Identifikasi keragaman gen laktoferin (LTF EcoRI) pada sapi friesian holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN LAKTOFERIN (LTF EcoRI)
PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG,
BBIB SINGOSARI DAN BET CIPELANG

SKRIPSI
GABBY ELFANDA MUMPUNIE

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

RINGKASAN
GABBY ELFANDA MUMPUNIE. D14070166. 2011. Idetifikasi Keragaman Gen
Laktoferin (LTF EcoRI) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB
Singosari dan BET Cipelang. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D.
Laktoferin merupakan komponen dari protein susu yang bersifat antimikroba.
Laktoferin yang terkandung di dalam susu berfungsi untuk mencegah diare,

sedangkan bagi sapi laktoferin berfungsi untuk mencegah mastitis pada ambing.
Dilihat dari peranan laktoferin tersebut, maka perlu adanya suatu usaha untuk
meningkatkan kadar laktoferin di dalam susu. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan sapi yang menghasilkan susu berkadar laktoferin tinggi adalah dengan
melakukan seleksi pada tingkat DNA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mencari
keragaman susunan nukleotida dalam gen yang berpengaruh terhadap kadar laktoferin
susu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen LTF EcoRI pada
sapi Friesian Holstein (FH) di Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari,
Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang dan Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang;
serta sapi pedaging di BET Cipelang sebagai pembanding.
Materi penelitian berupa sampel darah sapi FH sebanyak 89 ekor yang terdiri
dari sapi jantan berasal dari BBIB Singosari (32 ekor) dan BIB Lembang (17 ekor),
sapi betina dari BET Cipelang (40 ekor); serta sapi pedaging betina sebagai
pembanding meliputi Limosin (14 ekor), Angus (5 ekor), Simental (13 ekor) dan
Brahman (5 ekor) dari BET Cipelang. Amplifikasi gen LTF EcoRI dilakukan dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR) pada gel agarose 1,5 %. Pendeteksian keragaman
gen LTF EcoRI menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restricsion
Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dengan enzim restriksi EcoRI,
sehingga didapatkan tiga macam fragmen yang panjangnya 301 pasang basa (pb)
untuk alel A, 201 pb dan 100 pb untuk alel B. Keragaman genetik gen LTF EcoRI

dianalisis dengan menghitung nilai frekuensi alel, frekuensi genotipe, keseimbangan
Hardy-Weinberg, dan heterozigositas.
Hasil perhitungan frekuensi alel gen LTF EcoRI menunjukkan bahwa sapi FH
pada ketiga lokasi dan sapi pedaging yang digunakan sebagai pembanding
mempunyai frekuensi alel A yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B. Frekuensi
total alel A dan B dari semua sapi FH pengamatan yaitu 0,77 dan 0,23. Hal tersebut
juga tidak berbeda jauh dengan sapi pedaging yang diteliti. Genotipe yang ditemukan
untuk sapi FH adalah AA dan AB, sebaliknya tidak ditemukan genotipe BB. Hasil
perhitungan frekuensi genotipe sapi FH memiliki genotipe AA sebesar 0,55 dan
genotipe AB sebesar 0,45, sedangkan genotipe BB bernilai 0. Nilai heterozigositas
gen LTF EcoRI pengamatan (Ho=0,5) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
heterozigositas harapan (He=0,38) untuk keseluruhan sapi pengamatan, baik sapi FH
maupun sapi pedaging.
Kata-kata kunci: Identifikasi Keragaman, Gen Laktoferin, Sapi Friesian Holstein,
PCR-RFLP

ABSTRACT
Identification of the Lactoferrin (LTF EcoRI) Gene Polymorphism in
HolsteinFriesian Cattle in BIB Lembang, BBIB Singosari and BET Cipelang
Mumpunie, G. E. , C. Sumantri, and A. Anggraeni


Lactoferrin (LTF) is a gene controlling milk protein component in which
having the characteristic as antimicrobial. LTF contained in the milk has function to
prevent diarhea, whereas the function of LTF for the cows is to prevent mastitis in the
udder. By looking at the role of the LTF gene, an attempt of improving LTF
component in the milk is necessary through the selection process conducted at the
DNA level. This study was aimed to identify the polymorphism of the LTF EcoRI
gene in Holstein-Friesian (HF) cattle. The LTF EcoRI gene polymorphism was
identified with Polymerase Chain Reaction-Restricsion Fragment Length
Polymorphism (PCR-RFLP) method using EcoRI enzyme. Genotyping was perfomed
in 89 HF cattle from Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang (17 heads), Balai Besar
Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari (32 heads) and Balai Embrio Ternak (BET)
Cipelang (40 heads). Genotyping was also conducted in four breeds of beef cattle as a
comparison for Limosin (14 heads), Angus (5 heads), Simental (13 heads) and
Brahman (5 heads) from BET Cipelang.
Results from the analysis of the allele frequencies of the LTF EcoRI gene in
HF cattle in three locations and beef cattle showed that the A allele had a higher
frequency than the B allele. The total frequencies of the A and B allels in HF cattle
were 0,77 and 0,23 respectively. Genotypes for HF cattle observed were found for
AA and AB, whereas the BB genotype was not found. The genotype frequencies of

all cattle (HF and beef cattle) had the same proportion, genotype AA and AB had the
same value (0,5), whereas the genotype BB was 0. Heterozygosity (Ho) value of LTF
EcoRI gene were higher than those of heterozygosity value for all cattle. The
conclusion was that LTF EcoRI gene in HF and beef cattle observed was
polymorphic.
Keywords: Genetic polymorphism, Holstein-Friesian, Lactoferrin gene, PCR-RFLP.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN LAKTOFERIN (LTF EcoRI)
PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG,
BBIB SINGOSARI DAN BET CIPELANG

GABBY ELFANDA MUMPUNIE
D14070166

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

: Identifikasi Keragaman Gen laktoferin (LTF EcoRI) pada Sapi
Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET
Cipelang

Nama

: Gabby Elfanda Mumpunie

NIM

: D14070166

Menyetujui,
Pembimbing Utama,


Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004

Pembimbing Anggota,

Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D.
NIP. 19630924 199803 2 001

Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 3 Mei 2011

Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 3 September 1989 di Cilacap, Jawa Tengah.
Penulis adalah putri tunggal dari pasangan Bapak Yuswadi dan Ibu Nuning
Listyarini.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di SD Pius, Cilacap dan
diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama dimulai pada
tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Bunda Hati Kudus, Jakarta
Barat. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas pada tahun 2004
diselesaikan pada tahun 2007 di SMA N 65, Jakarta Barat.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis mengikuti organisasi non
akademis dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bola basket, Keluarga Mahasiswa
Katolik IPB (KEMAKI) serta berbagai kepanitiaan pada kegiatan kemahasiswaan di
IPB. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah teknik pengolahan susu.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan
penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Identifikasi Keragaman Gen Laktoferin (LTF EcoRI) pada Sapi Friesian Holstein di

BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang” yang merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
memberi dukungan moril maupun material.
Laktoferin merupakan protein yang bersifat antimikroba, sehingga dapat
digunakan untuk mencegah dan mengontrol mastitis pada sapi perah. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi susu segar dengan kadar
laktoferin tinggi adalah melalui seleksi bibit sapi perah yang berkemampuan
memproduksi susu yang susu berkadar laktoferin tinggi. Kemajuan dalam bidang
bioteknologi molekuler memungkinkan upaya seleksi dapat dilakukan pada tingkat
DNA, yaitu dengan cara mencari keragaman susunan nukleotida dalam gen yang
berpengaruh terhadap produksi dan kualitas susu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keragaman gen LTF EcoRI pada sapi Friesian Holstein (FH) pada
tiga Balai Bibit Nasional (BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang).
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2011


Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................

i

ABSTRACT ...............................................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................

iii

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................

iv


RIWAYAT HIDUP ...................................................................................

v

KATA PENGANTAR ...............................................................................

vi

DAFTAR ISI ..............................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ......................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

x


DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................

xi

PENDAHULUAN .....................................................................................

1

Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan ............................................................................................

1
2

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................

3

Sapi Friesian Holstein ....................................................................
Gen Laktoferin ................................................................................
Keragaman Genetik ......................................................................
Analisis Keragaman DNA .............................................................

3
4
6
7

METODE ....................................................................................................

9

Lokasi dan Waktu ..........................................................................
Materi .............................................................................................
Sampel ..................................................................................
Pengambilan sampel .............................................................
Ekstraksi DNA .....................................................................
Primer ...................................................................................
Amplifikasi DNA .................................................................
Elektroforesis .......................................................................
Genotyping ...........................................................................
Prosedur .........................................................................................
Pengambilan sampel .............................................................
Ekstraksi DNA .....................................................................
Amplifikasi DNA .................................................................
Elektroforesis .......................................................................
Genotyping ...........................................................................
Rancangan ......................................................................................
Frekuensi alel dan genotipe ..................................................

9
9
9
9
9
9
10
10
10
10
10
11
11
11
12
13
13

Keseimbangan Hardy Weinberg (HW) ................................
Heterozigositas .....................................................................

13
14

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................

15

Amplifikasi Gen LTF EcoRI .........................................................
Pendeteksian Keragaman Gen LTF EcoRI ....................................
Frekuensi Genotip dan Alel Gen LTF EcoRI .................................
Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen LTF EcoRI..........................
Pendugaan Nilai Heterozigositas Gen LTF EcoRI ........................

15
16
18
20
21

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................

23

Kesimpulan ....................................................................................
Saran ..............................................................................................

23
23

UCAPAN TERIMAKASIH ......................................................................

24

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

25

LAMPIRAN ...............................................................................................

29

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Nilai Frekuensi Genotipe dan Alel Gen LTF EcoRI Sapi dari
BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang………….

18

2. Uji Hasil Uji Signifikasi χ2 Keseimbangan Hardy-Weinberg
Gen LTF EcoRI .......................................................................

20

3. Pendugaan Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Nilai
Heterozigositas Harapan (He) Gen LTF EcoRI ………………

21

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Sapi Friesian Holstein ..............................................................

3

2. Struktur Gen Laktoferin ...........................................................

5

3. Hasil Amplifikasi Gen LTF EcoRI Sapi FH dengan Metode PCR

15

4. Posisi Penempelan Primer (Cetak Tebal) pada Sekuen Gen
LTF EcoRI (L19986)..................................................................

16

5. Pola Pita Gen LTF EcoRI Sapi FH pada Gel Agarose 2%
dengan Enzim Retriksi EcoRI ................................................... ..

17

6. Jumlah Sapi FH dan Sapi Pedaging dengan Genotipe tertentu
Gen LTF EcoRI berdasarkan Lokasi .........................................

17

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Sekuen Gen Laktoferin pada Bos Taurus (Nomor Akses L19986)

30

2. Perhitungan Derajat Bebas χ2 Gen LTF EcoRI.............................

32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi Friesian Holstein merupakan salah satu bangsa sapi perah yang paling
banyak menghasilkan air susu. Sapi ini merupakan sapi yang umum dibudidayakan
di Indonesia karena dapat beradaptasi di daerah tropis. Susu yang dihasilkan sapi
perah menyediakan kebutuhan protein hewani yang bermanfaat bagi manusia.
Konsumsi susu saat ini mulai meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat akan
pentingnya minum susu. Susu kaya akan nutrisi yang berguna bagi tubuh yang terdiri
atas kasein dan whey protein yang mengandung laktoferin, laktoperoksidase, lisozim,
dan immunoglobulin yang sering disebut sebagai protein anti mikroba. Kandungan
protein yang tinggi dalam susu akan meningkatkan kualitas susu sebagai pangan
fungsional.
Laktoferin yang disebut sebagai protein anti mikroba, merupakan salah satu
protein minor yang secara alami ditemukan dalam susu sapi. Laktoferin adalah salah
satu faktor penting untuk mencegah dan mengontrol mastitis pada sapi perah. Protein
disintesis granulosit dan sel-sel epitel susu sebagai respons terhadap infeksi seperti
mastitis. Laktoferin mampu mengikat ion besi (Fe) dari mikroba, sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroba. Laktoferin ditemukan dalam jumlah besar dalam
sekresi mamalia seperti air susu, air mata, saliva, dan cairan seminal, sebagaimana
pada beberapa sel darah putih. Laktoferin pada mamalia mempunyai fungsi utama
yang berhubungan langsung dengan sistem kekebalan tubuh.
Pentingnya laktoferin dalam menghambat pertumbuhan mikroba, maka perlu
adanya suatu usaha untuk meningkatkan kadar laktoferin di dalam susu. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan produksi susu segar
dengan kadar laktoferin tinggi di dalam negeri adalah dengan seleksi bibit sapi perah
(FH). Kemajuan dalam bidang bioteknologi molekuler memungkinkan upaya seleksi
dapat dilakukan pada tingkat DNA, yaitu dengan cara mencari keragaman susunan
nukleotida dalam gen laktoferin yang berpengaruh terhadap produksi susu berkadar
laktoferin tinggi.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen LTF EcoRI pada
sapi Friesian Holstein (FH) dengan metode PCR-RFLP pada tiga Balai Bibit Nasional,
yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari, Balai Inseminasi Buatan (BIB)
Lembang dan Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang; serta sapi pedaging di BET
Cipelang sebagai pembanding.

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein
Bangsa sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari negara Belanda tepatnya di
Provinsi North Holland dan West Friesland, kedua daerah tersebut memiliki padang
rumput yang bagus. Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, ratarata bobot badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan
produksi susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu
lingkungan yang optimum untuk sapi perah dewasa berkisar antara suhu 5-21 ºC,
sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah
sebesar 60% dengan kisaran 50% -75% (Enseminger dan Howard, 2006).
Syarief dan Sumopastowo (1984) menyatakan bahwa tanda-tanda yang
dimiliki bangsa ini antara lain memiliki warna putih dengan belang hitam, dapat juga
hitam dengan belang putih sampai warna hitam. Ekor harus putih, warna hitam tidak
diperkenankan, juga tidak diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian
siku dan lutut, tetapi warna hitam diperbolehkan pada kaki mulai dari bahu atau paha
sampai ke kuku. Gambar sapi FH dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: http://dompi.co.id
Gambar 1. Sapi Friesian Holstein
Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245
liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006). Produktivitas sapi perah di
Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sapi perah iklim
sedang. Kemampuan menghasilkan susu di Indonesia berkisar 3.000-3.900 liter per
laktasi, sedangkan di daerah iklim sedang mencapai lebih dari 6.000 liter per laktasi

(Dwiyanto et al., 2001). Talib et al. (2000) melaporkan bahwa rataan produksi susu
sapi FH pada perusahaan lebih banyak dibandingkan dengan peternakan rakyat di
pulau Jawa, yaitu sebesar 3565,8 ± 159,7 liter pada perusahaan dan 3266,4 ± 210,4
liter pada peternakan rakyat.
Gen Laktoferin
Gen laktoferin mengandung 17 ekson dalam suatu unit 34,5 kb
transkripsional (Seyfert et al., 1994). Lebih dari enam dekade yang lalu, laktoferin
ditemukan dalam susu sapi (Sorensen dan Sorensen, 1993). Laktoferin merupakan
ikatan glikoprotein pengikat besi (Fe3+) yang pertama sekali diisolasi dari susu sapi
dan selanjutnya dari ASI. Laktoferin ditemukan dalam jumlah besar dalam sekresi
mamalia seperti susu, air mata, saliva, dan cairan seminal, begitu juga pada beberapa
sel darah putih (Naim, 2003).
Laktoferin aktif dalam modulasi dan peraturan makrofag, fungsi limfosit dan
neutrofil (Smith dan Oliver, 1981; Sordillo et al., 1997). Laktoferin adalah salah satu
faktor penting untuk mencegah dan mengontrol mastitis pada sapi perah karena
sifat-sifatnya (Teng, 2002). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa laktoferin
dapat digunakan sebagai konsentrasi sel somatik penanda genetik dalam susu, yaitu
sebagai penanda kerentanan atau ketahanan terhadap mastitis pada sapi perah
(Wojdak et al., 2006). Laktoferin terdiri atas rantai polipeptida tunggal dengan dua
globular lobes (N-lobe dan C-lobe) dan relatif resisten terhadap proteolisis.
Laktoferin merupakan protein yang disekresikan oleh jaringan ektodermal dan
mempunyai struktur mirip transferin.
Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan afinitas pengikat besi
yang tinggi, yang mampu mengikat besi dari lingkungan mikroorganisme. Besi
merupakan nutrien penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri
(Connely, 2001; Kanyshkova et al., 2003). Laktoferin mempunyai peranan penting
dalam pengikatan Fe di mukosa usus dan beraksi sebagai agen bakteriostatik dengan
mengikat Fe yang berasal dari Fe yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri
(Sachaczuk et al., 2005). Gambar struktur gen laktoferin yang terdiri dari 16 intron
dan 17 exon dapat dilihat pada Gambar 2.

1 2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12 13 14

16 17

Keterangan :
= Exon 1 (81 pb), Exon 2 (163 pb), Exon 3 (108 pb), Exon 4 (182 pb), Exon 5 (147
pb), Exon 6 (55 pb), Exon 7 (178 pb), Exon 8 (174 pb), Exon 9 (154 pb), Exon 10
(90 pb), Exon 11 (47 pb), Exon 12 (155 pb), Exon 13 (141 pb), Exon 14
(68 pb), Exon 15 (183 pb), Exon 16 (189 pb), Exon 17 (224 pb)
= Intron 1 (32 pb), Intron 2 (49 pb), Intron 3 (292 pb), Intron 4 (478 pb), Intron 5
(941 pb), Intron 6 (1486 pb), Intron 7 (447 pb), Intron 8 (526 pb),Intron 9 (527
pb), Intron 10 (1092 pb), Intron 11 (630 pb), Intron 12(12 pb), Intron 13 (918 pb),
Intron 14 (495 pb), Intron 15 (79 pb), Intron 16 (60 pb)

Gambar 2. Struktur gen Laktoferin (Seyfert et al., 1994)
Kandungan tertinggi laktoferin ditemukan dalam kolostrum, kemudian
kandungan laktoferin ditemukan ada pada susu (Adam et al., 2008). Konsentrasi
laktoferin dalam susu sapi rata-rata 0,2 gram/liter. Dalam kolostrum, kandungan
laktoferin dapat setinggi 0,5-1,0 gram/liter (Naim, 2003). Susu sapi yang terinfeksi
E.coli memiliki konsentrasi laktoferin yang lebih tinggi 30 kali dibandingkan dengan
susu normal (Hyvonen, 2006). Tingginya kadar laktoferin pada sapi yang terinfeksi
E.coli disebabkan untuk pertahanan tubuh dari serangan E.coli, dimana laktoferin
mengikat Fe dari bakteri tersebut. Laktoferin menurut Robble et al. (2003) dapat
mereduksi keberadaan E.coli di dalam usus anak sapi dan mengurangi serangan
diare.
Peranan Laktoferin
Laktoferin mampu menghambat aktivitas bakteri dan menyebabkan bakteri
kehilangan kemampuan untuk membentuk koloni dengan cepat (Rainard, 1992).
Adam et al. (2008) menyatakan bahwa laktoferin dapat mencegah tumor pada usus
kecil atau lokasi lain. Laktoferin yang berasal dari sapi mempunyai antibakteri
terhadap E.coli dan S. Aureus lebih tinggi bila dibandingkan dengan laktoferin yang
berasal dari manusia, tikus dan kambing (Vorland et al., 1998). Secara alami protein
yang bersifat antimikrobial mempunyai kemampuan aktivitas sebagai antiviral.
Laktoferin mempunyai kemampuan menghambat replikasi Herpes Simplex Virus
(HVS) dengan cara memblokir virus tersebut masuk ke dalam sitoplasma sel inang
(Jenssen, 2005). Selain bersifat sebagai antimikroba dan antivirus, laktoferin

mempunyai

kemampuan

sebagai

antistres

seperti

dilaporkan

oleh

Zimecki et al. (2005) bahwa pemberian laktoferin melalui air minum pada mencit
dapat meningkatkan respon imunitas baik secara seluler maupun humoral. Menurut
Sumantri (2006), sapi perah FH yang menghasilkan susu berlaktoferin tinggi
mempunyai beberapa manfaat, yaitu menurunkan kemungkinan

mastitis,

menurunkan total plate count (TPC) susu, menurunkan cemaran antibiotik pada
produk susu akibat langsung dari pengobatan mastitis.
Keragaman Genetik
Dalam suatu populasi, keragaman genetik digunakan untuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri atau suatu sifat
khusus. Pengetahuan keragaman genetik suatu bangsa sangat bermanfaaat bagi
keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al.,
1998). Semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut
untuk hidup dalam jangka yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasi populasi
terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002).
Keragaman genetik dihasilkan mutasi, sedangkan perubahan frekuensi alel
disebabkan migrasi, seleksi, dan genetic drift (Frankham et al., 2002). Menurut Noor
(2000) frekuensi genotipe dalam suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam
keadaan seimbang bila tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi dan genetik drift.
Selain itu, silang luar dan silang dalam juga mempengaruhi frekuensi genetik.
Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan
dan perbedaan frekuensi alel diantara subpopulasi (Li et al., 2000).
Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup
populasi tersebut akan semakin tinggi (Avise, 1994). Menurut Nei (1987), derajat
heterozigositas adalah rataan presentase lokus heterozigositas tiap individu atau
rataan presentase individu heterozigot dalam populasi. Avise (1994) menambahkan
bahwa seiring dengan derajat heterozigositas yang menurun akibat dari silang dalam
dan fregmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal akan
semakin meningkat frekuensinya.
Keragaman gen laktoferin ditemukan oleh Arnould et al. (2009) pada exon 2,
exon 11 dan intron 8. Wojdak et al. (2006) melaporkan keragaman genetik sapi FH
Polandia berdasarkan gen laktoferin (intron 6) menghasilkan tiga variasi genotipe

yaitu AA (37,90%), BB (2,42%), dan AB (59,68%). Chang-hong et al. (2008) yang
menggunakan enzim restriksi HinfI untuk menganalisis gen laktoferin pada
peternakan sapi perah di Xinjiang Shihezi; menemukan dua alel A dan B dengan
frekuensi masing-masing 0,78 dan 0,22 pada kelompok sapi kontrol, serta 0,17 dan
0,73 pada kelompok sapi pengamatan . Seyfert dan Kuhn (1994) menemukan mutasi
pada intron 6 dengan menggunakan enzim restriksi EcoRI dan terdapat alel A dan B
dengan masing-masing frekuensi sebesar 0,755 dan 0,245.
Kadar laktoferin sangat nyata dipengaruhi genetik dan gen laktoferin
dikontrol dua alel yaitu A dan B, individu bergenotipe AA mempunyai kadar
laktoferin lebih tinggi dari genotipe AB dan BB (Lee et al., 1997). Dengan demikian
laktoferin

diwariskan

secara

kodominan

dan

mengikuti

hukum

Mendel

(Lee et al., 1997).
Analisis Keragaman DNA
Polimerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim
polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin thermocycler.
Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel
DNA yang akan diperbanyak. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan melalui
elektroforesis (Williams, 2005).
Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu
denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan
ekstensi (pemanjangan primer) (Muladno, 2002). Keragaman DNA amplikon atau
produk PCR dapat dianalisis dengan berbagai cara, antara lain Restriction Fragment
Length Polymorphism (RFLP), Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP),
Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE), dan sekuensing .
PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR.
Analisis RFLP sering digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom
yang menyandikan penyakit (Orita et al., 1989).

Analisis keragaman genetik

menggunakan pendekatan analisi RFLP memakai enzim endonuklease atau enzim
retriksi (RE) untuk mengenali situs pemotongan 4 dan 6 basa (Green, 1998).

Kelebihan dari RFLP adalah dapat mendeteksi sifat kodominan, artinya dapat
membedakan antara yang homozigot dan heterozigot (Gupta et al., 2002).
Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP juga dapat digunakan untuk analisis
keragaman DNA. Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa
perubahan yang terjadi pada nukleotida meskipun hanya terjadi pada satu basa, akan
mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal
(Bastos et al., 2001). Metode SCCP dapat mendeteksi mutasi pada fragmen DNA,
akan tetapi tidak dapat memberikan informasi tentang posisi dimana terjadinya
mutasi pada fragmen DNA dan memiliki keterbatasan dalam menentukan jumlah alel
(Baroso et al., 1999).
Temperature Gradient Gel Electrophoresis (TGGE) merupakan salah satu
metode analisis keragaman yang mendeteksi mutasi dengan menggunakan gel yang
memiliki perbedaan suhu (Jasik dan Reichert, 2006). DGGE merupakan salah satu
metode yang dapat membedakan mutasi berdasarkan berat molekul fragmen DNA
pada gel yang memiliki perbedaan konsentrasi bahan untuk menyamakan berat
molekul (Liu et al., 2008).
Analisis keragaman molekul DNA dapat juga dilakukan dengan metode
sekuensing. Proses sekuensing dapat dilakukan secara cepat dan hasil yang diperoleh
akurat, akan tetapi biaya yang dibutuhkan cukup besar (Gupta et al., 2002).
Sekuensing merupakan proses penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA
atau RNA. Sekuensing menghasilkan penggambaran linear simbolik yang disebut
sekuen yang meringkas sebagian besar struktur tingkat atom atas molekul yang
disekuensing (Muladno, 2002). Pada prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau
sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu genom organism (Suryanto, 2008).

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian
Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Sampel
Sampel yang digunakan berupa darah sapi Friesian Holstein (FH) sebanyak
89 sampel yang terdiri atas sapi jantan yang berasal dari BBIB Singosari sebanyak 32
ekor dan BIB Lembang 17 ekor; sapi betina dari BET Cipelang sebanyak 40 ekor.
Darah dikoleksi juga dari sapi pedaging sebagai pembanding sebanyak 37 ekor sapi
betina yang meliputi sapi Limosin sebanyak 14 ekor, Angus lima ekor, Simental 13
ekor dan Brahman lima ekor yang berasal dari BET Cipelang.
Pengambilan Sampel
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, es, dan kapas. Alat yang
digunakan antara lain jarum venoject, tabung vacutainer 10 ml dan termos. Sampelsampel darah yang digunakan merupakan data sekunder hasil koleksi laboratorium
Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.
Ekstraksi DNA
Bahan yang digunakan adalah Destilation Water (DW), NaCl, Proteinase-K,
1x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat),
CIAA (klorofom iso amil alkohol), fenol, etanol absolut, etanol 70% dan buffer TE
80% (tris EDTA). Alat yang digunakan adalah autoclave, satu set pipet mikro,
vortexmixer, alat pemutar, alat sentrifugasi, refrigerator dan freezer.
Primer
Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen laktoferin adalah
berdasarkan primer yang digunakan Wojdak et al. (2006) dengan panjang produk
PCR 301 pb, yaitu:

forward: 5´-GCC TCA TGA CAA CTC CCA CAC-3´;
reverse: 3´-CAG GTT GAC ACA TCG GTT GAC-5´.
Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Bahan yang digunakan adalah DW, sampel DNA, buffer, MgCl2, pasangan
primer, enzim taq dan dNTP, enzim retriksi EcoRI dan buffer EcoRI. Alat yang
digunakan adalah satu set pipet mikro, alat sentrifugasi, tabung PCR, mesin PCR,
vortex, lemari es.
Elektroforesis
Bahan yang digunakan adalah air destilasi, agarose, 0,5xTBE, Etidium
Bromide, loading dye (0,01% Xylene Cyanol, 0,01% Bromtimol blue, 50% gliserol),
dan marker 100 pb. Alat yang digunakan antara lain microwave, stearer, magnet
stearer, gelas ukur, tabung erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb),
power supply 100 volt, gelas ukur, pipet makro dan mikro.
Genotyping
Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,
Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose
2% adalah sebagai berikut: agarose 0,6 g; 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 µl Etidium
Bromide. Alat-alat yang digunakan antara lain adalah microwave, stearer, magnet
stearer, gelas ukur, tabung erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb),
power supply 100 volt, gelas ukur, dan pipet mikro.
Prosedur
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada tiga Balai Bibit Nasional, yaitu BBIB
Singosari, BIB Lembang dan BET Cipelang. Sampel darah merupakan koleksi
laboratorim. Sampel darah diambil melalui vena jugularis dengan menggunakan
jarum venoject pada tabung vacutainer yang ditambahakan alkohol 70%. Sampel
disimpan dalam termos es atau lemari es sampai akan digunakan lebih lanjut.

Ekstraksi DNA
Sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70% diambil sebanyak 200 l,
kemudian ditambahkan 1000µl Destilation Water (DW). Sampel digetarkan lalu
didiamkan selama lima menit. Setelah itu disentrifuse pada kecepatan 8000 rpm
selama lima menit, lalu supernatan dibuang, dan diulangi seperti proses sebelumnya,
kemudian ditambahkan 10 l proteinase-K yang berfungsi untuk menghancurkan
protein, 350 l 1xSTE (sodium tris-EDTA) dan 40 l 10% SDS (sodium dodesil
sulfat) yang berfungsi untuk melisiskan membran sel. Campuran tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 55oC selama dua jam sambil dikocok pelan dengan
menggunakan alat pemutar (tilting).
Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu
dengan menambahkan 40 l 5M NaCl, 400 l larutan fenol dan CIAA (chloroform
iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama 1 jam. Molekul
DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase fenol dengan alat sentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Setelah terbentuk fase DNA, diambil
sebanyak 40 l pada fase DNA untuk dipindahkan ke tabung baru 1,5 ml. Kemudian
ditambahkan 5M NaCl sebanyak 40 l dan etanol absolut sebanyak 800 l. Molekul
DNA kemudian dimalamkan (over night) pada suhu -20oC.
Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit, kemudian supernatan
yang diperoleh dibuang. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci dengan
menambahkan 70% etanol sebanyak 800 l dan disentrifugasi pada kecepatan 12.000
rpm selama lima menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga
didapatkan endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu
endapan DNA disuspensikan dalam 100 l 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Pereaksi untuk amplifikasi gen DNA secara umum dilakukan menggunakan
campuran yang terdiri atas 1 l sampel DNA yang sudah diekstraksi, 9,7 l DW,
0,1 l primer, 0,05 l taq polymerase, 1,25 l buffer, 0,15 l dNTP dan 0,25 l
MgCl2. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR pada kondisi
suhu pradenaturasi 94 oC selama lima menit, 35 siklus (denaturasi 94 oC selama 45

detik, anneling 60 oC selama 45 detik dan elongasi 72 oC selama satu menit) dan
elongasi akhir 72 oC selama lima menit.
Elektroforesis
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR pada
gel agarose 1.5% pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan cara
memanaskan agarose 0,45 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5xTBE 30 ml serta
menambahkan 2,5 µl EtBr pada saat distearer sampai didapatkan larutan jernih.
Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam pencetak gel serta menempatkan sisir
di dekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir
dicabut sehingga akan terbentuk sumur-sumur yang digunakan untuk menempatkan
sebanyak 5µl produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%,
Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%). Gel ditempatkan ke dalam gel tray
elektroforesis yang sudah berisi larutan buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang
bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (migrasi) ke arah positif (anode).
Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA
dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu dengan menarik garis lurus antara posisi
pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin diukur dengan posisi pita DNA
marker, dapat mengestimasi ukuran sampel DNA karena ukuran DNA pengukur
telah diketahui.
Genotyping
PCR-RFLP dilakukan dengan menggunakan lima μl produk PCR
dipindahkan ke dalam tabung 0,5 ml yang ditambahkan 1 µl DW, 0,3 µl enzim
restriksi EcoRI dan 0,7 µl buffer EcoRI. Campuran tersebut diinkubasikan dalam
inkubator pada suhu

37 °C selama 16 jam. Sampel DNA yang telah dipotong

dengan enzim restriksi dielektroforesis pada gel agarose 2% pada tegangan 100 volt
selama 30 menit. Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk melihat
panjang pita DNA dengan menggunakan sinar ultraviolet dan dibandingkan dengan
marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel
dibandingkan untuk menentukan genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama
dianggap sebagai satu tipe atau alel. DNA yang tampak seperti pita difoto untuk
diabadikan susunan pita-pitanya. Genotiping menutrut Wojdak et al. (2006)

sepanjang 301 pb, 201 pb dan 100 pb. Alel A pada fragmen 301 pb, sedangkan alel B
pada fragmen 201 pb dan 100 pb. Genotipe AA ditunjukkan dengan hanya
ditemukan satu fragmen 301 pb, genotip BB ditunjukkan dengan ditemukan tiga
fragmen yaitu 301 pb, 201 pb, dan 100 pb, sedangkan untuk genotipe AB terdapat
dua fragmen yaitu 201 pb, dan 100 pb.
Rancangan
Frekuensi Alel dan Genotipe
Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap
jumlah populasi. Keragaman genotipe pada masing-masing individu ternak dapat
ditentukan melalui pita-pita DNA yang ditemukan. Frekuensi genotipe dapat
diketahui dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe tertentu pada setiap
populasi, dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada
suatu lokus dalam populasi. Frekuensi alel ( ) gen laktoferin dapat dihitung
berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000), sebagai berikut :

Keterangan :
= frekuensi genotipe ke-ii
nii
nij
N

= frekuensi alel ke-i
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu bergenotipe ij
= jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan ChiKuadrat (Hartl dan Clark, 1997) :

Keterangan:
χ2
= chi-kuadrat
O
= jumlah pengamatan genotipe ke-i
E
= jumlah harapan genotipe ke-i

Derajat bebas (db) dihitung berdasarkan Allendrof dan Luikart (2007) dengan
menggunakan rumus:
Db = (Genotipe-1) – (Alel -1)
Heterozigositas
Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas
pengamatan yang diperoleh dari masing-masing populasi, dengan menggunakan
rumus Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan :
Ho
= heterozigositas pengamatan (populasi)
nij
= jumlah individu heterozigot
N
= jumlah individu yang diamati

Heterozigositas

harapan

(He)

berdasarkan

frekuensi

menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Keterangan :
He
= nilai heterozigositas harapan
= frekuensi alel homozigot
q
= jumlah alel

alel

dihitung

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen LTF EcoRI
Proses amplifikasi gen LTF EcoRI pada sapi Friesian Holstein (FH) di Balai
Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari
dan Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang dilakukan dengan metode Polymerase
Chain

Reaction

(PCR).

Pasangan

primer

yang

digunakan

berdasarkan

Wojdak et al. (2006) yaitu dengan forward 5´-GCC TCA TGA CAA CTC CCA
CAC-3´ dan reverse 3´-CAG GTT GAC ACA TCG GTT GAC-5´. Amplifikasi gen
LTF EcoRI berhasil 100% (126/126) untuk semua sampel yang diteliti.
Amplifikasi gen LTF EcoRI menggunakan mesin Thermal Cycler pada
kondisi annealing 60 oC selama 45 detik sehingga diperoleh produk PCR dengan
panjang 301 pasang basa (pb). Suhu annealing menentukan keberhasilan amplifikasi
karena proses pemanjangan DNA dimulai dari primer. Suhu annealing yang
digunakan pada penelitian ini berdasarkan penelitian Chang-hong et al. (2008) yaitu
60 oC selama 45 detik. Namun hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Wojdak et al. (2006) yang menggunakan suhu 65 oC. Namun perbedaan suhu
tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil amplifikasi. Hasil amplifikasi
fragmen gen LTF EcoRI sepanjang 301 pb pada gel agarose 1,5% disajikan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Amplifikasi Gen LTF EcoRI Sapi FH dengan Metode PCR. M
(marker) dan 1-9 (sampel sapi FH)

Faktor-faktor yang menyebabkan berhasilnya amplifikasi gen LTF EcoRI
diantaranya adalah kondisi penempelan primer DNA genom (gen target), bahan
pereaksi PCR dan kondisi mesin PCR (thermal cycler). Viljoen et al. (2005)
menyatakan bahwa beberapa hal umum dilakukan untuk optimasi hasil PCR
diantaranya adalah suhu annealing (penempelan primer), konsentgrasi Mg2+,
konsentrasi primer, dan konsentrasi DNA target. Posisi penempelan primer pada
sekuen gen LTF EcoRI (Gen Bank Nomor Akses L19986.1) disajikan pada
Gambar 4.

3241
3301
3061
3121
3181
3241
3301
3361
3421
3481
3541

aaaaaaactc aatatcccac
aaaacagtac tttattttgt
attggccact ttggccctgc
ccaatagcat tgacttttat
taaatgctca attaatgtaa
aaaaaaactc aatatcccac
aaaacagtac tttattttgt
gctgtcaagc aaacaaggtg
aaatttctta aactccatat
ttcccaggct gccagtatca
aattctgcat atatcaggtc

Forward
ataaggtcac ttaacatagc ctcatgacaa
aaattttgac cattattact cccatgttat
tggcatatgt ttgggggtct tcatttattt
tcattcatgt taagtcacct gaaatggtat
atggctgaac aaatccattt taatggatat
ataaggtcac ttaacatagc ctcatgacaa
aaattttgac cattattact cccatgttat
aagaaaaaat ttagttagat gggggttgca
acatgtttca aatctgctgg gtcccaagtc
tatgcagcat actaaagcta cgctatctga
aaccgatgtg tcaacctgta acagactgcg
Reverse

ctcccacacc
ggtcttttca
attttttaat
ctgttgcatt
tcaatccatt
ctcccacacc
ggtcttttca
cctggaaaat
catctatgaa
atagcttatt
acacttttaa

Keterangan:
Terjadi Mutasi pada Situs Pemotongan Enzin Restriksi EcoRI (gaattc) pada Posisi 3419 (Intron 6)
Alel A
: 5‟…….CATCTATGATTTCCCAGGCT…..3‟
Alel B
: 5‟…….CATCTATGAATTCCCAGGCT…..3‟

Gambar 4. Posisi Penempelan Primer (Cetak Tebal) pada Sekuen Gen LTF EcoRI
(Gen Bank Nomor Akses L19986.1)
Pendeteksian Keragaman Gen LTF EcoRI
Pendeteksian keragaman gen LTF EcoRI pada sapi FH menggunakan metode
Polymerase Chain Reaction-Restricsion Fragment Length Polymorphism (PCRRFLP). Proses pemotongan gen digunakan enzim restriksi EcoRI yang mengenali
situs pemotongan 5‟….G*AATTC…3‟. Produk PCR yang telah dipotong
menggunakan enzim restriksi EcoRI menghasilkan tiga macam fragmen dengan
panjang 100 pb, 201 pb. dan 301 pb (Gambar 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan
Wojdak et al. (2006) bahwa terdapat 3 fragmen, yaitu 301 pb untuk alel A dan 201
pb dan 100 pb untuk alel B.

Gambar 5. Pola Pita Gen LTF EcoRI Sapi FH pada Gel Agarose 2% dengan Enzim
Restriksi EcoRI. AA(1, 2, 5, dan 6), AB (3, 4, 7 dan 8), M (marker)
Keragaman gen pada sapi FH di ketiga lokasi tersebut terjadi akibat mutasi.
Mutasi adalah suatu perubahan struktur kimia gen yang berakibat perubahan fungsi
gen. Mutasi yang terjadi pada penelitian ini adalah mutasi subtitusi yaitu perubahan
basa antar basa-purin (A-G) atau basa pirimidin (T-C) (Gambar 4).
Jumlah sapi FH dan sapi pedaging dengan genotipe tertentu gen LTF EcoRI
untuk setiap lokasi pengamatan diilustrasikan pada Gambar 6.
29

30

Jumlah Sapi

25

AA

20

AB

16 16
13

15

11
8

10
5

4
0

0

0

BB

10
6

5
0

0

3
0

0

3 2

0

0
FH BIB
(Jantan)

FH
FH BET Limosin Angus Simental Brahman
BBIB (Betina)
BET
BET
BET
BET
(Jantan)
(Betina) (Betina) (Betina) (Betina)

Bangsa dan Lokasi

Keterangan: BIB: Lembang, BBIB: Singosari, dan BET: Cipelang

Gambar 6. Jumlah Sapi FH dan Sapi Pedaging dengan Genotipe Tertentu Gen
LTF EcoRI Berdasarkan Lokasi

Alel yang muncul pada sapi FH di BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET
Cipelang adalah alel A dan alel B. Genotipe yang ditemukan untuk ketiga lokasi
tersebut adalah AA dan AB, sebaliknya tidak ditemukan genotipe BB. Sapi yang
bergenotipe AA akan lebih tinggi kandungan laktoferinnya dibandingkan dengan
sapi yang bergenotipe AB atau BB, sehingga sapi yang bergenotipe AA lebih
dipertahankan untuk dikembangbiakan. Menurut Lee et al. (1997) kadar laktoferin
sangat nyata dipengaruhi oleh faktor genetik dan gen laktoferin dikontrol oleh dua
alel A dan B, individu bergenotipe AA mempunyai kadar laktoferin lebih tinggi dari
AB dan BB.
Frekuensi Genotip dan Alel Gen LTF EcoRI
Nilai frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen LTF EcoRI populasi sapi di
BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang dapat dilihat secara lengkap pada
Tabel 1.
Tabel 1.

Nilai Frekuensi Genotipe dan Alel Gen LTF EcoRI Sapi dari BIB
Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang

Bangsa/Populasi

Genotipe

Alel

AA

AB

BB

A

B

FH BIB Lembang (17)

(4) 0,24

(13) 0,76

(0) 0,00

0,62

0,38

FH BBIB Singosari (32)

(16) 0,50

(16) 0,50

(0) 0,00

0,75

0,25

FH BET Cipelang (40)

(29) 0,72

(11) 0,28

(0) 0,00

0,86

0,14

(49) 0,55

(40) 0,45

(0) 0,00

0,77

0,23

Limosin (14) BET Cipelang

(8) 0,57

(6) 0,43

(0) 0,00

0,79

0,21

Angus

(5) BET Cipelang

(0) 0,00

(5) 1,00

(0) 0,00

0,50

0,50

Simental (13) BET Cipelang

(3) 0,23

(10) 0,77

(0) 0,00

0,62

0,38

Brahman (5) BET Cipelang

(3) 0,60

(2) 0,40

(0) 0,00

0,80

0,20

Sub total

(14) 0,38

(23) 0,62

(0) 0,00

0,69

0,31

Total (126)

(63) 0,50

(63) 0,50

(0) 0,00

0,75

0,25

Sub total

Keterangan : (..) = jumlah sapi

Tabel 1 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe total dari sapi FH
pengamatan

sebesar 0,55 untuk genotipe AA dan 0,45 untuk genotipe AB,

sedangkan genotipe BB bernilai 0. Hal demikian juga terjadi pada sapi pedaging,
hasil amplifikasi gen laktoferin tidak ditemukan sapi yang bergenotipe BB. Tidak

ditemukannya genotipe BB diduga karena jantan atau betina yang dipakai lebih
banyak membawa genotipe AA dan AB dibandingkan dengan genotipe BB.
Nilai frekuensi genotipe AA tertinggi terdapat pada sapi FH di BET Cipelang
sebesar 0,72, sedangkan frekuensi genotipe AB tertinggi terdapat pada sapi FH di
BIB Lembang sebesar 0,76. Nilai frekuensi genotipe pada sapi pedaging untuk
genotipe AA, paling tinggi nilainya terdapat pada sapi Brahman di BET Cipelang
sebesar 0,60; dan sapi bergenotipe AB tertinggi terdapat pada sapi Angus sebesar
1,00. Frekuensi genotipe total untuk sapi FH dengan sapi pedaging berbanding
terbalik, dimana pada sapi FH nilai frekuensi genotipe AA lebih besar dibandingkan
dengan frekuensi genotipe AB, sedangkan pada sapi pedaging nilai frekuensi
genotipe AB lebih besar dibandingkan dengan frekuensi genotipe AA. Total
frekuensi genotipe AA dan AB untuk ketiga lokasi mempunyai proporsi yang sama,
yaitu masing-masing 0,5.
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau
jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi
(Nei dan Kumar, 2000). Sapi FH pada ketiga lokasi mempunyai frekuensi alel A
yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B. Hal ini juga terlihat pada sapi
pedaging bangsa Limosin, Angus, Simental dan Brahman yang digunakan sebagai
pembanding. Frekuensi alel A dan B sapi FH pengamatan yaitu 0,77 dan 0,23. Hasil
penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya oleh Wojdak et al.
(2006), yang memperoleh bahwa sapi FH Polandia ditemukan alel A dan alel B
dengan frekuensi alelnya masing-masing sebesar 67,74% dan 32,58%. Hal tersebut
tidak berbeda dengan sapi pedaging, namun pada sapi Angus nilai frekuensi alel A
dan B memiliki proporsi yang sama yaitu 0,5 dan 0,5.
Frekuensi alel A untuk sapi FH berkisar antara 0,617-0,863 dan alel B antara
0,138-0,382. Sedangkan frekuensi alel untuk sapi pedaging berkisar antara 0,5-0,8
dan alel B antara 0,2-0,5. Nei (1987) menyatakan bahwa suatu alel dinyatakan
polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hal ini
berarti bahwa gen LTF EcoRI pada populasi sapi FH di BIB Lembang, BBIB
Singosari dan BET Cipelang serta sapi pedaging di BET Cipelang bersifat polimorfik
(beragam).

Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen LTF EcoRI
Hukum Hardy-Weinberg (HW) menggambarkan keseimbangan suatu lokus
dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari
faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi
dan pergeseran genetik (Gillespie, 1998). Noor (2000) juga menyatakan bahwa
hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup
besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi dan
genetic drift. Hasil pengujian keseimbangan HW gen LTF EcoRI pada sapi di lokasi
BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji Hasil Uji Signifikasi χ2 Keseimbangan Hardy-Weinberg Gen LTF
EcoRI
Bangsa

Populasi

χ2 hitung

FH

BIB Lembang

6,51 td

BBIB Singosari

3,56 td

BET Cipelang

1,02 td

Limosin

BET Cipelang

1,04 td

Angus

BET Cipelang

5,00 td

Simental

BET Cipelang

5,08 td

Brahman

BET Cipelang

0,31 td

Keterangan: td = tidak dapat dianalisis

Tabel 2 memperlihatkan bahwa pada sapi FH di ketiga lokasi,
keseimbangan HW tidak dapat dihitung atau dianalisis. Begitu juga pada sapi
pedaging di BET Cipelang. Hal ini dikarenakan derajat bebas χ2 bernilai nol yang
disebabkan pada hasil analisis genotipe hanya terdapat 2 macam genotipe dan 2
macam alel. Menurut Allendrof dan Luikart (2007), derajat bebas χ2 merupakan hasil
pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel.
Chang-hong et al. (2008) melaporkan pada sapi perah di Xinjiang Shihezi
berada pada ketidakseimbangan HW (P