Pengaruh aplikasi beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Heterorhabditis sp terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius (Fabr) (Coleoptera Brentidae)

(1)

PENGARUH APLIKASI Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

DAN Heterorhabditis sp. TERHADAP SERANGAN HAMA

UBI JALAR Cylas formicarius (Fabr.) (Coleoptera: Brentidae)

ROSFIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Aplikasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Heterorhabditis sp. terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius (Fabr.) (Coleoptera: Brentidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009 Rosfiansyah NRP A451060031


(3)

ABSTRACT

ROSFIANSYAH. The Effect of Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin and

Heterorhabditis sp. Application to Sweetpotato Weevil Cylas formicarius

(Fabr.) (Coleoptera: Brentidae) Infestation. Under direction of Teguh Santoso, Supramana and Ali Nurmansyah.

Sweetpotato weevil, Cylas formicarius (Fabr.) is the most serious pest of sweetpotato in Indonesia. They can cause tuber losses until 90%. Beauveria bassiana and Heterorhabditis sp. have been evaluated as biological control agents against this pest. The experiment was arranged in factorial of Completely Randomized Block Design with three replications. First factor consisted of: 0 conidia ml-1 B. bassiana, 106 conidia ml-1, 107 conidia ml-1, dan 108 conidia ml-1, and second factor consisted of: 0 infective juvenile (I.J) ha-1 Heterorhabditis sp., 1,0 x 10-9 I.J ha-1, 2,0 x 10-9 I.J ha-1, dan 3,0 x 10-9 I.J ha-1. Data were analysed by using Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) ver. 12. The results showed that application of B. bassiana and Heterorhabditis sp. did not significantly lower the level of sweetpotato weevil infestation in the field. Although fungal application did not affect significantly, however, at 108 conidia ml-1, B. bassiana reduced the weevil infestation (25,40%), damage intensity on tuber surface (9,38%) and inside tuber (13,79%), as compared to control which reached values 34,70% (weevil infestation), 16,71% (damage intensity on surface tuber) and 22,16% (damage intensity inside tuber). At 3 x 109 I.J ha-1, Heterorhabditis sp. reduced damage intensity on the tuber surface until 10,42% as compared to control that reached 17,01%. Similarly, the nematodes treatment has also reduced the weevil population. At 2 x 109 I.J ha-1, Heterorhabditis sp. reduced damage intensity inside tuber (15,34%) as compared to control (23,46%). Moreover, the nematodes treatment at density 2 x 109 I.J ha-1 has also reduced weevil infestation until 25,80%, as compared to control which reached 39,31%. No interaction between B. bassiana and Heterorhabditis sp. has been noted during investigation.


(4)

RINGKASAN

ROSFIANSYAH. Pengaruh Aplikasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Heterorhabditis sp. terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabr. (Coleoptera: Brentidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO, SUPRAMANA dan ALI NURMANSYAH.

Cylas formicarius Fabr. atau dikenal sebagai hama boleng merupakan hama penting ubi jalar (Ipomoea batatas L.) yang menyebabkan kehilangan hasil hingga 90% di Indonesia. Hama ini dapat dikendalikan dengan agens hayati cendawan B. basssiana dan nematoda Heterorhabditis sp., kedua agens pengendali hayati ini telah dilaporkan efektif menekan hama boleng di laboratorium, sehingga dipandang perlu dilaksanakan percobaan di lapangan.

Penelitian bertujuan untuk mempelajari: 1) kerapatan konidia B. bassiana dan juvenil infektif Heterorhabditis sp. yang tepat dalam menurunkan serangan hama boleng, 2) pengaruh B. bassiana dan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan serangan hama boleng, 3) pengaruh interaksi antara B. bassiana dan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan serangan hama boleng.

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Patologi Serangga dan di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor mulai April 2008 hingga Desember 2008. Penelitian disusun dengan rancangan faktorial dalam acak kelompok dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan konidia B. Bassiana: 0, 106, 107 dan 108 konidia ml-1. Faktor ke-dua adalah kerapatan juvenil infektif (J.I) Heterorhabditis sp. 0, 1,0 x 109, 2,0 x 109,dan 3,0 x 109 J.I ha-1. Data yang diperoleh diuji dengan analisis ragam menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 12.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B. bassiana belum berpengaruh nyata menurunkan serangan hama boleng di lahan. Walaupun secara statistika belum berbeda nyata, perlakuan B. bassiana 108 konidia ml-1 mampu menekan luas serangan hingga 25,40%, intensitas serangan pada permukaan umbi hingga 9,38% dan intensitas serangan di seluruh bagian umbi hingga 13,79% dibandingkan dengan kontrol yaitu 34,70% (luas serangan), 16,71% (intensitas serangan pada permukaan umbi), dan 22,16% (intensitas serangan di seluruh bagian umbi). Perlakuan Heterorhabditis sp. belum berpengaruh nyata menurunkan intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi dan di seluruh bagian umbi. Walaupun secara statistika belum berbeda nyata, perlakuan Heterorhabditis sp. 3 x 109 J.I ha-1 mampu menekan intensitas serangan pada permukaan umbi hingga 10,42%, jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 17,01%. Perlakuan Heterorhabditis sp. 2 x 109 J.I ha-1 mampu menekan intensitas serangan di seluruh bagian umbi hingga 15,34%, jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 23,46 %. Perlakuan Heterorhabditis sp. 2 x 109 J.I ha-1 berpengaruh nyata dalam menurunkan luas serangan hama boleng hingga 25,80%, jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 39,31%. Perlakuan kedua entomopatogen juga tidak diperoleh interaksi pada semua peubah pengamatan antar perlakuan setelah investigasi lapangan.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

PENGARUH APLIKASI Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

DAN Heterorhabditis sp TERHADAP SERANGAN HAMA

UBI JALAR Cylas formicarius (Fabr.) (Coleoptera: Brentidae)

ROSFIANSYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/ Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Aplikasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Heterorhabditis sp terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius (Fabr.) (Coleoptera: Brentidae)

Nama : Rosfiansyah

NRP : A451060031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Ketua

Dr. Ir. Supramana, M.Si Anggota

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Entomologi – Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian:

20 Februari 2009

Tanggal Lulus: 26 Februari 2009


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2008 adalah Pengaruh Aplikasi Beauveria bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap Serangan Hama Ubi Jalar Cylas formicarius (Fabr.) (Coleoptera: Brentidae).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dukungan, kemudahan fasilitas laboratorium dan bantuan pendanaan hingga penelitian selesai. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Supramana, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran serta motivasi selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan Bapak Iding atas kesediaannya meminjamkan lahan untuk penelitian. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Mama dan Bapak yang telah banyak memberikan dukungan moral dan materi, kemudian isteri serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009 Rosfiansyah


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 23 Desember 1979 sebagai anak sulung dari pasangan H. Utuh Misran dan Hj. Rusnani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2006 mendapat kesempatan untuk melanjutkan program magister pada Program Studi Entomologi/ Fitopatologi dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Dikti Depdiknas.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Mulawarman di Samarinda sejak tahun 2005 hingga sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Cylas formicarius F... 3

2.2. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana... 6

2.3. Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp... 8

2.4. Ubi Jalar ... 11

III. BAHAN DAN METODE ... 13

3.1. Tempat dan Waktu ... 13

3.2. Prosedur Percobaan dan Peubah Pengamatan... 13

3.3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 17

IV. HASIL ... 18

4.1. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen ... 18

4.1.1. Asal Isolat Nematoda Entomopatogen... 18

4.1.2. Pengamatan Entomopatogen di Laboratorium... 18

4.1.3. Identifikasi Nematoda Entomopatogen... 19

4.2. Pengamatan Entomopatogen di Lahan Sebelum Aplikasi ... 20

4.2.1. Keadaan Umum Lokasi Lahan... 20

4.2.2. Pengamatan Contoh Tanah Sebelum Aplikasi... 20

4.3. Pengamatan Hama Boleng di Lahan... 20

4.3.1. Pengamatan Populasi Hama Boleng dengan Pitfall Trap... 20

4.3.2. Pengamatan Serangan Hama Boleng pada Umbi Umur 16 dan 18 MST... 21


(12)

4.4. Pengaruh Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap

Serangan Hama Boleng ... 22

4.4.1. Pengaruh Aplikasi B. bassiana... 22

4.4.2. Pengaruh Aplikasi Heterorhabditis sp. . ... 23

4.4.3. Pengaruh Interaksi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. ... 26

V. PEMBAHASAN ... 27

5.1. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen di Lapangan ... 27

5.2. Pengamatan Entomopatogen di Lahan Sebelum Aplikasi ... 27

5.3. Pengamatan Hama Boleng di Lahan ... 28

5.4. Pengaruh Perlakuan B. bassiana terhadap Luas Serangan, Intensitas Serangan, Populasi Hama Boleng dan Berat Umbi ... 28

5.5. Pengaruh Perlakuan Heterorhabditis sp terhadap Luas Serangan, Intensitas Serangan, Populasi Hama Boleng dan Berat Umbi ... 30

5.6. Pengaruh Interaksi Perlakuan B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap Hama Boleng pada Umbi ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 33

5.1. Kesimpulan... 33

5.2. Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

LAMPIRAN... 40


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Serangan hama boleng pada umbi saat panen setelah aplikasi

B. bassiana . ... 22 2 Populasi hama boleng per umbi dan berat umbi sehat setelah aplikasi

B. bassiana... 23 3 Serangan hama boleng pada umbi saat panen setelah aplikasi

Heterorhabditis sp... 25 4 Populasi hama boleng per umbi dan berat umbi sehat setelah aplikasi

Heterorhabditis sp... 25


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Nematoda Heterorhabditis sp. dari telur Oxya sp ... 19

1.1 bentuk rileks Heterorhabditis sp. jantan... 19

1.2 bentuk rileks Heterorhabditis sp. betina dengan vulva ... 19

1.3 stoma, corpus, cincin syaraf, isthmus, basalbulb dan lubang ekskresi... 19

1.4 spikula dan bursa pada nematoda jantan ... 19

2 Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada umur 16 MST... 21

3 Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada umur 18 MST... 21

4 Hama boleng pada umbi ... 26

4.1 imago hama boleng... 26

4.2 telur hama boleng ... 26

4.3 larva hama boleng... 26

4.4 pupa hama boleng... 26

4.5 serangan hama boleng pada permukaan umbi ... 26 4.6 serangan hama boleng di dalam umbi dengan indeks kerusakan = 5 26


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Tata letak petak penelitian ... 41 2 Analisis ragam luas serangan hama boleng pada umbi

(data hasil di transformasi ke Arc Sin √x) ... 42 3 Analisis ragam intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi

(data hasil di transformasi ke Arc Sin √x) ... 42 4 Analisis ragam intensitas serangan hama boleng di seluruh bagian umbi

(data hasil di transformasi ke Arc Sin √x) ... 42 5 Analisis ragam jumlah rata-rata hama boleng pada umbi ... 43 6 Analisis ragam berat rata-rata umbi ... 43 7 Interaksi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap serangan

hama boleng pada umbi saat panen... 44 3 Curah hujan Juli – Desember 2008 (mm) ... 45


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ubi jalar merupakan tanaman pangan penyedia karbohidrat peringkat ke-7 di dunia (FAO 2004) dan di Indonesia merupakan penghasil karbohidrat peringkat ke-4 setelah padi, jagung dan ubi kayu (Zuraida & Supriati 2001). Selain itu berdasarkan data FAO (2004), sebagai negara penghasil ubi jalar, Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah Cina, Uganda dan Nigeria. Ubi jalar juga dapat bermanfaat sebagai sumber protein, vitamin (A, C dan K) dan kalsium yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Zuraida & Supriati 2001), serta dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan baku produk olahan industri dengan nilai tambah tinggi seperti tepung, pati, saus dan kecap (Zuraida 2003). Ubi jalar juga mudah dibudidayakan pada berbagai jenis tanah, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi serta dapat ditanam sepanjang tahun (Nonci 2005).

Budidaya ubi jalar banyak mengalami kendala produksi seperti iklim, varietas, umur, kesuburan tanah, ketinggian tempat dan gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Nonci 2005). Gangguan OPT dapat berupa serangan hama dan penyakit. Hama ubi jalar antara lain penggerek umbi, perusak daun, penggerek batang serta penghisap daun. Penyakit ubi jalar antara lain kudis cendawan, busuk bakteri, virus keriting dan puru akar oleh nematoda.

Cylas formicarius (Coleoptera: Brentidae) dikenal sebagai hama boleng atau lanas merupakan hama penting pada ubi jalar. Hampir di semua negara penghasil ubi jalar, hama boleng merupakan hama utama baik saat budidaya maupun di gudang penyimpanan (Capinera 2003). Kehilangan hasil akibat hama boleng dalam budidaya ubi jalar diperkirakan mencapai 10-90% di Indonesia (Nonci 2005), sedangkan di dunia diperkirakan 60-90% (Mannion & Jansson 1992).

Pengendalian hama boleng dengan insektisida sintetik sangat sukar diterapkan karena sebagian besar siklus hidupnya berada di dalam umbi, disamping itu insektisida kimia berbahaya bagi lingkungan (Jansson et al. 1990). Oleh karena itu, alternatif pengendalian hama boleng yang tepat, ramah lingkungan serta mendukung pertanian yang berkelanjutan perlu terus


(17)

2 dikembangkan. Alternatif pengendalian tersebut dapat dilaksanakan dengan pengendalian hayati, yaitu dengan memanfaatkan entomopatogen yang mampu mengendalikan serangga ini.

Beauveria bassiana dan Heterorhabditis sp. merupakan entomopatogen potensial yang dapat dimanfaatkan dalam mengendalikan serangga hama di lapangan. B. bassiana adalah cendawan entomopatogen yang memiliki kisaran inang yang luas (Lord 2001), serta memiliki strain yang beragam. Di laboratorium, cendawan ini telah dilaporkan efektif terhadap hama boleng (Bari 2006). Heterorhabditis sp. merupakan nematoda entomopatogen yang memiliki kisaran inang yang luas dan membutuhkan kondisi yang lembab untuk kemampuan infeksinya. Heterorhabditis sp. juga memiliki kemampuan mematikan inang yang lebih cepat dibandingkan entomopatogen kelompok cendawan, bakteri, maupun virus yaitu sekitar 2 hari (Tanada & Kaya 1993). Kemampuan Heterorhabditis sp. terhadap hama boleng di laboratorium juga telah dilaporkan efektif (Mannion & Jansson 1992; Bunga 2004).

Berdasarkan keefektifan entomopatogen B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap hama boleng di laboratorium perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui pengaruh aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. pada hama boleng di lapangan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menentukan kerapatan konidia B. bassiana dan kerapatan juvenil infektif Heterorhabditis sp. yang efektif dalam menurunkan serangan hama boleng.

2. Untuk mempelajari pengaruh B. bassiana dan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan serangan hama boleng.

3. Untuk mempelajari pengaruh interaksi antara B. bassiana dan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan serangan hama boleng.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cylas formicarius F 2.1.1. Penyebaran

Cylas formicarius F di Indonesia dikenal sebagai hama boleng atau lanas. Hama ini merupakan serangga ordo Coleoptera, famili Brentidae (Lawrence & Britton 1991; Kawamura et al. 2007). Serangga ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1875 di Lousiana, Amerika Serikat kemudian tahun 1878 di Florida dan tahun 1880 di Texas. Hama ini diperkirakan masuk melalui Kuba ke Amerika Serikat melewati pinggiran pantai, kemudian hama boleng tersebar di Hawaii dan Puerto Riko dan akhirnya tersebar di seluruh daerah tropis (Capinera 2003). Di Indonesia, hama boleng banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Nusa tenggara (Nonci 2005).

2.1.2. Bioekologi

Siklus hidup hama boleng umumnya berlangsung sekitar 6-7 minggu, mulai dari telur hingga dewasa (Kalshoven 1981), sedangkan menurut Capinera (2003) siklus hidup hama ini umumnya memerlukan waktu 1-2 bulan. Generasi hama boleng tidak merata dalam setahun karena tergantung lokasi penyebarannya. Sebagai perbandingan, di Indonesia generasi hama boleng mencapai 9 generasi dalam setahun (Nonci 2005), sedangkan generasi hama boleng di Louisiana (Amerika Serikat) mencapai 8 generasi dan di Texas (Amerika Serikat) hanya 5 generasi dalam setahun (Capinera 2003).

Telur. Telur diletakkan oleh imago betina dengan ovipositornya pada pangkal umbi dengan cara membuat lubang kecil menggunakan mulutnya. Setelah telur diletakkan pada umbi, imago betina kemudian menutup lubang tersebut dengan cairan berwarna keabu-abuan untuk menutupi lokasi peletakkan telur agar terlindung dari semut predator. Telur berbentuk oval dengan panjang 0,7 mm dan lebar 0,5 mm serta berwarna putih kekuningan. Masa inkubasi telur tergantung suhu lingkungan, yaitu 5-6 hari saat musim panas dan 11-12 hari saat musim dingin (Capinera 2003).

Larva. Telur yang menetas menjadi larva akan langsung masuk menggerek umbi (Nonci 2005). Larva terdiri atas tiga instar dengan periode instar


(19)

4 pertama 8-16 hari, instar kedua 2-21 hari dan instar ketiga 35-36 hari (Capinera 2003). Panjang larva 8-10 mm, berwarna putih, tidak memiliki tungkai, sedikit melengkung, dan kepala berwarna cokelat muda. Larva bisa menjadi pupa di dalam umbi atau di dalam tanah (Kalshoven 1981).

Pupa. Pupa berbentuk oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral, serta panjang tubuh sekitar 6-6,5 mm. Pupa awalnya berwarna putih, tetapi setelah itu berubah menjadi keabu-abuan dan pada bagian mata dan tungkai berwarna gelap. Setelah 7-10 hari pupa berubah menjadi imago (Capinera 2003).

Imago. Imago yang baru keluar dari pupa tinggal 1-2 hari di dalam umbi, kemudian keluar dari umbi (Nonci 2005). Imago bisa bertahan hidup selama 3 bulan. Pada waktu musim kering, imago lebih aktif dan berkembang lebih cepat, sedangkan pada musim hujan aktivitas imago dapat mengalami penurunan. Setiap harinya imago betina dewasa bisa bertelur ± 2 butir dan jumlahnya bisa mencapai 200 butir (Kalshoven 1981). Kepala berwarna hitam dengan antena, toraks dengan tungkai berwarna oranye hingga cokelat kemerahan, abdomen ditutup oleh elytra yang berwarna biru metalik (Capinera 2005), sedangkan menurut penjelasan Kalshoven (1981) bahwa imago hama ini bertubuh langsing, bertungkai panjang dan memiliki panjang tubuh 6-8 mm. Moncong, kepala dan elytra berwarna biru. Toraks, antena dan tungkai berwarna merah. Selain itu, imago jantan dan betina berbeda pada ukuran serta bentuk ruas antena ke-10, yaitu antena imago jantan pada ruas ke-10 memanjang sedangkan imago betina pada ruas ke-10 menggada (Borror et al. 1996).

Imago hama boleng lebih banyak melakukan aktivitas pada malam hari dan biasanya tertarik pada cahaya lampu. Hama boleng dapat menyerang daun dan tangkai, tetapi biasanya imago hama boleng lebih sering menyerang umbi dengan cara menggerek sedalam 1 sampai 2 cm. Selain menyerang pada umbi di lapangan, serangan hama boleng juga bisa berlanjut terus hingga umbi disimpan di gudang (Kalshoven 1981).

2.1.3. Pengendalian Hama Boleng

Pengendalian hama boleng yang dapat dilaksanakan pada budidaya ubi jalar terdiri dari pengendalian dengan menggunakan varietas tahan, pengendalian


(20)

5 hayati (menggunakan predator, parasitoid dan entomopatogen), teknik budidaya dan pengendalian secara kimia.

Pengendalian melalui varietas tahan dilaksanakan dengan menanam varietas yang memiliki sumber ketahanan terhadap hama. Sumber ketahanan ini didapatkan dengan menguji ketahanan berbagai macam plasma nutfah ubi jalar terhadap hama boleng. Penelitian Zuraida et al. (2005) melaporkan bahwa dari 50 varietas yang diuji ketahanannya terhadap hama boleng di Laboratorium Bank Gen, hanya didapatkan 1 varietas yang tahan terhadap hama boleng yaitu varietas Yoban, sedangkan 9 varietas agak tahan terhadap hama boleng, 24 varietas agak peka dan 16 varietas peka.

Pengendalian hayati hama boleng dengan menggunakan musuh alami terdiri atas pengendalian dengan predator, parasitoid dan entomopatogen. Predator yang potensial adalah semut predator Pheidole megacephala dan Tetramorium guineense (Hymenoptera: Formicidae) (Alcazar et. al. 1996). Pengendalian de-ngan parasitoid dilakukan dede-ngan Bracon mellitor Say, B. punctatus (Muesebeck) dan Metapelma spectabile Westwood (semua Hymenoptera: Braconidae) dan Euderus purpureas Yoshimoto (Hymenoptera: Eulophidae) (Capinera 2003). Pengendalian dengan entomopatogen dapat menggunakan cendawan B. bassiana (Hypocreales: Clavicipitaceae) serta nematoda famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Capinera 2003).

Pengendalian dengan teknik budi daya meliputi penggantian maupun modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atau tidak langsung dapat menurunkan populasi hama boleng. Cara ini tidak mencemari lingkungan, relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel dengan pengendalian yang lain (Nonci 2005). Retakan tanah ketika umbi bertambah besar merupakan jalan utama bagi hama untuk mencapai umbi dan akar untuk meletakkan telur. Retakan tanah ini dapat ditutup dengan memberikan air, mencangkul atau menggunakan mulsa. Sanitasi dengan membersihkan sisa-sisa tanaman setelah panen juga penting dalam pengendalian hama boleng, karena hama ini terdapat pada akar dan batang.

Dianjurkan juga mencabut dan memusnahkan semua tanaman inang alternatif. Penggunaan pucuk batang (25-30 cm) merupakan bibit tanaman terbaik, karena bebas dari telur dan larva (AVRDC 2004).


(21)

6

Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan feromon sex serangga betina (Z)-3-dodecen-1-o1(E)-2-butenoate. Penggunaan feromon ini memiliki keefektifan sebagai perangkap massal untuk menarik serangga jantan. Kelebihan lain dari feromon ini adalah biaya yang dikeluarkan tidak mahal serta mudah dilaksanakan (Hwang 2000). Penggunaan feromon sex dapat dimanfaatkan untuk mengetahui tingkat populasi dan penyebaran hama boleng di lahan (Komi 2000; Capinera 2003). Selain itu, pengendalian kimia juga dapat dilakukan menggunakan insektisida sintetis baik insektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yang bersifat sistemik. Aplikasi insektisida pada saat tanam dapat mencegah kerusakan pada bibit, dan aplikasi setelah tanam dapat mencegah serangan hama bolengdari tanaman di sekitarnya (Nonci 2005).

2.2. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana

2.2.1. Taksonomi

B. bassiana (Balsamo) Vuillemin berdasarkan klasifikasi fase aseksualnya digolongkan ke dalam cendawan divisi Deuteromycota, kelas Hyphomycetes, dan ordo Moniliales yang dikenal dengan nama white muscardine (Tanada & Kaya 1993). Disamping itu, cendawan ini berdasarkan fase seksualnya masuk ke dalam divisi Ascomycota, kelas Sordariomycetes, ordo Hypocreales dan famili Clavicipitaceae (Roy et al. 2006; CABI 2007).

2.2.2. Morfologi

Tanada & Kaya (1993) menerangkan bahwa B. bassiana merupakan cendawan tidak sempurna (imperfect fungi) yang berkembang biak secara aseksual. Karakteristik konidiofor ditopang oleh hifa hialin, berkonidia tunggal, beralur zig zag dan memiliki konidia berbentuk oval.

2.2.3. Bioekologi

B. bassiana ditemukan pertama kali pada ulat sutera di tahun 1912. Cendawan ini ditemukan secara luas di dunia sebagai saprofit di dalam tanah dan merupakan cendawan yang memiliki jumlah inang terbesar. B. bassiana telah dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 100 spesies serangga dari ordo Lepidoptera, Coeloptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera (Tanada & Kaya 1993; Prayogo 2006), namun demikian cendawan ini lebih efektif mengendalikan


(22)

7 hama ordo Coeloptera (Varela & Morales 1996), dimana hama boleng merupakan salah satu inangnya (Capinera 2003).

B. bassiana dapat diisolasi dari bangkai serangga maupun tanah, karena tanah merupakan tempat terbaik untuk propagul infektif dan bertahan hidup dalam bentuk konidia atau hifa safrofit (Abebe 2002; Gottwald & Tedders 1984). Jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, cendawan ini akan melakukan dormansi dan akan aktif apabila mendapatkan inang untuk diinfeksi (Boucias & Pendland 1998).

Penempelan konidia ke tubuh serangga biasanya terjadi secara pasif melalui bantuan angin atau air, sehingga menyebabkan kontak antara konidia dengan permukaan integumen (Inglis et al. 2001). Setelah terjadi kontak, konidia B. bassiana membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat berkecambah dan menginfeksi serangga, karena perkecambahan konidia tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya dan nutrisi (Tanada & Kaya 1993; Inglis et al. 2001).

Perkembangan konidia memerlukan sumber karbon seperti glukosa, glukosamin, khitin, ragi serta sumber nitrogen untuk pertumbuhan hifa. Perkembangan konidia dapat terjadi pada integumen serangga dengan melakukan penempelan dan perkecambahan pada kutikula, kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel dan akhirnya cendawan berkembang dalam tubuh serangga sehingga menyebabkan kematian (Tanada & Kaya 1993). Selain integumen, B. bassiana juga dapat menginfeksi melalui saluran makanan, trakea dan luka (Broome et al. 1976 diacu dalam Trizelia 2005).

Pada kondisi in vitro, cendawan ini mampu berkembang pada suhu 15-35 0C dan kelembaban di bawah 95,5% (Lecuona et al. 2001). Perbanyakan B. bassiana dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media seperti Potato Dextrose Agar (PDA), Sabaroud Dextrose Agar (SDA), jagung, kentang, kedelai, ubi kayu, kacang hijau dan dedak (Tobing et al. 2006).

Pada aplikasi laboratorium uji keefektifan B. bassiana tidak ditemukan banyak kendala. Akan tetapi pada aplikasi lapangan, keefektifan B. bassiana ditemukan berbagai macam kendala kondisi lingkungan seperti hujan, sinar matahari, waktu aplikasi, konsentrasi aplikasi serta frekuensi aplikasi (Prayogo 2006). Selain itu, persistensi cendawan entomopatogen di dalam tanah juga


(23)

8 dipengaruhi oleh berbagai faktor tanah seperti tipe tanah, kadar air tanah dan mikroflora tanah (Inglish et al. 2001). Shimazu et al. (2002) menyatakan bahwa kerapatan konidia B. bassiana dalam tanah akan menurun setelah 12 bulan dan aplikasi B. bassiana tidak mempengaruhi kerapatan mikroorganisme lain.

2.2.4. Proses Infeksi

Konidia yang telah berkecambah membentuk tabung kecambah dengan mengambil makanan dari integumen serangga, setelah itu menembus integumen dan masuk ke dalam hemosel. Cendawan membentuk tubuh hifa yang kemudian ikut beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lain seperti jaringan lemak, sistem syaraf, trakea dan saluran pencernaan. Pada saluran pencernaan konidia berkembang dalam waktu 72 jam, setelah itu hifa melakukan penetrasi pada dinding usus sekitar 60-72 jam. Kerusakan saluran pencernaan terjadi dengan hancurnya pencernaan, kemudian masuk ke hemosel dan mengubah pH hemolimfa, setelah itu serangga akan kehabisan nutrisi dan akhirnya mati (Tanada & Kaya 1993; Santoso 1993).

Inglish et al. (2001), menambahkan bahwa selain akibat kehabisan nutrisi, kematian serangga juga dapat disebabkan adanya tekanan fisik akibat masuknya hifa pada jaringan serangga, peracunan oleh mikotoksin B. bassiana serta aksi kombinasi ketiganya. B. bassiana dapat memproduksi mikotoksin dalam tubuh serangga. Toksin ini dapat menyebabkan pembengkakan atau kekakuan pada tubuh serangga (Tanada & Kaya 1993). Mikotoksin yang dihasilkan dapat berupa beauvericin yang merupakan toksin penghambat perkembangan serangga, bassianolide dan oosporein (Tanada & Kaya 1993; Inglis et al. 2001). Selain itu, toksin tersebut dapat menghambat pembusukan yang disebabkan bakteri pada tubuh serangga sehingga cendawan dapat melakukan mumifikasi dengan baik pada tubuh serangga (Hafez et al. 1994; Tanada & Kaya 1993).

2.3. Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. 2.3.1. Morfologi

Nematoda umumnya memiliki bentuk tubuh seperti cacing, tubuhnya transparan (translucent), memanjang dan silindris. Tubuh ditutupi oleh kutikula non seluler yang elastis serta berfungsi untuk melindungi tubuh dari tekanan luar. Nematoda memiliki sistem pengeluaran, sistem syaraf, sistem pencernaan, sistem


(24)

9 reproduksi dan sistem pergerakan. Sistem pencernaan terdiri dari mulut, stoma, esofagus yang terbagi menjadi corpus (procorpus dan metacorpus), isthmus dengan cincin syaraf serta basal bulb, selanjutnya diikuti oleh usus dan rektum. (Tanada & Kaya 1993; Dropkin 1996). Nematoda famili Heterorhabditidae memiliki lubang ekskresi pada bagian posterior cincin syaraf, berbeda dibandingkan famili Steinernematidae yang memiliki lubang ekskresi pada bagian anterior cincin syaraf (Kaya & Stock 1997).

Nematoda biasanya memiliki sistem reproduksi yang terpisah, yaitu terdapat jantan dan betina. Namun pada beberapa nematoda memiliki dua sistem reproduksi sekaligus dalam satu individu. Jantan memiliki sistem reproduksi yang berkembang masuk ke rektum dan membentuk kloaka. Jantan dewasa dicirikan dengan kehadiran satu atau dua testis dan terdapat spikula yang bergabung dengan kloaka serta terdapat bursa kopulatrik, khususnya pada jantan famili Heterorhabditidae. Selain itu, sistem reproduksi nematoda betina tersusun atas satu atau dua ovari dengan vulva yang terletak pada bagian ventral (Tanada & Kaya 1993).

Juvenil infektif merupakan nematoda entomopatogen fase ke-tiga yang masih terbungkus kutikula fase ke-dua yang dinamakan dauer juvenile. Kutikula ini berfungsi sebagai pelindung dari gangguan mikroorganisme dan invertebrata lain.

2.3.2. Biologi dan Ekologi

Nematoda entomopatogen Heterorhabditis sp. ditemukan pertama kali oleh Poinar pada tahun 1976 di Australia pada pupa Heliothis punctigera Wallengren (Nguyen & Smart 1990). Nematoda ini digolongkan dalam kelas Secernentea ordo Rhabditida famili Heterorhabditidae (Tanada & Kaya 1993; Adams & Nguyen 2002).

Heterorhabditis sp. merupakan salah satu agen pengendali hayati yang efektif. Nematoda ini memiliki virulensi tinggi, kisaran inang yang luas pada serangga, tidak berbahaya bagi manusia, hewan, tumbuhan maupun organisme lain bukan target dan mampu menyerang serangga di lapangan yang hidup pada habitat kriptik (Grewal et al. 2001; Hazir et al. 2004). Selain itu berdasarkan penelitian Jansson et al. (1990), efikasi Heterorhabditis sp di lapangan mampu


(25)

10 menurunkan populasi hama boleng mulai 68% hingga 83% dan menekan kerusakan pada ubi jalar 45% hingga 81%.

Tanada dan Kaya (1993), menjelaskan bahwa Heterorhabditis sp dalam hidupnya berasosiasi secara mutualisme dengan bakteri simbion Photorhabdus sp. Bakteri ini memiliki dua bentuk koloni. Koloni pertama disebut dengan fase 1 yang disolasi dari nematoda infektif dan menghasilkan antibiotik. Koloni kedua disebut dengan fase 2 yang diisolasi dari bangkai serangga tua atau secara in vitro dari media kultur nematoda.

Siklus hidup Heterorhabditis sp., dimulai dari juvenil infektif yang hidup bebas, kemudian melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga inang hingga serangga inang mati. Di dalam tubuh serangga inang yang mati, nematoda generasi pertama tetap berkembang di dalam tubuh inang dan menjadi dewasa yang hermafrodit. Nematoda ini dapat menghasilkan telur sendiri yang kemudian menetas di dalam tubuhnya menjadi generasi ke-dua yang amfimiktik. Juvenil 1 terdiri dari betina dan jantan (ketika dewasa ukuran jauh lebih kecil dari betina), kemudian menjadi juvenil 2. Setelah menjadi dauer juvenil, nematoda keluar dari tubuh induknya (matricidal endotoky) dan akhirnya keluar dari bangkai inang untuk mencari serangga inang baru dan melakukan penetrasi (Tanada & Kaya 1993; Burnell & Stock 2000).

Di laboratorium, Heterorhabditis sp. dapat keluar dari tubuh inang pada 8-14 hari setelah infeksi. Selain itu, dalam kondisi laboratorium dauer juvenil bisa hidup dalam periode yang sangat lama hingga mencapai lima tahun, yaitu dengan membiakkannya secara in vitro pada media kultur (Tanada & Kaya 1993; Hazir et al. 2004).

2.3.3. Proses Infeksi

Juvenil infektif Heterorhabditis sp melakukan penetrasi secara langsung pada bagian tubuh inang ataupun penetrasi melewati mulut, spirakel ataupun trakea (Hazir et al. 2004; Burnell & Stock 2000), kemudian juvenil infektif menuju mesenteron dan masuk ke hemosel untuk melepaskan bakteri simbion melalui anusnya. Setelah itu, bakteri simbion memperbanyak diri secara cepat di dalam tubuh inang dan menyebabkan kematian dalam waktu 48 jam (Tanada & Kaya 1993; Burnell & Stock 2000).


(26)

11 2.4. Ubi Jalar

2.4.1. Biologi dan Ekologi

Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.)) tergolong ke dalam famili Convolvula-ceae. Tanaman ini merupakan tanaman dikotiledon (bji berkeping dua) dan perkembangannya terlihat seperti semak dan menjalar. Selama pertumbuhannya ubi jalar dapat berbunga, berbuah dan berbiji.

Tanaman ubi jalar berasal dari daerah tropis Amerika dan awalnya dibudidayakan oleh petani suku Inka di Peru (Simmone et al. 2006). Di Indonesia, budidaya ubi jalar menggunakan berbagai varietas di berbagai daerah, dengan lingkungan serta iklimi yang berbeda.

Ubi jalar dibudidayakan dengan ketinggian tempat yang bervariasi, yaitu ketinggian 10 m hingga 2500 m di atas permukaan laut. Daerah yang ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah dengan suhu 21-270 C, lama sinar matahari sekitar 11-12 jam per hari, kelembaban udara 50-60 % dan curah hujan 750-1500 mm per tahun (Saleh & Hartoyo 2000). Pertumbuhan dan produksi ubi jalar yang paling optimal akan tercapai pada musim kemarau, ubi jalar dapat tumbuh pada keasaman tanah (pH) 4,5-7,5, akan tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan adalah 5,5-7,0. Hasil panen terbaik akan diperoleh jika ubi jalar ditanam di tanah pasir berlempung kaya bahan organik, karena struktur tanah halus, gembur, subur memiliki daya tahan menahan air yang tinggi dan terdapat aktivitas mikroorganisme tanah yang tinggi (Sarwono 2005).

Di Indonesia khususnya Jawa Barat, petani cenderung memilih varietas lokal dalam produksi ubi jalar. Varietas yang sering digunakan di Jawa Barat untuk daerah Bogor adalah Tariko, Tumpuk, Jarak Merah dan Jaruju, sedangkan daerah Kuningan adalah Lampeneng, Citok dan Ceret (BB-BIOGEN 2002, diacu dalam Zuraida 2003). Selain itu, pemerintah juga telah melepas secara resmi sekitar dua belas varietas dengan produksi tinggi pada rentang tahun 1978-2001. Varietas-varietas itu adalah Daya, Prambanan, Mendut, Borobudur, Kalasan, Cangkuang, Sewu, Sari, Kidal, Sukuh, Jago dan Bako. Varietas-varietas ini selain memiliki produksi tinggi, juga memiliki ketahanan terhadap penyakit kudis (Puslitbangtan 2001, diacu dalam Zuraida 2003).


(27)

12 2.4.4. Teknik Budidaya

Budidaya ubi jalar dilakukan dengan menanam stek dari pucuk tanaman ubi jalar. Kualitas stek seperti bagian dan panjang stek memegang peranan dalam produksi hasil umbi. Pada umumnya sebagian petani memakai stek yang kurang mempunyai kualitas baik, sehingga produksinya rendah. Penanaman stek pucuk menghasilkan produksi umbi 30% lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman stek bagian tengah, sedangkan panjang stek 30 cm menghasilkan produksi umbi 47% lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan stek 20 cm (Basuki et al. 1987, diacu dalam Zuraida & Supriati 2001).


(28)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dari April 2008 hingga Desember 2008.

3.2. Prosedur Percobaan dan Peubah Pengamatan 3.2.1. Penyiapan isolat B. bassiana

Isolat cendawan B. bassiana yang digunakan dalam penelitian merupakan isolat koleksi Laboratorium Patologi Serangga. Cendawan ditumbuhkan kembali dengan cara dipindahkan ke dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi selama 21 hari pada suhu 25 0C. Cendawan diperbanyak menggunakan media beras yang diinkubasi selama 21 hari pada suhu 25 0C, sampai cendawan siap digunakan.

Cendawan pada media beras diambil sebanyak 1 gr dan diletakkan ke dalam tabung reaksi. 10 ml akuades yang disterilkan dan 1 tetes Tween 80 sebagai bahan perata ditambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut. Konidia dalam larutan akuades di tabung reaksi kemudian diratakan menggunakan vorteg dan diencerkan hingga 10-3. Larutan konidia diambil 1 ml untuk dihitung jumlah konidianya dengan Haemocytometer (Burker) di bawah mikroskop. Konidia yang telah dihitung kerapatannya, dikonversikan sesuai dengan kerapatan yang telah ditentukan dalam rancangan percobaan.

3.2.2. Penyiapan Isolat Heterorhabditis sp.

Isolat Heterorhabditis sp. yang digunakan dalam penelitian didapatkan dari telur belalang Oxya sp. dalam pelepah talas di lahan budidaya talas Bubulak, Bogor. Telur-telur Oxya sp. diperoleh dengan cara memotong dan membelah pelepah talas di sekitar lubang tempat peneluran. Potongan-potongan pelepah talas yang berisi telur tersebut diaduk dalam gelas piala untuk mengeluarkan juvenil infektif nematoda dari telur. Nematoda yang diperoleh dimurnikan dan diperbanyak dengan Tenebrio mollitor (Coleoptera: Tenebrionidae) dengan metode kertas saring (Wooding & Kaya 1988).


(29)

14 Perbanyakan nematoda dengan metode kertas saring dilakukan dengan meletakkan ulat sebanyak 3-5 ekor ke dalam cawan yang sebelumnya telah dilapisi dengan kertas saring. Ke dalam cawan Petri ditetesi 1 ml cairan yang berisi juvenil infektif kemudian ditutup. Setelah 2-3 hari ulat-ulat tersebut mati, juvenil infektif nematoda pada bangkai ulat tersebut dapat dikeluarkan dengan menggunakan metode White Trap. Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan cawan yang lebih kecil ke dalam cawan yang lebih besar. Pada cawan Petri yang lebih kecil dialasi dengan kertas saring dan bangkai ulat diletakkan diatasnya, kemudian akuades ditambahkan secukupnya ke dalam cawan. Ujung kertas saring harus menyentuh permukaan akuades yang terdapat di dalam cawan Petri. Sekitar satu minggu setelah peletakan bangkai, Heterorhabditis sp. fase 3 (juvenil infektif) akan keluar dari inangnnya dan terperangkap dalam akuades. Nematoda dipanen dengan menambahkan akuades yang disterilkan untuk memudahkan nematoda keluar dari bangkai ulat dan dipindahkan ke dalam botol penyimpanan yang telah disterilkan.

Akuades berisi nematoda di botol penyimpanan diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml (nematoda diratakan terlebih dahulu di dalam botol dengan menyemprotkan pipet secara perlahan), dan dipindahkan ke dalam cawan Petri kecil untuk dihitung kerapatan populasinya di bawah mikroskop. Pengambilan dan penghitungan ini dilakukan sebanyak tiga kali dan dirata-ratakan. Juvenil infektif yang telah dihitung kerapatannya dikonversikan sesuai kerapatan yang telah ditentukan dalam rancangan percobaan.

3.2.3. Persiapan Lahan

Sanitasi lahan dilakukan untuk memperkecil kejadian hama dan penyakit. Pengolahan tanah dilakukan untuk menggemburkan tanah. Sisa-sisa tanaman padi kemudian disebarkan pada permukaan tanah sebagai pupuk hijau.

Percobaan dilakukan pada tiga petak (sebagai ulangan), setiap petak dibagi menjadi 16 sub petak (sebagai perlakuan) yang ditentukan secara acak. Setiap sub petak terdiri dari dua guludan dengan ukuran panjang 400 cm dan lebar 60 cm dengan jarak antar tanaman berkisar 30 cm dan jarak antar guludan 40 cm.


(30)

15 Bibit berupa stek diambil dari pucuk yang tumbuh dari umbi sehat dan ditanam langsung di lahan yang telah diberakan 1 minggu. Ubi jalar varietas ceret ditanam menurut metode petani setempat.

3.2.4. Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp.

Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. di lapangan dilakukan saat telah terbentuk umbi atau sekitar 15 minggu setelah tanam (MST). Aplikasi entomopatogen ini dilakukan setiap 2 minggu sekali pada pagi hari dengan melakukan penyiraman langsung ke tanah sekitar umbi hingga 3 kali aplikasi. Volume aplikasi dan dosis yang digunakan mengacu pada rancangan percobaan. 3.2.5. Pengamatan Keberadaan Hama Boleng dan Entomopatogen di Lahan

Pengamatan keberadaan hama boleng di sekitar tanaman dilakukan pada 14 MST, 16 MST dan 18 MST dengan menggunakan pitfall trap yang ditempatkan secara acak pada masing-masing sub petak perlakuan. Pengamatan kerusakan umbi akibat hama boleng dilakukan ketika pengamatan dengan pitfall trap tidak efektif dalam memastikan adanya keberadaan hama boleng. Pengamatan kerusakan umbi dilakukan dengan mengambil satu umbi secara acak di setiap sub petak perlakuan pada umur 16 MST dan 18 MST.

Sebelum aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp., contoh tanah diambil terlebih dahulu pada lima titik secara acak di setiap petak percobaan, untuk mengetahui keberadaan organisme entomopatogen khususnya yang berupa cendawan dan nematoda. Setelah itu, contoh tanah yang didapatkan diujikan terhadap T. mollitor di laboratorium sekitar 3–10 hari, untuk memerangkap entomopatogen yang ada di dalam tanah. Entomopatogen yang didapatkan kemudian dipisahkan dan diidentifikasi.

3.2.6. Pengamatan Umbi saat Panen

Pengaruh B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap hama boleng ditentukan berdasarkan tingkat serangan hama ini pada umbi. Pengukuran tingkat serangan ini dilakukan pada saat panen dengan mengambil umbi dari 6 tanaman contoh secara acak pada tiap petak. Tingkat serangan yang diukur terdiri atas luas serangan (LS), intensitas serangan (IS) pada permukaan umbi dan intensitas serangan seluruh bagian umbi. Di samping tingkat serangan hama, juga diamati


(31)

16 pengaruh aplikasi kerapatan entomopatogen terhadap populasi hama boleng pada umbi dan berat umbi.

Luas serangan hama boleng dihitung dengan rumus: % 100 x diamati yang umbi contoh Seluruh diamati yang umbi contoh dari terserang Umbi LS

=

sedangkan, intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi dan seluruh bagian umbi didefenisikan sebagai:

%

100

)

(

1

x

N

x

Z

v

x

n

IS

k i i i

=

=

IS : Intensitas serangan (%)

ni : Jumlah umbi yang rusak pada setiap kategori serangan tiap perlakuan

vi : Nilai indeks kerusakan umbi pada setiap kategori serangan

Z : Nilai skala tertinggi yang digunakan N : Jumlah seluruh umbi yang diamati

Nilai indeks kerusakan yang digunakan pada intensitas serangan pada permukaan umbi adalah (IPM CRSP 2003):

Indeks Kerusakan Deskripsi 0 1 2 3 4 5 Tanpa serangan

1 – 20 % kerusakan jaringan 21 – 40 % kerusakan jaringan 41 – 60 % kerusakan jaringan 61 – 80 % kerusakan jaringan 81 -100 % kerusakan jaringan

Sementara itu, untuk intensitas serangan pada seluruh bagian umbi, indeks kerusakannya adalah (IPM CRSP 2003):


(32)

17 Indeks Kerusakan Deskripsi 0 1 2 3 4 5 Tanpa serangan

Kedalaman terowongan 0,01-0,50 cm; 0-6% kerusakan dalam Kedalaman terowongan 0,5-1,0 cm; 7-12% kerusakan dalam Kedalaman terowongan 1,0-1,5 cm; 13-24% kerusakan dalam Kedalaman terowongan 1,5-2,0 cm; 25-48% kerusakan dalam Kedalaman terowongan > 2,0 cm; > 48% kerusakan dalam

Kepadatan hama boleng di dalam umbi diukur dengan menghitung rata-rata individu hama boleng per umbi sebagai berikut:

umbi contoh seluruh Jumlah rusak umbi pada boleng hama Jumlah umbi per boleng hama Populasi =

dan berat umbi sehat yang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

(

)

umbi seluruh Jumlah IS x umbi berat Total umbi berat Total sehat umbi berat rata

Rata− = −

3.3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Percobaan disusun dengan rancangan faktorial dalam acak kelompok dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan konidia B. bassiana: 0 konidia ml-1 (B0), 106 konidia ml-1 (B1), 107 konidia ml-1 (B2) dan 108 konidia ml-1 (B3) (Bari 2006; Prayogo 2006). Faktor ke-dua adalah kerapatan populasi juvenil infektif Heterorhabditis sp. 0 J.I ha-1 (S0), 1,0 x 109 J.I ha-1 (S1), 2,0 x 109 J.Iha-1 (S2), 3,0 x 109 J.I ha-1 (S3) (Janson et al. 1990).

Perbedaan luas serangan, intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan pada seluruh umbi, populasi hama pada umbi, dan berat umbi sehat antar perlakuan diuji dengan analisis ragam menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 12. Jika terdapat perlakuan yang menunjukkan perbedaan nyata, maka diuji dengan Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 %.


(33)

IV. HASIL

4.1. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen

4.1.1. Asal Isolat Nematoda Entomopatogen

Tempat pengambilan contoh adalah lahan budidaya Talas di Bubulak, Kota Bogor. Lahan tersebut terletak di pinggiran ruas jalan besar antara hutan konservasi CIFOR dan Terminal Bubulak Kota Bogor.

Secara umum, tanaman dalam keadaan subur pada saat pengambilan contoh. Contoh yang diambil merupakan pelepah talas yang memiliki lubang bekas oviposisi belalang Oxya sp. Lubang ini terletak pada bagian pangkal pelepah hingga pada 1/4 bagian pelepah. Pada pengamatan, lubang oviposisi berwarna coklat kehitaman.

4.1.2. Pengamatan Nematoda Entomopatogen di Laboratorium

Infeksi nematoda menggunakan metode kertas saring dapat menyebabkan kematian T. mollitor dalam jangka waktu 2-3 hari. Pada White trap dalam cawan Petri menunjukkan bahwa nematoda yang pertama keluar adalah nematoda dewasa. Nematoda dewasa tersebut mulai keluar 2-3 hari setelah peletakan bangkai pada cawan, sedangkan juvenil infektif mulai keluar 4 hari setelah peletakan bangkai. Pemanenan juvenil infektif nematoda dapat dilakukan mulai 5 hari setelah peletakan bangkai larva T. mollitor, tetapi kuantitas nematoda yang lebih baik dipanen adalah 7 hari setelah peletakan bangkai.

Pada pengamatan aktivitas nematoda pada cawan, juvenil infektif nematoda bergerak sangat aktif di dalam air, sedangkan nematoda dewasa pergerakannya sangat lambat dan cenderung hanya berdiam diri. Juvenil infektif juga mampu menjelajah sampai pada langit-langit penutup cawan Petri, sehingga pada saat pemanenan, penutup cawan juga harus ikut dibilas untuk memindahkan juvenil infektif. Pengamatan sekitar 1 bulan setelah peletakan bangkai, generasi nematoda dalam cawan Petri masih hidup dan berkembang, akan tetapi generasi yang dihasilkan adalah nematoda betina. Nematoda yang diperoleh mampu bertahan hingga sekitar 3 bulan setelah peletakan bangkai.


(34)

19 4.1.3. Identifikasi Nematoda Entomopatogen

Identifikasi nematoda entomopatogen dilakukan berdasarkan karakter morfologi betina dan jantan dewasa (Kaya & Stock 1997; Adam & Nguyen 2002). Bentuk rileks nematoda jantan membentuk karakteristik “J” (Gambar 1A) dan betina membentuk karakteristik seperti “jarum yang agak membengkok” (Gambar 1B). Nematoda tidak memiliki stilet dengan kepala berbentuk kerucut terpotong di

bagian depan atau agak membulat. Nematoda juga memiliki stoma, corpus,

isthmus yang panjang dengan cincin syaraf yang terletak ditengah-tengahnya,

basal bulb, kemudian lubang ekskresi yang terletak pada bagian posterior setelah

basal bulb. Selain itu, pada betina terdapat vulva dengan ekor yang meruncing dan panjang, sedangkan jantan terdapat spikula dengan bursa kopulatrik pada bagian ekor. Berdasarkan keberadaan bursa pada nematoda jantan tersebut dan lubang ekskresi yang terletak pada bagian posterior cincin syaraf setelah basal bulb, maka nematoda ini diidentifikasi sebagai famili Heterorhabditidae (Kaya & Stock 1997).

1.1 1.2 1.3

1.4

(1)

(2) (4)

(5)

(9) (8) (6) (7)

(3)

Gambar 1 Nematoda Heterorhabditis sp. dari telur Oxya sp. 1.1 bentuk rileks Heterorhabditis sp. jantan

1.2 bentuk rileks Heterorhabditis sp. betina dengan vulva (7)

1.3 stoma (1), corpus (2), cincin syaraf (3), isthmus (4), basalbulb (5) dan lubang ekskresi (6)


(35)

20

4.2. Pengamatan Entomopatogen di Lahan Sebelum Aplikasi

4.2.1. Keadaan Umum Lokasi Lahan

Lahan ubi jalar yang digunakan pada penelitian ini merupakan lahan bekas tanaman padi. Tiga blok petak yang digunakan pada penelitian memiliki ketinggian yang berbeda. Petak blok I merupakan terletak di pinggir ruas jalan raya dan lebih tinggi daripada petak blok II, dan petak blok II lebih tinggi daripada petak blok III. Saat tanaman berumur 1 minggu, sekitar 4 meter dari petak III terdapat lahan ubi jalar yang baru dipanen. Sedangkan sekitar 7 meter di depan petak I (di seberang jalan raya) terdapat lahan ubi jalar yang masih berumur sekitar 2 bulan. Ubi jalar ditanam saat curah hujan masih rendah (Lampiran 3), sehingga tanah pada lahan tampak masih kering.

Petani di daerah percobaan sering menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama padi di lahan. Insektisida yang sering digunakan oleh petani adalah Decis 2,5 EC, sedangkan Furadan 3 G terkadang digunakan untuk mengendalikan serangga yang terdapat di dalam tanah.

4.2.2. Pengamatan Contoh Tanah Sebelum Aplikasi

Pengamatan entomopatogen sebelum aplikasi B. bassiana dan

Heterorhabditis sp. dilakukan dengan mengambil sampel tanah pada lima titik secara acak pada setiap petak percobaan. Pada seluruh sampel tanah tidak ditemukan adanya entomopatogen khususnya cendawan dan nematoda pada serangga uji ulat Hongkong (T. mollitor). Hasil ini mengindikasikan bahwa, jika terjadi serangan B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap hama boleng, maka organisme entomopatogen tersebut berasal dari perlakuan yang diberikan, bukan dari alam.

4.3. Pengamatan Hama Boleng di Lahan

4.3.1.Pengamatan Populasi Hama Boleng dengan Pitfall Trap

Saat awal dilakukan pemasangan pitfall trap pada 14 MST, umumnya

tanaman dalam keadaan subur dengan tajuk-tajuk menutupi permukaan tanah,

sehingga untuk memasang pitfall trap mengalami kesulitan karena harus


(36)

21 Pada 14, 16 dan 18 MST, di pitfall trap tidak ditemukan adanya hama boleng. Diduga pergerakan hama boleng lebih banayak dilakukan di tanaman yang rimbun, daripada lewat tanah.

4.3.2. Pengamatan Serangan Hama Boleng pada Umbi Umur 16 dan 18 MST Pada beberapa petak perlakuan ditemukan adanya kerusakan umbi. Kerusakan tertinggi terjadi pada umbi umur 16 MST yaitu hampir 25% (Gambar 2), sedangkan pada umbi umur 18 MST kerusakan tertinggi mencapai 40% (Gambar 3). Hal ini mengindikasikan adanya hama boleng di lahan walaupun hasil tangkapan pitfall trap tidak menunjukkan keberadaan hama boleng.

Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada 16 MST

0 5 10 15 20 25 30

B0 S0 B0 S1 B0 S2 B0 S3 B1S0 B1S1 B1S2 B1S3 B2 S0 B2 S1 B2 S2 B2 S3 B3 S0 B3 S1 B3 S2 B3 S3 Petak Perlakuan K er us aka n um bi ( % )

Gambar 2 Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada umur 16 MST. B0: 0 konidia ml-1; B1: 106 konidia ml-1; B2: 107 konidia ml-1; B3: 108 konidia ml-1 dan S0: 0 j.i ha-1; S1: 1 x 109 j.i ha-1; S2: 2 x 109 j.i ha-1; S3: 3 x 109 j.i ha-1

Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada 18 MST

0 10 20 30 40 50

B0 S0 B0 S1 B0 S2 B0 S3 B1S0 B1S1 B1S2 B1S3 B2 S0 B2 S1 B2 S2 B2 S3 B3 S0 B3 S1 B3 S2 B3 S3 Petak Perlakuan K e rus aka n u m bi ( % )

Gambar 3 Kerusakan umbi akibat serangan hama boleng pada umur 18 MST. B0: 0 konidia ml-1; B1: 106 konidia ml-1; B2: 107 konidia ml-1; B3: 108 konidia ml-1 dan S0: 0 j.i ha-1; S1: 1 x 109 j.i ha-1; S2: 2 x 109 j.i ha-1; S3: 3 x 109 j.i ha-1


(37)

22

4.4. Pengaruh Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. terhadap Serangan Hama Boleng

4.4.1. Pengaruh Aplikasi B. bassiana

Hasil analisis ragam terhadap luas serangan hama boleng, intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi dan intensitas serangan pada umbi saat panen, menunjukkan bahwa aplikasi B. bassiana 106-108 konidia ml-1, tidak berpengaruh nyata pada uji BNT taraf nyata 5% (Tabel 1). Walaupun secara statistika tidak berbeda nyata, aplikasi B. bassiana dengan kerapatan 108 konidia

ml-1 mengakibatkan luas serangan hama boleng menjadi paling rendah yaitu

25,40%, dibandingkan ketiga perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan B. bassiana memperlihatkan luas serangan hama boleng tertinggi yaitu 34,70% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan B. bassiana, walaupun tidak tinggi masih memiliki kemampuan untuk mengendalikan serangan hama boleng di lahan. Aplikasi B. bassiana dengan kerapatan 108 konidia ml-1 mengakibatkan intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi menjadi paling rendah yaitu 9,38 %, dibandingkan ketiga perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan B. bassiana memperlihatkan intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi tertinggi yaitu 16,71% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan perlakuan

B. bassiana masih memiliki kemampuan untuk mengendalikan intensitas serangan hama boleng di permukaan umbi. Aplikasi B. bassiana dengan kerapatan 108 konidia ml-1 mengakibatkan intensitas serangan hama boleng pada umbi menjadi paling rendah yaitu 13,79%, dibandingkan ketiga perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan B. bassiana memperlihatkan intensitas serangan hama boleng pada seluruh umbi tertinggi yaitu 22,16% (Tabel 1). Hal ini

menunjukkan perlakuan B. bassiana masih memiliki kemampuan untuk

mengendalikan intensitas serangan hama boleng di seluruh bagian umbi.

Tabel 1 Serangan hama boleng pada umbi saat panen setelah aplikasi B. bassiana Intensitas Serangan

B. bassiana

(konidia ml-1)

Luas Serangan

Umbi1)2) Permukaan umbi1)2) Umbi1)2)

0 34,70 y 16,71 y 22,16 y

106 29,93 y 13,65 y 19,92 y

107 33,86 y 15,29 y 20,37 y

108 25,40 y 9,38 y 13,79 y

1)

Untuk kepentingan analisis ragam, data ditransformasi menggunakan Arc Sin √x.

2)


(38)

23 Hasil analisis ragam terhadap populasi hama boleng per umbi, menun-jukkan bahwa aplikasi B. bassiana 106-108 konidia ml-1 tidak berpengaruh nyata pada uji BNT taraf nyata 5%, (Tabel 2). Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, aplikasi B. bassiana dengan kerapatan 108 konidia ml-1 mengakibatkan populasi hama boleng per umbi paling rendah yaitu 1,26 dibandingkan perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan B. bassiana memperlihatkan populasi hama boleng per umbi tertinggi yaitu 1,87. Hal ini menunjukkan perlakuan B. bassiana memiliki kemampuan untuk mengendalikan populasi hama boleng di umbi.

Hasil analisis ragam terhadap berat rata-rata umbi sehat menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara aplikasi B. bassiana 106 konidia ml-1 dan 107

konidia ml-1 pada uji BNT taraf nyata 5% (Tabel 2), tetapi petak yang

diaplikasikan B. bassiana 107 konidia ml-1 dan petak tanpa perlakuan B. bassiana

menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Petak yang diaplikasikan B. bassiana

dengan kerapatan 106 konidia ml-1 menunjukkan berat umbi paling tinggi yaitu 143,61 g per umbi dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan petak yang diaplikasikan B. bassiana dengan kerapatan 107 konidia ml-1 memperlihatkan berat umbi sehat paling rendah yaitu 113,56 g per umbi. Hal ini berarti bahwa perlakuan B. bassiana tidak mempengaruhi berat umbi sehat yang dihasilkan oleh tanaman.

Tabel 2 Populasi hama boleng per umbi dan berat umbi sehat setelah aplikasi

B. bassiana B. bassiana

(konidia ml-1)

Populasi hama boleng per umbi1)

Berat rata-rata umbi sehat (g)1)

0 1,87 y 118,23 xy

106 1,65 y 143,61 y

107 1,42 y 113,56 x

108 1,26 y 125,73 xy

1)

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (BNT)

4.4.2. Pengaruh Aplikasi Heterorhabditis sp.

Hasil analisis ragam terhadap luas serangan hama boleng menunjukkan bahwa aplikasi Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 2 x 109 dan 3 x 109 ha-1 berpengaruh nyata pada uji BNT taraf nyata 5% (Tabel 3). Aplikasi


(39)

24

ha-1, jika dibandingkan dengan petak tanpa aplikasi Heterorhabditis sp.

menunjukkan pengaruh yang nyata, sedangkan aplikasi Heterorhabditis sp.

dengan kerapatan juvenil infektif 1 x 109 ha-1 dan petak tanpa aplikasi

Heterorhabditis sp. tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Akan tetapi, aplikasi

Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 1 x 109, 2 x 109 dan 3 x 109

ha-1 menunjukkan tidak berpengaruh nyata antar tiap kerapatan. Aplikasi

Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 2 x 109 ha-1 mengakibatkan luas serangan hama boleng terendah yaitu 25,80%, dibandingkan dengan

perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp.

memperlihatkan luas serangan tertinggi yaitu 39,31%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. dibandingkan petak yang tidak diaplikasikan

Heterorhabditis sp. memiliki kemampuan dalam mengendalikan serangan hama boleng di lahan.

Hasil analisis ragam terhadap intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi dan intensitas serangan pada umbi saat panen, menunjukkan bahwa aplikasi Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 1 x 109 – 3 x 109 ha-1 tidak berpengaruh nyata pada uji BNT taraf nyata 5% (Tabel 3). Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, aplikasi Heterorhabditis sp. dengan kerapatan populasi 3 x 109 j.i ha-1 mengakibatkan intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi terendah yaitu 10,42%, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp. memperlihatkan intensitas serangan pada permukaan umbi tertinggi yaitu 17,01% (Tabel 3). Hal

ini menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. mampu mengendalikan

intensitas serangan hama boleng di permukaan umbi. Aplikasi Heterorhabditis sp. dengan kerapatan populasi 2 x 109 j.i ha-1 mengakibatkan intensitas serangan hama boleng pada seluruh umbi terendah yaitu 15,34%, dibandingkan dengan

perlakuan lainnya. Petak yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp.

memperlihatkan intensitas serangan pada umbi tertinggi yaitu 23,46% (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. dibandingkan petak

yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp. masih mampu mengendalikan


(40)

25

Tabel 3 Serangan hama boleng pada umbi saat panen setelah aplikasi

Heterorhabditis sp.

Intensitas Serangan

Heterorhabditis sp. (J.I ha-1)

Luas Serangan

Umbi1)2) Permukaan Umbi1)2) Umbi1)2)

0 39,31 x 17,01 y 23,46 y

1 x 109 32,01 xy 15,94 y 22,01 y

2 x 109 25,80 y 11,65 y 15,34 y

3 x 109 26,77 y 10,42 y 15,43 y

1)

Untuk kepentingan analisis ragam, data ditransformasi menggunakan Arc Sin √x.

2)

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (BNT)

Hasil analisis ragam terhadap populasi hama boleng per umbi dan berat rata-rata umbi sehat, Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 1 x 109 – 3 x 109 ha-1 tidak berpengaruh nyata pada uji BNT taraf nyata 5% (Tabel 4). Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, aplikasi Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 3 x 109 ha-1 mengakibatkan populasi hama boleng per umbi terendah yaitu 1,01, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Petak yang

tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp. memperlihatkan populasi per umbi

tertinggi yaitu 1,99 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan

Heterorhabditis sp. dibandingkan petak yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis

sp. masih mampu mengendalikan populasi hama boleng pada umbi. Aplikasi

Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 3 x 109 j.i ha-1 mengakibatkan berat umbi sehat tertinggi yaitu 128,87 g, dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada petak yang tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp. memperlihatkan berat umbi sehat terendah yaitu 121,77 g (Tabel 4). Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. dibandingkan petak yang

tidak diaplikasikan Heterorhabditis sp. masih memiliki kemampuan dalam

mengendalikan hama boleng pada umbi, sehingga kerusakan umbi yang lebih

parah dapat dikurangi pada saat panen.

Tabel 4 Populasi hama boleng per umbi dan berat umbi sehat setelah aplikasi

Heterorhabditis sp.

Heterorhabditis sp. (J.I ha-1)

Populasi hama boleng per umbi1)

Berat rata-rata umbi sehat (g)1)

0 1,99 y 121,77 y

1 x 109 1,76 y 126,21 y

2 x 109 1,45 y 124,26 y

3 x 109 1,01 y 128,87 y

1)


(41)

26 4.4.3. Pengaruh Interaksi B. bassiana dan Heterorhabditis sp.

Aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp. tidak menunjukkan adanya interaksi dalam hal intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan pada seluruh bagian umbi, luas serangan, populasi hama boleng dan besaran berat umbi (Lampiran 2-7). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh aplikasi B. bassiana

dan Heterorhabditis sp. bekerja terpisah dalam menurunkan serangan hama boleng di lahan.

4.1 4.2 4.3

4.4 4.5 4.6 Gambar 4 Hama boleng pada umbi

4.1imago hama boleng 4.2telur hama boleng 4.3larva hama boleng 4.4pupa hama boleng

4.5serangan hama boleng pada permukaan umbi


(42)

V. PEMBAHASAN

5.1. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen di Lapangan

Isolat nematoda entomopatogen yang ditemukan di pelepah tanaman talas diidentifikasi sebagai Heterorhabditis sp. Nematoda ini memiliki kemampuan mencapai telur belalang Oxya sp pada pelepah talas di atas permukaan tanah. Pada pengamatan laboratorium di cawan Petri, juvenil infektif nematoda sangat aktif bergerak di dalam air. Juvenil infektif nematoda juga memiliki kemampuan mencapai bagian bawah penutup cawan Petri sekitar dua hari setelah keluar dari inang. Berdasarkan pengamatan tersebut, nematoda entomopatogen ini diduga memiliki tipe penjelajah (cruiser) sehingga cocok sebagai pengendali hayati dalam mengendalikan hama boleng di lapangan. Campbell et al. (2002) dan Lewis et al. (2006), menyatakan bahwa nematoda yang memiliki tipe penjelajah mampu mencari inang secara aktif di lingkungan sekitarnya, sehingga lebih cepat menemukan inang sebagai sumber nutrisinya.

5.2. Pengamatan Entomopatogen di Lahan Sebelum Aplikasi

Pengamatan terhadap entomopatogen di lapangan menunjukkan tidak terdapat adanya entomopatogen di lahan, hal ini diduga entomopatogen tidak berkembang dengan baik di lahan karena masih memasuki akhir musim kemarau dengan curah hujan masih rendah.

Pengaruh budidaya sebelumnya terhadap lahan (lahan bekas padi sawah) juga dapat mempengaruhi perkembangan entomopatogen di lahan. Saat budidaya padi, tanaman padi memerlukan cukup pengairan untuk pertumbuhannya. Akibat adanya penggenangan, entomopatogen tidak dapat berkembang dengan baik. Ketika irigasi dikurangi dan tanah menjadi kering, nematoda akan mati.

Selain itu, entomopatogen tidak dapat berkembang dengan baik jika lahan masih mengandung residu pestisida yang diaplikasikan pada budidaya padi di sekitar daerah tersebut. Pestisida dapat mempengaruhi nematoda entomopatogen (Rovesti et al. 1988; Lewis et al. 2002) maupun cendawan entomopatogen (Filho et al. 2001; Neves et al. 2001; Bednarek et al. 2004).


(43)

28 5.3. Pengamatan Hama Boleng di Lahan

Tidak ditemukan adanya hama boleng selama pemasangan pitfall trap mulai 14, 16 dan 18 MST. Hal ini bukan disebabkan populasi hama boleng di lahan tidak ada, akan tetapi dikarenakan aktifitas hama boleng dari satu tanaman ke tanaman lain lebih banyak melalui tajuk-tajuk tanaman yang rindang dan menutupi tanah, sehingga hama boleng tidak ditemukan di permukaan tanah. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengamatan terhadap kerusakan umbi yang disebabkan oleh hama boleng di lahan pada 16 dan 18 MST.

Pengamatan terhadap umbi ditemukan adanya kerusakan akibat serangan hama boleng. Kerusakan umbi yang ringan, serangan hama boleng hanya mencapai permukaan umbi hingga sedikit ke bagian dalam umbi, sedangkan kerusakan umbi yang berat, hama boleng dapat menyerang hingga mencapai bagian dalam umbi yang dicirikan adanya lubang-lubang bekas gigitan hama boleng pada permukaan umbi. Lubang tersebut ada yang hanya terdapat di permukaan umbi maupun menyambung hingga ke bagian dalam umbi sehingga kelihatan seperti terowongan. Lubang bagian dalam terbentuk karena hama boleng melakukan peletakan telur pada permukaan dalam umbi, kemudian setelah menetas menjadi larva, larva menggerek umbi dan membuat terowongan-terowongan dalam umbi dalam upaya melakukan aktifitas makan. Capinera (2003), menjelaskan bahwa hama boleng pada fase larva menyebabkan lebih banyak kerusakan pada umbi dibandingkan fase dewasa yang kerusakannya hanya terbatas pada permukaan umbi. Selain itu, di sekitar terowongan juga terdapat sisa gerekan dari hama boleng yang memiliki bau khas dan bewarna gelap.

5.4. Pengaruh Perlakuan B. bassiana terhadap Luas Serangan, Intensitas Serangan, Populasi Hama Boleng dan Berat Umbi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan B. bassiana dengan kerapatan 106 – 107 konidia ml-1 dibandingkan dengan petak yang tidak diaplikasikan B. bassiana tidak menunjukkan pengaruh yang nyata dalam mengendalikan hama boleng pada peubah pengamatan luas serangan, intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan di seluruh bagian umbi, dan populasi hama boleng..


(44)

29 Hal ini mungkin disebabkan B. bassiana baru dapat mematikan hama boleng dalam waktu 4 hari setelah tertular (Bari 2006), sedangkan dalam waktu sebelum itu hama boleng masih bisa menyerang umbi dan melakukan peletakan telur, sehingga dari telur-telur yang telah diletakkan imago betina, ketika menetas menjadi larva mampu untuk membuat kerusakan di dalam umbi. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa imago betina hama boleng mampu meletakkan rata-rata telur sekitar 2 butir setiap hari di umbi.

Penyebaran B. bassiana juga bersifat pasif (Inglis et al. 2001), sehingga hanya mampu menginfeksi hama boleng jika terjadi kontak konidia B. bassiana secara langsung pada bagian tubuh hama boleng. Dalam hal ini dapat dianggap bahwa B. bassiana hanya mampu untuk mengendalikan hama boleng di luar umbi saja (imago), sedangkan untuk mengendalikan fase lain dari hama boleng yaitu berupa telur, larva, pupa hingga imago muda tidak dapat dilakukan karena siklus hidupnya berada di dalam umbi (Capinera 2003; Nonci 2005).

Pada penelitian ini, formulasi yang digunakan merupakan suspensi dalam air yang diduga lebih mudah tercuci dibandingkan formulasi lain, sehingga menyebabkan kerapatan konidia B. bassiana lebih cepat berkurang di atas permukaan tanah. Inglish et al. (2000) menyatakan bahwa konidia yang disuspensikan dalam air akan lebih mudah hilang dibandingkan dengan konidia dalam formulasi minyak atau wettable powder (WP). Selain itu, faktor iklim seperti curah hujan yang hampir setiap hari terjadi di lahan percobaan dan guludan dengan saluran air pada petak percobaan dapat menyebabkan semakin cepatnya penyebaran konidia B. bassiana di lahan, sehingga kerapatan konidia B. bassiana pada petak perlakuan menjadi cepat berkurang. Inglis et al. (2001) mengemukakan bahwa air hujan dapat membantu penyebaran konidia cendawan pada permukaan tanah. Selain itu, Bruck dan Lewis (2000) juga menyatakan bahwa semakin sering hujan terjadi maka akan menyebabkan semakin berkurangnya kerapatan konidia.

Walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, nilai-nilai pada perlakuan B. bassiana cenderung menunjukkan serangan hama boleng yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat dilihat dari seluruh hasil pengamatan kecuali rata-rata berat umbi sehat, pengaruh B. bassiana terhadap


(45)

30 serangan hama boleng pada umbi menunjukkan pengaruh yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hal ini dikarenakan B. bassiana dapat menginfeksi hama boleng dan mematikannya sehingga dapat menurunkan populasi hama boleng yang akan menyerang umbi di lahan tersebut, sedangkan tanpa perlakuan umbi tidak mendapatkan perlindungan sehingga hama boleng dapat dengan mudah menyerang umbi karena tidak ada hambatan yang dapat mematikan dan menurunkan populasinya pada lahan.

Berat rata-rata umbi sehat menunjukkan perbedaan yang nyata antara aplikasi B. bassiana 106 konidia ml-1 dibandingkan petak dengan aplikasi B. bassiana 107 konidia ml-1, sedangkan aplikasi B. bassiana 107 konidia ml-1 menunjukkan berat yang lebih rendah dibandingkan dengan petak tanpa aplikasi B. bassiana. Hal ini bukan disebabkan karena adanya pengaruh aplikasi B. bassiana tetapi karena mungkin kesuburan tanah dalam tiap petak perlakuan sangat beragam dalam mempengaruhi fisiologi perkembangan tanaman ubi jalar tersebut dalam pembentukan masing-masing umbi.

5.5. Pengaruh Perlakuan Heterorhabditis sp. terhadap Luas Serangan, Intensitas Serangan, Populasi Hama Boleng dan Berat Umbi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. dengan kerapatan juvenil infektif 2 x 109 dan 3 x 109 ha-1 dibandingkan dengan tanpa perlakuan berpengaruh nyata terhadap luas serangan hama boleng di lahan. Hal ini disebabkan Heterorhabditis sp. memiliki kemampuan menginfeksi dan mematikan inang di lahan, serta diduga kuat memiliki kemampuan menjelajah dan mencari inang di umbi pada sekitar lahan sehingga mampu mengendalikan meluasnya penyebaran hama boleng di lahan. Timper dan Davies (2004) menyatakan bahwa nematoda tipe penjelajah memiliki kemampuan untuk menembus permukaan tanah untuk mencari inang. Di samping itu, nematoda ini dalam mencari inang dibantu dengan adanya petunjuk karbondioksida serta kotoran yang dikeluarkan oleh serangga inang (Tanada & Kaya 1993; Ramos-Rodriguez et al. 2006; Spence et al. 2008), serta melalui tanda kimia dari jaringan tanaman yang rusak akibat serangan serangga inang (Lewis et al. 2006).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan Heterorhabditis sp. dengan kerapatan 1 x 109 - 3 x 109 ha-1 dibandingkan dengan petak yang tidak


(46)

31 diaplikasikan Heterorhabditis sp tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam mengendalikan hama boleng pada intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan di seluruh bagian umbi, populasi hama boleng dan berat umbi sehat.

Keberhasilan nematoda entomopatogen dalam mengendalikan serangga hama di lapangan sering dipengaruhi berbagai macam faktor lingkungan. Faktor lingkungan ini dapat menjadi penghambat maupun pemicu keberhasilan nematoda dalam melakukan penetrasi pada inang.

Pada penelitian, penghambat keberhasilan Heterorhabditis sp. dalam mengendalikan hama boleng di lahan dapat disebabkan hujan yang sering turun setelah aplikasi nematoda. Nematoda dapat terbawa oleh aliran air hujan sehingga menyebabkan berkurangnya kerapatan juvenil infektif nematoda di lahan. Jansson et al. (1990) menjelaskan bahwa nematoda dapat terbawa oleh aliran air hujan sejauh 37,2 cm dari tempat awal ketika diaplikasikan di tanah. Selain itu, hujan yang turun di lahan diduga dapat menghalangi fungsi amfid sebagai sensor syaraf pada Heterorhabditis sp. Amfid ini sangat bermanfaat bagi Heterorhabditis sp. dalam mendeteksi keberadaan inang lewat rangsangan kimia berupa karbondioksida maupun kotoran yang dikeluarkan inang. Namun demikian, perlakuan Heterorhabditis sp. menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan. Hal ini berarti Heterorhabditis sp. masih mampu menginfeksi dan mematikan hama boleng pada umbi, sehingga mampu menurunkan serangan hama boleng pada umbi dibandingkan tanpa perlakuan.

Perlakuan juvenil infektif Heterorhabditis sp. dengan kerapatan yang berbeda, tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antar masing-masing perlakuan. Hal ini bisa disebabkan perbedaan kerapatan juvenil infektif nematoda terlalu kecil sehingga keefektifannya di lapangan tidak tergantung dengan banyaknya kepadatan populasi yang digunakan. Glazer dan Golberg (1993) mengemukakan bahwa keefektifan nematoda pada aplikasi lapangan dengan berbagai kepadatan populasi tidak tergantung dengan level kepadatan populasi yang digunakan. Hal ini terjadi karena keefektifan juvenil infektif lebih ditentukan oleh aktivitas bakteri simbion dan kerusakan internal secara mekanis oleh nematoda (Dowds 1998 diacu dalam Bunga 2004).


(47)

32 5.6. Pengaruh Interaksi Perlakuan B. bassiana dan Heterorhabditis sp.

terhadap Hama Boleng pada Umbi

Pengaruh aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp terhadap hama boleng pada umbi di lapangan tidak menunjukkan interaksi pada intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan pada umbi, luas serangan, jumlah populasi hama boleng dan besaran berat umbi.

Berdasarkan hal ini, jika dua kombinasi perlakuan tersebut tidak menghasilkan pengaruh yang nyata pada interaksinya maka perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang terpisah (Gomez & Gomez 1976), sehingga dalam penelitian ini dapat dianggap bahwa antara B. bassiana dan Heterorhabditis sp dalam menginfeksi hama boleng di lapangan bekerja secara sendiri-sendiri.

Selain itu, Timper dan Davies (2004) juga menyatakan bahwa keberadaan nematoda entomopatogen di dalam tanah lebih banyak terakumulasi di sekitar serangga yang sehat dibandingkan serangga yang terinfeksi B. bassiana. Diduga keberadaan B. bassiana di permukaan tanah bisa menyebabkan aktivitas juvenil infektif nematoda di permukaan tanah akan berkurang dalam mencari inang pada permukaan tanah, karena juvenil infektif lebih tertarik pada inang yang belum terinfeksi B. bassiana. Adanya keberadaan B. bassiana di permukaan tanah akan mengakibatkan penjelajahan yang dilakukan nematoda semakin panjang dalam mencari inang, sehingga jika tidak cepat mendapatkan inang nematoda akan mati karena kehabisan nutrisi. Shapiro-Ilan et al. (2008) menyatakan bahwa nutrisi yang terkandung pada tubuh inang sangat diperlukan oleh nematoda untuk kebugaran (fitness), kemampuan bereproduksi, dan keberhasilannya dalam menginfeksi inang.


(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa perlakuan B. bassiana dengan kerapatan 108 konidia ml-1 menurunkan luas serangan hama boleng, intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan pada seluruh bagian umbi, dan populasi hama boleng. Heterorhabditis sp. dengan kerapatan 2 x 109 j.i ha-1 menurunkan luas serangan dan intensitas serangan hama boleng pada seluruh bagian umbi, sedangkan kerapatan 3 x 109 j.i ha-1 menurunkan intensitas serangan pada permukaan umbi dan populasi hama boleng.

Pada penelitian ini, Beuveria bassiana belum mampu mengendalikan hama boleng dalam hal luas serangan, intensitas serangan pada permukaan umbi, intensitas serangan pada seluruh bagian umbi dan populasi per umbi. Heterorhabditis sp. mampu mengendalikan luas serangan hama boleng, tetapi belum mampu mengendalikan intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi, intensitas serangan pada seluruh bagian umbi dan populasi per umbi. Disamping itu, jika B. bassiana dan Heterorhabditis sp. diaplikasikan secara bersamaan di lahan ubi jalar, maka tidak menunjukkan interaksi.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai metode aplikasi lapangan B. bassiana dan Heterorhabditis sp. yang tepat untuk mengendalikan hama boleng. Metode aplikasi lapangan ini dapat dilaksanakan dengan memperhatikan iklim ketika percobaan, memperhatikan kerapatan konidia B. bassiana serta kerapatan juvenil infektif Heterorhabditis sp., memberikan rentang waktu antara aplikasi B. bassiana dan Heterorhabditis sp., memperbanyak jumlah pengambilan contoh umbi yang rusak, dan memperbanyak jumlah ulangan percobaan.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Abebe H. 2002. Potential of entomopathogenic fungi for the control of Macrotermes subhyalinus (Isoptera: Termitidae). [Dissertation]. Äthiopien: Universität Hannover.

Adams JB, Nguyen KB. 2002. Taxonomy and Systematics. Di dalam: Gaugler R, editor. Entomopathogenic Nematology. Wallingford: CABI. hlm 1-33. AlcazarJ, CisnerosF, Morales A. 1996. Large-Scale Implementation of IPM for

sweetpotato weevil in Cuba: a collaborative effort. [terhubung berkala]. http://www.cipotato.org/publications/program_reports/95_96/program4/prog ram45.asp. [20 Feb 2008]

[AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 2004. Integrated pest management of sweet potato weevil. http://www.avrdc.org/LC/sweet-potato/weevil.htm. [20 Feb 2008).

Bari D. 2006. Keefektifan Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Terhadap hama Boleng Cylas formicarius Fabr. (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium. [Skripsi]. Bogor: Fakultas pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bednarek A, Popowska-Nowak E, Pezowicz E, Kamionek M. 2004. Integrated methods in pest control: effect of Insecticides on entomopathogenic fungi (Beauveria bassiana (Bals) Vuill., B. brongniartii (Sacc.)) and nematodes (Heterorhabditis megidis Poinar, Jackson, Klein, Steinernema feltiae Filipjev, S. glaseri Steiner). Pol J Ecol 52: 223-228.

Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. Boston: Kluwer Academic.

Bunga JA. 2004. Eksplorasi Nematoda Entomopatogen dari Kupang, Nusa Tenggara Timur dan Pengujian Keefektifannya terhadap Cylas formicarius Fabr. (Coleoptera: Curculionidae). [Tesis]. Bogor: Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Boror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, Brotowidjoyo MD, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insects. Bruck DJ, Lewis LC. 2000. Rainfall and crop residue effects on soil dispersion

and Beauveria bassiana spread to corn. Agric ecosyst environ Appl soil ecol. 20: 183-190.

Burnell AM, Stock SP. 2000. Heterorhabditis, Steinernema and their bacterial symbionts-lethal pathogens of insects. Nematology 2:31-42.


(50)

35 [CABI] Centre for Agricultural Bioscience International. 2007. CABI Bioscience

Database: Dictionary of Fungi. [terhubung berkala]. http://www. speciesfungorum.org/Names/fundic.asp [23 Feb 2009].

Campbell JF, Lewis EE, Stock SP, Nadler S, Kaya HK. 2003. Evolution of host search strategies in entomopathogenic nematodes. J. Nematol. 35:142-145. Capinera JL. 2003. Sweetpotato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius).

Gainesvile: IFAS University of Florida.

Dropkin VH. 1996. Pengantar Nematologi Tumbuhan. Supratoyo, penerjemah; Mulyadi, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Introduction to Plant Nematology.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. FAO Statistic Year Production. [terhubung berkala] http:// www.fao. org [10 Maret 2008].

Filho AB, Almeida JEM, Lamas C. 2001. Effect of thiamethoxam on entomo-pathogenic microorganisms. Neotrop Entomol 30: 437-447.

Glazer I, Golberg A. 1993. Field efficacy of entomopathogenic nematodes against the beetle Maladera matrida (Coleoptera: Scarabaeidae). Biocontr Sci Tech 3: 367-376 [terhubung berkala]. www.informaworld.com/smpp/content~ content=a902525037~db=all~order=page (21 Nop 2008)

Glazer I, Eliyau M, Salamel L, Nakash Y, Blumberg . 2007. Evaluation of the efficacy of the entomopathogenic nematodes Heterorhabditis sp. against sap beetles (Coleoptera: Nitidulidae). Biomed Life Sci 52: 259-270.

Gomez K.A, Gomez A.A. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Sjamsuddin E dan Baharsyah JS, penerjemah. UI Pr. Terjemahan dari Statistical Procedure for Agricultural research.

Gottwald TR, Tedders WL. 1984. Colonization, transmission, and longevity of Beauveria bassiana and Metharizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) on pecan weevil larvae (Coleoptera: Curculionidae) in soil. Environ Entomol 13:557-560

Grewal PS, De Nardo EAB and Aguillera MM. 2001. Entomopathogenic nematodes: potential for exploration and use in south america. Neotrop Entomol. 30: 191-205.

Hazir S, Kaya HK, Stock SP, Keskün N. 2004. Entomopathogenic nematodes (Steinernematidae and Heterorhabditidae) for biological control of soil pests. Turk J Biol. 27: 181-202.


(1)

(2)

Lampiran 1 Tata Letak Petak Penelitian Ulangan I

B3S3 B0S0 B3S0 B2S2 B2S0 B1S2 B1S1 B2S1

B0S3 B3S2 B3S1 B1S0 B0S2 B2S3 B1S3 B0S1

Ulangan II

B3S2 B0S3 B2S3 B2S1 B0S2 B0S1 B0S0 B3S3

B2S0 B1S1 B3S1 B1S3 B1S0 B1S2 B2S2 B3S0

Ulangan III

B1S3 B2S3 B0S3 B2S2 B1S2 B0S1 B2S1 B2S0

B1S1 B3S3 B1S0 B3S0 B0S0 B0S2 B3S2 B3S1

S U

T B


(3)

transformasi ke Arc Sin √x)

SK db JK KT Fhit F0,05

Kelompok 2 35 17.38 0.24 3.32

Kombinasi 15 1703 113.51 1.54 2.06

Bb 3 277 92.20 1.25 2.92

Heter 3 468 155.90 2.12 2.92

Interaksi 9 958 106.49 1.45 2.21

Galat 30 2205 73.52

Total 47 3942.96

KK = 25,80 %

Lampiran 3 Analisis ragam intensitas serangan hama boleng pada permukaan umbi (data hasil di transformasi ke Arc Sin √x)

SK db JK KT Fhit F0,05

Kelompok 2 77 38.62 0.66 3.32

Kombinasi 15 1309 87.27 1.49 2.06

Bb 3 222 74.14 1.27 2.92

Heter 3 196 65.31 1.12 2.92

Interaksi 9 891 98.96 1.69 2.21

Galat 30 1754 58.48

Total 47 3140.50

KK = 37,16 %

Lampiran 4 Analisis ragam intensitas serangan hama boleng di seluruh bagian umbi (data hasil di transformasi ke Arc Sin √x)

SK db JK KT Fhit F0,05

Kelompok 2 88 43.97 0.69 3.32

Kombinasi 15 1744 116.24 1.82 2.06

Bb 3 285 94.97 1.49 2.92

Heter 3 270 89.97 1.41 2.92

Interaksi 9 1189 132.08 2.07 2.21

Galat 30 1917 63.89

Total 47 3748.17


(4)

Lampiran 5 Analisis ragam jumlah rata-rata hama boleng pada umbi

SK db JK KT Fhit F0,05

kelompok 2 1 0.58 0.26 3.32

Kombinasi 15 33 2.17 0.96 2.06

Bb 3 3 0.85 0.38 2.92

Heter 3 6 2.16 0.96 2.92

Interaksi 9 24 2.62 1.16 2.21

Galat 30 68 2.26

Total 47 101.64

KK = 97,05 %

Lampiran 6 Analisis ragam berat rata-rata umbi

SK db JK KT Fhit F0,05

Kelompok 2 4143 2071.38 1.76 3.32

Kombinasi 15 11542 769.46 0.65 2.06

Bb 3 6278 2092.72 1.78 2.92

Heter 3 326 108.59 0.09 2.92

Interaksi 9 4938 548.66 0.47 2.21

Galat 30 35273 1175.75

Total 47 50957.30


(5)

hama boleng pada umbi saat panen Intensitas Serangan

Perlakuan1) Permukaan

Umbi2)3) Umbi

2)3) Luas Serangan Umbi2)3) Rata-rata Populasi hama boleng3)

Berat Rata-rata Umbi Sehat (g)3)

B0S0 26,54 a 36,45 a 51,77 a 2,84 a 101,47 a

B0S1 13,33 a 17,23 a 29,59 a 1,18 a 134,16 a

B0S2 19,18 a 23,02 a 29,89 a 2,61 a 113,23 a

B0S3 8,00 a 11,92 a 27,54 a 0,84 a 124,05 a

B1S0 18,60 a 26,22 a 42,80 a 2,11 a 146,96 a

B1S1 15,91 a 23,02 a 28,58 a 2,45 a 142,25 a

B1S2 10,00 a 14,33 a 25,00 a 0,71 a 133,81 a

B1S3 10,11 a 16,11 a 23,33 a 1,34 a 151,40 a

B2S0 19,91 a 25,95 a 47,67 a 2,68 a 105,03 a

B2S1 21,16 a 26,26 a 37,12 a 1,62 a 123,42 a

B2S2 5,02 a 7,66 a 20,35 a 0,32 a 122,83 a

B2S3 15,05 a 21,60 a 30,32 a 1,07 a 102,95 a

B3S0 3,00 a 5,22 a 15,00 a 0,32 a 133,62 a

B3S1 13,38 a 21,52 a 32,75 a 1,80 a 105,01 a

B3S2 12,40 a 16,36 a 27,97 a 2,14 a 127,18 a

B3S3 8,72 a 12,07 a 25,87 a 0,77 a 137,10 a

1)

B: B. bassiana, yaitu B0: 0 konidia ml-1, B1: 106 konidia ml-1, B2: 107 konidia ml-1 dan B3: 108 konidia ml-1, S: Heterorhabditis sp., yaitu S0: 0 J.I ha-1, S1: 1 x 109 J.I ha-1, S2: 2 x 109 J.I ha-1 dan S3: 3 x 109 J.I ha-1.

2)

Untuk kepentingan analisis ragam, data ditransformasi menggunakan Arc Sin √x.

3)


(6)

Lampiran 8 Curah hujan Juli – Desember 2008 (mm) Bulan Tanggal

Juli Agt Sept Okt Nop Des

1 - 6.6 18.7 59.1 89.4 3.6

2 0.0 - 0.3 14.7 5.8 TTU

3 - 22.5 0.0 - 83.2 0.1

4 - 0.0 0.0 0.0 1.0 1

5 102.2 - 49.6 27.2 16.7 10.7

6 - - 0.7 9.5 - 6.7

7 - 9.5 0.0 17.3 43.7 3.2

8 - - 0.0 6.0 5.0 1.4

9 - - 6.1 - 2.3 11

10 - - 5.1 0.0 46.6 TTU

11 - - 11.8 7.6 24.5 9.2

12 - 0.0 10.0 9.6 - 4.4

13 - - 0.0 - 32.2 9.5

14 0.0 - 0.0 0.5 65.5 3.6

15 - 7.2 7.2 - - 2.5

16 52.0 0.0 0.0 0.0 2.9 21.7

17 - - 0.2 34.9 33.5 1.1

18 - - 0.0 37.5 2.8 58.2

19 0.6 0.5 0.0 1.0 - 26.6

20 - - 2.5 2.4 1.4 21

21 - 0.0 0.0 19.7 0.0 -

22 3.6 - 12.0 0.0 - 2.5

23 - - 15.4 12.1 0.5 10.5

24 - 29.4 1.3 5.5 44.6 5.6

25 - 32.7 80.2 0.0 1.0 6

26 - 4.0 2.0 - - 16

27 0.4 - 0.4 3.0 6.4 0.5

28 13.6 - 0.0 0.4 - 0.6

29 - 27.6 24.2 43.2 - 1

30 - 11.0 95.5 0.1 - 8

31 - 11.0 - 8.5

Jumlah 172.4 162.0 343.2 311.3 509.0 254.7

rata-rata 8 15 30 25 21


Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Tanggap Beberapa Varietas Ubi Jalar Dan Frekuensi Pembumbunan Terhadap Serangan Hama Boleng Cylas formicarius Fabr. (Coleoptera : Curculionidae)

8 113 120

Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) Dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) Di Gudang

1 40 72

Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) vullemin terhadap hama boleng Cylas formicarius (Fabr)(Coleoptera : Curculionidae) di laboratorium

0 7 31

Keefektifan Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill terhadap Cylas formicarius (F.) (Coleoptera: Brentidae) dan Pengaruhnya pada Keperidian

0 5 55

Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch terhadap Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae)

0 5 53

Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch terhadap Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae).

0 3 30

Keefektifan cendawan metarhizium brunneum petch terhadap hama ubi jalar cylas formicarius fabricius (Coleoptera: Brentidae)

0 3 53

Pengaruh Umur Cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap Infektivitasnya pada Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae)

0 4 43

Pengendalian hama penggerek ubi jalar Cylas formicarius (Fabricus) (Coleoptera: Curculionidae) menggunakan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

0 0 9