32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan mutasi tenaga pendeta di GPM
Sesuai dengan data vikariat tahun 2013 yang menunjukan bahwa Sinode GPM terdapat 32 klasis
dengan jumlah keseluruhan jemaat adalah yaitu 743 jemaat. Jemaat GPM tersebar di wilayah provinsi
Maluku dan juga Maluku Utara dengan jumlah tenaga pendeta periode 2013 yaitu 1.165 pendeta.
Lokasi GPM yang
adalah wilayah
kepulauan, menyebabkan
koordinasi antara elemen pelayan Gereja baik dari tingkat Sinode, Klasis maupun Jemaat sangat penting
agar pelayanan dapat berjalan dengan baik. Sinode GPM sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi
melaksanakan kebijakan mutasi sebagai strategi untuk menopang
pelayanan yang
ada. Kebijakan
ini didasarkan
kepentingan pelayanan
dan dapat
33
dirasakan oleh semua jemaat baik itu yang ada di
wilayah mata air dan airmata PIPRIPP 2010-2015.
Mutasi tenaga pendeta yang dilakukan oleh Sinode GPM saat ini telah mengalami perkembangan
yang lebih baik dibandingkan dengan yang dulu. Hal ini dijelaskan oleh salah seorang pendeta GPM yang
melayani di jemaat kota Ambon. Pendeta tersebut menyebutkan bahwa Sinode melakukan berbagai
perubahan terkait dengan mutasi ini, yang salah satunya yaitu sistem keuangan Gereja 70:30. Melalui
sistem keuangan ini, maka pelayanan yang dilakukan khususnya di jemaat air mata semakin membaik dan
secara langsung berdampak pada kebijakan mutasi. Selain
keadaan keuangan jemaat semakin baik, presentase pendeta yang terlalu lama di jemaat
semakin berkurang dan gaji pendeta dengan rutin dapat diterima.
Kondisi pelayanan yang semakin membaik di lingkungan GPM berkaitan erat dengan kebijakan
mutasi yang dilakukan oleh Sinode yang memiliki
34
wewenang untuk mengaturnya. Sebagaimana yang tercantum dalam peraturan mutasi tahun 2008, Badan
Pekerja Harian Sinode memiliki wewenangi, yaitu: 1 mengatur kebijakan mutasi terhadap semua pelayan
organik Gereja. 2 mempertimbangkan dengan seksama usul dan saran Badan Pekerja Klasis terhadap pelayan
organik Gereja keluar klasis, atau penempatan pelayan organik gereja ke dalam klasis. 3 mengambil
keputusan akhir
berhubungan dengan
kasus pelanggaran displin oleh pelayan organik Gereja. 4
mengangkat dan mempekerjakan pelayan organik gereja didalam lembaga-lembaga gereja di luar GPM.
Sinode GPM dalam mengatur mutasi ini dibantu oleh Badan Pekerja Klasis. Wewenang yang dimiliki
Badan Pekerja Klasis seperti diatur dalam peraturan mutasi
tenaga pendeta
2008 adalah:
1 mempertimbangkan dengan seksama pelayan organik
Gereja yang akan dipindahkan tenang kekhasan situasi dan probelamtik pelayanan. 2 mengambil keputusan
yang bersifat sementara berhubungan dengan kasus
35
pelanggaran displin oleh pelayan organik gereja. 3 mengusulkan muatsi terhadap pelayan organik gereja
kepada BPH Sinode GPM dengan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan tentang kekhasan wilayah
tempat tugas dan bobot tugas yang akan diemban oleh pelayan organik gereja yang baru.
Berdasarkan peraturan mutasi pegawai dan pelayan organik GPM dalam Tata Gereja GPM tahun 1998, Bab
III mutasi pelayan organik dalam hal ini pendeta dalam lingkungan GPM dilaksanakan dalam empat bentuk
yaitu:
1 Mutasi Rutin berlaku bagi pegawai dan Pelayan
Organik Gereja apabila yang bersangkutan telah memenuhi masa tugas dan fungsi jabatan
selama lima tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.
2 Mutasi karena kepentingan pelayanan gerejawi,
berlaku bagi Pegawai dan Pelayan Organik yang memenuhi persyaratan khusus terpilih dalam
jabatan-jabatan fungsional atau struktural di
36
dalam atau di luar lingkungan GPM dan bentuk mutasi ini tidak mengenal masa tugas.
3 Mutasi karena pelanggaran displin gereja,
berlaku bagi para pegawai dan pelayan organik gereja
yang sikap,
perbuatan dan
jalan pikirannya terang-terangan melanggar Firman
Allah, Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang berlaku.
4 Mutasi karena mengikuti suamiistri, berlaku
bagi para
pegawai dan
pelayan organik.
Wanitapria yang telah berkeluarga baik dengan suamiistri dalam status pegawai dan pelayan
organik atau bukan pegawai dan pelayan organik gereja.
Selanjutnya prosedur pelaksanaan untuk empat mutasi diatas yang diatur dalam peraturan mutasi
pendeta 2008, yaitu: 1.
Untuk mutasi rutin berlaku prosedur yaitu: 1
Badan Pekerja Klasis atau Pimpinan UnitLembaga menyampaikan pertimbangan-
37
pertimbangan kepada Badan Pekerja Harian Sinode GPM tentang kapasitas pegawai dan
pelayan organik GPM berbagai bobot tugas yang
diemban disertai
gambaran perkembangan pekerjaan dan usul resmi
tentang pengakhiran tugas atau perpanjang tugas yang bersangkutan,
2 Bilamana tenaga pegawai dan pelayan organik
gereja di lingkungan Klasis atau unitlembaga gerejawi
berdasarkan penilaian
masih dibutuhkan maka:
a. Badan Pekerja Klasis atau unitlembaga
gerejawi menyampaikan surat permohonan perpanjangan tugas kepada BPH Sinode
GPM. b.
BPH Sinode mempertimbangkan dan mengeluarkan Surat Keputusan untuk
menetapkan perpanjangan tugas atau mutasi tempat bagi pegawai dan pelayan
organik gereja di lingkungannya serta
38
mutasi untuk wilayah KlasisUnit kerja bagi pegawai dan pelayan organik gereja di
lingkungannya serta mutasi untuk wilayah KlasisUnit kerja bagi pegawai dan pelayan
organik, yang atas usul BPK dan pimpinan UnitLembaga perlu dimutasikan.
2. Mutasi karena kepentingan pelayanan, berlaku
prosedur: 1
Badan Pekerja
Klasis atau
pimpinan UnitLembaga dan BPH Sinode melakukan
percakapan pendahuluan
dengan yang
bersangkutan dan
bila perlu
dengan keluarganya.
2 Selanjutnya percakapan persiapan dilakukan
dengan Majelis Jemaat, Badan Pekerja Klasis atau pimpinan unitlembaga tempat bekerja
pegawai dan pelayan organik tersebut. 3
Dengan memperhatikan bobot dan sifat tugas serta tempat kerja pegawai dan pelayan
organik tersebut, BPH Sinode dapat segera
39
mengeluarkan Surat Keputusan Mutasi dan penempatan pegawai dan pelayan organik
mutasi. 4
Bagi jabatan-jabatan
pilihan karena
kebutuhan organisasi seperti keanggotaan Badan Pekerja Klasis dan BPH Sinode,
prosedur sebagaiman
disebutkan diatas
dinyatakan tidak berlaku. 3.
Mutasi karena pelanggaran displin gereja, berlaku ketentuan peraturan displin GPM,
dengan catatan pengisian lowongan jabatan dilakukan oleh Badan Pekerja Klasis atau BPH
Sinode, paling lama satu bulan pegawai dan pelayan organik tersebut dibebas-tugaskan.
4. Mutasi karena mengikuti suami, berlaku
prosedur: 4.1
Bila suami yang bersangkutan adalah pegawai dan pelayan organik gereja:
a Pegawai dan pelayan organik tersebut wajib
menyampaikan permohonan
tertulis
40
kepada BPH Sinode melalui Badan Pekerja Klasis atau pimpinan unitlembaga tempat
bekerja dengan
melampirkan Surat
Keputusan Mutasi suami. b
Setelah mempertimbangkan permohonan yang bersangkutan, maka Surat Keputusan
mutasi mengikuti suami dikeluarkan oleh Badan Pekerja Harian Sinode GPM.
c Penempatan di tempat tugas yang baru,
dapat dilakukan oleh BPH Sinode GPM atas usul BPK atau pimpinan unitlembaga
tempat bekerja, bilamana ada lowongan tugas dan kerja. Dalam hal tersebut,
pelayan organik
gereja pendeta
dan penginjil
dapat tetap
melaksanakan fungsinya membantu suami. Bagi pegawai
gereja, ia untuk sementara berstatus dengan cuti diluar tanggunggan gereja
sampai tersedia lowongan.
41
4.2 Bilamana suami yang bersangkutan adalah
PNSABRISwasta a
Pegawai dan pelayan organik tersebut wajib menyampaikan
permohonan tertulis
kepada BPH Sinode melalui Badan Pekerja Klasis atau pimpinan unitlembaga tempat
bekerja, dengan
melampirkan Surat
Keputusan mutasi dari InstansiLembaga tempat suaminya bekerja.
b Setelah mempertimbangkan permohonan
yang bersangkutan maka BPH Sinode mengeluarkan Surat Keputusan mutasi
mengikuti suami. c
Penempatan yang bersangkutan selama tugas dan jabatan yang baru tergantung
dari lowongan
yang tersedia.
Sambil menunggu pelayanan penempatan pelayan
organik tersebut dapat melaporkan diri ke Badan Gerejawi setempat untuk membantu
pelayan jemaat. Bagi seorang pegawai
42
gereja, ia untuk sementara menjalankan cuti diluar tanggungan gereja, sambil
menunggu lowongan tersedia. Kebijakan mutasi yang dilakukan menurut pihak
Sinode GPM memiliki tiga tujuan, yaitu: 1
Meningkatkan kualitas pelayanan dalam jemaat. Ketika pendeta dipindahkan dari satu jemaat ke
jemaat yang lain, maka ada berbagai pengalaman yang didapatkan. Pengalaman yang didapatkan di
jemaat sebelumnya akan sangat membantu saat melayani di jemaat baru. Selain itu pelayanan
yang dilakukan
nantinya sesuai
dengan kebutuhan jemaat yang ada.
2 Mengatasi kebosanan dan juga konflik. Terlalu
lama pendeta di jemaat akan menimbulkan kebosanan dalam diri pendeta yang secara
langsung akan berdampak pada pelayanan yang dilakukannya. Biasanya tahun pertama seorang
pendeta di
jemaat akan
beradaptasi da
mempelajari kondisi jemaat yang ada. Kemudian
43
tahun kedua, ketiga dan keempat adalah tahun dimana pendeta berkarya melalui pelayanan yang
dilakukan sasaran pelayanan. Ketika masuk tahun kelima dan seterusnya, pendeta mulai
bosan dengan kondisi pelayanan yang ada dan hal ini akan mematikan semangat pelayanan.
Maka dari itu, tahun kelima dipandang sebagai masa yang tepat untuk memutasikan pendeta
yang ada. Sehingga bukan saja pendeta yang butuh penyegaran tetapi juga dengan umat.
3 Mengembangkan perspektif bergereja yang
komprehensif. Tujuan mutasi yang ketiga ini merupakan
tujuan utama
Sinode GPM
melakukan kebijakan mutasi. Dengan melihat banyak kasus pendeta yang menolak SK mutasi
ke wilayah airmata dengan alasan ekonomi, membuat
sehingga kebijakan
mutasi dan
penempatan pendeta GPM semakin diperketat oleh Sinode. Pendeta GPM diharapkan tidak
hanya melihat GPM sebagai satu jemaat atau
44
klasis saja tetapi secara menyeluruh. Dengan tiba-tiba
ditempatkan di
wilayah tenggara
airmata atau dimana saja merupakan bagian dari proses untuk mengubah cara pandang
bergereja secara baik. Seperti yang sudah dikemukan diatas terkait
dengan tujuan GPM melakukan kebijakan mutasi ini, maka yang perlu diketahui bahwa Sinode GPM tidak
merumuskan tujuan mutasi ini didalam peraturan mutasi tenaga pendeta tahun 2008 secara tertulis.
Tujuan mutasi diatas diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang mengatur mutasi dalam hal
ini wakil sekum GPM dan juga kepala personalia dan pensiunan. Hal ini sangat disayangkan ketika GPM
tidak menuangkan dan memasukan tujuan mutasi dalam peraturan yang ada. Tidak ada landasan yang
kuat yang mendasari kebijakan dan pelaksanaan mutasi, sehingga ditakutkan akan timbul kendala-
kendala terkait kebijakan ini. Ketika tujuan mutasi ini bersumber dari pandangan-pandangan para pimpinan
45
di Sinode GPM, ditakutkan bila ada pergantian pimpinan Sinode maka tujuan mutasi ini pun akan
berbeda-beda pula. Selanjutnya konsep mutasi pendeta sedikit berbeda
dengan organisasi profit dimana mutasi ini merupakan strategi untuk membina tenaga pendeta yang berkaitan
dengan amanat pengutusannya. Amanat pengutusan seorang pendeta yaitu bersedia ditempatkan dimana
saja baik itu jemaat perkotaan maupun jemaat pedesaan dan kapan saja tanpa ada pendeta yang
selama-lamanya di suatu jemaat. Hal ini juga berlaku bagi semua pendeta GPM, dalam amanat pengutusan
bersedia ditempatkan
di semua
wilayah GPM.
Pengutusan mereka sebagai seorang pelayan Tuhan di wilayah GPM dimulai dengan ditempatkan di wilayah
yang jauh airmata dengan masa pelayanan lima tahun. Kemudian setelah lima tahun pendeta tersebut akan
ditempatkan di wilayah yang dekat atau mata air. Dengan begitu, pendeta yang adalah seorang pelayan
46
Tuhan adalah orang-orang yang melayani dan diutus dengan sebuah “keterpanggilan”.
Selain itu, panggilan untuk melayani umat Allah ini dengan jelas disampaikan oleh Rasul Paulus dalam I
Petrus 5:2-3.
Melalui suratnya
itu, Paulus
mengingatkan para pelayan Tuhan memiliki tanggung jawab untuk memelihara kehidupan iman umat dengan
cara selalu memperhatikan dan memberi makanan rohani kepada mereka. Allah sendiri memilih mereka
untuk menggembalakan, menuntun serta menolong umat untuk mencapai kualitas iman dan hidup yang
baik Sasirais, 2011. Sehingga penting sekali para pelayan Tuhan memiliki rasa pengabdian yang tinggi
dan menjadi seorang pelayan yang rendah hati servant leaderhip.
Mengacu pada
hal diatas,
maka pemberdayaan
umat merupakan
fokus utama
pelayanan yang dilakukan oleh GPM sesuai dengan hasil wawancara dengan wakil sekum. Sehingga GPM
memiliki profil
pelayan yang
mengutamakan pembangunan karakter dalam hal ini pembangunan
47
pengetahuan dan skill para pelayan. Hal ini terkait dengan pemberdayaan umat baik secara rohani dan
kehidupan ekonomi. Mutasi atau pemindahan ini terjadi bukan karena
pendeta itu bermasalah atau kinerjanya tidak baik, tetapi
diharapkan adanya
peningkatan kualitas
pelayanan Strauch, 1992. Hal ini juga yang berlaku dalam kebijakan mutasi pendeta di GPM. Jika kembali
melihat pada tujuan Sinode GPM melakukan mutasi ini bahwa peningkatan kualitas dari seorang pelayanan
sangat diharapkan.
Peningkatan kualitas
tenaga pendeta di GPM dapat terjadi melalui pengalaman-
pengalaman yang diperoleh dari tiap jemaat dengan karakteristik umat dan pelayanan yang berbeda. Tidak
semua jemaat memiliki warna pelayanan yang sama, jemaat kota pastilah berbeda dengan jemaat desa.
Sehingga cara pendeta melayani dan memimpin suatu jemaat juga berbeda. Dengan demikian, perbedaan dan
karakteristik tiap jemaat ini secara langsung akan
48
mempengaruhi kemampuan dan kualitas pelayanan dari pendeta yang ada.
Peningkatan kualitas pelayanan ini juga tidak akan terjadi jika seorang pendeta tidak memaknai tugas
panggilannya sebagai
seorang pelayan
Tuhan. Pemahaman para pendeta sebagai seorang pelayan
Tuhan yang harus dimutasikan kemana saja sangat berpengaruh ketika mereka memiliki motivasi yang
tinggi untuk melayani. Terkadang banyak sekali pendeta yang gagal melayani hanya karena orientasi
mereka bukan lagi pelayanan tetapi materi. Ada seorang pendeta dari awal penempatan di daerah kota yang
terbiasa dengan keadaan ekonomi jemaat yang maju dan pendeta tersebut memiliki bisnis di Ambon. Ketika
suatu waktu akan dimutasikan ke jemaat desa yang keadaan ekonomi berbanding terbalik dengan jemaat
kota, pendeta tersebut menolaknya. Kenyataan ini merupakan salah satu contoh bahwa ada beberapa
pendeta yang karena terbiasa dengan kehidupan kota dan keadaan ekonomi jemaat yang mapan. Akhirnya
49
menjadikannya lupa bahwa fokus utamanya adalah melayani umat dimana saja dan apapun keadaan umat
yang dilayani. Dengan melihat kenyataan diatas, maka salah satu
tujuan mutasi
dalam lingkungan
GPM yaitu
mengembangkan perspektif
bergereja yang
komprehensif. Tujuan mutasi ini dicetuskan dengan melihat
banyak kasus
pendeta yang
menolak dimutasikan ke wilayah airmata dengan berbagai
alasan. Salah satu alasan pendeta menolak untuk dimutasikan seperti sudah dijelaskan diatas bahwa
faktor ekonomi menjadi salah satunya. Selain alasan ekonomi, ada juga alasan lain yang menurut pihak
Sinode GPM bisa ditolerir seperti alasan keluarga dan kesehatan pendeta. Seorang pendeta GPM sangat
diharapkan bukan saja melihat GPM hanya sebagai satu jemaat atau satu klasis saja, tetapi secara
menyeluruh. Melalui proses penempatan di wilayah airmata atau di wilayah GPM dimana saja merupakan
50
bagian dari proses mengembangkan persepktif bergereja yang komprehensif.
Setiap organisasi memerlukan sebuah perencanaan yang baik supaya nantinya tujuan yang ingin dicapai
menjadi jelas. Begitu juga dengan Sinode GPM dalam kaitannya
dengan mutasi
pendeta ini.
Melalui rangkuman hasil pengamatan dan wawancara, maka
Sinode dalam hal ini telah melakukan perencanaan yang baik. Perencanaan untuk mutasi pendeta GPM ini
didasarkan pada kebutuhan umat pelayanan dan juga daya dukung keuangan jemaat. Oleh karena itu,
penting bagi Sinode untuk memperkuat aturan mutasi yang ada dengan segala konsekuensi bagi pendeta jika
melanggar aturan. Kemudian untuk menopang agar perencanaan mutasi berjalan dengan baik, seharusnya
Sinode GPM mempunyai database yang akurat tentang semua pejabat Gereja dan juga keluarganya.
Kemudian untuk fungsi pengorganisasian dalam proses mutasi menurut Manullang yang dikutip oleh
Suryaningsih 2012, melakukan hubungan langsung,
51
merumuskan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kriteria keberhasilan yang jelas terhadap setiap individu
dalam organisasi, menciptakan sistem komunikasi dan informasi yang efektif dalam organisasi, melakukan
kontrol yang efektif terhadap pelaksanaan mutasi disesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Jika hal ini
dikaitkan dengan mutasi pendeta GPM, maka ada perumusan tugas dan tanggung jawab terkait kebijakan
mutasi ini. Dalam arti bahwa ada sekum, wakil sekum, kepala personalia dengan dibantu oleh Klasis yang
memiliki wewenang, tugas, tanggung jawab yang berbeda-beda terkait kebijakan dan pelaksanaan mutasi
ini. Tiap-tiap individu maupun kelompok ini secara bersama-sama dalam suatu komunikasi dan infomasi
yang terarah saling bekerja sama dalam rangka mutasi pendeta ini dapat berjalan dengan baik.
Fungsi pengawasan controlling perlu dilakukan oleh lembaga tertinggi gereja terhadap kebijakan dan
pelaksanaan mutasi pendeta. pengawawasan dilakukan agar
tidak terjadi
penyimpangan-penyimpanganan
52
sehingga tujuan organisasi dapat terus terarah Wiryoputro, 2004. Terkait dengan kebijakan dan
penempatan pendeta, Sinode harus terus melakukan pengawasan terhadap Klasis yang secara langsung
dalam GPM sangat menentukan mutasi seorang pendeta. Ketika Klasis memberikan laporan kinerja dari
pendeta, seharusnya Sinode melakukan pengecekan ulang terkait dengan kinerja pendeta dengan bekerja
sama dengan majelis jemaat yang ada. Selain itu, fungsi pengawasan juga melibatkan majelis jemaat terkait
dengan pemindahan dan penempatan seorang pendeta di suatu jemaat. Misalnya pendeta yang melayani dan
memimpin jemaat dengan gaya otoriter atau pendeta melakukan pelanggaran disiplin gereja, maka tugas
majelis jemaat untuk melaporkan hal tersebut kepada Klasis dan kemudian Klasis melanjutkannya ke Sinode.
Fungsi pengarahan erat kaitannya dengan fungsi pengawasan dimana pimpinan Sinode mengatur mutasi
memberikan bimbingan, saran, dan intruksi terhadap Klasis. Sinode GPM terkait dengan kebijakan mutasi ini
53
harus selalu
memberikan pendampingan
berupa bimbingan dan saran kepada Klasis yang akan bertugas
untuk memberikan laporan kinerja tentang pendeta yang ada dalam wilayahnya. Sehingga penting sekali
pendampingan yang diberikan, agar nantinya laporan kinerja dan usulan memutasikan seorang pendeta
selalu berjalan sesuai dengan tata aturan yang berlaku dan tidak bersifat subjektif.
Setelah itu fungsi manajemen kristiani yang terakhir yaitu fungsi pengkoordinasian. Fungsi ini
sangat penting dilakukan untuk mengikat, menyatukan dan menyelaraskan semua aktivitas dan usaha yang
dilakukan oleh organisasi dengan melakukan kerja sama yang baik antara pimpinan tertinggi dan
bawahan. Tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dengan mutasi ini, maka
perencanaan yang sudah dibuat dengan matang tidak dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Fungsi ini sudah dilakukan dengan baik oleh pihak Sinode GPM, akan tetapi perlu ditingkatkan lagi dengan
54
melibatkan pihak majelis jemaat. Dengan pertimbangan bahwa selain Klasis, pihak majelis jemaat yang lebih
mengetahui dan menyaksikan perkembangan pelayanan dari pendeta yang ada dalam jemaat.
Dengan demikian, Sinode sebagai pemimpin tertinggi membuat kebijakan mutasi bukan saja dengan
pertimbangan terhadap kebutuhan organisasi saja. Akan tetapi, kebutuhan dari umat yang dilayani juga
haruslah dijadikan acuan dalam membuat kebijakan mutasi ini dengan tidak melupakan kepentingan
pendeta dan keluarganya. Selain itu, GPM harus mempunyai landasan yang kuat terutama landasan
teologi terkait dengan kebijakan ini. Sehingga tidak ada lagi penyimpangan dan kendala yang timbul akibat
tidak mempunyai landasan teologi yang kuat yang tertuang dalam sebuah peraturan tertulis.
Sinode melalui Sidang Sinode yang dilakukan setiap lima tahun sekali harus selalu mengevaluasi
setiap kebijakan mutasi yang ada. Dengan tujuan agar kebijakan mutasi ini dapat menjawab setiap kebutuhan
55
umat dengan memperhatiakan setiap perubahan yang terjadi di lingkungan GPM. Semua hal itu dapat
dilakukan apabila ada koordinasi yang baik dengan berbagai pihak-pihak yang ada yaitu Klasis dan juga
majelis jemaat, serta memerlukan komunikasi yang terarah.
4.2 Pelaksanaan Mutasi Pendeta GPM