Permasalahan Anak

Susah diatur dan diajak kerja sama

Hal yang paling sering tampak adalah anak akan membangkang, akan semaunya sendiri, mulai mengatur tidak mau ini dan itu. pada fase ini anak sangat ingin memegang kontrol. Mulai ada “pemberontakan” dari dalam dirinya. Hal yang dapat kita lakukan adalah memahaminya dan kita sebaiknya menanggapinya dengan kondisi emosi yang tenang.

Kurang terbuka pada pada Orang Tua

Saat orang tua bertanya “Gimana sekolahnya?” anak menjawab “biasa saja”, menjawab dengan malas, namun anehnya pada temannya dia begitu terbuka. Aneh bukan? Ini adalah ciri ke 2, nah pada saat ini dapat dikatakan figure orang tua tergantikan dengan pihak lain (teman ataupun ketua gang, pacar, dll). Saat ini terjadi kita sebagai orangtua hendaknya mawas diri dan mulai menganti pendekatan kita.

Menanggapi negatif

Saat anak mulai sering berkomentar “Biarin aja dia memang jelek kok”, tanda harga diri anak yang terluka. Harga diri yang rendah, salah satu cara untuk naik ke tempat yang lebih tinggi adalah mencari pijakan, sama saat harga diri kita rendah maka cara paling mudah untuk menaikkan harga diri kita adalah dengan mencela orang lain. Dan anak pun sudah terlatih melakukan itu, berhati-hatilah terhadap hal ini. Harga diri adalah kunci sukses di masa depan anak.

Menarik diri

Saat anak terbiasa dan sering Menyendiri, asyik dengan dunianya sendiri, dia tidak ingin orang lain tahu tentang dirinya (menarik diri). Pada kondisi ini kita sebagai orangtua sebaiknya segera melakukan upaya pendekatan yang berbeda. Setiap manusia ingin dimengerti, bagaimana cara mengerti kondisi seorang anak? Pada kondisi ini biasanya anak merasa ingin diterima apa adanya, dimengerti – semengertinya dan sedalam-dalamnya.

Menolak kenyataan

Pernah mendengar quote seperti “Aku ini bukan orang pintar, aku ini bodoh”, “Aku ngga bisa, aku ini tolol”. Dan biasanya kasus ini (menolak kenyataan) berasal dari proses disiplin yang salah. Contoh: “masak gitu aja nga bisa sih, kan mama da kasih contoh berulang-ulang”.

Menjadi pelawak

Suatu kejadian disekolah ketika teman-temannya tertawa karena ulahnya dan anak tersebut merasa senang. Jika ini sesekali mungkin tidak masalah, tetapi jika berulang-ulang dia tidak mau kembali ke tempat duduk dan mencari-cari kesempatan untuk mencari pengakuan dan penerimaan dari teman-temannya maka kita sebagai orang tua harap waspada. Karena anak tersebut tidak mendapatkan rasa diterima dirumah.

Artikel diatas sebenarnya tidak memiliki fokus yang mengerucut terhadap satu permasalahan tertentu yang dimiliki anak usia dini. Fokus dalam artikel tersebut lebih kepada menempatkan orangtua/keluarga sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi perkembangan anak, baik secara positif maupun negatif. Permasalahan yang dihadapi anak, disisi lain, tidak dijelaskan secara rinci apa tepatnya, karena dalam bagian selanjutnya, yang dielaborasi lebih jauh juga ternyata adalah “ciri-ciri” anak yang bermasalah, seperti susah diatur, kurang terbuka kepada orangtua, menarik diri, dsb. Artinya, hal-hal tersebut merupakan gejala dari permasalahan yang sesungguhnya.

Dengan mengandalkan asumsi tersebut, maka yang perlu dianalisis adalah permasalahan yang sesungguhnya, dan kenapa permasalahan tersebut dipengaruhi oleh faktor orangtua. Kita dapat mulai menganalisis dengan pertama, menguraikan terlebih dahulu peran orangtua, atau esensi utama dari keberadaan orangtua bagi anak. Kedua, menguraikan ciri-ciri permasalahan anak yang disediakan dalam artikel diatas, kemudian men-generalisir ciri-ciri tersebut berdasarkan justifikasi yang sesuai.

Pertama, peran orangtua. Orangtua merupakan individu-individu pertama yang memiliki kontak dengan seorang anak saat lahir ke dunia. Merekalah yang paling dekat dengan anak, dan kehidupan anak selanjutnya akan sangat bergantung pada peran orangtua dalam memastikan semua kebutuhan anak tersebut untuk hidup.

Kebutuhan anak dapat dipandang dari berbagai macam segi, diantaranya fisik dan psikis. Dari segi fisik, orangtua harus bertanggungjawab dalam memastikan pertumbuhan tubuh anak berjalan dengan baik dan normal, dan jauh dari bahaya yang mengancamnya. Dari segi psikis, orangtua harus memastikan keadaan mental dan jiwa anak stabil dan terus menguat. Dengan begitu, wajar sekali jika dikatakan bahwa masa depan seorang manusia adalah tanggung jawab utama dan pertama seorang orangtua.

Kini, kita berbicara mengenai permasalahan anak. Secara umum, permasalahan yang terjadi terhadap anak lebih cenderung melibatkan hal-hal yang terkait psikologi ketimbang hal-hal yang bersifat fisik. Hal ini bukan karena frekuensi kemunculan permasalahan psikologis lebih tinggi daripada frekuensi kemunculan permasalahan fisik, namun lebih kepada fakta bahwa permasalahan psikologis cenderung lebih bertahan lama pengaruhnya, dan hal tersebut menunjukkan tingkat kesulitan dalam penanganannya. Maka wajar saja jika sekarang orang ditanya mengenai permasalahan anak, jawaban mereka akan langsung tertuju pada masalah anak yang berhubungan dengan sisi psikologis.

Kedua, uraian mengenai ciri-ciri anak bermasalah. Beberapa ciri-ciri atau gejala-gejala anak yang bermasalah yang diuraikan artikel diatas adalah anak susah diatur dan diajak kerja sama, kurang terbuka pada pada orangtua, negatif dalam menanggapi sesuatu, menarik diri, menolak kenyataan, dan cenderung menjadi pelawak.

Susah diatur dan diajak kerjasama, menurut artikel diatas, merupakan suatu bentuk pemberontakan dari dalam diri anak untuk melawan atau menolak keadaan diluar dirinya yang mengikatnya, salah satunya orangtua. Dalam hal ini, penulis yakin bahwa ciri anak bermasalah yang lain, yaitu anak kurang terbuka pada orangtua dan anak sering menarik diri dari lingkungannya, memiliki sifat yang serupa dengan ciri anak bermasalah yang pertama. Ternyata, ketiga kecenderungan anak tersebut (susah diatur, kurang terbuka, dan menarik diri) berawal dari satu sumber yang sama, yaitu “transisi”.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa manusia berkembang dengan melewati berbagai fase yang memiliki ciri khas dan implikasi tertentu. Dalam tiap fase, selalu ada transisi yang dialami individu dalam aspek sosial, fisiologi, psikologis, dll. Hal-hal inilah yang mempengaruhi pandangan anak terhadap berbagai hal, termasuk nila-nilai yang ada di sekitarnya. Mereka akan mulai melihat nilai sesuatu dengan berbeda dan menciptakan nilai baru yang disesuaikan dengan keinginan/hasrat mereka sendiri, hasrat yang sebelumnya tidak ada.

Fase transisi ini juga dapat dikatakan sebagai fase pembentukan kesadaran anak, karena anak akan mulai melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal dimana mereka menyadari fakta-fakta yang baru, yang boleh jadi bertentangan dengan apa yang dahulu mereka yakini. Kemudian, hal inilah yang menimbulkan bias antara apa yang harus diyakini oleh anak setelah kesadaran tersebut muncul, dan pada akhirnya, mereka akan memilih yang menurut mereka paling sesuai dengan keingingan mereka. Pada fase ini, anak belum memiliki pertimbangan tentang konsekuensi yang mungkin mereka dapatkan di masa depan.

Hal ini karena orientasi mereka saat itu adalah mengenai penemuan-penemuan baru, dan penemuan-penemuan baru ini mungkin akan lebih disikapi oleh anak dalam mengakomodasi kebutuhan pribadinya sendiri ketimbang melihatnya sebagai sesuatu yang harus dipertimbangkan matang-matang. Kemudian, ketika kesadaran mengenai penemuan-penemuan baru ini muncul, anak akan memiliki kecenderungan untuk menyimpannya dan meyakininya sendiri daripada mempercayakannya pada orangtua dengan memberitahu mereka, karena mereka ternyata menyadari bahwa orangtua merekalah yang justru menyembunyikan semua penemuan tersebut selama ini. Dengan begitu, anak menjadi tidak terbuka pada orangtua, cenderung menarik diri, dan kadang susah diatur atau diajak bekerjasama.

Sedangkan penemuan yang berhasil mereka temukan akan mereka gunakan untuk melakukan hal lain, misalnya mencari jati diri dengan mencari perhatian teman-teman sebayanya. Contohnya (seperti yang dimuat dalam artikel juga), ketika di kelas, sebagian dari para “penemu” ini akan menarik perhatian dengan bertingkah atau berulah sedemikian rupa sehingga mengundang tawa anak-anak yang lain, dan hal inilah yang mereka suka. Mungkin masih banyak lagi tingkah mereka yang menjadi cerminan dari ekspresi mereka terhadap penemuan baru mereka. Hal ini, untuk beberapa poin dapat dianggap wajar, namun pada beberapa poin yang lain, hal ini bisa berujung serius, karena dapat memunculkan semacam kenakalan anak.

Dari uraian mengenai transisi individual diatas, kita menyadari bahwa ternyata sebagian masalah anak dapat diakibatkan karena transisi atau perubahan terhadap berbagai hal. Namun, kadang perubahan tidak selalu menjadi motor utama permasalahn anak. Kadang, hal yang tidak berubah dan selalu melekat dalam individual sejak kecil dapat menjadi pemicu masalah-masalah mereka itu sendiri. Contohnya, ketika anak cenderung merendahkan orang lain demi mengangkat dirinya sendiri, atau ketika anak menolak kenyataan atau kemampuan dirinya sendiri.

Seperti yang dijelaskan dalam artikel, ketika seorang anak memiliki krisis harga diri yang rendah, salah satu cara untuk naik ke tempat yang lebih tinggi adalah dengan mencari objek lain yang lebih rendah, atau “seolah-olah” rendah. Hal ini seringkali dilakukan oleh orangtua itu sendiri, dimana mereka berusaha memuji anak mereka dengan berlebihan dan membandingkannya dengan anak lain yang dibuat seolah-olah tidak lebih baik darinya. Kegiatan seperti ini akan menanamkan dogma pada anak bahwa dia harus selalu pantas menjadi yang lebih baik dalam hal apapun.

Disisi lain, ada fenomena yang terjadi sebaliknya, yaitu ketika anak menolak untuk percaya bahwa dirinya dapat menjadi lebih baik. Hal ini pun diakibatkan oleh metode yang mungkin dilakukan orangtuanya yang selalu mendidiknya dengan sistem kedisiplinan yang kruang tepat. Kadang, orangtua malah menjelek-jelekkan anak mereka sendiri, menunjukkan semua kelemahan anak mereka, sehingga menekan anak pada titik tertentu dimana dia “menyerah” dengan semuanya.

Kesimpulannya, berbagai macam faktor yang dianggap sumber masalah yang terlibat dalam ciri-ciri anak bermasalah dapat dipersempit menjadi dua faktor utama, pertama yaitu transisi atau sesuatu yang berubah dari individu, dan kedua sesuatu yang stagnan atau menetap dalam diri individu. Transisi akan memperkenalkan individu pada berbagai macam hal baru yang membiaskan standar dalam dirinya akan sesuatu yang baik dan yang tidak, yang pada akhirnya mereka simpan dan coba sendiri. Dalam proses percobaan itu, mereka akan cederung menarik diri dari orangtua mereka, membuat barrier antara dirinya dengan orangtua dalam bentuk ketertutupan dirinya dalam menyampaikan sesuatu, dan mencoba bertingkah dengan gaya baru dalam usahanya mendapat tempat di dunia yang baru dan asing bagi mereka.

Di sisi lain, stagnansi akan cenderung membentuk individu kaku, dimana permasalahan utamanya adalah, apa yang dia yakini dan pahami mengenai dirinya sendiri adalah apa yang mereka lihat pada dirinya saat itu, bukan pada apa yang mereka lihat pada dirinya di masa depan. Hal ini tidak mendukung dirinya dalam menjadi individu yang berkembang menuju titik yang lebih baik.

Sarannya adalah, usahakan agar orangtua benar-benar memberi pemahaman pada anak mereka tentang dirinya sendiri dan dunia sekiatarnya dengan mengiris sedemikian rupa bias antara kenyataan yang sesungguhnya dengan apa yang menjadi keyakinan atau nilai yang akan dianut oleh anak, sehingga transisi pandangan mengenai nilai-nilai sesuatu yang ada di dunia ini tidak akan terlalu mengejutkan. Anak akan tetap mengalami transisi dalam menyadari fakta-fakta baru terkait keyakinan yang sebelumnya (ketika di lingkungan keluarga) dia pegang, namun transisi tersebut tidak akan terlalu besar, dan anak masih akan cenderung mempercayai keyakinan lamanya, karena keyakinan lamanya sudah cukup memberinya paradigma yang memuaskan mengenai fakta-fakta baru di dunia sekitarnya. Minimalisir pertanyaan yang tidak terjawab oleh anak mengenai keadaan dunia yang sebenarnya, namun usahakan dikemas dengan pengertian yang memuaskan rasa dahaga mereka serta tidak kaku, sehingga masih membuka lahan yang luas bagi mereka untuk berkembang sesuai dengan nilai kebenaran yang telah mereka yakini dengan kuat sebelumnya.