Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus vampyrus)

ABSTRACT
ASWIN SETYAWAN. Histopathological Study of Hepatitis in Large Flying Fox
(Pteropus vampyrus). Under direction of EKOWATI HANDHARYANI and
AGUS SETIYONO.
The aim of this research was to find out an descrption of hepatitis in the
large flying fox (Pteropus vampyrus). This research used seventeen livers
samples of Pteropus vampyrus from Manado(North Sulawesi) and Ciamis (West
Java). The necropsy procedure was performed and livers of Pteropus vampyrus
were taken, examined for gross findings and histopathology. The results of
observations indicated that three of the samples showed hepatitis; characterized by
the presence of granulomatous inflammation. Inflammatory in those samples
consisted of necrotic area, neutrophils, macrophages, lymphocytes, and fibrous
tissue. Periodic Acid Schiff (PAS) staining was done on three samples and the
results demonstrated negative to the existence of parasites and fungi. So the cause
of granulomatous inflammaton in this study is still not spesific yet.
Keywords: histopathology, hepatitis, Pteropus vampyrus

ii

RINGKASAN
ASWIN SETYAWAN. Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus

vampyrus). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan AGUS
SETIYONO.
Kelelawar telah diidentifikasi sebagai reservoir host untuk banyak penyakit
patogen yang akhir-akhir ini muncul. Penyakit patogen tersebut diantaranya
adalah virus Hendra, virus Nipah, virus SARS Corona , virus Ebola, virus Lyssa
Australian Bat, dan virus Menangle. Kelelawar yang dapat berperan sebagai
reservoir host salah satunya adalah kelelawar buah (kalong) dari genus Pteropus
yang lebih dikenal dengan nama flying fox. Populasi kalong terutama Pteropus
vampyrus cukup banyak di Indonesia. Bertolak dari hal tersebut penelitian ini
dilakukan untuk mencari tahu tentang kerusakan pada hati dari Pteropus
vampyrus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi
hepatitis pada kalong (Pteropus vampyrus). Selanjutnya, penelitian ini diharapkan
bisa menjadi dasar penelitian penyakit zoonosis dari kalong terutama spesies
Pteropus vampyrus berdasarkan lesio-lesio dari hepatitis yang ditemukan.
Pteropus vampyrus dianastesi dengan menggunakan ketamin HCl dengan
dosis 10 mg/kg BB secara intra muskular. Selanjutnya dilakukan pengambilan
sampel darah, urine, dan feses sebelum dilakukan eutanasi. Setelah mati, kalong
dinekropsi untuk pengambilan organ, organ difiksasi di dalam Buffer Neutral
Formalin (BNF) 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preaparat
histopatologi organ hati dilakukan dengan prosedur yang terdiri dari fiksasi,

dehidrasi, pencetakan, dan pemotongan. Selanjutnya preparat diwarnai dengan
Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS), kemudian diamati
dengan menggunakan mikroskop. Semua gambaran histopatologi dievaluasi dan
disampaikan dalam penjelasan secara deskriptif.
Hasil pengamatan sampel preparat histopatologi hati pada 17 ekor kalong
dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya beberapa lesio. Pada sampel nomor
22, 23, 44, B1, B3, B4, B5, C10, dan C14 terdapat bentuk hepatosit yang normal,
sedangkan pada sampel nomor 24, 25, 35, 42, 43, 46, C2, dan C5 terdapat lesio
pada jaringan hati. Kerusakan hepatosit dikarenakan adanya infiltrasi radang
granuloma ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2 dan degenerasi hidropis
ditemukan pada sampel 35, 42, 43, 46, C2, dan C5.
Adanya kerusakan hepatosit dan ditemukannya sel-sel radang menunjukkan
bahwa sampel nomor 24, 25, dan C2 mengalami hepatitis. Hepatitis merupakan
peradangan yang terjadi pada hati. Hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Hepatitis akut merupakan kerusakan
hepatosit yang ditandai dengan masih ditemukannya perdarahan. Sel-sel radang
pada hepatitis akut lebih dominan pada daerah parenkim daripada daerah porta
dan kadang-kadang ditemukan kerusakan pada lumen pembuluh empedu, serta
belum terbentuknya jaringan fibrosis sebaliknya hepatitis kronis ditandai dengan
terbentuknya jaringan fibrosis.

Sarang radang granuloma ditemukan pada sampel nomor 24, 25, dan C2.
Sarang radang granuloma merupakan peradangan dengan sekumpulan makrofag
yang disertai limfosit dan sel plasma; kadang-kadang ditemukan netrofil dalam
iii

jumlah minimal. Penyebab dari radang granuloma sering tidak diketahui dan
biasanya merupakan bagian dari infeksi sistemik. Pada sampel 24 dan 25
ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari sel netrofil, makrofag, dan
limfosit, sedangkan pada sampel C2 ditemukan limfosit, makrofag, giant cell,
serta sedikit netrofil. Pewarnaan PAS yang dilakukan pada sampel 24, 25, dan C2
menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan parasit maupun jamur, yang
berarti bahwa penyebab sarang radang granuloma belum diketahui secara pasti.
Kata kunci: Histopatologi, hepatitis, Pteropus vampyrus

iv

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS
PADA KALONG (Pteropus vampyrus)

ASWIN SETYAWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Hepatitis pada
Kalong (Pteropus vampyrus) adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Aswin Setyawan
B04080061


i

ABSTRACT
ASWIN SETYAWAN. Histopathological Study of Hepatitis in Large Flying Fox
(Pteropus vampyrus). Under direction of EKOWATI HANDHARYANI and
AGUS SETIYONO.
The aim of this research was to find out an descrption of hepatitis in the
large flying fox (Pteropus vampyrus). This research used seventeen livers
samples of Pteropus vampyrus from Manado(North Sulawesi) and Ciamis (West
Java). The necropsy procedure was performed and livers of Pteropus vampyrus
were taken, examined for gross findings and histopathology. The results of
observations indicated that three of the samples showed hepatitis; characterized by
the presence of granulomatous inflammation. Inflammatory in those samples
consisted of necrotic area, neutrophils, macrophages, lymphocytes, and fibrous
tissue. Periodic Acid Schiff (PAS) staining was done on three samples and the
results demonstrated negative to the existence of parasites and fungi. So the cause
of granulomatous inflammaton in this study is still not spesific yet.
Keywords: histopathology, hepatitis, Pteropus vampyrus

ii


RINGKASAN
ASWIN SETYAWAN. Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus
vampyrus). Dibimbing oleh EKOWATI HANDHARYANI dan AGUS
SETIYONO.
Kelelawar telah diidentifikasi sebagai reservoir host untuk banyak penyakit
patogen yang akhir-akhir ini muncul. Penyakit patogen tersebut diantaranya
adalah virus Hendra, virus Nipah, virus SARS Corona , virus Ebola, virus Lyssa
Australian Bat, dan virus Menangle. Kelelawar yang dapat berperan sebagai
reservoir host salah satunya adalah kelelawar buah (kalong) dari genus Pteropus
yang lebih dikenal dengan nama flying fox. Populasi kalong terutama Pteropus
vampyrus cukup banyak di Indonesia. Bertolak dari hal tersebut penelitian ini
dilakukan untuk mencari tahu tentang kerusakan pada hati dari Pteropus
vampyrus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi
hepatitis pada kalong (Pteropus vampyrus). Selanjutnya, penelitian ini diharapkan
bisa menjadi dasar penelitian penyakit zoonosis dari kalong terutama spesies
Pteropus vampyrus berdasarkan lesio-lesio dari hepatitis yang ditemukan.
Pteropus vampyrus dianastesi dengan menggunakan ketamin HCl dengan
dosis 10 mg/kg BB secara intra muskular. Selanjutnya dilakukan pengambilan
sampel darah, urine, dan feses sebelum dilakukan eutanasi. Setelah mati, kalong

dinekropsi untuk pengambilan organ, organ difiksasi di dalam Buffer Neutral
Formalin (BNF) 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preaparat
histopatologi organ hati dilakukan dengan prosedur yang terdiri dari fiksasi,
dehidrasi, pencetakan, dan pemotongan. Selanjutnya preparat diwarnai dengan
Hematoksilin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS), kemudian diamati
dengan menggunakan mikroskop. Semua gambaran histopatologi dievaluasi dan
disampaikan dalam penjelasan secara deskriptif.
Hasil pengamatan sampel preparat histopatologi hati pada 17 ekor kalong
dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya beberapa lesio. Pada sampel nomor
22, 23, 44, B1, B3, B4, B5, C10, dan C14 terdapat bentuk hepatosit yang normal,
sedangkan pada sampel nomor 24, 25, 35, 42, 43, 46, C2, dan C5 terdapat lesio
pada jaringan hati. Kerusakan hepatosit dikarenakan adanya infiltrasi radang
granuloma ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2 dan degenerasi hidropis
ditemukan pada sampel 35, 42, 43, 46, C2, dan C5.
Adanya kerusakan hepatosit dan ditemukannya sel-sel radang menunjukkan
bahwa sampel nomor 24, 25, dan C2 mengalami hepatitis. Hepatitis merupakan
peradangan yang terjadi pada hati. Hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Hepatitis akut merupakan kerusakan
hepatosit yang ditandai dengan masih ditemukannya perdarahan. Sel-sel radang
pada hepatitis akut lebih dominan pada daerah parenkim daripada daerah porta

dan kadang-kadang ditemukan kerusakan pada lumen pembuluh empedu, serta
belum terbentuknya jaringan fibrosis sebaliknya hepatitis kronis ditandai dengan
terbentuknya jaringan fibrosis.
Sarang radang granuloma ditemukan pada sampel nomor 24, 25, dan C2.
Sarang radang granuloma merupakan peradangan dengan sekumpulan makrofag
yang disertai limfosit dan sel plasma; kadang-kadang ditemukan netrofil dalam
iii

jumlah minimal. Penyebab dari radang granuloma sering tidak diketahui dan
biasanya merupakan bagian dari infeksi sistemik. Pada sampel 24 dan 25
ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri dari sel netrofil, makrofag, dan
limfosit, sedangkan pada sampel C2 ditemukan limfosit, makrofag, giant cell,
serta sedikit netrofil. Pewarnaan PAS yang dilakukan pada sampel 24, 25, dan C2
menunjukkan hasil negatif terhadap keberadaan parasit maupun jamur, yang
berarti bahwa penyebab sarang radang granuloma belum diketahui secara pasti.
Kata kunci: Histopatologi, hepatitis, Pteropus vampyrus

iv

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

v

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPATITIS
PADA KALONG (Pteropus vampyrus)

ASWIN SETYAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vi

Judul Skripsi

: Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus
vampyrus)

Nama

: Aswin Setyawan

NIM

: B04080061


Disetujui,
Pembimbing I

Pembimbing II

Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D, APVet
NIP. 19591217 198601 2 001

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004

Diketahui,
Wakil dekan
Fakultas Kedokteran Hewan - IPB

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004

Tanggal Lulus :
vii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan
limpahan rahmat, izin, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Gambaran Histopatologi Hepatitis pada Kalong (Pteropus
vampyrus)" yang merupakan syarat kelulusan Sarjana Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.
D, APVet dan drh. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet selaku pembimbing atas
bimbingan, ilmu, dorongan, motivasi, nasehat, dan waktu yang telah diluangkan
selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai laboratorium Patologi yang
telah banyak membantu mulai dari awal hingga selesainya penelitian ini dengan
lancar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, teman
sepenelitian, teman-teman Avenzoar FKH 45 atas doa, dorongan semangat, dan
seluruh bantuannya.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan dan penulis
berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak termasuk penulis
pribadi.

Bogor, Oktober 2012

Aswin Setyawan

viii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus
1990. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Budhi Sukoco dan Asih
Daryati.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah
1 Wonosobo pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui seleksi USMI (Ujian Seleksi
Masuk IPB) pada tahun 2008.
Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis
pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan organisasi. Penulis tercatat pernah
menjadi pengurus BEM FKH IPB departemen Pendidikan kabinet Katalis periode
tahun 2009-2010, Ketua Seminar One World One Health (OWOH) pada tahun
2009, pengurus Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar FKH IPB divisi Eksternal
periode 2009-2010, Ketua Divisi Eksternal Himpunan Minat dan Profesi
Satwaliar periode 2010-2011, dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah
Wonosobo.

ix

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ........................................................................................

1

Tujuan Penelitian ....................................................................................

2

Manfaat Penelitian ..................................................................................

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pteropus vampyrus .................................................................................

3

Hati .........................................................................................................

7

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Peralatan Penelitian ..............................................................

11

Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................

11

Pembuatan Preparat Histologi
Fiksasi............................................................................................

11

Dehidrasi ......................................................................................

11

Pencetakan (Embedding) ...............................................................

12

Pemotongan ...................................................................................

12

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ....................................................

12

Pewarnaan Periodic Acid Schiff ...................................................

13

Pengamatan ............................................................................................

13

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................

14

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

22

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Pteropus vampyrus ........................................................................

3

Gambar 2 Susunan gigi Pteropus vampyrus tampak ventral ..........................

4

Gambar 3 Penyebaran Pteropus vampyrus di Asia Tenggara.........................

5

Gambar 4 Daerah porta hati tikus ...................................................................

8

Gambar 5 Vena centralis hati tikus .................................................................

8

Gambar 6 Hati, dilatasi sinusoid dan kongesti pada sampel 42 ......................

17

Gambar 7 Sel-sel hati mengalami degenerasi hidropis secara luas pada sampel
35 ....................................................................................................

17

Gambar 8 Hati, infiltrasi radang granuloma pada sampel 25..........................

19

Gambar 9 Hati, infiltrasi radang granuloma pada sampel C2 .........................

19

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelelawar telah diidentifikasi sebagai reservoir host untuk banyak penyakit
patogen yang akhir-akhir ini muncul.

Penyakit patogen tersebut diantaranya

adalah virus Hendra (Halpin et al. 2000), virus Nipah (Johara et al. 2001), virus
SARS Corona (Li et al. 2005), virus Ebola (Leroy et al. 2005), virus Lyssa
Australian bat (Fraser et al. 1996), dan virus Menangle (Philbey et al. 2008).
Sejumlah virus patogen tersebut telah menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap kesehatan manusia dan ternak. Virus Nipah bahkan telah dilaporkan
menular antar manusia di Bangladesh (Field et al. 2007).
Kelelawar yang dapat berperan sebagai reservoir host salah satunya adalah
kelelawar buah (kalong) dari genus Pteropus yang lebih dikenal dengan nama
flying fox. Kelelawar ini biasanya bertengger di pohon-pohon besar. Beberapa
spesies memiliki penyebaran yang sangat luas dan hidup nomaden dengan
bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber makanan.
Pola hidup seperti ini akan mempermudah proses penyebaran penyakit yang
dibawa oleh kalong ini (Fleming dan Eby 2003).
Virus Hendra dan virus Nipah (genus Henipavirus, famili Paramyxoviridae)
terdapat pada sebagian besar genus Pteropus.

Virus Hendra diisolasi dari

Pteropus alecto dan Pteropus poliocephalus di Australia, sedangkan virus Nipah
diisolasi dari Pteropus vampyrus dan Pteropus hypomelanus di Malaysia serta
Pteropus liley di Kamboja (Reynes et al. 2005).
Populasi kalong terutama Pteropus vampyrus cukup banyak di Indonesia.
Populasi yang tidak sedikit ini akan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan
ternak di negara kita jika tidak dikelola dengan baik. Hutan yang semakin gundul
akan semakin mendekatkan habitat kalong kepada manusia dan hewan ternak.
Hal ini akan mempermudah penularan virus yang dibawa oleh kalong kepada
manusia dan ternak (Kunz dan Jones 2000).
Sebenarnya selain menjadi reservoir host bagi penyakit-penyakit diatas,
kalong juga mempunyai peran positif bagi kehidupan manusia dan lingkungan.
Kalong bisa membantu penyerbukan bagi tanaman bunga dan buah, serta

2

membantu penyebaran biji buah-buahan. Kalong juga diyakini bisa menjadi obat
asma karena sifat dagingnya yang bisa menghangatkan tubuh setelah dimakan.
Hati merupakan organ yang berperan penting dalam detoksifikasi racun
karena hati menerima 80% suplai darah dari saluran pencernaan melalui vena
porta hepatika. Hati juga dapat menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai
kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat endogen dan eksogen
untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses biotransformasi ini dapat mengaktifkan
beberapa zat menjadi lebih toksik dan menyebabkan terjadinya perlukaan hati.
Hal ini menyebabkan hati berpotensi mengalami kerusakan, meskipun sel-sel hati
memiliki kemampuan regenerasi yang sangat luar biasa (Guyton dan Hall 2006).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hepatitis
pada kalong (Pteropus vampyrus).

Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran histopatologi
hepatitis dari Pteropus vampyrus, sehingga kita mendapatkan pengetahuan
tentang lesio-lesio yang disebabkan oleh hepatitis pada kalong ini. Penelitian ini
juga dapat digunakan sebagai dasar atau pembanding untuk penelitian selanjutnya,
termasuk menyelidiki penyakit-penyakit zoonosa yang dapat ditularkan oleh
kalong, terutama spesies Pteropus vampyrus berdasarkan lesio-lesio yang
ditemukan pada hepatitis dari penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA
Pteropus vampyrus
Pteropus vampyrus merupakan kelelawar pemakan buah (kalong) terbesar.
Beratnya dapat mencapai 1 500 gram dan bentangan sayap hingga 1 700 mm
(Suyanto 2001). Pteropus vampyrus termasuk ke dalam Famili Pteropdidae yang
merupakan satu-satunya famili dari anggota Subordo Megachiroptera.

Genus

Pteropus merupakan genus yang paling beragam dari 42 genus kelelawar
pemakan buah lainnya. Pteropus vampyrus memiliki 6 subspesies, yaitu Pteropus
vampyrus vampyrus, Pteropus vampyrus edulis, Pteropus vampyrus lanensis,
Pteropus vampyrus natunae, Pteropus vampyrus pluton, dan Pteropus vampyrus
sumatrensis (Simmons 2005).
Menurut Linnaeus (1758) dalam Simmons (2005), klasifikasi Pteropus
vampyrus adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Chiroptera

Subordo

: Megachiroptera

Famili

: Pteropodidae

Genus

: Pteropus

Spesies

: Pteropus vampyrus

Gambar 1 Pteropus vampyrus
(Kunz dan Jones 2000).

Pteropus vampyrus memiliki tubuh yang besar dengan panjang tubuh ratarata 34 cm dan panjang lengan 19-21 cm (Corbet dan Hill 1992). Pteropus
vampyrus memiliki muka seperti anjing yang merupakan ciri utama dari kalong.
Pteropus vampyrus memiliki kepala yang berwarna hitam kemerahan dengan
telinga yang panjang dan tegak. Bagian dagu ke bawah dari kalong ini berwarna
hitam, sedangkan bagian belakang lehernya berwarna coklat kemerahan (Ingle
dan Hanley 1992).

4

Seluruh tubuh Pteropus vampyrus ditutupi oleh rambut. Warna dari rambut
ini tergantung dari jenis kelamin dan umur. Pteropus vampyrus yang baru lahir
memiliki rambut berwarna hitam dan akan berwarna lebih terang saat dewasa.
Rambut Pteropus vampyrus jantan lebih kaku dan tebal daripada Pteropus
vampyrus betina (Godwin 1979).
Pteropus vampyrus memiliki ujung sayap yang pendek dan agak bulat yang
digunakan untuk mengurangi kecepatan saat terbang. Vena sayap pada Pteropus
vampyrus mirip dengan mamalia pada umumnya, hanya saja vena pada Pteropus
vampyrus memiliki inervasi khusus pada otot polos dan jaringan endotel di sekitar
sayap yang berfungsi untuk menjaga kelancaran aliran darah saat terbang (Schipp
1978). Spesies ini biasanya terbang 50 km/malam berpindah dari satu pulau ke
pulau lainnya untuk mencari makanan (Mickleburgh et al. 1992).
Pteropus vampyrus memiliki formulasi gigi I 2/2, C 1/1, M 3/3, dan P 2/3.
Gigi Insisivus bagian atas lebih besar daripada yang bawah dan I1 lebih besar
daripada I2. Gigi Caninus bagian atas panjang, tajam, dan memiliki alur,
sedangkan gigi Caninus bagian bawah tidak memiliki alur. Gigi Premolar dan
Molar pada Pteropus vampyrus umumnya kurang berkembang dengan baik
(Leekagul dan Mcneely 1977).

Gambar 2 Susunan gigi Pteropus vampyrus tampak ventral
(Corbet dan Hill 1992).

5

Pteropus vampyrus tersebar di sepanjang garis Wallace, tepatnya di
subregio Indo-Malayan.

Kalong ini dapat ditemukan di Thailand, Malaysia,

Filipina, Timor Leste, dan Indonesia. Di Malaysia dan Borneo (Kalimantan)
kalong ini umumnya dapat ditemukan di pesisir pantai di pedalaman hingga
ketinggian 1 370 meter (Medway 1969).

Gambar 3 Penyebaran Pteropus Vampyrus di Asia Tenggara
(Corbet dan Hill 1992).

Pteropus vampyrus hidup dalam sebuah kelompok besar.
vampyrus tidur di siang hari dan mencari makan di malam hari.

Pteropus
Pteropus

vampyrus biasanya tinggal di Hutan Mangrove dan perkebunan coklat.

Di

Malaysia, kalong ini sering ditemukan di dataran rendah dibawah 365 meter. Di
Kalimantan, kalong ini ditemukan di pesisir pantai di sebuah pulau selama musim
panen. Di Pulau Rambut, kalong ini menggantung di Pohon Kepuh, walaupun
kadang-kadang dapat ditemukan di Pohon Kedoya (Wiriosoepartha et al. 1986).
Di Sumatra, Pteropus vampyrus menggantung di Pohon Kapok.

Pteropus

6

vampyrus biasanya menggantung di ranting-ranting pohon yang tinggi (Godwin
1979).
Usia maksimal Pteropus vampyrus umumnya 15 tahun.

Selama hidup

Pteropus vampyrus dapat terserang penyakit. Penyakit ini berasal dari beberapa
parasit, diantaranya Limosa maki yaitu cacing yang tinggal di ruang abdomen
Pteropus vampyrus, ektoparasit dari Laelapidae, Nycteribiidae, dan Spinturnicidae
yang ditemukan di spesimen Pteropus vampyrus di Malaysia. Bakteri juga pernah
ditemukan pada rektum Pteropus vampyrus, yaitu bakteri gram positif (Bacillus
dan Corynebacterium) dan bakteri gram negatif (Enterococcus, S.aureus,
S.hemolityc, E.coli, dan M.morgani) (Heard et al. 1997).
Musim kawin Pteropus vampyrus tergantung dari musim di daerah tempat
tinggalnya. Di Malaysia dan Thailand, kebuntingan maksimal terjadi antara bulan
November-Januari dan anaknya akan lahir sekitar bulan Maret atau awal April.
Di Filipina, Pteropus vampyrus beranak selama bulan April sampai Mei. Dalam
satu siklus kawin, Pteropus vampyrus hanya dapat menghasilkan satu ekor anak
dengan masa kebuntingan sekitar 140-150 hari. Setelah lahir, anak Pteropus
vampyrus akan bergelantungan kepada induknya selama 2 bulan (Lekagul dan
Mcneely 1977).
Daging kalong termasuk Pteropus vampyrus merupakan makanan lezat
yang mendorong perdagangan secara besar-besaran, sehingga The Convention of
International Trade In Endangered Spesies (CITES) memasukkan semua spesies
Pteropus ke dalam appendix 2, yaitu daftar jenis-jenis hewan yang
perdagangannya perlu diawasi secara ketat agar tidak punah.

Menurunnya

populasi Pteropus vampyrus juga disebabkan oleh petani yang menganggap
kelelawar ini sebagai hama kebun yang perlu diberantas. Faktor lain penyebab
penurunan populasi kelelawar ini adalah keberadaan predator di alam, seperti
burung-burung pemangsa, ular, dan mamalia karnivora (CITES 2012).

7

Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar yang
terletak di rongga perut di bawah diafragma. Hati dibungkus oleh jaringan ikat
tipis yang disebut kapsula hepatika.

Kapsula hepatika akan bercabang

membentuk kapsula glisson yang berfungsi membungkus lobulus hati. Kapsula
glisson akan menebal di hilum.

Penebalan kapsula glisson di hilum ini

merupakan tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati serta tempat
keluarnya pembuluh limfe (Price dan Lorraine 2006).
Vaskularisasi hati berasal dari arteri hepatika dan vena porta. Darah yang
masuk ke hati melalui vena porta berasal dari saluran pencernaan dan organ
abdomen lain yaitu limpa, pankreas, dan kantung empedu. Darah yang masuk
mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih
lanjut oleh hati. Selain nutrisi, turut masuk juga berbagai bakteri, sel darah merah
yang sudah tua, dan toksin yang harus diolah, dihancurkan, atau disimpan.
Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta, sedangkan dari
arteri hepatika mengalir sekitar 20-25% darah yang kaya akan oksigen. Darah ini
selanjutnya akan menuju vena sentralis melalui sinusoid-sinusoid diantara
hepatosit. Darah dari vena sentralis akan bermuara ke dalam vena hepatika yang
selanjutnya akan dikeluarkan dari hati (Price dan Lorraine 2006).
Secara mikroskopis, setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yaitu
lobulus yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus
merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati
(hepatosit) berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara
hepatosit terdapat kapiler-kapiler darah yaitu sinusoid yang merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika. Lumen sinusoid dibatasi oleh kapiler diskontinyu.
Pada permukaan hepatosit yang menghadap ke sinusoid terdapat mikrovili yang
berfungsi menyerap nutrisi dari sinusoid. Diantara ruang endotel dan hepatosit
terdapat ruang Disse yang didalamnya terdapat sel Ito. Sel Ito berfungsi sebagai
penyimpan vitamin A dan matriks ekstraselular. Hati juga memiliki sel Kupffer
yang merupakan sistem monosit-makrofag yang berfungsi menelan agen infeksius
dan bahan asing lain. Sel Kupffer berada di atas sel endotel yang mengarah ke
lumen sinusoid (Guyton dan Hall 2006).

8

Gambar 4 Daerah porta hati tikus; pewarnaan HE, skala Bar 40 μm
(Cooper 1998).

Gambar 5 Vena centralis hati tikus; pewarnaan HE, skala bar 50 μm
(Cooper 1998).

9

Lobulus hati berdasarkan jaraknya dengan sumber suplai darah dapat dibagi
menjadi 3, yaitu periportal, midzonal, dan centrilobular. Daerah periportal
merupakan daerah yang paling dekat dengan suplai darah sehingga mendapatkan
oksigen yang kualitasnya baik. Daerah periportal juga akan terpapar oleh zat-zat
toksik terlebih dahulu. Oksigenasi semakin berkurang pada hepatosit yang berada
semakin dekat dengan vena sentralis (Guyton dan Hall 2006).
Hati adalah lokasi yang paling penting dalam sintesa protein.

Hampir

semua protein serum disintesa di hati, termasuk protein seperti albumin dan faktor
pembeku darah. Fungsi penting hati yang lainnya menurut Guyton dan Hall
(2006) adalah:
1. Metabolisme karbohidrat dan lemak
2. Menjalankan fungsi kekebalan
3. Memproduksi getah empedu dan protein plasma
4. Metabolisme bilirubin
5. Metabolisme dan penyimpanan vitamin.

Empedu yang dibentuk di hepatosit akan diekskresikan ke dalam kanalikuli
yang bersatu membentuk saluran empedu yang disebut duktus kholedukus.
Cabang terkecil dari duktus kholedukus akan membentuk segitiga porta (segitiga
Kiernan) bersama dengan cabang terkecil dari arteri hepatika dan vena porta
(Price dan Lorraine 2006).
Hepatitis merupakan peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme atau toksin termasuk alkohol (Corwin 2000).
Hepatitis dapat terjadi melalui beberapa rute, yaitu sirkulasi darah, sirkulasi cairan
empedu, dan penetrasi secara langsung. Rute sirkulasi darah merupakan yang
paling sering terjadi karena hati menerima darah dari arteri hepatika dan vena
porta sekaligus. Hepatitis dapat dibedakan menjadi hepatitis akut dan hepatitis
kronis. Hepatitis akut biasanya ditandai dengan adanya nekrosa, apoptosis sel
hepatosit, serta hadirnya sel-sel radang, seperti neutrofil, limfosit, dan sel plasma.
Hepatitis akut yang berkelanjutan akan berubah menjadi hepatitis kronis (Vegad
dan Swamy 2010). Ciri lain yang bisa membedakan hepatitis kronis dengan
hepatitis akut adalah terbentuknya fibrosis. Fibrosis hanya terjadi pada hepatitis

10

kronis.

Fibrosis merupakan proses terbentuknya jaringan parut yang

menggantikan hepatosit yang telah rusak.

Pada awalnya, hati membentuk

jaringan parut untuk melindungi dirinya dari peradangan, namun karena beratnya
kerusakan, jaringan parut yang terbentuk semakin banyak, sehingga hati tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akibatnya, jaringan hati yang sehat tidak
cukup untuk melakukan fungsi metabolisme, detoksifikasi, dan fungsi lainnya
untuk menjaga agar tubuh tetap sehat (Vegad dan Swamy 2010).

METODE PENELITIAN
Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 ekor kalong jenis
Pteropus vampyrus (9 ekor berasal dari Manado dan 8 ekor asal Ciamis dengan
kisaran berat badan 1 kg), organ hati, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%,
alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol
absolut, xylol, parafin, akuades, kaset jaringan, pewarna Hematoksilin-Eosin
(HE), pewarna Periodic Acid Schiff (PAS), larutan sulfit, asam periodat 1%,
cairan permounting, dan lithium karbonat. Peralatan yang digunakan antara lain
skalpel, pinset, tissue processor, tissue embedding console, mikrotom, gelas
objek, kaca penutup, dan mikroskop.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 sampai bulan Januari
2012, dilaksanakan di Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Evaluasi Histopatologi
Pteropus vampyrus dianastesi dengan menggunakan ketamin HCl dengan
dosis 10 mg/kg BB secara intra muskular. Selanjutnya dilakukan pengambilan
sampel darah, urine, dan feses sebelum dilakukan eutanasi.

Setelah mati

dilakukan nekropsi untuk pengambilan organ, difiksasi di dalam BNF 10% untuk
dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preparat histopatologi yang dilakukan
pada organ hati dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
Fiksasi
Sediaan organ hati direndam dalam larutan BNF 10% selama 6 sampai 48
jam, kemudian dipotong menggunakan skalpel dengan ketebalan 3 mm dan
potongannya dimasukan ke dalam kaset jaringan.
Dehidrasi
Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukan ke dalam gelas-gelas mesin
tissue processor untuk dilakukan dehidrasi.

Dehidrasi ini dilakukan dengan

12

menggunakan alkohol yang konsentrasinya berbeda dimulai dari 70%, 80%, 96%,
alkohol absolut I, dan alkohol absolut II masing-masing selama 2 jam. Setelah
itu, dilakukan proses penjernihan dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol I
dan II.
Pencetakkan (Embedding)
Paraffin dimasukkan ke dalam cetakan sampai setengah, kemudian
potongan jaringan dimasukkan, selanjutnya cetakan ditambah dengan parafin
hingga penuh dan diberi label.

Proses pencetakan dilakukan dengan tissue

embedding console. Sediaan lalu didinginkan pada suhu 4 °C.
Pemotongan
Jaringan dipotong dengan menggunakan rotary microtome dengan ketebalan
4-5 µm dan hasil potongan selanjutnya ditempelkan pada gelas objek, kemudian
dikeringkan pada suhu ruang, disimpan dalam inkubator sampai dilakukan
pewarnaan.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan HE merupakan pewarnaan umum untuk melihat morfologi
jaringan secara umum. Pada pewarnaan ini inti yang bersifat asam diwarnai
dengan Hematoksilin (asidofilik), sedangkan sitoplasma diwarnai dengan Eosin
(basofilik). Penggunaan pewarnaan ini dapat memvisualisasikan secara kontras
bagian inti dan sitoplasma sehingga gambaran sel dan jaringan dapat diamati
dengan jelas.
Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinisasi dengan menggunakan
xylol I, II, dan III masing-masing selama 3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan
proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat, dimulai dari alkohol
absolut, alkohol 90%, dan alkohol 80% masing-masing selama 3 menit. Sediaan
selanjutnya dibilas menggunakan akuades selama 10-15 menit.
Sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 8 menit, kemudian
dicuci dengan air selama 30 detik. Setelah itu tetesi lithium karbonat, biarkan
selama 15-30 detik. Selanjutnya dicuci dengan air selama 2 menit dan diwarnai
dengan pewarna Eosin selama 2-3 menit kemudian dicuci kembali menggunakan
air selama 30-60 detik.

13

Setelah sediaan diwarnai, dilakukan dehidrasi dengan alkohol 95% (10
celupan) dan dilanjutkan dengan alkohol absolut I dan II masing-masing 2 menit.
Setelah itu dilakukan proses penjernihan dengan xylol I, II, dan III selama 2 menit,
angin-anginkan sebentar, tetesi cairan permounting, dan ditutup dengan gelas
penutup.
Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS)
Reaksi terhadap pewarnaan PAS menunjukkan adanya glikogen dalam
jaringan. Periodic acid akan mengoksidasi residu glukosa dan menghasilkan
aldehida yang selanjutnya bereaksi dengan reagen Schiff dan menimbulkan warna
magenta-purple. Pewarnaan PAS diberi perona (counterstain) berupa pewarnaan
basa (misalnya hematoxylin). Pewarnaan PAS akan menunjukkan keberadaan
karbohidrat pada jaringan ikat, mukus, dan membran basal jaringan epitel.
Pewarnaan PAS

yang dilakukan pada penelitian ini

bertujuan

untuk

mengidentifikasi keberadaan parasit dan jamur. Parasit dan jamur akan terlihat
dalam pewarnaan PAS karena unsur pembentuk keduanya adalah karbohidrat.
Pewarnaan ini dimulai dengan melakukan deparafinisasi dan rehidrasi
sediaan dalam larutan xylol dan alkohol bertingkat masing-masing selama 3-5
menit, kemudian dilanjutkan dengan pencucian dalam air mengalir selama 10
menit. Setelah itu, sediaan dioksidasi dalam asam periodat 1% selama 5-10 menit
dan dicuci dengan akuades 3 kali, masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya
dilakukan pewarnaan larutan reagent Schiff selama 15-30 menit dan dicuci dengan
air sulfit yang selalu fresh (dibuat baru) selama 3 x 3 menit.

Selanjutnya

dilakukan pencucian dengan akuades selama 5 menit sebanyak 3 kali.
Counterstain dengan hematoksilin, cek dengan mikroskop. Pencucian kembali
dengan air mengalir 10-60 menit dan akuades selama 5 menit sebanyak 2 kali.
Dehidrasi dan penjernihan dilakukan didalam larutan alkohol dan xylol, dianginanginkan, ditetesi cairan permounting, dan ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop untuk melihat
perubahan yang terjadi pada organ hati, yaitu pada lobulus hati atau sel-sel hati,
vena sentralis, dan daerah porta dengan perbesaran 10x10 dan 40x10.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fungsi hati sebagai penawar racun didukung oleh daya regenerasi hepatosit
yang luar biasa dan sudah diketahui sejak lama. Pada hati normal diketahui
bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati
yang sangat cepat, sehingga dalam dua hingga tiga minggu bagian hati yang
hilang dapat diganti kembali. Meskipun demikian, kerusakan yang berjalan terusmenerus tetap saja akan menimbulkan kerusakan parah pada hati (Guyton dan
Hall 2006).
Hasil pengamatan dari 17 sampel preparat histopatologi hati Pteropus
vampyrus dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya beberapa lesio. Lesiolesio tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Sampel nomor 22, 23, 44, B1, B3, B4,
B5, C10, dan C14 memiliki bentuk hepatosit yang normal, sedangkan pada
sampel nomor 24, 25, 35, 42, 43, 46, C2, dan C5 terdapat lesio pada jaringan hati.
Kerusakan hepatosit dikarenakan adanya infiltrasi radang granuloma yang
ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2 dan degenerasi hidropis yang ditemukan
pada sampel 35, 42, 43, 46, C2, dan C5.
Kongesti terjadi hampir pada semua sampel, kecuali sampel 43, B1, B3, C5,
C10, dan C14. Kongesti merupakan akumulasi eritrosit pada pembuluh vena.
Kongesti pada hati bisa disebabkan oleh kegagalan jantung kanan (Vegad dan
Swamy 2010).

Kegagalan jantung kanan akan membuat sirkulasi darah dari

jantung ke hati mengalami gangguan. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi
eritrosit pada vena-vena di hati. Akumulasi eritrosit juga terjadi pada sinusoidsinusoid hati yang selanjutnya akan menyebabkan dilatasi pada sinusoid-sinusoid
tersebut.

Dilatasi dan akumulasi eritrosit juga terjadi pada vena sentralis.

Akumulasi eritrosit dan dilatasi pada vena-vena hati ini akan menyebabkan
terganggunya suplai oksigen dan nutrisi kepada hepatosit. Daerah yang akan
mengalami kerusakan pertama kali dari kejadian ini adalah zona sentrilobular
(Suriawinata dan Thung 2011). Zona sentrilobular merupakan daerah di sekitar
vena sentralis yang merupakan daerah paling jauh dari sumber oksigen dan
nutrisi. Zona sentrilobuler akan mengalami hipoksia karena kekurangan oksigen
dan nutrisi. Menurut Vegad dan Swamy (2011) hipoksia yang berkelanjutan akan

15

menyebabkan atrofi hepatosit, nekrosis, dan degenerasi pada zona sentrilobuler.
Kerusakan yang berkelanjutan akan menyebabkan hal yang sama pada hepatosit
zona midzonal dan periportal. Jaringan hati yang mengalami nekrosis akan
digantikan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis (Price dan Lorraine
2006).
Tabel 1 Lesio pada hati Pteropus vampyrus dengan pewarnaan HE

No
sampel
22

Asal
sampel
Manado

Lesio yang ditemukan
Daerah segitiga porta
Daerah diluar segitiga porta
Terdapat vakuola lemak pada Kongesti
dinding arteri (tunika intima)

23

Manado

24

Manado

25

Manado

35

Manado

Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
dan fibrosis
Sarang radang granuloma
multifokus, terdapat vakuola
lemak pada dinding arteri
(tunika intima), dan fibrosis
Tidak ditemukan perubahan

42

Manado

Tidak ditemukan perubahan

43

Manado

44

Manado

46

Manado

B1

Ciamis

B3

Ciamis

B4
B5

Ciamis
Ciamis

C2

Ciamis

Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak di
lumen arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Tidak ditemukan perubahan
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Tidak ditemukan perubahan

C5

Ciamis

C10

Ciamis

C14

Ciamis

Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)
Terdapat vakuola lemak pada
dinding arteri (tunika intima)

Kongesti
Sarang radang granuloma,
multifokus, kongesti, dan
nekrosis hepatosit
Sarang radang granuloma
multifokus, fibrosis, nekrosis
sentrilobuler, dilatasi sinusoid,
kongesti, dan atrofi hepatosit
Degenerasi hidropis, dilatasi
sinusoid, dan kongesti
Degenerasi hidropis, dilatasi
sinusoid, dan kongesti
Degenerasi hidropis
Kongesti
Degenerasi hidropis, dilatasi
sinusoid, dan kongesti
Tidak ditemukan perubahan
Tidak ditemukan perubahan
Kongesti
Dilatasi sinusoid dan kongesti
Degenerasi hidropis, kongesti,
nekrosis hepatosit, dan sarang
radang granuloma multifokus
Degenerasi hidropis
Tidak ditemukan perubahan
Tidak ditemukan perubahan

16

Degenerasi hidropis merupakan salah satu lesio yang terjadi karena
kongesti.

Price dan Lorraine (2006) menyatakan bahwa degenerasi hidropis

merupakan respon awal hepatosit terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik.
Degenerasi hidropis adalah perubahan yang bersifat reversible, sehingga apabila
paparan toksik dihentikan sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal.
Degenerasi yang terus berlanjut akan menyebabkan kematian sel. Kematian sel
hati menyebabkan hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal (irreversible).
Degenerasi hidropis merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler
yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk
vakuola-vakuola.

Rusaknya

permeabilitas

membran

sel

menyebabkan

terhambatnya aliran sodium keluar dari sel, sehingga menyebabkan ion-ion dan air
masuk secara berlebihan ke dalam sel.

Degenerasi hidropis bisa disebabkan

karena kurangnya oksigen, defisiensi kalsium, shok berat, dan diabetes mellitus
(Rusmiati dan Lestari 2004).
Vakuola-vakuola ditemukan pada dinding arteri bagian dalam (tunika
intima) pada sampel 22, 23, 24, 25, 43, 44, 46, B1, B3, B5, C5, C10, dan C14.
Gambaran seperti ini juga ditemukan pada awal kejadian aterosklerosis pada
primata yang mengalami obesitas (Finn et al. 2010). Perubahan yang lain adalah
pembentukan jaringan fibrosis merupakan jaringan yang terbentuk untuk
menggantikan jaringan yang mati. Fibrosis terjadi karena adanya peningkatan
jumlah matriks ekstraseluler, perubahan dari tipe kolagen, dan perubahan lokasi
deposisi kolagen. Sel Ito berperan penting dalam proses kejadian fibrosis, sel ini
akan berubah fungsi dari sel tempat menyimpan vitamin A menjadi sel tipe
myofibroblast. Fibrosis yang sering ditemukan adalah fibrosis sentrilobuler yang
terjadi karena hepatitis toksik yang kronis.
menyebabkan sirosis hati (Vegad dan Swamy 2010).

Fibrosis yang parah dapat

17

D

K

Gambar 6 Hati, dilatasi sinusoid (D) dan kongesti (K), sampel nomor 42. Pewarnaan
HE, skala Bar 40 μm.

Gambar 7 Sel-sel hati mengalami degenerasi hidropis secara luas ditemukan pada sampel
35. Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

18

Adanya kerusakan hepatosit dan ditemukannya sel-sel radang menunjukkan
bahwa sampel nomor 24, 25, dan C2 mengalami hepatitis. Hepatitis merupakan
peradangan yang terjadi pada hati (Corwin 2000). Menurut Vegad dan Swamy
(2010) hepatitis dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hepatitis akut dan
hepatitis kronis.

Menurut Suriawinata dan Thung (2011) hepatitis akut

merupakan kerusakan hepatosit yang ditandai dengan lebih dominannya sel-sel
radang pada daerah parenkim daripada daerah porta.

Hepatitis akut ditandai

dengan masih ditemukan perdarahan dan belum terbentuk jaringan fibrosis dan
kadang-kadang ditemukan kerusakan pada lumen pembuluh empedu, sedangkan
hepatitis kronis disebabkan oleh stimulasi agen yang berkelanjutan dan ditandai
dengan terbentuknya jaringan fibrosis.

Hepatitis kronis terdiri atas hepatitis

granulomatosa dan hepatitis kronik supuratif. Hepatitis granulomatosa ditandai
dengan terbentuknya sarang radang granuloma akibat infeksi agen yang sulit
difagosit, sedangkan hepatitis kronik supuratif dicirikan dengan adanya abses.
Ketiga sampel hati pada penelitian ini termasuk dalam hepatitis kronis karena
ditandai dengan terbentuknya sarang radang granuloma (Ferrell dan Kakar 2011).
Sarang radang granuloma ditemukan pada sampel 24, 25, dan C2. Menurut
Suriawinata dan Thung (2011) sarang radang granuloma merupakan peradangan
dengan sekumpulan makrofag yang disertai limfosit dan sel plasma; kadangkadang ditemukan juga netrofil dalam jumlah minimal. Penyebab dari radang
granuloma sering tidak diketahui dan biasanya merupakan bagian dari infeksi
sistemik. Pada sampel 24 dan 25 ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang terdiri
dari sel netrofil, makrofag, dan limfosit, sedangkan pada sampel C2 ditemukan
limfosit, makrofag, giant cell, serta sedikit netrofil.

Pewarnaan PAS yang

dilakukan pada sampel 24, 25, dan C2 menunjukkan hasil negatif terhadap
keberadaan parasit maupun jamur.
disebabkan oleh agen yang non-spesifik.

Hal ini menunjukan bahwa hepatitis

19

M

N
L

Gambar 8

Hati, ditemukan granuloma pada sampel 25, ditunjukkan dengan infiltrasi
neutrofil (N), mafrofag (M) dan limfosit (L). Pewarnaan HE, skala Bar 40
μm.

H

Gambar 9 Hati, radang granuloma pada sampel C2, dikelilingi oleh sel-sel hati yang
mengalami degenerasi hidropis (H). Pewarnaan HE, skala Bar 40 μm.

20

Hepatitis yang terjadi pada hati bisa disebabkan oleh beberapa penyebab.
Hepatitis yang disebabkan oleh bakteri secara mikroskopis dapat ditandai dengan
adanya infiltrasi sel netrofil dan limfosit pada lobulus hati dan terbentuk abses.
Selain itu, dilatasi dan proliferasi pembuluh empedu juga dapat ditemukan (Vegad
dan Swamy 2010). Sebagai perbandingan, hepatitis pada penyakit Q fever yang
menginfeksi manusia secara mikroskopik menunjukkan infiltrasi radang
granuloma yang terdiri dari limfosit, giant cell, dan kadang-kadang ditemukan
eosinofil dan netrofil. Radang granuloma yang terbentuk biasanya dikelilingi oleh
jaringan fibrin sehingga sering disebut fibrin ring granulomas (Ferrell dan Kakar
2011).
Hepatitis akut yang disebabkan oleh virus secara mikroskopis ditandai
dengan adanya infiltrasi sel limfosit di daerah porta, nekrosis hepatosit, dan
degenerasi hidropis yang pada awal infeksi dapat ditemukan pada zona
sentrilobuler, hiperplasia sel Kupffer, dan terbentuk jaringan fibrosis jika terjadi
infeksi kronis.

Selain itu, jika dilakukan pewarnaan PAS akan menunjukkan

adanya peningkatan aktivitas lisosom pada daerah yang mengalami nekrosis
(Vegad dan Swamy 2010).
Hepatitis karena infeksi histoplasma sp ditandai dengan terbentuknya sarang
radang granuloma yang terdiri dari giant cell dan limfosit. Selain itu, sering juga
ditemukan

intracytoplasmic

encapsulated

yeast

diantara

sel-sel

radang.

Pewarnaan PAS akan menunjukkan adanya bentukan oval yang tipis di sekitar
peradangan (Vegad dan Swamy 2010). Sedangkan pada White Nose Syndrome
(WNS) yang menginfeksi spesies Myotis lucifugus di Eropa, kerusakan ditemukan
pada daerah sayap serta kulit, tidak ditemukan lesio pada hati. WNS menyerang
kelelawar pada saat hibernasi dan diduga disebabkan oleh jamur yang menyerang
permukaan kulit dan rambut serta Geomyces sp. Agen akan masuk kedalam
tubuh, selanjutnya akan masuk ke dalam kulit dan otot. Masuknya agen ini tidak
menimbulkan respon peradangan pada kelelawar yang sedang hibernasi, tetapi
akan menyebabkan suhu tubuh turun, metabolisme menurun, serta penurunan
sistem imun (Uphoff et al. 2009).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pemeriksaan 17 ekor kalong Pteropus vampyrus dari lapang
diperoleh gambaran histopatologi dari organ hati bahwa tiga ekor menunjukkan
hepatitis kronis multifokus (sampel 24, 25, dan C2). Perubahan hati ditandai oleh
radang granuloma dengan penyebab non-spesifik.

Enam ekor mengalami

degenerasi hidropis pada hati dan sisanya memiliki gambaran hati normal.

Saran
Metode identifikasi yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui
penyebab hepatitis. Pemerintah perlu mengidentifikasi keberadaan penyakit pada
kelelawar secara rutin mengingat kebanyakan penyakit yang berasal dari
kelelawar bersifat zoonosis. Masyarakat dapat ikut serta mencegah penularan
penyakit yang berasal dari kelelawar dengan cara menghentikan penebangan liar.

DAFTAR PUSTAKA
[CITES] Convention of International Trade In Endangered Spesies. 2012. CITES
Spesies Database [terhubung berkala]. http://www.cites.org /eng/resources
/species.html [11 Juli 2012].
Cooper D. 1998. Glands Associated with The Digestive Tract: Liver, Pancreas,
and Salivary Glands [terhubung berkala]. http://www.sacs.ucsf.edu/.../GIGlands/lvrpancsaliv.html [10 Juli 2012].
Corbet GB, JE Hill. 1992. Mammals of The Indomalayan Region: A Systematic
Review. New York: Oxford University Press.
Corwin EJ. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Ferrell LD, S Kakar. 2011. Liver Pathology. New York: demosMedical.
Field HE, AC Breed, J Shield, RM Hedlefs, K Pittard, B Pott. 2007.
Epidemiological perspectives on Hendra virus infection in horses and flying
foxes. Aust Vet J 85: 268–270.
Finn AF, M Nakana, J Narula, FD Kolodge, R Virmani. 2010. Concept of
Vulnerable/Unstale Plaque. Arterioscler Thromb Vasc Biol 30: 1282-1292.
Fleming TH, P Eby. 2003. Ecology of bat migration. In: Bat Ecology, Kunz TH,
Fenton MB (editors). Chicago: The University of Chicago Press.
Fraser GC, PT Hooper, RA Lunt, AR Gould, LJ Gleeson, AD Hyatt. 1996.
Encephalitis caused by a Lyssavirus in fruit bats in Australia. Emer Inf Dis
2:327–331.
Goodwin RE. 1979. The bats of Timor. Bulletin of the American Museum of
Natural History, 163:75–122.
Guyton AC, JE Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran: EGC.
Halpin K, P Young, H Field, J Mackenzie. 2000. Isolation of H