BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pemberian kredit pihak bank mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
selanjutnya ditulis UU Perbankan 1998 tentang Perbankan yang berbunyi :”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Secara umum dinyatakan bahwa fungsi utama Bank adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Peyaluran dana kepada masyarakat tersebut yaitu berupa kredit. Bank dalam memberikan kredit disertai dengan jaminan tertentu.
Keberadaan jaminan kredit merupakan salah satu cara untuk memperkecil risiko bank dalam menyalurkan kredit. Menurut Pasal 1131 KUH Perdata semua benda
atau kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk semua hutanghutangnya.Tetapi sering orang merasa tidak puas dengan jaminan secara umum ini.Lalu meminta
supaya suatu benda tertentu dijadikan tanggungan.Apabila orang yang berhutang
tidak menepati kewajibannya, orang yang menghutangkan dapat dengan pasti dan mudah melaksanakan haknya terhadap si berhutang dengan mendapat kedudukan
yang lebih tinggi dari pada penagih-penagih hutang lainnya.
1
Jaminan dapat diartikan sebagai harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitur
tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan tersebut.Jaminan
kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur
berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur. Jaminan kredit dibagi menjadi 4 empat jenis, yaitu jaminan lahir karena undang-undang yaitu
Pasal 1131 KUHPerdata, jaminan lahir karena perjanjian, jaminan kebendaan, jaminan penanggung hutang.
2
1
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta, Liberty, 1984 hlm.51.
2
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Jakarta, 2005,Alfabeta, hal.144
Pengertian kredit menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjaman meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak pinjaman untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atas keseakatan
pinjaman meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok
Agraria selanjutnya disebut UUPA tidak memberikan pengertian agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam
konsideran, pasal-pasal maupun penjelasanya. Ruang lingkup agrarian menurut UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung
di dalamnya.
3
Kehadiran lembaga Hak Tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek selanjutnya disebut dengan hipotik yaitu suatu hak kebendaan
atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu pengikatan sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan
Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut. Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur mengenai agrarian. Tanggal 9 April 1996, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah selanjutnya disebut UUHT.
4
Sejak diberlakukannya undang-undang Hak Tanggungan ini sangat berarti dalam menciptakan unifikasi hukum Tanah Nasional, khususnya di bidang hak
3
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005, hal 2
4
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal 1.
jaminan atas tanah.Kenyataannya menunjukkan bahwa dalam praktik pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini telah terjadi hal-hal yang tidak mendukung
keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktik yang seolah-olah melembagakan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan selanjutnya disebut SKMHT. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bertujuan memberikan landasan
untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang kuat, di antaranya mengenai kedudukan SKMHT.
Jaminan kepastian hukum bagi pembeli tanah biasanya menjadi harapan setiap orang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
kepemilikan tanah harus jelas, lebih-lebih yang berkaitan dengan debitur yang sering kali karena kelalaiannya, menimbulkan wanprestasi dengan cara tidak
melunasi kewajibannya kepada kreditur. Namun, pihak debitur pada sisi lain telah menerima pembayaran atau pelunasan sebidang tanah beserta bangunan, hal ini
sering menimbulkan masalah. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit danatau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disingkat UU Perbankan. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperanataan antara kelompok orang
yang untuk sementara mempunyai dana lebih surplus spending group dan
kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana defisit spending group.
5
Terlihat dua fungsi utama bank, yakni fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan yang lazim antara bank
dannasabah, yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana; dan hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
6
Pada hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur, memberikan pemahaman bahwa bank
merupakan lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Hubungan tersebut dimaknai sebagai hubungan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dan nasabah yang bersangkutan.
7
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan.Jaminan kredityang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang
Pada saat proses pemberian kredit, bank tidak serta merta memberikan kredit kepada nasabah, oleh sebab itu nasabah developer memberikan jaminan
berupa sertifikat Hak Milik Atas Tanah kepada bank kemudian diikat dengan perjanjian jaminan yaitu Hak Tanggungan. Perjanjian kredit di PT.Bank Rakyat
Indonesia dilakukan secara tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir yang dinamakan formulir perjanjian kredit.Isi perjanjian kredit telah ditentukan terlebih
dahulu dalam suatu bentuk tertentu telah dibakukan menunjukkanbahwa perjanjian kredit tersebut adalah suatu perjanjian standar.
5
Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan. Sinar Grafika, Jakarta,2010, hal.12
6
Ronny Sautama Hotma Bako, 1995. Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung. hal 32
7
Lukman Santoso Az, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank. Pustaka Yustisia, Yogyakarta. hal 58
berkaitan dengan kepentingan bank.Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan
yang diperjanjikan.Artinya bahwa pihak penerima kredit debitur harus memberikan jaminan kepda bank kreditur yang nilainya sepadan dengan kredit
yang telah diberikan. Adanya jaminan tersebut akan memberikan kepastian kepada bank dalam memperoleh kembali kredit yang diberika kepada debitur.
Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan
memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang
diberikan kepada masyarakat dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Maka dengan adanya jaminan yang diikat dalam
bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit
atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur orang yang meminjam uang atau
yang menerima kredit akan dibayar lunas. Apabila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan
perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan penjualan atas objek jaminan kredit yang bersangkutan.
Berkaitan dengan jaminan kredit yang ditentukan oleh bank terutama jaminan kredit bagi hak milk pihak ketiga. Jaminan pihak ketiga ini tidak bisa
sembarangan otang yang dapat menjaminkan sebaiknya penjamin ialah orang
yang mempunyai hubungan langsung dengan debitur dengan kata lain penjamin masih berada iktan keluarga baik ikatan keatas maupun ikatan kebawah dengan
debitur. Contohnya penjamin atau pihak ketiganya ialah orang tua atau paman atau saudara kandung dari debitur.
Didalam suatu perjanjian dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur bila debitur tidak
memenuhi perikatannya. Maka bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang yaiut pihak kreditur, debitur dan pihak ketiga. Kreditur
sebgai pemberi utang, debitur sebagai penerima utang dan pihak ketiga berkedudukan sebagai penanggung utang debitur. Sebagai penanggung pihak
ketiga bertanggungjawab atas utang debitur ketika wanprestasi. Pada prinsipnya pihak ketiga sebagai penanggung tidak mempunyai
kewajiban untuk membayar utang kepada kreditur kecuali jika debitur lalai tidak membayar utangnya. Jadi ketika debitur wanprestasi tidak membayar utangnya
maka kebendaandebitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.
Penanggungan tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika penanggung utang telah
melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual, penanggung utang mengikatkan dirinya bersama-sama debitur
utama secara tanggung menanggung, debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi, debitur dalam keadaan pailit,
dan dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim.
Beberapa akibat dari penanggungan antara debitur dengan penanggung dan antara para penanggung. Hubungan hukum antara penanggung dengan debitur
utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran utang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya
membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Selain itu penanggung utang juga berhak untuk menuntut pokok dan bunga, penggantian
biaya, kerugian dan bunga. Terkait dengan kaitannya dengan tanah sebagai barang jaminan dalam
pemberian kredit, bank telah meletakkan persyaratan pembebanan Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa bagi pihak kreditur dalam perjanjian
kredit dengan debitur.Pembebanan Hak Tanggungan dapat memberikan kepastian hak bagi kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya jika debitur
wanprestasi. Hal ini tercantum pada Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disingkat UU
Hak Tanggungan, bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip kehati- hatian prudent banking yang dikenal dengan formula 5C‟s, yaitu character,
capacity, capital, collateral, dan condition, tidak terlepas dari ketentuan hukum
yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi kepentingannya.Prinsip kehati-hatian tersebut penting untuk diterapkan oleh pihak bank. Unsur collateral
jaminan merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi oleh pihak debitur dalam pengajuan perjanjian kredit.Berkaitan dengan hal melayani anggota
masyarakat yang memerlukan dana bank, masing-masing bank mempunyai berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan kebijakannya. Skim kredit yang
ditawarkan bank kepada masyarakat memuat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh kredit yang diatur dalam skim kredit tersebut.
Setelah penelitian bank kreditur dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan
pemilik tanah datang ke Kantor NotarisPejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut
terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan.Pemberian Hak Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah
selaku pemberi hak tanggungan, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan
ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak disertai sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum
kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan.Pasal 6 UU Hak Tanggungan
menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menyatakan
bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan menunjukkan hak
yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UU Hak
Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak
lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi Berdasarkan latar belakang diatas merasa tertarik memilih judul Aspek
Hukum Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Milik Pihak Ketiga Studi Pada Bank SUMUT Cabang Sei Sikambing Medan.
B. Permasalahan