Densitas Gizi Dan Keterkaitannya Dengan Status Gizi Pada Anak Sdn Pekayon 16 Pagi.

DENSITAS GIZI DAN KETERKAITANNYA DENGAN STATUS
GIZI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) PEKAYON
16 PAGI

ANNISA YURI EKANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Densitas Gizi dan
Keterkaitannya dengan Status Gizi pada Anak SDN Pekayon 16 Pagi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Annisa Yuri Ekaningrum
NIM I151140471

RINGKASAN
ANNISA YURI EKANINGRUM. Densitas Gizi dan Keterkaitannya dengan
Status Gizi pada Anak SDN Pekayon 16 Pagi. Dibimbing oleh DADANG
SUKANDAR dan DRAJAT MARTIANTO.
Salah satu masalah gizi yang dialami oleh anak usia sekolah adalah
gizi lebih. Masalah ini meningkat dari tahun ke tahunnya baik di negara
maju maupun di negara berkembang. Gizi lebih tidak hanya berdampak
pada kesehatan fisik namun juga berdampak pada kesehatan psikologis.
Provinsi dengan prevalensi gizi lebih tertinggi berdasarkan data
RISKESDAS (2013) adalah DKI Jakarta. Fenomena ini tidak hanya terdapat
pada masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah ke atas saja
namun juga pada masyarakat menengah ke bawah. Penurunan daya beli
membuat masyarakat mengganti makanan yang relatif mahal dengan

makanan yang relatif murah harganya. Beberapa argumen menunjukkan
bahwa makanan dengan harga murah biasanya merupakan makanan dengan
densitas energi yang tinggi sedangkan makanan yang rendah densitas energi
seperti sayur dan buah mahal biayanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui densitas gizi dan faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi pada anak SDN Pekayon 16 Pagi.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui hubungan
densitas energi makanan dengan densitas zat gizi pangan, 2) untuk
mengetahui hubungan densitas energi makanan dan densitas zat gizi pangan
dengan harga pangan subjek, 3) untuk mengetahui hubungan densitas energi
konsumsi dan densitas asupan zat gizi dengan status sosial ekonomi, dan 4)
untuk menganalisis densitas asupan zat gizi dan faktor lainnya dengan status
gizi.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang dilaksanakan
pada bulan Januari 2016 sampai dengan Mei 2016 di SDN Pekayon 16 Pagi.
Subjek penelitian berjumlah 158 anak kelas 3, 4, dan 5 yang sehat, bersedia
mengikuti penelitian, dan tidak menjalani upaya perbaikan makan seperti
diet. Subjek dipilih berdasarkan metode penarikan sampel acak berlapis
dengan alokasi proporsional. Data karakteristik anak dan karakteristik
keluarga dikumpulkan dengan metode wawancara. Berat badan anak dan ibu
diukur langsung menggunakan timbangan injak yang telah dikalibrasi

dengan ketelitian 0.1 kg serta pengukuran tinggi badan anak dan ibu
menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. Penyajian data
menggunakan distribusi frekuensi dan persentase. Analisis statistik yang
digunakan adalah korelasi Spearman dan Pearson serta analisis multivariat
menggunakan regresi linier berganda dengan metode Backward.
Penelitian menunjukkan bahwa usia subjek berkisar antara 8-13 tahun.
Rata-rata z-skor IMT/U pada laki-laki yaitu 0.126 sedangkan pada
perempuan sebesar -0.096. Sebagian besar siswa/i SDN Pekayon 16 Pagi
memiliki densitas asupan protein yang cukup namun rendah densitas asupan
kalsium, vitamin A, dan vitamin C. Model regresi linier sederhana dengan
persamaan y=13.23-3.01 Dietary Energy Density menunjukkan bahwa
semakin rendah densitas energi makanan maka semakin tinggi densitas zat

gizi pangannya. Terdapat hubungan yang negatif antara densitas energi
dengan harga pangan (r=-0.622). Akan tetapi, terdapat hubungan yang
positif antara densitas zat gizi pangan dengan harga pangan (r=0.614).
Berdasarkan konteks nilai zat gizi per unit biaya, nilai tertinggi diperoleh
pada pangan nabati, pangan sayuran buah, pangan sayuran daun, dan buahbuahan. Densitas asupan zat gizi tidak berhubungan dengan status gizi dan
status sosial ekonomi (p>0.05). Densitas energi konsumsi berhubungan
positif dan cukup kuat dengan status gizi (r=0.402). Densitas vitamin C baik

pada anak yang berasal dari keluarga dengan pendapatan per kapita bawah,
menengah, dan atas masih tergolong rendah.
Dari model akhir regresi linier berganda diperoleh bahwa variabel
yang berhubungan terhadap status gizi adalah berat lahir, status gizi ibu,
pengetahuan gizi ibu, pemberian makanan padat kurang dari 6 bulan,
pemberian ASI eksklusif, tingkat kecukupan lemak, dan frekuensi konsumsi
makanan yang mengandung karbohidrat dengan R2=0.15. Faktor yang
berpengaruh sangat signifikan terhadap status gizi adalah berat lahir
(p=0.001).
Kata kunci: IMT/U, kualitas konsumsi, densitas energi, harga pangan

SUMMARY
ANNISA YURI EKANINGRUM. Nutrient Density and Its Relation to
Nutritional Status among Pekayon 16 Pagi Elementary School Children.
Supervised by DADANG SUKANDAR and DRAJAT MARTIANTO.
One of nutrition problem among school-children is overweight and
obesity. Overweight and obesity prevalence increases year by year in
developing and developed countries. This problem does not affect not only
towards physical health but also on physiological health. Province with
highest overweight and obesity prevalence based on Basic Health Research

Data (2013) is DKI Jakarta. This phenomenon does not only exist on people
with high socioeconomic status but also on people with low socioeconomic
status. Low purchasing power makes people replacing expensive foods with
cheap foods relatively. The arguments from previous studies reveal that high
energy density foods have lower cost whereas low energy density foods
such as fruits and vegetables have higher cost.
The main objective of this study were to analyze nutrient density and
factors related to nutritional status among Pekayon 16 Pagi elementary
school children. Specifically, it was aimed to: 1) analyze relation between
energy density and nutrient density, 2) analyze relation between nutrient
density and food price, 3) analyze relation between nutrient intake density
and socioeconomic status, and 4) analyze nutrient intake density and the
other factors related to nutritional status.
This study used cross sectional design and was conducted on January
2016 until May 2016 in Pekayon 16 Pagi elementary school. Subjects were
158 children from 3rd, 4th, 5th grade who were healthy, ready to follow this
study, and not go through on diet upgrading program. Subject were selected
using stratified random sampling with proportional allocation technique.
Data of children and family characteristics were collected by interview.
Children and mother’s weight was measured by weight scales 0.1 kg and

height was measured by microtoise scales 0.1 cm. Data was displayed using
frequency and percentage distribution. Statistic analysis used Spearman and
Pearson correlation and multivariate analysis using multiple linear
regression with Backward method.
Study showed that age of subjects were 8 until 13 years old. Mean of
BMI-for-age z-score for boys was 0.126 whereas for girls was -0.096. Most
of subjects had adequate protein intake density but low calcium, vitamin A,
and vitamin C intake density. Simple linear regression with equation
y=13.23-3.01 Dietary Energy Density showed that more lower energy
density of foods so more higher those food prices. Energy density was
negatively correlated between with food price (r=-0.622). Nevertheless,
nutrient density was positively correlated with food price (r=0.614). Based
on nutrient values per unit cost, highest values were obtained on legumes,
vegetables, and fruits. Nutrient intake density was not correlated with
nutritional status (BMI-for age) and socioeconomic status (p>0.05). Energy
intake density was positively correlated with nutritional status (r=0.402).

Vitamin C intake density of subjects from low, middle, and high
socioeconomic status were classified as low.
Multiple linear regression-final model showed that variables related

to nutritional status were birth weight, mother’s nutritional status, nutrition
knowledge of mother, complementary feeding history less than 6 months
old, exclusive breast-feeding, fat adequacy level, and frequency of
carbohydrate consumption with R square values 0.15. Birth weight was the
factor that most related to nutritional status (p=0.001).
Keywords: BMI-for-age, diet quality, energy density, food price

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DENSITAS GIZI DAN KETERKAITANNYA DENGAN STATUS
GIZI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) PEKAYON

16 PAGI

ANNISA YURI EKANINGRUM

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Cesillia Meti Dwiriani MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan ini November 2015 adalah Densitas Gizi dan Keterkaitannya dengan
Status Gizi pada Anak SDN Pekayon 16 Pagi. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Prof Dr Ir Dadang Sukandar MSc dan Dr Ir Drajat Martianto MSi
selaku pembimbing serta ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani dan Prof. Dr. Ir.
Ikeu Tanziha MS selaku penguji dan pembahas yang telah memberikan
saran dan masukkan demi kesempurnaan penyusunan tesis ini. Disamping
itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada SDN Pekayon 16 Pagi
yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data lapangan. Penulis
berterima kasih kepada rekan-rekan tim enumerator dan Yuda Heksa
Prayoga yang juga banyak membantu selama pelaksanaan penelitian,
partner Pasca Ilmu Gizi angkatan 2014 yang semasa pendidikan selalu
saling membantu dan mendoakan, serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian
penyusunan tesis ini. Kemudian penulis juga menyampaikan terimakasih
terutama kepada orang tua yaitu Bapak Urip Yulianto dan Ibu Noorbaity
atas segala limpahan doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016


Annisa Yuri Ekaningrum

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanyaan Penelitian
Tujuan
Tujuan Umum
Kegunaan
Hipotesis
2 TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi
Cara Penilaian Status Gizi
Karakteristik Anak Usia Sekolah

Karakteristik Orang Tua
Karakteristik Sosial dan Ekonomi
Biaya Bahan Makanan
Penilaian Kualitas Pangan
Pola Makan Anak
3 KERANGKA PEMIKIRAN
4 METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Anak
Karakteristik Keluarga
Pola Konsumsi Anak
Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas Energi Konsumsi dan Asupan Zat Gizi
Hubungan Densitas Gizi dengan Harga Pangan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ii
iii
iii
1
1
3
3
3
3
4
4
4
6
8
10
11
12
13
15
16
18
18
18
19
21
28
29
29
34
37
41
43
45
49
51
52
52
53
54
62
75

ii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Komplikasi yang berhubungan dengan gizi lebih pada anak dan remaja
(Kliegman et al. 2006)
5
Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai batas IMT
7
Klasifikasi Status Gizi Anak Berdasarkan Nilai Z-Skor Untuk IMT/U
7
Angka Kecukupan Gizi (2013) untuk anak usia sekolah
9
Pengelompokkan makanan berdasarkan densitas energi
13
Zat gizi yang dioptimalkan dan dibatasi pada model NRF
14
Jenis dan cara pengumpulan data
20
Physical Activity Ratio (PAR) berbagai aktivitas fisik
22
Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL
23
Acuan RDV dan MRV untuk zat gizi berdasarkan konsumsi 2000 kkal
24
Standar densitas asupan zat gizi
25
Kategori variabel penelitian
25
Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin dan status gizi
29
Sebaran kelompok pangan berdasarkan skor NRF dan harga pangan
31
Sebaran status gizi anak berdasarkan berat lahir
31
Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik
32
Distribusi kegiatan aktivitas fisik berdasarkan median, nilai minimum,
dan
nilai maksimum (menit)
33
Sebaran subjek berdasarkan pendapatan keluarga, status gizi ibu, dan
pengetahuan gizi ibu
34
Item pertanyaan multiple choice terkait pengetahuan gizi
35
Item pernyataan mengenai pengetahuan gizi ibu
36
Sebaran status gizi anak berdasarkan riwayat pemberian makan
37
Frekuensi konsumsi pangan murid SDN Pekayon 16 Pagi (kali/minggu) 39
Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi karbohidrat dan berlemak 40
Rata-rata asupan, angka kecukupan, serta tingkat kecukupan gizi siswa/i SDN
Pekayon 16 Pagi
41
Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein
41
Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak
42
Median skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food (NRF)
9.3 Index Value
44
Rata-rata densitas asupan zat gizi siswa/i SDN Pekayon 16 Pagi
46
Sebaran subjek berdasarkan densitas asupan zat gizi
46
Sebaran densitas asupan zat gizi subjek berdasarkan status sosial ekonomi 48
Hasil uji korelasi Spearman antara densitas gizi dengan harga pangan
49
Model akhir regresi linear berganda faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi dalam metode Backward
51

iii

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian makanan
12
Kerangka pemikiran densitas gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
status gizi
17
Kerangka sampel penelitian
19
Sebaran status gizi (IMT/U) berdasarkan jenis kelamin siswa
30
Sebaran status gizi (IMT/U) subjek
30
Sebaran kualitas zat gizi pangan berdasarkan median skor densitas energi dan
zat gizi pangan
45
Boxplot densitas energi konsumsi diantara kelompok status gizi anak
47
Scatter plot densitas zat gizi pangan dengan harga pangan
50
DAFTAR LAMPIRAN

1

Sebaran jenis pangan berdasarkan densitas zat gizi pangan dan densitas energi
pangan
63
2 Sebaran jenis pangan yang dikonsumsi responden berdasarkan kategori NRF
9.3/100 kkal
66
3 Sebaran jenis pangan berdasarkan biaya (rupiah)/100 kkal
68
4 Asumsi heteroskedastisitas
70
5 Asumsi normalitas dalam regresi linier berganda
70
6 Grafik P-P Plot dalam asumsi normalitas
71
7 Diagnostik multicollinearity
71
8 Dokumentasi penelitian
72
9 Lembar persetujuan komite etik FKUI
73
10 Algoritma nutrient profilling system
74

iv

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia (SDM). Anak merupakan suatu generasi penerus suatu bangsa yang
harus diperhatikan sejak dini. Akan tetapi, di negara berkembang seperti
Indonesia seringkali ditemukan masalah gizi baik gizi kurang maupun gizi lebih.
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah yang disebabkan oleh berbagai
faktor yang terkait antara satu dengan lainnya (Supariasa 2001). Masalah tersebut
dapat terjadi pada seluruh kelompok umur yang dapat mempengaruhi status gizi
pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact) (Salimar et
al 2009). Salah satu siklus kehidupan yang sangat penting yaitu masa anak usia
sekolah. Masa usia sekolah merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
anak menuju masa remaja sehingga gangguan gizi yang terjadi pada masa ini akan
berdampak besar pada masa kehidupan selanjutnya.
Anak usia sekolah membutuhkan makanan dengan jumlah dan kualitas
lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Asupan zat gizi yang tinggi diperlukan
untuk pertumbuhan dan aktivitas fisik anak sekolah. Selain itu, juga untuk
melindungi anak terhadap penyakit infeksi dan menular (Harper, Brady & Judy
2009). Data RISKESDAS (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk usia
≥10 tahun mengonsumsi makanan berisiko masih cukup tinggi yaitu makanan dan
minuman berpemanis (53.1%) dan makanan berlemak (40.7%). Berdasarkan data
tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan anak di Indonesia masih
sering mengkonsumsi makanan dengan nilai densitas energi tinggi. Konsumsi
energi, gula dan lemak jenuh yang berlebih namun rendah konsumsi buah, dan
sayur dapat menunjukkan kualitas konsumsi yang rendah. Kualitas konsumsi yang
baik dikaitkan dengan tingginya konsumsi buah dan sayur yang memiliki densitas
energi rendah serta mencukupi kebutuhan makronutrien secara tepat (Patterson et
al. 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Kadim et al. (2007) rasa yang manis dan
gurih menjadikan makanan dan minuman manis dan tinggi lemak lebih banyak
disukai oleh masyarakat dibandingkan dengan makanan kaya zat gizi seperti sayur
dan buah sehingga konsumsi dari makanan tersebut menyebabkan kegemukan.
Prevalensi gizi lebih meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara maju
maupun negara yang sedang berkembang. Pada tahun 2010, 35 juta anak di negara
berkembang menderita gizi lebih. Prevalensi gizi lebih pada anak di dunia
meningkat dari 4.2 % pada tahun 1990 menjadi 6.7% pada tahun 2010 (Onis M et
al. 2010). Overweight dan obesitas pada anak-anak mempunyai dampak yang
signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Hal tersebut meliputi
overweight dan obesitas berhubungan dengan hiperlipidemia, hipertensi,
intoleransi glukosa, dan kemandulan. Selain itu, gangguan psikologis yang
meliputi depresi yang terjadi (Daniels et al. 2005). Gizi lebih pada masa anak
berisiko tinggi menjadi obesitas di masa dewasa dan berpotensi mengalami
penyakit metabolik dan penyakit degeneratif di masa mendatang. Hasil penelitian
di Jerman menunjukkan bahwa anak dengan gizi lebih berisiko penyakit
kardiovaskular lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal
(Schwandt et al. 2001). Studi di Jerman dan Switzerland yang melibatkan lebih

2

dari 260 ribu anak dengan gizi lebih, menunjukkan lebih dari setengahnya
mengalami paling sedikit satu risiko penyebab penyakit kardiovaskular terutama
hipertensi (Jander 2010). Selain itu kasus gizi lebih berdampak pada masalah
ekonomi.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih pada anak 5-12 tahun di Provinsi DKI
Jakarta sebesar 30.1 %. Prevalensi gemuk adalah sebesar 16.1 % sedangkan
prevalensi obesitas adalah sebesar 14%. Angka tersebut lebih besar dibandingkan
dengan angka rata-rata nasional. Semua wilayah di DKI Jakarta prevalensinya di
atas 10%. Masalah kegemukan juga sudah mulai tampak pada kelompok kuintil
teratas. Anak dengan gizi lebih ini kemungkinan adalah anak yang lahir pendek
dan setelah berusia 5-12 tahun asupan makanan tidak terkontrol terutama pada
anak laki-laki. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, maka proporsi
kegemukan juga semakin besar.
Ada beberapa argumen mengenai biaya makan yang juga mempengaruhi
kualitas konsumsi dan juga berkontribusi terhadap kesenjangan sosial di bidang
kesehatan (Darmon 2015). Hasil penemuan terdahulu didapatkan bahwa makanan
padat energi seperti mengandung lemak, minyak, dan gula tambahan menyediakan
banyak kalori namun dengan biaya yang murah, sedangkan makanan yang rendah
densitas energi seperti sayur dan buah mahal biayanya. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian lain di Amerika, Australia, dan di Belanda (Drewnowski 2010).
Berbagai studi terkait gradien sosial dalam jumlah gizi lebih juga
mendapatkan hasil bahwa hubungan antara kemiskinan dan gizi lebih dapat
dipengaruhi sebagian oleh biaya rendah dari makanan yang padat energi dan dapat
diperkuat oleh palatabilitas dari gula dan lemak. Hal tersebut menunjukkan bahwa
rasa yang lezat dari makanan manis dan berlemak mudah dikonsumsi secara
berlebihan. Palatabilitas, availabilitas, dan kenyamanan membuat makanan
berkalori dengan biaya rendah menjadi prekursor langsung dalam penambahan
berat badan (Darmon 2015).
Penurunan daya beli membuat masyarakat kalangan sosial ekonomi
menengah ke bawah mengurangi jenis pangan dengan biaya yang mahal dan
mengganti konsumsi pangan mereka dengan pangan yang relatif murah (Nuzrina
dan Wiyono 2010). Dengan demikian pemenuhan makanan lebih mengutamakan
konsep kenyang daripada memperhatikan kandungan gizinya (BAPPENAS 2006).
Pada tahun 2010, Drewnowski mengembangkan konsep densitas zat gizi pangan
dengan tujuan untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang
mengandung cukup zat gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat
meminimalisir pengeluaran makanan dengan tetap memperoleh asupan zat gizi
yang cukup dari makanan tersebut. Di samping itu, konsep densitas asupan zat
gizi juga dikembangkan untuk mengetahui jumlah asupan zat gizi dari makanan
yang sebaiknya dibatasi konsumsinya untuk meningkatkan kualitas kesehatan
(Drewnowski 2005). Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, peneliti
tertarik untuk menganalisis densitas gizi pada anak overweight dan nonoverweight di SDN Pekayon 16 Pagi.

3

Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, masyarakat masih
mengutamakan pemenuhan makanan dengan konsep kenyang daripada
memperhatikan kandungan gizinya. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa
masyarakat mengonsumsi makanan padat energi atau mengonsumsi pangan yang
hanya tinggi pada salah satu zat gizi saja serta kurang pada asupan zat-zat gizi
lainnya. Pada akhirnya, hal tersebut dapat meningkatkan risiko gizi lebih yang
berdampak pada penyakit generatif di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
terdapat berbagai permasalahan yang ingin diteliti dan dianalisis yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana hubungan antara densitas energi makanan dan densitas zat gizi
dengan harga pangan?
2. Bagaimana hubungan densitas energi konsumsi dan asupan zat gizi dengan
status sosial ekonomi?
3. Bagaimana hubungan antara densitas asupan zat gizi dan faktor lainnya
dengan status gizi?
Tujuan
Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis densitas gizi dan
keterkaitannya terhadap harga pangan dan status gizi pada siswa SDN Pekayon 16
Pagi.
Tujuan Khusus
Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk menganalisis
hubungan densitas energi makanan dan densitas zat gizi pangan dengan harga
pangan subjek, 2) untuk menganalisis hubungan densitas energi konsumsi dan
densitas asupan zat gizi dengan status sosial ekonomi, dan 3) untuk menganalisis
densitas asupan zat gizi dan faktor lainnya yang mempengaruhi status gizi.
Kegunaan
Penelitian ini dapat memberi manfaat dan informasi kepada masyarakat
mengenai densitas gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi sebagai
upaya preventif dalam mencegah masalah gizi pada anak. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua anak sekolah mengenai
penyebab gizi lebih pada anaknya dan dapat melakukan tindakan untuk
menghindari faktor risiko yang menyebabkan gizi lebih pada anaknya. Selain itu,
informasi ini dapat menjadi masukan bagi pihak sekolah untuk memberikan
materi dan praktek gizi seimbang dalam pengajaran sehingga dapat membina
perilaku gizi anak menjadi lebih baik.

4

Hipotesis
1.

2.

3.

Ho = Tidak ada hubungan antara densitas energi makanan dan densitas zat
gizi pangan dengan harga pangan
H1 = Ada hubungan antara densitas energi makanan dan densitas zat gizi
pangan dengan harga pangan
Ho = Tidak ada hubungan antara densitas energi konsumsi dan densitas
asupan zat gizi dengan status sosial ekonomi
H1 = Ada hubungan antara densitas energi konsumsi dan densitas asupan zat
gizi dengan status sosial ekonomi
Ho = Tidak ada hubungan antara densitas energi konsumsi dan densitas
asupan zat gizi dengan status gizi
H1 = Ada hubungan antara densitas energi konsumsi dan densitas asupan zat
gizi dengan status gizi
TINJAUAN PUSTAKA

Status Gizi
Status gizi merupakan suatu ukuran kondisi tubuh seseorang yang dapat
diamati dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh.
Status gizi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu status gizi kurang, normal,
dan gizi lebih (Almatsier 2005). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status
gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam
tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan
individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat,
protein, lemak, dan zat gizi lainnya (Nix 2005). Status gizi yang kurang
merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih
sedikit dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu.
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah energi yang dikeluarkan dan akhirnya terjadi kelebihan zat gizi yang
disimpan dalam bentuk lemak dan mengakibatkan seseorang menjadi gemuk.
Status gizi lebih akan dijelaskan lebih lanjut diawali dengan pembahasan
definisinya.
Definisi Gizi Lebih
Gizi lebih didefinisikan berdasarkan keadaan overweight atau obesitas
pada individu (Seidell dan Visscher 2004). Obesitas tidak sama dengan
overweight. Overweight memiliki arti kondisi berat tubuh yang melebihi berat
tubuh normal. Obesitas merupakan keadaan patologis yaitu terdapatnya
penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang
normal (Soetjiningsih 1995). WHO (2000) mendefinisikan secara sederhana
obesitas sebagai kondisi abnormal atas akumulasi lemak yang ekstrim pada
jaringan adiposa. Juvenile obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda
(anak-anak) (Rimbawan dan Siagian 2004). Beberapa ahli menyetujui beberapa
hal mengenai parameter overweight adalah memiliki IMT antara persentil 85 dan
95 berdasarkan umur dan jenis kelamin sedangkan parameter obese memiliki IMT
di atas persentil 95.

5

Hidayat et al. (2009) mengungkapkan bahwa penyebab gizi lebih belum
diketahui secara pasti. Gizi lebih adalah suatu keadaan multifaktoral yang diduga
bahwa sebagian besar gizi lebih disebabkan oleh karena interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi,
dan gizi yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada
bayi.
Gizi lebih berdampak secara signifikan pada emosional, sosial, dan
psikososial anak dan orang dewasa. Selama beberapa tahun, perubahan anatomi
patologi metabolik mulai tampak dan membuat obesitas sebagai kondisi
meningkatnya ketebalan dinding arteri, plak aterosklerosis pada arteri koroner
serta aorta yang berkaitan dengan IMT dari kelahiran awal dan berkorelasi dengan
resistensi insulin dan tingkat kolesterol LDL selama puasa.
Dampak Gizi Lebih
Gizi lebih berdampak terhadap tumbuh kembang anak baik aspek organik
dan psikososial. Anak berisiko tinggi mengalami berbagai penyakit
kardiovaskular, diabetes melitus, dan kelainan metabolik (Yussac et al. 2007).
Komplikasi yang terjadi pada anak obesitas dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komplikasi yang berhubungan dengan gizi lebih pada anak dan remaja
(Kliegman et al. 2006)
Dampak atau
Komplikasi Gizi Lebih
Gangguan
Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi,hiperkolesterol,hipertrigliserida, peningkatan
lipoprotein, jantung koroner, gagal jantung kongestif,
jantung iskemik, dan kematian mendadak
Sistem Endokrin
Hiperinsulinemia dan resistensi insulin, DM tipe 2,
menarche dini, oligospermia, dan sindrom ovarium
polikistik
Sistem Muskuloskeletal Epifisis kaput femoralis, osteoartritis, gout arthritis, low
back pain
Sistem Imunologi
Kerusakan imunitas yang diperantarai sel
Gangguan Psikososial
Diskriminasi dalam kelompok, menurunkan peneriman
dalam kelompok, isolasi sosial
Gangguan Pertumbuhan Pertumbuhan tulang terganggu, terjadinya menstruasi
lebih awal pada anak perempuan.
Gizi lebih pada anak dapat menetap pada masa dewasa dan sebagai faktor
risikp yang merugikan kesehatan (Must 2003). Seseorang dengan gizi lebih
memiliki peluang yang lebih besar dalam memiliki tekanan darah yang lebih
tinggi, dislipidemia (tingginya total kolesterol, trigliserida, dan LDL serta
rendahnya HDL) dan resistensi insulin daripada orang dengan berat badan normal.
Selain itu, beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa peningkatan berat
badan juga menaikkan risiko sindrom metabolik. Hal-hal terebut berkaitan dengan
tingginya risiko terjadina penyakit seperti kardiovaskular dan diabetes tipe 2
(Seidell dan Visscher 2004). Penelitian pada anak 7-17 tahun membuktikan bahwa
kenaikan IMT sebesar 1 kg/m2 akan meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner sebesar 5 % (Owen et al. 2009).

6

Obstructive sleep apnea sering dijumpai pada anak gizi lebih dan
ditunjukkan dengan gejala mengorok. Penyebabnya adalah penebalan jaringan
lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding
dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola
ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur
terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi
oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur
pergerakan lidah dan menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring
yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten dan menyebabkan tidur
gelisah, sehingga keesokan harinya anak cenderung mengantuk dan kurangnya
suplai oksigen ke otak (hipoventilasi). Gejala ini berkurang seiring dengan
penurunan berat badan (Hidayati et al. 2006)
Gizi lebih juga berdampak pada masalah ekonomi. Biaya gizi lebih kepada
masyarakat dan individu dibagi menjadi biaya langsung pada sistem kesehatan
dan tidak langsung atau biaya sosial pada individu dan masyarakat seperti hari
sakit, pengeluaran individu untuk penurunan berat badan). Biaya langsung
tergantung pada penyakit yang disebabkan oleh obesitas dan biaya penyakit ini.
Salah satu masalah dalam penilaian ini adalah risiko relatif penyakit di komunitas
dan kelompok etnis yang berbeda. Beberapa metode telah digunakan untuk
menghitung biaya-biaya tersebut dan sudah ada berbagai hasil biaya obesitas di
negara yang berbeda. Beberapa penyakit yang telah dimasukkan dalam
perhitungan yaitu diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi, kanker
endometrium, artritis dan kanker kolorektal. Biaya tidak langsung juga sangat
bervariasi. Salah satu perkiraan terbaru di Amerika Serikat untuk biaya tidak
langsung adalah US $ 47.6 miliar per tahun. Masih sedikit data yang tersedia
untuk wilayah Asia-Pasifik. Hal ini diperlukan untuk mengembangkan cara
standar menghitung biaya obesitas sehingga pengeluaran kesehatan berbagai
negara dapat dibandingkan dan manfaat untuk pengobatan dapat dihitung (WHO
2000).
Obesitas merupakan salah satu komponen terbesar dari pengeluaran
budget nasional di bidang kesehatan. Meskipun belum banyak studi tentang besar
biaya yang muncul akibat obesitas di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, beban biaya ekonomi yang terus meningkat dan adanya penyakitpenyakit kronis pada orang dewasa di negara-negara tersebut telah diketahui oleh
beberapa lembaga internasional seperti WHO dan World Bank. Biaya terapi
obesitas di negara-negara berkembang lebih besar dibandingkan di negara-negara
maju oleh karena adanya beban tambahan akibat impor peralatan-peralatan dan
obat dan untuk keperluan pelatihan tenaga kesehatan (WHO 2005).
Cara Penilaian Status Gizi
Pengukuran Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya
tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi, antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Pengertian antropometri dari sudut pandang gizi yaitu hal yang berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat usia dan tingkat gizi (Supariasa et al. 2001). Pengukuran dimensi
fisik dan komposisi tubuh dapat dilakukan menggunakan metode antropometri.

7

Antropometri dapat mendeteksi kekurangan gizi derajat sedang dan berat.
Keuntungan lain dari pengukuran antropometri yaitu memberikan informasi
mengenai riwayat gizi masa lampau (Riyadi 2003). Pengukuran antropometri
dapat digunakan sebagai penanda tidak langsung adipositas atau sebagai penanda
distribusi lemak (Gibson 2005).
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan perhitungan berdasarkan zskor yang dilakukan dengan cara melihat distribusi normal nilai pertumbuhan
orang yang diperiksa. Angka ini menggambarkan jarak nilai baku median dalam
urutan simpangan baku. Nilai z-skor diperoleh dari hasil pembagian antara selisih
ukuran antropometrik seperti BB, TB, LILA orang yang diperiksa dan nilai
median baku referensi dengan nilai simpangan baku populasi (Arisman 2008).
Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi seseorang adalah
dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Adapun kriteria status gizi yang
digunakan berdasarkan Central for Disease Control Prevention (CDC) adalah
sebagai berikut:
Tabel 2 Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai batas IMT
Status Gizi
Kurus
Normal
Overweight
Obesitas

IMT
< 5 persentil
5-84 persentil
≥ 85 persentil
≥95 persentil

Dalam ilmu gizi, pengukuran berat badan atau tinggi badan tidak hanya
mengetahui status gizi dengan umur secara independen tetapi juga kombinasi
antara ketiganya. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini
karena mudah berubah. Akan tetapi indikator BB/U tidak spesifik karena berat
badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur tetapi juga oleh tinggi badan. Sementara
itu, indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB
menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini (Soekirman 2000).
Menurut WHO (2007) bahwa pengukuran status gizi pada anak usia 5-19 tahun
sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks
massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi Status Gizi Anak Berdasarkan Nilai Z-Skor Untuk IMT/U
Variabel
≤ -3 SD
-3 SD < Z < -2 SD
-2 SD < Z < +1 SD
+1 SD < Z < +2 SD
+2 SD < Z < +3 SD
≥+3 SD

Kategori
Severe underweight
Underweight
Normal
Overweight
Obese
Severe obese

Persentase Lemak Tubuh
Tubuh manusia terdiri dari bagian utama yaitu jaringan bebas lemak (lean
tissue) dan jaringan adipositas. Jaringan bebas lemak adalah bagian tubuh yang
aktif sementara jaringan lemak bersifat pasif dan mempunyai kegunaan sebagai

8

cadangan energi. Jaringan bebas lemak terdiri dari massa protein seperti otot
sebesar 19.4%, mineral 6.8%, dan cairan tubuh 73.8%. Sementara massa lemak
terdiri dari lemak yang disimpan di tubuh dalam bentuk trigliserida dalam jaringan
lemak (Gibson 2005). Menurut Almatsier (2005) lemak tubuh tersebar 50% di
subkutan, 45% di sekeliling organ (rongga abdomen), dan 5% sisanya di jaringan
intramuskular.
Berdasarkan bentuk fisiknya, anak obesitas dapat dibedakan menurut
distribusi lemak di dalam tubuhnya yaitu bila lebih banyak lemak pada bagian atas
tubuh (dada dan pinggang) sedangkan apabila ditemukan banyak lemak di bagian
bawah tubuh (pinggul dan paha) maka disebut pear shape body (gynoid). Bentuk
apple shape cenderung berisiko lebih tinggi mengalami penyakit kardiovaskular,
hipertensi, dan diabetes dibandingkan dengan bentuk pear shape (Moller et al.
2000).
Tingkat keseimbangan antara asupan dengan penggunaan zat gizi
seseorang dilambangkan dengan komposisi lemak tubuh. Ketika asupan zat gizi
berlebih, zat gizi seperti karbohidrat dan protein akan dsimpan sebagai cadangan
lemak tubuh. Pengukuran komposisi lemak tubuh dapat diukur dengan berbagai
cara. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan skinfold caliper. Beberapa
alasan skinfold caliper baik untuk penggukuran komposisi lemak tubuh adalah
karena skinfold adalah metode yang baik untuk mengukur lemak di bawah kulit.
Distribusi lemak di bawah kulit sama pada setiap individu dan termasuk jenis
kelamin. Selain itu, terdapat hubungan antara lemak tubuh dengan total lemak
tubuh. Jumlah dari pengukuran ini juga dapat digunakan untuk memprediksi total
lemak tubuh (Supariasa 2001).
Akan tetapi, terdapat cara paling mudah dalam pengukuran persentase
lemak tubuh seseorang yaitu dengan menggunakan alat Bioelectrical Impedance
Analysis (BIA) yang bersifat cepat dan non invasif. Alat ini mengukur persentase
lemak tubuh berdasarkan konduktivitas elektrik karena jaringan lemak tubuh
memiliki konduktivitas yang relatif kecil sedangkan otot, pembuluh darah, dan
tulang memiliki konduktivitas elektrik yang besar. Metode ini mengukur resistensi
di dalam tubuh untuk arus listrik yang tak terlihat. Pengukuran ini berdasarkan
hubungan antara volume konduktor, panjang konduktor, dan impedansi listriknya.
Analisis bioimpedance mengasumsikan massa lemak anhidrat dan konduktivitas
yang mencerminkan massa bebas lemak. Secara konseptual, seorang manusia
yang sedikit memiliki jaringan adiposa akan memiliki impedansi inimum dan
impedansi akan meningkat menjadi maksimal ketika semua jaringan digantikan
oleh lemak atau jaringan adiposa. Pendekatan ini memperkirakan total air tubuh
yang bisa diubah menggunakan rumus yang tepat dan pada gilirannya dapat
memperkirakan massa bebas lemak dan massa lemak.
Karakteristik Anak Usia Sekolah
Masa ketika anak berusia 5-10 merupakan middle childhood, sedangkan
anak usia 9-11 tahun untuk anak perempuan dan usia 10-12 tahun untuk anak lakilaki (Brown 2005). Sedangkan WHO mendefinisikan anak sekolah yaitu golongan
anak yang berusia 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia lazimnya anak yang berusia
7-12 tahun.

9

Masalah gizi utama pada anak usia sekolah meliputi stunting,
underweight, anemia, defisiensi iodium dan defisiensi vitamin A. Pada negaranegara yang mengalami transisi gizi, kegemukan dan obesitas merupakan masalah
yang semakin meningkat pada anak usia sekolah. Masalah kesehatan utama yang
dihadapi anak usia sekolah yaitu malaria, infeksi cacing, penyakit diare, infeksi
pernafasan serta pengaruh langsung dan tidak langsung dari HIV/AIDS
(Partnership for Child Development 2002).
Tabel 4 Angka Kecukupan Gizi (2013) untuk anak usia sekolah
Energi dan Zat
10-12 tahun
Gizi
Laki-laki Perempuan
Energi (kkal)
2050
2050
Protein (g)
50
50
Vitamin A (RE)
600
600
Vitamin D (μg)
5
5
Vitamin E (mg)
11
11
Vitamin K (μg)
35
35
Vitamin B1 (mg)
1.0
1.0
Vitamin B2 (mg)
1.0
1.0
Niasin (mg)
12
12
Asam Folat (μg)
300
300
Piridoksin (mg)
1.3
1.2
Vitamin B12 (μg)
1.8
1.8
Vitamin C (mg)
50
50
Kalsium (mg)
1000
1000
Fosfor (mg)
1000
1000
Magnesium(mg)
170
170
Zat Besi (mg)
13
14
Iodium (μg)
120
120
Seng (mg)
14
14
Selenium (μg)
20
20
Mangan (mg)
1.9
1.6
Fluor (mg)
1.7
1.8
Jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, perempuan cenderung mengalami
peningkatan penyimpanan lemak (WHO 2000). Akan tetapi, terdapat penelitian
yang menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih besar kemungkinannya untuk
menjadi overweight atau obesitas daripada wanita karena laki-laki cenderung
untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai saat akhir minggu atau
waktu senggang.
Berat badan pada saat lahir berpengaruh pada berat badan anak kemudian.
Menurut WHO (2000) bayi dengan berat badan lahir normal adalah berat badan
diantara 2500-3800 gram. Sedangkan bayi dikatakan BBLR jika berat badannya
kurang dari 2500 gram. Akan tetapi, pada penelitian di Australia yang dilakukan
oleh Oldroyd J (2010) menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) merupakan faktor protektif overweight ataupun obesitas pada anak 4-5
tahun. Sementara itu, anak dengan berat badan lahir tinggi berisiko tinggi menjadi
overweight ataupun menjadi obesitas pada anak perempuan dengan OR sebesar
1.76 dan laki-laki dengan OR sebesar 2.42.

10

Aktivitas Fisik
Gizi lebih terjadi karena tidak adanya keseimbangan energi dimana asupan
energi jauh lebih besar dibandingkan energy expenditure atau energi yang terpakai
dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari
pengeluaran energi, yaitu sekitar 20-50 % dari total pengeluaran energi. Sekarang
ini, aktivitas fisik cenderung menurun pada anak-anak. Anak-anak lebih banyak
bermain di dalam rumah dibandingkan dengan diluar rumah, misalnya dengan
bermain game komputer atau internet, menonton televisi (Lifshitz dan Moses
1991).
Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktivitas fisik
dengan gizi lebih. Hasil penelitian Proper et al (2007) menunjukkan bahwa
perilaku sedentary berhubungan langsung dengan overweight maupun obesitas.
Penelitian Salmon et al (2005) menemukan bahwa ada hubungan antara waktu
menonton TV dan IMT berdasarkan tingkat aktivitas fisik. Akan tetapi, kurang
lebih dari 61 % orang dewasa Australia bekerja di luar rumah menghabiskan
waktunya untuk melakukan perilaku yang menetap saja seperti duduk. Aktivitas
yang terus-menerus tersebut merupakan prediktor penting dalam pertambahan
berat badan. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian Mushtaq et al. (2011)
pada anak 5-12 tahun di Lahore, Pakistan yang menyatakan bahwa anak yang
menonton tv dan bermain games/komputer lebih dari satu jam per hari
mempunyai kemungkinan lebih besar menjadi gizi lebih.
Karakteristik Orang Tua
Pengetahuan Gizi Ibu
Tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan
akan gizi. Rendah tingginya pendidikan seseorang menentukan mudah tidaknya
orang tersebut dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh.
Berdasarkan hal tersebut, seseorang dapat menentukan metode penyuluhan gizi
yang tepat. Di samping itu, apabila dilihat dari segi kepentingan gizi keluarga
pendidikan sangat diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya
masalah gizi dalam keluarga dan dapat mengambil tindakan secepatnya.
Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan
penting yang menentukan konsumsi pangan keluarga. Individu yang
berpengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengetahuan pangan sehingga
konsumsi pangan yang mencukupi lebih terjamin. Pengetahuan gizi diperoleh
melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal merupakan jenis
pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang
ditetapkan dan terdapat kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi
sasarannya. Sedangkan pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang
berlangsung seumur hidup yang mempelajari aspek kehidupan. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yueniwati dan Rahmawati (2011), terdapat
hubungan antara pendidikan terakhir ibu dengan pengetahuan ibu tentang obesitas
pada anak.

11

Faktor Genetik
Genetika merupakan suatu ilmu yang melihat bagaimana gen menurun dari
satu generasi ke keturunannya. Obesitas jarang sekali disebabkan oleh glandular
(hipotiroidisme atau gangguan kelenjar adrenal) ataupun penyakit genetik.
Obesitas merupakan interaksi dari faktor genetik dan lingkungan. Genetik bekerja
dengan cara lain, sel lemak menghasilkan hormon pengontrol nafsu makan yaitu
leptin yang akan menghantarkan pada otak bahwa tubuh merasa kenyang. Ketika
seseorang memiliki sedikit sel lemak, leptin akan diproduksi dan otak
menghantarkan bahwa kita membutuhkan makanan (AAAS 2006).
Keterlibatan faktor genetik dalam meningkatkan faktor risiko kegemukan
dan obesitas diketahui berdasarkan fakta adanya perbedaan kecepatan
metabolisme tubuh antara satu individu dan individu lainnya. Individu yang
memiliki kecepatan metabolisme berisiko lebih besar menderita obesitas. Selain
itu, latar belakang ras juga berkaitan dengan perbedaan kecepatan metabolisme
tubuh. Di Amerika Serikat, ras kulit putih pada periode prapubertas memiliki
kecepatan metabolisme yang lebih besar dibandingkan dengan sebaya dari ras
kulit hitam. Dua orang tua yang obese memiliki peluang 6 kali untuk memiliki
anak yang obese dibandingkan orang tua yang tidak obese (Wahyu G 2010).
Menurut Rubenstein et al. (2007) sebagian besar anak yang obesitas
memiliki satu orang tua yang obesitas. Terdapat asumsi bahwa faktor endokrin
yang mengendalikan namun masih harus ditentukan, anak obesitas memiliki kadar
hormon pertumbuhan yang rendah. Obesitas akan semakin parah dengan
mengkonsumsi makanan dengan kalori yang melebihi kebutuhan tubuh dan akan
berkurang dengan menurunkan asupan kalori dan mempertahankan tingkat yang
diturunkan ini.
Karakteristik Sosial dan Ekonomi
Status Sosial Ekonomi
Status sosial dan ekonomi mempengaruhi kesehatan dan gizi dari berbagai
cara. Orang tua pada keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi umumnya
memiliki pendidikan yang lebih tinggi, pengetahuan gizi dan kemampuan mencari
informasi yang lebih baik di media. Penelitian yang dilakukan di negara maju
telah menunjukkan hubungan yang negatif antara status sosial ekonomi dengan
kelebihan berat badan pada anak-anak dan remaja (Goodman et al. 2003). Anak
obese seringkali dikaitkan juga dengan kelas ekonomi lebih tinggi di negaranegara berkembang.
Perbedaan keadaan sosial budaya di negara berkembang yang mengalami
transisi gizi menjelaskan kontradiksi dan hubungan antara faktor sosial ekonomi
dan gizi lebih yang bervariasi dalam masyarakat yang mengalami berbagai tahap
trasnsisi. Obesitas secara positif terkait dengan faktor sosial ekonomi di Asia
tetapi tidak di Amerika Latin. Di Asia Selatan, anak-anak dari keluarga kaya
cenderung lebih berat dibandingkan anak-anak yang tertinggal secara sosial
ekonomi. Asupan tinggi produk daging, lemak, gula, pengawet, kentang, dan
sereal ditambah dengan asupan yang relatif lebih rendah dari buah, sayur, dan roti
gandum utuh ditemukan pada anak-anak dari kelompok sosial ekonomi yang
relatif rendah. Penghasilan yang didapatkan akan menyediakan sumberdaya yang
dapat mempengaruhi asupan dan pengeluaran energi yang pada akhirnya

12

menentukan berat badan. Salah satu pola yang konsisten dalam penelitian obesitas
adalah hubungan langsung antara pendapatan dan berat badan di negara
berkembang namun sebaliknya pada negara maju (Sobal dan Stunkard 1989).
Perubahan gaya hidup di antara anak dengan sosial ekonomi yang lebih
tinggi juga termasuk dalam konsumsi yang tidak sehat disertai dengan
menurunnya aktivitas fisik dan meningkatnya hidup yang menetap. Selain itu, hal
tersebut juga diperkuat oleh banyak perubahan budaya yang terkait dengan
globalisasi yang merupakan penyebab obesitas pada anak. Anak-anak pada
keluarga sosial ekonomi tinggi mengarah juga dengan pola hidup yang tidak sehat
seperti menggunakan mobil dan bus dari dan ke sekolah. Aktivitas olahraga
digantikan dengan menonton televisi, bermain game, dan internet. Orang tua lebih
sibuk dari sebelumnya, pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh pegawai, keluarga
makan lebih sedikit mengkonsumsi makanan di rumah, melewatkan sarapan, serta
kebiasaan snacking diantara waktu makan merupakan faktor-faktor yang
mengakibatkan terjadinyaa obesitas (Wang dan Lobstein 2006).
Biaya Bahan Makanan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian makanan antara lain rasa,
densitas energi, biaya, kenyamanan, dan keragaman. Densitas energi berhubungan
dengan biaya bahan makanan. Masyarakat dengan status sosial ekonomi
menengah ke bawah biasanya mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak
lemak tambahan, gula tambahan dan makanan lainnya dengan densitas energi
yang tinggi namun dengan harga yang rendah. Makanan yang padat energi
biasanya mengandung zat gizi yang rendah dapat dilihat dari zat gizi per kalori
dan zat gizi per unit biaya (Drewnowski 2005).
-

Rasa
Densitas Energi
Biaya
Kenyamanan
Kesehatan
Keragaman

Makanan
yang Dibeli

Metabolisme
Fisiologis

Status
Kesehatan

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian makanan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmon et al. (2005) menunjukkan
bahwa pada setiap level dari asupan energi, semakin tinggi densitas energi
makanan maka semakin rendah biaya makanannya. Masyarakat menengah
kebawah dan tidak bekerja, biaya dan rasa merupakan kunci determinan dari
pemilihan makanan. Meskipun harga makanan mempengaruhi setiap orang,
masalah biaya makan tetap menjadi hal yang menghambat perubahan pola makan
yang khususnya relevan terjadi pada keluarga dengan pendapatan menengah ke
bawah. Hal tersebut dapat menjadi penjelasan mengapa mengkonsumsi makanan

13

yang sehat seperti buah dan sayur masih sangat rendah dilakukan. Hasil penelitian
lain juga menunjukkan bahwa kemiskinan dan obesitas berhubungan terkait
dengan biaya yang rendah dan palatabilitas yang tinggi pada makanan padat
energi (Molarius et al. 2000).
Penilaian Kualitas Pangan
Densitas Energi
Densitas energi diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu densitas energi
konsumsi dan densitas energi makanan. Menurut Avihani (2013) perhitungan
densitas energi konsumsi diperoleh melalui total energi makanan sehari yang
dikonsumsi dengan berat makanan sehari. Masing-masing makanan mempunyai
nilai densitas energi masing-masing. Hal tersebut dilakukan dengan menghitung
kalori masing-masing makanan dibagi dengan beratnya. Densitas energi pangan
didefinisikan sebagai jumlah total energi yang tergandung dalam 100 gram suatu
makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Sementara itu, penentuan definisi zat
gizi pangan hingga saat ini belum ditentukan secara resmi sebab setiap negara
memiliki definisi operasional yang berbeda terkait hal tersebut.
Densitas energi berkisar antara 0 sampai dengan 9 kkal/g dipengaruhi oleh
komposisi zat gizi makro dan kadar airnya. Kadar air merupakan pengaruh yang
paling besar karena air menambah berat makanan tanpa menyumbangkan energi
(Rolls et al. 2005). Makanan dapat diklasifikasikan berdasarkan densitas
energinya. Pengklas

Dokumen yang terkait

Perbedaan Status Gizi Anak Batita Dari Ibu Akseptor Kb Pil Dengan Ibu Non Akseptor Kb (Studi Kasus Di Kelurahan Kota Matsum Iv Kecamatan Medan Area,Medan)

0 38 63

Ketahanan Pangan Keluarga Dan Status Gizi Anak Balita Di Kelurahan Sei Putih Timur Ii Kecamatan Medan Petisah Tahun 2004

0 26 88

Pola Makan dan Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Desa Perbukitan dan di Desa Tepi Danau Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2010

2 58 78

Gambaran Ketahanan Pangan Keluarga Dan Status Gizi Anak Balita di Desa Tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2010

1 44 90

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEBIASAAN MAKAN PAGI DENGAN STATUS GIZI ANAK DI SDN BANYUANYAR III Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Kebiasaan Makan Pagi Dengan Status Gizi Anak Di SDN Banyuanyar III Kota Surakarta.

0 0 19

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEBIASAAN MAKAN PAGI DENGAN STATUS GIZI ANAK DI SDN BANYUANYAR III Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dan Kebiasaan Makan Pagi Dengan Status Gizi Anak Di SDN Banyuanyar III Kota Surakarta.

0 2 18

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KEBIASAAN SARAPAN PAGI DENGANPRESTASI BELAJAR ANAK DI SD MUHAMMADIYAH 16 SURAKARTA Hubungan Status Gizi Dan Kebiasaan Sarapan Pagi Dengan Prestasi Belajar Anak Di SD Muhammadiyah 16 Surakarta.

0 11 15

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KEBIASAAN SARAPAN PAGI DENGANPRESTASI BELAJAR ANAK DI SD MUHAMMADIYAH 16 SURAKARTA Hubungan Status Gizi Dan Kebiasaan Sarapan Pagi Dengan Prestasi Belajar Anak Di SD Muhammadiyah 16 Surakarta.

0 1 16