55
umat dengan memperhatiakan setiap perubahan yang terjadi di lingkungan GPM. Semua hal itu dapat
dilakukan apabila ada koordinasi yang baik dengan berbagai pihak-pihak yang ada yaitu Klasis dan juga
majelis jemaat, serta memerlukan komunikasi yang terarah.
4.2 Pelaksanaan Mutasi Pendeta GPM
Sesuai dengan hasil wawancara dengan wakil sekum Sinode GPM terkait dengan pelaksanaan mutasi
pendeta yang dilakukan oleh Sinode, GPM melakukan mutasi berdasarkan laporan kinerja DP3 yang
diterima dari Badan Pekerja Klasis. Selain menerima laporan kinerja, Sinode juga menerima laporan situasi
dan problematik pelayanan setiap dua tahun sekali. Setelah
menerima laporan
kinerja dan
situasi pelayanan, maka kemudian Sinode akan mengeluarkan
Surat Keputusan mutasi terhadap pendeta yang ada. Penting sekali pimpinan organisasi melakukan analisis
kinerja dan lingkungan kerja baik itu organisasi profit
56
dan non profit dalam hal ini organisasi keagamaan. Selain berdampak positif untuk pengembangan kinerja
anggota organisasi Putra dkk, 2015, tetapi juga berdampak untuk untuk produktivitas kerja anggota
organisasi. Sehubungan dengan adanya laporan kinerja DP3 yang dilakukan oleh Klasis terhadap tenaga
pendeta yang ada sebelum memutuskan untuk memutasikan,
adapun aspek-aspek
penilaiannya adalah kesetian, prestasi kerja, tanggung jawab,
ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan kreatifitas, kehidupan moral dan yang terakhir
kepemimpinan. Delapan aspek tersebut yang menjadi indikator keberhasilan seorang pendeta GPM dalam
melayani suatu jemaat dan hal inilah yang akan menjadi acuan bagi Sinode untuk memutasikan
pendeta yang ada. Seperti yang sudah dipaparkan dalam kebijakan
mutasi bahwa mutasi pendeta didalam lingkungan Sinode GPM dilakukan dalam empat bentuk. Mutasi
rutin tenaga pendeta berlaku bagi tenaga pendeta GPM
57
dengan masa tugas dan pelayanan selama lima tahun. Akan tetapi pada pelaksanaannya terdapat berbagai
kendala seperti yang dikemukakan oleh kepala personalia dan pensiunan GPM. Kendala yang dihadapi
oleh Sinode sendiri terkait dengan pelaksanaan mutasi rutin ini, yaitu pendeta yang kurang memahami
tugasnya sebagai seorang pelayan Tuhan yang harus siap ditempatkan di wilayah pelayanan manapun.
Akibatnya ada pendeta yang menolak dipindahkan atau dimutasikan sebanyak dua kali. Alasan dibalik
penolakan terhadap SK mutasi ini adalah pendeta sudah nyaman dan betah dengan keadaan kota
sehingga susah untuk melayani didaerah terpencil atau desa. Selain itu memiliki bisnis di daerah kota Ambon
menjadikannya susah untuk dipindahkan. Selain itu juga jemaat yang sudah terlanjur mencintai pendeta
sehingga tidak menginginkan pendeta tersebut untuk pindah.
Melihat penyimpangan dan kendala yang terjadi pada pelaksanaan mutasi rutin tenaga pendeta, seperti
58
dikemukan oleh Sastrohadiwiryo 2002 disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasarinya. Untuk
beberapa kasus penolakan SK mutasi yang terjadi dalam
lingkungan GPM,
maka faktor
yang mendasarinya yaitu faktor ekonomi, psikologis dan
sosiologis. Keadaan
nyaman dengan
kehidupan perkotaan serta didukung keadaan ekonomi jemaat
yang sudah maju menjadikan kasus penolakan mutasi pendeta ini terjadi. Hal ini seperti yang dikemukakan
oleh Sastrohadiwiryo 2002 bahwa anggota ingin tetap berada dalam zona nyaman dan adanya kepentingan
pribadi. Akhirnya
ketika keputusan
untuk memutasikan dikeluarkan oleh pimpinan maka akan
terjadi penolakan dengan berbagai faktor yang sudah disampaikan diatas.
Kendala kedua menurut kepala personalia dan pensiunan, yang dihadapi Sinode terkait dengan
pelaksanaan mutasi rutin ini yaitu kendala geografis. Wilayah pelayanan GPM adalah wilayah kepulauan
yang tersebar di Maluku dan Maluku Utara. Sehingga
59
untuk menjangkau
setiap jemaat
yang ada
menggunakan transportasi laut. Apalagi di pulau Wetar, Damar, Sula dan Aru Selatan yang merupakan
wilayah pelayanan yang sangat jauh dan kemungkinan pendeta sangat rentan terhadap penyakit. Penting
sekali pihak
atasan atau
pimpinan organisasi
memperhatikan kondisi
atau lingkungan
tempat anggota bekerja. Sehingga tidak terlalu baik jika
seorang anggota terlalu lama bekerja disuatu tempat, karna dipastikan akan mengalami kebosanan dan
kejenuhan. Hal ini akan berdampak pada kinerja yang akan dihasilkan juga akan menurun dari sebelumnya
dan secara langsung akan berdampak buruk bagi organisasi Wahyudi, 2003.
Bentuk mutasi kedua yaitu mutasi karena kepentingan pelayanan gerejawi. Dimana mutasi ini
berbeda dengan mutasi rutin diatas, karena mutasi ini tidak mengenal masa tugas. Mengacu pada hasil
wawancara dengan
pihak Sinode,
maka dalam
pelaksanaan mutasi ini tidak terdapat kendala-kendala
60
dan penyimpangan yang terjadi seperti mutasi rutin. Hal ini dikarenakan sebelum Sinode mengeluarkan SK
mutasi, terlebih dahulu melakukan pendekatan dan percakapan
dengan yang
bersangkutan dan
keluarganya. Setelah itu, dilanjutkan percakapan dengan Majelis Jemaat, dan Badan Pekerja Klasis
tempat pendeta tersebut melayani. Selanjutnya mutasi karena tindak displin gereja,
dimana pendeta melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan Firman Allah dan juga tata
peraturan yang berlaku didalam Sinode GPM. Sehingga pendeta yang bersangkutan akan ditarik ke kantor
Klasis atau Sinode. Responden pertama memberi contoh tindak displin gereja mengakibatkan ada
pendeta yang ditarik ke kantor Klasis atau Sinode. Kasusnya adalah sebagai berikut:
Di sebuah jemaat yang ada dalam penelitian ini, menurut penilaian sebagian majelis jemaat dan
anggota jemaat bahwa ada pendeta dengan karakter kepemimpinan otoriter. Selain kepemimpinanya yang
otoriter, pendeta tersebut menggunakan media mimbar bukan untuk berkhotbah tetapi untuk membentak
jemaat bahkan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya. Kondisi seperti itu kemudian dilaporkan
61 oleh anggota jemaat kepada Sinode dalam hal ini
sekum sehingga
Sinode memutasikan
yang bersangkutan ke jemaat lain. Tindakan memutasikan
yang bersangkutan ke jemaat yang lain, dirasa perlu oleh Sinode supaya pendetanya bisa merubah
kepemimpinanya yang otoriter. Namun hal itu tidak berjalan sesuai dengan eksptasi dari Sinode, malah
dijemaat yang baru kesalahannya terulang kembali. Dengan berbagai keluhan dari anggota jemaat yang
langsung dilaporkan ke Sinode, maka keputusan Sinode pendeta tersebut ditarik ke kantor Klasis.
Mutasi karena tindak disiplin gereja atau istilah dalam manajemen sumber daya manusia yaitu mutasi
tidak ilmiah. Dimana mutasi ini berbeda dengan mutasi rutin karena tidak memiliki jenjang waktu dan tidak
melalui penilaian kinerja. Mutasi ini dapat terjadi karena anggota yang bermasalah dengan pimpinan
atau teman sekerja, produktivitas dan motivasi kerja menurun. Dengan berpatokan pada kasus yang terjadi
diatas, maka sebaiknya pendeta yang bermasalah sebelum dimutasika ke kantor Klasis atau Sinode,
pihak Badan Pekerja Harian Sinode melakukan pendampingan
atau pembinaan
terhadap bersangkutan. Tujuan melakukan pembinaan ini
supaya pendeta tersebut tidak melakukan kesalahan
62
yang sama walaupun ditempatkan di kantor bukan di jemaat. Selain itu gereja adalah organisasi yang
berbeda dengan
organisasi profit
atau instansi
pemerintah lainnya, dimana cinta kasih Kristus merupakan dasar dari organisasi ini.
Selanjutnya pelaksanaan mutasi karena ikut suami atau istri, dimana ada satu kasus terkait dengan
mutasi ini sesuai hasil wawancara dengan mantan pekerja di kantor Klasis. Menurut Bapak M pernah ada
kasus pendeta dari Pulau Ambon hendak dimutasikan ke jemaat di Seram Utara sedangkan pendeta tersebut
baru saja menikah dan suaminya seorang pegawai di PDAM Ambon. Ditakutkan memutasikan pendeta
tersebut dengan status sebagai pasangan rumah tangga yang masih muda akan menganggu keharmonisan
dalam rumah tangganya. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan dari Sinode ketika ingin memutasikan
seorang pendeta. Memang benar tugas pendeta adalah untuk melayani umat dimana saja, tetapi jangan
sampai melupakan tugasnya sebagai bagian dari
63
lingkungan sosial yang terkecil yaitu keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa motivasi melayani yang besar
seorang pendeta didukung oleh topangan dari keluarga. Dengan melihat penjabaran pelaksanaan mutasi
diatas, maka untuk mutasi rutin dan mutasi karena kepentingan pelayanan dalam pelaksanaannya sudah
sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam arti, bahwa sebelum memutasikan seorang pendeta Klasis terlebih
dahulu melakukan analisis laporan kinerja. Walaupun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari kendala baik itu
dari pendeta,
jemaat maupun
kendala teknis
geografis. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa tidak sedikit dari pelaksanaan mutasi dalam
lingkup GPM ini yang tidak berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Apalagi untuk kasus-kasus pendeta
yang memiliki tingkat pendidikan S2 akan langsung ditempatkan di kantor Klasis atau Sinode. Ada juga
pendeta yang selalu dimutasikan di jemaat airmata atau sebaliknya di jemaat mata air. Hal inilah yang
akhirnya menimbulkan pendapat negatif dari pendeta
64
atau jemaat bahwa mutasi ini terjadi karena sikap likedislike dari pimpinan.
4.3 Tanggapan pendeta dan umat