1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah besar yang dihadapi remaja adalah penyesuaian terhadap perubahan secara fisiologis dan psikologis karena pengaruh hormon
seksual yang sudah mulai berfungsi. Setelah mendapatkan pengalaman mentruasi untuk perempuan dan mimpi basah untuk laki-laki, keingintahuan terhadap
seksualitas dan keinginannya untuk menyalurkan dorongan seksual menjadi bertambah besar. Data penelitian yang dilakukan oleh Sahabat Remaja di kota
Medan dalam ”Potret Remaja dalam Data”, 2002 tentang seksualitas menunjukkan bahwa 10 persen remaja di kota Medan telah terlibat hubungan
seksual secara aktif dan persoalan seksualitas pacaran, pilihan perilaku seksual,
kehamilan yang tidak diinginkan ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa. Setiono 2002 mengemukakan bahwa banyak perubahan pada
diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan
keremajaan seseorang. Santrock 2003 mengemukakan bahwa perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif dan sosial. Perubahan secara
kognitif pada remaja meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis. Secara sosial, perkembangan ini ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan
dengan orangtua, sehingga remaja biasanya akan semakin mengenal komunitas
Universitas Sumatera Utara
2 luar dengan jalan interaksi sosial yang dilakukannya di sekolah, pergaulan dengan
teman sebaya maupun masyarakat luas. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja yaitu semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk organ
reproduksi dan seksualnya yang menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual.
Perkembangan organ seksual pada kehidupan remaja bukan saja berpengaruh pada penyempurnaan tubuh khususnya yang berhubungan dengan
ciri-ciri seks sekunder seperti, pada remaja putri ditandai dengan pembesaran payudara, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara,
tumbuh bulu di daerah dada, dan kumis, melainkan juga berpengaruh pada kehidupan psikis, moral, dan sosial Mu’tadin, 2002.
Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Ketertarikan antar lawan jenis
ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius. Pada kehidupan moral, tidak jarang timbul konflik dalam diri remaja. Masalah yang timbul yaitu
akibat adanya dorongan seksual dan pertimbangan moral sering kali bertentangan. Sedangkan pengaruh perkembangan organ seksual pada kehidupan sosial ialah
remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran.
Hanifah 2002 mengatakan bahwa pacaran dianggap sebagai pintu masuk hubungan yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual sebagai wujud kedekatan
antara dua orang yang sedang jatuh cinta. Persoalannya, banyak remaja kurang terampil dalam berpacaran sehingga mudah tergelincir dan terlibat dalam perilaku
Universitas Sumatera Utara
3 seksual yang tidak semestinya dilakukan remaja yang belum menikah Subiyanto,
2007. Perilaku seksual pada remaja berpacaran misalnya dengan berbagai
perilaku seksual seperti ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual Mu’tadin,
2002. Dorongan seksual yang meningkat dan rasa ingin tahu yang besar tentang seksualitas seringkali membawa remaja yang sedang berada dalam posisi rentan
terhadap kasus-kasus ”keterlanjuran”. Masalah-masalah ”keterlanjuran” akibat seksualitas pada remaja dapat berupa perilaku seksual pranikah yang dapat
mengakibatkan kehamilan pranikah dan penularan penyakit seksual Prihartini, 2002.
Sarwono 2005 menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua
orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual sebelum nikah
menjadi pemikiran serius bagi orangtua, masyarakat, maupun pendidik bahkan remaja itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan selama ini. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh tim Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran di empat kota besar menemukan bahwa 21,7
remaja di Bandung, 31,6 remaja di Jakarta, 30,85 remaja di Bogor dan 26,47 remaja di Surabaya telah terlibat hubungan seksual secara aktif. Angka-
angka tersebut sekaligus menunjukkan seberapa besar remaja terancam penyakit kelamin menular, HIV atau AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak
Universitas Sumatera Utara
4 kalah pentingnya adalah tanggung jawab moral yang tidak hanya ditanggung oleh
remaja itu sendiri tapi juga keluarga, pendidik dan masyarakat dalam Mayasari, 2000.
Perilaku seksual pranikah justru banyak dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal tersebut,
tetapi dari fakta menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi
untuk melakukan hubungan seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu, lingkungan keluarga yang negatif bagi remaja, agama atau
keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa Cosmopolitan, dalam Mayasari, 2000.
Penelitian yang dilakukan oleh Gatra dan Laboraturium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia LIP FISIP-UI pada
akhir tahun 1997 yang dilakukan di lima kota besar yaitu di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujung Pandang dengan melibatkan 800 responden remaja
berusia 15-22 tahun yang berpacaran menunjukkan bahwa 47,3 responden mengaku pernah melakukan ciuman pipi, 22 pernah melakukan ciuman bibir,
11 pernah melakukan cupang atau cium leher, 4,5 pernah meraba-raba tubuh pasangan, 2,8 pernah melakukan petting, dan 1,3 sudah pernah melakukan
senggama di luar nikah dalam Sinuhaji, 2006. Pakar seksologi Nugraha dalam, “Kurang, Kesadaran Remaja Tentang
HIVAIDS”, 2004 menyatakan bahwa 6-20 remaja di Jakarta pernah melakukan seks pranikah. Hal serupa juga ditambahkan oleh Situmorang dalam,
Universitas Sumatera Utara
5 “Kesehatan Reproduksi Remaja Penting dan Perlu”, 2003 yang menyatakan
bahwa 27 remaja laki-laki dan 9 remaja perempuan di Medan yang berusia 15-24 tahun mengatakan bahwa mereka sudah pernah melakukan hubungan
seksual pranikah. Menurut Sarwono 2005 bahwa sebagian besar dari hubungan seks remaja
diawali dengan agresivitas para remaja laki-laki dan selanjutnya remaja perempuan lah yang menentukan sampai batas mana agresivitas tersebut dapat
dipenuhi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Hanifah 2002 yang menunjukkan bahwa ternyata remaja laki-laki cenderung mempunyai
perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, gigih, terang-terangan, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya banyak remaja
perempuan mendapat pengalaman pertama hubungan seksual pranikah dari pacarnya. Perilaku remaja laki-laki tersebut sebagai perwujudan nilai gender yang
dipercayainya sebagai lebih dominan, yaitu laki-laki harus aktif, berinisiatif, berani, sedangkan perempuan harus pasif, penunggu, dan pemalu.
Data-data tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga tidak semua
bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu tidak mengejutkan apabila angka-angka tersebut sebenarnya jauh lebih besar daripada
yang dilaporkan. Tapi setidaknya penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak telah menunjukkan tingginya perilaku seksual pranikah remaja yang berpacaran
Sarwono, 2005.
Universitas Sumatera Utara
6 Menurut Sarwono 2005 salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksuah pranikah yang dilakukan remaja adalah hubungan dalam keluarga khususnya hubungan orangtua dan anak. Kurangnya dukungan keluarga seperti
kurangnya perhatian orangtua terhadap kegiatan anak, kurangnya kasih sayang orangtua, dan komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga dapat menjadi
pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Selain itu, orangtua perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orangtua, sehingga remaja lebih
terbuka dan mau bercerita agar orangtua bisa memantau dan mengarahkan pergaulan anak remajanya.
Hal tersebut juga diperkuat oleh pendapat Mu’tadin 2002 bahwa suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta
hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja sehingga remaja cenderung konform
dengan pengaruh negatif lingkungan sosialnya seperti perilaku seksual pranikah. Dari hasil penelitian Damayanti dalam “Siswa Cianjur Berhubungan Seks
Pranikah”, 2007 terhadap 8.941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di Jakarta menunjukkan bahwa para remaja melakukan perilaku seksual pranikah
karena alasan tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai praktek perilaku seksual pranikah. Bila remaja tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan keluarga yang kurang sensitif terhadap remaja maka remaja akan lebih mudah konform dengan pengaruh teman sebaya yang negatif. Lingkungan
keluarga yang negatif, penuh dengan konflik, dan kurangnya komunikasi orangtua dan remaja juga akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap
Universitas Sumatera Utara
7 perilaku orang-orang di sekelilingnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald
Patterson dan rekan-rekannya dalam Santrock, 2003 juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja,
kurangnya perhatian terhadap aktivitas anak dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai membuat remaja menjadi lebih mudah jatuh pada perilaku
seksual pranikah. Hubungan dalam keluarga yang baik seperti, minimnya konflik dalam
keluarga, anggota keluarga yang saling menyayangi, saling pengertian, adanya komunikasi yang efektif dalam keluarga, orangtua yang selalu membimbing dan
mengarahkan perilaku anak tapi tidak memaksa, dan keluarga yang saling mendukung segala aktivitas, akan mewujudkan keluarga yang harmonis Gunarsa,
2000. Menurut Gunarsa 2000 suatu keluarga dikatakan harmonis bilamana
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya
eksistensi, aktualisasi diri yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Suardiman 1990 menjelaskan bahwa keluarga yang harmonis ditandai dengan
adanya suasana rumah tangga yang teratur dimana setiap anggota keluarga menjalankan fungsinya sesuai perannya masing-masing, tidak banyak konflik, dan
peka terhadap kebutuhan anggota keluarga. Keluarga yang harmonis merupakan tempat yang menyenangkan dan
positif untuk hidup, karena anggotanya telah belajar beberapa cara untuk saling memperlakukan dengan baik Nick, 2002. Anggota keluarga dapat saling
Universitas Sumatera Utara
8 mendapatkan dukungan, kasih sayang dan loyalitas, serta dapat berbicara satu
sama lain, mereka saling menghargai dan menikmati keberadaan bersama. Kondisi-kondisi yang berlangsung dalam keluarga yang harmonis ini, akan
menimbulkan rasa nyaman pada diri setiap anggota keluarga yang pada akhirnya membuat anggota keluarga merasa memiliki keluarga yang bersedia mendukung
berbagai kegiatan yang dilakukan Gunarsa, 2000. Sebenarnya sulit menemukan arti dari keluarga harmonis itu sendiri,
namun dari berbagai literatur yang ada dapat diidentifikasi ciri-ciri keluarga utuh dapat mewakili gambaran kondisi keluarga harmonis. Menurut Ahmadi 1991
keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Nick 2002, menyatakan bahwa keluarga utuh menjadikan keluarga
memiliki kondisi yang harmonis. Dari pernyataan itulah maka dapat disimpulkan bahwa keluarga yang utuh menjadi pilar bagi terbentuknya keluarga yang
harmonis. Keluarga harmonis terwujud tidak hanya apabila perkawinan kedua
orangtua tidak bercerai. Jika hubungan dalam keluarga penuh konflik, tidak ada komunikasi, kasih sayang, saling pengertian, suasana keluarga yang tidak aman
dan menyenangkan maka kehidupan harmonis dalam keluarga pun tidak terwujud. Hal yang paling penting adalah menciptakan hubungan yang demokratis di dalam
keluarga sehingga remaja dapat menjalin interaksi yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya. Namun Gunarsa 2003 menyatakan bahwa faktor
perceraian orangtua dapat mengakibatkan hubungan kedua orangtua semakin lama semakin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa
Universitas Sumatera Utara
9 sehingga komunikasi tidak efektif bahkan terputus. Hubungan itu menunjukan
situasi keterasingan dan keterpisahan yang semakin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada
rasa kebertautan yang intim lagi. Hal tersebut juga mengakibatkan tidak adanya perhatian, penerimaan, bantuan dan dukungan dari keluarga. Pengaruh suasana
rumah yang kurang nyaman bagi remaja yang disebabkan perceraian orangtua akan membuat kondisi rumah tersebut menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan ini
sangat terasa bagi perkembangan remaja. Dari tabel 1 hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinuhaji 2006,
menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua mempunyai pengaruh bagi perilaku seksual remaja. Remaja yang berasal dari keluarga bercerai ternyata lebih
aktif secara seksual daripada remaja yang mempunyai orangtua utuhtidak bercerai. Namun tidak semua remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah
dengan pasangannya berasal dari keluarga bercerai. Tabel 1
Gambaran Umum Perilaku Seksual Remaja Ditinjau dari Status Perkawinan Orangtua
Perilaku Seksual Cerai Tidak
Bercerai Touching
15,4 10,2
Kissing 7,7
30,7 Petting
61,5 47,7
Sexual Intercourse 15,4 11,4
Total 100
100
Universitas Sumatera Utara
10 Hurlock dalam Maria, 2007 menyatakan bahwa anak yang hubungan
perkawinan orangtuanya bahagia akan merasakan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orangtua,
semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga. Suasana keluarga
yang tidak menyenangkan, membuat anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-
masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Nuryoto dalam Prihartini, 2002 mengemukakan bahwa kondisi ini
menimbulkan adanya suatu ketidakpuasan dalam diri remaja. Ketidakpuasan tersebut timbul karena kebutuhan psikisnya tidak terpenuhi secara tepat dan wajar,
sehingga ia berusaha melakukan kompensasi. Selama kompensasi yang dipilih bersifat positif, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah, tetapi tidak jarang
remaja mengalami kesulitan memilih kompensasi yang positif. Mereka cenderung untuk melarikan diri dari permasalahan yang dihadapi seperti, merokok, memakai
obat terlarang, dan meminum minuman keras. Bahkan ada yang sampai melakukan tindakan yang berbau seks seperti perilaku seksual pranikah.
Remaja membutuhkan kasih sayang dan kehadiran orangtua disisinya. Kehadiran orangtua tentunya akan dapat memberikan pemenuhan kebutuhan
psikologis. Selain itu, orangtua mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam perkembangan keseluruhan eksistensi anak, termasuk kebutuhan-kebutuhan
fisik maupun psikis, sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang ke arah kepribadian yang harmonis dan matang yang mempunyai kemampuan diri untuk
Universitas Sumatera Utara
11 mengendalikan dan mengontrol perilaku dalam kehidupan sosial, serta hanya
dengan hubungan yang baik pula kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan dengan efektif dan dapat menunjang terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis.
Gambaran tersebut hanya dapat dicapai apabila hubungan kedua orangtua berjalan dengan baik serta harmonis, dan hubungan antar angota keluarga juga terjalin
harmonis. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah melihat apakah terdapat hubungan antara keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja.
I.B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja.
I.C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian ini di harapkan agar dapat menambah khasanah
pendidikan psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dan perilaku seksual
pranikah pada remaja.
Universitas Sumatera Utara
12 2.
Manfaat Praktis a. Bagi remaja diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam
mengarahkan perilaku remaja khususnya perilaku seksual ke arah yang lebih konstruktif dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan norma-
norma yang berlaku di masyarakat. Dan juga dapat memberikan informasi bagi remaja akan pentingnya menjalin hubungan harmonis dalam keluarga
sebagai persiapan untuk memasuki perkawinan. b. Bagi orangtua hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
masukan yang berarti terhadap pentingnya menjalin hubungan yang harmonis di dalam lingkungan keluarga agar dapat memberikan
pemenuhan kebutuhan psikologis bagi seluruh anggota keluarga khususnya remaja, sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang ke arah
kepribadian yang harmonis dan matang. c. Bagi guru hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
masukan yang berarti akan pentingnya pendidikan seksual di sekolah agar remaja mendapatkan informasi yang benar mengenai seksualitas.
I.D. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan Bab I berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi
masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Universitas Sumatera Utara
13 BAB II : Landasan Teori
Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori tentang keharmonisan keluarga, perilaku seksual pranikah dan remaja. Dalam bab ini juga akan dikemukakan hubungan
keharmonisan keluarga dengan perilaku seksual pranikah pada remaja dan juga hipotesis penelitian.
BAB III : Metodologi Penelitian Bab III berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas
dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang
digunakan oleh peneliti dalam penelitian. BAB IV :
Analisa dan Interpretasi Data Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian,
dan deskripsi data penelitian. BAB V :
Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil
diskusi dan saran metodologis dan praktis.
Universitas Sumatera Utara
14
BAB II LANDASAN TEORI