Uji kualitas silase singkong utuh (Manihot esculenta) dengan beda umur panen secara in vitro sebagai upaya peningkatan pemanfaatan pakan lokal

Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis yang potensial untuk
sektor pertanian. Sumberdaya yang melimpah seharusnya tidaklah menjadi kendala
penyediaan bahan baku lokal, baik untuk pangan maupun pakan. Kenyataannya
Indonesia masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan.
Dibandingkan dengan banyaknya impor dan ketersediaan bahan baku lokal yang
melimpah, hal ini menggambarkan bahwa pemanfaatan sumber bahan pakan lokal
kurang optimal. Salah satu bahan pakan lokal yang banyak diproduksi di Indonesia
yaitu singkong. Singkong merupakan bahan baku pakan lokal yang tumbuh pada
hampir semua jenis tanah. Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2011
mencapai 22 juta ton (Deptan, 2011), namun penggunaannya masih terbatas karena
terdapat antinutrisi berupa asam sianida.
Sianida merupakan senyawa bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian
apabila dikonsumsi dalam jumlah besar oleh ternak (Osweiler et al., 1976).
Yuningsih (2009) menyatakan bahwa racun sianida memiliki reaksi yang berbahaya
dalam tubuh dan paling toksik dibandingkan dengan jenis racun lainnya, sianida
sangat berbahaya bagi sebagian besar spesies hewan. Untuk penyediaan pakan yang
berkelanjutan dan mengurangi kandungan antinutrisi pada bahan pakan lokal yang
akan dioptimalkan, salah satu upaya yang dilakukan adalah teknologi pengolahan
silase tanaman singkong utuh. Pemanfaatan keseluruhan bagian pohon singkong
(daun, batang, dan umbi) sebagai pakan dapat dilakukan untuk meningkatkan
kompetisi singkong sebagai pakan dibandingkan dengan hanya memanfaatkan daun

dan umbi singkong untuk pangan.
Singkong memiliki kandungan nutrien yang berbeda pada setiap bagiannya.
Pohon singkong terdiri dari umbi yang berfungsi sebagai pakan sumber energi, daun
yang mengandung protein tinggi, serta batang dan kulit umbi singkong yang dapat
digunakan sebagai sumber serat. Kandungan tersebut bervariasi tergantung umur
tanaman. Singkong dapat dipanen pada umur enam bulan. Pada bulan ke-6
pertumbuhan daun optimum, pada bulan ke-7 peralihan pertumbuhan daun ke bagian
lain yaitu batang dan umbi. Pada bulan ke-9 pertumbuhan daun sangat menurun dan
umbi mulai tumbuh ke titik optimum (Sudaryanto, 1990). Pada penelitian ini
1

digunakan singkong dengan umur berbeda untuk mengetahui umur efektif tanaman
singkong yang menghasilkan kualitas silase terbaik dan penggunaannya untuk
ternak.

Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan umur panen pohon singkong
yang paling efektif dalam menghasilkan kualitas silase (karakteristik fisik,
fermentatif, dan utilitas) dan kandungan nutrisi terbaik yang dibutuhkan oleh ternak,
selain itu dapat mengatur masa panen yang lebih efektif dengan menghasilkan
kualitas nutrien yang baik.


2

Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus
Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007).
Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan
daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga
bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat
yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak
dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan
pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau
beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang
terkandung dalam semua varietas singkong.
Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi pada umur 6 bulan (Prihatman,
2000). Umbi yang dihasilkan banyak digunakan untuk bahan baku produk olahan
seperti tapioka dan produk tanaman lainnya. Tanaman singkong (Manihot esculenta)
merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai strategis, selain sebagai bahan
pangan dan pakan juga sebagai bahan baku industri dan termasuk sebagai bahan
bakar nabati, seperti etanol. Daun muda tanaman singkong sering digunakan sebagai
sayur, batang tanaman singkong dapat digunakan untuk kayu bakar bahkan sebagai

pagar hidup (Prihatman, 2000). Tanaman singkong juga potensial sebagai pakan
ternak, dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein
pada daun (Kustantinah et al., 2005). Kandungan nutrien dalam singkong disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)
BK

Bahan
b

Daun
Batang a
Umbi b
Kulit b

25,3
30,8
29,6

PK

25,10
10,90
2,30
4,90

LK
12,70
1,40
1,30

SK

BETN

Ca

P

%
11,40

22,60
3,40
16,60

46,10
47,90
88,90
68,50

1,1-1,4
0,31
0,31
0,02-0,3

0,25-0,30
0,34
0,07-0.46
0,13

Sumber : a. Devendra (1977), b. Ramli dan Rismawati (2007)


Menurut Hasanah (2008), pada daun singkong (per 100 g) terkandung
vitamin A sebesar 11.000 SI, vitamin C 275 mg, vitamin B1 0,12 mg, kalsium sekitar
3

165 mg, kalori 73 kal, fosfor 54 mg, protein 6,8 g, lemak 1,2 g, hidrat arang sebesar
13 g, zat besi 2 mg, dan asam amino metionin. Pada bagian buah atau umbi singkong
memiliki kandungan vitamin B1 sebesar 0,06 mg dan vitamin C sebesar 30 mg, yang
lebih rendah dibandingkan yang terdapat pada daun. Sedangkan pada kulit batang
mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida, dan kalsium oksalat yang
membatasi konsumsinya pada ternak-ternak tertentu.
Berdasarkan data statistik Indonesia (Deptan, 2011), luas areal tanaman
singkong sekitar 1,3 juta ha. Selain umbi, produksi daun singkong juga cukup besar
yaitu 0,92 ton/ ha/ tahun bahan kering. Setiap tahun terdapat lebih dari 1,2 juta ton
limbah dari tanaman singkong yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Beberapa jenis tanaman mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik,
salah satunya singkong yang mengandung asam sianida. Senyawa ini berbahaya
karena jika termakan akan cepat terserap oleh alat pencernaan dan masuk ke aliran
darah. Tergantung kadarnya, hidrogen sianida dapat menyebabkan sakit bahkan

menimbulkan kematian (Osweiler et al., 1976). Adanya senyawa ini menyebabkan
pemakaian singkong secara luas untuk ternak menjadi terbatas (Oluremi dan Nwosu,
2002). Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi, rata-rata dalam
singkong manis kurang dari 50 mg/ kg umbi, sedangkan pada jenis singkong pahit
diatas 50 mg/ kg umbi (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tinggi rendahnya asam
sianida yang dihasilkan pada proses hidrolisis glukosida tergantung pada varietas
tanaman, genetik tanaman, umur tanaman, tingkat kematangan, dan kesuburan tanah
(Cardoso et al., 2005).
Kandungan glukosida sianogenik tersebar pada setiap bagian tanaman dengan
konsentrasi yang berbeda-beda. Siritunga et al. (2003) menjelaskan bahwa glukosida
sianogenik disintesa di daun kemudian ditranslokasi ke umbi dan bagian lain dari
tanaman singkong. Kadar glukosida tertinggi pada daun, sedangkan terendah pada
umbi (Cardoso et al., 2005). Kadar glukosida sianogenik pada daun berkisar 2001300 ppm HCN per kg berat segar dan umbi sebesar 10-500 ppm HCN per kg berat
segar (Siritunga et al., 2003). Hasil analisa Purwanti (2005) menunjukkan nilai HCN
dalam kulit singkong yaitu sebesar 143,3 mg/ kg bahan segar. Sedangkan menurut

4

Shreve (2002), sianida akan bersifat racun pada level 300-500 ppm bila dimakan
ternak.


Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap
tumbuhan. Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup
terutama tumbuhan. Tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan merubah energi
dari matahari (cahaya) menjadi gula dengan bantuan air dan CO2. Jika intensitas
cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui
berkurangnya aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan tanaman tergantung pada
intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya
bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen
melalui reaksi kimia (Yana, 2011).
Cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dikarenakan hubungannya
dengan proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi,
permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi
protein, dan sintesa klorofil (Yana, 2011). Peranan beda waktu panen memiliki
pengaruh terhadap kualitas fisik, pH, dan kandungan WSC (Water Soluble
Carbohydrate) pada hijauan (Rijali, 2010).

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi.
Silase merupakan pakan produk fermentasi hijauan dengan kadar air tinggi yang
diawetkan dalam kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Bolsen et al. (2000)

menjelaskan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses
fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, bahkan limbah pertanian yang
memiliki kandungan kadar air di atas 50%.
Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan,
kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat proses fermentasi, dan
pemakaian aditif (Rijali, 2010).
Pembuatan silase bertujuan untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan
zat makanan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang serta menurunkan sianida
(Sandi et al., 2010). Teknik silase dirasakan selain mengawetkan limbah pertanian,
juga lebih aman dan dapat memberikan nilai nutrisi yang lebih baik (Nevy, 1999).
5

Menurut Coblentz (2003), ada beberapa hal penting untuk memperoleh kondisi silase
yang baik yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang
membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo, dan
menghambat jamur selama penyimpanan.
Proses ensilase secara garis besar terdiri dari empat fase yaitu fase aerob,
fermentasi, fase stabil, dan fase pengeluaran untuk diberikan kepada ternak (Sandi et
al., 2010). Fase fermentasi terjadi ketika keadaan anaerob dicapai dan
mikroorganisme berkembang terutama bakteri asam laktat. Mikroorganisme seperti

Clostridia dan Enterobacteria tidak diharapkan karena memberikan pengaruh negatif
terhadap proses ensilase. Mikroorganisme ini akan bersaing dengan bakteri asam
laktat dalam memfermentasi karbohidrat (Bolsen et al., 2000). Pada fase fermentasi
diawali dengan pertumbuhan bakteri asam asetat. Bakteri ini menggunakan
karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat yang kemudian akan menurunkan
pH, dan pertumbuhannya akan terhambat pada pH dibawah 5. Penurunan pH akan
terus terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah bakteri asam laktat. Bakteri ini
akan terhambat pertumbuhannya saat pH dibawah 4 dan berakhir aktivitasnya karena
berkurangnya WSC, kemudian ensilase memasuki fase stabil. Pada fase ini, bakteri
asam laktat memfermentasi gula yang berasal dari perombakan hemiselulosa dan
penurunan pH mulai melambat (Bolsen et al., 2000).
Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun singkong sebagai pakan
ternak dan efektif menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu setelah tiga
bulan ensilase yaitu dari 289 mg/ kg menjadi 20,1 mg/ kg (Kavana et al., 2005).

Pengamatan fisik silase seperti warna, bau, dan penampakan lainnya hanya
menggambarkan nilai nutrisi secara umum (Macaulay, 2004). Pengukuran bahan
kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik, kadar gula, serta jumlah
mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan
kualitas fermentatif silase (Macaulay, 2004). Kualitas fisik meliputi warna, bau atau

aroma, tekstur, kelembaban, dan keberadaan jamur.
Warna hasil silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin
terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak kandungan asam asetat akan
menghasilkan berwarna kekuning-kuningan, sementara kalau kelebihan asam butirat
6

akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan. Penentuan kualitas suatu fermentasi
juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat hampir tidak
mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan aroma wangi
yang menyengat, sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk
(Saun dan Heinrichs, 2008).
Sementara Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu
faktor penentu keberhasilan fermentasi. Seperti halnya yang dijelaskan oleh
Macaulay (2004), kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria
berdasarkan pH yaitu baik sekali dengan pH 3,2-4,2, baik pH 4,2-4,5, sedang pH 4,54,8, dan buruk pH >4,8. Salah satu tujuan ensilase adalah meminimalisasi aktivitas
proteolitik yang disebabkan oleh aktivitas enzim tanaman atau mikroorganisme lain
terutama jenis Clostridium. Sejumlah komponen NPN meningkat dengan adanya
aktivitas proteolisis. Akibatnya pH silase meningkat dan beberapa komponen NPN
seperti amin dapat menurunkan konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs, 2008).
Tabel 2. Kriteria Kualitas Silase
Kriteria

Baik Sekali

Baik

Sedang

Buruk

Warna

Hijau tua

Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan

Tidak hijau

Cendawan

Tidak ada

Sedikit

Lebih banyak

Banyak

Bau

Asam

Asam

Kurang asam

Busuk

pH

3,2-4,2

4,2-4,5

4,5-4,8

>4,8

N-NH3

20% total N

>20% total N

(Wilkins, 1988)

Amonia (NH3) merupakan indikator kualitas silase yang menunjukkan
kerusakan silase. Kandungan amonia silase menunjukkan perombakan protein pakan.
Kadar amonia silase berasal dari perombakan oleh Enterobakteria selama proses
ensilase yang berkompetisi dengan bakteri asam laktat dalam menggunakan WSC
sehingga terjadinya degradasi protein. Selain itu, kadar NH3 dalam rumen dapat
digunakan sebagai indikator fermentabilitas protein pakan. Kadar N-NH3 yang
normal pada silase yaitu kurang dari 10% (Saun dan Heinrichs, 2008).
Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan
karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan
7

protein mikroba. Besarnya protein yang didegradasi dalam rumen dapat mencapai
70%-80% dan besarnya protein yang sulit dicerna sekitar 30%-40%. Jika terjadi
degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia
terakumulasi dan tinggi kadarnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar 6-21 mM
(McDonald et al., 2002). Sedangkan menurut Satter dan Slyter (1974), konsentrasi
amonia cairan rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15
mM. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan
kenaikan kadar NH3.
!" #
Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan senyawa yang diproduksi bila pakan
atau ransum mengalami fermentasi. VFA diproduksi dari hasil fermentasi
karbohidrat dan protein (Mathius et al., 1984). Proses pencernaan karbohidrat pada
ensilase atau pada saat pakan berada di dalam rumen ternak ruminansia akan
menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama asetat, propionat, dan
butirat dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang (asam
isobutirat, asam valerat, dan asam isovalerat).
Chamberlain dan Wilkinson (1996) menyatakan bahwa konsentrasi VFA
merupakan refleksi dari fementasi yang tidak efisien atau terjadinya fermentasi
sekunder dimana asam laktat berubah menjadi asam butirat, degradasi asam amino
menghasilkan amonia, dan produksi asam asetat dari rantai karbon asam amino.
Konsentrasi VFA yang terdiri dari asam asetat, propionat, dan butirat memiliki
persentase yang berbeda dari proses fermentasi dipengaruhi jenis pakan. Konsentrasi
VFA pada silase yang ideal adalah 80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak, dan
berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (40%), mengakibatkan
pemadatan kurang sempurna sehingga terdapat oksigen dalam silo. Sehingga peluang
untuk pertumbuhan jamur lebih tinggi.
"

-

Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase diperlihatkan pada Tabel 3.
Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: pH, kandungan bahan kering,
perombakan BK, VFA (Volatile Fatty Acid), kandungan protein kasar, perombakan
protein, NH3, WSC, WSC yang terpakai, HCN, dan Nilai Fleigh.
)

,

Berdasarkan hasil fermentasi lima minggu didapatkan hasil pH silase 4,53
untuk silase ransum komplit, pH SSU7 sebesar 4,21, SSU8 sebesar 4,29, dan SSU9
memiliki pH 4,54, terlihat pada Gambar 2.
4.80

4,53b

4,29a

4.60
4.40

4,54b

4,21a

pH
4.20
4.00
3.80
SRK

SSU7

SSU8

SSU9

Perlakuan

Gambar 2. Nilai pH Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit
pH silase yang dihasilkan dapat dikategorikan baik dan baik sekali. Wilkins
(1988) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori,
yaitu baik sekali (pH 3,2-4,2), baik (pH 4,2-4,5), sedang (pH 4,5-4,8), dan buruk (pH
>4,8). Sehingga secara karakteristik fisik pH silase dapat dikatakan baik sekali untuk
silase singkong utuh berumur panen 7 dan 8 bulan namun silase ransum komplit dan
silase singkong utuh umur panen 9 bulan dikatakan baik.
Berdasarkan sidik ragam, umur tanaman mempengaruhi nilai pH silase.
Kualitas silase singkong utuh dengan umur panen 7 dan 8 bulan memiliki kualitas

22

yang lebih baik dari silase ransum komplit, sedangkan silase singkong utuh umur 9
bulan memiliki kualitas yang sama dengan silase ransum komplit berdasarkan nilai
pH. Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH silase berhubungan dengan
produksi asam pada proses ensilase, pH yang rendah mencerminkan produksi asam
laktat yang tinggi. Nilai pH SSU9 dan SRK yang lebih tinggi dari SSU7 dan SSU8
kemungkinan disebabkan berbedanya kandungan Water Soluble Carbohydrate
(WSC) awal bahan. WSC awal bahan SSU9 dan SRK yang lebih rendah dari SSU7
dan SSU8 menunjukkan bahwa ketersediaan gula untuk aktivitas mikroba lebih
sedikit sehingga produksi asam yang dihasilkan sedikit, hal ini yang menyebabkan
penurunan pH SSU9 dan SRK lambat.
Water Soluble Carbohydrate (WSC) merupakan substrat primer bakteri
penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Jika kandungan WSC yang
rendah pada bahan, maka ensilase tidak akan berjalan baik karena produksi asam
laktat atau asam organik akan terganggu (Jones et al., 2004). Terbentuknya asam
laktat pada proses silase ini mempercepat penurunan pH. WSC tanaman umumnya
dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur, dan waktu panen
tanaman (Downing et al., 2008).
Kadar WSC yang dihasilkan silase singkong utuh pada masing-masing
perlakuan terlihat pada Gambar 3, yaitu SRK sebesar 13,27%, SSU7 sebesar 6,30%,
SSU8 sebesar 12,29%, dan SSU9 sebesar 5,44%. Berdasarkan uji sidik ragam,
terdapat perbedaan yang signifikan (P