Deteksi Keberadaan Antibodi Anti H5N1 Menggunakan Metode Hemaglutinasi Inhibisi (HI) pada Kolostrum Sapi yang Divaksinasi H5N1

(1)

1

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1

MENGGUNAKAN METODE HEMAGLUTINASI

INHIBISI (HI) PADA KOLOSTRUM

SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1

SITI WINDA KUSUMAWARDHANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

2

ABSTRACT

SITI WINDA KUSUMAWARDHANI. Detection of Antibody toward H5N1

Virus using Haemagglutination Inhibition Assay (HI Assay) in H5N1 Vaccinated

Bovine Colostrum. Under the supervision of SRI MURTINI and ANITA

ESFANDIARI.

Colostrum from the cow which vaccinated with certain pathogen proved

can prevent certain infections in human. This research aimed to detect antibody

anti H5N1 in H5N1 vaccinated bovine colostrum. Two Friesian Holstein (FH)

cows were used as animal model maintain from dry period until a month post

partum. One cow treats as negative control which not given any vaccination

whereas cow 2 was vaccinated with H5N1 subtype AI vaccine. Before

administrations of vaccine, the cow was given immunomodulator 1 mg/kgsBW

per os in three days series. One milliliter non adjuvant H5N1 antigen was injected

intra venous in three days series. On the day fourth the cow was vaccinated with

H5N1 inactive vaccine sub coetaneous three times with 14 day intervals.

Colostrum was collected every day start on first day of calving until day 7, the

fourth teen day, and the twenty first day. The result of HI test showed that

colostrum from unvaccinated cow was negative. While colostrum from vaccinated

cow showed positive from first day of milking until day 7. The highest antibody

titer detected in the first and second colostrum with 8 log 2 (2

8

). Base on this

research we can conclude that colostrum was contain anti H5N1 antibody can be

found from H5N1 vaccinated dry period cow three times with 14 day intervals.

Keywords: Antibody anti H5N1, bovine colostrum, haemagglutination inhibition


(3)

3

RINGKASAN

SITI WINDA KUSUMAWARDHANI. Deteksi Keberadaan Antibodi Anti H5N1

Menggunakan Metode Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

pada Kolostrum Sapi yang

Divaksinasi H5N1. Dibimbing oleh SRI MURTINI dan ANITA ESFANDIARI.

Kolostrum berasal dari sapi yang divaksinasi dengan suatu agen patogen

telah terbukti mampu menghasilkan antibodi yang dapat mencegah terjadinya

infeksi pada manusia. Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan antibodi

anti H5N1 di dalam kolostrum sapi yang divaksinasi dengan H5N1. Dua ekor sapi

jenis Friesian Holstein (FH) digunakan sebagai hewan coba dipelihara sejak masa

kering kandang sampai sebulan setelah melahirkan. Sapi 1 diperlakukan sebagai

kontrol negatif sehingga tidak diberi vaksin apapun, sedangkan sapi 2 divaksinasi

dengan vaksin AI subtipe H5N1. Sebelum pemberian vaksin, dilakukan

pemberian imunomodulator dosis 1 mg/kgBB per oral selama 3 hari

berturut-turut. Vaksinasi menggunakan antigen AI H5N1 inaktif tanpa adjuvan diberikan

dengan dosis 1ml/ekor secara intra vena selama 3 hari berturut-turut. Kemudian

pada hari keempat dilanjutkan dengan pemberian vaksin H5N1 inaktif beradjuvan

dengan dosis 1ml/ekor secara subkutan selama tiga kali dengan interval waktu

masing-masing 14 hari. Sampel kolostrum diambil setiap hari dari hari pertama

setelah melahirkan sampai hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Hasil uji HI

kolostrum yang berasal dari sapi kontrol menunjukkan bahwa kolostrum tidak

mengandung antibodi terhadap antigen H5N1. Sementara uji HI terhadap sampel

kolostrum sapi perlakuan menunjukkan hasil positif dari hari pertama post partus

sampai dengan hari ke 7. Titer antibodi tertinggi terdeteksi pada kolostrum ke-1

dan 2 dengan nilai 8 log 2 (2

8

). Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa

kolostrum yang mengandung antibodi anti H5N1 diperoleh dari sapi kering

kandang yang divaksin dengan vaksin H5N1 tiga kali dengan interval 14 hari.


(4)

4

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak menrugikan kepentingan yang wajar

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(5)

5

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1

MENGGUNAKAN METODE HEMAGLUTINASI

INHIBISI (HI) PADA KOLOSTRUM

SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1

SITI WINDA KUSUMAWARDHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(6)

6

Judul Skripsi : Deteksi Keberadaan Antibodi Anti H5N1 Menggunakan Metode

Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

pada Kolostrum Sapi yang

Divaksinasi H5N1

Nama

: Siti Winda Kusumawardhani

NRP

: B04104184

Disetujui

Dr. drh. Sri Murtini, MSi

Pembimbing I

Dr. drh. Anita Esfandri, MSi

Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini, MSi

NIP 131.669.942

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor


(7)

(8)

8

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai langkah

kecil menuju sebuah cita.

Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang

tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terimakasih

kepada:

1.

Ibu Dr. drh. Sri Murtini, MSi dan Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi

selaku pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik,

dan kesabarannya dalam membimbing penulis.

2.

Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS sebagai dosen penilai dan penguji

dalam seminar dan sidang skripsi atas semua masukan untuk perbaikan

tulisan ini.

3.

drh. Tutuk Astyanti selaku pembimbing akademik.

4.

Seluruh staf Kandang Ruminansia Besar (Bapak Kosasih dan Bapak

Dahlan, Mas David) atas segala keterampilan, bantuan dan dukungan

selama pengumpulan data di Kandang Ruminansia Besar.

5.

Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik Departemen KRP FKH IPB

(Pak Djadjat dan Pak Suryono).

6.

Seluruh staf Laboratorium Imunologi Departemen IPHK FKH IPB (Pak

Lukman, Mas Ivan, dan Mas Wahyu).

7.

Rekan-rekan sepenelitian (Opink, Aki, Ica, Mas Hasan, Ita, dan Faisal)

atas kerjasama, semangat, dan kebersamaan selama penelitian ini.

8.

Keluarga tercinta (Mama, Bapak, dan Mas Endra) atas segala dukungan,

doa, perhatian, dan kasih sayang yang sangat besar.

9.

Keluarga Mas Nur, Wa’ Ida, Mba Nanda, dan Mang Babas atas dukungan

moral dan material serta doa dalam perjalanan penulis.

10. Teman-teman sejak masa kecil (Mera, Maulita, dan Mpie) yang selalu

setia.

11. Sahabat-sahabat terbaik (Bibin, Dimut, Cipho, Cechy, Eva, Nina, dan

Dinul) atas masa-masa terbaik selama 4 tahun terakhir dalam suka dan

duka yang dijalani bersama.


(9)

9

12. Teman-teman ‘R+’ (Yuyu, Arran, Kombo, Lorenk, Dian, Indra, Mones,

Kaka, Melon, Janto, Jerry, Aang, dll) yang tetap kompak dan saling

mendukung untuk menyukseskan seminar masing-masing.

13. Teman-teman Satli atas semua pengalaman, petualangan, dan tantangan

yang dialami bersama.

14. Teman-teman Asteroidea yang tetap terbaik dan teristimewa atas semangat

dan kebersamaan yang dilalui bersama.

Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2008


(10)

10

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Depok pada tanggal 14 Desember 1985 dari ayah

Budiadi DS dan ibu Eneng Sofiah. Penulis merupakan putri kedua dari dua

bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Depok dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru.

Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan

Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar 2005-2006, Ketua Divisi Infokom Komunitas

Seni Steril pada tahun 2005-2006, dan Koordinator Divisi Eksternal Himpro

Satwa Liar pada tahun 2006-2007. Penulis juga aktif dalam kegiatan adhoc dan

pengabdian masyarakat. Pada tahun 2008 penulis mendapat peringkat ke-4 dalam

seleksi Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.


(11)

MASALAH INF

JENIS BU

FAK

IN

FESTASI EKTOPARASIT PADA BE

URUNG ELANG DI HABITAT

EKS-SURYA KUSUMA WIJAYA

AKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

BEBERAPA

-SITU


(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Masalah Infestasi Ektoparasit Pada Beberapa Jenis Burung Elang Di Habitat Eksi-situ di Laboratorium Entomologi FKH IPBadalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2008

Surya Kusuma Wijaya


(13)

ABSTRACT

SURYA KUSUMA WIJAYA. Ectoparasite Infestation on Spesies of Eagles in Ex-Situ Habitat. Under the supervised by UPIK KESUMAWATI HADI.

The infestation of ectoparasite can cause many detriments in animal such as decreasing of body weights and production, alopecia, traumatic, irritation, and death. The purposed of this research was to identify the spesies of ectoparasite which infestating several spesies of eagles, the distribution, and the infestation in several ex-situ habitat in Indonesia. Sample was taken from several spesies of eagles i.e. brahminy kite, changeable hawk-eagle, crested serpent eagle, javan hawk-eagle, and white bellied sea eagle. Collecting sites sample were Ragunan Zoo, Cikananga Animal Rescue Center, Bandung Zoo, and Indonesian Safari Park. The research was done in July 2007 until January 2008. The ectoparasites found were lice Anatoecus dentatus and Lipeurus caponis, and mite Pterolichoidea. Lice, Anatoecus dentatus was found in Brahminy kite in Taman Margasatwa Ragunan. Lice, Lipeurus caponis was found in brahminy kite and crested serpent eagle in Bandung Zoo. Mite, Pterolichoidea was found in changeable hawk-eagles Cikananga Animal Rescue Center and Bandung Zoo. The presence of ectoparasites caused many detriments in eagle. Infestated eagle would suffer irritation, feather fall, and primary feather damage so it could not fly and become stress. The appearance of eagle also changes. Poor condition of health and housing management will make the infestation of ectoparasite become worse.


(14)

ABSTRAK

SURYA KUSUMA WIJAYA. Masalah Infestasi Ektoparasit pada Beberapa Jenis Burung Elang di Habitat Eks-Situ. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.

Infestasi ektoparasit pada hewan dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia, dan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan jenis-jenis ektoparasit yang ada pada beberapa jenis burung elang, sebaran, dan infestasinya di beberapa habitat eks-situ di Indonesia. Spesimen ektoparasit diambil dari beberapa jenis burung elang yaitu elang bondol, elang brontok, elang jawa, elang laut perut putih, dan elang ular bido. Tempat pengambilan spesimen yaitu Taman Margasatwa Ragunan, Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Kebun Binatang Bandung, dan Taman Safari Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2007 hingga Januari 2008. Ektoparasit yang ditemukan adalah kutu Anatoecus dentatus dan Lipeurus caponis serta tungau Pterolichoidea. Kutu Anatoecus dentatus ditemukan pada burung elang bondol di Taman Margasatwa Ragunan. Kutu Lipeurus caponis

ditemukan pada burung elang ular bido dan elang bondol di Kebun Binatang Bandung. Tungau Pterolichoidea ditemukan pada burung elang brontok di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga dan Kebun Binatang Bandung. Keberadaan ektoparasit mengakibatkan kerugian besar bagi burung elang. Burung elang yang terinfestasi akan mengalami iritasi, kerontokan bulu, dan kerusakan bulu-bulu primer sehingga elang tidak bisa terbang dan stres. Tampilan elang pun menjadi berubah. Manajemen kandang dan kesehatan yang buruk akan memperparah kejadian kejadian ektoparasit.


(15)

MASALAH INFESTASI EKTOPARASIT PADA BEBERAPA

JENIS BURUNG ELANG DI HABITAT EKS-SITU

SURYA KUSUMA WIJAYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(16)

Judul Skripsi : Masalah Infestasi Ektoparasit pada Beberapa Jenis Burung Elang di Habitat Ek-Situ

Nama : Surya Kusuma Wijaya

NRP : B04104120

Menyetujui, Dosen Pembimbing

drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D NIP 131 415 083

Mengetahui, Wakil Dekan

Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP 131 669 942


(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis sangat berterimakasih kepada Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah merelakan waktunya untuk memberikan bimbingan dengan kasih sayang, sabar, dan semangat selama penelitian sampai skripsi ini terwujud.

Penulis juga berterimakasih kepada Dr. drh. I Wayan T Wibawan, MS. sebagai dosen pembimbing akademik selama penulis menempuh pendidikan di fakultas, Dr. drh. Susi Soviana, MS. Sebagai dosen penilai dan penguji, Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc., seluruh staf dan dosen Laboratorium Entomologi FKH-IPB yang telah membantu penulis selama penelitian hingga penyusunan skripsi, pihak Taman Margasatwa Ragunan, pihak Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, pihak Kebun Binatang Bandung, pihak Taman Safari Indonesia, sahabat seperjuangan penelitian (Combo, Dimut, dan Winda), himpro SATLI, P*Joker (Bapak & Ibu Joko Santoso, Mas Heri, Mas Dwi, Febi, Nanda, Krido, Dahlan, Supri, dan Rizqi), keluarga Ir. Bambang Murdiono dan drh. Elok Budi Retnani, MS., kakak Angkatan 41, Angkatan 41 [Asteroidea], adik Angkatan 41, dan semua pihak yang tidak dapat penulis untuk menyebutkan satu per satu. Terima kasih banyak atas dukungan, doa, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan dan menyelesaikan penyusunan skripsi.

Terima kasih juga penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada Ibunda Suryati S.Pd, Ayahanda Drs. Sumaryadi, Candara Ari Tyastuti Wijaya, Megawati Wijaya, dan Dian Puspita Rini Wijaya serta Roni Eka Abadi atas cinta, dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Semoga skripsi ini berguna untuk kemajuan ilmu pengetahuan di bidang medis veteriner, khususnya pada satwaliar.

SALAM LESTARI!!!

Bogor, September 2008 Surya Kusuma Wijaya


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Intan, Lampung Timur pada tanggal 12 Mei 1986. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Sumaryadi dan Ibu Suryati S.Pd.

Penulis masuk TK Pertiwi Tanjung intan pada tahun 1989, lulus pada tahun 1992. Penulis kemudian masuk SD N 4 Taman Fajar pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 1998. Penulis meneruskan pendidikannya di SLTP N 1 Purbolinggo dan lulus tahun 2001. Setelah menempuh pendidikan SD sampai SLTP di Lampung timur, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikannya di SMU N 9 Yogyakarta. Penulis menyelesaikan pendidikan SMU pada tahun 2004.

Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) pada tahun 2004 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis aktif di berbagai kegiatan kampus antara lain: kegiatan Angkatan 41, Himpro Satli, dan Komunitas Seni Steril. Penulis pernah menjabat wakil ketua Himpro Satli dan asisten praktikum mata kuliah Parasitologi Veteriner: Ektoparasit selama kuliah.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR TABEL ... v

1 PENDAHULUAN ... 1

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Klasifikasi Burung Elang ... 3

2.2 Morfologi Burung Elang ... 3

2.2.1 Elang Jawa ... 7

2.2.2 Elang Bondol ... 8

2.2.3 Elang Brontok ... 9

2.2.4 Elang Ular Bido ... 9

2.2.5 Elang Laut Perut Putih ... 10

2.3 Perilaku, Habitat, dan Penyebaran Geografis Burung Elang ... 11

2.2.1 Elang Jawa ... 11

2.2.2 Elang Bondol ... 12

2.2.3 Elang Brontok ... 13

2.2.4 Elang Ular Bido ... 13

2.2.5 Elang Laut Perut Putih ... 13

2.4 Ektoparasit ... 16

3 METODOLOGI ... 20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.2 Pengamatan Habitat Eks-Situ ... 20

3.3 Pengambilan Spesimen Ektoparasit Secara Manual ... 20

3.4 Pengawetan Spesimen ... 20

3.5 Identifikasi spesimen ... 22

3.6 Analisis Data ... 22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Kondisi Habitat Eks-Situ Beberapa Jenis Burung Elang ... 23

4.1.1 Taman Margasatwa Ragunan ... 23

4.1.2 Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga ... 24

4.1.3 Kebun Binatang Bandung... 27

4.1.4 Taman Safari Indonesia ... 29

4.2 Pembahasan Umum ... 31

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37


(20)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

Penyebaran bulu burung ... 4

Morfologi bulu burung ... 5

Ikatan antar barbule ... 5

Berbagai jenis burung elang di Indonesia ... 15

Pengambilan spesimen ektoparasit secara langsung ... 21

Kandang burung elang di Taman Margasatwa Ragunan ... 23

Kandang burung elang di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga ... 26

Kandang burung elang di Kebun Binatang Bandung ... 27

Kandang burung elang di Taman Safari Indonesia... 30

Anatoecus dentatus pada burung elang bondol ... 33

Tungau Pterolichoidea ... 34


(21)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1 Infestasi kutu Anatoecus dentatus di Taman Margasatwa Ragunan ... 24 2 Infestasi tungau Pterolichoidea di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga . 26 3 Infestasi tungau Pterolichoidea di Kebun Binatang Bandung ... 28 4 Infestasi kutu Lipeurus caponis di Kebun Binatang Bandung ... 29 5 Rekapitulasi jenis dan jumlah ektoparasit pada beberapa jenis burung


(22)

1 PENDAHULUAN

Burung elang merupakan satu contoh dari berbagai jenis burung pemangsa. Burung elang adalah hewan berdarah panas, mempunyai sayap dan tubuh yang diselubungi bulu. Burung elang berkembang biak dengan cara bertelur yang mempunyai cangkang keras di dalam sarang, akan menjaga anaknya sampai mampu terbang.

Burung elang dikenal sebagai burung pemangsa berukuran besar, memiliki kemampuan terbang yang kuat, sayap yang lebar, paruh yang besar dan tajam, serta kuku yang kuat. Burung elang juga memiliki penglihatan tajam untuk melihat mangsa dari jarak yang jauh. Dengan kemampuan seperti ini, burung elang berada di puncak rantai makanan pada ekosistem. Posisi tersebut dalam rantai makanan berperan sebagai penyeimbang ekosistem agar satwa-satwa lain pada tingkat bawah rantai makanan jumlahnya tidak berlebihan.

Seluruh jenis burung elang termasuk ke dalam ordo Falconiformes (atau Ciconiiformes menurut skema Zipcode) (Anonim 2001a). Seluruh ordo ini merupakan pemakan daging (karnivora). Burung elang memiliki rentang umur yang panjang, dan laju reproduksi yang rendah. Seluruh elang berpasangan secara monogami. Spesies burung elang yang terdapat di Indonesia adalah Elang Brontok, Elang Jawa, Elang Ular Bido (Prawiradilaga et al. 2002), Elang Bondol, dan Elang Laut Perut Putih (Coates & Bishop 2000). Burung elang jawa merupakan satwa endemik Indonesia yang populasinya semakin menurun. Jumlah total populasi burung elang jawa yang ada diperkirakan tinggal 50-60 pasang (Meyburg et al. 1989 dalam Shannaz et al. 1995) dan tergolong genting (endangered) menurut kriteria International Union for Conservation of Nature

(IUCN) (Anonim 2008b). Rusaknya habitat, perburuan liar, bencana alam, dan kendala dalam penangkaran merupakan masalah-masalah yang sering dihadapi dalam mempertahankan jumlah populasi burung elang terutama burung elang jawa (Shannaz et al. 1995).

Ektoparasit merupakan permasalahan klasik yang merugikan, namun tidak mendapat perhatian yang baik. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar, mulai dari penurunan bobot badan, penurunan produksi, kerontokan rambut atau bulu, trauma, iritasi, anemia, sampai dengan kematian. Masalah tersebut sering terjadi di peternakan-peternakan sampai dengan satwaliar yang ada di dalam hutan. Hal ini akan berdampak buruk pada jumlah populasi satwaliar. Pengendalian ektoparasit bukan hal yang mudah untuk dilakukan dan membutuhkan waktu


(23)

bertahun-tahun dalam pengerjaannya. Ektoparasit dapat berperan dalam penyebaran penyakit antar satwa. Hal ini dapat lebih buruk lagi apabila pada suatu tempat merupakan wilayah endemik suatu penyakit dan ektoparasit berperan sebagai vektornya. Ektoparasit tersebut dapat berupa lalat, nyamuk, kutu, pinjal, caplak, dan tungau. Perannya sebagai ektoparasit tidak sama, tergantung pada stadium perkembangan dan perilaku. Selain itu, ektoparasit dapat menularkan penyakit pada hewan ke manusia (bersifat zoonosis) (Hadi & Soviana 2000). Hal ini yang perlu dikaji lebih lanjut karena penelitian tentang ektoparasit pada satwaliar belum banyak dilakukan. Iklim indonesia yang panas (tropis) merupakan salah satu faktor pendukung dari banyaknya jenis ektoparasit yang terdapat pada, hewan kesayangan, hewan ternak, maupun satwaliar.

Jenis-jenis ektoparasit pada burung elang belum tercatat dengan rinci dan juga belum diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis ektoparasit yang ada pada beberapa jenis burung elang serta sebaran dan infestasinya di beberapa habitat eks-situ di Indonesia.

Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ektoparasit pada satwaliar yang saat ini belum mendapat perhatian dari para peneliti. Penelitian ini juga diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk upaya-upaya pengendalian ektoparasit pada satwaliar.


(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Burung Elang

Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang dimilikinya, kelompok burung elang termasuk ke dalam famili Accipitridae subfamili Accipitrinae (Anonim 2001a). Secara rinci, klasifikasi burung elang adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Subkelas : Neornithes

Ordo : Ciconiiformes/Falconiformes Subordo : Ciconii/Accipitres

Famili : Accipitridae Subfamili : Accipitrinae

Indonesia memiliki beberapa spesies burung elang, antara lain : Elang Brontok, Elang Jawa, Elang Ular Bido (Prawiradilaga et al. 2002), Elang Bondol, dan Elang Laut Perut Putih (Coates & Bishop 2000).

2.2 Morfologi Burung Elang

Burung elang jantan dan betina pada satu spesies memiliki warna dan bentuk tubuh yang sama, perbedaan hanya terletak pada ukuran tubuh. Burung elang betina lebih besar dari pada jantan. Burung elang muda memiliki ciri-ciri umum yaitu warna mata yang gelap dan warna bulu yang lebih gelap. Burung elang dewasa memiliki warna mata dan warna bulu yang lebih terang (Brown 1976 dalam Lisah 1992).

Bulu pada unggas merupakan organ fungsional yang kompleks, dibentuk dari poliferasi sel-sel epidermis berupa protein keratin. β-keratin pada bulu, cakar, dan paruh terdiri atas untaian protein dengan ikatan hidrogen yang menjadi lipatan β. Lipatan tersebut kemudian akan berbelit dan berikatan silang dengan jembatan sulfida sehingga menjadi lebih kuat daripada α-keratin pada rambut, tanduk, dan kuku mamalia. Bulu melindungi unggas dari air dan temperatur dingin (Anonim 2008a). Bulu pada burung elang berfungsi untuk menjaga suhu tubuh burung elang, sekitar 440 C (Peterson 1980 dalam Lisah 1992).


(25)

bulu kapital

bulu humeral

bulu alar bulu ventral

bulu spinal atau dorsal bulu femoral bulu krural bulu kaudal

Bulu pada sayap dan ekor juga berperan penting sebagai kendali penerbangan, sehingga penyebarannya memiliki pola tertentu (Gambar 1). Bulu memiliki berat yang ringan, tetapi bila ditimbang beratnya dua sampai tiga kali lebih besar dari pada berat tulang (Anonim 2008a).

Bulu dibagi menjadi dua tipe dasar yaitu bulu penutup dan bulu halus. Bulu penutup disebut juga bulu Pennaceous atau bulu luar yang tersebar ke seluruh tubuh. Beberapa bulu penutup berubah menjadi bulu untuk terbang pada sayap (remigres) dan ekor (rectrices). Morfologi bulu penutup terdiri atas rachis, barb, barbule, dan barbicel (Gambar 2). Rachis adalah tiang utama bulu. Cabang dari

rachis membentuk barb yang bercabang lagi menjadi barbule. Barbule memiliki kaitan kecil disebut barbicel, yang dapat melekatkan antar barbule (Gambar 3). Bulu halus adalah bulu-bulu yang berada di bawah bulu penutup. Barbicel pada bulu halus tidak mengait satu dengan lainnya sehingga antar barbule menjadi terpisah. Struktur tersebut menyebabkan udara dapat mengalir di antara bulu halus sehingga suhu tubuh tetap terjaga. Pada ujung bulu terdapat pemanjangan

rachis yang membentuk calamus, masuk ke dalam folikel kulit (Anonim 2008a)


(26)

Keterangan : 1. Bulu penutup

2. Rachis 3. Barb

4. Bagian bulu halus

5. Calamus

Gambar 2 Morfologi bulu burung (Anonim 2008a)

Keterangan : (1) bagian barb (2,3) barbule yang saling mengikat


(27)

Sistem indera penglihatan dan pendengaran elang berkembang dengan baik. Mata burung elang dilengkapi dengan penglihatan monokular (ke samping) dan binokular (ke depan). Burung elang dapat melihat benda dengan jarak yang cukup jauh. Burung elang dapat membedakan pola warna dan terang-gelap. Retina burung elang 4-8 kali lebih peka dari pada mata manusia (Peterson 1980 dalam Lisah, 1992) karena retinanya terdiri atas sel-sel kerucut yang sensitif terhadap warna dan sel-sel batang yang sensitif terhadap gelap. Spektrum warna yang dimiliki mata burung elang lebih luas daripada mata manusia (Fox 1995). Pendengaran merupakan cara berkomunikasi untuk sesama terutama pada saat mencari pasangan dan hubungan induk-anakan (Brown 1976 dalam Lisah 1992). Burung elang dapat mendengar suara dengan jangkauan yang lebih besar daripada manusia dan dapat membedakan frekuensi suara. Tulang pendengarannya hanya ada satu dengan lipatan jaringan yang dapat mengurangi vibrasi dengan cepat di gendang telinga sehingga memudahkan burung elang untuk mendeteksi suara dalam waktu 0.6-2.5 milidetik (Fox 1995).

Struktur tulang pada burung elang berbeda dengan mamalia. Tulangnya tidak sepadat tulang mamalia dan terdapat rongga-rongga udara. Rongga ini berhubungan dengan sistem kantung hawa. Struktur tersebut disebut Os Pneumatii, membuat tulang burung elang menjadi lebih ringan dan kokoh. Tulang kaki bagian bawah mengandung sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah. Tulang pelvis atau synsacrum dan notarium merupakan struktur gabungan yang dapat dipisahkan menjadi berbagai macam tulang, membuat tubuh burung elang menjadi kaku. Tulang leher burung elang sangat fleksibel mengikuti pergerakan kepala dan kompensasi dari kekakuan tulang-tulang tubuh serta bola mata yang relatif tidak bergerak (Fox 1995).

Struktur pencernaannya burung elang hampir sama dengan unggas pada umumnya. Dimulai dari paruh atau mulut, esofagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus (gizard), usus, rektum, dan berakhir di kloaka. Otot lambungnya berdinding tipis, burung elang tidak perlu menggerus makanannya. Proventrikulus bersatu dengan ventrikulus menjadi satu organ yang berdinding tipis berbentuk seperti buah pir. Burung elang dapat memuntahkan bahan-bahan yang tidak diinginkan seperti bulu atau rambut hewan yang dimangsa (Fox 1995).

Sistem respirasi burung elang berfungsi sebagai pertukaran udara dan pengaturan suhu tubuh. Burung elang memiliki sistem aliran udara yang


(28)

berbeda, udara melewati paru-paru menuju ke kantung udara. Burung elang tidak memiliki diafragma yang bebas. Otot interkostal dan sternum membantu untuk memompa kantung udara. Proses tersebut memiliki sinkronisasi dengan kepakan sayap saat terbang. Burung elang membutuhkan banyak oksigen yang didapatkan dari cadangan kantong udara, sehingga burung elang tidak perlu bernafas cepat-cepat tetapi bernafas yang dalam. Burung elang hanya bernafas 15-30 kali permenit. Suhu tubuh yang tinggi dan metabolisme yang cepat dibutuhkan burung elang untuk terbang (Fox 1995).

Sistem transportasi burung elang terdiri atas jantung dan pembuluh darah (arteri, vena, dan kapiler). Jantung burung elang memiliki empat ruangan dengan berat sekitar tujuh gram atau 0,9 persen dari total berat badan. Denyut jantung rata-rata pada keadaan normal sekitar 80-90 kali permenit. Denyut jantung dapat meningkat drastis setelah melakukan aktifitas hingga 250 kali permenit (Fox 1995).

2.2.1 Elang Jawa

Burung elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dalam bahasa Inggris disebut Javan Hawk-eaglememiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001b) :

Famili : Accipitridae Genus : Spizaetus

Spesies : Spizaetus bartelsi

Burung elang jawa yang baru menetas memiliki bulu seperti kapas yang berwarna putih. Bulu tersebut bertahan hingga umur sekitar dua minggu, kemudian akan diganti dengan bulu jarum yang dapat berkembang mendekati bulu sempurna seiring dengan pertumbuhan badan. Selama periode ini, jambul mulai tumbuh. Anak burung elang jawa memiliki warna mata hitam, warna kepala dan mahkotanya coklat, kumis mesial belum terbentuk, iris berwarna coklat tua (saat lahir) berubah menjadi biru keabu-abuan (muda), jambul berwarna hitam dengan ujung putih, punggung dan sayap berwarna coklat, serta bagian ekor berwarna keabu-abuan (Widodo 2004).

Burung elang jawa dewasa memiliki berat sekitar 2,5 kg dan panjang tubuh antara 60-70 cm (Gambar 4). Tubuh burung elang jawa jantan dewasa lebih kecil daripada betina. Ciri khas burung elang jawa adalah jambul yang terdiri atas dua sampai empat bulu yang panjangnya sekitar 12 cm. Bulu jambul berwarna hitam dengan ujung putih. Warna dibagian tubuhnya bervariasi dari putih, kecoklatan, sampai hitam. Kepala dan tengkuk berwarna coklat berangan, punggung dan


(29)

sayap berwarna coklat gelap, leher berwarna putih dengan garis hitam ditengahnya, ekor berwarna coklat bergaris hitam, mahkota dan kumis mesial berwarna hitam, dan bagian tubuh yang lain berwarna putih dengan coreten coklat gelap dan kuning tua kemerahan. Mata burung dewasa berwarna kuning dengan iris berwarna kuning terang dan biru keabu-abuan pada elang jawa muda. Paruh burung elang jawa berwarna gelap dengan garis pada pinggirnya. Lubang hidung kecil. Kaki berwarna putih dengan garis melintang coklat tua. Bulu kaki sampai di bagian metatarsus. Taji tajam dengan jari yang kokoh (Cahyono 2001).

Ketika terbang, burung elang jawa serupa dengan burung elang brontok (Spizaetus cirrhatus) fase terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata, atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara burung elang brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya (Anonim 2008b).

2.2.2 Elang Bondol

Burung elang Bondol (Haliastur indus) atau Brahminy Kite memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001c) :

Famili : Accipitridae Genus : Haliastur

Spesies : Haliastur indus

Anakan burung elang bondol berwarna coklat, bercoret, dan bersisik bungalan. Ekor agak berpalang, serta memiliki bagian lebih pucat di sayap bagian bawah bulu primer. Perbedaan antara burung muda dengan dewasa adalah ujung ekornya bundar bukan menggarpu (Cahyono 2001).

Burung elang bondol berukuran panjang sekitar 45-52 cm, dengan lebar sayap 110-125 cm, panjang ekor 18-22 cm (Gambar 4). Burung elang bondol memiliki warna putih pada kepala, leher, dada, dan perut bagian depan. Bagian sayap atas sampai ekor berwarna coklat kepirangan. Ujung sayap berwarna hitam. Iris berwarna coklat dengan paruh-sera berwarna abu-abu kehijauan. Tungkai dan kaki elang bondol berwarna kuning suram. Pekikannya mengelih dan mengeong-ngeong “syii-ii-ii, kwiiaa, atau kyeeer” sambil terbang (Rijal 2008).


(30)

2.2.3 Elang Brontok

Burung elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) atau Changeable Hawk-eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001d) :

Famili : Accipitridae Genus : Spizaetus

Spesies : Spizaetus cirrhatus

Burung elang brontok berwarna coklat tua pada bagian punggung, berwarna putih pada bagian perut dan penutup sayap bawah. Bagian kepala burung elang remaja lebih pucat, sayap terlihat lebih sempit, dan garis-garis pada ekor tidak begitu nampak. Panjang tubuh burung elang bondol sekitar 60-80 cm (Coates & Bishop 2000).

Burung elang dengan tubuh besar dan ramping, panjang paruh sekitar 3,7 cm, dan panjang kaki sekitar 10,2 cm (Gambar 4). Sayapnya lebar, ekor membulat, dan jambul pendek. Mata berwarna kuning terang pada burung elang dewasa dan gelap pada burung elang remaja. Warna bulu digolongkan dalam dua fase, yaitu fase gelap dan fase terang. Fase gelap, seluruh tubuh berwarna coklat gelap mengarah ke hitam dengan garis hitam pada ujung ekor. Warna ekornya coklat dengan garis melintang sehingga terlihat kontras. Fase gelap muda berwarna gelap seluruhnya. Fase terang, tubuh bagian atas berwarna coklat batik dan berwarna putih bergaris-garis coklat kehitaman memanjang. Garis mata dan kumis berwarna hitam. Bentuk peralihan merupakan bentuk diantara fase gelap dan fase terang. Perbedaannya terlihat pada bentuk coretan dan garis serta pola warna. Suaranya memekik tajam

“kwip..kwip..kwip..kwip..kwiah” meninggi atau “kwi-hiww” (Prawiradilaga et al.

2002).

2.2.4 Elang Ular Bido

Burung elang Ular Bido (Spilornis cheela) atau Crest Serpent Eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001e) :

Famili : Accipitridae Genus : Spilornis

Spesies : Spilornis cheela

Burung elang ular bido dewasa memiliki dada berwarna kecoklatan hitam dengan bercak putih. kepala, leher, dan ekornya berwarna hitam dengan bercak putih pula (Gambar 4). Tubuhnya besar dengan ukuran kurang lebih 55-60 cm. Punggung, sayap, perut, bulu penutup ekor, dan tunggingnya berwarna


(31)

kecoklatan hitam dengan bercak putih. Burung elang tersebut akan terlihat berwarna hitam lurik putih pada saat terbang jika diamati dari bawah. Paruhnya kuning dengan bentangan sayap yang lebar. Ujung sayap membulat serta ekor yang pendek. Terdapat garis abu-abu lebar di tengah garis hitam pada ekor. Ujung sayap berwarna putih. Burung elang ular bido remaja memiliki pola warna yang sama dengan elang dewasa, tetapi warnanya lebih coklat dan lebih banyak warna bercak putih. Suaranya nyaring dan melengking “klik-klik” yang khas dengan tekanan pada dua nada terakhir atau “kokokoko” yang lembut (Prawiradilaga et al. 2002).

2.2.5 Elang Laut Perut Putih

Burung elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) atau White Bellied Sea Eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001f) :

Famili : Accipitridae Genus : Haliaeetus

Spesies : Haliaeetus leucogaster

Anakan burung elang laut perut putih berwarna coklat tua, bercoret, dan bertotol. Kadang-kadang terlihat pita dada hitam. Pola warna sayap terlihat dari bawah adalah coklat muda pada bagian depan dan sebagian pangkal dari bulu primer. Ujung bulu primer berwarna hitam (Coates & Bishop 2000).

Burung elang laut perut putih termasuk elang besar dengan ukuran 60-70 cm. Burung elang dewasa berwarna putih pada kepala, leher, dan bagian perut (gambar 4). Sayap bagian atas berwarna abu-abu gelap. Pola sayap bagian bawah memperlihatkan bulu primer bagian dalam berwarna putih, kontras dengan bulu sekunder dan ujung bulu primer luar yang berwarna abu-abu gelap. Ekor berbentuk seperti baji dengan pangkal berwarna hitam, semakin bertambah usia semakin semakin pucat bagian putih tersebut. Ketika terbang, sayap terentang membentuk huruf “V” (Tan 2001).

Burung elang laut perut putih merupakan burung yang berisik, biasanya di pagi dan sore hari. Suaranya keras “ah-ah-ah-ah” bergema seperti duet atau “qua-qua-qua” seperti angsa. Saat bersuara, kepala menghadap ke angkasa (Anonim 2008e).


(32)

2.3 Perilaku, Habitat, dan Penyebaran Geografis Burung Elang 2.3.1 Elang Jawa

Burung elang jawa berburu dari tempat bertenggernya di atas pohon-pohon yang tinggi di dalam hutan. Burung ini menyergap dengan sigap dan tangkas aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah seperti, reptil, burung-burung sejenis walik dan punai, dan bahkan ayam kampung. Selain itu, mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet juga menjadi menu sehari-hari (Anonim 2008b).

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi di atas cabang pohon setinggi 20-30 m dari permukaan tanah. Telur berjumlah satu butir yang dierami selama kurang-lebih 47 hari (Anonim 2008b).

Pohon-pohon yang dijadikan sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan

Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan kisireum (Eugenia clavimyrtus). Sarang burung elang jawa tidak selalu jauh berada di dalam hutan. Sarang yang pernah ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi (Anonim 2008b).

Burung elang Jawa menyebar jarang-jarang di habitatnya. Total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor (Anonim 2008b).

Burung elang jawa hidup di hutan tropis dari daerah pantai sampai ketinggian antara 3.000 m di atas permukaan air laut, tetapi burung elang jawa lebih menyukai daerah dengan ketinggian sekitar 200-2.000 m di atas permukaan air laut (dpl). Hutan yang dihuni meliputi hutan primer, hutan sekunder, dan hutan produksi (Prawiradilaga 1999 dalam Widodo 2004). Penyebaran burung elang jawa hanya terbatas pada pulau Jawa, yaitu Ujung Kulon, Gn. Halimun, Gn. Salak, Gn. Gede, Gn. Gede Pangrango, Gn. Papandayan, Gn. Patuha, Gn. Segera, Gn. Slamet, Gn. Besar, Gn. Prahu, Gn. Merapi, Gn. Wilis, Gn. Arjuno, Gn. Iyang, Karang Anyar, TN Meru Betiri, Kalibaru, Ijen, dan TN Alas Purwo (Sözer 1995 dalam Widodo 2004). Kharateristik pohon untuk sarang burung elang jawa menurut penelitian Afianto tahun 2001, yaitu pohon tertinggi dan terbesar di sekitarnya, terdapat tajuk pohon yang relatif terbuka, pandangan sarang terbuka ke arah lembah. Wilayah yang dikunjungi


(33)

secara tetap adalah wilayah yang yang dapat menyuplai makanan, minuman, dan tempat berlindung serta bersarang. Wilayah tersebut disebut wilayah jelajah atau home range (Boughey 1973, Pyke 1983, & Noordwijk 1985 dalam Alikodra 2002). Elang jawa memiliki area teritori yang ditandai dengan urin, feses, dan sekresi lainnya. Daerah teritori dipertahankan dari satwa lain, misalnya dengan mengeluarkan suara atau melawan satwa tersebut secara langsung. Umumnya, luas daerah teritori lebih sempit daripada daerah jelajah (Alikodra 2002).

2.3.2 Elang Bondol

Burung elang bondol memiliki kebiasaan terbang melayang-layang sambil mengintai mangsanya dengan ketinggian 20-50 m. Burung elang bondol akan terbang menukik untuk menangkap mangsanya jika mangsanya sudah terlihat. Makanan utama burung elang bondol adalah ikan, katak, reptil, dan sedikit serangga. Selain itu, burung elang bondol juga sering terbang di atas pelabuhan kapal pembawa ikan untuk mencuri ikan-ikan tersebut. Burung elang bondol pun mampu merebut makanan burung pemangsa lainnya seperti burung elang laut perut putih. Musim kawin terjadi pada bulan November-Desember. Burung elang bondol sering melakukan akrobatik di udara untuk menarik perhatian pasangan baik di dekat pasangan maupun di dekat sarangnya. Burung elang bondol memanfaatkan pohon-pohon besar dan tinggi untuk membangun sarang. Sarang terbuat dari ranting-ranting pohon yang disusun rapi yang direkatkan dengan lumpur. Beberapa diantaranya memanfaatkan pohon yang sudah mati. Tinggi sarang di daerah berpantai dan hutan mangrove berkisar 5-6 m, sedangkan pada daerah kering sekitar 20-30 m. Tebal sangkar antara 15-30 cm, lebarnya 60-90 cm. Sarang tersebut akan digunakan kembali dan diperbaiki sehingga sarang menjadi semakin tebal. Jarak antar sarang pasangan burung elang bondol sekitar 100 m. Burung elang bondol bertelur dua sampai tiga butir telur yang berwarna putih dengan totol-totol merah kecoklatan (Tan 2001).

Burung elang Bondol dapat ditemukan sendirian atau bersama-sama dalam kelompok di atas perairan. Mengunjungi kawasan pantai, pesisir sungai, rawa-rawa, danau, dan hutan pegunungan terbuka sampai ketinggian 3.000 m (Admin 2007).

Burung elang bondol merupakan penetap umum. Daerah penyebaran Burung elang Bondol di Indonesia adalah di seluruh Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Namun saat ini keberadaan burung elang Bondol di Jawa dan Bali sudah sangat jarang. Burung elang bondol yang terdapat di Cagar Alam Pulau


(34)

Rambut Jakarta, diperkirakan tinggal 10 ekor. Meski bukan burung migran antar benua, penyebaran elang bondol juga ditemukan di India, Cina Selatan, Filipina, Australia, dan juga di beberapa negara lainnya (Rijal 2008). Burung elang bondol juga tersebar di seluruh kawasan Wallacea (Coates & Bishop 2000).

2.3.3 Elang Brontok

Burung elang brontok menghuni kawasan dataran rendah sampai hutan pegunungan, sering terlihat berburu terbang melayang atau menyambar dari atas pohon (Prawiradilaga et al. 2002).

Penyebarannya burung elang brontok mulai dari India sampai Asia tenggara. Penyebaran di Indonesia yaitu Sunda besar, Nusa tenggara, dan wilayah Wallacea meliputi Flores (dataran rendah hingga 1.700 m dpl, Pulau Komodo, Paloe, dan Sumbawa (400-lebih dari 1.000 m dpl) (Coates & Bishop 2000). Burung elang tersebut juga ditemukan di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn. Buligir Putih, Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Cigudeg, Ciusul, dan Neglasari (Prawiradilaga et al. 2002).

2.3.4 Elang Ular Bido

Burung elang ular bido sering terlihat terbang melingkar di daerah pedesaan, kebun, hutan, dan sawah. Burung elang ular bido terbang dengan suara ribut. Makanannya bermacam-macam, antara lain: reptilia dan amfibia. Hidupnya sendirian atau berpasangan (Iskandar 1989). Pasangan sering saling memanggil dan memperlihatkan gerakan akrobatik hebat yang lambat pada saat bercumbu. Bila tidak terbang, burung elang tersebut sering bertengger pada pohon kering di hutan yang teduh sambil mengamati permukaan tanah atau sela-sela tanaman untuk mencari mangsa (Prawiradilaga et al. 2002).

Penyebarannnya meliputi India, China selatan, Asia tenggara, Sumatra, kalimantan, Jawa, Palawan, dan Sunda besar (umum ditemui di hutan sampai ketinggian 1.900 m). Burung elang ular bido dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn. Buligir Putih, Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Perkebunan teh Nirmala, Cigaronggong, Cadas Mahpar, dan Koridor Halimun Salak (Prawiradilaga et al. 2002).

2.3.5 Elang Laut Perut Putih

Burung elang laut perut putih menghuni di pesisir dan pulau-pulau kecil. Kadang ditemui di sekitar sungai sungai besar, danau, dan rawa-rawa pada


(35)

daratan rendah sampai 1.700 m dpl. Burung elang laut perut putih menghabiskan kesehariannya dengan terbang layang atau bertengger di atas batu, pohon, serta tepi air sambil mengamati dan mencari mangsa. Burung elang laut dapat terbang rendah di atas permukaan air sejauh satu kilometer dari pantai. Burung elang ini berburu dengan pasangannya, kadang terlihat bersama-sama dengan burung elang bondol dan elang hitam. Makanannya utamanya adalah ikan dan ular laut. Makanan lainnya seperti burung-burung air, mamalia kecil, kepiting, kura-kura, dan kadang-kadang kelelawar (Tan 2001).

Daerah teritorial burung elang laut perut putih tidak terlihat dengan jelas, tidak seperti burung pemangsa lainnya. Burung elang akan berteriak kencang di sekitar sangkar atau tenggerannya yang akan terdengar sampai radius satu kilometer. Hal ini dilakukan untuk mengusir burung-burung lainnya dan menghindari konfrontasi. Pasangan burung elang laut perut putih dewasa bila bertemu akan menampilkan gerakan-gerakan di udara seperti saling mengaitkan cakar dan jatuh bebas diiringi dengan teriakan keras mirip suara angsa. Tempat yang dipilih untuk sangkar adalah tempat yang tinggi dan dekat dengan pantai atau sungai besar. Sangkarnya besar dibuat bersama pasangannya. Ukuran sangkar berdiameter sekitar 1,5 m dan tingginya mencapai 2 m. Sangkar lama dapat digunakan kembali, baik oleh pasangan pemilik atau pasangan lain bila sangkar tersebut sudah ditinggalkan pemiliknya. Ukurannya dapat menjadi lebih besar seperti gundukan kayu. Induk betina bertelur tiga butir berwarna putih kebiruan. Telur dierami oleh induk betina dibantu oleh induk jantan selama 50 hari. Tugas induk jantan adalah memberi makan induk betina dan menjaga sarang. Setelah menetas, anak dirawat oleh induk betina selama 65-70 hari sampai anak sudah bisa terbang. Indukan bisa merawat dua ekor anak. Anak dapat mandiri setelah 6 bulan (Tan 2001).

Burung elang remaja dan yang belum berpasangan memiliki daya jelajah yang besar walaupun jenis burung elang ini bukan termasuk burung migran. Persebarannya di mulai dari pantai timur India dan Sri Lanka ke selatan Cina sampai bagian selatan Australia, Tasmania, Papua Nugini, dan kepulauan Bismarck. Burung elang tersebut dapat hidup di pedalaman hutan yang memiliki sungai besar seperti di pulau Kalimantan. Jaraknya kurang dari 10 mil dari pantai (Anonim, 2008c).


(1)

2.2.3 Elang Brontok

Burung elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) atau Changeable Hawk-eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001d) :

Famili : Accipitridae Genus : Spizaetus

Spesies : Spizaetus cirrhatus

Burung elang brontok berwarna coklat tua pada bagian punggung, berwarna putih pada bagian perut dan penutup sayap bawah. Bagian kepala burung elang remaja lebih pucat, sayap terlihat lebih sempit, dan garis-garis pada ekor tidak begitu nampak. Panjang tubuh burung elang bondol sekitar 60-80 cm (Coates & Bishop 2000).

Burung elang dengan tubuh besar dan ramping, panjang paruh sekitar 3,7 cm, dan panjang kaki sekitar 10,2 cm (Gambar 4). Sayapnya lebar, ekor membulat, dan jambul pendek. Mata berwarna kuning terang pada burung elang dewasa dan gelap pada burung elang remaja. Warna bulu digolongkan dalam dua fase, yaitu fase gelap dan fase terang. Fase gelap, seluruh tubuh berwarna coklat gelap mengarah ke hitam dengan garis hitam pada ujung ekor. Warna ekornya coklat dengan garis melintang sehingga terlihat kontras. Fase gelap muda berwarna gelap seluruhnya. Fase terang, tubuh bagian atas berwarna coklat batik dan berwarna putih bergaris-garis coklat kehitaman memanjang. Garis mata dan kumis berwarna hitam. Bentuk peralihan merupakan bentuk diantara fase gelap dan fase terang. Perbedaannya terlihat pada bentuk coretan dan garis serta pola warna. Suaranya memekik tajam “kwip..kwip..kwip..kwip..kwiah” meninggi atau “kwi-hiww” (Prawiradilaga et al. 2002).

2.2.4 Elang Ular Bido

Burung elang Ular Bido (Spilornis cheela) atau Crest Serpent Eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001e) :

Famili : Accipitridae Genus : Spilornis

Spesies : Spilornis cheela

Burung elang ular bido dewasa memiliki dada berwarna kecoklatan hitam dengan bercak putih. kepala, leher, dan ekornya berwarna hitam dengan bercak putih pula (Gambar 4). Tubuhnya besar dengan ukuran kurang lebih 55-60 cm. Punggung, sayap, perut, bulu penutup ekor, dan tunggingnya berwarna


(2)

kecoklatan hitam dengan bercak putih. Burung elang tersebut akan terlihat berwarna hitam lurik putih pada saat terbang jika diamati dari bawah. Paruhnya kuning dengan bentangan sayap yang lebar. Ujung sayap membulat serta ekor yang pendek. Terdapat garis abu-abu lebar di tengah garis hitam pada ekor. Ujung sayap berwarna putih. Burung elang ular bido remaja memiliki pola warna yang sama dengan elang dewasa, tetapi warnanya lebih coklat dan lebih banyak warna bercak putih. Suaranya nyaring dan melengking “klik-klik” yang khas dengan tekanan pada dua nada terakhir atau “kokokoko” yang lembut (Prawiradilaga et al. 2002).

2.2.5 Elang Laut Perut Putih

Burung elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) atau White Bellied Sea Eagle memiliki klasifikasi sebagai berikut (Anonim 2001f) :

Famili : Accipitridae Genus : Haliaeetus

Spesies : Haliaeetus leucogaster

Anakan burung elang laut perut putih berwarna coklat tua, bercoret, dan bertotol. Kadang-kadang terlihat pita dada hitam. Pola warna sayap terlihat dari bawah adalah coklat muda pada bagian depan dan sebagian pangkal dari bulu primer. Ujung bulu primer berwarna hitam (Coates & Bishop 2000).

Burung elang laut perut putih termasuk elang besar dengan ukuran 60-70 cm. Burung elang dewasa berwarna putih pada kepala, leher, dan bagian perut (gambar 4). Sayap bagian atas berwarna abu-abu gelap. Pola sayap bagian bawah memperlihatkan bulu primer bagian dalam berwarna putih, kontras dengan bulu sekunder dan ujung bulu primer luar yang berwarna abu-abu gelap. Ekor berbentuk seperti baji dengan pangkal berwarna hitam, semakin bertambah usia semakin semakin pucat bagian putih tersebut. Ketika terbang, sayap terentang membentuk huruf “V” (Tan 2001).

Burung elang laut perut putih merupakan burung yang berisik, biasanya di pagi dan sore hari. Suaranya keras “ah-ah-ah-ah” bergema seperti duet atau “qua-qua-qua” seperti angsa. Saat bersuara, kepala menghadap ke angkasa (Anonim 2008e).


(3)

2.3 Perilaku, Habitat, dan Penyebaran Geografis Burung Elang 2.3.1 Elang Jawa

Burung elang jawa berburu dari tempat bertenggernya di atas pohon-pohon yang tinggi di dalam hutan. Burung ini menyergap dengan sigap dan tangkas aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah seperti, reptil, burung-burung sejenis walik dan punai, dan bahkan ayam kampung. Selain itu, mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet juga menjadi menu sehari-hari (Anonim 2008b).

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi di atas cabang pohon setinggi 20-30 m dari permukaan tanah. Telur berjumlah satu butir yang dierami selama kurang-lebih 47 hari (Anonim 2008b).

Pohon-pohon yang dijadikan sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan kisireum (Eugenia clavimyrtus). Sarang burung elang jawa tidak selalu jauh berada di dalam hutan. Sarang yang pernah ditemukan hanya sejarak 200-300 m dari tempat rekreasi (Anonim 2008b).

Burung elang Jawa menyebar jarang-jarang di habitatnya. Total jumlahnya hanya sekitar 137-188 pasang burung, atau perkiraan jumlah individu elang ini berkisar antara 600-1.000 ekor (Anonim 2008b).

Burung elang jawa hidup di hutan tropis dari daerah pantai sampai ketinggian antara 3.000 m di atas permukaan air laut, tetapi burung elang jawa lebih menyukai daerah dengan ketinggian sekitar 200-2.000 m di atas permukaan air laut (dpl). Hutan yang dihuni meliputi hutan primer, hutan sekunder, dan hutan produksi (Prawiradilaga 1999 dalam Widodo 2004). Penyebaran burung elang jawa hanya terbatas pada pulau Jawa, yaitu Ujung Kulon, Gn. Halimun, Gn. Salak, Gn. Gede, Gn. Gede Pangrango, Gn. Papandayan, Gn. Patuha, Gn. Segera, Gn. Slamet, Gn. Besar, Gn. Prahu, Gn. Merapi, Gn. Wilis, Gn. Arjuno, Gn. Iyang, Karang Anyar, TN Meru Betiri, Kalibaru, Ijen, dan TN Alas Purwo (Sözer 1995 dalam Widodo 2004). Kharateristik pohon untuk sarang burung elang jawa menurut penelitian Afianto tahun 2001, yaitu pohon tertinggi dan terbesar di sekitarnya, terdapat tajuk pohon yang relatif terbuka, pandangan sarang terbuka ke arah lembah. Wilayah yang dikunjungi


(4)

secara tetap adalah wilayah yang yang dapat menyuplai makanan, minuman, dan tempat berlindung serta bersarang. Wilayah tersebut disebut wilayah jelajah atau home range (Boughey 1973, Pyke 1983, & Noordwijk 1985 dalam Alikodra 2002). Elang jawa memiliki area teritori yang ditandai dengan urin, feses, dan sekresi lainnya. Daerah teritori dipertahankan dari satwa lain, misalnya dengan mengeluarkan suara atau melawan satwa tersebut secara langsung. Umumnya, luas daerah teritori lebih sempit daripada daerah jelajah (Alikodra 2002).

2.3.2 Elang Bondol

Burung elang bondol memiliki kebiasaan terbang melayang-layang sambil mengintai mangsanya dengan ketinggian 20-50 m. Burung elang bondol akan terbang menukik untuk menangkap mangsanya jika mangsanya sudah terlihat. Makanan utama burung elang bondol adalah ikan, katak, reptil, dan sedikit serangga. Selain itu, burung elang bondol juga sering terbang di atas pelabuhan kapal pembawa ikan untuk mencuri ikan-ikan tersebut. Burung elang bondol pun mampu merebut makanan burung pemangsa lainnya seperti burung elang laut perut putih. Musim kawin terjadi pada bulan November-Desember. Burung elang bondol sering melakukan akrobatik di udara untuk menarik perhatian pasangan baik di dekat pasangan maupun di dekat sarangnya. Burung elang bondol memanfaatkan pohon-pohon besar dan tinggi untuk membangun sarang. Sarang terbuat dari ranting-ranting pohon yang disusun rapi yang direkatkan dengan lumpur. Beberapa diantaranya memanfaatkan pohon yang sudah mati. Tinggi sarang di daerah berpantai dan hutan mangrove berkisar 5-6 m, sedangkan pada daerah kering sekitar 20-30 m. Tebal sangkar antara 15-30 cm, lebarnya 60-90 cm. Sarang tersebut akan digunakan kembali dan diperbaiki sehingga sarang menjadi semakin tebal. Jarak antar sarang pasangan burung elang bondol sekitar 100 m. Burung elang bondol bertelur dua sampai tiga butir telur yang berwarna putih dengan totol-totol merah kecoklatan (Tan 2001).

Burung elang Bondol dapat ditemukan sendirian atau bersama-sama dalam kelompok di atas perairan. Mengunjungi kawasan pantai, pesisir sungai, rawa-rawa, danau, dan hutan pegunungan terbuka sampai ketinggian 3.000 m (Admin 2007).

Burung elang bondol merupakan penetap umum. Daerah penyebaran Burung elang Bondol di Indonesia adalah di seluruh Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Namun saat ini keberadaan burung elang Bondol di Jawa dan Bali sudah sangat jarang. Burung elang bondol yang terdapat di Cagar Alam Pulau


(5)

Rambut Jakarta, diperkirakan tinggal 10 ekor. Meski bukan burung migran antar benua, penyebaran elang bondol juga ditemukan di India, Cina Selatan, Filipina, Australia, dan juga di beberapa negara lainnya (Rijal 2008). Burung elang bondol juga tersebar di seluruh kawasan Wallacea (Coates & Bishop 2000).

2.3.3 Elang Brontok

Burung elang brontok menghuni kawasan dataran rendah sampai hutan pegunungan, sering terlihat berburu terbang melayang atau menyambar dari atas pohon (Prawiradilaga et al. 2002).

Penyebarannya burung elang brontok mulai dari India sampai Asia tenggara. Penyebaran di Indonesia yaitu Sunda besar, Nusa tenggara, dan wilayah Wallacea meliputi Flores (dataran rendah hingga 1.700 m dpl, Pulau Komodo, Paloe, dan Sumbawa (400-lebih dari 1.000 m dpl) (Coates & Bishop 2000). Burung elang tersebut juga ditemukan di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn. Buligir Putih, Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Cigudeg, Ciusul, dan Neglasari (Prawiradilaga et al. 2002).

2.3.4 Elang Ular Bido

Burung elang ular bido sering terlihat terbang melingkar di daerah pedesaan, kebun, hutan, dan sawah. Burung elang ular bido terbang dengan suara ribut. Makanannya bermacam-macam, antara lain: reptilia dan amfibia. Hidupnya sendirian atau berpasangan (Iskandar 1989). Pasangan sering saling memanggil dan memperlihatkan gerakan akrobatik hebat yang lambat pada saat bercumbu. Bila tidak terbang, burung elang tersebut sering bertengger pada pohon kering di hutan yang teduh sambil mengamati permukaan tanah atau sela-sela tanaman untuk mencari mangsa (Prawiradilaga et al. 2002).

Penyebarannnya meliputi India, China selatan, Asia tenggara, Sumatra, kalimantan, Jawa, Palawan, dan Sunda besar (umum ditemui di hutan sampai ketinggian 1.900 m). Burung elang ular bido dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Halimun yaitu di daerah Gn. Kendeng, Gn. Botol, Gn. Kempul, Gn. Buligir Putih, Gn. Bodas, Gn. Batu, Gn. Bedil, Gn. Bintang Gading, Perkebunan teh Nirmala, Cigaronggong, Cadas Mahpar, dan Koridor Halimun Salak (Prawiradilaga et al. 2002).

2.3.5 Elang Laut Perut Putih

Burung elang laut perut putih menghuni di pesisir dan pulau-pulau kecil. Kadang ditemui di sekitar sungai sungai besar, danau, dan rawa-rawa pada


(6)

daratan rendah sampai 1.700 m dpl. Burung elang laut perut putih menghabiskan kesehariannya dengan terbang layang atau bertengger di atas batu, pohon, serta tepi air sambil mengamati dan mencari mangsa. Burung elang laut dapat terbang rendah di atas permukaan air sejauh satu kilometer dari pantai. Burung elang ini berburu dengan pasangannya, kadang terlihat bersama-sama dengan burung elang bondol dan elang hitam. Makanannya utamanya adalah ikan dan ular laut. Makanan lainnya seperti burung-burung air, mamalia kecil, kepiting, kura-kura, dan kadang-kadang kelelawar (Tan 2001).

Daerah teritorial burung elang laut perut putih tidak terlihat dengan jelas, tidak seperti burung pemangsa lainnya. Burung elang akan berteriak kencang di sekitar sangkar atau tenggerannya yang akan terdengar sampai radius satu kilometer. Hal ini dilakukan untuk mengusir burung-burung lainnya dan menghindari konfrontasi. Pasangan burung elang laut perut putih dewasa bila bertemu akan menampilkan gerakan-gerakan di udara seperti saling mengaitkan cakar dan jatuh bebas diiringi dengan teriakan keras mirip suara angsa. Tempat yang dipilih untuk sangkar adalah tempat yang tinggi dan dekat dengan pantai atau sungai besar. Sangkarnya besar dibuat bersama pasangannya. Ukuran sangkar berdiameter sekitar 1,5 m dan tingginya mencapai 2 m. Sangkar lama dapat digunakan kembali, baik oleh pasangan pemilik atau pasangan lain bila sangkar tersebut sudah ditinggalkan pemiliknya. Ukurannya dapat menjadi lebih besar seperti gundukan kayu. Induk betina bertelur tiga butir berwarna putih kebiruan. Telur dierami oleh induk betina dibantu oleh induk jantan selama 50 hari. Tugas induk jantan adalah memberi makan induk betina dan menjaga sarang. Setelah menetas, anak dirawat oleh induk betina selama 65-70 hari sampai anak sudah bisa terbang. Indukan bisa merawat dua ekor anak. Anak dapat mandiri setelah 6 bulan (Tan 2001).

Burung elang remaja dan yang belum berpasangan memiliki daya jelajah yang besar walaupun jenis burung elang ini bukan termasuk burung migran. Persebarannya di mulai dari pantai timur India dan Sri Lanka ke selatan Cina sampai bagian selatan Australia, Tasmania, Papua Nugini, dan kepulauan Bismarck. Burung elang tersebut dapat hidup di pedalaman hutan yang memiliki sungai besar seperti di pulau Kalimantan. Jaraknya kurang dari 10 mil dari pantai (Anonim, 2008c).


Dokumen yang terkait

Pengaruh Ph Terhadap IgG Anti H5N1 Asal Kolostrum Sapi Yang Divaksin Dengan Vaksin Avian Influenza H5N1

0 6 44

Produksi Antibodi Poliklonal Anti H5N1 pada Marmot (Cavia porcellus) yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza H5N1 dan H5N2

1 22 58

Preparasi dan aplikasi vaksin polivalen avian Influenza h5n1 pada unggas menggunakan prinsip Antibodi-anti-idiotipe: efikasi vaksin terhadap Berbagai strain virus ai h5n1 indonesia

0 21 2

Gambaran antibodi anti avian influenza h5 pada ayam petelur yang divaksinasi dengan vaksin ai h5n1 inaktif isolat tahun 2007 ayu

0 4 63

Pengaruh Ph Terhadap IgG Anti H5N1 Asal Kolostrum Sapi Yang Divaksin Dengan Vaksin Avian Influenza H5N1

0 5 79

Karakterisasi Protein IgG Anti H5N1 Menggunakan Metode SDS-Page (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electrophoresis) Dari Kolostrum Sapi Yang Divaksin H5N1

1 14 75

Deteksi Keberadaan Antibodi Anti Diare (Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis) Dan Anti Flu Burung (H5N1) Pada Kuning Telur Ayam Isa Brown Yang Diberi Perlakuan Pemanasan Bertingkat

2 15 107

Sri Murtini, Komara Dwi Raharjo, Anita Esfandiari, Sus Derthi Widhyari; Karakterisasi Protein igG Anti H5N1 Kolostrum dari Sapi Friesian Holstein Bunting yang Divaksin H5N1 Menggunakan Metode SDS-Page (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacerilamide Gel Electropho

0 3 7

Deteksi Antibodi Anti-Escherichia coli K99 Dalam Kolostrum Induk Sapi Friesian Holstein Sesudah Vaksinasi Escherichichia coli Polivalen Menggunakan Teknik Elisa

0 6 7

SKRIPSI DETEKSI ANTIBODI AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5 PADA KUCING JALANAN (Felis silvestris catus) DI BEBERAPA PASAR DAN PERUMAHAN DI SURABAYA DENGAN UJI HEMAGLUTINASI INHIBISI (HI TEST)

0 1 60