperoleh pada setiap musim dan juga perbedaan dayasaing
bawang merah pada setiap musim (Rachman et al. 2004).
Penanaman bawang merah yang pada umumnya dilakukan pada musim
kemarau terjadi di hampir seluruh sentra produksi bawang merah di Indonesia
terutama sentra produksi di Pulau Jawa. Hal tersebut berdampak pada terjadinya
panen serentak di seluruh wilayah sentra produksi di Indonesia yang menyebabkan
produksi melimpah pada saat in season dan produksi menurun pada saat off season.
Kelebihan produksi pada saat in season tidak dapat dialihkan untuk mencukupi
kebutuhan saat off season sehingga memaksa pemerintah untuk melakukan impor
bawang merah pada saat off season untuk memenuhi kebutuhan bawang merah
dalam negeri. Perkembangan impor bawang merah selama tahun 2014
menunjukkan bahwa impor bawang merah mulai meningkat pada bulan Januari
hingga Maret dengan puncak impor tertinggi terjadi pada bulan Maret. Produksi
bawang merah terendah selama tahun 2014 terjadi pada bulan Maret ini.
Ketersediaan bawang merah yang rendah selama musim hujan menyebabkan impor
pada bulan Maret meningkat tajam. Sementara itu, impor bawang merah terendah
terjadi pada bulan Agustus. Pada bulan ini, produksi bawang merah dalam negeri
relatif tinggi sehingga kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi. Perkembangan
volume impor dan produksi bawang merah menurut bulan pada tahun 2014 dapat
dilihat pada Gambar 2.

160.000

Volume (Ton)

140.000
120.000
100.000
80.000
60.000
40.000
20.000
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Produksi

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nov

Des

Volume Impor

Gambar 2 Volume impor dan produksi bawang merah menurut bulan tahun 2014
Sumber: Pusdatin (2015)

8

Pengaruh musim tidak hanya berdampak pada adanya fluktuasi produksi
tetapi juga menyebabkan adanya fluktuasi harga. Sifat produk bawang merah yang
mudah rusak (perishable) menyebabkan harga cenderung fluktuatif dan perubahan
harga yang sangat cepat (Asmara dan Ardhiani 2010). Harga bawang merah sangat
berfluktuasi tergantung dengan kondisi pasar. Fluktuasi harga sangat tergantung
terhadap permintaan dan penawaran bawang merah. Selama dua tahun terakhir
(2013-2014), rata-rata harga eceran bulanan bawang merah tertinggi terjadi pada
bulan Agustus 2013 yaitu mencapai Rp 60 768/kg. Sedangkan harga eceran rataratanya sebesar Rp 28 479/kg. Tingginya harga bawang ini dikarenakan adanya
permintaan yang sangat tinggi karena bertepatan dengan hari raya idul fitri dan
adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Permintaan yang tinggi
tersebut tidak diimbangi dengan pasokan yang cukup sehingga menyebabkan harga
bawang merah meningkat tajam dibandingkan harga pada bulan-bulan lainnya.
Tingginya fluktuasi harga bawang merah tersebut memaksa Pemerintah
untuk membuat kebijakan berupa harga referensi untuk bawang merah melalui
Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri No 118/PDN/2013. Berdasarkan keputusan tersebut, harga referensi bawang
merah ditetapkan sebesar Rp 25 700,- per kg di rantai konsumen. Harga referensi
ini merupakan batas atas harga eceran bawang merah di tingkat konsumen yang
dijadikan acuan untuk mengambil keputusan impor bawang merah. Apabila harga
eceran bawang merah di tingkat konsumen melebihi harga referensi tersebut maka
pemerintah akan membuka kran impor bawang merah. Dengan adanya ketetapan
harga referensi ini diharapkan dapat meregulasi harga bawang merah dan juga
mencegah terjadinya pemasokan bawang merah impor yang tidak tepat.
Selain kebijakan harga referensi tersebut, sebelumnya pemerintah juga telah
mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan bawang merah di antaranya
kebijakan pengaturan impor hortikultura termasuk bawang merah didalamnya
melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 16/MDAG/PER/4/2013. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa bawang merah menjadi
salah satu komoditas yang diatur impornya. Pemerintah juga menetapkan tarif bea
masuk untuk bawang merah impor sebesar 20 persen melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 241/PMK.001/2010. Kebijakan-kebijakan tersebut disusun dalam
rangka mengendalikan impor bawang merah dalam negeri dan untuk mendukung
produksi bawang merah di dalam negeri.
Upaya pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri dan
meningkatkan dayasaing bawang merah dalam negeri juga diupayakan dengan
disusunnya kebijakan terkait dengan budidaya bawang merah. Salah satu kebijakan
pemerintah terkait dengan budidaya bawang merah adalah kebijakan subsidi pupuk.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian membuat peraturan mengenai
Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor
pertanian tahun anggaran 2015 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian
Nomor : 130/Permentan/SR.130/11/2014. Melalui peraturan tersebut, harga eceran
untuk pupuk bersubsidi telah diatur oleh pemerintah sehingga petani dapat
memperoleh pupuk dengan harga yang lebih murah. Pemerintah juga menetapkan
kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan kebijakan subsidi bunga kredit
untuk petani dalam rangka mendukung kegiatan usahatani bawang merah di
Indonesia.

9

Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan usahatani bawang merah dan
juga terkait dengan perdagangan bawang merah tentunya harus dapat meningkatkan
dayasaing dari bawang merah dalam negeri supaya tidak kalah bersaing dengan
bawang merah impor. Namun pada kenyataannya petani masih menghadapi
permasalahan pada usahatani bawang merah yang menyebabkan produksi tidak
optimal dan tingginya biaya produksi. Hal tersebut menyebabkan adanya disparitas
harga eceran yang besar antara harga bawang merah lokal dengan impor. Selain itu,
kebijakan pembukaan impor bawang merah yang dilakukan pemerintah
menyebabkan harga bawang merah dalam negeri turun. Pada saat harga turun maka
konsumen akan diuntungkan dengan adanya kebijakan impor tersebut namun di lain
pihak petani menjadi pihak yang dirugikan. Petani dirugikan karena ketika bawang
merah impor masuk, harga bawang merah dalam negeri akan jatuh yang
menyebabkan pendapatan petani menurun sehingga menyebabkan kerugian. Dari
uraian permasalahan tersebut maka timbul pertanyaan yang mendasari penelitian
ini yaitu:
1. Bagaimana dayasaing usahatani bawang merah di wilayah sentra produksi di
Indonesia dilihat dari tingkat profitabilitas finansial dan ekonominya?
2. Apakah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka
mendukung usahatani bawang merah mampu meningkatkan dayasaing bawang
merah dalam negeri?
Tujuan Pen