Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae)

PENGARUH UMUR CENDAWAN Beauveria bassiana
(BALSAMO) VUILLEMIN TERHADAP INFEKTIFITASNYA
PADA Cylas formicarius FABRICIUS
(COLEOPTERA: BRENTIDAE)

INDRI AHDIATY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK

INDRI AHDIATY. Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera:
Brentidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO.
Cylas formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar di Indonesia.
Hama ini dapat dikendalikan dengan menggunakan cendawan entomopatogen
Beauveria bassiana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari tingkat

inefektifitas cendawan B. bassiana dengan umur yang berbeda terhadap hama C.
formicarius. Konidia dari biakan cendawan berumur 13, 36 dan 48 hari
disemprotkan kepada imago C. formicarius. Kerapatan 105, 106 dan 107
konidia/ml dari setiap umur biakan cendawan diaplikasikan kepada 15 ekor
serangga per perlakuan dengan 4 ulangan. Mortalitas harian dicatat. Mortalitas
kumulatif pada hari ke-10 setelah perlakuan tidak berbeda nyata di antara 3
kerapatan konidia, kecuali pada kultur umur 36 hari, yang mencapai 45%
mortalitas pada kerapatan 10 7 konidia/ml. Dengan kerapatan konidia yang sama,
baik kultur umur 13 dan 48 hari, menyebabkan mortalitas sebesar 35%.
Rendahnya mortalitas diduga karena daya kecambah konidia yang rendah.
Persentase daya kecambah yang didapatkan 25,7% (kultur 13 hari), 33,5% (kultur
36 hari) dan 48,6% (kultur 48 hari).
Kata kunci: Cylas formicarius, Beauveria bassiana, mortalitas, daya kecambah,
infektivitas, konsentrasi

ABSTRACT

INDRI AHDIATY. Effect of Age Culture of Entomopathogenic Fungi Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin to The Infectivity against Cylas formicarius
Fabricius (Coleoptera: Brentidae). Guided by TEGUH SANTOSO.

Cylas formicarius is a main pest of sweet potatoes in Indonesia. This pest
can be managed by using entomopathogenic fungi Beauveria bassiana. The aims
of the research were to study the level of infectivity of different ages of B.
bassiana against C. formicarius. The conidia of fungal culture of 13, 36 and 48
days old were sprayed to the adult of C. formicarius. The conidial density of 10 5,
106 and 107 spores/ml of each culture were applied to 15 insects/batch with 4
replicates. Daily mortality was recorded. Cumulative mortality on 10 days post
treatment were not different significantly between 3 conidial density, except the
culture of 36 days old, wich reached 45% mortality by 10 7 conidial density/ml.
Using the same conidial density, both 13 and 48 days old culture gave 35%
mortality. The low mortality was thought to be under influence of the low
germination rate of the conidia. The percentage of spore germination were 25,7%
(13 days culture), 33,5% (36 days culture) and 48,6% (48 days culture).
Keyword: Beauveria bassiana, Cylas formicarius, mortality, germination,
infectivity, concentration

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGARUH UMUR CENDAWAN Beauveria bassiana
(BALSAMO) VUILLEMIN TERHADAP INFEKTIVITASNYA
PADA Cylas formicarius FABRICIUS
(COLEOPTERA: BRENTIDAE)

INDRI AHDIATY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul skripsi : Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius
Fabricius (Coleoptera: Brentidae)
Nama
: Indri Ahdiaty
NIM
: A34061338

Disetujui oleh,

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA.
Pembimbing

Diketahui oleh,


Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
Ketua Departemen

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir skripsi yang berjudul “Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin terhadap Infektifitasnya kepada Cylas formicarius
(Fabricius) (Coleoptera: Brentidae)”. Penelitian dilakukan di Laboratorium
Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor mulai Januari 2012 sampai Agustus 2012.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku dosen
pembimbing skripsi, Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc selaku dosen pembimbing
akademik, dan Dr. Ir. Supramana, M.Si selaku dosen penguji tamu. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama
penulis melakukan dan menyelesaikan penelitian skripsi, antara lain:

1. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Proteksi Tanaman atas segala
bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama penulis
menuntut ilmu di IPB.
2. Keluarga tercinta ayah R. Adhy Prabowo, ibu Oting Imayana, dan adikadik Ismi Azizah, Inny Aisyah dan Imam Adib Nugroho untuk semua
kasih sayang, dukungan, semangat dan doanya.
3. Ayu, Aisah, Ulfa, Dilah, Yeyen, Faishol, Ira dan teman-teman PTN 43
lainnya yg tidak bisa disebutkan satu per satu. Ponahers Sheila, Yuli,
Erni, Sifa, Irma, Dola, Evi, dan Sabrina atas dukungan selama ini.
4. Dolpina, Lutfi, Tia dan Leli atas semua bantuan yang telah diberikan dan
para pegawai Departemen Proteksi Tanaman yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang telah membantu pada saat penelitian.
Pada laporan akhir skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Hal
tersebut sangat disadari oleh penulis. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan laporan akhir skripsi ini.
Akhirnya, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan orangorang yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2013

Indri Ahdiaty


DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Perbanyakan dan Pemeliharaan Serangga Uji
Perbanyakan Isolat B. bassiana
Penyiapan Suspensi Cendawan
Perlakuan Serangga Uji
Penghitungan Daya Kecambah
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas Imago C. formicarius oleh B. bassiana
Pengaruh Umur Biakan B. bassiana terhadap Daya Kecambah
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

Halaman
viii
1
1
2
2
3
3
3
4
4
5
5
6
7
7

10
13
13
13
14
16

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Wadah Plastik tempat perbanyakan dan pemeliharaan serangga uji
Cylas formicarius
2. Biakan cendawan B. bassiana dalam cawan petri dengan media PDA
3. Suspensi cendawan B. bassiana yang diletakkan di dalam alat semprot
4. Wadah plastik beralaskan kertas tisu yang berisi potongan umbi dan
imago C. formicarius
5. C. formicarius terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti
oleh hifa cendawan (tanda panah), A) tampak dari bagian dorsal, B)
tampak dari bagian ventral
6. Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
13 hari selama 10 hari pengamatan

7. Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
36 hari selama 10 hari pengamatan
8. Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
48 hari selama 10 hari pengamatan
9. Daya kecambah cendawan B. bassiana 10 jam setelah inkubasi
10. Tabung kecambah B. bassiana 10 jam setelah inkubasi

3
4
4
5

7
9
9
10
11
11

PENDAHULUAN


Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas bahan
makanan pokok penghasil karbohidrat urutan ke tujuh di dunia setelah gandum,
padi, jagung, kentang, barley, dan ketela pohon (FAO 1990). Ubi jalar di
Indonesia merupakan komoditas pangan yang penting setelah padi dan jagung.
Ubi jalar merupakan salah satu tanaman yang digunakan untuk diversifikasi
pangan. Produktivitas ubi jalar menunjukkan peningkatan dari 101 ku/ha pada
tahun 2003 hingga 135 ku/ha pada tahun 2012 (BPS 2013). Selain itu ubi jalar
digunakan juga sebagai bahan baku industri.
Ubi jalar banyak dibudidayakan pada lahan tegalan, kebun, pekarangan,
ataupun tumpang sari dengan tanaman lain. Walaupun tanaman ini mudah
dibudidayakan namun petani banyak mengalami hambatan terutama dari sektor
hama dan penyakit. Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) merupakan
hama utama pada ubi jalar dan tersebar di seluruh dunia (Capinera 1998). C.
formicarius dikenal juga dengan nama hama boleng. Menurut Nonci (2005)
kehilangan hasil akibat hama boleng dalam budidaya ubi jalar di Indonesia
diperkirakan mencapai 60-90%. Kerusakan kecil pun pada umbi menyebabkan
umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid yang membuat
umbi menjadi pahit rasanya (Sato et al 1982).
Saat ini pengendalian hama dengan menggunakan pestisida sintetik masih
sering dilakukan oleh para petani. Penggunaan pestisida sintetik tersebut
menimbulkan berbagai masalah seperti keracunan pada manusia dan rusaknya
lingkungan hidup. Pengendalian hama boleng dengan pestisida sendiri sukar
dilakukan karena sebagian besar siklus hidup C. formicarius berada dalam umbi
(Jansson et al. 1990). Pengendalian hayati merupakan salah satu cara untuk
mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida kimia.
Pengendalian hayati didefinisikan sebagai penggunaan parasitoid, predator,
patogen, agens antagonis untuk menekan populasi hama (Norris et al. 2003).
Beberapa musuh alami telah diketahui kegunaannya dalam pengendalian
hama di antaranya adalah cendawan entomopatogen. Cendawan yang bersifat
entomopatogen telah banyak ditemukan pada berbagai jenis hama tanaman. Salah
satu cendawan entomopatogen yang sering digunakan adalah Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin. B. bassiana memiliki kisaran inang yang luas. Studi
laboratorium dan lapangan menunjukkan B. bassiana efektif terhadap berbagai
hama tanaman maupun hama dalam penyimpanan (Hansen dan Steenberg 2007).
Cukup banyak penelitian yang menunjukkan keefektifan B. bassiana untuk
mengendalikan C. formicarius (Capinera 1998; Bari 2006; Rosfiansyah 2009;
Ratissa 2011). Pada umumnya, umur cendawan yang digunakan dalam penelitian
adalah 21 hari (Bari 2006; Rosfiansyah 2009; Faishol 2011). Pengaruh umur
biakan cendawan belum diteliti dalam hubungannya dengan infektivitasnya
terhadap serangga. Hal ini penting dilakukan untuk lebih mengefisienkan biakan
cendawan yang telah diperoleh. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji keefektifan cendawan B. bassiana pada berbagai umur.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari tingkat infektivitas cendawan B.
bassiana dengan umur yang berbeda terhadap hama C. formicarius pada ubi jalar.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan adalah informasi tentang umur biakan cendawan
B. bassiana yang efektif dalam pengendalian hama C. formicarius.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen
Proteksi Tanaman Faperta Institut Pertanian Bogor mulai Januari 2012 sampai
Agustus 2012.

Perbanyakan dan Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga C. formicarius didapatkan dari umbi yang menunjukkan gejala
serangan hama boleng yang diperoleh dari pasar di sekitar Bogor. Umbi yang
menunjukkan gejala serangan tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik
berbentuk slinder berdiameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Tutup wadah plastik
tersebut dibuang sebagian dan diganti dengan kain kasa (Gambar 1).

Gambar 1 Wadah plastik tempat pemeliharaan Cylas formicarius.

Umbi dalam wadah plastik ditempatkan pada ruang gelap sampai imago C.
formicarius bermunculan. Imago yang bermunculan tersebut diambil dan
dipindahkan ke wadah plastik lainnya yang berisi umbi segar. Umbi segar tersebut
berfungsi sebagai pakan dan tempat meletakkan telur bagi imago C. formicarius.
Umbi segar yang telah terserang C. formicarius dipindahkan ke wadah
plastik yang lain. Kelembaban di dalam wadah plastik tersebut dijaga dengan cara
mengelap permukaan dalam wadah plastik yang basah atau lembab dengan tisu.
Umbi tersebut kemudian didiamkan hingga imago yang baru bermunculan. Imago
baru yang bermunculan tersebut dikumpulkan dan dipisahkan berdasarkan hari
kemunculannya. Imago yang digunakan sebagai serangga uji berumur maksimal
15 hari.

4
Perbanyakan Isolat B. bassiana
Isolat cendawan B. bassiana yang digunakan berasal dari koleksi
Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB. Cendawan
diisolasi dan ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) pada cawan
petri berukuran 100 mm x 20 mm (Gambar 2). Komposisi media PDA adalah
kentang 200 g, agar-agar 14 g, dextrose 10 g, chloramphenicol 1 g, dan akuades 1
l. Cendawan yang telah diinokulasi dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
±23˚C.

Gambar 2 Biakan cendawan B. bassiana dalam cawan petri dengan media PDA.

Penyiapan Suspensi Cendawan
Biakan B. bassiana yang telah berumur masing-masing 13, 36 dan 48 hari
dikeluarkan dari inkubator. Cendawan yang tumbuh beserta media diambil dengan
spatula. Cendawan dengan medianya tersebut lalu digerus dengan menggunakan
mortar sampai hancur dan halus kemudian diberi akuades steril yang telah
ditambahkan larutan Tween20 sebanyak 0,025 ml per 50 ml air. Hasil
penghancuran kemudian disaring menggunakan kain steril dan dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer berukuran 100 ml. Kerapatan media dihitung dengan
menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Kerapatan konidia yang
digunakan adalah 10 5 konidia/ml, 106 konidia/ml dan 107 konidia/ml. Suspensi
tersebut dimasukkan ke dalam alat semprot parfum (Gambar 3).

Gambar 3 Suspensi cendawan B. bassiana yang diletakkan di dalam alat semprot.

5
Perlakuan Serangga Uji
Imago C. formicarius dipisahkan masing-masing sebanyak 15 ekor. Pada
saat perlakuan, serangga dikeluarkan dan ditaruh dalam cawan petri berukuran
diameter 150 mm tinggi 25 mm. Suspensi cendawan yang telah dibuat diencerkan
berseri (105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 107 konidia/ml). Suspensi tersebut
diaplikasikan kepada serangga uji dengan cara disemprotkan ke serangga yang
berada dalam cawan petri sebanyak 1 ml volume semprot. Alat yang digunakan
adalah alat semprot atau sprayer parfum. Masing-masing perlakuan diulang empat
kali. Perlakuan kontrol dilakukan dengan menyemprotkan air steril. Setelah
disemprot, serangga dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran tinggi 100
mm diameter 60 mm yang telah dialasi tisu dan diberi potongan umbi segar
sebagai pakan (Gambar 4). Wadah tersebut diletakkan di atas meja laboratorium
dengan suhu ruang untuk mempermudah pengamatan.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 10 hari dengan mencatat jumlah
imago yang mati pada masing-masing konsentrasi. Untuk menjaga kelembaban
dalam wadah plastik, setiap hari disemprotkan air steril ke kertas tisu. Imago yang
terinfeksi umumnya akan memperlihatkan miselia putih yang tumbuh keluar
tubuh imago.

Gambar 4 Wadah plastik beralaskan kertas tisu yang berisi potongan umbi dan
imago C. formicarius.

Penghitungan Daya Kecambah
Cendawan yang berumur 13, 36 dan 48 hari dan medianya diambil dan
dihancurkan dalam akuades 250 ml dengan menggunakan mortar tanpa
ditambahkan perata Tween 20. Pengamatan daya kecambah dilakukan setelah
suspensi konidia B. bassiana diinkubasi di dalam akuades steril selama 10 jam
pada suhu kamar. Penghitungan daya kecambah dilakukan secara langsung
menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Pengamatan kerapatan konidia
dan pengamatan daya kecambah dilakukan di bawah mikroskop compound
dengan perbesaran 40 x 10. Pengambilan contoh daya kecambah sama dengan
pengambilan contoh pada penghitungan kerapatan konidia.

6
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data diolah
dengan menggunakan Microsoft Exel 2007 dan dianalisis dengan program SAS
ver 9.1. Bila terdapat perbedaan di antara perlakuan yang diuji maka dilakukan uji
lanjut dengan uji selang ganda Duncan α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas Imago C. formicarius oleh B. bassiana
Mortalitas pada C. formicarius umumnya sudah terjadi pada hari pertama
setelah aplikasi. C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana dan mati
tubuhnya akan kaku dan ditumbuhi oleh miselia berwarna putih (Gambar 5).
Cendawan keluar dari tubuh imago yang mati 2-3 hari setelah inkubasi. Menurut
Santoso (1993) proses infeksi inang terjadi setelah konidia kontak dengan tubuh
inang dan berkecambah membentuk hifa penetrasi yang akan menembus tubuh
inang. Miselia cendawan yang berwarna putih akan menembus kutikula dan
keluar dari tubuh serangga pada bagian yang lebih mudah ditembus seperti ruasruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Pada
prosesnya, cendawan tidak selalu tumbuh keluar menembus integumen serangga.
Apabila keadaan kurang mendukung, cendawan hanya akan berada di dalam
tubuh serangga.

Gambar 5 C. formicarius terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti
oleh hifa cendawan (tanda panah), A) tampak dari bagian dorsal, B)
tampak dari bagian ventral.

Secara umum kecepatan infeksi cendawan untuk mengakibatkan kematian
pada C. formicarius dipengaruhi oleh banyaknya konidia atau kerapatan konidia.
Semakin rapat konidia yang digunakan semakin cepat menginfeksi dan
mematikan C. formicarius. Akan tetapi dari data yang diperoleh hanya pada
cendawan berumur 36 hari yang paling tinggi mortalitasnya pada kerapatan
konidia 107/ml. Pada cendawan berumur 13 dan 48 hari rata-rata mortalitas
tertinggi didapatkan pada kerapatan konidia 10 6/ml yaitu berturut-turut 50% dan
38,33% (Tabel 1). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemilihan konsentrasi
yang kurang tepat pada saat perlakuan sehingga tidak terlalu memberikan
perbedaan efek pada hasil.

8
Tabel 1 Persentase mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah
perlakuan cendawan B. bassiana
Kerapatan
konidia/ml
0
105
106
107

Rata-rata mortalitas ± SD (%)1
13 hari
36 hari
48 hari
0.00 ± 0.00b
0.00 ± 0.00c
0.00 ± 0.00b
31.67 ± 18.36a
31.67 ± 8.39ab
21.67 ± 8.39ab
50.00 ± 8.61a
23.33 ± 12.77b
38.33 ± 3.33a
35.00 ± 11.39a
45.00 ± 20.64a
35.00 ± 27.95a

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
Duncan dengan taraf nyata 5%.

Mortalitas tertinggi didapatkan oleh cendawan umur 13 hari dengan
kerapatan konidia 10 6/ml sebesar 50%. Akan tetapi nilai tersebut tidak berbeda
nyata dengan kerapatan lainnya di umur yang sama yaitu 31,67% pada kerapatan
konidia 105/ml dan 35% pada kerapatan konidia 10 7/ml dan berbeda nyata pada
kontrol. Pada cendawan umur 36 hari terlihat adanya perbedaan nyata pada setiap
kerapatan konidia, yaitu 31,67% pada kerapatan konidia 10 5/ml, 23,33% pada
kerapatan konidia 106/ml dan 45% pada kerapatan konidia 10 7/ml. Mortalitas
tidak berbeda nyata pada cendawan umur 48 hari kerapatan konidia 10 6/ml dan
107/ml, yaitu masing-masing 38,33% dan 35%. Nilai tersebut berbeda nyata
dengan kerapatan 10 5/ml pada umur 48 hari sebesar 21,67% dan kontrolnya
sebesar 0%.
Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. formicarius yang disebabkan
oleh B. bassiana dapat hampir mencapai 100%, sedangkan Faishol (2011)
melaporkan adanya penurunan virulensi cendawan yakni mortalitas hanya
mencapai kurang lebih 28,75% pada kerapatan konidia 10 7/ml. Ratissa (2011)
mendapatkan mortalitas sekitar 36,65% pada kerapatan konidia yang sama.
Mortalitas yang didapatkan ternyata tidak berbeda jauh dengan hasil yang
didapatkan Ratissa yaitu 35% pada cendawan berumur 13 dan 48 hari dan 45%
pada cendawan berumur 36 hari pada kerapatan konidia 10 7/ml. Menurut
Capinera (1998) B. bassiana dapat menyebabkan kematian yang besar pada
kondisi kelembaban yang tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi.
Perbedaan data yang diperoleh bisa terjadi karena berbagai faktor kemungkinan
seperti penurunan virulensi cendawan, masalah perkecambahan konidia, ataupun
kondisi lingkungan.
Peningkatan mortalitas selama 10 hari yang ditunjukkan dengan
kemiringan garis regresi berlangsung lambat pada hampir semua perlakuan, akan
tetapi berlangsung agak cepat pada kerapatan konidia 10 6/ml umur 13 hari
(Gambar 6) dan 48 hari (Gambar 7) dan kerapatan konidia 10 7/ml cendawan
berumur 36 hari (Gambar 8). Pada tiap kerapatan konidia, baik pada umur 13, 36
maupun 48 hari secara umum diperoleh garis regresi dengan nilai R ≥ 90%,
kecuali untuk kerapatan konidia 10 5/ml pada cendawan umur 13 hari (R =
78,69%) dan cendawan umur 36 hari (R = 89,85%). Hal ini menjelaskan bahwa
efek infeksi cendawan memang berpengaruh nyata terhadap mortalitas serangga
inang.

9
Kerapatan konidia 105/ml

80

60
40

20

Kerapatan konidia 106/ml

100
Kematian (%)

Kematian (%)

100

y = 3,04x - 6,56
R² = 78,69%

80
y = 5,34x - 2,22
R² = 94%

60
40
20
0

0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

Kematian (%)

100
80
60
40
20
0

y = 3,18x + 4,67
R² = 94,52%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 6 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
13 hari selama 10 hari pengamatan.
Kerapatan konidia 105/ml

80
60
40
20

y = 3,20x - 4,44
R² = 89,85%

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kematian (%)

100
80
60
40
20
0

Kerapatan konidia 106/ml

100
80
60
40
20
0

Kematian (%)

Kematian (%)

100

y = 1,78x + 4,22
R² = 91,67%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

y = 4,70x - 2,67
R² = 94,84%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 7 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
36 hari selama 10 hari pengamatan.

10

Kerapatan konidia 105/ml
80

80

60
40
20

y = 1,56x + 3,44
R² = 92,61%

0

Kematian (%)

100

Kematian (%)

100

Kerapatan konidia 106/ml

60

y = 4,61x - 6,67
R² = 96,41%

40
20
0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kematian (%)

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

80
60
40

y = 3,06x + 6
R² = 97,93%

20
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 8 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
48 hari selama 10 hari pengamatan.
Pada kerapatan konidia 10 5/ml didapatkan mortalitas kumulatif pada
cendawan 13 hari sebesar 31,67%, cendawan 36 hari sebesar 31,67% dan
cendawan 48 hari sebesar 21,67%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
mortalitas kumulatif sama besar pada cendawan umur 13 dan 36 hari. Sedangkan
pada umur cendawan 48 hari mortalitas kumulatifnya menurun. Pada kerapatan
konidia 106/ml mortalitas kumulatifnya sebesar 50% pada cendawan umur 13
hari, 23,33% pada cendawan umur 36 hari dan 38,33% pada cendawan umur 48
hari. Pada cendawan umur 13 hari dan 48 hari mortalitas kumulatifnya cukup
besar. Hanya saja pada umur 36 hari mortalitas kumulatifnya kecil. Hal ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti jumlah konidia yang digunakan pada saat
perlakuan. Pada kerapatan konidia 10 7/ml umur 13 hari mortalitas kumulatifnya
sebesar 35%, pada umur 36 hari sebesar 45% dan pada umur 48 hari sebesar 35%.
Pada kerapatan ini mortalitas kumulatif pada umur 13 dan 48 hari sama besarnya
sedangkan pada umur 36 hari justru mortalitas kumulatifnya lebih tinggi.

Pengaruh Umur Biakan B. bassiana terhadap Daya Kecambah
Data yang diperoleh menunjukkan persentrase perkecambahan yang
meningkat sesuai bertambahnya umur cendawan yaitu 25,73% pada umur 13 hari,
33,48% pada umur 36 hari dan 48,57% pada 48 hari. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan persentase daya kecambah sesuai dengan bertambahnya umur

11
cendawan. Akan tetapi persentase daya kecambah tersebut tidak ada yang
mencapai 50%. Tandiabang et al. (2005) menyatakan daya kecambah pada
cendawan B. bassiana berumur 12 hari sebesar 95%, 1 bulan sebesar 90,6% dan
pada umur 2 bulan sebesar 98,83%. Kassa (2003) menyatakan bahwa daya
kecambah konidia cendawan entomopatogen yang digunakan sebagai agens hayati
minimal harus 80% sedangkan Liu et al. (2003) menyarankan minimal 90%.
Dalam percobaan kemungkinan cendawan yang digunakan telah mengalami
penurunan daya kecambah. Cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu
kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya
penurunan daya kecambah. Penggunaan cendawan yang telah lama seharusnya
dilakukan proses reinfeksi ulang terhadap serangga uji kemudian diisolasi kembali
(Soenartiningsih et al. 1999).

daya kecambah (%)

100

80
60
40
20

0
13 hari

36 hari

48 hari

umur cendawan

Gambar 9 Daya kecambah cendawan B. bassiana 10 jam setelah inkubasi.

Gambar 10 Tabung kecambah B. bassiana 10 jam setelah inkubasi.

Pada umumnya semakin tinggi daya kecambah suatu cendawan
entomopatogen semakin tinggi juga virulensinya. Hal ini disebabkan karena daya
kecambah pada cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia
pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integumen serangga.
Virulensi cendawan entomopatogen berkaitan dengan ukuran konidia, kecepatan
perkecambahan konidia dan produksi enzim yang berfungsi sebagai pendegradasi

12
kutikula inang (Altre et al. 1999). Dalam penelitian, perbedaan daya kecambah
antar tiga umur berbeda tidak sampai mempengaruhi kemampuan infeksi
cendawan terhadap serangga. Diduga daya kecambah tertinggi yang mencapai
48,57% (umur 48 hari) juga masih belum cukup untuk menyebabkan mortalitas
tinggi sehingga perbedaan hasil antar tiga perlakuan tidak dapat diperoleh.
Menurut Goettel & Inglis (1997) konidia dapat dianggap hidup (viable)
apabila tabung kecambah telah mencapai dua kali diameter konidia. Tabung
kecambah yang terbentuk 10 jam setelah inokulasi berbentuk memanjang dari
konidia sebelumnya (Gambar 10). Prayogo (2009) menyatakan bahwa tabung
kecambah yang terbentuk akan berkembang membentuk apresorium yang
berfungsi untuk menempelkan organ infektif pada permukaan inang. Semakin
cepat tabung kecambah terbentuk dan semakin besar ukurannya diduga akan
semakin besar pula peluang inang dapat dipenetrasi oleh cendawan karena
permukaan inang lebih cepat dihidrolisis oleh cendawan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Tidak didapatkan perbedaan infektivitas antara cendawan B. bassiana
berumur 13 hari, 36 hari dan 48 hari terhadap C. formicarius. Mortalitas paling
tinggi terdapat pada kerapatan konidia cendawan 10 6/ml umur 13 hari, yaitu
sebesar 50%. Daya kecambah pada cendawan berumur 13 hari, 36 hari dan 48 hari
berturut-turut sebesar 25,73%, 33,48% dan 48,57%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan cendawan
yang telah dilakukan proses reinfeksi ulang terhadap serangga uji kemudian
diisolasi kembali agar virulensi cendawan meningkat.

14

DAFTAR PUSTAKA

Altre JA, Vandenberg JD, Cantone FA. 1999. Pathogenicity of Paecilomyces
fumosoroseus isolates to Diamondback Moth, Plutella xylostella:
Correlation with Spore Size, Germination Speed, and Attachment to
Cuticle. J. Invertebr. Pathol. 73(3): 332-338.
Bari D. 2006. Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap hama boleng Cylas formicarius
(Fabr.) (Coleoptera: Curculionidae) di laboratorium [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. (http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php) [17
Januari 2013]
Capinera JL. 1998. Common name: sweetpotato weevil, Scientific name: Cylas
formicarius (Fabricius) (Insecta: Coleoptera: Brentidae (=Curculionidae).
Florida (US): University of Florida; [diunduh 2012 Sept 17]. Tersedia
pada http://creatures.ifas.ufl.edu/.
Faishol A. 2011. Pengujian keefektifan cendawan Metarhizium brunneum Petch
terhadap hama ubi jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera:
Brentidae) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 1990. FAO Yearbook Production.
Vol 42, 1989. Rome (IT): Food and Agricultural Organization of the
United Nations.
Goethel MS, Inglis GD. 1997. Fungi: Hyphomycetes. (In:) Manual of Techniques
in Insect Pathology. London (GB): Academic Press.
Hansen LS, Steenberg T.
2007.
Combining larval parasitoid and an
entomopathogenic fungus for biological control of Sitophilus granaries
(Coleoptera: Curculionidae) in stored grain. Biol Contr 40(2): 237-242.
Jansson RK, Lecrone SH, Gaugler RR, Smart GC. 1990. Potential of
entomopathogenic nematodes as biological control agents of sweet potato
weevil (Coleoptera: Curculionidae). J Econ Entomol 83(5): 1818-1826.
Kassa A. 2003. Development and testing of mycoinsecticides based on submerged
spores and aerial conidia of the entomopathogenic fungi Beauveria
bassiana and Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyponycetes) for
control of locust, grasshoppers, and storage pest. [disertation]. Gottingen
(DE): Faculty of Agricultural Sciences, Georg-August-University
Göttingen.
Liu H, Skinner M, Brownbridge M, Parker BL. 2003. Characterization of
Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for management
of tarnished plant bug Lygus lineolaris (Hemiptera: Miridae). J Invertebr
Pathol. [internet]. [diunduh 2012 Sept 21];82(3):139-147. Tersedia pada
www.m3cg.us/hopper/system/files/.../MIM-3383_Grasshopper.pdf
Nonci N. 2005. Bioekologi dan pengendalian kumbang Cylas formicarius
Fabricus (Coleoptera: Curculionidae). J Litbang Pert 24(2): 63-69.

15
Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest
Management. New Jersey (US): Prentice Hall.
Prayogo Y. 2009. Kajian cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.)
(Viegas) Zare & Gams untuk menekan perkembangan telur hama
penghisap polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae).
[disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Ratissa DA. 2011. Keefektifan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana
(Bals.) Vuill terhadap Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) dan
pengaruhnya pada keperidian [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Rosfiansyah. 2009. Pengaruh aplikasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
dan Heterorhabditis sp. terhadap serangan hama ubi jalar Cylas
formicarius (Fabr.)(Coleoptera: Brentidae) [tesis]. Bogor (ID): Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Di dalam: Martono, E. Mahrub,
N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (editor). Prosiding Makalah Simposium
Patologi Serangga 1 (PEI); 1993 Okt 12-13; Yogyakarta. Yogyakarta (ID)
: PEI. hlm:1-15.
Sato K, Uritani I, Saito T. 1982. Properties of terpene-inducing factor extracted
from adults of the sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius
(Coleoptera: Brentidae). Appl Entomol Zool 17(3): 368-374.
Seonartiningsih, Baco D, Yasin M. 1999. Pengendalian penggerek batang jagung
dan penggerek tongkol dengan cendawan entomopatogenik B. bassiana.
Temu Teknologi Hasil Pengendalian Hama Terpadu. Program Nasional
PHT; 1999 Jun 30. Cisarua. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. hlm:25.
Tandiabang J, Yasin M, Saenong MS. 2005. Resensi Teknologi Hasil-hasil
Penelitian Bauveria bassiana Vuill. untuk Penanganan OPT Jagung.
Prosiding Seminar Nasional Jagung 2005; 2005 Sept 29-30. Maros.
Maros (ID): Balai Penelitian Tanaman Serealia. hlm:497-504.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, tanggal 6 Agustus 1988 sebagai anak pertama
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak R. Adhy Prabowo dan Ibu Oting
Imayana. Penulis memiliki dua orang adik perempuan bernama Ismi Azizah dan
Inny Aisyah dan seorang adik laki-laki bernama Imam Adib Nugroho.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di MA ”MU”
Asshiddiqiyyah Jakarta pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Pada tahun 2007 penulis tercatat
sebagai mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Semasa kuliah, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah
Vertebrata Hama pada tahun 2009, mata kuliah Biologi Dasar pada tahun 2010,
2011 dan 2012, mata kuliah Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat pada
tahun 2010 dan mata kuliah Mikrobiologi Dasar pada tahun 2010. Penulis juga
pernah melakukan magang di laboratorium Vertebrata Hama, Departemen
Proteksi Tanaman pada bulan Juli dan Agustus 2009. Saat ini penulis sedang
mengajar privat di lembaga Nurul Ilmi.

ABSTRAK

INDRI AHDIATY. Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera:
Brentidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO.
Cylas formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar di Indonesia.
Hama ini dapat dikendalikan dengan menggunakan cendawan entomopatogen
Beauveria bassiana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari tingkat
inefektifitas cendawan B. bassiana dengan umur yang berbeda terhadap hama C.
formicarius. Konidia dari biakan cendawan berumur 13, 36 dan 48 hari
disemprotkan kepada imago C. formicarius. Kerapatan 105, 106 dan 107
konidia/ml dari setiap umur biakan cendawan diaplikasikan kepada 15 ekor
serangga per perlakuan dengan 4 ulangan. Mortalitas harian dicatat. Mortalitas
kumulatif pada hari ke-10 setelah perlakuan tidak berbeda nyata di antara 3
kerapatan konidia, kecuali pada kultur umur 36 hari, yang mencapai 45%
mortalitas pada kerapatan 10 7 konidia/ml. Dengan kerapatan konidia yang sama,
baik kultur umur 13 dan 48 hari, menyebabkan mortalitas sebesar 35%.
Rendahnya mortalitas diduga karena daya kecambah konidia yang rendah.
Persentase daya kecambah yang didapatkan 25,7% (kultur 13 hari), 33,5% (kultur
36 hari) dan 48,6% (kultur 48 hari).
Kata kunci: Cylas formicarius, Beauveria bassiana, mortalitas, daya kecambah,
infektivitas, konsentrasi

ABSTRACT

INDRI AHDIATY. Effect of Age Culture of Entomopathogenic Fungi Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin to The Infectivity against Cylas formicarius
Fabricius (Coleoptera: Brentidae). Guided by TEGUH SANTOSO.
Cylas formicarius is a main pest of sweet potatoes in Indonesia. This pest
can be managed by using entomopathogenic fungi Beauveria bassiana. The aims
of the research were to study the level of infectivity of different ages of B.
bassiana against C. formicarius. The conidia of fungal culture of 13, 36 and 48
days old were sprayed to the adult of C. formicarius. The conidial density of 10 5,
106 and 107 spores/ml of each culture were applied to 15 insects/batch with 4
replicates. Daily mortality was recorded. Cumulative mortality on 10 days post
treatment were not different significantly between 3 conidial density, except the
culture of 36 days old, wich reached 45% mortality by 10 7 conidial density/ml.
Using the same conidial density, both 13 and 48 days old culture gave 35%
mortality. The low mortality was thought to be under influence of the low
germination rate of the conidia. The percentage of spore germination were 25,7%
(13 days culture), 33,5% (36 days culture) and 48,6% (48 days culture).
Keyword: Beauveria bassiana, Cylas formicarius, mortality, germination,
infectivity, concentration

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas bahan
makanan pokok penghasil karbohidrat urutan ke tujuh di dunia setelah gandum,
padi, jagung, kentang, barley, dan ketela pohon (FAO 1990). Ubi jalar di
Indonesia merupakan komoditas pangan yang penting setelah padi dan jagung.
Ubi jalar merupakan salah satu tanaman yang digunakan untuk diversifikasi
pangan. Produktivitas ubi jalar menunjukkan peningkatan dari 101 ku/ha pada
tahun 2003 hingga 135 ku/ha pada tahun 2012 (BPS 2013). Selain itu ubi jalar
digunakan juga sebagai bahan baku industri.
Ubi jalar banyak dibudidayakan pada lahan tegalan, kebun, pekarangan,
ataupun tumpang sari dengan tanaman lain. Walaupun tanaman ini mudah
dibudidayakan namun petani banyak mengalami hambatan terutama dari sektor
hama dan penyakit. Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) merupakan
hama utama pada ubi jalar dan tersebar di seluruh dunia (Capinera 1998). C.
formicarius dikenal juga dengan nama hama boleng. Menurut Nonci (2005)
kehilangan hasil akibat hama boleng dalam budidaya ubi jalar di Indonesia
diperkirakan mencapai 60-90%. Kerusakan kecil pun pada umbi menyebabkan
umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid yang membuat
umbi menjadi pahit rasanya (Sato et al 1982).
Saat ini pengendalian hama dengan menggunakan pestisida sintetik masih
sering dilakukan oleh para petani. Penggunaan pestisida sintetik tersebut
menimbulkan berbagai masalah seperti keracunan pada manusia dan rusaknya
lingkungan hidup. Pengendalian hama boleng dengan pestisida sendiri sukar
dilakukan karena sebagian besar siklus hidup C. formicarius berada dalam umbi
(Jansson et al. 1990). Pengendalian hayati merupakan salah satu cara untuk
mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida kimia.
Pengendalian hayati didefinisikan sebagai penggunaan parasitoid, predator,
patogen, agens antagonis untuk menekan populasi hama (Norris et al. 2003).
Beberapa musuh alami telah diketahui kegunaannya dalam pengendalian
hama di antaranya adalah cendawan entomopatogen. Cendawan yang bersifat
entomopatogen telah banyak ditemukan pada berbagai jenis hama tanaman. Salah
satu cendawan entomopatogen yang sering digunakan adalah Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin. B. bassiana memiliki kisaran inang yang luas. Studi
laboratorium dan lapangan menunjukkan B. bassiana efektif terhadap berbagai
hama tanaman maupun hama dalam penyimpanan (Hansen dan Steenberg 2007).
Cukup banyak penelitian yang menunjukkan keefektifan B. bassiana untuk
mengendalikan C. formicarius (Capinera 1998; Bari 2006; Rosfiansyah 2009;
Ratissa 2011). Pada umumnya, umur cendawan yang digunakan dalam penelitian
adalah 21 hari (Bari 2006; Rosfiansyah 2009; Faishol 2011). Pengaruh umur
biakan cendawan belum diteliti dalam hubungannya dengan infektivitasnya
terhadap serangga. Hal ini penting dilakukan untuk lebih mengefisienkan biakan
cendawan yang telah diperoleh. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji keefektifan cendawan B. bassiana pada berbagai umur.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari tingkat infektivitas cendawan B.
bassiana dengan umur yang berbeda terhadap hama C. formicarius pada ubi jalar.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan adalah informasi tentang umur biakan cendawan
B. bassiana yang efektif dalam pengendalian hama C. formicarius.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen
Proteksi Tanaman Faperta Institut Pertanian Bogor mulai Januari 2012 sampai
Agustus 2012.

Perbanyakan dan Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga C. formicarius didapatkan dari umbi yang menunjukkan gejala
serangan hama boleng yang diperoleh dari pasar di sekitar Bogor. Umbi yang
menunjukkan gejala serangan tersebut dimasukkan ke dalam wadah plastik
berbentuk slinder berdiameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Tutup wadah plastik
tersebut dibuang sebagian dan diganti dengan kain kasa (Gambar 1).

Gambar 1 Wadah plastik tempat pemeliharaan Cylas formicarius.

Umbi dalam wadah plastik ditempatkan pada ruang gelap sampai imago C.
formicarius bermunculan. Imago yang bermunculan tersebut diambil dan
dipindahkan ke wadah plastik lainnya yang berisi umbi segar. Umbi segar tersebut
berfungsi sebagai pakan dan tempat meletakkan telur bagi imago C. formicarius.
Umbi segar yang telah terserang C. formicarius dipindahkan ke wadah
plastik yang lain. Kelembaban di dalam wadah plastik tersebut dijaga dengan cara
mengelap permukaan dalam wadah plastik yang basah atau lembab dengan tisu.
Umbi tersebut kemudian didiamkan hingga imago yang baru bermunculan. Imago
baru yang bermunculan tersebut dikumpulkan dan dipisahkan berdasarkan hari
kemunculannya. Imago yang digunakan sebagai serangga uji berumur maksimal
15 hari.

4
Perbanyakan Isolat B. bassiana
Isolat cendawan B. bassiana yang digunakan berasal dari koleksi
Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB. Cendawan
diisolasi dan ditumbuhkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) pada cawan
petri berukuran 100 mm x 20 mm (Gambar 2). Komposisi media PDA adalah
kentang 200 g, agar-agar 14 g, dextrose 10 g, chloramphenicol 1 g, dan akuades 1
l. Cendawan yang telah diinokulasi dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu
±23˚C.

Gambar 2 Biakan cendawan B. bassiana dalam cawan petri dengan media PDA.

Penyiapan Suspensi Cendawan
Biakan B. bassiana yang telah berumur masing-masing 13, 36 dan 48 hari
dikeluarkan dari inkubator. Cendawan yang tumbuh beserta media diambil dengan
spatula. Cendawan dengan medianya tersebut lalu digerus dengan menggunakan
mortar sampai hancur dan halus kemudian diberi akuades steril yang telah
ditambahkan larutan Tween20 sebanyak 0,025 ml per 50 ml air. Hasil
penghancuran kemudian disaring menggunakan kain steril dan dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer berukuran 100 ml. Kerapatan media dihitung dengan
menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Kerapatan konidia yang
digunakan adalah 10 5 konidia/ml, 106 konidia/ml dan 107 konidia/ml. Suspensi
tersebut dimasukkan ke dalam alat semprot parfum (Gambar 3).

Gambar 3 Suspensi cendawan B. bassiana yang diletakkan di dalam alat semprot.

5
Perlakuan Serangga Uji
Imago C. formicarius dipisahkan masing-masing sebanyak 15 ekor. Pada
saat perlakuan, serangga dikeluarkan dan ditaruh dalam cawan petri berukuran
diameter 150 mm tinggi 25 mm. Suspensi cendawan yang telah dibuat diencerkan
berseri (105 konidia/ml, 106 konidia/ml, 107 konidia/ml). Suspensi tersebut
diaplikasikan kepada serangga uji dengan cara disemprotkan ke serangga yang
berada dalam cawan petri sebanyak 1 ml volume semprot. Alat yang digunakan
adalah alat semprot atau sprayer parfum. Masing-masing perlakuan diulang empat
kali. Perlakuan kontrol dilakukan dengan menyemprotkan air steril. Setelah
disemprot, serangga dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran tinggi 100
mm diameter 60 mm yang telah dialasi tisu dan diberi potongan umbi segar
sebagai pakan (Gambar 4). Wadah tersebut diletakkan di atas meja laboratorium
dengan suhu ruang untuk mempermudah pengamatan.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 10 hari dengan mencatat jumlah
imago yang mati pada masing-masing konsentrasi. Untuk menjaga kelembaban
dalam wadah plastik, setiap hari disemprotkan air steril ke kertas tisu. Imago yang
terinfeksi umumnya akan memperlihatkan miselia putih yang tumbuh keluar
tubuh imago.

Gambar 4 Wadah plastik beralaskan kertas tisu yang berisi potongan umbi dan
imago C. formicarius.

Penghitungan Daya Kecambah
Cendawan yang berumur 13, 36 dan 48 hari dan medianya diambil dan
dihancurkan dalam akuades 250 ml dengan menggunakan mortar tanpa
ditambahkan perata Tween 20. Pengamatan daya kecambah dilakukan setelah
suspensi konidia B. bassiana diinkubasi di dalam akuades steril selama 10 jam
pada suhu kamar. Penghitungan daya kecambah dilakukan secara langsung
menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Pengamatan kerapatan konidia
dan pengamatan daya kecambah dilakukan di bawah mikroskop compound
dengan perbesaran 40 x 10. Pengambilan contoh daya kecambah sama dengan
pengambilan contoh pada penghitungan kerapatan konidia.

6
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data diolah
dengan menggunakan Microsoft Exel 2007 dan dianalisis dengan program SAS
ver 9.1. Bila terdapat perbedaan di antara perlakuan yang diuji maka dilakukan uji
lanjut dengan uji selang ganda Duncan α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas Imago C. formicarius oleh B. bassiana
Mortalitas pada C. formicarius umumnya sudah terjadi pada hari pertama
setelah aplikasi. C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana dan mati
tubuhnya akan kaku dan ditumbuhi oleh miselia berwarna putih (Gambar 5).
Cendawan keluar dari tubuh imago yang mati 2-3 hari setelah inkubasi. Menurut
Santoso (1993) proses infeksi inang terjadi setelah konidia kontak dengan tubuh
inang dan berkecambah membentuk hifa penetrasi yang akan menembus tubuh
inang. Miselia cendawan yang berwarna putih akan menembus kutikula dan
keluar dari tubuh serangga pada bagian yang lebih mudah ditembus seperti ruasruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Pada
prosesnya, cendawan tidak selalu tumbuh keluar menembus integumen serangga.
Apabila keadaan kurang mendukung, cendawan hanya akan berada di dalam
tubuh serangga.

Gambar 5 C. formicarius terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti
oleh hifa cendawan (tanda panah), A) tampak dari bagian dorsal, B)
tampak dari bagian ventral.

Secara umum kecepatan infeksi cendawan untuk mengakibatkan kematian
pada C. formicarius dipengaruhi oleh banyaknya konidia atau kerapatan konidia.
Semakin rapat konidia yang digunakan semakin cepat menginfeksi dan
mematikan C. formicarius. Akan tetapi dari data yang diperoleh hanya pada
cendawan berumur 36 hari yang paling tinggi mortalitasnya pada kerapatan
konidia 107/ml. Pada cendawan berumur 13 dan 48 hari rata-rata mortalitas
tertinggi didapatkan pada kerapatan konidia 10 6/ml yaitu berturut-turut 50% dan
38,33% (Tabel 1). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemilihan konsentrasi
yang kurang tepat pada saat perlakuan sehingga tidak terlalu memberikan
perbedaan efek pada hasil.

8
Tabel 1 Persentase mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah
perlakuan cendawan B. bassiana
Kerapatan
konidia/ml
0
105
106
107

Rata-rata mortalitas ± SD (%)1
13 hari
36 hari
48 hari
0.00 ± 0.00b
0.00 ± 0.00c
0.00 ± 0.00b
31.67 ± 18.36a
31.67 ± 8.39ab
21.67 ± 8.39ab
50.00 ± 8.61a
23.33 ± 12.77b
38.33 ± 3.33a
35.00 ± 11.39a
45.00 ± 20.64a
35.00 ± 27.95a

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
Duncan dengan taraf nyata 5%.

Mortalitas tertinggi didapatkan oleh cendawan umur 13 hari dengan
kerapatan konidia 10 6/ml sebesar 50%. Akan tetapi nilai tersebut tidak berbeda
nyata dengan kerapatan lainnya di umur yang sama yaitu 31,67% pada kerapatan
konidia 105/ml dan 35% pada kerapatan konidia 10 7/ml dan berbeda nyata pada
kontrol. Pada cendawan umur 36 hari terlihat adanya perbedaan nyata pada setiap
kerapatan konidia, yaitu 31,67% pada kerapatan konidia 10 5/ml, 23,33% pada
kerapatan konidia 106/ml dan 45% pada kerapatan konidia 10 7/ml. Mortalitas
tidak berbeda nyata pada cendawan umur 48 hari kerapatan konidia 10 6/ml dan
107/ml, yaitu masing-masing 38,33% dan 35%. Nilai tersebut berbeda nyata
dengan kerapatan 10 5/ml pada umur 48 hari sebesar 21,67% dan kontrolnya
sebesar 0%.
Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. formicarius yang disebabkan
oleh B. bassiana dapat hampir mencapai 100%, sedangkan Faishol (2011)
melaporkan adanya penurunan virulensi cendawan yakni mortalitas hanya
mencapai kurang lebih 28,75% pada kerapatan konidia 10 7/ml. Ratissa (2011)
mendapatkan mortalitas sekitar 36,65% pada kerapatan konidia yang sama.
Mortalitas yang didapatkan ternyata tidak berbeda jauh dengan hasil yang
didapatkan Ratissa yaitu 35% pada cendawan berumur 13 dan 48 hari dan 45%
pada cendawan berumur 36 hari pada kerapatan konidia 10 7/ml. Menurut
Capinera (1998) B. bassiana dapat menyebabkan kematian yang besar pada
kondisi kelembaban yang tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi.
Perbedaan data yang diperoleh bisa terjadi karena berbagai faktor kemungkinan
seperti penurunan virulensi cendawan, masalah perkecambahan konidia, ataupun
kondisi lingkungan.
Peningkatan mortalitas selama 10 hari yang ditunjukkan dengan
kemiringan garis regresi berlangsung lambat pada hampir semua perlakuan, akan
tetapi berlangsung agak cepat pada kerapatan konidia 10 6/ml umur 13 hari
(Gambar 6) dan 48 hari (Gambar 7) dan kerapatan konidia 10 7/ml cendawan
berumur 36 hari (Gambar 8). Pada tiap kerapatan konidia, baik pada umur 13, 36
maupun 48 hari secara umum diperoleh garis regresi dengan nilai R ≥ 90%,
kecuali untuk kerapatan konidia 10 5/ml pada cendawan umur 13 hari (R =
78,69%) dan cendawan umur 36 hari (R = 89,85%). Hal ini menjelaskan bahwa
efek infeksi cendawan memang berpengaruh nyata terhadap mortalitas serangga
inang.

9
Kerapatan konidia 105/ml

80

60
40

20

Kerapatan konidia 106/ml

100
Kematian (%)

Kematian (%)

100

y = 3,04x - 6,56
R² = 78,69%

80
y = 5,34x - 2,22
R² = 94%

60
40
20
0

0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

Kematian (%)

100
80
60
40
20
0

y = 3,18x + 4,67
R² = 94,52%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 6 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
13 hari selama 10 hari pengamatan.
Kerapatan konidia 105/ml

80
60
40
20

y = 3,20x - 4,44
R² = 89,85%

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kematian (%)

100
80
60
40
20
0

Kerapatan konidia 106/ml

100
80
60
40
20
0

Kematian (%)

Kematian (%)

100

y = 1,78x + 4,22
R² = 91,67%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

y = 4,70x - 2,67
R² = 94,84%

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 7 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
36 hari selama 10 hari pengamatan.

10

Kerapatan konidia 105/ml
80

80

60
40
20

y = 1,56x + 3,44
R² = 92,61%

0

Kematian (%)

100

Kematian (%)

100

Kerapatan konidia 106/ml

60

y = 4,61x - 6,67
R² = 96,41%

40
20
0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kematian (%)

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Kerapatan konidia 107/ml

80
60
40

y = 3,06x + 6
R² = 97,93%

20
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (hari)

Gambar 8 Mortalitas C. formicarius yang terinfeksi cendawan B. bassiana umur
48 hari selama 10 hari pengamatan.
Pada kerapatan konidia 10 5/ml didapatkan mortalitas kumulatif pada
cendawan 13 hari sebesar 31,67%, cendawan 36 hari sebesar 31,67% dan
cendawan 48 hari sebesar 21,67%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
mortalitas kumulatif sama besar pada cendawan umur 13 dan 36 hari. Sedangkan
pada umur cendawan 48 hari mortalitas kumulatifnya menurun. Pada kerapatan
konidia 106/ml mortalitas kumulati

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) Dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Di Gudang

1 40 72

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

0 8 8

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

0 11 8

Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) vullemin terhadap hama boleng Cylas formicarius (Fabr)(Coleoptera : Curculionidae) di laboratorium

0 7 31

Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill terhadap Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) dan Pengaruhnya pada Keperidian

0 5 55

Pengaruh aplikasi beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Heterorhabditis sp terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius (Fabr) (Coleoptera Brentidae)

1 18 60

. Sporulasi Dan Viabilitas Konidia Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Balsamo) Vuillemin Di Berbagai Media Tumbuh

1 5 42

PERBANYAKAN CENDAWAN Beauveria bassiana (BALSAMO) VUILLEMIN PADA BEBERAPA JENIS LIMBAH ORGANIK DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP spodoptera litura FABRICIUS (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE).

0 0 6

Pengendalian hama penggerek ubi jalar Cylas formicarius (Fabricus) (Coleoptera: Curculionidae) menggunakan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

0 0 9