Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi

KOMUNIKASI GERAKAN SOSIAL PENOLAKAN RELOKASI
KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI
(Kasus Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY)

YUNIAWAN SETYADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Gerakan
Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Yuniawan Setyadi
NIM I352130161

RINGKASAN
YUNIAWAN SETYADI. Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi
Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Dibimbing oleh SARWITITI
SARWOPRASODJO dan PUDJI MULJONO.
Komunikasi memiliki peran penting dalam menciptakan sebuah gerakan
sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penggunaan komunikasi
dalam mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi dalam penetapan
Kawasan Rawan Bencana III (KRB III) Gunung Merapi di Desa Glagaharjo.
Penelitian juga menjelaskan bagaimana komunikasi risiko yang dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat di KRB III Desa Glagaharjo dalam menyikapi
ancaman risiko bencana Gunung Merapi. Komunikasi risiko adalah kondisi fisik
dan mental yang mendasari pengelolaan informasi dalam menghadapi risiko
bencana. Analisis framing digunakan untuk mengetahui cara berpikir aktor dalam
mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengembangan strategi

komunikasi risiko yang tepat dalam pengelolaan bencana, baik bagi pemerintah
maupun masyarakat. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan diperkuat
dengan data kuantitatif yang diambil secara purposive.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan sosial dipengaruhi oleh
kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sosialisasi sebagai
bentuk komunikasi risiko kebijakan tidak dilakukan dengan efektif sehingga pesan
risiko yang disampaikan mengenai isi kebijakan ditafsirkan berbeda oleh
masyarakat. Penelitian juga menyatakan bahwa ada 4 (empat) elemen framing
yang melatarbelakangi gerakan sosial penolakan relokasi. Pertama, masalah
kebijakan relokasi didefinisikan sebagai pengabaian hak masyarakat untuk
bertempat tinggal. Kedua, penyebab masalahnya adalah ketidakadilan pemerintah.
Ketiga, alasan moral yang mendasari keputusan masyarakat adalah tentang
kesejahteraan dan mempertahankan tanah kelahiran. Elemen framing keempat
yaitu rekomendasi tindakan, masyarakat memutuskan tetap tinggal di dusunnya
dengan meningkatkan kesiapsiagaan dan kemandirian ekonomi. Jadi berdasarkan
analisis framing yang dilakukan, masyarakat akan tetap bersikap menolak
kebijakan relokasi, kecuali pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab
bersedia mempertimbangkan kembali kebijakan dengan membuka dialog dengan
masyarakat untuk menemukan solusi penanggulangan bencana yang lain.
Keputusan untuk bertahan tinggal di Kawasan Rawan Bencana semakin

menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya komunikasi risiko dalam
menghadapi ancaman bencana. Saat ini masyarakat KRB III Desa Glagaharjo
mengelola risiko bencana dan mengembangkan komunikasi risiko secara
swadaya. Masyarakat memilih tindakan tersebut sebagai akibat ketidakpercayaan
terhadap kinerja dan kredibilitas pemerintah dalam upaya penanggulangan risiko
bencana.
Kata kunci: bencana, framing, gerakan sosial, komunikasi risiko, relokasi

SUMMARY
YUNIAWAN SETYADI. Communication of Social Movements in The Rejection
of The Relocation of Disaster-Prone Areas of Mount Merapi. Supervised by
SARWITITI SARWOPRASODJO and PUDJI MULJONO
Communication has an important role in creating a social movement. This
study is aimed to describe how communication is used in realizing the social
movements of rejection relocation in a disaster prone area and also describes how
risk communication strategies conducted by a government and community in
Disaster Prone Area III of Mount Merapi at Glagaharjo Village. Risk
communication is physical and mental conditions that underlie the management of
information in facing risks of a disaster. The study will also analyze the framing
that underlies the community‟s resistance towards government relocation policy.

This research also expected to contribute to the development of appropriate risk
communication strategies in disasters management, for both government and local
communities. This research uses qualitative methods and strengthen by
quantitative data with purposive sampling.
The results showed that the social movements are be affected by the lack of
communication between government and community. Socialization as a form of
risk communication policy was not done effective so that the risk information
submitted regarding the content policy is interpreted differently by community.
Research also suggests that there are four (4) framing elements underlying the
social movements of rejection relocation. First, the relocation policy is considered
to be disregardful of the people rights for proper settlement. Second, the
justification of the matter is the government unjustness. Third, is more of
a moral reason underlying the people resistance towards the policy which is an
effort
to retaining personal
welfare and sustaining
homeland.
The
fourth framing element, are recommendations for action, the people have decided
to stay inthe village and improve preparedness and economic self-reliance. So

based on the analysis of framing, people are still being refused the relocation
policy, unless the government as a responsible party willing to reconsider the
policy to open a dialogue with the community to find a solution that is mutually
agreed.
The decision to survive living in a disaster prone area is increasingly raising
the people awareness of the importance of risk communication in facing
the threats of possible disasters. Now the community in KRB III managing and
developing disaster risk communication independently. The community chose
these actions caused mistrust of the performance and credibility of the government
in disaster risk reduction.
Keywords: disaster, framing, relocation, risk communication, social movements.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

KOMUNIKASI GERAKAN SOSIAL PENOLAKAN RELOKASI
KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI
(Kasus Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY)

YUNIAWAN SETYADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Rilus A Kinseng, MA

Judul Tesis

: Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan
Bencana Gunung Merapi

Nama

: Yuniawan Setyadi

NM

: I 352130161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


ititi Sarwoprasodjo, MS

Prof Dr r Pudji Muiono, MSi
Anggota

Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertnian dan Pedesaan

Tanggal Ujian: 30 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

2 5 NUV LU lb


iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Juni hingga Desember 2015 ini ialah
tentang gerakan sosial, dengan judul Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan
Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
dan Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku pembimbing dalam karya ilmiah ini.
Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Suroto selaku Kepala
Desa Glagaharjo beserta seluruh staf dan warga masyarakat yang telah
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan yang telah
membantu kelancaran selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada istri Dyah Enggar Handayani, keluarga dan temanteman KMP 2013, atas segala doa dan dukungannya. Karya ilmiah ini penulis
persembahkan kepada anak tercinta Aksana Yodha Prama.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2016
Yuniawan Setyadi


v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1

3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Risiko dan Komunikasi Risiko
Komunikasi Gerakan Sosial
Konsep Framing Gerakan Sosial
Framing Robert Entman
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Variabel Penelitian dan Hipotesis Pengarah

5
5
10
11
14
15
16
18

3 METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Responden Penelitian
Analisis Data

19
19
19
20
20
20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Geografis
Pemerintahan dan Kependudukan
Kondisi Umum Desa Glagaharjo
Potensi Sumberdaya Desa
Kelembagaan Masyarakat
Distribusi Informasi
Sejarah Erupsi Merapi sebagai Ancaman Risiko
Kebijakan Sebagai Upaya Manajemen Risiko Bencana
Peraturan Bupati Sleman Nomer 20 Tahun 2011
Sosialisasi Kebijakan Sebagai Bentuk Komunikasi Risiko
Pemerintah
Gerakan Sosial Penolakan Relokasi
Alasan Masyarakat di Balik Penolakan Relokasi
Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi

21
21
21
22
22
23
23
25
25
29
34
37
42
44
49

vi

Framing Masyarakat Terhadap Kebijakan Relokasi
Komunikasi Risiko Masyarakat Kawasan Rawan Bencana
Preparedness (Kesiapsiagaan)
Response (Tanggap Darurat)
Recovery (Pemulihan)

60
66
68
70
70

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

72
72
74

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN

80

RIWAYAT HIDUP

89

vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia
Perangkat framing model Entman dan Gamson
Dusun dan status KRB
Sejarah erupsi gunung merapi
Seleksi isu dan penonjolan aspek kebijakan relokasi
Analisis define problem dalam framing Robert Entman
Analisis diagnose problem dalam framing Robert Entman
Analisis moral judgement dalam framing Robert Entman
Analisis treatment recommendation dalam framing Robert Entman
Framing dalam penentuan masalah
Konstruksi framing model Entman dan Gamson

7
21
22
28
61
61
62
63
64
65
66

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tahapan komunikasi risiko (Sheppard & Janoske 2012)
Kerangka pemikiran penelitian
Peta kawasan rawan bencana gunung merapi
Persentase Pandangan Responden tentang KRB III
Sumber Informasi Penetapan KRB III
Stiker sebagai media pesan penolakan kebijakan relokasi
Persepsi aktor terhadap kebijakan relokasi
Media pesan penolakan kebijakan relokasi
Tokoh yang dipatuhi saat bencana
Hubungan tokoh dan lembaga dalam gerakan sosial

9
18
31
38
39
44
46
50
56
59

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap ancaman
berbagai jenis bencana alam. Salah satu bencana di Indonesia yang datang hampir
setiap tahun, dengan frekuensi dan dampak yang berbeda-beda adalah erupsi
gunung api. Secara geografis, Indonesia berada di kawasan "Pacific Ring of Fire"
yang memiliki lebih dari 83 gunung api aktif sehingga berpotensi sering terjadi
gempa bumi maupun meletusnya gunung api. Bencana gunung api yang
mempunyai siklus rutin dan terjadi dalam periode waktu tertentu adalah erupsi
Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Bencana erupsi Gunung Merapi meskipun memiliki
tanda-tanda yang khas, namun kejadian dan dampaknya tetap tidak dapat dihindari.
Bahaya yang terjadi di luar periode erupsi bisa mengancam masyarakat yang
tinggal di lereng gunung. Salah satu risiko bahaya yang paling ditakuti dan
menjadi karakter dalam erupsi Gunung Merapi, yaitu aliran awan panas atau
“wedhus gembel” dengan suhu mencapai 600o-1000o C yang dapat meluncur ke
lereng gunung dengan kecepatan 200-300 km/jam dan menjadi ancaman terbesar
pada kehidupan di lereng Gunung Merapi. Padatnya permukiman penduduk di
lereng gunung Merapi mengakibatkan risiko ancaman bencana menjadi semakin
besar. Penelitian Triyoga (1991) menyatakan tidak kurang dari 30 gunung api
aktif yang terdapat di Indonesia, lereng-lerengnya dipadati oleh permukiman
penduduk. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar sisi gunung Merapi
berjumlah 1,6 juta jiwa (Surono, et al., 2012). Melihat gejala demikian maka
sangat penting bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan penanggulangan
bencana guna mengurangi risiko yang ditimbulkan.
Kebijakan penanggulangan bencana yang ditetapkan pemerintah bertujuan
untuk mencegah dan mengurangi tingkat risiko bahaya erupsi Gunung Merapi.
Kebijakan tersebut diantaranya yaitu pemetaan potensi kawasan, menetapkan peta
kawasan rawan bencana, membikin rencana kontijensi untuk setiap ancaman
bencana, serta membangun hunian tetap (huntap) untuk relokasi warga.
Penyusunan kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada penilaian mengenai
risiko ancaman bencana Gunung Merapi. Kebijakan juga berisi tentang bagaimana
upaya pencegahan yang harus dilakukan secara sinergis antara pemerintah dan
masyarakat.
Sebagai salah satu upaya pengurangan risiko bencana, kebijakan harus
disampaikan secara tepat sehingga isi kebijakan bisa dipahami dan diterima
masyarakat dengan baik. Langkah sosialisasi kebijakan merupakan bentuk
komunikasi pemerintah dalam menyampaikan risiko (komunikasi risiko). Covello
(1992) yang dikutip Shepard dan Janoske (2012) menulis bahwa komunikasi
risiko merupakan proses pertukaran informasi di antara pihak-pihak yang
memiliki perhatian pada alam dan segala risikonya serta pentingnya kontrol atas
risiko tersebut. Definisi tersebut diperkuat oleh McComas (2006) yang
menekankan pentingnya manajemen risiko, perlunya dialog antara komunikator
dan stakeholder (Palenchar, 2009), dan Coombs (2012) yang menyatakan
perlunya pemantauan risiko yang sedang berlangsung (Sheppard & Janoske, 2012).

2

Dalam pelaksanaannya, sosialisasi sebagai bentuk komunikasi risiko penyampaian
informasi kebijakan tidak selalu berhasil sesuai yang diharapkan. Penelitian
Susanto (2011) menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan pemerintah
dalam penanggulangan bencana memiliki kendala birokratis yang kaku dan sering
berlawanan dengan sikap fleksibilitas dan pengetahuan lokal masyarakat dalam
mengatasi bencana.
Dalam upaya mencegah dan mengurangi risiko bencana, manajemen
komunikasi memang harus dilakukan secara komprehensif dengan mengelola
proses produksi pesan atau informasi tentang bencana, penyebaran pesan dan
penerimaan pesan dari tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana.
Kajian tentang manajemen komunikasi bencana di Indonesia pernah dilakukan
oleh beberapa peneliti, antara lain: Lestari, et al. (2012), Badri (2008) dan Ramli
(2010).
Penelitian Lestari, et al. (2012) tentang Manajemen Komunikasi Bencana
Merapi, menyoroti tentang proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
dan evaluasi atas berbagai kebijakan pemerintah terkait pengelolaan bencana.
Badri (2008) juga meneliti tentang manajemen komunikasi bencana gempa di
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Badri (2008) menyatakan bahwa
komunikasi berperan penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk
menyinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang
terlibat dalam penanggulangan bencana. Komunikasi untuk mempercepat proses
penanggulangan bencana di masyarakat dilakukan dengan melibatkan sumber
daya lokal terutama pemuka pendapat. Hal ini didukung oleh Ramli (2010) bahwa
mengelola bencana tidak bisa dilakukan secara dadakan namun harus terencana
dengan manajemen yang baik sebelum terjadi bencana.
Beberapa kajian tersebut mempertegas bahwa manajemen komunikasi
risiko bencana merupakan aktivitas yang sangat penting dan harus direncanakan
guna mengantisipasi dan mengurangi risiko bencana berikutnya. Penanggulangan
bencana merupakan serangkaian upaya penetapan kebijakan pembangunan terkait
pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi. Manajemen komunikasi kebijakan
yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat penyampaian pesan kebijakan
sehingga mengakibatkan perbedaan pemahaman antara pemerintah dan
masyarakat. Berdasarkan observasi yang dilakukan sebelum penelitian, perbedaan
pemahaman mengenai kebijakan ini menimbulkan sikap penolakan kebijakan
yang diwujudkan dalam aksi gerakan sosial seperti yang terjadi di tiga dusun
(Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen), Desa Glagaharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tiga
dusun tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana III (KRB III),
yaitu wilayah atau kawasan yang paling rawan risiko bahayanya sehingga
dianggap tidak layak huni dan harus direlokasi.
Gerakan sosial penolakan relokasi merupakan bentuk resistensi
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang berakibat pada terhambatnya
upaya pembangunan. Melihat gejala tersebut, maka penelitian ini penting
dilakukan untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial penolakan relokasi bisa
terwujud. Hasil penelitian diharapkan bisa memberikan rekomendasi atau solusi
bagi pemerintah dalam mengelola bencana untuk tujuan pembangunan yang lebih
baik. Penelitian ini fokus mengamati unsur komunikasi yang mengkonstruksi
gerakan, yaitu mulai dari tahap komunikasi risiko kebijakan (sosialisasi)

3

pemerintah, proses framing masyarakat terhadap informasi kebijakan, komunikasi
dalam mewujudkan gerakan sosial dan komunikasi risiko masyarakat sebagai
konsekuensi tinggal di kawasan rawan bencana.
Perumusan Masalah
Gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi di KRB III Desa Glagaharjo
muncul karena adanya perbedaan pemahaman antara pemerintah dan masyarakat
dalam memaknai risiko. Perbedaan pemahaman ini dibentuk oleh cara berpikir
atau framing masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi
risiko bencana. Dove (2008) menyatakan bahwa dalam memandang risiko
bencana, fokus pemerintah adalah pada dampak yang ditimbulkan saat bencana
terjadi, sehingga penanggulangannya adalah dengan upaya penataan kawasan dan
relokasi hunian. Masyarakat melihat risiko dengan mempertimbangkan waktu
interval di antara bencana, dimana sumberdaya alam dimanfaatkan untuk
menunjang perekonomian sehari-hari.
Perbedaan pemahaman ini semakin menguat dengan adanya komunikasi
internal yang dijalin antar aktor gerakan sosial di tingkat dusun ataupun desa.
Komunikasi internal yang dimaksud antara lain berupa penggalangan massa,
koordinasi aksi gerakan, musyawarah, dan pembentukan tim pengurangan risiko
bencana. Koordinasi antar aktor maupun lembaga dalam mewujudkan gerakan
sosial dilakukan untuk menyamakan tujuan gerakan dan menentukan langkah
gerakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Pambudi (2010) tentang Gerakan
Masyarakat Sipil di Yogyakarta yang menyatakan bahwa gerakan sosial lebih
dipengaruhi oleh koordinasi, organisasi, dan kemampuan masyarakat untuk
mendesakkan cita-cita gerakan yang dituju.
Komunikasi internal juga berperan dalam membentuk framing kolektif
masyarakat dalam memaknai kebijakan pemerintah. Framing merupakan sebuah
pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh aktor gerakan sosial ketika menyeleksi isu dan menyampaikan
kepada orang lain. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan
fakta apa yang diambil dari sebuah kebijakan, bagian mana yang ditonjolkan atau
dihilangkan dan hendak dibawa kemana informasi tentang kebijakan tersebut.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukkan
peran framing dalam mengkonstruksi sebuah gerakan sosial. Pada umumnya,
gerakan sosial diwujudkan melalui aksi perlawanan atau protes langsung yang
dilakukan masyarakat sipil terhadap lembaga penguasa. Untuk melengkapi
penelitian sebelumnya, penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi dan
menganalisis latar belakang pembentukan framing dalam mengkonstruksi gerakan
sosial penolakan relokasi. Lebih jauh lagi, penelitian ini mengidentifikasi
penggunaan komunikasi risiko sebagai upaya pengurangan risiko bencana.
Komunikasi risiko dilihat sebagai tahapan dalam gerakan sosial penolakan
relokasi di KRB III Desa Glagaharjo.
Secara teknis, penelitian ini mengamati peran komunikasi yang menjadi
latar belakang framing dan yang mengkonstruksi gerakan sosial penolakan
relokasi. Penelitian mengajukan 4 pertanyaan utama, yaitu :
1. Bagaimana komunikasi kebijakan yang dilakukan pemerintah kepada
masyarakat sehingga menyebabkan perbedaan dalam memahami risiko?

4

2. Bagaimana model pembingkaian (framing) masyarakat terhadap kebijakan
relokasi dalam penetapan KRB?
3. Bagaimana peran komunikasi dalam mengkonstruksi dan mewujudkan
gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi?
4. Sejauh mana penggunaan komunikasi risiko oleh masyarakat dalam
menghadapi risiko bencana?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan proses komunikasi risiko kebijakan pemerintah yang
mengkonstruksi pemahaman masyarakat tentang risiko.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis proses framing terhadap kebijakan relokasi
dalam penetapan KRB.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis aktivitas komunikasi yang dilakukan
terkait gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi.
4. Memahami konstruksi penggunaan komunikasi risiko masyarakat di kawasan
rawan bencana.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa menemukan ruang bagi pemerintah maupun
masyarakat untuk mendiskusikan kembali kebijakan relokasi dalam penetapan
KRB Gunung Merapi. Hal ini penting hubungannya dengan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Penolakan warga menyebabkan program
pembangunan pemerintah di Desa Glagaharjo (Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah
Kidul dan Srunen) menjadi terhambat (terputus jalur koordinasinya). Lebih jauh
lagi, tidak adanya perhatian dari pemerintah terhadap kondisi ini berpotensi
menimbulkan gerakan sosial yang lebih besar dampaknya, yaitu gerakan radikal
yang disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dalam tatanan praktis, melalui pengetahuan tentang faktor-faktor sosial,
ekonomi dan budaya yang mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat di
wilayah rawan bencana gunung api, dapat disusun strategi yang efektif bagi
peningkatan kesiapan masyarakat menghadapi risiko bencana gunung api. Selain
itu, penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan strategi
penggunaan komunikasi risiko yang tepat dalam pengelolaan bencana di
Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Gerakan sosial didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan
yang tak terlembaga (noninstitutionalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang
berdasarkan solidaritas bersama dalam mendukung tujuan sosial, yaitu
pelaksanaan atau pencegahan perubahan struktur dan atau nilai-nilai masyarakat
(Mirsel, 2004). Gerakan sosial tidak akan terjadi begitu saja. Gerakan sosial
terjadi karena ada hubungan antar individu. Hubungan antar individu dalam
gerakan sosial tidak ditentukan oleh aturan dan prosedur tetapi oleh persepsi atau
pandangan umum masyarakat. Aksi penolakan masyarakat KRB III desa
Glagaharjo terhadap kebijakan relokasi merupakan tindakan kolektif sebuah

5

gerakan sosial yang disebabkan pandangan masyarakat yang sama terhadap
informasi kebijakan pemerintah.
Pengamatan terhadap kapan dan bagaimana aktivitas komunikasi
dilakukan dalam mengkonstruksi gerakan sosial, akan menunjukkan model
framing yang digunakan sebagai dasar tindakan kolektif penolakan relokasi.
Penelitian ini menggunakan konsep framing model Entman untuk
mengidentifikasi latar belakang masyarakat dalam mewujudkan tindakan kolektif
gerakan sosial penolakan relokasi. Analisis framing model Gamson juga
dilakukan untuk memperkuat hasil penelitian, bukan untuk membandingkan kedua
model framing tersebut. Ruang lingkup data dan aktivitas komunikasi yang akan
dicari dan dianalisis dalam penelitian meliputi :
1. Data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di lokasi penelitian.
2. Kebijakan pemerintah berupa Peraturan Bupati Sleman No 20 tahun 2011.
3. Model framing penolakan masyarakat terhadap kebijakan relokasi.
4. Aktivitas dan peran komunikasi yang dilakukan mulai dari komunikasi
kebijakan relokasi dalam penetapan KRB III (sosialisasi), koordinasi antar
masyarakat dan komunikasi aksi gerakan sosial masyarakat menolak relokasi.
5. Penggunaan komunikasi risiko masyarakat sebagai upaya pengurangan risiko
bencana.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Risiko dan Komunikasi Risiko
Risiko telah didefinisikan dengan berbagai cara, meskipun semuanya tidak
ada yang sepenuhnya benar atau salah, tetapi risiko telah menjadi “alat” yang
berguna untuk mengabstraksi dan menciptakan pandangan umum tentang
bagaimana cara menghadapinya (Rosa, 1998 dikutip Habegger, 2008). Sebuah
definisi menganggap bahwa risiko adalah kemungkinan cedera, kerusakan atau
kerugian (Webster, 1983 dikutip Habegger, 2008). Rosa (1998) dikutip Habegger
(2008) menambahkan bahwa risiko memiliki unsur ketidakpastian yaitu dengan
mendefinisikan risiko sebagai situasi di mana sesuatu yang bernilai bagi manusia
telah dipertaruhkan dan hasilnya selalu tidak pasti. Dalam cara yang sama, Terje
dan Ortwin (2009) menganggap bahwa meskipun tidak ada definisi umum yang
menyepakati risiko, namun ada beberapa karakteristik umum yang bisa disebut,
antara lain :
1. Risiko adalah kombinasi dari probabilitas dari suatu peristiwa dan
konsekuensinya (ISO, 2002).
2. Risiko didefinisikan sebagai satu set skenario, yang masing-masing memiliki
probabilitas dan konsekuensinya (Kaplan, 1991).
Health dan O‟Hair (2009) mengatakan perilaku memahami risiko adalah
bagaimana manusia secara individu maupun dalam kelompok melihat lingkungan
mereka dan hal-hal yang mengancam kehidupan mereka berdasarkan cara
pandang secara umum. Risiko harus dipahami, dikelola dan dikomunikasikan
sehingga orang dapat menjalani kehidupan yang nyaman, sehat dan bahagia.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi semakin menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang risiko serta membuka peluang untuk dialog dalam
pengambilan keputusan berdasarkan penilaian risiko (Palenchar, 2009).

6

Perspektif tentang risiko ini akan menjadikan pemaknaan berbeda bagi
setiap orang. Perbedaan-perbedaan ini dapat didasarkan pada informasi yang
berbeda, kepentingan, atau persepsi tentang realitas dan bagaimana kita datang
untuk melihatnya. Pemahaman dan tindakan tentang risiko bisa dipelajari melalui
konsepsi sosial dan budaya yang terstruktur dan evaluasi (Boholm, 1998).
Memahami risiko berarti bahwa penting untuk melakukan tindakan atas
risiko tersebut. Untuk itu diperlukan manajemen risiko agar pengelolaan risiko
bisa terencana dan sistematis. Manajemen risiko bencana adalah proses dinamis
dari upaya-upaya penanggulangan bencana yang dilakukan secara terus menerus,
baik melalui mekanisme eksternal maupun internal. Mekanisme eksternal
merupakan mekanisme penanggulangan yang lebih memobilisasi unsur di luar
masyarakat. Penanggulangan bencana dengan mekanisme internal merupakan
mekanisme yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dan sentral.
Mekanisme internal dilandasi oleh pemikiran bahwa masyarakat korban masih
dapat diberdayakan dan memiliki keberdayaan.
Dalam menyusun strategi pengurangan risiko bencana sangat penting
untuk memahami manajemen risiko, yaitu bagaimana masyarakat menafsirkan
risiko dan memilih tindakan berdasarkan interpretasi mereka. Risiko dalam
konteks bencana alam selalu melibatkan interaksi antara gejala alam dan faktor
manusia. Interpretasi masyarakat dibentuk oleh pengalaman mereka sendiri,
perasaan pribadi dan nilai-nilai, keyakinan budaya serta dinamika interpersonal
dan sosial. Selain itu, akses terhadap informasi dan kapasitas untuk perlindungan
diri biasanya tidak merata dalam populasi (Eiser, et al., 2012).
Menurut Kodoatie dan Syarief (2006) yang mengutip Carter (2001),
manajemen risiko bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari dengan melakukan observasi secara
sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan terukur
(measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi),
persiapan, tanggap darurat dan pemulihan (recovery).
Manajemen risiko bencana dilakukan dalam suatu tahapan yang terdiri
dari: pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, kejadian bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi dan rekontruksi (Carter, 1992). Memahami setiap tahapan
dalam manajemen risiko bencana adalah hal yang sangat penting. Efektifitas
manajemen risiko bencana tidak hanya dilihat dari aktivitas pada saat penanganan
bantuan bencana saja, namun meliputi seluruh aktivitas seperti dalam tahapan
manajemen risiko bencana sebagai berikut:
1. Tahap preparedness pemerintah perlu menekankan pada keselamatan jiwa
masyarakat di lingkungan wilayah bencana. Praktek manajemen risiko
bencana secara terpadu dan komprehensif mutlak diperlukan. Pada sisi lain,
pemahaman bencana pada masyarakat merupakan bagian penting pada fase ini.
Dalam hal ini masyarakat perlu memahami response dan tindakan mereka
dalam peristiwa bencana tersebut.
2. Tahap mitigation manajemen risiko bencana menekankan bahwa kegiatan
emergency memfokuskan pada pengurangan akibat negatif bencana. Kunci
response selama masa mitigasi meliputi keputusan tentang pengembangan
ekonomi, kebijakan pemanfaatan lahan, perencanaan infrastruktur seperti jalan
dan fasilitas umum dan identifikasi penemuan sumber daya guna mendukung
investasi.

7

3. Tahap response sangat diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai pihak.
Koordinasi memungkinkan pemberian bantuan kepada masyarakat yang
terkena bencana dapat diberikan secara cepat, tepat dan efektif.
4. Tahap recovery merupakan fase aktivitas penilaian dan rehabilitasi kerusakan
akibat bencana. Fase ini ditekankan pada proses pendistribusian bantuan.
Proses tersebut meliputi penentuan dan monitoring bantuan pada masyarakat
yang terkena bencana.
Menurut Rahmat (2006) manajemen risiko bencana merupakan seluruh
kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen
risiko bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang.
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
Risiko harus dipahami, dikelola dan dikomunikasikan sehingga orang
dapat menjalani kehidupan yang nyaman, sehat dan bahagia. Pada awal
perkembangannya komunikasi risiko diarahkan untuk kepentingan politik para
pejabat pemerintah dan usahawan yang membutuhkan dukungan masyarakat
untuk suatu keputusan politik. Komunikasi risiko dikembangkan dari kebutuhan
praktis masyarakat industri untuk mengelola teknologi dan untuk melindungi
warga dari bahaya teknologi buatan manusia dan bahaya alam. Berdasarkan uraian
di atas, awal munculnya komunikasi risiko bersifat satu arah yaitu dari para ahli
sebagai partisipan kunci kepada masyarakat.
Melengkapi tahapan-tahapan yang sudah disebutkan sebelumnya, Undangundang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan siklus manajemen risiko bencana
sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia
Kegiatan
Preparedness
(kesiapsiagaan)
Mitigasi

Response
(tanggap darurat)

Keterangan
Serangkaian
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Serangkaian kegiatan untuk mengurangi risiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan
sarana.

8

Tabel 1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia (lanjutan)
Kegiatan
Rehabilitasi
(Recovery)

Keterangan
Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca bencana.

Rekonstruksi

Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik tingkat
pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

Sumber : UU no 24 th 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Palenchar (2009) menjelaskan perkembangan selanjutnya, bahwa
komunikasi risiko menyoroti pentingnya pendekatan dialogis dan membangun.
Pendekatan dialogis sering terhambat oleh kurangnya lembaga yang responsif
terhadap kebutuhan, perhatian dan pemahaman publik terhadap potensi risiko
yang nyata. Reynolds dan Seeger (2005) seperti dikutip oleh Palenchar (2009)
menjelaskan bahwa komunikasi risiko menyangkut tentang produksi pesan yang
dirancang khusus untuk memperoleh tanggapan publik, sebagian besar dimediasi
melalui saluran komunikasi massa, mengandalkan kredibilitas sebagai elemen
mendasar persuasi dan bertujuan untuk mengurangi bahaya serta meningkatkan
keamanan masyarakat.
Saat ini pembahasan tentang komunikasi risiko telah meluas dalam
berbagai disiplin ilmu. Tansey dan Rayner (2009) membahas komunikasi risiko
dari perspektif budaya, dimana lembaga-lembaga sosial memberikan pengaruh
yang cukup menentukan terhadap penilaian risiko dan tindakan sosial. Nilai-nilai
dan keyakinan yang memiliki kekuatan dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan
dari tindakan kolektif. Tindakan seseorang juga tidak dapat dipisahkan dari
pemikiran bagaimana orang lain dalam lingkungannya akan melihat tindakan yang
dilakukannya.
Sheppard dan Janoske (2012) menguraikan komunikasi risiko ke dalam
tiga tahap yaitu tahap kesiapsiagaan (preparedness), tanggap darurat (response)
dan pemulihan (recovery). Masing-masing tahapan memiliki karakteristik dan
tujuan komunikasi yang berbeda-beda. Tingkat risiko yang berbeda-beda dan
kondisi sosial masyarakat juga menentukan bagaimana komunikasi risiko
diimplementasikan pada suatu kejadian bencana. Dalam implementasinya,
komunikasi risiko tidak bisa hanya mengacu pada satu teori saja. Beberapa teori
yang perlu menjadi acuan dalam pelaksanaan komunikasi risiko antara lain Crisis
and Emergency Risk Communication (CERC), Situational Theory of Publics
(STP), Heuristic Systematic Model dan Deliberative Process Model (Gambar 1).

9

Gambar 1 Tahapan komunikasi risiko (Sheppard & Janoske 2012)
Crisis and emergency risk communication (CERC) adalah penerapan
prinsip-prinsip berkomunikasi yang efektif selama keadaan darurat. Prinsipprinsip ini digunakan untuk memberikan informasi yang membantu individu,
pemangku kepentingan, dan seluruh masyarakat untuk membuat keputusan terbaik
dalam menghadapi risiko. CERC mengakui bahwa selama keadaan darurat, segala
tindakan dilakukan di bawah kendala waktu dan dalam keadaan tertekan.
Sehingga keputusan yang diambil belum tentu merupakan yang terbaik, namun
merupakan solusi pada saat itu juga.
Situational Theory Of Publics (STP) atau teori situasi publik
dikembangkan oleh Profesor James E. Grunig di University of Maryland, College
Park. Grunig (1997) mendefinisikan bahwa publik dapat diidentifikasi dan
diklasifikasikan dalam konteks dimana mereka menyadari masalah dan sejauh
mana mereka melakukan sesuatu atas masalah tersebut. Teori ini menjelaskan
bagaimana ketika berkomunikasi orang bisa lebih efektif sesuai dengan situasi
yang ada.
Heuristic Systematic Model (HSM) adalah model komunikasi atau
pengolahan informasi yang diakui secara luas oleh Chaiken (1980) yang mencoba
untuk menjelaskan bagaimana orang menerima dan memproses pesan persuasif.
Teori ini menyatakan bahwa individu dapat memproses pesan menggunakan salah
satu dari dua cara yaitu sistematis atau heuristik. Pemrosesan sistematis
merefleksikan pengamatan yang hati-hati, analitis dan sungguh-sungguh terhadap
pesan. Orang harus dimotivasi untuk mempraktekkan pemrosesan sistematis, dan
ini sebaliknya dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel situasi seperti tekanan
waktu atau kurangnya keahlian di bidang tertentu. Pengamatan heuristik adalah
cara yang lebih sederhana yang menggunakan aturan-aturan atau skema prediksi
untuk membentuk penilaian atau membuat keputusan. Contoh-contoh aturan yang
mungkin dapat membantu pengambilan keputusan adalah “pernyataan para pakar
yang dapat dipercaya”, “orang-orang menarik yang popular” dan “tindakantindakan orang yang merefleksikan sikap mereka”. Kedua model yang dominan

10

ini dikembangkan pada awal hingga pertengahan 1980-an dan telah berbagi
banyak konsep dan ide-ide yang sama (Hill, 2009).
Deliberative Process Model (proses musyawarah) merupakan proses
pengambilan keputusan yang melibatkan kelompok. Dengan demikian, kita
mendefinisikan "proses musyawarah" sebagai sebuah proses yang memungkinkan
kelompok pelaku untuk menerima dan melakukan pertukaran informasi, untuk
memahami masalah dan untuk mencapai kesepakatan dalam pengambilan
keputusan (Fearon, 1998).
Komunikasi Gerakan Sosial
Masyarakat sipil adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang
bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating),
keswadayaan (self supporting) dan kemandirian yang tinggi terhadap negara.
Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil
(Porta & Diani, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas, gerakan sosial
didefinisikan sebagai „sebentuk aksi kolektif‟ dengan orientasi konfliktual yang
jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring
lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat oleh rasa solidaritas dan
identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan
kampanye bersama.
Pelaku gerakan sosial tidaklah tunggal, sehingga gerakan sosial tidak dapat
direpresentasikan oleh suatu organisasi tertentu saja. Gerakan sosial
direpresentasikan oleh cita-cita yang akan diusung, oleh sebab itu gerakan sosial
memiliki ciri inklusif, tidak didominasi dan direpresentasikan oleh satu atau dua
organisasi. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan pertukaran sumber
daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam
aktor individu maupun kelembagaan. Strategi, koordinasi dan pengaturan peran
dalam aksi kolektif gerakan sosial ditentukan dari negosiasi yang terus menerus di
antara aktor-aktor yang terlibat dan diikat oleh identitas kolektif. Gerakan sosial
mengambil tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan
oleh negara seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang
lebih luas dan lain sebagainya. Gidden (2010) menyatakan bahwa gerakan sosial
adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan
mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar
lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan.
Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan sosial terletak pada
diterimanya tujuan gerakan sosial oleh seluruh aktor gerakan (Gamson, 1992).
Keberhasilan gerakan sosial terletak pada bagaimana aktor-aktor gerakan
memformulasikan tujuannya sehingga diterima secara luas, yaitu sejauh mana
khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau
tujuan bersama. David A. Snow (1986) dalam Gamson (1992) menyatakan bahwa
gerakan sosial bukan hanya membutuhkan bingkai bagaimana setiap aktor harus
bertindak, melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Keberhasilan dari
suatu gerakan sosial tergantung pada bagaimana keberhasilan kelompok dalam
mendefinisikan bingkai (frame) atas apa yang harus dilakukan bersama. Gamson
juga menambahkan bahwa wacana media adalah satu sumber informasi penting
yang dapat diambil orang ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu
yang mereka bicarakan.

11

Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang luas dari para
pendukungnya. Menurut Klandermans (2005) terdapat empat langkah menuju
partisipasi dalam gerakan sosial. Pertama adalah potensi mobilisasi. Untuk
menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari
beberapa kelompok. Potensi mobilisasi mengacu kepada anggota masyarakat yang
secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial.
Anggota masyarakat potensial yang dimaksud adalah semua orang yang
mempunyai sikap positif terhadap gerakan, tidak terbatas pada kelompokkelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan
orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun
dapat bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk
dimobilisasi.
Kedua yaitu jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun
besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki
jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan efektif. Untuk
membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu gerakan harus mampu
menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan menjalin hubungan
dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada. Gerakan juga harus
mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional
(Farree & Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial menentukan upayaupaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin erat
hubungannya dengan organisasi dan jaringan-jaringan yang lain, maka semakin
banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam & Paulsen,
1993).
Ketiga, motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi
motivasi, sebuah gerakan harus mampu mempengaruhi pemahaman tentang
keuntungan dan kerugian jika seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika
keuntungan yang diperoleh dalam gerakan sosial lebih besar dari kerugian,
kemungkinan untuk berpartisipasi juga semakin besar. Partisipasi masyarakat
dalam gerakan sosial bisa berupa keterlibatan kongkret dan spesifik seperti
mengikuti rapat umum atau demonstrasi, menyumbangkan sejumlah uang,
bergabung dalam barisan protes, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat
mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi dalam sebuah gerakan
yang spesifik, maka ia akan juga berpartisipasi kembali dengan gerakan yang lain.
Keempat yaitu penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan
kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan akan
berubah menjadi partisipasi jika niat untuk turut dalam gerakan dapat
dilaksanakan. Penghalang untuk berpartisipasi dapat diatasi bila orang benarbenar memiliki niat dan termotivasi dalam sebuah gerakan. Seseorang akan
berpartisipasi atau tidak tergantung pada bagaimana cara dia merespon
penghalangnya. Jadi, gerakan sosial harus menerapkan salah satu atau kedua
strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau menguatkan motivasi, dan (b)
menyingkirkan penghalang.
Konsep Framing Gerakan Sosial
Frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang
dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya

12

arti dan bermakna (Goffman, 1974 dikutip Eriyanto, 2007). Menurut Pan dan
Kosicki (1993) yang dikutip Eriyanto (2007), terdapat dua konsepsi dari framing
yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam
konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi
dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana
seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukan dalam skema tertentu.
Skema adalah teori yang berasal dari bidang keilmuan psikologi yang
menjelaskan mengenai bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya
dalam memandang dunia (seseorang, lingkungan dan peristiwa) dengan
pandangan atau perspektif tertentu. Skema dapat menimbulkan efek yang kuat
pada tiga proses dasar: perhatian atau atensi (attention), pengodean (encoding),
dan mengingat kembali (retrival) (Baron & Bryne, 2004). Frame menawarkan
penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung setiap hari.
Kedua, dalam perspektif sosiologis, frame berfungsi membuat realitas
menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu. Menurut
Goffman yang dikutip Eriyanto (2007), frame secara aktif mengklasifikasi,
mengorganisasikan dan menginterpretasikan pengalaman hidup seseorang agar
orang tersebut dapat memahaminya. Menurut Snow yang dikutip Klandermans
dan Suzanne (2002), frame merupakan interpretative schemata yang membuat
partisipan mampu menempatkan, menerima dan melabeli suatu hal. Klandermans
dan Suzanne (2002) berpendapat bahwa frame memiliki elemen-elemen sebagai
berikut :
1. Frame memiliki konten.
2. Frame merupakan struktur kognitif atau skema.
3. Frame terdapat pada diri individu maupun lingkungan sosialnya. Frame
merupakan skema kognitif seorang individu yang berguna dalam membangun
aksi kolektif. Aksi kolektif dapat dibangun apabila individu tersebut berbagi
skema yang ia miliki kepada individu lain yang memiliki skema sama dalam
suatu aksi yang memiliki pola tertentu.
4. Frame merupakan struktur kognitif seseorang dan hasil pengembangan proses
kognitif. Berdasarkan hal ini, penelitian mengenai framing dapat dibagi
menjadi dua tipe yaitu: (1) memandang framing sebagai suatu kegiatan
penting dalam mengembangkan pergerakan dengan menyebarkannya melalui
frame aligment processes, dan (2) memandang frame sebagai konten dan
struktur, yang mengungkapkan interpretasi partisipan ataupun pemimpinnya
mengenai suatu hal dalam suatu waktu.
5. Frame berbasis pada teks. Frame dalam konteks ini dapat ditemukan dalam
dokumen tertulis, komunikasi verbal (percakapan, pidato, slogan, lagu), dan
representasi secara visual (gambar, ilustrasi kartun). Frame juga dapat
ditemukan dari gabungan ketiganya yaitu melalui analisis dokumen,
wawancara partisipan, pidato, slogan, lagu, lukisan, foto, dan sebagainya.
Pendekatan framing dalam gerakan sosial paling erat terkait dengan karya
David Snow, William Gamson dan Todd Gitlin (McAdam, et al., 2009). Istilah
frame dipinjam dari Erving Goffman yang mengacu pada skema penafsiran bahwa
individu mengadopsi untuk memahami dunia di sekitar mereka dan menempatkan
diri di dalamnya. Menurut Snow, frame memberikan makna pada peristiwa dan
berfungsi untuk mengatur pengalaman dan panduan tindakan, baik kolektif
maupun individual (McAdam, et al., 2009).

13

Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame yang sangat
mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang berusaha untuk
dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak” dan tergantung pada seberapa
sukses pemimpin gerakan menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri
dengan frame tindakan kolektif dari simpatisan. Sehingga mereka akan mampu
memobilisasi berbagai individu dan kelompok.
Strategi framing dalam gerakan sosial baru juga menjelaskan ada beberapa
topik yang penting dijelaskan untuk pijakan analisis teori dalam membentuk
proses framing pada masyarakat (McCarthy & Zald, 2009). Dengan kata lain
topik-topik ini menjadi dasar proses pembentukan framing kelompok tanggap
bencana, yaitu: Pertama, kontradiksi budaya. McCarthy dan Zald (2009)
menjelaskan peranan gerakan sosial seringkali tercipta melalui ketergantungan
budaya yang sudah berlangsung lama, kemudian berkembang menjadi bahan
proses pembentukan framing seperti keluhan dan ketidakadilan sehingga
menyebabkan terjadinya aksi kolektif. Kedua, proses pembentukan framing
sebagai aktivitas strategi. Adanya keretakan dan kontradiksi budaya telah
menyediakan konteks dan sekaligus kesempatan bagi kader-kader gerakan, yaitu
pemimpin, partisipan inti, aktivis dan simpatisan. Dalam hal ini ada proses aktif
framing pendefinisian idiologi dan simbol, juga peristiwa-peristiwa yang mampu
menjadi sorotan dari kalangan di luar aktivis. Kalangan masyarakat, asosiasi
pemimpin, politisi dan penulis juga berkontribusi menentukan pilihan strategis
framing dalam gerakan sosial. Ketiga, dalam menentukan kelompok sasaran
dalam gerakan diperlukan alat dalam menjalankan framing, yaitu berupa media
pertemuan atau perkumpulan, sebuah tempat sebagai ruang berdikusi. Karena
diskusi proses framing juga memasukkan media sebagai topik penting.
Pengkontesan framing terjadi pada interaksi berhadap-hadapan langsung antar
anggota. Gerakan sosial mempergunakan ruang atau tempat-tempat pertemuan
sebagai media berdebat atau berdiskusi untuk mensosialisasikan masalah-masalah
sosial sehingga kelompok masyarakat berkeinginan untuk ikut dalam gerakan
sosial tersebut (Situmorang, 2013).
Di dalam penelitiannya, Gamson (1992) menyimpulkan bahwa ada tiga
frame yang mampu mempengaruhi gerakan sosial yakni: pertama, Aggregate
Frame, yaitu merupakan proses pendefinisian isu mengenai masalah sosial.
Bagaimana individu yang mendengar frame peristiwa tersebut sadar bahwa isu
yang sedang berkembang tersebut adalah yang berpengaruh bagi setiap individu.
Kedua, Consensus Frame, yaitu proses pendefinisian yang berkaitan dengan
masalah sosial yang hanya b