Sikap remaja terhadap seks sebagai mediator dalam hubungan komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja

(1)

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Disusun oleh: I Made Bayu Gunawan

129114053

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

SKRIPSI

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Disusun Oleh : I Made Bayu Gunawan

NIM : 129114053

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing,


(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

Dipersiapkan dan ditulis oleh : I Made Bayu Gunawan

NIM : 129114053

Telah dipertahankan di depan panitia penguji pada tanggal ...

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji :

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Penguji 1 : C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi. ……….

2. Penguji 2 : Prof. A. Supratiknya, Ph.D. ……….

3. Penguji 3 : Edward Theodorus, M.App.Psy. ……….

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma


(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“All the impossible is possible for those who believe”

“Don’t wait until tommorow because that’s still a mystery”

Selama ada keyakinan, semua menjadi mungkin”

“Hasil tidak akan menghianati usaha”

“The hardest

part of anything in life is thinking about it”

- (Ajahn


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala berkat, perlindungan, kekuatan, dan kelancaran yang telah diberikan

selama saya mengerjakan skripsi ini hingga saya dapat menyelesaikan keseluruhan penelitian saya ini.

Dengan rasa syukur dan bangga saya persembahkan skripsi saya ini kepada kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tak

henti-hentinya untuk saya, serta tidak pernah membebani saya dengan berbagai tuntutan. Untuk kakak dan adik saya yang selalu menanyakan skripsi saya sudah

sampai mana.

Kepada sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuangan, dan seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan berpartisipasi dalam penyelesaiaan skripsi ini,

saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tuhan selalu menyertai kalian 


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,


(7)

vii

SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA

I Made Bayu Gunawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap seks merupakan variabel yang dapat memediator hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja. Dalam penelitian ini, terdapat tiga hipotesis minor, yaitu komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan perilaku seksual pranikah, komunikasi seksual dalam keluarga memiliki hubungan yang negatif dengan sikap remaja terhadap seks, dan sikap remaja terhadap seks memiliki hubungan yang positif dengan perilaku seksual pranikah. Selain tiga hipotesis minor tersebut, terdapat satu hipotesis mayor. Hipotesis mayor tersebut adalah hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah dimediasi oleh sikap remaja terhadap seks. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 339 orang remaja yang berusia 19 sampai 24 tahun dan belum menikah. Subjek dipilih dengan menggunakan convenience sampling. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan tiga skala, yaitu skala perilaku seksual pranikah dengan reliabilitas sebesar 0,927, skala komunikasi seksual dalam keluarga dengan sebesar reliabilitas 0,924, dan skala sikap terhadap seks dengan reliabilitas sebesar 0,971. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dan regresi berganda, serta menggunakan causal step analysis untuk melihat efek mediasi dari variabel mediator. Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa nilai standardized coefficient(β) untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah sebesar -0,203, untuk komunikasi seksual dalam keluarga dan sikap remaja seksual sebesar -0,178, serta untuk sikap remaja terhadap seks dan perilaku seksual pranikah sebesar 0,603. Hasil causal steps analysis menunjukkan bahwa koefisien regresi pada jalur τ lebih kecil dibandingkan koefiesien regresi pada jalur τ’ dan dengan nilai signifikansi yang tetap signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja dengan jenis mediasi partial mediation.

Kata kunci : Komunikasi Seksual Dalam Keluarga, Perilaku Seksual Pranikah, Sikap Remaja Terhadap Seks, Remaja


(8)

viii

ADOLESCENCE ATTITUDE TOWARD SEX AS MEDIATOR IN RELATIONSHIP OF SEXUAL COMMUNICATION IN THE FAMILY

AND ADOLESCENCE PREMARITAL SEXUAL BEHAVIOR

I Made Bayu Gunawan

ABSTRACT

This study is aimed to determine whether adolescance attitudes toward sex are variable that can mediate relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior. In this study, there were three minor hypotheses which were sexual communication in the family had a negative correlation with premarital sexual behavior, sexual communication in the family had a negative relationship with adolescence attitudes toward sex, and the adolescence attitudes toward sex have a positive relationship with premarital sexual behavior. Beside three minor hyphotheses, there was one major hypothesis. That major hypothesis was the relationship between sexual communication in the family and premarital sexual behavior is mediated by adolescence attitudes toward sex. Subjects in this study amounted to 339 teenagers aged 19 to 24 years old and unmarried. Subjects were selected using convenience sampling. The research data obtained by using three scales, the scale of premarital sexual behavior with a reliability of 0.927, the scale of sexual communication in family with reliability of 0.924, and scale of attitudes toward sex reliability of 0.971. Hypothesis testing is performed using simple linear regression and multiple regression, as well as the use of causal steps analysis to see the mediation effect of mediator variable. Hypothesis test results showed that the standardized coefficient (β) for sexual communication in the family and premarital sexual behavior of -0.203, for sexual communication in the family and adolescence attitudes toward sex of -0.178, and for adolescence attitudes toward sex and premarital sexual behavior 0.603. The results showed that the causal steps analysis of regression coefficients on the path τ is smaller than regression coefficient on the path τ’ and with significant value remains significant. Therefore, we can conclude that adolescence attitudes toward sex may mediate the relationship between sexual communication in the family and adolescent premarital sexual behavior with a kind of partial mediation.

Keywords : Sexual Communication In The Family, Premarital Sexual Behavior, Adolescence Attitude Toward Sex, Adolescence


(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : I Made Bayu Gunawan

Nomor Mahasiswa : 129114053

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA DAN

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH REMAJA ”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 5 Maret 2017

Yang menyatakan


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu menyertai dan menuntun penulis selama proses penyelesaian skripsi ini sehingga segala prosesnya dapat berjalan baik, meskipun terkadang penulis harus melalui banyak kesulitan dan rintangan.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak yang membantu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih sekali atas kesediaan bapak untuk membimbing dan memberikan masukan selama proses pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu Ratri Sunar Astusi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik saya selama perkuliatas ini. Terimas kasih atas bantuan dalam segala proses perkuliahan ini.

5. Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph.D, selaku kepala Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi (P2TKP) Sanata Dharma. Terima kasih atas segala dukungan, bimbingan, dan pembelajaran yang telah diberikan selama di P2TKP, baik dalam hal pekerjaan ataupun pemahaman tentang attitude.


(11)

xi

Terima kasih sudah memberikan banyak kesempatan dan kepercayaan kepada saya untuk dapat belajar lebih lagi.

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas segala bimbingan dan pembelajaran yang telah diberikan.

7. Segenap Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terkhusus kepada Mas Gandung, Bu Nanik, dan Mas Muji “Glory”. Terima kasih banyak atas bantuan dalam segala administrasi dan urusan laboratorium. 8. Kepada kedua orang tua saya yang tidak pernah berhenti memberikan

dukungan,kepercayaan, perhatian,dan tidak pernah memberikan tuntutan untuk skripsi saya ini, dan mau mengerti kondisi saya. Terima kasih juga sudah selalu menjadi orang yang bisa membuat saya refleksi dengan setiap kejadian dalam hidup saya. Saya merasa bersyukur karena kalian selalu ada saat dibutuhkan 

9. Kepada kakak dan adik saya yang cuek tapi peduli. Terima kasih sudah sering menanyakan skripsi saya dan membuat saya selalu ingat bahwa saya masih memiliki tugas untuk menyelesaikannya. Terima kasih atas perhatian yang seringkali tidak disadari.

10. Kepada keluarga saya di jogja ini, KMHD Swastika Taruna yang selalu memberikan bantuan saat saya membutuhkan. Tetaplah kompak selalu! 11. Untuk partner kerja di pengurus, gung is dan putri. Terima kasih untuk

bantuannya di KMHD ataupun di luar kmhd. Terima kasih untuk segala dukungan dan bantuannya di skripsi ini. Tetap memotivasi satu sama lain ya, keep in touch ya.


(12)

xii

12. Teman, sahabat, dan rekan kerja saya di P2TKP. Meskipun mulai dekat ketika sudah memasuki semester akhir, tapi sangat membantu saya dalam berkembang dan memberikan banyak segala pembelajaran. Semangat terus gengs buat koreksinya, jangan kasi kendor hahaha.

13. Grup Menuju Spsi, grup buat skripsi tapi sering main juga. Jejes, Patrice, Chopie, Edo, Dimas, Ivie, Ardi, Cia, Lenny, Retha, Chika, Panca, Age, Koleta, Andre, Doni, Rini, Wira terima kasih buat bantuan dan sudah mau saling mengingatkan, membantu, dan mendukung satu sama lain gengs. Grup yang pertama cuma beberapa sekarang sudah banyak aja anggotanya ya. Semangat ya buat kalian yang masih berjuang, nikmati prosesnya. See you on TOP 

14. Buat teman nyekrip sampai subuh Reski, Ed, GM, UA, Moka tetap semangat bro, kalau pusing ngepes dulu aja. Nanti juga paham kok hahaha....

15. Terima kasih untuk teman-teman yang harus direpotkan buat baca skripsi ataupun aku tanya-tanya. Tiara, Jejes, Patrice, Erlin, Komang, Putri, Gung Is, Zelda, Akeng. Terima kasih banyak untuk semua bantuannya dan maaf banyak merepotkan ya hehehe...

16. Buat teman sekelompok dari awal kuliah Wenita, Dipa, dan bunda Indun. Terima kasih buat keseruannya selama kuliah, tetap semangat ya !!!

17. Untuk eman-teman satu bimbingan yang selalu kebingungan mencari pembimbing kita. Terima kasih untuk bantuan informasinya dan bantuannya. Tetap saling berbagi info buat menemukan si bapak ya.


(13)

xiii

18. Buat teman-teman 2012, teman-teman seperjuangan untuk meraih mimpi di Fakultas ini. terima kasih untuk dinamika, pengalaman, pelajaran, dan keseruannya selama perkuliahan ini. Ini bukanlah akhir, ini adalah awal bagi kita semua dalam mengejar dan meraih sesuatu yang lebih besar lagi. Sukses untuk kita semua, semoga relasi yang baik ini tetap berlanjut, dan sampai bertemu lagi dengan membawa cerita kesuksesan masing-masing 

19. Untuk semua pihak yang telah berperan dan membantu dalam pengerjaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih.

Saya berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam diri saya maupun dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati saya menerima berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun demi perkembangan dan kemajuan pengetahuan kedepannya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 5 Maret 2017 Peneliti,


(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12


(15)

xv

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

A. Perilaku Seksual Pranikah ... 13

1. Definisi Perilaku Seksual ... 13

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah ... 14

3. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah ... 18

4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja ... 21

B. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 23

1. Definisi Komunikasi Interpersonal ... 23

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 24

3. Dampak-dampak Komunikasi ... 28

4. Dimensi Komunikasi ... 31

C. Sikap terhadap Seks ... 31

1. Definisi Sikap ... 31

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sikap ... 33

3. Komponen Sikap terhadap Remaja Seks ... 36

D. Remaja ... 38

1. Definisi Remaja ... 38

2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja ... 39

3. Remaja dan Perilaku Seksual ... 40

E. Dinamika Perilaku Seksual, Komunikasi Seksual dalam Keluarga, dan Sikap terhadap Seks ... 41

F. Hipotesis ... 48


(16)

xvi

2. Hipotesis Minor ... 48

BAB III. METODE PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 50

C. Definisi Operasional ... 50

1. Perilaku Seksual Pranikah ... 50

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 51

3. Sikap terhadap Seks ... 52

D. Subjek Penelitian ... 53

E. Prosedur Penelitian ... 54

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 55

1. Metode Pengumpulan Data ... 55

2. Alat Pengumpulan Data ... 55

a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 55

b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 59

c. Skala Sikap terhadap Seks ... 61

G. Validitas dan Reliabilitas ... 63

1. Validitas Skala ... 63

2. Daya Diskriminasi Item ... 64

3. Reliabilitas Skala ... 65

a. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 66

b. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67


(17)

xvii

H. Metode dan Teknik Analisis ... 68

1. Uji Asumsi ... 68

2. Uji Hipotesis ... 70

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 73

A. Pelaksanaan Penelitian ... 73

B. Deskripsi Penelitian ... 74

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 74

2. Deskripsi Data Penelitian ... 76

C. Analisis Data Penelitian ... 77

1. Uji Asumsi ... 77

2. Uji Hipotesis ... 81

D. Pembahasan ... 88

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Keterbatasan Penelitian ... 96

C. Saran ... 98

1. Bagi Remaja ... 98

2. Bagi Orang tua ... 99

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 Indikator skala Perilaku Seksual Pranikah ... 57

TABEL 3.2 Nilai Median masing-masing Item ... 58

TABEL 3.3 Penskoran skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 60

TABEL 3.4 Indikator skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61

TABEL 3.5 Sebaran Item skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 61

TABEL 3.6 Penskoran skala Sikap terhadap Seks ... 62

TABEL 3.7 Sebaran Item skala Sikap terhadap Seks ... 63

TABEL 3.8 Reliabilitas Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 67

TABEL 3.9 Reliabilitas Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 67

TABEL 3.10 Reliabilitas Skala Sikap terhadap Seks ... 68

TABEL 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

TABEL 4.2 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Rentang Usia ... 75

TABEL 4.3 Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 76

TABEL 4.4 Hasil Uji Normalitas Residu ... 78

TABEL 4.5 Hasil Uji Homoskedastisitas menggunakan Uji Glesjer ... 79

TABEL 4.6 Hasil Uji Linearitas ... 80

TABEL 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 80

TABEL 4.8 Uji Hipotesis 1 Regresi antara Komunikasi dengan Perilaku Seksual ... 82

TABEL 4.9 Uji Hipotesis 2 Regresi antara Komunikasi dengan Sikap ... 83


(19)

xix

TABEL 4.11 Uji Hipotesis 4 Multiple Regresi antara Komunikasi, Sikap dan Perilaku Seksual ... 86


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Reliabilitas Aitem Skala Penelitian ... 112

LAMPIRAN 2. Reliabilitas Skala Penelitian ... 116

LAMPIRAN 3. Hasil Uji-T ... 117

LAMPIRAN 4. Hasil Uji Normalitas Residu ... 118

LAMPIRAN 5. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 120

LAMPIRAN 6. Hasil Uji Linearitas ... 121

LAMPIRAN 7. Hasil Uji Multikolinearitas ... 123

LAMPIRAN 8. Hasil Uji Hipotesis ... 124

LAMPIRAN 9. Pernyataan Kesediaan ... 128

LAMPIRAN 10. Skala Perilaku Seksual Pranikah ... 129

LAMPIRAN 11. Skala Komunikasi Seksual dalam Keluarga ... 132


(21)

xxi

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Skema Hubungan Antar Variabel ... 47 GAMBAR 3.1 Skema Single Mediator Model ... 72 GAMBAR 41. Skema Hasil Uji Hipotesis ... 88


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa eksplorasi dan eksperimen, ketika orang-orang muda mulai mengasah keterampilan hidup, gaya hubungan, dan pola perilaku mereka yang akan mempengaruhi fungsi emosional dan kesehatan mereka sebagai orang dewasa (Mauro, 1995 dalam Wulandari & Muis, 2014). Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, yaitu masa di mana munculnya kematangan seksual atau kemampuan untuk melakukan reproduksi (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Santrock (2011), masa remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintegrasikan seksualitas kedalam identitas seseorang. Pada masa ini, remaja cenderung untuk bereksperimen dengan perilaku yang berisiko karena mereka ingin tahu bagaimana atau seperti apa rasanya, dan apa yang akan terjadi (Wulandari dan Muis, 2014). Selain itu, remaja juga dikatakan memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak pernah dipuaskan (Santrock, 2011).

Perjalanan menuju kedewasaan sering kali diikuti dengan eksperimen terhadap perilaku seksual, di mana mayoritas remaja melakukan hubungan seksual pertama mereka sebelum mereka lulus SMA (Kaiser Family Foundation, 2003, dalam Wulandari & Muis, 2014). Studi yang dilakukan Fergus, Zimmerman, dan Caldwell (2007, dalam Rahard, Saputra, & Hapsari


(23)

2015) menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko dimulai ketika individu memasuki usia remaja dan mencapai puncaknya ketika berada di usia dewasa awal. Pertumbuhan organ seksual pada remaja akan menumbuhkan suatu naluri seks yang akan mendorong seseorang untuk memanifestasikan ke dalam perilaku seksual (Tanjung dkk, dalam Nuandri & Widayat, 2014). Hal serupa juga diungkapkan oleh McClintock dan Herd (dalam Steinberg, 2002) yang menyatakan bahwa perubahan horman pada masa remaja dapat menstimulasi peningkatan dorongan seksual dari individu bersangkutan.

Peningkatan hasrat seksual yang dialami remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual (Sarwono, 2011). Namun, penyaluran hasrat seksual yang dilakukan oleh remaja terkadang kurang tepat dan bahkan melanggar norma-norma hukum, sosial, maupun agama. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari kasus-kasus terkait seksualitas remaja sering terjadi dan menghiasi pemberitaan di media cetak maupun elektronik belakangan ini, seperti kasus aborsi yang dilakukan siswi SMP bersama kekasihnya (Anjani, 2016) dan berita mengenai foto dua orang anak yang

tengah “ngamar” diduga di sebuah hotel menyebar di media sosial Facebook, di mana pasangan ini tengah melakukan selfie di atas tempat tidur dengan menutupi tubuhnya menggunakan selimut (Amin, 2016). Selain itu, Tim Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) Polda Jambi juga baru-baru ini mengamankan lima remaja yang diduga akan melakukan pesta seks, serta ditemukan alat kontrasepsi serta obat kuat lelaki di kamar tersebut (“Polda Jambi Amankan Lima Remaja”, 2016).


(24)

Survei perilaku seks yang dilakukan DKT Indonesia (2011, dalam Wulandari & Muis, 2014) menunjukkan bahwa rata-rata remaja mulai berhubungan seks untuk pertama kalinya pada usia 19 tahun dan mayoritas merupakan mahasiswa. Menurut Caron, Bertran, dan McMullen (1987, dalam Lehr, DiIorio, Dudley, & Lipana, 2000), mahasiswa sebagai sebuah kelompok cenderung lebih aktif secara seksual dibandingkan bagian lain dari populasi orang dewasa. BKKBN pada tahun 2010 melaporkan bahwa sekitar 37% dari 1.160 mahasiswa di Yogyakarta yang berusia 13-18 tahun mengalami kehamilan pranikah (dalam Wulandari & Muis, 2014).

Kasus-kasus dan fakta-fakta di atas hanya segelitir dari banyaknya perilaku seksual atau kejadian terkait seksualitas yang dilakukan oleh para remaja Indonesia. Menurut Achir (1993, dalam Munawaroh, 2012), para remaja saat ini, khususnya mahasiswa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang sangat cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Perubahan sosial yang serba cepat mengakibatkan perubahan pola kehidupan, etika, dan nilai-nilai moral, khusunya mengenai perilaku seksual. Adanya perubahan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat telah menggeser berbagai nilai dan pandangan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang saat ini dinilai sebagai sesuatu yang lebih bebas dan terbuka.

Menurut Meschke, Bartholomae, Zental (2002, dalam Yuniarti & Rusmilawaty, 2015), perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah faktor dari orangtua. Orangtua merupakan pendidik seks utama bagi


(25)

anak-anak mereka (Turnbull, van Wersch, dan van Schaik, 2008, dalam Turnbull, 2012) sehingga orangtua memainkan peran yang sentral dalam pendidikan dan pengenalan seksual terhadap anaknya (Topkaya, 2012). Hasil penelitian Albert (2012) juga menunjukkan bahwa 38% anak muda mengatakan bahwa faktor orangtua mempengaruhi keputusannya mengenai seks lebih dari faktor lainnya. Wang, Li, Stanton, Kamali, Naar-King, Shah, dan Thomas (2007) juga menyatakan bahwa konteks keluarga menunjukkan efek yang konsisten dan kuat pada kapan perilaku seksual pertama kali dilakukan. Akan tetapi, orangtua seringkali menganggap bahwa pendidikan seks masih sangat tabu dan tidak terbiasa untuk terbuka mengenai masalah seksual remaja yang sesungguhnya (Munawaroh, 2012).

Saat orang tua jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, anak cenderung akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seks pranikah (Munawaroh, 2012). Tidak adanya pendidikan seks yang memadai dan pandangan orangtua yang masih menganggap tabu hal-hal yang berhubungan dengan seks membuat anak cenderung terkena dampak dari pergaulan bebas, baik dengan teman sebaya maupun kelompok masyarakat yang lebih luas (Panuju, dalam Munawaroh, 2012). Saat orangtua tidak mampu memberikan penjelasan dan bimbingan yang tepat mengenai organ-organ seks dan fungsinya kepada anak, maka anak akan mencari tahu informasi-informasi tersebut diluar rumah, baik melalui internet, film, ataupun teman. Informasi yang mereka dapatkan tersebut dapat dipersepsikan secara salah atau disalahgunakan sehingga akhirnya mendorong mereka melakukan


(26)

perilaku seksual yang belum waktunya (Munawaroh, 2012), seperti seks bebas yang berbuntut kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yang dapat mengarah pada tindakan aborsi (Yuniart & Rusmilawaty, 2015).

Kehamilan yang tidak diinginkan dan tindakan aborsi yang dilakukan merupakan beberapa contoh dampak negatif dari perilaku seksual berisiko yang tidak terkontrol pada remaja. Perilaku seksual sendiri merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2011). Perilaku seksual yang dilakukan sebelum menikah dan tanpa diimbangi dengan pengetahuan dari remaja sendiri dapat menimbulkan berbagai dampak, baik secara kesehatan fisik, psikologi, maupun sosial. Secara fisik, perilaku seksual pranikah dapat menyebabkan berkembangnya penyakit seksual di kalangan remaja, terganggunya kesehatan, risiko kehamilan yang berujung pada aborsi yang berbahaya, serta kematian bayi yang tinggi (Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008; Sarwono, 2010; Wong & Lam, 2013). Secara psikologis, perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan dampak yang cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, dan marah ketika harus menggugurkan kandungan dengan terpaksa (Simkins, 1984, dalam Sarwono 2010). Perilaku seksual juga dapat menimbulkan dampak secara sosial, seperti ketegangan mental, kebingungan akan peran sosial yang muncul akibat kehamilan, dan adanya cemooh dari masyarakat. Maka dari itu, menjadi sangat penting, khususnya bagi orangtua, untuk dapat mengontrol perilaku seksual anak dan menghindari mereka dari dampak-dampak negatif perilaku seksual yang


(27)

berisiko tersebut. Orangtua juga perlu untuk mengenalkan anak mengenai hal-hal terkait seksualitas sehingga anak dapat mengambil keputusan yang bijak terkait perilaku seksualnya.

Salah satu faktor yang berhubungan dengan pengambilan keputusan mengenai seksual dari remaja adalah komunikasi orangtua-remaja mengenai seksualitas (Somers, Tolia, Anaguthi, 2012). Komunikasi ini menjadi penting karena tidak ada aspek dari hubungan antara orangtua dan anak yang tidak melibatkan komunikasi dan fungsi keluarga juga tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya komunikasi (Runcan, Constantineau, Ielics, & Popa, 2012). Pandangan serupa mengenai pengaruh komunikasi orangtua juga diungkapkan oleh Munawaroh (2012), serta Chandra, Rahmawati, dan Hardiani (2014), yang menyatakan bahwa intensitas komunikasi dan keterbatasan informasi dari orangtua dapat mempengaruhi perilaku seksual dari anak. Komunikasi mengenai persoalan seksual menjadi penting bagi orangtua untuk mengajarkan anak membuat keputusan mengenai seksualitasnya (Somers, Tolia, Anagurthi, 2012). Akan tetapi, remaja terkadang menunjukkan rasa percaya diri yang kurang ketika mendiskusikan hal-hal yang terkait seksualitas dengan orangtuanya (Fox & Inazu, dalam Somers, Tolia, & Anagurthi, 2012).

Forehand (1997, dalam Sarwono, 2011) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pemantauan orangtua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang dilakukan oleh anaknya. Namun disisi lain, remaja mulai memperlihatkan kelekatan-kelekatan dengan teman sebaya dan melepaskan ikatan dengan orangtuanya (Purnomowardani & Koentjoro,


(28)

2000). Mereka cenderung memilih teman sebagai orang yang paling mungkin untuk mereka ajak bicara mengenai hal-hal seksual (Wang, et al., 2007) sehingga semakin penting bagi orangtua untuk tetap menjaga kedekatan dengan anak melalui komunikasi yang baik. Selain itu, orangtua juga perlu mengembangkan kepercayaan anak terhadap mereka sehingga anak lebih mau untuk terbuka dan bercerita kepada orangtua. Dengan demikian, orangtua akan dapat memantau pergaulan anak remaja mereka (Forehand, 1997, dalam Sarwono, 2011). Di samping mengembangkan kepercayaan, orangtua juga perlu untuk terbuka terhadap anaknya sehingga anak akan ikut terbuka juga terhadap mereka (Zolten & Long, 2006).

Komunikasi mengenai hal-hal seksual antara orangtua dan remaja dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015). Komunikasi orangtua dan anak yang positif akan mengarah pada risiko pengambilan perilaku seksual yang rendah. Maka dari itu, orangtua diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai hal-hal seksual dan membantu perkembangan nilai seksual yang positif untuk anaknya (Seloilwe et al, 2015). Peningkatan dalam diskusi antara orangtua dan remaja mengenai seksualitas dapat membantu memberikan pengetahuan kepada remaja dalam membuat keputusan mengenai seksualitasnya. Penelitian Weinstein dan Thornton (1989) menemukan bahwa remaja yang diajarkan mengenai seks di rumah memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat dalam perilaku yang tidak diizinkan orangtuanya.


(29)

Beberapa studi di negara barat mengenai komunikasi orangtua dan remaja menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak mengenai seks diasosiasikan dengan penundaan anak untuk melakukan hubungan seksual pertama kali dan peningkatan penggunaan kondom (Akers, Holland, & Bost, 2011, dalam Ritchwood, Penn, Peasant, Albritton, & Corbie-Smith, 2015; Seloilwe, et al., 2015). Komunikasi keluarga yang baik dapat menghindarkan remaja dari kenakalan dan membantu dengan strategi coping yang lebih baik dalam memutuskan perilaku seksual (Mahmud, Ibrahim, Amat, & Salleh, 2011). Namun, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orangtua dengan anak remajanya dalam masalah seksual dapat memperkuat munculnya perilaku seksual (Banun & Setyorogo, 2013). Clark & Shields (1997) juga menemukan bahwa remaja yang memiliki komunikasi yang kurang terbuka dengan orangtua lebih rentan terhadap kenakalan serius.

Akan tetapi, terdapat kontradiksi dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara komunikasi orangtua-anak dengan perilaku seksual anak. Beberapa studi mengindikasikan bahwa komunikasi orangtua-anak yang lebih sering dilakukan, berhubungan dengan risiko perilaku seksual yang lebih rendah (Dilorio, Kelley, & Hockenberry-Eaton, 1999; Kotchic, Dorsey, Miller, & Forehand, 1999; Hutchinson, Jemmott, Sweet-Jemmott, Braverman, & Fong, 2003). Kepuasan yang dirasakan terhadap komunikasi dengan ibu dan ayah juga ditemukan memberikan pengaruh kuat pada perilaku nakal dalam kasus remaja dan karena itu juga dapat bertindak sebagai faktor protektif terhadap kenakalan (Moitra &


(30)

Mukherjee, 2012). Namun, hasil penelitian yang lain menemukan bahwa tingkat komunikasi yang tinggi antara orangtua-anak dan kedekatan orangtua, tidak signifikan berhubungan dengan pengetahuan, sikap, pengalaman, serta perilaku seksual remaja (Somers & Paulson, 2000; Kunnuji, 2012). Sementara itu, terdapat penelitian lain yang justru menemukan bahwa komunikasi yang lebih sering dilakukan berhubungan dengan risiko seksual yang lebih tinggi (Fisher, 1986, dalam Lehr, et al., 2000; Somers & Paulson, 2000; Clawson, & Reese-Weber, 2003; Huebner & Howell, 2003). Pada penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti lebih banyak melihat hubungan antar kedua variabel secara langsung dan belum ada yang membahas hubungannya dengan skema tidak langsung, baik dengan menggunakan variabel mediator maupun moderator.

Apabila dilihat lebih jauh, komunikasi orangtua-anak tidak hanya mempengaruhi perilaku seksual anak. Komunikasi orangtua-anak juga dapat mempengaruhi sikap seksual anak (Weeden & Sabini, 2007; Fisher, 1986, dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, & Rojas-Guyler, 2012). Tidak dapat dihindari bahwa nilai maupun sikap mengenai seksualitas akan ditularkan dari orangtua ke anak (Kotchick, Shaffer, Forehand & Miller, 2001, dalam Topkaya, 2012) dan komunikasi yang dilakukan orangtua-anak dapat memfasilitasi penyampaian nilai tersebut (Weinstein & Thornton, 1989). Orangtua mengajar anak-anak mereka tentang nilai dan perilaku yang mereka harapkan melalui komunikasi dan perilaku mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung (Shtarkshall, Santelli & Hirsch, 2007, dalam Topkaya,


(31)

2012). Selanjutnya, anak akan menginternalisasi pesan yang disampaikan dan hal tersebut akan membentuk sikap dan keyakinan yang berbeda tentang seksualitas (Topkaya, 2012). Komunikasi antara orangtua-anak yang berlangsung secara efekif, khususnya mengenai perilaku seksual, membuat anak remaja memiliki suatu sikap yang negatif terhadap perilaku seksual pranikah (Banun & Setyorogo, 2013).

Sikap dapat dipahami sebagai evaluasi dari objek pemikiran yang meliputi perasaan, keyakinan, dan perilaku masa lalu, serta memandu proses pengambilan keputusan yang terlibat dalam berlakunya perilaku (Maio, Olson, Bernard, & Luke, 2003, dalam Gravel, Young, Darzi, Olavarria-Turner, & Lee, 2016). Sikap dari orangtua terhadap perilaku seksual pranikah dapat mempengaruhi sikap yang dimiliki anak terhadap perilaku seksual pranikah. Sikap yang dibentuk anak inilah yang nantinya dapat mempengaruhi kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku seksual pranikah (Sprecher & McKinney, 1993; Gravel et al., 2016). Sikap seksual yang kurang permisif dapat mengarahkan remaja kepada pengalaman seksual yang lebih sedikit (Beckwith & Morrow, 2005; Wang, et al., 2007).

Dari penjabaran di atas, peneliti menduga bahwa variabel sikap terhadap seks dapat memediasi hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual. Hal tersebut didasari dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan antar masing-masing variabel. Di mana komunikasi seksual yang terjadi antara orangtua dan anak dalam keluarga dapat membentuk sikap anak terhadap seksual (Weeden &


(32)

Sabini, 2007; Fisher, 1986, dalam Topkaya, 2012; Luquis, Breisford, & Rojas-Guyler, 2012). Sikap yang dimiliki ini secara kuat dapat mempengaruhi perilaku seksual yang ditunjukkan oleh anak (Sprecher & McKinney, 1993; Wang, et al., 2007; Gravel et al., 2016). Melalui penelitian ini, peneliti ingin memastikan bahwa sikap terhadap seks memang benar-benar dapat memediasi hubungan antara variabel komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka peneliti menarik beberapa pertanyaan yang merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan

perilaku seksual pranikah remaja?

2. Bagaimana hubungan yang antara komunikasi dalam keluarga dan sikap remaja terhadap seks?

3. Bagaimana hubungan antara sikap remaja terhadap seks dan perilaku seksual pranikah remaja?

4. Apakah sikap remaja terhadap seks dapat memediasi hubungan antara komunikasi dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja?


(33)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sikap remaja terhadap seks merupakan variabel yang dapat memediasi hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual pranikah remaja.

D. MANFAAT

1. Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang psikologi mengenai hubungan antara komunikasi seksual dalam keluarga dan perilaku seksual dari remaja dengan sikap terhadap seks sebagai variabel mediator. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut yang memiliki topik serupa.

2. Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada orangtua mengenai pentingnya membangun dan menjaga komunikasi dengan anak untuk dapat membentuk sikap anak yang sesuai sehingga dapat mencegah anak melakukan perilaku kenakalan, salah satunya yaitu perilaku seksual pranikah. Terlebih lagi, pada masa remaja ini anak cenderung akan semakin jauh dari orangtua, baik secara fisik maupun emosional. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi orangtua untuk menjaga komunikasi antara orangtua-anak dan membentuk perasaan nyaman anak agar anak mau untuk terbuka sehingga orangtua dapat selalu mengontrol pergaulan dan perilaku-perilaku yang ditunjukkan anak.


(34)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

1. Definisi Perilaku Seksual

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku diartikan sebagai suatu tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Skinner (dalam Santrock, 2007) juga menyampaikan definisi yang serupa, yaitu suatu respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut memberikan respon. Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Perilaku ini terjadi apabila ada suatu rangsangan dan rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi perilaku tertentu. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai respon atau reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus dari lingkungan.

Kata “seks” berasal dari bahasa latin yang berarti “membagi” dan

menandai atau menunjukkan suatu kategori dari laki-laki dan perempuan (Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Untuk memperhalus kata seks, sering digunakan istilah seksualitas. Seksualitas adalah pengalaman dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan (Rathus, Nevid, & Fichner- Rathus, 2008). Seksualitas juga didefinisikan sebagai suatu perasaan,


(35)

perilaku, dan identitas yang diasosiasikan dengan seks (Levay & Valente, 2006). Dengan demikian, seksualitas dapat diartikan sebagai pengalaman, perasaan, perilaku, dan identitas yang berhubungan dengan seks, serta diekspresikan dalam pikiran, fantasi, dorongan, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, peran dan hubungan yang dijalankan.

Sarwono (2011) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Objek seksualnya pun dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Menurut Hurlock (2003) perilaku seksual remaja adalah dorongan untuk melakukan aktivitas seksual yang muncul dari tekanan-tekanan terutama dari minat dan keingintahuan remaja tentang seksual tersebut. Notoatmojo (2007) menyatakan bahwa perilaku seksual remaja adalah tindakan yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dalam diri maupun dari luar dirinya. Dengan demikian, perilaku seksual dapat disimpulkan sebagai segala tingkah laku atau tindakan yang didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis atau sesama jenis yang berasal dari dalam maupun luar dirinya.

2. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah dapat dilakukan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Perilaku seksual ini dapat terjadi karena keinginan ataupun karena paksaan dari orang lain, termasuk paksaan yang


(36)

mengandung unsur-unsur kriminalitas. Bentuk-bentuk perilaku seksual pranikah remaja yang terjadi karena keinginan sendiri dan tanpa mengandung unsur kriminalitas dapat digolongkan kedalam beberapa bentuk, antara lain :

a. Menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual.

Menurut L”Engle, Brown, dan Kenneavy (2005), menaksir, menghayal, serta membicarakan dan menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual merupakan bentuk-bentuk perilaku seksual dalam kategori ringan yang sering dilakukan remaja.

b. Berpegangan Tangan dan Berpelukan

Yuniarti dan Rusmilawaty (2015) dan L”Engle et.al. (2005) menggolongkan berpegangan tangan dan berpelukan sebagai perilaku seksual ringan. Berpegangan tangan dan berpelukan merupakan bentuk perilaku seksual yang sering dilakukan remaja (Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008; Wulandari & Muis, 2014).

c. Masturbasi

Masturbasi adalah satu bentuk utama dari ekspresi seksual seseorang yang dapat dilakukan dengan stimulasi manual ataupun menggunakan bantuan dari stimulasi buatan seperti vibrator (Rathus, et al., 2008). Masturbasi mengarah pada semua bentuk stimulasi diri yang dilakukan sendiri dan berfokus pada organ genital (Lehmiller, 2014).


(37)

d. Kissing

Berciuman (kissing) dapat menjadi isyarat kasih sayang tanpa makna erotik terhadap pasangan, keluarga, ataupun teman dekat. Bentuk ciuman dapat berupa ciuman pada pipi, dahi, ataupun bibir. Ciuman pada bibir dapat berupa ciuman dengan memasukkan lidah ke dalam mulut pasangan atau deep kissing ataupun hanya sekedar menempelkan bibir pada bibir pasangan atau simple kissing (Rathus et al., 2008). Menurut Sarwono (2011), berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Yuniarti dan Rusmilawaty (2015) menggolongkan deep kissing sebagai bentuk perilaku seksual berat.

e. Necking

Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman di sekitar leher ke bawah dan pelukan yang lebih mendalam (Sarwono, 2011).

f. Touching

Menyentuh (touching) merupakan suatu bentuk perilaku seksual (Wulandari & Muis, 2014) dan bentuk yang umum dari foreplay (Rathus et al., 2008). Touching atau membelai daerah sensitif genital menggunakan tangan atau dengan bagian tubuh lainnya dapat menimbulkan rangsangan (Rathus et al., 2008).


(38)

Stimulasi oral-genital biasanya lebih sering dilakukan oleh pasangan yang baru menikah. Sama seperti touching, stimulasi oral-genital atau biasa dikenal dengan istilah blow job bisa digunakan sebagai permulaan dari intercourse atau sebagai akhir dari aktivitas seksual (Rathus et al., 2008).

h. Petting

Petting merupakan salah satu bentuk foreplay yang sering dilakukan (Rathus et al., 2008). Petting merupakan perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dengan organ kelamin, tetapi lebih mendalam dari necking. Hal ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian (Sarwono, 2011)

i. Intercourse

Seksual intercourse atau coitus adalah aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan, di mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan (Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008). Sarwono (2011) mendefinisikan sebagai bersatunya dua orang secara seksual, yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita dan ditandai dengan penis yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual (Sarwono, 2011). L”Engle et.al. (2005) menggolongkan intercourse sebagai bentuk perilaku seksual dalam kategori berat.


(39)

Berdasarkan penjabaran di atas, perilaku seksual pranikah yang dilakukan karena keinginan sendiri dan tidak mengandung unsur-unsur kriminalitas dapat dikelompokkan menjadi perilaku seksual yang dilakukan dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Perilaku seksual yang dilakukan sendiri, seperti menaksir, menghayal, menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual, dan masturbasi. Perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain, seperti membicarakan dan menggunakan teknologi untuk hal-hal seksual, berpegangan tangan, berpelukan, kissing, necking, touching, stimulasi oral-genital, petting, dan intercourse. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan bentuk-bentuk perilaku seksual di atas sebagai dasar dalam melakukan pengukuran terhadap perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja.

3. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual dapat digolongkan kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Sarwono (2010) melihat bahwa perubahan-perubahan hormonal dapat meningkatkan hasrat seksual (libido) remaja. Chandra, Rahmawati, dan Hardiani (2014) menjelaskan faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yaitu perubahan hormon, kepercayaan diri, dan konsep diri. Munawaroh (2012) juga menyebutkan konsep diri sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks pranikah dalam kalangan remaja. Menurut Wulandari dan Muis (2014), remaja cenderung


(40)

bereksperimen dengan perilaku yang berisiko karena mereka ingin tahu bagaimana rasanya dan apa yang akan terjadi. Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Laily dan Matulessy (2004, dalam Munawaroh, 2012) yang menyatakan bahwa rasa ingin tahu dapat mempengaruhi perilaku seksual seseorang.

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat kesetaraan gender, norma-norma agama, serta keterbatasan informasi dari orangtua (Chandra, Rahmawati, & Hardiani, 2014). Menurut Meschke, Bartholomae, dan Zental (2002, dalam Yuniarti & Rusmilawaty, 2015), perilaku seksual remaja berkaitan dengan sejumlah faktor dari orangtua. Hal serupa juga dijelaskan oleh House et al. (2010, dalam Santrock, 2011) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berkaitan dengan permasalahan seksual pada remaja adalah keluarga atau pengasuhan orangtua.

Intensitas komunikasi orangtua-anak (Munawaroh, 2012) dan kurangnya informasi tentang seks (Sarwono, 2010) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada umumnya remaja putri memasuki usia remaja tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks. Selama hubungan berpacaran, pengetahuan yang dimiliki remaja tidak bertambah, tetapi justru informasi yang salah yang semakin bertambah. Hal tersebut disebabkan karena orangtua yang merasa tabu untuk membicarakan seks dengan anak dan kedekatan anak dengan


(41)

orangtua yang sudah mulai berkurang sehingga mengakibatkan anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang justru tidak akurat, khususnya teman (Sarwono, 2010). Selain itu, faktor teman sebaya (House et al., 2010, dalam Santrock, 2011) dan bujukan atau permintaan pacar (Laily & Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012) juga dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual.

Menurut Sarwono (2010), adanya penundaan usia perkawinan menyebabkan penyaluran hasrat seksual yang dimiliki tidak dapat dilakukan dengan segera. Hal ini juga didukung dengan adanya norma-norma agama yang masih tetap berlaku, di mana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, larangan tersebut berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain, seperti berciuman dan masturbasi. Faktor eksternal lain yang dikatakan mempengaruhi perilaku seksual remaja, yaitu agama atau keimanan yang kurang kuat (Chandra, et al.,2014), pengaruh dari film dan media massa (Laily & Matulessy, 2004, dalam Munawaroh, 2012), serta status sosial ekomoni (House et al., 2010, dalam Santrock, 2011).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh faktor internal, seperti perubahan hormon, kepercayaan diri, konsep diri, dan rasa ingin tahu. Sementara itu, faktor eksternal yang mempengaruhi, seperti agama dan keimanan, perkembangan dan kemajuan teknologi, kebebasan pergaulan akibat kesetaraan gender, norma-norma agama, teman sebaya, bujukan atau


(42)

permintaan pacar, adanya penundaan usia kawin, serta keterbatasan informasi dari orangtua tentang seks.

4. Kemunculan Perilaku Seksual Remaja

Perilaku seksual pranikah remaja dapat terjadi dalam konteks dan bentuk relasi yang beraneka ragam, seperti :

a. Perilaku seksual dalam relasi romantis atau dengan komitmen 1) Berpacaran

Menurut Duvall dan Miller (1985, dalam Wulandari & Muis, 2014) pacaran adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan tujuan untuk menemukan dan mendapatkan pasangan dari lawan jenis yang disukai, dirasa nyaman, dan dapat mereka nikahi. Meier (2003, dalam Wulandari & Muis, 2014) menyatakan bahwa pacaran merupakan prediktor terkuat inisiasi aktivitas seksual.

2) Kohabitasi

Kohabitasi mengacu pada hidup bersama dan melakukan hubungan seksual meskipun tidak menikah (Santrock, 2011). Menurut Wilson dan Stuchbury (2010, dalam Santrock, 2011), sejumlah pasangan memandang kohabitasi bukan sebagai pendahulu pernikahan namun sebagai sebuah gaya hidup.

b. Perilaku seksual tidak tetap (casual sex)

Casual sex mengacu pada pertemuan seksual singkat antara orang yang baru bertemu, teman atau orang yang saling kenal (Farvid, 2015)


(43)

atau pengalaman seksual tanpa adanya komitmen dalam suatu hubungan (Bersamin, Zamboanga, Schwartz, Donnellan, Hudson, Weisskirch, Kim, Agocha, Whitbourne, Carawa, 2013).

1) Hookup

Hookup dapat diartikan sebagai suatu pertemuan seksual antara seseorang yang tidak mengenal satu sama lain pada level yang dalam (Paul & Hayes, 2002 dalam Lehmiller, 2014). Pertemuan tersebut, juga dikenal sebagai "one night stand", yang biasanya muncul setelah malam di bar atau setelah pesta. Penelitian menemukan bahwa hookup berkaitan erat dengan penggunaan alkohol (Paul, McManus, & Hayes, 2000).

2) Friends with benefit (FWB)

Menurut Lehmiller (2014), friends with benefit biasanya dianggap sebagai hubungan di mana dua teman baik memutuskan untuk menjadi terlibat secara seksual. Bisson dan Levine (2009, dalam Lehmiller, 2014) mendefinisikan friends with benefit sebagai suatu relasi pertemanan atau persahabatan yang agak khas, di mana dalam relasi tersebut kedua individu kadang-kadang dapat melakukan hubungan seksual. Dalam relasi friends with benefits ini, individu akan berusaha mempertahankan kedekatan dan relasi seksual tanpa mengembangkan atau tidak membangun perasaan romantis.


(44)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah remaja dapat dilakukan atau terjadi dalam konteks relasi romantis dan disertai komitmen, seperti relasi berpacaran dan kohabitasi. Selain itu, perilaku seksual juga dapat terjadi dalam konteks casual sex atau tanpa adanya komitmen dalam relasi, seperti hookup dan friends with benefit (FWB).

B. KOMUNIKASI SEKSUAL DALAM KELUARGA

1. Definisi Komunikasi Interpersonal

Zolten dan Long (2006) mendefinisikan komunikasi sebagai proses mengirimkan suatu informasi dari satu orang kepada orang lain. Runcan, Constantineau, Ielics, dan Popa (2012) mendefinisikan komunikasi sebagai proses alami dari penyampaian ide, informasi, emosi, perasaan dari seseorang kepada orang lain dalam waktu tertentu. Popescu (2012) mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi psikososial yang mendasar dari orang dengan tujuan menyampaikan informasi untuk mencapai stabilitas atau perubahan perilaku individu dan kelompok. Komunikasi ini dapat berbentuk verbal maupun non-verbal, dapat bersifat positif atau negatif, serta efektif ataupun tidak efektif (Zolten & Long, 2006). Dengan demikian, komunikasi dapat disimpulkan sebagai proses mengirimkan suatu ide, informasi, emosi, perasaan dari satu orang kepada orang lain untuk menyampaikan informasi, dan mencapai stabilitas atau perubahan perilaku individu dan kelompok.


(45)

Komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, dan komunikasi massa. Komunikasi dalam keluarga termasuk dalam komunikasi interpersonal. Hal ini didukung dari pendapat Ramadhani (2013) yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal yang paling sederhana dapat diamati di dalam keluarga. Komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lain sehingga memerlukan tanggapan (feedback) dari orang lain (Khairani, 2015). Devito (dalam Eliyani, 2013) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan pemberian tanggapan secara langsung. Sementara Suranto (2011, dalam Rasika, 2015) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang dilakukan dengan orang lain dan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi atau pengiriman pesan-pesan yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung antara satu individu dengan individu atau kelompok lain dan memerlukan tanggapan (feedback).

2. Komunikasi Seksual dalam Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan menjadi awal dari setiap interaksi yang dilakukan manusia (Susanto-Sunario, 1993). Fungsi keluarga ini tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya


(46)

komunikasi (Runcan et al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat mengidentifikasi, mengetahui, dan kemudian memuaskan kebutuhan dari anaknya Selain itu, interaksi komunikasi yang dimiliki juga dapat menujukkan seperti apa hubungan antara orangtua dan anaknya (Runcan et al., 2012). Komunikasi yang dilakukan secara efektif oleh orangtua dan anak dapat membantu meningkatkan hubungan antara orangtua dan anak, serta dapat menghasilkan keharmonisan (Zolten & Long, 2006; Runcan et al., 2012). Melalui feedback yang diterima ketika berkomunikasi, interaksi antara orangtua dan anak menjadi lebih kuat dan efektif (Runcan et al., 2012).

Komunikasi dapat membangun dan menjaga hubungan antara orangtua dan anak(Runcan et al., 2012). Menurut Zolten dan Long (2006), penting bagi orangtua untuk berkomunikasi secara terbuka dan efektif dengan anaknya. Komunikasi yang terbuka dan efektif tidak hanya bermanfaat terhadap anak, tetapi juga bermanfaat bagi setiap anggota keluarga lainnya. Jika orangtua berkomunikasi secara terbuka dan efektif, kemungkinan anak-anak mereka juga akan melakukannya (Zolten dan Long, 2006). Anak akan belajar bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan melihat orangtuanya. Melalui cara berkomuniksi yang ditunjukkan orangtua ini, anak akan mulai membentuk ide dan kepercayaan mengenai dirinya. Sosok kedewasaan anak akan dibentuk oleh keterbukaan orangtua dalam bertindak atau dalam membuat perubahan yang mengutamakan kepentingan anak (Rasika, 2015). Dengan demikian, anak akan merasa


(47)

didengar dan dipahami oleh orangtuanya. Hal tersebut dapat mendorong peningkatan harga diri anak. Selain itu, komunikasi yang efektif yang dilakukan oleh orangtua memungkinkan anak untuk lebih mengikuti apa yang dikatakan oleh orangtuanya (Zolten & Long, 2006).

Jika ditinjau lebih jauh, keluarga merupakan wadah di mana anak pertama kali belajar dan mengetahui segala macam informasi dalam kehidupannya termasuk mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, seperti seksualitas. Komunikasi merupakan salah satu media penyampaian informasi dari orangtua ke anak karena tidak ada aspek dari hubungan antara orangtua dan anak yang tidak melibatkan komunikasi (Runcan et al., 2012). Melalui komunikasi, orangtua dapat menularkan nilainya yang berhubungan dengan seksualitas, serta dapat meningkatkan kesempatan anaknya mengadopsi kebiasaan maupun perilaku seksual yang aman dan sehat (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015). Menurut Likewise dan Weinman (2008), remaja yang memiliki komunikasi yang baik dengan orangtuanya akan mendapatkan informasi yang baik mengenai bahaya dari penyakit seksual sehingga mereka lebih mungkin untuk terlibat dalam seks yang tidak berisiko dibandingkan mereka yang tidak berkomunikasi dengan keluarganya (dalam Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason, 2016). Apabila orangtua mampu menerapkan komunikasi efektif tentang seksualitas dalam keluarga, maka remaja akan memiliki sikap negatif terhadap pergaulan bebas antar lawan jenis. Komunikasi efektif tersebut juga dapat membuat remaja memiliki pemahaman dan pengertian


(48)

nilai-nilai mengenai seksualitas yang lebih tepat dari orangtuanya (Prihartini, Nuryoto, & Aviatin, 2000).

Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pendidikan seks kepada anaknya. Beberapa studi yang dilakukan di negara barat menemukan bahwa peningkatan komunikasi orangtua dan anak mengenai seks berhubungan dengan penundaan untuk melakukan hubungan seksual (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015). Kemunikasi yang terbuka mengenai seks antara orangtua dan remaja menghasilkan perilaku seksual yang aman (Richards, 2013, dalam Gumban, et al., 2016). Komunikasi yang positif antara orangtua dan anak dapat membantu anak untuk menentukan nilai pribadinya dan membuat keputusan yang sehat terkait seksual (Gumban, Martos, Rico, Bernarte, & Tuason, 2016). Di samping itu, orangtua diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai hal-hal seksual sehingga dapat membantu perkembangan nilai seksual yang positif pada anaknya (Seloilwe et al, 2015) dan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif pula (Ramadhani, 2013).

Akan tetapi, anak cenderung menghindari komunikasi mengenai seksualitas dengan orangtuanya karena merasa kurang nyaman dengan gaya komunikasi yang ditunjukkan oleh orangtuanya (Wang, 2016). Selain itu, orangtua juga cenderung menutupi masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitas, kurang peka terhadap perkembangan fisik dan psikis remaja, dan kurang memberi ruang untuk berdialog kepada


(49)

remaja mengenai masalah seksualitas. Penelitian dari Gumban et al., (2016) juga menemukan bahwa responden yang terlibat dalam seks beresiko memiliki komunikasi yang kurang atau rendah dengan orangtuanya. Komunikasi yang kurang menyebabkan anak memiliki pengetahuan yang kurang pula mengenai seksual dan menyebabkan hubungan antara orangtua-anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke sumber informasi lain yang mungkin kurang akurat, seperti teman (Sarwono, 2010).

3. Dampak-Dampak Komunikasi

Komunikasi diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat penting pada saat ini (Littlejohn & Foss, 2011). Komunikasi dapat membentuk rasa saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan ilmu pengetahuan, dan melestarikan peradaban seseorang. Akan tetapi, komunikasi juga dapat menimbulkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, menghalangi kemajuan, dan menghambat pemikiran (Khairani, 2015). Menurut Runcan et al. (2012), nada tenang yang digunakan dalam komunikasi orangtua-anak mengarahkan untuk membentuk dan menginduksi kenyamanan secara psikologis, serta pesan menjadi lebih cepat dan dapat dipahami dengan lebih baik dibandingkan orangtua menggunakan nada marah. Sedangkan perasaan marah yang disertai dalam komunikasi mengarahkan


(50)

pada perasaan panik, takut, kesalahpahaman dari pesan, dan penolakan terhadap proses komunikasi.

Keterbukaan dalam berkomunikasi mampu menumbuhkan sikap saling percaya, sikap objektif, berusaha untuk selalu mencari informasi akurat dan terpercaya daripada hanya sekedar isu-isu belaka (Brooks & Emmert, 1977). Kualitas hidup manusia dan hubungan manusia dengan sesama manusia dapat ditingkatkan dengan meningkatkan komunikasi yang dimiliki (Khairani, 2015). Komunikasi yang timbal balik dan tidak sepihak dapat berkontribusi secara signifikan terhadap keterbukaan dan pembentukan hubungan dalam interaksi orangtua dan anak (Runcan et al., 2012). Leeds, Gallagher, Wass, Leytem, dan Shlay (2014) menemukan bahwa komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak berkorelasi secara kuat dengan penurunan tingkat kehamilan remaja, maupun dalam penurunan perilaku merokok, alkohol, penggunaan obat-obat lainnya, penurunan perilaku seksual berisiko, dan penurunan perilaku kenalakan remaja yang lainnya.

Seloilwe, et al. (2015) berpendapat bahwa remaja ingin untuk berbicara dengan orangtuanya mengenai seksualitas, tetapi orangtua merasa tidak nyaman untuk membicarakan hal tersebut. Komunikasi yang dibatasi tersebut dapat menimbulkan konflik dalam hubungan orangtua-anak dan dapat menyebabkan remaja melakukan kenakalan, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual, kinerja sekolah yang rendah, dan mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi,


(51)

(Brody et al., 1999, dalam Davidson & Cardemil, 2009). Menurut Sarwono (2010), komunikasi yang kurang dari orangtua menyebabkan anak memiliki pengetahuan yang kurang tentang seksual. Hal ini dikarenakan orangtua yang merasa tabu untuk membicarakan seks dengan anak, serta hubungan antara orangtua dan anak yang sudah terlanjur jauh sehingga anak menjadi berpaling ke sumber informasi lain yang mungkin tidak akurat, seperti teman.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi seksual memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap perkembangan seseorang. Komunikasi efekitf yang dilakukan dapat menghasilkan dampak yang positif, seperti membentuk rasa saling pengertian, menumbuhkan, sikap saling percaya, sikap objektif, serta dapat berpengaruh pada penurunan perilaku seksual berisiko, penurunan tingkat kehamilan remaja, dan penurunan perilaku kenalakan remaja yang lainnya. Selain itu, komunikasi yang efektif juga dapat membentuk dan menumbuhkan kenyamanan secara psikologis sehingga pesan menjadi lebih cepat dan dapat dipahami dengan baik. Sementara itu, komunikasi yang kurang atau dibatasi dapat menghasilkan berbagai dampak negatif, seperti menimbulkan kesalahpahaman terhadap pesan, kebencian, menghalangi kemajuan, menghambat pemikiran atau pengetahuan menjadi kurang, serta dapat menjadi pemicu timbulnya tindakan kenakalan dari anak, seperti penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, hubungan seksual, mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi.


(52)

4. Dimensi Komunikasi

Komunikasi seksual dalam keluarga diukur menggunakan dua dimensi dari Warren dan Neer (1986), yaitu dimensi kenyamanan (comfort) dan dimensi informasi (information).

a. Dimensi Kenyamanan

Dimensi kenyamanan mengukur tingkat keterbukaan yang dirasakan mengenai diskusi seks dalam keluarga.

b. Dimensi Informasi

Dimensi informasi mengukur persepsi dari jumlah informasi yang dipelajari dan dibagikan selama diskusi. Dimensi informasi termasuk karena rumah dapat berfungsi sebagai sumber utama dari pembelajaran seksual hanya melalui berbagi informasi yang efisien.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua dimensi komunikasi seksual sebagai dasar pembuatan skala yang digunakan untuk mengukur komunikasi seksual yang dimiliki atau dilakukan anak di dalam keluarga.

C. SIKAP REMAJA TERHADAP SEKS

1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 1993). LaPierre (1934, dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Morissan (2013) mendefinisikan sikap sebagai karakteristik individu yang dapat dibedakan


(53)

dari individu lainnya. Sikap menunjukkan pola atau cara yang relatif konsisten mengenai bagaimana seseorang berpikir, merasakan, dan bertingkah laku dalam berbagai situasi yang dihadapi. Menurut Campbel (1950, dalam Notoatmodjo 1993) sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap objek sosial. Sementara Thurstone, Linkert, dan Osgood (dalam Azwar, 2005) mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005). Sementara Azwar (2009) menyebutkan bahwa sikap dapat bersifat positif maupun bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan yaitu mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Di sisi lain, sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Munurut Mar’at (1982), sikap belum berupa suatu tindakan atau aktifitas, tetapi masih berupa predisposisi tingkah laku. Sifat ini juga sering digunakan untuk memprediksi perilaku (Morissan, 2013).

Sikap seksual merupakan kepercayaan implisit dan asumsi yang berkaitan dengan aktivitas seksual (Christlieb, 2016). Menurut Sprecher dan McKinney (1993), sikap memiliki pengaruh yang besar pada kemungkinan perilaku seksual untuk dilakukan atau tidak oleh seseorang. Sikap ibu terhadap perilaku seksual pranikah mempengaruhi sikap yang


(54)

dimiliki responden terhadap perilaku seksual pranikah, yang nantinya dapat mempengaruhi kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku seksual pranikah (Gravel, Young, Darzi, Olavarria-Turner, Lee, 2016). Hal yang serupa juga diungkapkan Wang, Li, Stanton, Kamali, Naar-King, Shah, dan Thomas (2007), yaitu sikap remaja mengenai seks dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja, sikap yang lebih permisif atau positif terhadap seksual dapat mengarahkan pada seks pertama yang lebih awal.

Dengan demikian, sikap dapat disimpulkan sebagai bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, pemikiran, dan kecenderungan bertindak yang relatif konsisten dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek di lingkungan sekitarnya, serta dapat bersifat positif atau mendukung, maupun bersifat negatif atau tidak mendukung objek sikap tersebut.

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sikap

Menurut beberapa literatur, pembentukan sikap seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pengalaman pribadi. Sesuatu yang telah dan sedang kita alami ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis (Azwar, 2005).


(55)

Selain itu, orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Kita mengharapkan persetujuan dari seseorang yang kita anggap penting, seperti orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, untuk setiap gerak, tingkah, dan pendapat kita (Azwar, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa standar atau sikap teman sebaya memiliki dampak yang lebih kuat terhadap standar atau sikap responden dibandingkan standar orangtua (DeLamater & McCorquodale, 1979; Reiss, 1967, dalam Sprecher & McKinney, 1993).

Menurut Azwar (2005), kebudayaan di mana kita hidup dan dibesarkan juga mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup dalam budaya yang mempunyai norma yang longgar mengenai pergaulan heteroseksual, maka kita cenderung akan memiliki sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual. Sprecher dan McKinney (1993) berpendapat bahwa nilai seksual yang ada pada tingkat budaya dan didukung oleh institusi dalam masyarakat seperti sekolah, keluarga, dan agama, dapat mempengaruhi sikap seksual dan norma yang dipegang oleh kelompok dan individu dalam masyarakat tersebut.

Keanggotaan dari subkultural juga mempengaruhi sikap seksual. Penelitian secara umum mendukung kesimpulan bahwa orang kulit hitam memegang sikap seksual yang lebih permisif dibandingkan orang kulit putih. Lebih lanjut, studi mengindikasikan jika religiusitas yang baik dan


(56)

frekuensi untuk menghadiri acara keagamaan diasosiasikan dengan sikap seksual yang lebih membatasi atau konservatif (Sprecher & McKinney, 1993). Menurut Azwar (2005), lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain juga memberikan pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Adanya informasi baru, memberikan cara pandang baru bagi terbentuknya sikap kita terhadap hal atau informasi tersebut (Azwar, 2005).

Azwar (2005) berpendapat bahwa bentuk sikap tidak semuanya ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Terkadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Banyak survei dan studi eksperimen menunjukkan bahwa laki-laki lebih permisif dibandingkan perempuan, khususnya dalam konteks hubungan casual. Banyak penelitian mengindikasikan bahwa responden mahasiswa yang lebih tua memiliki standar atau sikap permisif yang lebih dibandingkan responden mahasiswa yang lebih muda (Sprecher & McKinney, 1993).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor internal tersebut, yaitu pengalaman pribadi, nilai-nilai yang dipegang,


(57)

religiusitas, dan kondisi emosi seseorang. Sementara itu, faktor eksternal yang berpangruh, seperti orang-orang di sekitar atau yang dianggap penting, kebudayaan di tempat tinggal, keanggotaan dari suatu kelompok, lembaga-lembaga pendidikan dan agama, serta media massa.

3. Komponen Sikap Remaja terhadap Seks

Menurut Allport (1954, dalam Notoatmodjo, 1993) dan Azwar (2009), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang bersama-sama membentuk sikap yang utuh, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Atkinson (1999) mengkaji sikap sebagai komponen dari sistem yang terdiri dari tiga bagian. Keyakinan mencerminkan komponen kognitif, sikap merupakan komponen afektif, dan tindakan mencerminkan komponen perilaku.

Menurut Azwar (2009), komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif terdiri atas kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap suatu objek (Allport, 1954, dalam Notoatmodjo, 1993). Mar’at (1982) juga menyatakan bahwa komponen kognisi berhubungan dengan belief, ide, dan konsep.

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu (Azwar, 2009). Menurut


(58)

Allport (1954, dalam Notoatmodjo, 1993), komponen afektif berkaitan dengan kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

Komponen konatif merupakan kecenderungan untuk bertindak (Allport, 1954, dalam Notoatmodjo, 1993). Menurut Azwar (2009), komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

Selain itu, sikap remaja terhadap seks akan diungkap melalui tiga komponen objek sikap menurut Rice (dalam Rini, 2002), yaitu :

a. Sikap terhadap hubungan seksual pranikah dengan pasangan tetap, yaitu sikap remaja yang menunjukkan kecenderungan melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan tetap karena alasan saling mencintai.

b. Sikap dalam melakukan hubungan seksual pranikah pada kondisi spesifik, yaitu sikap remaja yang cenderung membenarkan hubungan seksual pranikah karena ada syarat-syarat tertentu.

c. Sikap terhadap hubungan seksual pranikah sebagai pengalaman hidup, yaitu sikap remaja yang menunjukkan kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah sebagai penambah pengalaman hidup yang menyenangkan.

Dalam penelitian ini, sikap remaja terhadap seks akan dilihat berdasarkan tiga komponen sikap, yaitu komponen kognitif, afektif, dan


(59)

konatif, serta mengacu pada komponen objek sikap yang telah dipaparkan di atas.

D. REMAJA

1. Definisi Remaja

Remaja (adolescence) berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh kearah kematangan, tidak hanya kematangan secara fisik, tetapi juga kematangan sosial-psikologis (Sarwono, 2010). Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari kanak-kanak menuju dewasa yang mengandung perubahan besar secara fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Taufikurrohman (dalam Sarwono, 2010) juga memberikan definisi masa remaja yang serupa, yaitu masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama.

Pada masa remaja ini terjadi perubahan fisik dan hormonal yang sangat pesat (Chandra, Rahmawati, & Hardiani, 2014). Masa remaja memberikan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga diri, serta keintiman (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah orang yang berada pada masa transisi perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa,


(60)

serta mengalami perubahan baik secara fisik, kognitif, psikososial, otonomi, harga diri, dan keintiman.

2. Tahap-tahap Perkembangan Remaja

Menurut Papalia et al. (2009) masa remaja berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun sampai masa akhir yaitu sekitar usia dua puluh awal. Hall (dalam Sarwono, 2010) menggolongkan masa remaja dalam rentang usia 12-25 tahun. Ilmuwan-ilmuwan yang mempelajari mengenai remaja biasanya membedakan antara remaja awal, yang mencakup periode dari usia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah yang berusia 14 sampai 18 tahun, dan remaja akhir yaitu dari usia 19 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). WHO membagi masa masa remaja menjadi tiga tahap yaitu remaja awal dengan rentang usia 10-14 tahun, remaja pertengahan berusia 15-19 tahun, dan remaja dewasa berusia 20-24 tahun (Sarwono, et al., 1981). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda yaitu dalam rentang usia 15-24 tahun (Sarwono, 2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada dalam rentangan usia 10-24 tahun dan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal, tengah, dan akhir. Dalam penelitian ini, remaja yang menjadi subjek penelitian adalah remaja yang berada pada rentang usia 19-24 tahun dan belum menikah.


(61)

3. Remaja dan Perilaku Seksual

Masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas yaitu masa di mana munculnya kematangan seksual atau kemampuan untuk melakukan reproduksi. Matangnya organ reproduksi mengawali haid pada anak perempuan dan produksi sperma pada anak laki-laki. Masa pubertas membawa serangkaian perkembangan yang terkait dengan kematangan seksual (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut McClintock dan Herd (dalam Steinberg, 2002) perubahan hormon pada masa remaja mungkin menstimulasi peningkatan dorongan seksual dari individu bersangkutan. Santrock (2011) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintegrasikan seksualitas kedalam identitas seseorang. Menurutnya, remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dipuaskan.

Mayoritas remaja dapat mengembangkan identitas seksual yang matang, meskipun sebagian besar di antara mereka mengalami masa yang rentan dan membingungkan (Santrock, 2011). Menurut Diamond dan Savin-Williams (2009, dalam Santrock, 2011), menguasai perasaan seksual dan membentuk rasa identitas seksual merupakan proses yang bersifat multiaspek dan panjang. Mengembangkan identitas seksual lebih dari sekedar perilaku seksual. Identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, sosial, budaya, dan kebanyakan lingkungan masyarakat memberikan batasan terhadap perilaku seksual remaja (Santrock, 2011).


(62)

Menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2009), pencapaian identitas seksual remaja ditandai dengan kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk seksual, mengenali orientasi seksual diri sendiri, menerima dorongan seksual, dan membentuk kedekatan romantis atau seksual. Buzwell dan Rosenthal (1996, dalam Santrock, 2011) mengungkapkan bahwa identitas seksual mencakup aktivitas, minat, gaya perilaku, dan indikasi yang mengarah pada orientasi seksual (baik mengarah pada jenis kelamin yang sama ataupun berbeda).

E. DINAMIKA PERILAKU SEKSUAL, KOMUNIKASI SEKSUAL

DALAM KELURGA, DAN SIKAP TERHADAP SEKS

Komunikasi merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan individu, termasuk dalam berelasi di keluarga. Menurut Runcan et al. (2012), segala aspek dalam kehidupan keluarga selalu melibatkan komunikasi karena komunikasi merupakan sarana untuk dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik. Selain itu, komunikasi juga dapat membangun dan menjaga hubungan antara orangtua dan anak. Hubungan antara orangtua dan anaknya dapat meningkat ketika komunikasi yang dilakukan bersifat efektif. Hal tersebut juga memungkinkan anak untuk lebih mengikuti apa yang dikatakan oleh orangtuanya (Zolten & Long, 2006).

Komunikasi antara orangtua dan anak mengenai seks ditemukan berhubungan dengan kemungkinan remaja melakukan penundaan terhadap hubungan seksual (Seloilwe, Magowe, Dithole, & Lawrence, 2015).


(1)

No Pernyataan

Setuju Setuju Setuju Tidak Setuju

saya untuk menceritakan relasi saya

16

Orangtua saya berusaha mengalihkan pembicaraan ketika saya bertanya mengenai seksualitas

17

Bagi saya, teman dapat memberikan informasi seksual yang lebih akurat dibandingkan orangtua

18

Saya merasa malu untuk bertanya masalah seksual kepada orangtua saya meskipun saya merasa penasaran

19

Tidak perlu untuk berbicara dengan orang tua mengenai hal-hal terkait seksual

20

Saya dapat berbicara hampir semua hal yang berbuhungan dengan seksualitas dengan orangtua saya

21

Saya merasa nyaman mendiskusikan seksualitas dengan orang tua saya

22

Saya sudah tahu mengenai seksualitas meskipun orangtua tidak pernah memberikan


(2)

No Pernyataan Sangat

Setuju Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju


(3)

Skala Sikap terhadap Seks

No Pernyataan Sangat

Satuju Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1

Hubungan seksual pranikah perlu dilakukan agar tidak mengalami kekecewaan dalam pernikahan

2 Saya takut untuk mencoba melakukan hubungan seksual

3 Cinta yang tulus dan mendalam tidak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual

4 Saya bersedia menunjukkan rasa cinta pada pacar tapi bukan dengan hubungan seks 5 Saya akan melakukan apapun untuk pacar

saya, termasuk berhubungan seks

6

Hubungan seks sebelum menikah tidak pantas dilakukan walaupun merupakan hak seseorang untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang seks

7 Hati nurani saya melarang terjadinya hubungan seksual pranikah

8

Bagi saya hubungan seks pada masa berpacaran hanya akan mencemari nama keluarga

9

Saya bersedia berhubungan seks dengan pacar, bila hubungan yang dijalan serius untuk menjadi suami istri


(4)

No Pernyataan Sangat

Satuju Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

hubungan seks pranikah dengan tujuan coba-coba

11 Masa berpacaran bukanlah masa untuk mencoba-coba melakukan hubungan seksual 12 Saya akan sangat menyesal jika melakukan

hubungan seks dengan pacar saya

13 Menurut saya, berhubungan seks adalah cara agar pacar tidak meninggalkan saya

14 Andai ada kampanye anti hubungan seksual pranikah, maka akan saya mendukungnya

15

Saya merasa rasa percaya diri saya meningkat dengan melakukan hubungan seks

16 Hubungan seks adalah bukti cinta dan kesetiaan kita kepada pacar

17 Saya bersedia untuk berhubungan seks dengan pacar agar hubungan semakin mesra

18

Saya merasa malu bila melakukan hubungan seksual dengan pacar meskipun kami saling mencintai

19 Hubungan seks pranikah boleh dilakukan untuk meningkatkan pengalaman seksual 20 Saya senang bila pacar saya mau untuk

berhubungan seks dengan saya

21

Saya lebih memilih untuk mengajak pacar saya berhubungan seksual daripada melakukan masturbasi


(5)

No Pernyataan

Satuju Setuju Setuju Tidak Setuju

22

Hubungan dengan pacar akan tetap langgeng walaupun kita tidak melakukan hubungan seksual

23 Bagi saya, hubungan sekual hanya pantas dilakukan jika sudah menikah

24

Saya akan menghindar untuk melakukan hubungan seks dengan pacar karena belum pantas untuk melakukannya

25

Saya akan melakukan hubungan seks pranikah agar tidak canggung lagi melakukannya setelah menikah

26 Hubungan seks bukanlah satu-satunya cara untuk menyatakan cinta terhadap pacar

27

Saya akan merasa kecewa apabila pacar saya mencoba untuk mengajak saya berhubungan seks

28 Saya hanya bersedia berhubungan seks dengan suami/istri saya yang sah

29

Hubungan dengan pacar terasa semakin mesra apabila sudah pernah melakukan hubungan seksual

30 Saya merasa lebih dicintai oleh pacar saya dengan melakukan hubungan seks

31

Hubungan seks boleh dilakukan bila hubungan dengan pacar sudah disetujui orang tua


(6)

No Pernyataan Sangat

Satuju Setuju

Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

melakukan hubungan seksual, maka saya akan memilih untuk putus dengannya

33 Saya merasa hubungan dengan pacar semakin erat dengan berhubungan seks