. Sporulasi Dan Viabilitas Konidia Cendawan Entomopatogen Beauveria Bassiana (Balsamo) Vuillemin Di Berbagai Media Tumbuh

i

SPORULASI DAN VIABILITAS KONIDIA CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin DI
BERBAGAI MEDIA TUMBUH

SUSILAWATI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sporulasi dan Viabilitas

Konidia Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin di
Berbagai Media Tumbuh adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Susilawati
NIM A34100086

iv

v

ABSTRAK
SUSILAWATI. Sporulasi dan Viabilitas Konidia Cendawan Entomopatogen
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin di Berbagai Media Tumbuh. Dibimbing
oleh TEGUH SANTOSO.

Cendawan Beauveria bassiana merupakan entomopatogen yang secara luas
digunakan dalam pengendalian beberapa jenis hama tanaman. Cendawan ini
diketahui menginfeksi walang sangit Leptocorisa oratorius dan penggerek batang
jagung Ostrinia furnacalis. Penelitian ini bertujuan mempelajari sporulasi dan
perkecambahan konidia B. bassiana di media alternatif dan inang alami. Isolat B.
bassiana yang berasal dari walang sangit dibiakan di media beras, beras + jagung,
PDA (Potato Dextrose Agar), larva O. furnacalis dan imago L. oratorius.
Kerapatan konidia dihitung pada 21 dan 33 HSI (hari setelah inokulasi). Daya
kecambah dari biakan yang sama diamati dalam PDA cair dan PDA tipis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kerapatan konidia cendawan berumur 21 HSI pada
media beras + jagung dan media beras berturut-turut mencapai 1.82x1010 dan
1.65x1010 per 50 g media. Sedangkan pada umur 33 HSI berturut-turut
menghasilkan kerapatan 9.96x109 dan 5.80x1010 per 50 g media. Pembentukan
konidia meningkat sampai 33 HSI. Peningkatan jumlah konidia juga terjadi pada
cendawan yang ditumbuhkan di inang alami O. furnacalis dan L. oratorius:
berturut-turut dari 5.38x108 dan 1.68x108 mencapai 9.73x108 dan 4.64x108
konidia/bangkai. Kerapatan konidia di media PDA umur 33 HSI (2.02x108/cawan)
tidak berbeda nyata dengan umur 21 HSI (2.93x108/cawan). Daya kecambah
konidia umur 33 HSI yang diinkubasi pada media PDA cair selama 24 JSIn (jam
setelah inkubasi) lebih tinggi dari konidia umur 21 HSI, kecuali pada media beras

+ jagung. Inkubasi selama 24 JSIn pada PDA tipis menunjukkan persentase daya
kecambah yang tinggi, mencapai 97% (O. furnacalis); PDA tipis menghasilkan
daya kecambah yang lebih tinggi dibandingkan PDA cair. Pada kedua umur biakan
baik 21 maupun 33 HSI, daya kecambah konidia dari inang alami (O. furnacalis
dan L. oratorius) secara signifikan lebih tinggi dari media alternatif (beras dan beras
+ jagung).
Kata kunci : daya kecambah, inang alami, inkubasi, inokulasi, kerapatan konidia,
media alternatif

vi

vii

ABSTRACT
SUSILAWATI. Conidial Sporulation and Viability of Entomopathogenic Fungi
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin on Different Media. Supervised by
TEGUH SANTOSO.
Entomopathogenic fungus B. bassiana is widely used in biological control of
various plant pests. Naturally this fungus known to infect rice bug Leptocorisa
oratorius and Asiatic corn borer Ostrinia furnacalis. This research aims to study

the sporulation and germination of B. bassiana conidia on alternative media and on
insect natural host. B. bassiana originated from rice bug was cultured on rice, rice
+ corn, PDA (Potato Dextrose Agar), O. furnacalis larvae and L. oratorius adult.
Density of conidia was calculated at 21 and 33 days after culture. The conidial
viability of same culture was also observed in liquid PDA and in thin PDA. The
result showed that the density of conidia at age 21 days on rice + corn and rice
media reached 1.82x1010 and 1.65x1010 per 50 g media. At age 33 days, the obtained
density were 9.96x109 and 5.80x1010 per 50 g on rice + corn and rice media,
respectively. We noted the increase of conidiogenesis until 33 days. The increase
was also noted when fungi were grown on natural host O. furnacalis and L.
oratorius: from 5.38x108 and 1.68x108 reached 9.73x108 and 4.64x108
conidia/cadaver respectively. However, on PDA the conidial density at 33 days
(2.02x108/dish) did not differ with that at 21 days (2.93x108/dish). When incubated
during 24 hours in liquid PDA, generally the germination of conidia aged 33 days
were higher than that of 21 days, excepted on rice + corn treatment. Incubation
during 24 hours in thin PDA showed the high percentage of conidial germination,
reached 97% (O. furnacalis); thin PDA yielded higher germination than liquid
PDA. Both at age 21 and 33 days, conidial germination from natural host (O.
furnacalis and L. oratorius) was significantly higher than from alternative media
(rice and rice + corn).

Keywords : alternative media, density, germination, incubation, innoculation,
natural host

viii

ix

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

x


xi

SPORULASI DAN VIABILITAS KONIDIA CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin DI
BERBAGAI MEDIA TUMBUH

SUSILAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


xii

xiv

xv

PRAKATA
Alhamdulillahirobbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat
Alloh SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Sporulasi dan Viabilitas Konidia
Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin di Berbagai
Media Tumbuh”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA. selaku
dosen pembimbing skripsi yang banyak memberi motivasi, bimbingan, saran,
materi, waktu, dan hal lainnya. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS. selaku dosen
penguji tamu yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan
penulisan skripsi. Seluruh Staff Departemen Proteksi Tanaman IPB baik Dosen

Pengajar, Laboran, Petugas Teknis, dan yang lainnya. Keluarga tercinta Ibu, Ayah,
Kakak-Kakak, beserta keluarga yang lainnya untuk kasih sayang, doa, serta
dukungan yang selalu diberikan. Teman-teman laboratorium Patologi Serangga
(Ushbatul Umami, kak Tia, kak Daniar, ibu Diana, ibu Tuti, kak Agung, kak
Farriza, ibu Silvi, Syifa, Suci, Arif dan yang lainnya) atas bantuan dan motivasi
yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian. Teman-teman
seperjuangan angkatan 47 di Departemen Proteksi Tanaman, serta pihak lain yang
turut membantu dalam pelaksanaan tugas akhir ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

Susilawati

xvi

xvii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x

DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Tempat dan Waktu Penelitian
3
Bahan dan Alat
3
Prosedur
4

Perbanyakan Cendawan B. bassiana pada Media Tumbuh
4
Kerapatan Konidia B. bassiana
4
Daya Kecambah Konidia B. bassiana
5
Rancangan Percobaan
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Morfologi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana
6
Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen B. bassiana di Media Tumbuh
7
Pengaruh Umur Biakan dan Jenis Media Tumbuh terhadap Kerapatan Konidia
Cendawan B. bassiana
8
Pengaruh Jenis Media Tumbuh, Waktu Inkubasi dan Umur Biakan terhadap
Daya Kecambah Konidia B. bassiana dalam Media PDA cair
10

Pengaruh Jenis Media Tumbuh, Waktu Inkubasi dan Umur Biakan terhadap
Daya Kecambah Konidia B. bassiana dalam Media PDA tipis
12
SIMPULAN DAN SARAN
15
Simpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
20

xviii

xix

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Jumlah konidia B.bassiana umur biakan 21 dan
33 HSI (hari setelah inokulasi)
Pengaruh umur biakan terhadap jumlah konidia B. bassiana
Pengaruh jenis media tumbuh terhadap jumlah total konidia B. bassiana
Daya kecambah konidia B. bassiana umur 21 dan 33 HSI
pada media inkubasi PDA cair
Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya
kecambah konidia B. bassiana dalam media PDA cair selama 16 JSIn
Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya
kecambah konidia B. bassiana dalam media PDA cair selama 24 JSIn
Daya kecambah konidia B. bassiana umur 21 HSI dan 33 HSI
dengan media inkubasi PDA tipis
Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya
kecambah konidia B. bassiana dalam media PDA tipis selama 16 JSIn
Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya
kecambah konidia B. bassiana dalam media PDA tipis selama 24 JSIn

8
9
9
10
11
12
13
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Tempat pemeliharaan larva O. furnacalis dan imago L. oratorius
Cendawan B. bassiana
Koloni cendawan B. bassiana di media

4
6
7

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Hasil RAL terhadap daya kecambah konidia B. bassiana
dalam media PDA cair
Hasil RAL terhadap daya kecambah konidia B. bassiana
dalam media PDA tipis

19
19

20

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Usaha petani dalam pengendalian hama telah dilakukan dengan berbagai cara,
namun sampai saat ini yang paling populer di kalangan petani yaitu dengan
menggunakan pestisida kimia sintetik. Faktor pendorong petani dalam
menggunakan pestisida sintetik yaitu hasil aplikasi pestisida dapat langsung terlihat
dan praktis dalam penggunaannya. Dampak negatif dari penggunaan pestisida
sintetik secara tidak bijaksana selain pencemaran terhadap lingkungan juga dapat
menyebabkan resistensi hama, resurjensi, munculnya hama sekunder, membunuh
serangga bukan sasaran, serta residu pada hasil produksi yang dapat membahayakan
manusia (Gullan dan Cranston 2010).
Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan pengendalian yang
memadukan beberapa cara yaitu secara kultur teknis, pengendalian fisik mekanik
dan penggunaan agens hayati (Norris et al. 2003), namun cara ini jarang dilakukan
oleh petani. Komponen PHT yang telah banyak dikembangkan dan banyak diteliti
yaitu pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Pengendalian hama dengan
menggunakan musuh alami dapat menggunakan beberapa agens seperti predator,
parasitoid dan patogen serangga yang meliputi bakteri, virus, protozoa, nematoda
dan cendawan (Tanada dan Kaya 1993). Banyak cendawan entomopatogen yang
telah diteliti virulensinya dan diuji dalam pengendalian hama baik skala
laboratorium maupun lapangan, salah satunya yaitu cendawan Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin. Cendawan B. bassiana termasuk dalam filum Ascomycota,
subfilum Pezizomycotina, kelas Sordariomycetes, ordo Hypocreales (Vega et al.
2012). Cendawan ini bersifat entomopatogen yang memiliki inang terbanyak di
antara cendawan entomopatogen lain. Inang dari cendawan ini paling banyak dari
ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Hemiptera, namun juga ditemukan menyerang
ordo Diptera dan Hymenoptera (Tanada dan Kaya 1993).
Cendawan B. bassiana telah banyak diekplorasi kemampuannya dalam
mengendalikan hama. Beberapa peneliti telah menguji keefektifan cendawan ini
terhadap beberapa jenis hama di antaranya penggerek batang jagung Ostrinia
furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) (Agustin 2014), hama boleng Cylas
formicarius (Coleoptera: Brentidae) (Ahdiaty 2013), Thrips Frankliniella
occidentalis (Thysanoptera: Thripidae) (Gao et al. 2012), kutudaun kedelai Aphis
glycine (Hemiptera: Aphididae) (Afifah 2011), kumbang bubuk Sitophilus zeamais
(Coleoptera: Curculionidae) (Surtikanti et al. 2011), ulat grayak Spodoptera litura
(Lepidoptera: Noctuidae) (Surtikanti dan Yasin 2009), hama kubis Crocidolomia
pavonana (Lepidoptera: Pyralidae) (Trizelia 2005) dan kumbang kolorado pada
kentang Leptinotarsa decemlineata (Coleoptera: Chrysomelidae) (Klinger 2003).
Media biakan yang umum digunakan untuk produksi massal konidia
cendawan entomopatogen yaitu media beras dan jagung karena terbukti mudah,
murah serta menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Kelemahan metode ini
tidak dapat mempertahankan virulensi cendawan yang dibiakan; di samping itu
media tumbuh beras dan jagung tidak tahan lama. Biakan suatu cendawan secara in
vitro pada media sering menyebabkan turunnya virulensi cendawan tersebut,
kecuali pada media tertentu virulensi dapat dipertahankan hampir setinggi isolat
awal (Fargues dan Robert 1983; McCoy et al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993).

2

Media tumbuh akan mempengaruhi virulensi suatu biakan cendawan. Dalam hal ini,
cendawan dalam keadaan menginfeksi serangga inang akan tetap bertahan dengan
membentuk struktur yang resisten bila kondisi lingkungan yang tidak mendukung
(Tanada dan Kaya 1993).
Virulensi suatu cendawan dapat diketahui dengan melihat tingkat
pembentukan konidia serta kemampuan konidianya dalam berkecambah. Semakin
tinggi daya kecambah konidia suatu cendawan maka semakin tinggi virulensi
cendawan tersebut. Menurut Altre et al. (1999) virulensi cendawan entomopatogen
berkaitan dengan ukuran konidia, kecepatan perkecambahan konidia, dan produksi
enzim yang berfungsi sebagai pendegradasi kutikula inang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji produksi dan daya kecambah spora B.
bassiana pada inang alami larva O. furnacalis dan imago L. oratorius serta pada
media tumbuh PDA, beras dan beras + jagung.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis media
yang dapat dijadikan media produksi massal cendawan B. bassiana dengan
menghasilkan kerapatan dan daya kecambah konidia yang tinggi.

3

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Februari
2014 sampai bulan Juli 2014.
Bahan dan Alat
Isolat Cendawan Beauveria bassiana
Isolat cendawan B. bassiana didapatkan dari walang sangit Leptocorisa
oratorius (Hemiptera: Alydidae) yang terinfeksi cendawan ini di pertanaman padi
Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Cendawan yang
tumbuh diisolasi dan dimurnikan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) yang
mengandung chloramphenicol dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Koloni
cendawan yang tumbuh diisolasi kembali dan dibiakan di media PDA baru,
kemudian diidentifikasi menggunakan buku Illustrated Genera of Imperfect Fungi
(Barnet dan Hunter 1998). Cendawan B. bassiana yang telah murni kemudian
ditumbuhkan pada suhu ruang selama ± 21 HSI (hari setelah inokulasi), guna
keperluan penelitian lebih lanjut.
Pemeliharaan Ostrinia furnacalis dan Leptocorisa oratorius
Telur O. furnacalis didapatkan dari kebun jagung Leuwi Kopo, Dramaga
Bogor yang kemudian dipelihara di laboratorium. Telur yang didapat disimpan
dalam cawan petri yang dialasi tisu lembab dan dibiarkan sampai menetas. Larva
kemudian disimpan dalam cawan petri berdiameter 15 cm yang dialasi tisu dan
diberi pakan buah jagung muda. Setelah larva mencapai instar IV kemudian
dipindah ke wadah plastik berukuran panjang 20 cm x lebar 15 cm x tinggi 6 cm
yang telah diberi lubang untuk sirkulasi udara dan dialasi tisu (Gambar 1A). Pupa
dimasukan ke dalam wadah plastik dengan diameter 9 cm dan tinggi 10.5 cm yang
diberi penutup dan dibiarkan sampai menjadi imago. Imago O. furnacalis dipindah
ke dalam kurungan berukuran panjang 38.5 cm x lebar 31 cm x tinggi 30 cm yang
pada bagian atasnya ditutup dengan kertas roti (baking paper) sebagai tempat
bertelurnya imago. Kurungan kemudian ditutup dengan busa lembab begitu pula
pada bagian dasar kurungan diberi alas busa lembab (Gambar 1B). Imago diberi
pakan madu dengan konsentrasi 10% yang diresapkan ke busa di dalam cawan petri.
Pakan madu diganti setiap dua hari sekali. Kertas roti yang diletaki telur O.
furnacalis kemudian digunting dan disimpan di dalam cawan petri berdiameter 9
cm yang dialasi tisu lembab. Telur tersebut disimpan beberapa hari sampai menetas
menjadi larva.
Nimfa dan imago L. oratorius didapat dari pertanaman padi Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. L. oratorius kemudian
dipelihara di laboratorium supaya terbebas dari infeksi patogen. L. oratorius
dipelihara di dalam kurungan plastik berdiameter 20 cm x tinggi 40 cm dan diberi
pakan bulir padi yang masih matang susu (Gambar 1C).

4

A

B

C

Gambar 1 Tempat pemeliharaan larva O. furnacalis (A), imago O. furnacalis (B),
L. oratorius (C)
Prosedur
Perbanyakan Cendawan B. bassiana pada Media Tumbuh
Konidia B. bassiana hasil pemurnian pada media PDA diinokulasikan pada
lima media baru yaitu 50 g beras, 50 g beras + jagung, PDA, larva O. furnacalis
instar III dan imago L. oratorius. Suspensi konidia dibuat dengan cara
mencampurkan biakan B. bassiana dengan aquades steril. Inokulasi suspensi
konidia ke media beras, beras + jagung, larva O. furnacalis instar III dan imago L.
oratorius dilakukan dengan cara disemprotkan pada media tersebut di dalam
laminar flow. Sedangkan inokulasi ke media PDA baru dilakukan dengan
memindahkan inokulum menggunakan jarum inokulasi. Media beras, beras +
jagung dan PDA telah disterilkan lebih dulu dengan autoklaf selama 35 menit pada
suhu 121oC. Media beras atau beras + jagung ditempatkan dalam kantong plastik
HDPE (High Density Polyethylene) yang tahan panas. Larva O. furnacalis instar III
dan imago L. oratorius yang telah diinokulasi B. bassiana masing-masing disimpan
di dalam wadah steril kemudian dipelihara sampai ada larva O. furnacalis dan
imago L. oratorius yang mati. Serangga yang mati kemudian dipindahkan ke cawan
petri steril berdiameter 6 cm yang dialasi tisu lembab.
Kerapatan Konidia B. bassiana
Kelima media tumbuh yang telah diinokulasi cendawan B. bassiana dan
diinkubasi selama 21 HSI dan 33 HSI diselimuti miselium berwarna putih. Media
beras dan beras + jagung ditumbuk menggunakan mortar dan ditambahkan 0.05%
larutan Tween 20 (v/v) sebanyak 100 ml agar konidia menyebar (Goettel dan Inglis
1997), kemudian disaring menggunakan kain berbahan nilon. Selanjutnya, suspensi
dikocok menggunakan vortex selama 30 detik.
Cendawan B. bassiana yang menyelimuti permukaan media PDA, larva O.
furnacalis maupun imago L. oratorius diambil menggunakan kuas steril. Cendawan
kemudian dibuat suspensi dalam 0.05% larutan Tween 20 (v/v) sebanyak 10 ml

5

kemudian disaring menggunakan kain berbahan nilon. Selanjutnya, suspensi
konidia dikocok menggunakan vortex selama 30 detik. Kerapatan konidia dari
media tumbuh dan inang alami dihitung menggunakan haemocytometer Neubauer
improved sebanyak dua kali ulangan dan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop compound merk Olympus model BX51 dengan perbesaran 400 kali.
Daya Kecambah Konidia B. bassiana
Pengamatan daya kecambah dilakukan setelah suspensi konidia B. bassiana
diinokulasikan pada media PDA cair dalam tabung reaksi dan media PDA tipis
dalam cawan berdiameter 9 cm. Media PDA cair dibuat dengan cara melarutkan 1
gram PDA yang telah diformulasikan (Difco) ke dalam 100 ml aquades. Media
PDA tipis dibuat dengan cara melarutkan 39 gram PDA yang sama dalam 1 liter
aquades ditambah 1 gram chloramphenicol. Suspensi konidia dalam dua media
tersebut kemudian diinkubasi pada suhu kamar. Pengamatan daya kecambah
konidia dilakukan pada 16 dan 24 JSIn (jam setelah inkubasi). Perhitungan konidia
dalam PDA cair menggunakan haemocytometer sedangkan pengamatan daya
kecambah pada PDA tipis dilakukan langsung di bawah mikroskop compound
setelah dilakukan pewarnaan dengan lactophenol cotton blue. Konidia dianggap
berkecambah apabila tabung kecambah melebihi dua kali diameter konidia (Goettel
dan Inglis 1997). Pengamatan daya kecambah diulang sebanyak tiga kali.
Persentase daya kecambah dihitung menggunakan rumus Goettel dan Inglis (1997):
Daya kecambah =

jumlah konidia yang berkecambah
×
jumlah konidia yang diamati

%

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perhitungan
kerapatan konidia menggunakan dua kali ulangan sedangkan untuk daya kecambah
dilakukan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan
Microsoft Office Excel 2013 dan dianalisis dengan uji t dan sidik ragam (ANOVA)
menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) versi 9.0. Bila berbeda
nyata diuji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada α=0.05.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana
Isolat Cendawan B. bassiana diperoleh dari walang sangit Leptocorisa
oratorius (Hemiptera: Alydidae) yang terinfeksi cendawan ini dari pertanaman padi
Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Gambar 2A merupakan
ciri makroskopis dari cendawan B. bassiana yang menginfeksi serangga inang L.
oratorius. Koloni B. bassiana berwarna putih kekuningan menyelimuti tubuh
serangga sehingga cendawan ini disebut dengan penyakit white muscardine
(Tanada dan Kaya 1993). Cendawan B. bassiana dalam keadaan menginfeksi inang
akan mengeluarkan metabolit sekunder yaitu berupa antibiotik yang mencegah
pembusukan oleh bakteri sehingga serangga inang menjadi mengeras dan kaku atau
disebut dengan mumifikasi (McCoy et al. 1988). Cendawan B. bassiana terdapat di
seluruh dunia, memiliki inang yang luas dan juga terdapat dalam tanah sebagai
saprofit (Tanada dan Kaya 1993), sehingga cendawan ini mudah didapatkan untuk
dijadikan isolat untuk perbanyakan. Trizelia (2005) mendapatkan berbagai isolat
cendawan B. bassiana dari berbagai cadaver serangga inang yang kadang-kadang
tidak bisa dibedakan secara morfologi.

A
Gambar 2

B

Cendawan B. bassiana. (A) koloni cendawan B. bassiana yang
menginfeksi imago L. oratorius, terlihat pertumbuhan intensif miselia
menyelimuti tubuh serangga, (B) konidiofor B. bassiana khas
berbentuk zig-zag, perbesaran 400x.

Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan konidiofor tumbuh secara
bergerombol bercabang-cabang dan berbentuk zig-zag, konidia muncul pada
konidiofor berbentuk bulat dan tidak berwarna (Gambar 2B). Hal ini sesuai dengan
deskripsi Boucias dan Penland (1998) bahwa B. bassiana memiliki konidia tidak
berwarna (hyaline) dan memiliki bentuk yang bulat sampai lonjong, hifa bersekatsekat, dan percabangan konidiofor berbentuk zig-zag, sedangkan miselium di
bawahnya menggelembung. Konidiofor dapat terbentuk secara sendiri-sendiri atau
dapat berkelompok dalam bentuk kelompok beraturan atau gelungan.

7

Pertumbuhan Cendawan Entomopatogen B. bassiana di Media Tumbuh
Cendawan B. bassiana pada media PDA, media beras dan beras + jagung
mulai terlihat tumbuh pada 2-3 HSI (hari setelah inokulasi), sedangkan pada inang
alami cendawan mulai tumbuh keluar dari dalam tubuh serangga pada 5-6 hari
setelah serangga mati. Cendawan B. bassiana menyebabkan bercak cokelat pada
tubuh larva O. furnacalis sebelum menyebabkan kematian. Bercak ini merupakan
nekrotik yang disebabkan oleh enzim yang diproduksi oleh B. bassiana saat
perkecambahan diantaranya enzim protease, kitinase dan lipase yang dapat
mendegradasi integumen inang (Boucias dan Penland 1998). Cendawan B.
bassiana pertama kali keluar dari serangga L. oratorius melalui bagian tubuh yang
lunak seperti antar ruas-ruas tungkai dan antena, sedangkan pada larva O. furnacalis
langsung keluar dari tubuh larva.
Koloni cendawan B. bassiana umur 21 dan 33 HSI terlihat jelas menyelimuti
semua media tumbuh (Gambar 3). Cendawan tumbuh dan berkembang
menyelimuti penuh media beras, beras + jagung dan inang alami, kecuali pada
media PDA cendawan tidak tumbuh memenuhi cawan petri (Gambar 3A). Hal ini
disebabkan oleh sifat dari isolat B. bassiana yang ditumbuhkan. Berdasarkan
kriteria yang dikemukakan oleh Rayner dan Boddy (1988) karakteristik tekstur dari
pertumbuhan cendawan isolat ini mempunyai tipe Velvety dengan ciri hifa pendek,
lurus dan tebal. Hasil penelitian Trizelia (2005) juga menunjukkan bahwa beberapa
isolat B. bassiana dari berbagai sumber mempunyai karakteristik tekstur
pertumbuhan yang berbeda pada media SDAY (Sabouraud dextrose agar dengan
yeats extract) dalam cawan petri.

A

B

C

Gambar 3 Koloni cendawan B. bassiana di media PDA (A), imago L. oratorius
(B), larva O. furnacalis (C), media beras (D) dan media beras + jagung
(E)

8

Pengaruh Umur Biakan dan Jenis Media Tumbuh terhadap Kerapatan
Konidia Cendawan B. bassiana
Cendawan B. bassiana dari setiap media biakan menghasilkan kerapatan
konidia yang berbeda-beda. Secara umum kerapatan konidia cendawan yang
berasal dari media beras dan beras + jagung memiliki kerapatan konidia 108
konidia/ml lebih tinggi dibandingkan dengan PDA dan inang alami yang mencapai
107 konidia/ml (Tabel 1). Kelima media mengandung jenis nutrisi yang diperlukan
oleh B. bassiana untuk pertumbuhannya terutama sumber karbon dan nitrogen,
akan tetapi dimungkinkan terdapat perbedaan dalam jumlah nutrisi sehingga
menghasilkan kerapatan konidia yang berbeda.
Tabel 1 Jumlah konidia B.bassiana umur biakan 21 dan 33 HSI (hari setelah
inokulasi)
Jumlah konidia/ml
Media
Ulangan
21 HSI
33 HSI
7
1
1.22x10
1.86x107
PDA
2
2.81x107
4.00x107
1
1.55x108
9.65x108
Beras
8
2
1.75x10
1.94x108
1
1.47x108
8.22x107
Beras + Jagung
2
2.17x108
1.17x108
1
4.25x107
1.75x107
Larva O. furnacalis
7
2
6.50x10
1.95x107
1
3.22x107
6.63x107
Imago L. oratorius
2
1.40x106
2.65x107
Faktor yang mempengaruhi produksi konidia B. bassiana dalam biakan
massal yaitu jenis dan jumlah nutrisi yang terkandung pada media tumbuh yang
digunakan terutama perbandingan kandungan antara karbon dan nitrogen. Media
yang mengandung 3% sukrosa sebagai sumber karbon dan 1% asam casamino
sebagai sumber nitrogen dengan rasio perbandingan 22.4 menyebabkan produksi
konidia B. bassiana optimal mencapai 107 konidia/ml (Pham et al. 2009). Luas
permukaan media tumbuh juga mempengaruhi jumlah konidia yang dihasilkan.
Semakin luas permukaan media maka akan semakin banyak konidia yang
dihasilkan. Media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan
yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah
media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga
yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et
al. 1984; Bradley et al. 1992).
Tabel 2 menunjukkan jumlah total konidia B. bassiana umur 21 dan 33 HSI
di media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm, di 50 g media beras, 50 g media
beras + jagung, inang alami satu larva O. furnacalis dan satu imago L. oratorius.
Jumlah total konidia yang paling tinggi dihasilkan oleh media beras dan beras +
jagung mencapai kerapatan 1010. Media PDA dan inang alami menghasilkan
kerapatan konidia yang hampir sama hanya mencapai 108. Hal ini karena
permukaan media beras dan beras + jagung lebih luas dibandingkan dengan

9

permukaan PDA, atau dengan satu larva O. furnacalis maupun dengan satu imago
L. oratorius.
Tabel 2 Pengaruh umur biakan terhadap jumlah total konidia B. bassiana
Jumlah total konidia
Media
t hitung1 t tabel
21 HSI
33 HSI
Beras
1.65x1010
5.80x1010
-1.07
4.30
10
Beras + Jagung
1.82x10
9.96x109
2.11
4.30
8
8
PDA
2.02x10
2.93x10
-0.69
4.30
Larva O. furnacalis
5.38x108
9.73x108
-0.55
4.30
8
8
Imago L. oratorius
1.68x10
4.64x10
-1.18
4.30
1

Analisis umur biakan terhadap jumlah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan P=0.05
HSI= hari setelah inokulasi

Umur biakan tidak berpengaruh signifikan terhadap kerapatan konidia yang
dihasilkan. Semua media menunjukkan nilai |t hitung| kurang dari t tabel yaitu 4.30
yang berarti rata-rata kerapatan konidia pada semua media pada umur 21 HSI tidak
berbeda nyata dengan rata-rata kerapatan konidia pada umur 33 HSI pada P=0.05.
Secara umum jumlah konidia menunjukkan kenaikan seiring bertambahnya umur
biakan. Kenaikan jumlah konidia terjadi pada media beras, larva O. furnacalis dan
imago L. oratorius. Penurunan jumlah konidia terjadi pada media beras + jagung.
Sedangkan pada media PDA jumlah konidia tidak mengalami perubahan dari 21
HSI sampai 33 HSI. Penurunan jumlah konidia pada media beras + jagung diduga
sama dengan media jagung yaitu penurunan ini disebabkan oleh nutrisi yang
terkandung dalam media menurun seiring lamanya umur penyimpanan sehingga
cendawan tidak dapat meneruskan pertumbuhannya. Hasil penelitian Purnama et
al. (2003) menunjukkan bahwa kerapatan konidia pada media jagung menurun dari
2.30 x 109 konidia/mm3 pada umur 21 HSI menjadi 8.17 x 108 konidia/mm3 pada
umur 28 HSI. Sedangkan pada media PDA diduga karena pertumbuhan optimal B.
bassiana pada PDA hanya sampai 21 HSI.
Tabel 3 Pengaruh jenis media tumbuh terhadap jumlah total konidia B. bassiana
21 HSI
33 HSI
Jumlah
Jumlah
Media
t tabel
total
t hitung1
total
t hitung1
konidia
konidia
10
Beras
1.65x10
5.80x1010
-0.47
1.24
4.30
Beras + Jagung
1.82x1010
9.96x109
Larva O. furnacalis 5.38x108
9.73x108
-1.94
-0.63
4.30
8
Imago L. oratorius
1.68x10
4.64x108
1

Analisis jenis media tumbuh terhadap jumlah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan
P=0.05

Selain pengaruh umur biakan terhadap kerapatan konidia B. bassiana, dapat
dilihat juga pengaruh jenis media terhadap kerapatan konidia yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil uji (Tabel 3), media beras dan beras + jagung baik pada umur 21
HSI maupun umur 33 HSI nilai |t hitung| kurang dari t tabel yang berarti rata-rata
kerapatan konidia pada media beras tidak berbeda nyata dengan rata-rata kerapatan
konidia pada media beras + jagung pada P=0.05. Hal yang sama juga dihasilkan

10

nilai |t hitung| dari inang alami larva O. furnacalis dan imago L. oratorius baik pada
umur 21 HSI maupun 33 HSI kurang dari t tabel yang berarti rata-rata kerapatan
konidia dari kedua inang alami tersebut tidak berbeda nyata.
Dosis aplikasi B. bassiana di lapangan bergantung pada jenis hama sasaran
yang akan dikendalikan dan infektivitas isolat cendawan yang digunakan. Isolat
cendawan B. bassiana dari kelima media dapat digunakan sebagai biopestisida
untuk pengendalian hama di lapangan. Namun terlebih dahulu perlu diuji tingkat
infektivitasnya terhadap hama sasaran. Pengendalian larva penggerek batang
jagung di lapangan dengan alat semprot dapat menggunakan B. bassiana kerapatan
konidia 107 konidia/g dengan dosis 2 kg/100 liter air untuk aplikasi 0.5 ha
(Greenmax 2013). Berdasarkan rujukan tersebut pengendalian hama penggerek
batang jagung di lapangan membutuhkan B. bassiana asal PDA sebanyak 200
cawan petri/ha, atau 80 larva O. furnacalis/ha, atau 80 imago L. oratorius/ha, atau
4 kantong/ha media beras dengan berat 50 g/kantong, atau 4 kantong/ha media beras
+ jagung dengan berat 50 g/kantong.
Pengaruh Jenis Media Tumbuh, Waktu Inkubasi dan Umur Biakan
terhadap Daya Kecambah Konidia B. bassiana dalam Media PDA cair
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya kecambah dari lima media
mencapai 4%-59% pada 16 JSIn (jam setelah inkubasi) dan 9%-90% pada 24 JSIn
(Tabel 4).
Tabel 4 Daya kecambah konidia B. bassiana umur 21 dan 33 HSI pada media
inkubasi PDA cair
Media

PDA

Beras

Beras + Jagung

Larva O. furnacalis

Imago L. oratorius

Ulangan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Daya kecambah (%)
16 JSIn
24 JSIn
21 HSI
33 HSI
21 HSI
33 HSI
32.31
35.00
21.57
70.59
22.22
45.00
28.38
66.67
25.45
43.75
30.67
90.00
36.36
37.25
36.59
52.94
29.03
18.18
26.47
43.14
26.67
18.18
35.29
51.11
40.43
36.80
50.00
50.00
38.46
25.00
47.37
37.50
31.82
40.70
55.56
50.00
4.46
59.26
10.56
66.67
11.49
20.59
10.68
90.00
10.84
36.00
9.76
60.00
23.73
50.00
19.35
50.00
23.53
33.33
39.62
84.62
20.75
35.71
26.47
68.42

Perkecambahan konidia merupakan langkah awal dari cendawan
entomopatogen untuk menginfeksi inang. Perkecambahan yang tinggi akan
menyebabkan proses infeksi dan kematian yang cepat pada serangga inang. Isolat
cendawan dengan infektivitas tinggi juga mempunyai daya kecambah yang tinggi
(Trizelia 2005). Hasil penelitian Surtikanti et al. (2011) menunjukkan bahwa daya

11

kecambah konidia B. bassiana sebesar 92.4% dapat menyebabkan mortalitas
tertinggi pada Sitophilus zeamais.
Kemampuan daya kecambah (viabilitas) konidia cendawan B. bassiana
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis dan asal isolat cendawan, umur
cendawan, media pertumbuhan, media tempat perkecambahan, suhu dan lama
inkubasi. Menurut Tanada dan Kaya (1993) viabilitas konidia dapat menurun
apabila selama subkultur terjadi penurunan sumber karbon seperti glukosa,
glukosamin, nitrogen dan pati. Tabel 5 menunjukkan setiap media tumbuh
menghasilkan daya kecambah yang berbeda-beda. Daya kecambah konidia
cendawan umur 21 HSI yang diinkubasi 16 JSIn paling tinggi yaitu sebesar 36.9%
dari media beras + jagung. Sedangkan daya kecambah konidia cendawan umur 33
HSI paling tinggi yaitu 41.3% berasal dari media PDA. Berdasarkan uji Duncan
pada α=0.05 daya kecambah konidia 16 JSIn dari cendawan umur 21 HSI
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar media. Daya kecambah asal
media beras + jagung tidak berbeda nyata dengan media beras, tetapi berbeda nyata
dengan media lainya. Sedangkan daya kecambah konidia cendawan umur 33 HSI
tidak berbeda nyata di setiap media.
Tabel 5 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
B. bassiana dalam media PDA cair selama 16 JSIn
Rata-rata daya kecambah (%) ± SD1
Media
t hitung2 t tabel
21 HSI
33 HSI
PDA
26.7±5.2b
41.3± 5.5a
-3.37
2.78
Beras
30.7±5.1ab
24.5±11.0a
0.88
2.78
Beras + Jagung
36.9±4.5a
34.2± 8.2a
0.51
2.78
Larva O. furnacalis
8.9±3.9c
38.6±19.5a
-2.59
2.78
Imago L. oratorius
22.7±1.7b
39.7± 9.0a
-3.21
2.78
1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
α= 0.05
2
Analisis umur biakan terhadap daya kecambah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan P=
0.05

Selain jenis media tumbuh, umur biakan juga mempengaruhi daya kecambah.
Umur biakan dan kondisi lingkungan mempengaruhi kualitas fisiologi inokulum
cendawan dan sangat menentukan potensi cendawan tersebut untuk dijadikan
biopestisida (Hallsworth dan Magan 1996). Ahdiaty (2013) menunjukkan bahwa
daya kecambah konidia B. bassiana yang diinkubasi dalam air selama 10 JSIn
meningkat seiring bertambahnya umur cendawan: daya kecambah umur 13 HSI
mencapai 25.7%, 36 HSI mencapai 33.5% dan 48 HSI mencapai 48.6%.
Nilai |t hitung| pada media PDA dan imago L. oratorius lebih besar dari t tabel
yaitu 2.78. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata daya kecambah konidia dari kedua
media tersebut berbeda nyata antara umur 21 HSI dengan umur 33 HSI pada
P=0.05. Sedangkan untuk ketiga media lainnya nilai |t hitung| lebih kecil dari t tabel,
yang menunjukkan bahwa rata-rata daya kecambah dari tiga media tersebut tidak
berbeda nyata antara umur 21 HSI dengan 33 HSI. Secara umum daya kecambah
konidia cendawan yang diinkubasi pada 16 JSIn mengalami kenaikan seiring
dengan bertambahnya umur biakan kecuali konidia dari media beras dan beras +
jagung mengalami penurunan. Namun penurunan daya kecambah ini tidak nyata
pada kedua umur biakan.

12

Dengan waktu inkubasi 24 JSIn secara berturut-turut daya kecambah
cendawan umur 21 dan 33 HSI paling tinggi yaitu sebesar 50.9% (media beras +
jagung) dan 75.8% (media PDA) (Tabel 6). Menurut Kassa (2003) cendawan yang
telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida yaitu konidia
yang memiliki daya kecambah di atas 80%. Liu et al. (2003) menyarankan bahwa
daya kecambah konidia cendawan yang akan digunakan sebagai agens hayati harus
diatas 90%. Namun, secara umum daya kecambah yang diinkubasi dalam PDA cair
paling tinggi hanya mencapai 75.8%.
Tabel 6 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
B. bassiana dalam media PDA cair selama 24 JSIn
Media
PDA
Beras
Beras + Jagung
Larva O. furnacalis
Imago L. oratorius

Rata-rata daya kecambah (%) ± SD1
21 HSI
33 HSI
26.9± 4.7b
75.8±12.5a
32.8± 5.5b
49.1± 5.2bc
50.9± 4.2a
45.8± 7.2c
10.3± 0.5c
72.2±15.8ab
28.5±10.3b
67.7±17.3abc

t hitung2

t tabel

-6.34
-3.72
1.07
-6.80
-3.37

2.78
2.78
2.78
2.78
2.78

1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
α= 0.05
2
Analisis umur biakan terhadap daya kecambah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan P=
0.05

Daya kecambah konidia dari semua media kecuali beras + jagung mengalami
peningkatan seiring dengan bertambah tua umur biakan. Peningkatan ini nyata pada
P=0.05 dimana nilai |t hitung| lebih besar dari t tabel, ini berarti rata-rata daya
kecambah konidia cendawan umur 21 HSI dari keempat media ini berbeda nyata
dengan rata-rata daya kecambah konidia cendawan umur 33 HSI. Daya kecambah
konidia dari media beras + jagung mengalami penurunan tetapi penurunan tersebut
tidak nyata perbedaannya antara umur 21 HSI dengan 33 HSI. Berdasarkan uji
Duncan daya kecambah pada media beras + jagung 21 HSI berbeda nyata dengan
daya kecambah konidia dari media lainnya. Daya kecambah konidia cendawan
umur 33 HSI asal PDA dan inang alami merupakan daya kecambah yang termasuk
tinggi di antara semua media. Daya kecambah konidia asal PDA tidak berbeda
nyata baik dengan larva O. funacalis maupun L. oratorius.
Waktu inkubasi mempengaruhi daya kecambah konidia B. bassiana. Dalam
penelitian ini ditunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi maka semakin
tinggi daya kecambah konidia. Semakin lama konidia berada dalam media inkubasi
maka semakin banyak nutrisi yang diserap untuk perkecambahan konidia sehingga
perkecambahan terus berlangsung.
Pengaruh Jenis Media Tumbuh, Waktu Inkubasi dan Umur Biakan
terhadap Daya Kecambah Konidia B. bassiana dalam Media PDA Tipis
Daya kecambah konidia B. bassiana yang diinkubasi dalam PDA tipis
berbeda dengan konidia yang diinkubasi dalam media PDA cair. Konidia yang
diinkubasi pada PDA tipis dapat menghasilkan daya kecambah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konidia yang diinkubasi pada media PDA cair. Hasil
menunjukkan daya kecambah pada PDA tipis paling tinggi yaitu 100% pada 24
JSIn (Tabel 7).

13

Tabel 7 Daya kecambah konidia B. bassiana umur 21 HSI dan 33 HSI dengan
media inkubasi PDA tipis
Daya kecambah (%)
Media
Ulangan
16 JSI
24 JSI
21 HSI
33 HSI
21 HSI
33 HSI
1
37.22
4.41
76.26
60.92
Beras
2
54.15
22.74
76.43
70.91
3
35.08
10.46
52.71
70.45
1
65.94
12.33
78.31
65.57
Beras + Jagung
2
56.21
7.29
77.67
60.89
3
57.93
6.63
84.42
51.92
1
5.87
0.77
89.09
98.25
Larva O.
2
3.79
0.54
85.58
100
furnacalis
3
3.98
2.17
79.36
92.86
1
15.52
0.79
90.22
79.73
Imago L.
2
19.17
0.68
92.00
75.23
oratorius
3
16.83
0.00
81.00
88.44
Tabel 8 menunjukkan bahwa konidia B. bassiana dari media beras + jagung
umur 21 HSI yang diinkubasi 16 JSIn mempunyai daya kecambah paling tinggi
sebesar 60%. Konidia asal beras, larva O. furnacalis dan imago L. oratorius
mempunyai daya kecambah yang lebih rendah.
Tabel 8 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
B. bassiana dalam media PDA tipis selama 16 JSIn
Rata-rata daya kecambah (%) ± SD1
Media
t hitung2 t tabel
21 HSI
33 HSI
Beras
42.2±10.4b
12.5±9.3a
3.66
2.78
Beras + Jagung
60.0±5.2a
8.8±3.1ab
14.66
2.78
Larva O. furnacalis
4.5±1.1d
1.2±0.9b
4.05
2.78
Imago L. oratorius
17.2±1.8c
0.5±0.4b
15.23
2.78
1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
α= 0.05
2
Analisis umur biakan terhadap daya kecambah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan P=
0.05

Hasil uji Duncan pada α=0.05 daya kecambah konidia umur 21 HSI dari
media beras + jagung yang diinkubasi 16 JSIn berbeda nyata dengan tiga media
lainnya. Berdasarkan uji t, nilai |t hitung| daya kecambah konidia pada semua media
tumbuh lebih besar dari t tabel pada P=0.05 yang berarti rata-rata daya kecambah
konidia dari semua media pada umur 21 HSI berbeda nyata dengan umur 33 HSI.
Pada semua media terjadi penurunan daya kecambah konidia pada biakan umur
yang lebih tua. Penyebab penurunan ini belum bisa diduga. Oleh karena itu
dipandang perlu untuk memperpanjang waktu inkubasi menjadi 24 JSIn.

14

Inkubasi selama 24 JSIn (Tabel 9) memberikan pola perkecambahan yang
berbeda. Pada semua media, konidia menunjukkan persentase perkecambahan yang
tinggi.
Tabel 9 Pengaruh jenis media dan umur biakan terhadap daya kecambah konidia
B. bassiana dalam media PDA tipis selama 24 JSIn
Rata-rata daya kecambah (%) ± SD1
Media
t hitung2 t tabel
21 HSI
33 HSI
Beras
68.5±13.6b
67.4±5.6c
0.12
2.78
Beras + Jagung
80.1±3.7ab
59.5±6.9c
4.55
2.78
Larva O. furnacalis
84.7±4.9a
97.0±3.7a
-3.47
2.78
Imago L. oratorius
87.7±5.9a
81.1±6.7b
1.28
2.78
1

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan
α= 0.05
2
Analisis umur biakan terhadap daya kecambah konidia B. bassiana menggunakan uji t dengan P=
0.05

Baik yang berumur 21 HSI maupun 33 HSI konidia yang berasal dari media
inang alami mempunyai daya kecambah yang lebih tinggi dari pada konidia yang
tumbuh pada media non alami (beras dan beras + jagung). Perbedaan ini nyata pada
α=0.05. Seiring bertambahnya umur biakan, penurunan daya kecambah juga terjadi,
kecuali pada media O. furnacalis yang menunjukkan peningkatan secara nyata.
Penurunan secara nyata dijumpai pada media beras + jagung, sedangkan pada
media beras dan L. oratorius penurunannya tidak nyata.

15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Kelima jenis media tumbuh berpengaruh terhadap kerapatan dan daya
kecambah konidia cendawan B. bassiana. Media beras dan beras jagung
menghasilkan konidia total mencapai 1010, PDA dan inang alami menghasilkan 108.
Umur biakan tidak berpengaruh terhadap kerapatan konidia, namun berpengaruh
terhadap daya kecambah konidia pada beberapa media. Daya kecambah meningkat
seiring meningkatnya waktu inkubasi, daya kecambah konidia 24 JSIn lebih tinggi
dari 16 JSIn. Daya kecambah konidia cendawan yang ditumbuhkan pada inang
alami lebih tinggi dibandingkan dengan daya kecambah konidia cendawan yang
ditumbuhkan pada media alternatif.
Saran
Perlu dilakukan pengujian virulensi konidia B. bassiana dari berbagai media
terhadap hama dan pembuatan formulasi media biakan untuk produksi massal yang
menghasilkan kerapatan dan daya kecambah yang tinggi. Perlu dilakukan penelitian
lanjut mengenai waktu maksimal untuk mendapatkan daya kecambah konidia
mencapai 100%.

16

DAFTAR PUSTAKA
Afifah L. 2011. Pertumbuhan cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii pada
berbagai media serta infektivitasnya terhadap kutudaun kedelai Aphis
glycines Matsumura (Hemiptera: Aphididae) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Agustin D. 2014. Keefektifan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin dan Lecanicillium lecanii (Zimm.) Zare & Gams
terhadap penggerek batang jagung asia Ostrinia furnacalis Guenee
(Lepidoptera: Crambidae) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ahdiaty I. 2013. Pengaruh umur cendawan Beauveria bassiana (Balsamo)
Vuillemin terhadap infektifitasnya pada Cylas formicarius Fabricius
(Coleoptera: Brentidae) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Altre JA, Vandenberg JD, Cantone FA (1999). Pathogenicity of Paecilomyces
fumosoroseus isolates to Diamondback Moth, Plutella xylostella: correlation
with spore size, germination speed, and attachment to cuticle. J Invertebr
Pathol. 73(3): 332-338.
Barnet HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th ed.
Minnesota (US): APS press.
Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. Massachusetts
(US): Kluwer Academic Publishers.
Bradley CA, Black WE, Kearns R, Wood P. 1992. Role of production technology
in mycoinsecticide development. Di dalam: Leatham GF, editor. Frontiers in
Industrial Mycology. London (GB): Chapman and Hall. hlm 160-173.
Gao Y, Reitz SR, Wang J, Xu X, Lei Z. 2012. Potential of a strain of the
entomopathogenic
fungus
Beauveria
bassiana
(Hypocreales:
Cordycipitaceae) as a biological control agent against western flower thrips,
Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Biocontrol Science and
Technology. 22(4): 491-495.
Goettel MS, Inglis GD. 1997. Fungi: Hyphomycetes. Di dalam: Lacey LA, editor.
Manual of Technique in Insect Pathology. San Diego (US): Academic Press.
hlm 213-249.
Greenmax. 2013. Talc based Beauveria bassiana [internet]. Coimbatore (IN):
Greenmax;
[diunduh
2014
Desember
14].
Tersedia
pada:
http//www.greenmaxagrotech.com/beauveria-bassiana.html.
Gullan PJ, Cranston PD. 2010. The Insect. 4th ed. West Sussex (GB): WileyBlackwell.
Hallsworth JE, Magan N. 1996. Culture age, temperature, and pH affect the polyol
and trehalose contents of fungal propagules. Applied and environmental
microbiology. 62(7): 2435-2442.
Kassa A. 2003. Development and testing of mycoinsecticides based on submerged
spores and aerial conidia of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana
and Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hypomicetes) for control of
locusts, grasshopers and storage pests [disertasi]. Gottingen: hlm. 74-90.
http//wcbdoc.sub.gwdg.de/diss/2003/kassa/kassa.pdf. [18 Desember 2014].

17

Klinger E. 2003. Susceptibility of adult colorado potato beetle (Leptinotarsa
decemlineata) to the fungal entomopathogen Beauveria bassiana [tesis].
Maine (US): University of Maine.
Liu H, Skinner M, Brownbridge M, Parker BL. 2003. Characterization of Beauveria
bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for management of tarnished
plant bug Lygus lineolaris (Hemiptera: Miridae). J Invertebr Pathol.
82(3):139-147.
Maheva E, Djelveh G, Larroche C, Gros JB. 1984. Sporulation of Penicillium
roqueforti in solid substrate fermentation. Biotechnology Letters. 6: 97-102.
McCoy CW, Samson RA, Boucias DG. 1988. Entomogenous fungi. Di dalam:
Ignofo CM, editor. CRC Handbook of Natural Pesticides. Microbial
insecticides, Part A Entogenous Protozoa and Fungi. Florida (US): CRC
Press. hlm 151-236.
Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concepts in Integrated Pest
Management. Upper Saddle River (NJ): Prentice Hall.
Pham TA, Kim JJ, Kim SG, Kim K. 2009. Production of blastospore of
entomopathogeneic Beauveria bassiana in a submerged batch culture.
Mycobiology. 37(3): 218-224.
Purnama PC, Nastiti SJ, Situmorang J. 2003. Uji patogenitas jamur Beauveria
bassiana (Bals.) Vuill. isolat Magelang terhadap Aphis craccivora Koch.
Biosmart. 5(2): 81-88.
Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood. New York (US):
John Wiley & Sons.
Surtikanti, Yasin M, Tandiabang J. 2011. Pengendalian hama kumbang bubuk
menggunakan cendawan Beauveria bassiana Vuill. berupa tepung. Prosiding
Seminar Nasional Serealia 2011; Maros. Maros (ID): Balai Penelitian
Tanaman Serealia.
Surtikanti, Yasin M. 2009. Keefektifan entomopatogenik Beauveria bassiana Vuill.
dari berbagai media tumbuh terhadap Spodoptera litura F. (Lepidoptera :
Noctuidae) di laboratorium; 2009; Maros. Maros (ID): Balai Penelitian
Tanaman Serealia.
Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diego (US): Academic Press,
INC.
Trizelia. 2005. Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
(Deuteromycotina: Hypomycetes): keragaman genetik, karakterisasi fisiologi
dan virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:
Pyralidae) [disertasi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Vega FE, Meyling NV, Luangsa-ard JJ, Blackwell M. 2012. Fungal
entomopathogen. Di dalam: Vega FE, Kaya HK, editor. Insect Pathology. 2nd
ed. London (GB). Elsevier. Hlm 171-220.

18

19

LAMPIRAN

20

19

Lampiran 1 Hasil RAL terhadap daya kecambah konidia B. bassiana dalam media
PDA cair
Umur
biakan
(HSI)
21
33

Waktu
inkubasi
(JSIn)
16
24
16
24

DB

JK

KTG

F
hitung

P

4
4
4
4

1320.937267
2539.711427
546.3254000
2263.771027

330.234317
634.927857
136.5813500
565.942757

18.29
18.02
1.01
3.61

0.0001
0.0001
0.4483
0.0453

HSI= hari setelah inokulasi
JSIn= jam setelah inkubasi

Lampiran 2 Hasil RAL terhadap daya kecambah konidia B. bassiana dalam media
PDA tipis
Umur
biakan
(HSI)
21
33

Waktu
inkubasi
(JSIn)
16
24
16
24

HSI= hari setelah inokulasi
JSIn= jam setelah inkubasi

DB

JK

KTG

F
hitung

P

3
3
3
3

5573.468292
643.6678917
311.3806250
2447.060892

1857.822764
214.5559639
103.7935417
815.686964

52.76
3.31
4.24
23.49

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) Dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Di Gudang

1 40 72

Entomopatogenik Beauveria Bassiana Vuill. Dari Berbagai Media Tumbuh Terhadap Hama Ulat Grayak (Spodoptera Litura F.) (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau Di Rumah Kasa

1 35 75

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

0 8 8

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

0 11 8

Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) vullemin terhadap hama boleng Cylas formicarius (Fabr)(Coleoptera : Curculionidae) di laboratorium

0 7 31

Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae)

0 4 43

PERBANYAKAN CENDAWAN Beauveria bassiana (BALSAMO) VUILLEMIN PADA BEBERAPA JENIS LIMBAH ORGANIK DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP spodoptera litura FABRICIUS (LEPIDOPTERA : NOCTUIDAE).

0 0 6

KERAPATAN DAN VIABILITAS KONIDIA BEAUVERIA BASSIANA DAN METARHIZIUM ANISOPLIAE PADA MEDIA IN VITRO PH RENDAH

0 0 9

Pengendalian hama penggerek ubi jalar Cylas formicarius (Fabricus) (Coleoptera: Curculionidae) menggunakan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

0 0 9