Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dan Reseptornya serta Hubungannya dengan Produksi Susu Kumulatif Parsial pada Sapi Friesian Holstein di Sentra Produksi Jawa Barat

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
DAN RESEPTORNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN
PRODUKSI SUSU KUMULATIF PARSIAL PADA SAPI
FRIESIAN HOLSTEIN DI SENTRA PRODUKSI
JAWA BARAT

RESTU MISRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ii 
 

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Identifikasi
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dan Reseptornya serta Hubungannya
dengan Produksi Susu Kumulatif Parsial pada Sapi Friesian Holstein di Sentra

Produksi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Restu Misrianti
NRP D151090131

ABSTRACT
RESTU MISRIANTI. Identification of polymorphism of the Growth Hormone
Gene and its Receptor and their Association with Partial Cumulative Milk Yield
in Holstein Friesian Cattle in West Java Production Center. Under the direction of
CECE SUMANTRI, ANNEKE ANGGRAENI.
Growth hormone gene has a critical role in the regulation of lactation,
mammary gland development and growth process through its interaction with its
specific receptor. Growth Hormone (GH) and Growth Hormone Receptor (GHR)
genes have been suggested as candidate genes for traits related to milk production.

The purpose of this study was to identify genetic polymorphism of the Growth
Hormone (GH) and the Growth Hormone Receptor (GHR) genes, and the
association of their genetic variants with milk yield in Holstein Friesian (HF)
cattle. A total of 370 HF cattle from six populations of Institute for breeding of
dairy cattle Cikole station (88 samples), Pasir Kemis (96 samples), Cilumber (98
samples), Lembang Artificial Insemination Center (LAIC) (17 samples),
Livestock Embryo Transfer Center (40 samples) and Singosari Artificial
Insemination Center (SAIC) (32 samples) were genotyped by the Polymerase
Chain Reaction and Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)
methods. Genotyping the GH gene with Alu1 restriction enzyme to all DNA
samples produced two variant genotypes, i.e LL (89 %) and LV (11%) genotypes.
The frequency of L allele was 94 % and V allele was 6%. Genotyping of GHR
gene with Alu1 restriction enzymes produced three genotypes and two alleles. The
frequencies of AA, AG, and GG genotypes were 58 %, 34%, and 8% respectively.
The frequency of A allele was 75% and G allel was 25%. There was no
association between GH and GHR polymorphism with milk production.
Keywords: gene, Growth Hormone (GH), Growth Hormone Receptor (GHR),
Holstein Friesian (HF) Cattle, milk production

RINGKASAN

RESTU MISRIANTI. Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dan
Reseptornya serta Hubungannya dengan Produksi Susu Kumulatif Parsial pada
Sapi Friesian Holstein di Sentra Produksi Jawa Barat. Dibimbing oleh CECE
SUMANTRI dan ANNEKE ANGGRAENI.
Perbaikan genetik sapi perah dapat dilakukan melalui seleksi keunggulan
pada gen yang berasosiasi kuat dengan sifat produksi susu. Gen hormon
pertumbuhan diketahui berperan penting dalam regulator pertumbuhan ternak dan
perkembangan kelenjar mammari. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keragaman genetik gen Growth Hormone (GH) dan Growth Hormone Receptor
(GHR) sapi Friesian Holstein (FH) serta menganalisis hubungan antara keragaman
genotipe kedua gen dengan produksi susu kumulatif parsial.
Isolasi DNA dilakukan dari darah dan sperma. Total sampel darah dan
sperma yang digunakan yaitu sebanyak 363 sampel darah dan 17 sampel sperma.
Sampel darah berasal dari populasi Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB)
Singosari 32 sampel, Balai Embryo Transfer (BET) Cipelang 34 sampel, Cikole
88 sampel, Cilumber 98 sampel dan Pasir Kemis 95 sampel. Sampel sperma
berasal dari BIB Lembang. Isolasi DNA dari sampel darah dan sperma
menggunakan metode ekstraksi phenol-chloroform (Sambrook et al. 1989) yang
telah dimodifikasi untuk sampel darah dan sperma yang disimpan dalam alkohol.
Data produksi susu merupakan data sekunder yang berasal dari sapi FH pada

periode laktasi pertama tahun 2008-2010. Data ini diambil dari populasi sapi
BPPT SP-Cikole yang merupakan peternakan dengan sistem pemeliharaan
intensif.  Catatan produksi susu yang digunakan merupakan catatan produksi
harian yang diukur setiap minggunya. Data produksi susu dicatat dua kali sehari,
yaitu pada pemerahan pagi dan pemerahan sore. Produksi susu total sehari adalah
penjumlahan dari produksi susu pada pemerahan pagi dan sore. Data produksi 15
hari diestimasi berdasarkan data harian yang diukur setiap minggu. Data kumulatif
parsial dihitung berdasarkan data produksi setiap interval 15 hari, mulai dari 15
hari sampai 180 hari setelah beranak.
Penentuan genotipe masing-masing individu dilakukan dengan
pendekatan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Keragaman gen
dihitung dengan analisis frekuensi alel, frekuensi genotipe dan nilai
heterosigozitas. Keseimbangan genotipe gen GH dan GHR dalam populasi diuji
dengan uji χ2 (chi square). Hubungan antara varian genotipe GH dan GHR
dengan produksi susu kumulatif parsial dihitung berdasarkan metode General
Linear Model (GLM).
Amplifikasi ruas gen GH|Alu1 menggunakan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction) menghasilkan produk sepanjang 432 pb, meliputi 55 pb dari
ekson 4, intron 4, dan 99 pb dari ekson 5. Amplifikasi ruas gen GHR
menghasilkan produk sepanjang 298 pb. Genotyping ruas gen GH|Alu1

menghasilkan dua genotipe yaitu LL dan LV. GH|Alu1 genotipe LL ditunjukkan
dengan panjang fragmen 20, 51, 96, dan 265 pb dan genotipe LV ditunjukkan
dengan panjang fragmen 50, 96, 147 dan 265 pb. Genotyping ruas gen GHR|Alu1
menghasilkan tiga genotipe yaitu AA, AG dan GG. Genotipe AA ditunjukkan
fragmen sepanjang 50, 81 dan 167 pb. Genotipe GG ditunjukkan fragmen


 

sepanjang 131 dan 167 pb. Genotipe AG merupakan gabungan dari keduanya
yaitu fragmen sepanjang 50, 81, 131 dan 167 pb.
Frekuensi genotipe LL pada ruas gen GH|Alu1 tinggi di semua lokasi
pengamatan, dengan kisaran nilai 0.84-0.95, sebaliknya frekuensi genotipe LV
rendah di semua populasi dengan kisaran nilai 0.05-0.16. Genotipe VV tidak
ditemukan pada semua sampel yang diamati, hal ini disebabkan tidak adanya
genotipe VV pada pejantan IB yang digunakan. Frekuensi genotipe AA pada ruas
gen GHR|Alu1 tinggi pada semua populasi dengan kisaran nilai 0.49-0.76,
sedangkan frekuensi genotipe AG berkisar antara 0.12-0.43. Sebaliknya frekuensi
genotipe GG rendah di semua lokasi yang diamati yaitu berkisar antara 0.05-0.13.
Tingginya frekuensi genotipe LL dan AA pada sampel yang diamati, diduga

disebabkan oleh tingginya frekuensi genotipe LL dan AA pada pejantan IB yang
digunakan.
Nilai heterozigositas lokus GH|Alu1 berkisar antara 0.050 – 0.156. Nilai
heterozigositas tertinggi ditemukan pada sapi pejantan IB di BBIB Singosari,
sedangkan pada lokasi BET Cipelang diperoleh nilai terendah yaitu 0.050. Nilai
heterozigositas lokus GHR|Alu1 berkisar antara 0.125-1.432. Nilai tertinggi
ditemukan pada sampel yang berasal dari Pasir Kemis, sedangkan pada lokasi BIB
Lembang ditemukan nilai heterozigositas terendah yaitu 0.118. Rendahnya
heterozigositas pada sampel yang berasal dari BIB Lembang, diduga dikarenakan
sapi-sapi yang ada di stasiun bibit ini merupakan sapi hasil seleksi yang intensif.
Tingginya nilai heterozigositas pada sampel yang berasal dari peternakan rakyat
menunjukkan belum dilakukannya seleksi pada sampel yang berasal dari lokasi
tersebut, sehingga masih ada peluang untuk melakukan seleksi.
Hasil uji chi square terhadap genotipe lokus GHR|Alu1 menunjukkan
bahwa frekuensi genotipe gen GHR dalam keadaan seimbang (keseimbangan
Hardy Weinberg) pada populasi BPPT Cikole, Cilumber dan Pasir Kemis.
Frekuensi genotipe pada populasi BET Cipelang, BBIB Lembang dan BBIB
Singosari berdasarkan hasil pengujian chi square menyimpang dari keseimbangan
Hardy-Weinberg. Keseimbangan Hardy Weinberg untuk lokus GH|Alu1 tidak
dianalisis karena jumlah genotipe yang ditemukan tidak memenuhi untuk

dianalisis (hanya terdapat dua genotipe yaitu LL dan LV, db=0) pada semua
populasi. Pemeriksaan pengaruh genotipe GH|Alu1 dan GHR|Alu1terhadap
produksi susu kumulatif parsial pada lokasi BPPT Cikole menunjukkan bahwa
secara umum keragaman gen GH dan GHR tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat produksi susu sapi FH (P>0.05).
Kata Kunci : Gen, Growth Hormone (GH), Growth Hormone Receptor (GHR),
sapi Friesian Holstein (FH), produksi susu

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
DAN RESEPTORNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN

PRODUKSI SUSU KUMULATIF PARSIAL PADA SAPI
FRIESIAN HOLSTEIN DI SENTRA PRODUKSI
JAWA BARAT

RESTU MISRIANTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis


: Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan
dan Reseptornya serta Hubungannya dengan
Produksi Susu Kumulatif Parsial pada Sapi Friesian
Holstein di Sentra Produksi Jawa Barat

Nama

: Restu Misrianti

NIM

: D151090131 

Program Studi/Mayor

: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Ph.D
Ketua

Ir. Anneke Anggraeni, M.Si,
Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : 27 April 2011


Tanggal

Lulus

:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SW atas segala karunia dan rahmatNya
sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dengan judul “Identifikasi
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dan Reseptornya serta Hubungannya
dengan Produksi Susu Kumulatif Parsial pada Sapi Friesian Holstein di Sentra
Produksi Jawa Barat”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa
pascasarjana program S2 untuk meraih gelar magister pada program studi Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada Prof.
Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Ir. Anneke
Anggraeni, M.Si,Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas segala waktu,
arahan, bimbingan, saran serta ketulusan dan kesabaran sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA penulis
menyampaikan terimakasih atas masukan dan kesediannya sebagai penguji luar
komisi pada ujian tesis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof.
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor M.Rur.Sc yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian di Laboratorium Genetika Molekuler
Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak yang telah
memberikan beasiswa, sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan
studi pada program magister Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kepada ayahanda dan ibunda tercinta penulis sampaikan terimakasih atas
doa, kasih sayang dan nasihat yang diberikan. Kepada kakak dan adik tersayang,
penulis sampaikan terimakasih atas doa dan dukungannya. Kepada rekan-rekan
mahasiswa pascasarjana program studi ITP khususnya angkatan 2009 penulis
menyampaikan terimakasih atas segala bantuan dan dukungannya. Kepada temanteman Laboratorium Genetika Molekuler Ternak dan teman-teman ABGSCi
penulis

mengucapkan

terimakasih

atas

kerjasamanya

selama

penelitian

berlangsung. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan
semoga penelitian ini bermanfaat bagi upaya pembangunan peternakan Indonesia.
Bogor Mei 2011
Restu Misrianti

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Siberakun (Riau) pada tanggal 23 September 1987,
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Syafriadi dan Ibunda
Missiati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD Negeri 006
Siberakun. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2003 di
SLTP Negeri 1 Benai. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas diselesaikan
pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Benai. Pada tahun 2005 penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB). Pendidikan sarjana ditempuh di departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor mulai tahun
2005 dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi
pada program studi peternakan dengan mayor Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan bidang Pemuliaan dan Genetika Ternak.
Selama menjadi mahasiswa pascasarjana IPB penulis aktif mengikuti
berbagai kegiatan seminar dan kompetisi ilmiah. Pada tahun 2009 penulis
mempresentasikan hasil penelitian yang berjudul “Polymorphism Identification of
f Pituitary-Specific Positive Transcription Factor1 (Pit1) Gene in Indonesian
Local Buffalo (Bubalus bubalis) and Holstein-Friesian Cows” pada International
Seminar on Animal Industri (ISAI), dengan tulisan yang sama penulis berhasil
meraih award sebagai second winner pada scientific award yang diadakan Media
Peternakan. Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Pemuliaan Ternak dan
Genetika Ternak pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 2010/2011.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

iv

PENDAHULUAN ..................................................................................

1

Latar Belakang ............................................................................
Tujuan Penelitian .........................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................
Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................

4

Sapi Perah Friesian Holstein.........................................................
Seleksi dengan Menggunakan Penanda Molekuler ......................
Keragaman Genetik ......................................................................
Growth Hormone (Gen Hormon Pertumbuhan) ..........................
Growth Hormone Receptor (Gen Reseptor
Hormon Pertumbuhan) ................................................................
Produksi Susu Sapi FH ...............................................................
Hubungan Varian Genetik Gen Pengontrol Produksi Susu
dengan Sifat Produksi Susu .........................................................

4
5
6
7

METODE

10
11
14

..........................................................................................

17

Waktu dan Tempat .....................................................................
Materi ..........................................................................................
Sampel Darah Sapi Friesian Holstein .............................
Primer ...............................................................................
Data Produksi Susu...........................................................
Prosedur
Ekstraksi DNA dari Sampel Darah dan Sperma ..............
Amplifikasi Ruas Gen GH dan GHR .............................
Penentuan Genotipe dengan Pendekatan PCR-RFLP ....
Analisis Data ..............................................................................
Frekuensi Alel dan Genotipe ..........................................
Proporsi Hardy-Weinberg ................................................
Heterozigositas .................................................................
Analisis Hubungan Genotipe Gen GH dan GHR terhadap
Produksi Susu ..................................................................

17
17
17
18
18

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
Amplifikasi Gen GH (Growth Hormone).....................................
Keragaman Genotipe gen GH Sapi FH dengan Pendekatan
PCR RFLP ....................................................................................
Amplifikasi Ruas Gen GHR .........................................................
Keragaman Genotipe Gen GHR Sapi FH dengan Pendekatan
PCR-RFLP ....................................................................................
Derajat Heterozigositas.................................................................

19
20
20
20
20
21
21
22
23
23
24
27
27
30

xiii 
 

Proporsi Hardy-Weinberg .............................................................
Produksi Susu Harian Sapi FH di BPPT Cikole` ..........................
Produksi Susu Kumulatif Parsial Sapi FH di BPPT Cikole ..........
Hubungan Keragaman Genotipe GH dan GHR dengan Produksi
Susu Kumulatif Parsial..................................................................

32
33
35

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
Kesimpulan ...................................................................................
Saran ...........................................................................................

41
41
41

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

42

37

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1

Sampel darah sapi Friesian Holstein .........................................

17

2

Runutan primer yang digunakan ...............................................

18

3 Frekuensi genotipe dan alel pada ruas gen GH|Alu1.................

26

4 Frekuensi genotipe dan alel pada ruas gen GHR|Alu1 ..............

29

5 Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas
harapan (He) fragmen gen GH|Alu1 sapi FH betina dan
pejantan .....................................................................................

31

6

Hasil pengujian Herdy Weinberg berdasarkan test chi square
Lokus GHR|Alu1 pada sapi betina FH dan pejantan IB ............

32

Rataan produksi susu harian pada sapi FH di BPPT Cikole .....

34

8 Produksi susu kumulatif parsial sapi FH di BPPT Cikole ........

37

9 Pengaruh varian genotipe GH dan GHR terhadap produksi
susu kumulatif parsial (kg) sapi FH ..........................................

40

7

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Kerangka pemikiran ......................................................................

3

2. Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya
pada ternak domestik .......................................................................

8

3. Rekonstruksi struktur GH berdasarkan sekuen gen GH
di GenBank ......................................................................................

9

4. Rekonstruksi struktur GHR berdasarkan sekuen gen GHR
di GenBank ......................................................................................

11

5. Produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat persistensi yang
berbeda ............................................................................................

12

6. Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen GH pada gel agarose 2%.....

23

7. Runutan nukleotida ruas Gen GH ..................................................

24

8. Perbedaan sekuen alel L dan V gen GH|Alu1 .................................

24

9. Visualisasi PCR-RFLP ruas gen GH|Alu1 pada gel agarose 2% ....

25

10. Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen GHR pada gel agarose 2% ..

27

11. Runutan nukleotida ruas Gen GHR .................................................

28

12. Perbedaan sekuen alel A dan G gen GHR|Alu1 ..............................

28

13. Visualisasi PCR-RFLP ruas gen GHR|Alu1 pada gel agarose 2% ..

28

14. Rataan produksi harian laktasi periode 1 ........................................

34

15. Produksi susu kumulatif parsial sapi FH laktasi periode 1 .............

36

16. Produksi susu kumulatif parsial sapi perah berdasarkan genotipe
GH|Alu1 ...........................................................................................

38

17. Produksi susu kumulatif parsial sapi perah berdasarkan genotipe
GH|Alu1 ...........................................................................................

38

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Sekuen gen GH|Alu1 yang di akses di gen bank No J00008...........

49

2. Sekuen gen GHR|Alu1 yang di akses di gen bank No EF207442 ...

51

3. Hasil analisis ragam pengaruh GH|Alu1 terhadap produksi
susu kumulatif parsial sapi FH di BPPT Cikole ..............................

56

4. Hasil analisis ragam pengaruh GHR|Alu1 terhadap produksi
susu kumulatif parsial sapi FH di BPPT Cikole ..............................

58

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Populasi sapi perah di Indonesia diperkirakan sebanyak 487.000 ekor yang
sebagian besar adalah bangsa sapi Friesian Holstein (FH) (Direktorat Jenderal
Peternakan 2009) dan tersebar di sentra-sentra produksi sapi perah di pulau Jawa
seperti di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Produksi susu di
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 2009 adalah
225.215, 312.270 dan 89.748 ton.
Tingkat produksi susu dari peternakan sapi perah di Indonesia masih lebih
rendah dibandingkan laju kebutuhannya, sehingga masih terdapat kesenjangan
antara produksi dan kebutuhan susu. Beberapa hal yang menyebabkan
kesenjangan antara produksi susu dan pemenuhan konsumsi susu tersebut adalah
rendahnya populasi dan potensi genetik sapi perah, serta kondisi manajemen
pemeliharaan yang kurang baik.
Pemilihan pejantan dan betina unggul melalui seleksi bertujuan untuk
mendapatkan sumber materi genetik bagi generasi berikutnya. Sifat produksi susu
biasanya digunakan sebagai dasar seleksi pada sapi perah. Produksi susu
merupakan sifat kuantitatif yang dikendalikan banyak gen dan ekspresinya
merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi keduanya.
Seleksi dapat diakselerasi melalui pemanfaatan penciri genetik dengan
menggunakan teknik molekuler. Seleksi berdasarkan marker genetik untuk penciri
sifat tertentu akan menjadikan seleksi berlangsung lebih awal, sehingga
pemeliharaan ternak-ternak yang tidak produktif dapat dihindari. Selain itu,
penerapan marker genetik dalam program pemuliaan ternak dapat mempercepat
peningkatan kualitas genetik ternak.
Gen hormon pertumbuhan atau Growth Hormone (GH), gen reseptor
hormon pertumbuhan atau Growth Hormone Receptor (GHR) dan hormonhormon lainnya seperti Insulin Like Growth Factor 1 (IGF1) banyak digunakan
dalam studi gen kandidat terhadap sifat-sifat produksi ternak, selanjutnya
digunakan sebagai marker genetik dalam seleksi. Hal ini dikarenakan hormonhormon tersebut merupakan hormon regulator pertumbuhan dan perkembangan
tubuh ternak (Davis et al. 1999).


 

Penelitian mengenai keragaman gen GH dan hubungannya dengan
produksi susu telah dilakukan pada sapi perah di luar negeri, misalnya pada sapi
Friesian Holstein (FH) Hungaria (Balogh et al. 2009), sapi Holstein Iran
(Mohammadabadi et al. 2010) dan Sapi FH Polandia (Olenski et al. 2010).
Berdasarkan hasil beberapa studi tersebut diketahui bahwa GH bersama dengan
GHR berperan penting dalam mengatur pertumbuhan kelenjar mammari dan
produksi susu, metabolisme, laktasi dan komposisi tubuh.
Tujuan
1. Mengidentifikasi keragaman genetik gen Growth Hormone (GH) dan gen
Growth Hormone Receptor (GHR)
2. Menganalisis hubungan antara keragaman genotipe gen Growth Hormone
(GH) dan Growth Hormone Receptor (GHR) dengan produksi susu
kumulatif parsial pada sapi FH.
Manfaat
1. Diperoleh informasi tentang keragaman genetik gen GH dan GHR pada
sapi perah Friesian Holstein di sentra produksi Jawa Barat
2. Didapatkan informasi genetik sapi FH dari pejantan di stasiun bibit
sehingga diketahui sumbangan pejantan IB terhadap frekuensi genotipe
dan alel dari gen GH dan GHR pada sapi FH betina
3. Informasi asosiasi gen GH dan GHR dengan produksi susu kumulatif
parsial.
Kerangka Pemikiran
Produksi susu dipengaruhi oleh faktor genetik, fisiologi dan lingkungan.
Besarnya pengaruh genetik terhadap sifat produksi susu ditentukan melalui
analisis keragaman genetik gen pengontrol sifat produksi susu (gen GH dan
GHR). Pemeriksaan keragaman genetik dilakukan pada sapi FH betina yang
berasal dari dua manajemen pemeliharaan yang berbeda, yaitu sapi FH yang
dipelihara secara intensif di stasiun bibit pemerintah

(BET Cipelang, BPPT

Cikole) dan sapi yang berasal dari peternakan semi intensif yaitu di peternakan
rakyat Desa Pasir Kemis dan Cilumber. Peternakan rakyat ini merupakan


 

peternakan binaan KPSBU Lembang. Sumbangan pejantan IB terhadap
keragaman genetik gen GH dan GHR pada betina turunannya, ditentukan melalui
analisis sampel yang berasal dari BBIB Lembang dan BBIB Singosari.
Besarnya pengaruh keragaman genetik terhadap sifat fenotipik (produksi
susu) dianalisis melalui hubungan antara keragaman gen GH dan GHR dengan
produksi susu kumulatif parsial. Pemeriksaan hubungan ini dilakukan pada
peternakan dengan sistem manajemen pemeliharaan intensif (BPPT Cikole),
dengan tujuan untuk minimalisasi pengaruh lingkungan terhadap ekspresi gen.
Kerangka pemikiran ini diringkas dalam Gambar 1.
Sapi Perah di BPPT Cikole, KPSBU
Pasir Kemis dan KPSBU Cilumber,
BIB Singosari, BIB Lembang dan
BET Cipelang
Genotipe

Fenotipe

Gen GH dan GHR
Sifat Produksi
Susu
PCR-RFLP
 Produksi susu

kumulatif parsial
(BPPT Cikole)

Polimorfisme

 Hubungan antara varian gen GH dan

GHR dengan produksi susu kumulatif
parsial
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae, sub famili Bovinae, genus
Bos. Sapi perah yang dikembangkan di berbagai belahan dunia adalah jenis Bos
taurus (sapi Eropa) yang berasal dari daerah sub tropis dan Bos indicus (sapi
berponok di Asia) yang berasal dari daerah tropis, serta hasil persilangan
keturunan Bos taurus dan Bos indicus. Sapi yang berasal dari Bos taurus yang
banyak dikembangkan ada lima bangsa yaitu Holstein, Brown Swiss, Ayshire,
Guernsey dan Jersey. Bangsa yang umum dikembangkan di Indonesia adalah
bangsa Friesian Hosltein (FH). Sapi FH berasal dari propinsi Friesland negeri
Belanda. Bangsa sapi ini adalah bangsa sapi perah yang tertua, terkenal dan
tersebar hampir di seluruh dunia.
Bangsa sapi FH murni memiliki warna bulu Black and White (hitam dan
putih) atau merah dan putih (Red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas,
seperti pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu
kipas ekor, bagian perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee atau hock)
berwarna putih. Selain itu, sapi FH memiliki tanduk yang pendek dan mengarah
kedepan. Sifat-sifatnya adalah jinak, tidak tahan panas, tetapi sapi ini mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan lambat dewasa. Menurut
Blakely dan Bade (1991), Karakteristik sapi FH adalah memiliki berat induk 675
kg, warna bulu hitam dan putih, temperamen tenang, kemampuan merumputnya
sedang, masak kelamin lambat, kadar lemak susu 3.5-3.7 %, dengan warna lemak
kuning membentuk butiran-butiran (glubola) sehingga aman untuk konsumsi susu
segar, bahan kering tanpa lemak 8.5 %, rata-rata produksi susu per tahun 57506250 kg dan berat lahir anak 42 kg.
Populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan sebanyak
487.000 ekor. Populasi ini 29.423 ekor lebih tinggi dibandingkan populasi pada
tahun 2008 (457.577 ekor). Produksi susu pada tahun 2009 adalah 646.953 ton.
Seleksi Menggunakan Penanda Molekuler
Metode seleksi sederhana berdasarkan informasi fenotipe telah banyak
dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak,

namun terdapat beberapa

keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal


 

untuk diukur dan diamati (Vischer et al. 2000). Salah satu metode untuk
mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan melakukan seleksi menggunakan
penanda molekuler.
Penanda molekuler merupakan pemanfaatan dari keragaman pada tingkat
DNA, yaitu molekul yang terdapat dalam inti sel. Molekul DNA terdiri atas dua
untai nukleotida yang saling berkomplemen. Struktur tersebut memungkinkan
terjadinya mekanisme pewarisan sifat (Alberts 2002). Hal tersebut merupakan
salah satu faktor utama yang mendasari terjadinya proses seleksi (Vignal et al.
2002). Tipe dasar dalam perubahan DNA berupa substitusi, delesi, insersi dan
inversi (Nei dan Kumar 2000).
Single nucleotide polymorphisms (SNP) merupakan penanda yang
memiliki perbedaan satu nukleotida dalam sekuen DNA dan diperkirakan bahwa
satu SNP terjadi setiap 250–1000 pb. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
terjadinya proses substitusi, sehingga biasanya memiliki dua kemungkinan pada
posisi yang sama dalam sekuen DNA (Vignal et al. 2002). Frekuensi mutasi dan
stabilitas yang tinggi menyebabkan SNP sering digunakan sebagai penanda
molekuler dalam penelitian tentang genetika populasi dan pemetaan gen untuk
penyakit kompleks (Ye et al. 2001). Metode yang umum digunakan dalam
analisis adanya SNP antara lain PCR-RFLP dan PCR-SSCP.
PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida secara in vitro (Viljoen
et al. 2005). Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase.
Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel
DNA yang akan diperbanyak (Williams 2005). Enzim polymerase merupakan
enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat
divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams 2005).
PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk
PCR. Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh
enzim restriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami
mutasi (meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu
mengenalinya. Ada tidaknya situs restriksi dapat digunakan untuk penentuan ada
tidaknya mutasi (Viljoen et al. 2005).


 

Analisis RFLP biasa digunakan untuk deteksi adanya keragaman pada gen
yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu
(Sumantri et al. 2007). PCR-SSCP juga dapat digunakan untuk analisis
keragaman DNA. PCR-SSCP merupakan metode analisis lebih lanjut yang
memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal
dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi 1991). Asumsi yang
mendasari metode analisis SSCP adalah perubahan yang terjadi pada nukleotida
meskipun terjadi hanya pada satu basa, akan mempengaruhi conformation
(bentuk) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal. Perbedaan konformasi
molekul akan menyebabkan perbedaan migrasinya dalam gel poliakrilamid pada
saat elektroforesis (Montaldo et al. 1998).
Metode PCR-RFLP bisa mendeteksi mutasi jika situs restriksi mengalami
perubahan susunan basa. Apabila mutasi terjadi diluar situs restriksi, maka mutasi
tersebut tidak dapat dideteksi. Metode PCR-SSCP dapat mendeteksi perubahan
pada satu basa, tetapi tidak dapat diketahui basa yang berubah (Hayashi 1991).
DNA sekuensing dapat digunakan untuk penyelesaian masalah kelemahan
tersebut. Metode yang biasa digunakan dalam sekuensing DNA adalah metode
Sanger. Metode ini menggunakan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan
pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Metode sekuens ini dapat
digunakan untuk perbandingan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang
berbeda, sehingga dimungkinkan dibuatnya diagram filogenetik (Muladno 2002).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik adalah perbedaan di dalam urutan DNA antara
individu, kelompok atau antara populasi dengan subpopulasi. Sumber keragaman
ini adalah SNP yang berupa adanya pengulangan urutan sekuen, insersi, delesi dan
rekombinasi. Menurut Kirby (1990) keragaman genetik atau polimorfisme genetik
adalah terdapatnya lebih dari satu bentuk atau macam genotipe di dalam populasi.
Keragaman genetik bisa dilihat dari sifat-sifat eksternal sampai urutan asam
amino dan protein lainnya.
Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi bertujuan untuk
mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan
penciri suatu sifat khusus (Notter 1999). Populasi alami biasanya memiliki


 

keragaman genetik yang tinggi. Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan
sangat bermanfaat bagi ketahanan dan ketersediaan bahan pangan yang
berkesinambungan (Blott et al. 2003). Populasi dinilai beragam jika memiliki dua
atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup, biasanya lebih dari
1% (Nei dan Kumar 2000).
Tingkat keragaman dalam populasi dapat digambarkan dari frekuensi alel.
Frekuensi alel merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang
ditemukan dalam satu populasi (Nei dan Kumar 2000). Ukuran tinggi rendahnya
keragaman genetik dalam suatu kelompok atau populasi dapat dilihat berdasarkan
nilai heterozigositas (Notter 1999). Nilai heterozigositas yang tinggi menunjukkan
tingginya keragaman dalam populasi sehingga masih dimungkinkan untuk
melakukan seleksi.
Gen Hormon Pertumbuhan
Gen

Growth

Hormone

(GH)

memiliki

peranan

penting

dalam

pertumbuhan dan perkembangan longitudinal pascanatal, pertumbuhan jaringan,
laktasi, reproduksi dan metabolisme protein, lipid, juga karbohidrat (Akers 2006;
ThidarMyint et al. 2008). Pengaruh GH terhadap pertumbuhan telah diamati pada
beberapa jaringan, termasuk tulang, otot dan jaringan adiposa. Pada hewan
ruminansia, GH berperanan terhadap pengaturan perkembangan kelenjar mammae
(Akers 2006). Gen GH telah digunakan secara luas sebagai penanda genetik pada
beberapa spesies ternak seperti pada sapi (Bos taurus dan Bos indicus) (Zhou et
al. 2005; Katoh et al. 2008), domba (Ovis aries) (Marques et al. 2006) dan
kambing (Capra hircus) (Boutinaud et al. 2003).
Proses biokimia secara nyata tentang cara kerja GH untuk mengontrol
produksi susu belum diketahui secara penuh. Tidak ada situs reseptor untuk
hormon yang ditemukan dalam kelenjar mammae. Growth Hormone (GH)
menstimulasi kelenjar mammae dengan cara menstimulasi produksi somatomedin,
yaitu hormon yang dihasilkan oleh jaringan tubuh lain seperti hati (Gambar 2).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa injeksi subkutan bGH pada sapi
yang sedang laktasi akan menyebabkan peningkatan produksi susu 10-40%, yaitu
melalui peningkatan konsentrasi plasma IGF1 sebesar 3-4 kali. Aliran darah ke
kelenjar mammae juga meningkat selama perlakuan bGH. Estimasi jumlah IGF1


 

yang mencapai kelenjar mammae sapi sehari sebelum dibandingkan dengan tujuh
hari setelah perlakuan bGH berturut-turut adalah 24 dan 116 nmol/menit/setengah
ambing.

Gambar 2 Diagram Alir Pengaturan Sekresi Hormon Pertumbuhan dan Kerjanya
pada Ternak Domestik (Lawrance dan Fowler 2002).
Hormon pertumbuhan atau growth hormone (GH) merupakan hormon
anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrop pada lobe anterior
pituitari (Ayuk dan Sheppard 2006). Gen GH terletak pada kromosom 19 pada
sapi dengan panjang sekitar 2800 pb yang tersusun atas lima ekson dan empat
intron (Gambar 3). Protein GH terdiri atas 191 asam amino dengan berat molekul
22 kDa. Proses sintesis dan sekresinya dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin
(Ardiyanti et al. 2009).


 

Coding Sequence
Intron 1

5’
5’ 

Exon 1

Lokus
Panjang
Gen
Sekuen depan
Exon 1
Exon 2
Exon 3
Exon 4
Exon 5

Intron 2
Exon 2

=
=
=
=
=
=
=
=
=

Intron 4

Intron 3
Exon 3

Exon 4

BOVGH
2856 pb
649-723, 971-1131, 1359-1475, 1703-1864.2138-2439
648
=
648 bp
649-723
=
74 bp
Intron 1
971-1131
=
160 bp
Intron 2
1359-1475
=
116 bp
Intron 3
1703-1864 =
161 bp
Intron 4
2138-2439 =
301 bp
Trailer sequence

3’

Exon 5

=
=
=
=
=

724-970
1132-1358
1476-1702
1865-2137
2440-2865

=
=
=
=
=

246 bp
226 bp
226 bp
272 bp
425 bp

Gambar 3 Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH di
GenBank (Kode Akses J00008).
Polimorfisme pada exon 5 (daerah 5’) gen bGH dilaporkan Zhang et al.
(1992) dan ditemukan dua alel yaitu alel L dan V. Subsitusi Sitosin (C) dengan
Guanin (G) pada posisi 2141 menyebabkan perubahan asam amino dari leusin (L,
kodon CTG) menjadi valin (V, kodon GTC). Transversi ini memungkinkan
genotiping pada lokus spesifik ini menggunakan enzim restriksi Alu1 karena
enzim ini mengenali situs potong AGCT. Keragaman genetik yang disebabkan
perubahan asam amino tersebut dipercaya berhubungan dengan level plasma GH
seperti yang diduga oleh Scanes (2003) bahwa genotipe LL berhubungan dengan
kosentrasi sirkulasi GH yang lebih tinggi jika dibandingkan genotipe LV. Eppard
et al. (1992) menemukan dua bentuk bGH rekombinan sebagai hasil perubahan
asam amino valin menjadi leusin pada posisi 127 pada lokus bGH.
Zakisadeh et al. (2006) melaporkan adanya keragaman gen hormon
pertumbuhan pada tiga bangsa sapi perah Iran dan sapi FH dengan menggunakan
metode PCR-RFLP. Bangsa sapi lokal Iran yang digunakan yaitu bangsa
Mazandarani, Sarabi dan Golpaygani yang selanjutnya dibandingkan dengan sapi
FH. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan
hasil genotiping pada tiga bangsa sapi Iran, jika dibandingkan dengan hasil
genotiping pada bangsa sapi FH. Didapatkan dua alel pada penelitian ini yaitu alel
(+) dan (-).

Perbedaan ini ditunjukkan oleh frekuensi alel (+) pada sapi

Mazandarani, Sarabi, Golpaygani dan sapi FH berturut-turut adalah 0.52, 0.54,
0.47 dan 0.86. Adanya perbedaan yang nyata frekuensi genotipe (+) antara bangsa

10 
 

Holstein dan sapi lokal Iran diduga dipengaruhi oleh perbedaan bangsa pada
ternak tersebut.
Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
Gen Growth Hormone Receptor (GHR) merupakan anggota dari kelas 1
cytokine receptor super family. Cytokine receptor berasosiasi dengan salah satu
anggota dari Janus Kinase Family (JAK), yang mengaktifkan spesific
transcription factor, signal transducer dan aktivator transkripsi (Scanes 2003).
Gen GHR pada sapi terletak pada kromosom 20 (Moody et al. 1995). Gen GHR
terdiri atas 10 ekson dengan panjang 25.688 pb (Gambar 4). Proses transkripsi gen
GHR pada sapi diinisiasikan oleh tiga promotor utama 1A, 1B dan 1C. Gen GH
1A diekspresikan secara eksklusif pada hati, sedangkan gen GHR 1B dan gen
GHR 1C diekspresikan pada jaringan yaitu pada tahap awal dan akhir
perkembangan setelah setelah kelahiran (Lucy et al. 1998).
Coding sequence (CDS)
Kodon awal ATG

Exon 1

Exon 2

Intron 1
Flanking
region 5’

Lokus
Panjang
Gen
Sekuen depan
Exon 1
Exon 2
Exon 3
Exon 4
Exon 5
Exon 6
Exon 7
Exon 8
Exon 9
Exon 10

Exon 3

Intron 2
1

Kodon akhir TAG

Exon 4

Intron 3

Exon 5
Intron 4

Exon 6
Intron 5

Exon 7
Intron 6

Exon 8
Intron 7

Exon 9

Intron 8

Exon 10
Intron 9

Flanking
region 3’

= EF207442
= 3876 pb
= 10 – 35, 200 – 280, 416 -481, 675 – 804, 935 – 1095, 1321 – 1499, 1612 – 1777, 1981 – 2071,
2246 – 2315, 2609 – 3876
= 9
=
9 bp
= 10 – 35
= 25 bp
Intron 1
= 36 – 199
= 163 bp
= 200 – 280
= 80 bp
Intron 2
= 281 – 415
= 134 bp
= 416 -481
= 65 bp
Intron 3
= 482 – 674
= 192 bp
= 675 – 804
= 129 bp
Intron 4
= 805 – 934
=
29 bp
= 935 – 1095
= 160 bp
Intron 5
= 1096 – 1320
= 234 bp
= 1321 – 1499 = 178 bp
Intron 6
= 1500 – 1611
= 111 bp
= 1612 – 1777 = 165 bp
Intron 7
= 1778 – 1982
= 204 bp
= 1981 – 2071 = 90 bp
Intron 8
= 2072 – 2245
= 173 bp
= 2246 – 2315 = 69 bp
Intron 9
= 2316 – 2608
= 292 bp
= 2609 – 3876 = 126 bp

Gambar 4 Rekonstruksi struktur gen GHR berdasarkan sekuens gen GHR di
GenBank (Kode Akses EF207442).
Reseptor hormon pertumbuhan atau Growth Hormone Receptor (GHR)
merupakan protein transmembran yang mengikat GH dengan afinitas dan
spesifitas yang tinggi. Ekspresi reseptor diperlukan untuk aktivitas selular

11 
 

terhadap GH. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perubahan fungsi GHR dapat
mempengaruhi kemampuan mengikat GH dan aktivitas GH dalam jaringan target
(DiStasio et al. 2005).
GHR merupakan member dari super family reseptor sitokinin atau
hematopoietin.

Ikatan

antara

hormon

pertumbuhan

dengan

reseptornya

mengakibatkan terjadinya aktivitas enzim forforilasi yang dilakukan oleh enzim
kinase dengan cara menambah gugus fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya
reaksi intrasel yang dapat berpengaruh pada metabolisme dari fungsi sel (Granner
2003).
Gen GHR berperan penting dalam proses pertumbuhan ternak. Mutasi
pada gen GHR telah diasosiasikan sebagai Larontype dwarfism pada manusia, sex
linked dwarfism pada ayam (Burnside et al. 1992), sifat pertumbuhan pada sapi
pedaging dan sifat produksi susu sapi FH (Aggrey et al. 1999). Ge et al. (2000)
menemukan adanya mutasi pada lokus GHR|Alu1. Mutasi yang terjadi merupakan
mutasi subtitusi tipe transisi atau terjadi perubahan basa nukleotida A menjadi G.
Perubahan basa tersebut menyebabkan

perubahan asam amino serin (AGC)

menjadi glisin (GGC). Perubahan ini terjadi pada posisi basa ke 3338 (Genebank
kode akses EF207442). Zulkharnaim (2008) mengidentifikasi adanya keragaman
gen GHR|Alu1 pada sapi Bali, Limousin, Simmental dan sapi pesisir. Berdasarkan
hasil sekuen yang dilakukan ditemukan adanya mutasi pada sapi dengan genotipe
AG dan GG, sedangkan genotipe AA tidak terjadi mutasi.
Produksi Susu Sapi FH
Produktivitas sapi perah dapat dievaluasi dengan cara pengukuran
produksi susu selama satu masa laktasi. Produksi susu biasanya cukup tinggi
setelah enam minggu masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah
itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi.
Penurunan produksi susu yang terjadi setelah mencapai puncak laktasi adalah
sebesar 6% setiap bulannya (Tyler dan Ensminger 2006).
Produksi puncak tergantung pada kondisi induk pada saat melahirkan,
keturunan, terbebasnya induk dari infeksi penyakit, serta pakan setelah
melahirkan. Induk yang mengalami penurunan produksi susu secara cepat setelah
puncak produksi berarti mempunyai persistensi yang rendah. Persistensi produksi

12 
 

adalah kemampuan induk sapi mempertahankan tingkat produksi selama masa
laktasi. Persistensi ini dipengaruhi oleh umur sapi, kondisi sapi pada saat beranak,
lama masa kering sebelumnya dan jumlah pakan (Akers 2002). Gambar 5
memperlihatkan variasi produksi susu selama masa laktasi dengan tingkat
persistensi yang berbeda.

Gambar 5 Produksi susu selama laktasi dengan tingkat persistensi yang berbeda
(Tyler dan Ensminger 2006).
Pada umumnya lama masa laktasi adalah 10 bulan (305 hari) pada sapisapi yang mempunyai selang beranak 12 bulan. Produksi air susu yang tertinggi
diperoleh pada periode laktasi ke tiga (Philips 2002). Produksi susu total setiap
laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7
tahun, atau pada laktasi ke 3 dan ke 4. Mulai dari laktasi pertama produksi susu
akan meningkat sampai umur dewasa. Umur sapi yang semakin bertambah
menyebabkan penurunan produksi secara perlahan. Produksi susu pada laktasi
pertama adalah 70%, laktasi kedua adalah 80%, laktasi ketiga 90%, laktasi ke
empat 95% dari produksi susu pada umur dewasa dengan selang beranak 12 bulan
dan beranak pertama pada umur dua tahun (Tyler dan Ensminger 2006).
Produksi susu secara umum dikontrol oleh faktor luar (eksternal) dan
faktor dalam (internal). Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar tubuh

13 
 

ternak seperti iklim, jumlah dan kualitas pakan, penyakit dan parasit (Indrijani
2001), sedangkan faktor internal adalah faktor genetik, periode laktasi, frekuensi
pemerahan, umur dan ukuran tubuh ternak, masa kering, siklus estrus dan
kebuntingan, ketosis dan milk fever (Sudono et al. 2003).
Masa laktasi adalah periode sapi selama menghasilkan air susu yaitu
antara waktu beranak sampai masa kering (Sudono et al. 2003). Umumnya masa
laktasi adalah selama 305 hari dengan 60 hari masa kering . Pada kenyataannya,
masa laktasi seekor sapi perah bervariasi dari 270 hari hingga 400 hari. Rataan
masa laktasi sapi perah di beberapa peternakan sapi perah di Indonesia sangat
bervariasi yaitu 363, 355, 368 dan 348 hari masing-masing pada daerah
Pengalengan, Kertasari, Lembang dan Cisarua (Sudarisman et al. 1996). Setelah
sapi beranak produksi susu akan meningkat, produksi maksimum akan dicapai
sekitar minggu ke empat sampai minggu ke enam, kemudian akan turun perlahanlahan sampai akhir laktasi (Tyler and Ensminger 2006).
Selain masa laktasi, masa kering dan masa kosong juga berpengaruh
terhadap produksi susu. Masa kering yaitu periode atau lamanya sapi berhenti
diperah hingga beranak (Sudono et al. 2003). Masa kering yang terbaik adalah 50
sampai 60 hari, karena produksi susu akan lebih tinggi pada masa berikutnya
dibandingkan masa kering yang diperpanjang atau diperpendek. Periode masa
kering berguna untuk memperbaiki tubuh dengan nutrisi yang telah dipakai
selama masa laktasi, memperbaiki dan memperbaharui sistem kelenjar susu dan
saluran-salurannya, serta tambahan stimulasi untuk laktasi berikutnya. Periode
kering memungkinkan untuk glandula mamari dari sapi induk memperkuat diri
kembali dan membentuk cadangan zat-zat makanan dalam tubuh untuk laktasi
berikutnya (Akers 2002).
Masa kosong adalah jarak antara induk beranak hingga bunting kembali.
Masa kosong merupakan faktor yang penting dalam tata laksana sapi perah dalam
hal kebuntingan yang diinginkan. Panjang masa kosong akan berbeda pada setiap
ternak. Rataan masa kosong pada pada sapi perah di Indonesia adalah 133 hari
pada peternakan Taurus Dairy Farm dan 139 hari pada peternakan BPTU
Baturraden (Sudono 2003). Masa kosong dipengaruhi oleh faktor seperti involusi

14 
 

uteri, estrus kembali setelah beranak, interval dikawinkan kembali setelah beranak
dan service per conception (S/C) (Akers 2002).
Hubungan Varian Genetik Gen Pengontrol Produksi Susu dengan Sifat
Produksi Susu
Seleksi keunggulan genetik pada sapi FH dapat dilakukan melalui
identifikasi keragaman gen yang terkait dengan sifat produksi dan kualitas susu.
Keragaman genetik bisa digunakan untuk pendugaan adanya seleksi atau tidak
dalam suatu populasi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk penentuan
hubungan antara keragaman genetik dengan sifat produksi susu pada sapi perah.
Kelompok gen hormon pertumbuhan merupakan gen kandidat yang baik untuk
analisis dengan Quantitatif Trait Loci (QTL) dikarenakan pengaruh biologisnya
pada sifat-sifat kuantitatif. Dijelaskan oleh Chung et al. (1996), bahwa keragaman
alelik dalam sekuens struktural atau regulator gen, serta keragaman dalam sekuens
intron atau pengapitnya, secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap produksi susu dan performan pertumbuhan.
Beberapa penelitian dilakukan untuk penentuan keragaman genetik sapi
FH di Indonesia dan hubungannya dengan produksi susu. Rahmani et al. (2004)
melaporkan keragaman genetik sapi FH berdasarkan gen hormon pertumbuhan
pada bagian intron 3 di BPTU Baturraden dan menemukan empat alel yaitu A, B,
C dan D dengan lima tipe genotipe yaitu AA, AD, BC, CD dan DD. Frekuensi
alel A, B, C dan D berturut-turut adalah 21.19, 8,94, 3.97 dan 65.89. Keragaman
genotipe dan alel ini dihubungkan dengan nilai pemuliaan produksi susu dan
protein susu. Nilai pemuliaan produksi susu dan protein susu nyata dipengaruhi
(P