I HUNT MY HOPE IN AUSTRALIA

I HUNT MY HOPE IN AUSTRALIA

by I Gde Putu ‘Basangals’ Darma Suyasa

B ermula dari sebuah cerita lama 17 tahun silam. Saat itu masih duduk di kelas 3 SMA, hidup di kos-kosan sederhana di salah satu kota kecil di

Bali. Kos menjadi trend, karena jarak antara desa tempat tinggal saya dengan sekolah lumayan jauh mengingat angkutan umum sangat sulit.

Bukan kisah seru di kos-kosan yang mau saya ceritakan di sini. Akan tetapi, ada sebuah kisah unik yang tidak akan pernah saya lupakan.

Sore hari itu saya duduk di teras kamar. Tiba-tiba seorang bule paruh baya temannya bapak kos datang menghampiri. Kalau tidak salah dia dari Belanda.

Dengan bahasa Indonesia logat Belanda, dia bertanya kepada saya “Apa kamu mau diramal apa tidak?”. Tentu saya bilang “Saya mau”, juga dalam bahasa Indonesia.

Fikiran saya saat itu bukan karena ramalannya. Terlebih, karena saking senangnya bisa ngomong sama bule. “Kapan lagi bisa kaya gini?”, begitulah kata hati saya saat itu.

Dia mengeluarkan jarum jarit dari kantong bajunya, lengkap dengan benang beserta kertas pudar bergambar lingkaran bertuliskan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu isinya.

Si bule kemudian meletakkan kertas di atas lantai keramik dan memegang benang dengan jari tangan kanannya, sementara jarum dibiarkan mengayun dengan bebas. Ujungnya berputar-putar ke bawah, mengikuti lingkaran yang ada di kertas pudar tadi.

Tidak lebih dari semenit seingat saya, tiba-tiba dia berkata,: ”Putu, kamu suatu saat nanti, akan tinggal di luar negeri.” Begitu dia sampaikan ke saya dalam bahasa Indonesia, lagi-lagi dengan logat bule Belanda.

Saya hanya tersenyum simpul, tanpa berucap sepatah kata apa pun saat itu. Saya tidak percaya dengan ramalan, itu takhyul. Akan tetapi muncul dalam benak kecil, mungkinkah saya akan menjadi diplomat? Entahlah, kenapa kok diplomat yang terbersit dalam fikiran saya. Mungkin, karena saya dilahirkan di kampung kecil, tidak pernah menginjakkan kaki di kota besar.

TV pun jarang saya tonton saat itu. Bukan karena sibuk atau tidak suka nonton, tetapi karena saya tidak punya TV.

Entah pula kenapa dalam fikiran saat itu, hanya jika menjadi diplomat maka saya bisa tinggal di luar negeri.

*** Di kemudian hari, nyatanya, saya tidak menjadi diplomat. Saya menjadi seorang perawat. Ada cerita panjang di balik mengapa saya jadi perawat.

Singkat cerita, pada saat seminggu menjelang ujian lokal (disebut EBTA saat itu), Ayah memanggil. Saya duduk di atas kursi bambu di ruang tamu. Bapak bilang,: “Putu, setelah tamat SMA, saya akan kirim Putu ke Surabaya. Cari kerja jadi buruh pabrik di sana. Bapak tidak bisa menyekolahkan lagi.”

Kebetulan banyak kerabat saya dari pihak Ibu, bekerja di Surabaya menjadi buruh pabrik. Saat itu saya hanya bilang,: “Iya!” Tanpa ada ekspresi dan kata lanjutan.

Jauh dalam hati kecil, saya menangis. Dari kecil yang saya tahu hanya belajar, mengerjakan PR, matematika, mata ajar fav orit. Tapi apa bisa dikata. “Ya sudahlah, ke Surabaya saja cari kerja! ” Begitu bisikan hati ini.

Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak. Tiba-tiba beberapa hari kemudian, mendengar kabar tentang sebuah yayasan, yang saat itu menyelenggarakan pendidikan D3 keperawatan di Denpasar. Lembaga tersebut mencari seorang tamatan SMA yang mau meneruskan sekolah S1 keperawatan ke Universitas Indonesia (UI).

Kenapa UI? Karena saat itu satu-satunya program S1 keperawatan di Indonesia, ya di UI. Dengan modal seadanya, dibantu dengan uang dari paman yang saat itu bekerja di Jakarta, saya bisa ikut Sipenmaru (sebutan untuk ujian masuk perguruan tinggi saat itu).

Syukurlah, diterima!

Dengan berbekal pengumuman Sipenmaru di Bali Post, menenteng halaman koran yang berisikan nama saya, ke yayasan tadi. Dalam waktu hanya sehari, dinyatakan diterima dan disetujui untuk mendapatkan biaya pendidikan penuh beserta uang saku bulanan.

Bukan main senangnya hati orang tua. Jika bisa saya bandingkan, wajah orangtua sumringah, sangat cerah, seperti ketemu teman lama di facebook. Wajah saya sendiri seperti sedang dikirimi invitation untuk menjadi friend di facebook dari seorang yang fotonya tidak bisa saya kenali. Penuh dengan teka-teki!

Di satu sisi, senang karena bisa lanjut sekolah. Di sisi lain bingung. “Perawat? Jadi dosen perawat? Bagaimana ya?” Tanya sisi kebingungan saat itu.

*** Sebagai bagian dari perjanjian dengan yayasan tersebut, setalah 4 tahun kuliah, saya diwajibkan kembali ke Bali, menjadi staf pengajar di sekolah perawat yang dikelola yayasan itu.

Sebagai dosen muda, saya merasa ilmu dan pengalaman klinis sangat terbatas. Saya lantas mengajukan proposal untuk magang di salah satu rumah sakit terbesar di Bali. Saya lakoni magang full time sekaligus mengajar part time.

Saya diajak seorang rekan perawat untuk bergabung dengan tim perawatan luka. Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya juga lakoni bekerja part time, di klinik swasta.

Masih segar teringat, dari jam 7 pagi sampai jam 2 sore saya magang di rumah sakit atau mengajar di sekolah. Kemudian lanjut lagi jam 3 sampai jam 5 sore, dengan sepeda motor kesayangan saat itu, mengunjungi pasien, lakukan perawatan luka.

Langsung dari jam 5 sampai jam 9 malam, kerja di klinik.

Dengan hasil kerja yang susah payah saya lakoni, namun sungguh menyenangkan! Begitulah ……..! Akhirnya bisa menyekolahkan adik sampai tamat S1. Saat ini, dia sudah bekerja sebagai guru,

PNS di salah satu SMP di Bali. Dengan uang yang saya peroleh dengan bekerja keras tadi, juga bisa membongkar rumah lama dan mengganti dengan rumah lain yang sederhana juga, meski baru, untuk orang tua saya di kampung.

Kursi bambu yang pernah saya duduki dulu, ketika Bapak ‘memvonis’, tidak bisa lanjut sekolah, saya ganti dengan sofa sederhana.

Menjalani semua aktivitas tersebut, terkadang ingat ramalan si jarum peramal. Kapan saya bisa tinggal di luar negeri? Apakah jika tidak bisa jadi diplomat, lantas tidak ke luar negeri?

Kalimat Tanya itu masih terus dan senantiasa tertanam dalam hati saya! Lanjut cerita……. Suatu sore sekitar pukul 16.30, saat sudah lengkap berpakaian dinas untuk kerja di klinik,

tiba-tiba telepon di asrama, berdering. Seorang sahabat yang sangat dekat dengan saya menelepon dari Jepang. Beliau sedang mengambil S2 keperawatan, dengan beasiswa dari Pemerintah Jepang.

Beliau bertanya “Putu, mau sekolah ke Jepang nggak?” Dengan jawaban yang sangat jelas, saya jawab,: “Iya Mas, tentu mau.” Mas adalah panggilan akrab saya ke beliau.

Mulai detik itu, mulailah cerita babak baru dari seorang dosen perawat muda yang baru selesai magang di rumah sakit, yang bekerja sambilan merawat luka dan juga di klinik, berubah menjadi sebuah cerita seorang perawat, pemburu beasiswa.

Sesuai dengan saran dari sahabat yang sedang sekolah di Jepang, saya lamar beasiswa ke Jepang, tidak hanya sekali, tapi dua kali. Dua-duanya gagal! Saya juga melamar beasiswa ke Francis, gagal lagi! Saya tidak menyerah!

Kali ini lanjut lagi ke Australia melamar Australian Development Scholarship atau yang lebih terkenal dengan ADS.

Sekali melamar, oh….my God…..diterima!!! Sampailah pada suatu momen di mana John Howard yang saat itu menjabat sebagai

perdana menteri Australia, datang ke Bali untuk memperingati satu tahun pasca bom bali sekaligus menyerahkan beasiswa ADS ke saya, beserta lima orang tenaga kesehatan lainnya yang berkerja di Bali.

Profesor Azrul Azwar mantan dekan saya sewaktu kuliah di UI juga hadir saat itu, menambah rasa syukur dalam lubuk hati ini.

Ramalan si jarum peramal terbukti benar-benar menyuntikan semangat. Membuat saya makin yakin untuk merealisasikan, bahwa saya bisa ke luar negeri!

Saya tinggal di luar negeri, meski hanya sementara.

Januari 2005, pertama kali saya injakkan kaki di negeri orang, berharap dan berjuang untuk bisa belajar dan mendapatkan ilmu di negeri tersebut, untuk dibawa dan diterapkan di rumah.

Satu setengah tahun berjalan, saya dinyatakan lulus dengan gelar Master of Nursing. Namun belum berakhir sampai disitu ceritanya!

Setelah bergelar Master Keperawatan, saya merasa lebih bodoh dari waktu hanya bergelar sarjana. “Kok banyak yang saya tidak tahu. Saya ingin belajar lagi!” Begitu lagi kata hati saya.

Jiwa pemburu beasiswa, bergejolak kembali!

Sebenarnya masih tidak percaya dengan ramalan, tidak percaya pula dengan yang namanya dengan nasib! Yang saya percaya adalah kesempatan dan peluang memanfaatkan kesempatan tersebut!

Hanya saja, di balik semua itu, ‘ramalan’ si jarum peramal semakin menjadi ‘kenyataan’. Meski saya sadar, apalah arti sebuah ramalan tanpa kesungguhan dari pelakunya?

Begitulah……. Datang lagi peluang beasiswa ke luar negeri, kali ini dari Pemerintah Indonesia. Beasiswa luar

negeri Dikti namanya, yang memberikan peluang kepada dosen baik negeri maupun swasta untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Kembali berburu beasiswa, yang akhirnya saya dapatkan.

Kembalilah saya ke Australia melanjutkan pendidikan S3 keperawatan.

Pada saat tulisan ini dibuat, saya sedang rehat sejenak, setelah penat menulis halaman ke 273 disertasi S3. Mudah-mudahan ini menjadi halaman penutup disertasi, yang rencananya 3 bulan lagi harus disubmit.

Mohon doanya agar saya bisa melalui semua ini dengan baik dengan hasil yang optimal!

Ternyata berburu beasiswa tidak ada bedanya dengan berburu binatang!

Setelah didapat tidak bisa langsung dinikmati. Binatang harus dibersihkan, dimasak, dihidangkan, baru dimakan. Kalau beasiswa, harus sekolah, kerjakan tugas. Jika S3, harus lakukan penelitian, buat disertasi, presentasi dan ujian.

Tiga tahun sudah saya jalani status sebagai mahasiswa S3 di Australia. Satu setengah tahun sebelumnya saya ambil S2 di Australia. Hampir seluruh kota di Australia sudah saya jelajahi, semua karena saya jadi perawat.

Saya juga sudah pernah ke Thailand, karena jadi perawat. Pernah singga ke Malaysia, karena jadi perawat. Ke Cina pun, lantaran jadi perawat.

Entahlah… kemana lagi kan berpergian? Tentu itu semua karena saya jadi perawat!

Rekan- rekan semua……..

Ini adalah sekelumit kisah tentang perjalanan saya sebagai perawat.

Yang sekelumit ini bukanlah sebuah kisah sukses dalam arti saya bekerja di luar negeri, kemudian menghasilkan uang. Saya tidak bekerja di luar negeri!

Ini adalah kisah seorang perawat yang lahir di desa kecil di Bali, bisa tinggal di luar negeri dan bersekolah dengan beasiswa. Dari seorang yang tadinya hampir putus sekolah, sekarang bisa menjadi mahasiswa S3.

Jika si jarum peramal itu manusia, mungkin dia akan kirim di wall facebook saya “Hi Putu, apa kata saya dulu? Bener kan kamu tinggal di luar negeri?” Saya akan pasti akan jawab, “Benar, ternyata bukan hanya diplomat yang bisa ke luar negeri. Perawat pun bisa!

Saya sangat bersyukur bisa menjadi perawat”.

Adelaide-Australia, 8 Desember 2012

Email: [email protected] FB: www.facebook.com/putu.basangalas

*** ENJOY NURSING! ***