Bimbingan dan Konseling Tugas Kuliah

1. Bimbingan dan konseling dalam Pendidikan

a. Posisi Bimbingan dalam Proses Pendidikan

Posisi bimbingan (dan konseling) dalam pendidikan diatur atau setidaknya disinggung dalam beberapa peraturan negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah salah satu contohnya. Pasal 1 butir 6 dalam UU tersebut menyatakan bahwa konselor adalah pendidik. Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik. Berikutnya, dalam pasal 4 ayat 4, dinyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Terakhir, dalam Pasal 12 Ayat 1b, masih dalam UU yang sama, dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

Informasi yang dimuat dalam UU diatas sangat berkaitan erat dengan bimbingan dan konseling. Pasal 1 butir 6 dalam UU tersebut memberikan penegasan mengenai peran pendidik, dimana pendidik juga berfungsi sebagai konselor. Istilah konselor inilah yang banyak digunakan dalam bidang layanan bimbingan dan konseling, dimana konselor merupakan pihak yang menjalankan fungsi bimbingan dan konseling (di sekolah). Pasal 3 menyinggung masalah pengembangan potensi peserta didik, yang erat kaitannya dengan fungsi dan prinsip bimbingan dan konseling itu sendiri. Pasal 4 ayat 4 berbicara mengenai penyelenggaraan pendidikan untuk membantu ketercapaian tujuan peserta didik yang berorientasi pada konsep diri, sedangkan konsep diri inilah yang menjadi fokus utama dalam layanan bimbingan dan konseling. Akhirnya, pasal 12 ayat 1b mengukuhkan esensi dari keberadaan layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan, dengan menyatakan bahwa layanan tersebut merupakan bagian dari hak peserta didik.

Tidak hanya UU No. 20 tahun 2003 saja yang berbicara mengenai bimbingan dan konseling dalam pendidikan. Situs web yang penulis temukan, http://boharudin.blogspot.com/2011/05/keberadaan-bimbingan-dan konseling.html, memuat peraturan-peratuan lain yang menggarisbahwahi posisi bimbingan dan konseling dalam pendidikan ini, diantaranya:

  • Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 5 s.d Pasal 18 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan

  • Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 yang menghendaki ketercapaian SKL oleh peserta didik melalui pengembangan kompetensi peserta didik melalui pelayanan bimbingan dan konseling untuk mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity development). Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian.

  • Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004, yang memberi arah pengembangan profesi konseling di sekolah dan di luar sekolah.

Dari berbagai peraturan diatas, terdapat istilah pengembangan diri, yang menjadi esensi utama keberadaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan. Perlu diketahui bahwa pengembangan diri melalui layanan bimbingan dan konseling ini bukan merupakan suatu bentuk mata pelajaran/mata kuliah. Pengembangan diri yang dimaksud adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mencapai kompetensi-kompetensi yang diharapkannya, yang dimuat dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam melaksanakan proses ini, individu butuh fasilitas dan ruang yang cukup luas yang memberinya kesempatan untuk berkembang. Dalam hal inilah layanan bimbingan dan konseling muncul sebagai pembuka penyedia kesempatan tersebut. Salah satu bentuknya adalah dengan pengadaan ekstrakurikuler.

Masih mengutip dari sumber web yang sama, penulis menemukan beberapa poin penting dalam mengarisbawahi esensi bimbingan dan konseling dalam pendidikan itu sendiri. Poin-poin inilah yang menjadi prinsip dalam membangun dan mengamankan posisi bimbingan dan konseling dalam pendidikan. Poin-poin tersebut adalah:

  • Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.

  • Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.

  • Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor.

Dinyatakan dalam situs tersebut, bahwa “Telaah di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebagian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan”.

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas adalah bahwa kedudukan bimbingan di dalam pendidikan selalu dikaitkan dengan pengembangan peserta didik yang mencakup masalah pribadi, sosial, belajar, karir, serta minat dan bakat. Namun, bimbingan berbeda dari mata pelajaran, karena didalamnya tidak terdapat prosedur mengajar seperti di dalam kelas. Walaupun begitu, fungsi bimbingan memang berkaitan erat dengan masalah pelajaran.

Selain itu, fungsi bimbingan bukan hanya dilaksanakan oleh guru BK atau pihak tertentu saja, melainkan oleh berbagai pihak yang relevan. Dengan begitu, bimbingan lebih berupa layanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara pendidikan kepada peserta didik dalam upaya mengembangkan dirinya.

b. Bimbingan, Pengajaran, dan Latihan

Istilah pengajaran, latihan, dan bimbingan memiliki beberapa kriteria yang serupa namun dengan pelaksanaan yang berbeda. Perbedaan antara ketiganya dapat ditinjau dari fokusnya, sasaran perilakunya, serta output yang diharapkannya. Di bawah ini uraiannya.

1. Bimbingan

Definisi bimbingan banyak diajukkan oleh para ahli dengan berbagai pendekatan yang beragam. Namun demikian, inti dari setiap definisi adalah identik, dimana ada elemen yang selalu diulang dari satu definisi ke definisi yang lain. Definisi yang diajukkan oleh Miller (1961), Shertzer dan Stone (1971), Moegiadi (1970), Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, atau Djumhur dan Moh. Surya, (1975), memuat istilah-istilah yang menjadi komposisi utama dalam mendefinisikan arti bimbingan, yaitu: proses bantuan terhadap individu, pemahaman diri, pengarahan, penyesuaian, lingkungan (sekolah, keluarga, masyarakat), potensi diri, konsep pribadi, rencana, dan permasalahan.

Berkaitan dengan hal diatas, tidak ada salahnya untuk mengadopsi salah satu definisi bimbingan saja. Dalam hal ini, penulis memilih definisi yang dikemukakan oleh Djumhur dan Moh. Surya, (1975), yaitu “Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat”.

Berdasarkan definisi bimbingan diatas, fokus utama bimbingan adalah pemberian layanan bantuan kepada peserta didik/anak dalam pengembangan diri. Hasil akhir yang diharapkan berkaitan dengan keberhasilan peserta didik dalam membuat keputusan yang terbaik bagi dirinya. Sasaran perilakunya adalah sikap dan pribadi yang kuat, toleran, kritis, cepat tanggap, dan pengambilan keputusan yang matang dan bijaksana.

2. Pengajaran

Seperti halnya bimbingan, pengajaran pun memiliki pengertian yang beragam dari berbagai pihak, namun nampaknya pengajaran lebih sulit diartikan secara eksplisit. Hal ini karena ada bias antara definisi pengajaran dan pendidikan, dimana keduanya berkaitan dengan bimbingan dalam mengembangkan anak. Menurut pengertian yang dimuat dalam situs web: http://insanicita.blogspot.com/2012/02/pengertian-pengajaran-defenisi.html, pengajaran ternyata dapat diartikan sebagai bagian dari pendidikan, walaupun pengajaran dan pendidikan itu sendiri tidak boleh disama-artikan.

Situs web tersebut memuat pandangan mengenai pengajaran dan pendidikan dari salah satu guru besar IKIP Bandung, Ki Hajar Dewantara, dan Sikun Pribadi. Pandagan guru besar IKIP Bandung menyatakan bahwa pengajaran merupakan suatu kegiatan yang menyangkut pembinaan anak dari segi kognitif dan psikomotor semata-mata, dalam rangka memperkaya anak dengan pengetahuan, meningkatkan kecakapan berpikir kritis mereka (sistematis dan obyektif), serta terampil dalam mengerjakan sesuatu. Dengan ini, maka tujuan pengajaran lebih mudah/sempit daripada tujuan pendidikan.

Di sisi lain, K.H Dewantoro berpendapat bahwa pengajaran itu adalah sebagian dari pendidikan. Pengajaran tidak lain merupakan pendidikan dengan cara memberikan ilmu atau pengetahuan kecakapan. Hal ini serupa dengan pendapat yang disampaikan oleh Sikun Pribadi. Keduanya menganggap bahwa mendidik ialah melaksanakan berbagai usaha untuk menolong anak dalam mencapai kedewasaan, dan salah satu di usaha yang dimaksud adalah mengajar.

Jika dianalisis, ternyata pandangan salah satu guru besar IKIP Bandung lebih menekankan perbedaan antara pendidikan dan pengajaran, yaitu bahwa pengajaran lebih bersifat spesifik dan sempit. Hal ini sebenarnya sejalan dengan yang disebutkan oleh K.H. Dewantara dan Sikun Pribadi, yaitu bahwa pengajaran merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Pandangan kedua tokoh tersebut memuat asumsi bahwa jika sesuatu merupakan bagian dari sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut lebih kecil atau spesifik dibandingkan dengan sesuatu yang mencakupnya. Dengan ini, maka dapat disimpulkan bahwa pengajaran adalah bagian kecil dari pendidikan, dan hal ini menjadikan pandangan K.H. Dewantara dan Sikun Pribadi sejalan dengan pandangan guru besar IKIP Bandung tersebut.

Walaupun begitu, kadang penafsiran terhadap maksud K.H. Dewantara dan Sikun Pribadi mengenai arti pengajaran dan pendidikan dibuat umum dengan melebur kedua istilah tersebut dalam satu arti. Hal inilah yang memunculkan paradigma bahwa pendidikan itu sama dengan mengajar, padahal sebenarnya pendidikan itu sendiri memiliki arti yang lebih luas, sedangkan pengajaran fokusnya lebih sempit, yaitu pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan peserta didik saja.

Dari penjelasan mengenai arti pengajaran diatas, ada beberapa poin yang dapat disimpulkan. Pertama, fokus utama pengajaran adalah peningkatan kognitif (pengetahuan) peserta didik. Kedua, hasil akhir yang diharapkan berupa siswa yang cerdas dan memiliki daya nalar yang tinggi. Mengenai sasaran perilaku, penulis tidak menemukan kesimpulan yang memuaskan atau mungkin relevan dengan sasaran perilaku yang diharapkan dari sebuah pengajaran. Untuk itu penulis berasumsi bahwa sasaran perilaku yang diharapkan dalam pengajaran adalah segala macam perilaku yang positif, karena perilaku yang positif akan mendukung efektivitas proses pengajaran.

3) Latihan/Pelatihan

Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendidikan jangka pendek yang bertujuan untuk mendorong individu dalam mencapai kompetensi tertentu yang dapat diaplikasikan segera setelah pelatihan tersebut diadakan (berbagai sumber). Berkaitan dengan pengertian tersebut, latihan sebetulnya lebih bersifat praktis, karena yang menjadi sasarannya adalah kompetensi yang aplikatif. Sebagai tambahan, latihan berorientasi pada kegiatan yang dilakukan secara repetitif dan dalam frekuensi yang tinggi.

Dikutip dari salah satu karya tulis ilmiah (nama penulis tidak tercantum) yang penulis temukan, pelatihan pada dasarnya adalah suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Dalam konteks pendidikan, subyek karyawan dan pekerja dapat diganti dengan peserta didik. Walaupun begitu, pelatihan seringkali lebih banyak digunakan dalam konteks pekerjaan.

Dengan mengacu pada pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fokus utama pelatihan adalah peningkatan keterampilan, dimana hasil akhir yang diharapkan adalah munculnya para kader yang berkualitas yang memiliki keterampilan dalam menyelesaikan masalah tertentu. Sasaran perilakunya adalah, peserta pelatihan memiliki respon yang reaktif dan efektif terhadap pekerjaan yang wajib dituntaskannya, disertai sifat cepat tanggap dan gesit dalam tiap proses pengerjaannya.

Rangkuman

Dari uraian yang telah disajikan diatas mengenai definisi bimbingan, pengajaran, dan pelatihan, kita mampu melihat beberapa perbedaan yang mendasar sebagai perbandingan antara istilah bimbingan, pengajaran, dan pelatihan. Di bawah ini rangkumannya.

Tinjauan

Bimbingan

Pengajaran

Pelatihan

Fokus

Pemberian layanan bantuan kepada peserta didik.

Peningkatan kognitif (pengetahuan) peserta didik.

Peningkatan keterampilan karyawan/peserta didik.

Hasil akhir

Peserta didik yang mampu membuat keputusan yang terbaik.

Peserta didik yang cerdas (berdaya nalar tinggi).

Peserta didik yang berkualitas dan terampil dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sasaran perilaku

  • Sikap dan pribadi yang kuat

  • Toleran

  • Kritis

  • Cepat tanggap

  • Bijaksana

Perilaku positif.

  • Respon yang reaktif

  • Efektif dan efisien

  • Cepat tanggap

  • Gesit

2. Eksistensi dan Esensi Layanan Bimbingan

  1. Fungsi, prinsip, dan contoh bimbingan

Konsep fungsi dan prinsip dapat memperjelas eksistensi sesuatu. Konsep kedua hal ini pun terdapat dalam subjek bimbingan. Dibawah ini disajikan fungsi dan prinsip bimbingan yang disadur dari beberapa sumber.

1. Fungsi bimbingan

  • Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Pemahaman yang dimaksud dapat berupa kesadaran terhadap peran konseli tersebut di dalam masyarakat atau keluarga.

Contoh penerapan fungsi pemahaman ini dapat dilihat di lingkungan keluarga, dimana orangtua mengajarkan anak-anak mereka sholat, bersalaman kepada anggota keluarga lain yang lebih tua, dsb. Pengajaran tersebut akan melahirkan sebuah sikap dan kebiasaan, dan berperan sebagai stimulus bagi anak dalam menyimpulkan sendiri nilai-nilai apa saja yang seharusnya dia anut dan amalkan. Contoh lain, anak-anak usia balita disekolahkan di taman kanak-kanak, dimana mereka diajari menggambar, menyanyi, dsb. Pengajaran tersebut berupaya untuk memperkenalkan anak-anak pada bidang-bidang yang mungkin menjadi minat dan bakat mereka di masa depan. Dengan begitu, anak-anak akan mampu menemukan potensi dirinya sendiri.

  • Fungsi Pencegahan (Preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.

Contohnya, masalah pertikaian antar sekolah (tawuran). Dalam upaya pencegahan masalah yang sama terjadi, pihak-pihak yang bertanggung jawab dan berhubungan langsung dengan siswa akan memberikan semacam pengenalan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat yang beragam (hegemonous). Pihak-pihak yang dimaksud adalah pihak di dalam sekolah (seperti guru, wali kelas, dan guru BK), orangtua, atau bahkan teman sebaya. Untuk pihak yang terkait di dalam sekolah, maka fungsi bimbingan ini dapat dioptimalisasi dengan mengadakan jam khusus BK. Di beberapa sekolah, jam khusus BK ini memang diadakan.

  • Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dpat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Fungsi ini biasanya muncul sebagai respon terhadap suatu masalah yang terjadi sebelumnya, dan bimbingan ini turut andil dalam perbaikan masalah tersebut.

Contoh sederhananya, bimbingan belajar. Ketka seorang siswa salah dalam mengerjakan tugasnya, maka guru mata pelajaran yang bersangkutan akan membimbing siswa dalam memperbaiki kesalahan dalam pekerjaannya. Kenapa contoh ini dapat dimasukkan ke fungs perbaikan, karena kesalahan yang terjadi dalam pekerjaan siswa dapat menjadi indikasi kekeliruan dalam berpikir.

Contoh lain yang lebih luas dan mungkin lebih “pas” untuk fungsi bimbingan yang satu ini adalah masalah patah hati seorang siswa yang menyebabkan siswa tersebut memutuskan tindakan yang keliru. Misalnya, karena patah hati, siswa yang bersangkutan jadi jarang makan, jarang tidur (mungkin jarang mandi juga), atau memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah atau minggat dari sekolah karena seseorang yang membuatnya patah hati ada di sekolah tersebut. jarang makan, jarang tidur, dsb tersebut merupakan gejala dari masalah yang sesungguhnya, dan mungkin juga merupakan suatu wujud keputusan yang keliru yang diambil oleh siswa tersebut.

Dalam hal ini, guru BK akan turun tangan dengan berbicara langsung dengan siswa bermasalah tersebut dan melakukan semacam tanya jawab/diskusi. Setelah berdiskusi, akhirnya guru BK akan memberikan motivasi baru terhadap siswa tersebut dan memberi keyakinan yang akan dipegang oleh siswa yang bersangkutan bahwa seseorang yang membuatnya patah hati itu bukan orang yang terbaik baginya, karena dia pantas mendapatkan seseorang yang lebih.

  • Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Berkaitan dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier.

Fungsi ini hampir serupa dengan fungsi sebelumnya, yaitu fungsi perbaikan, bahkan mungkin fungsi ini berdampingan langsung dengan fungsi perbaikan tersebut. Setelah seorang siswa mendapat perbaikan, belum tentu dirinya sembuh dari masalah yang dihadapinya. Perbaikan merupakan langkah awal dalam penyembuhan yang menjadi tindakan lebih lanjut.

Contohnya, mengambil contoh siswa yang patah hati diatas. Siswa yang patah hati ini sekarang telah mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang baru bahwa dia bisa “move on” tanpa orang yang sempat membuatnya sakit hati. Namun, dia masih dapat merasakan luka akibat kekecewaan yang dirasakannya. Untuk mengobati luka ini, siswa tersebut akan dibimbing oleh guru BK yang mengadakan semacam program “pengalihan”. Pengalihan yang dimaksud adalah pengalihan dari suasana sedih menuju suasana hangat dan penuh kegembiraan. Mungkin guru BK tersebut dapat menggunakan metode dan tehnik yang berbeda-beda dalam menghibur siswa yang terluka tersebut, seperti memberikan buku bacaan yang menyenangkan atau lain sebagainya.

  • Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya.

Fungsi ini dapat disandingkan juga dengan fungsi preventif atau pencegahan. Keduanya berusaha mempertahankan siswa dalam keadaan terbaik mereka.

Contohnya, ketika seorang siswa memiliki minat terhadap pelajaran bahasa, maka para pembimbing akan mengupayakan agar motivasi siswa tersebut tetap konsisten terhadap bahasa, dengan cara memperkenalkan siswa tersebut dengan akses menuju buku-buku pelajaran bahasa. Dengan begitu, fungsi ini pun dapat berkolaborasi dengna fungsi fasilitasi.

  • Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli.

Melihat pengertiannya, fungsi bimbingan semacam ini lebih cocok digunakan oleh para guru mata pelajaran, karena merekalah yang aktif dalam mengembangkan siswa di sekolah. Guru BK hanyalah sebagai sosok yang berupaya memperluas pandangan siswa terhadap kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Artinya, siswa sendirilah yag nantinya akan aktif memposiskan dirinya sendiri untuk dapat menerima kesempatan-kesempatan pengembangan dirinya tersebut.

Contohnya, guru mata pelajaran seni dalam setiap pelajarannya akan selalu membawa contoh model seni terapan yang hendak diajarkannya pada siswa. Selain itu, kadang dia juga membawa gitar sebagai alat musik yang akan dimainka bersama selama pelajaran berlangsung, jika pelajaran seninya berkaitan dengan seni musik.

Selain itu, ada juga beberapa fungsi bimbingan dan konseling yang lain, yaitu:

  • Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli. Fungsi ini menuntut adanya akses konseli terhadap aspek-aspek penting yang mendasari kehidupan konseli, terutama pendidikan, minat, dan bakat.

Contohnya, oragtua menyediakan alat-alat menggambar seperti kuas, cat air, dsb, untuk anak mereka yang kebetulan memiliki minat dalam bidang menggambar.

  • Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.

Fungsi penyesuaian ini pun memiliki peranan besar orangtua. Manusia dalam fase anak-anak cenderung mengenal dunia luar dengan mediasi sekolah dan kerabat jauh. Orangtua, dalam hal ini, menjembatani mereka pada masa-masa awal pengenalan mereka terhadap dunia luar, dimana proses adaptasi diperlukan.

Contohnya, saat anak berada di kelas 1-3 SD, orangtua biasanya akan mengantar mereka ke sekolah dan kadang menunggu mereka hingga pulang. Kehadiran orangtua akan memberi rasa aman terhadap anak-anak mereka yang menyadari kehadiran mereka, hingga anak-anak masih merasakan nuansa “rumah” di sekolah walaupun di saat bersamaan, anak-anak tersebut menerima asupan informasi megenai dunia yang lebih luas di sekolah. Dengan begitu, aak-anak tidak akan merasakan perubahan yang tiba-tiba dan mengejutkan terhadap dunia luar, karena nuansa rumah masih dibawa bahkan hingga ke sekolah.

  • Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadiian lainnya.

Fungsi ini bisa dilakukan oleh wali kelas yang secara langsung dapat mempengaruhi siswa. Selain itu, guru-guru mata pelajaran juga dapat memenuhi fungsi ini, karena merekalah yang paling tahu perkembangan siswa di dalam kelas, sehingga dapat mengenali karakter dan kebutuhan mereka lebih baik. guru BK, di sisi lain, di beberapa sekolah, kadang mensosialisasikan kepada siswa mengenai kesempatan karir atau jurusan yang terseida.

Contohnya, guru BK memiliki informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Guru BK akan memaparkan informasi ini terhadap siswa, biasanya siswa yang tengah berada di semester akhir di SMA/MAK/MAN, atau hendak meneruskan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

  • Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membatu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli.

Fungsi ini didukung oleh pengumpulan data siswa yang dilakukan rutin setiap tahun (atau mungkin setiap periode tertentu). Data tersebut mencakup permasalahan siswa, latar belakang, dan juga kemampuan siswa, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti.

Contohnya, data siswa diatas dijadikan acuan dalam pengelompokkan siswa ke dalam kelas-kelas berbeda. Misalnya, siswa yang telah melalui semester 1 dan 2 disebar kembali ke kelas-kelas lain saat mereka berada di semester 3, atau saat tahun ajaran baru dimulai, atau saat penjurusan program studi dilaksanakan, berdasarkan kriteria yang ditentukan pengambil kebijakan di sekolah. Mungkin kriteria yang dimaksud dapat berupa kemampuan dan minat siswa itu sendiri.

2. Prinsip bimbingan

Mengenai prinsip bimbingan, sebenarnya ada beberapa pandangan dengan perincian poin-poin yang berbeda. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk meninjau prinsip-prinsip bimbingan yang sejati hanya dari satu sumber. Untuk itu, penulis menyajikan 3 sumber perincian poin-poin prinsip bimbingan. Walaupun perincian dari tiap sumber berbeda, namun ketiga sumber tersebut memiliki kesamaan yang relevan, serta tidak memuat perbedaan yang signifikan. Perlu digarisbawahi bahwa prinsip bimbingan yang disajikkan akan mengikutsertakan pula konsep konseling, karena bimbingan dan konseling memiliki hubungan yang erat.

Sumber pertama merinci prinsip-prinsip bimbingan seperti dibawah ini.

  • Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Dalam prinsip ini, pendekatan yang digunakan lebih bersifat pencegahan dan pengembangan daripada penyembuhan, serta lebih mengutamakan teknik kelompok daripada perseorangan.

  • Bimbingan dan konseling sebagai proses individu. Prinsip ini menekankan bahwa fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.

  • Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam prinsip ini, bimbingan bertujuan untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.

  • Bimbingan dan konseling merupakan usaha bersama. Dalam hal ini, bimbingan bukan hanya tanggung jawab konselor, tetapi juga tanggung jawab guru-guru dan kepala sekolah/madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.

  • Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan dan konseling. Artinya, bimbingan memfasilitasi konseli agar dapat memecahkan masalahnya sehingga dapat mengambil keputusan atau menetapkan pilihan dengan tepat.

  • Bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai setting (adegan) kehidupan. Artinya, bimbingan tidak hanya berfokus pada satu aspek kehidupan saja, namun berbagai aspek, seperti aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Sumber kedua mengelompokkan prinsip bimbingan dan konseling kedalam prinsip umum dan prinsip khusus, seperti yang dimuat di: (alamat web). Prinsip umum lebih melihat bimbingan dalam konteks praktis atau prosedural, sedangkan prinsip khusus lebih melihat bimbingan dari sudut pandang dimensi-dimensi yang memuat keberadaan bimbingan itu sendiri.

a. Prinsip BK secara umum

  • Bimbingan berhubungan dengan sikap dan tingkah laku individu yang terbentuk dari kepribadian yang berbagai macam.

  • Pemberian bimbingan dilakukan dengan tepat dan sesuai pada individu yang bersangkutan.

  • Bimbingan berpusat pada indivudu yang dibimbing.

  • Masalah yang tak dapat diselesaikan di sekolah, diserahkan kepada yang berwenang.

  • Memuat identifikasi kebutuhan.

  • Bersifat fleksibel.

  • Bimbingan dipimpin oleh ahli dalam bimbingan dan bekerjasama dengan pembantunya serta mengunakan narasumber

  • Terdapat evaluasi rutin terhadap program bimbingan.

b. Prinsip-prinsip BK secara khusus

  • Prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan; (1) non diskriminasi, (2) individu dinamis dan unik (3) tahap & aspek perkembangan individu, (4) perbedaan individual.

  • Prinsip berkenaan dengan permasalahan individu; (1) kondisi mental individu terhadap lingkungan sosialnya, (2) kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya.

  • Prinsip berkenaan dengan program layanan; (1) bagian integral pendidikan, (2) fleksibel & adaptif (3) berkelanjutan (4) penilaian teratur & terarah.

  • Prinsip berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan; (1) pengembangan individu agar mandiri (2) keputusan sukarela, (3) ditangani oleh profesional & kompeten, (4) kerjasama antar pihak terkait, (5) pemanfaatan maksimal dari hasilpenilaian.

Prinsip-prinsip yang disajikan diatas nampaknya terangkum dalam perincian yang disajikan oleh Syamsu (1998). Syamsu mengajukkan lima prinsip bimbingan, yaitu:

  • Bimbingan, baik konsep maupun proses, merupakan bagian integral progam pendidikan di sekolah.

  • Program bimbingan akan berlangsung dengan efektif apabila ada upaya kerjasama antar personel sekolah, juga dibantu oleh personil luar sekolah.

  • Layanan bimbingan didasarkan kepada asumsi bahwa individu memiliki peluang yang lebih baik untuk berkembang melalui pemberian bantuan yang terencana

  • Bimbingan berasumsi bahwa individu, termasuk anak-anak, memiliki hak untuk menentukan sendiri pilihannya

  • Bimbingan ditujukkan kepada perkembangan pribadi setiap siswa.

b. Kecenderungan guru BK dalam melaksanakan fungsi bimbingan dan konseling

Secara ideal, guru BK memiliki peranan dan tanggung jawab yang paling besar diantara semua pelaksana pendidikan yang lain di lingkungan sekolah dalam menjalankan berbagai fungsi bimbingan. Namun, secara faktual, keadaan yang terjadi di lapangan bisa berbeda dan beragam. hal tersebut bisa dipengaruhi oleh berbaai faktor, seperti kesadaran para pihak di sekolah yang berbeda-beda, paradigma terhadap fungsi bimbingan yang berbeda-beda, mutu para pendidik, atau bahkan pengalaman pendidikan mereka.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis yang berkaitan dengan BK, penulis melihat sebuah kecenderungan guru BK di SMA penulis dalam menjadikan salah satu atau beberapa fungsi saja sebagai fokusnya. Guru BK di SMA penulis dahulu ada yang fungsinya mulai terlihat di salah satu tahun akademik tertentu. Guru BK pertama berfungi pada tahun akademik ke-2 tiap angkatan, dimana ada jam khusus yang kelasnya diserahkan kepada guru BK tersebut. Guru BK dalam kelas tersebut seringkali mengadakan permainan-permainan semacam ice breaking dsb. Hanya itu yang bisa penulis ingat dengan cukup jelas, karena untuk selanjutnya, tidak tampak aktivitas yang terlalu mencolok untuk.

Guru BK kedua mulai terlihat fungsinya saat para siswa tengah mendekati akhir-akhir masa sekolahnya. Sampai tahap ini, penulis pun tidak yakin bahwa para siswa telah menyadari fungsi guru BK itu sendiri. Guru BK yang kedua ini berperan aktif dalam mensosialisasikan berbagai informasi terkait perguruan tinggi dan universitas yang membuka penerimaan mahasiswa baru. Dalam upaya tersebut, guru BK turut aktif mendorong siswa untuk mendaftar ke perguruan tinggi tertentu, terutama perguruan tinggi yang “mudah” menerima calon mahasiswa baru. Guru BK juga aktif dalam urusan prosedural pendaftaran para siswa tersebut, dan mereka siap menerima kedatagan para siswa untuk konsultasi mengenai informasi perguruan tinggi yang paling “up-date”.

Dari dua guru BK diatas, penulis mencoba menganalisis dan membuat kesimpulan mengenai fungsi yang mereka jalankan. Guru BK pertama terlihat memenuhi fungsi yang lebih bersifat mendidik, mengarahkan, memberi pemahama, dan elemen-elemen lain seputar psikologi siswa. Sehingga, fungsi yang digunakan adalah antara lain fungsi pemahaman, fungsi pemeliharaan dan pengembangan, fungsi preventif, fungsi perbaikan, dan fungsi penyembuhan, walaupun dua fungsi yang disebutkan terakhir tidak terlalu tereksplorasi lebih jauh.

Guru BK kedua lebih memenuhi fungsi fasilitasi, fungsi fasilitasi dan penyaluran. Namun, di SMA penulis, fokus utama fasilitasnya adalah yang terkait dengan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi, sedangkan fungsi penyaluran itu sendiri masih kurang tereksplor. Hal ini terlihat dari aktivtas guru BK yang cenderung lebih giat dalam mensosialisasikan informasi tentang perguruan tinggi dan prosedur penerimaan mahasiswa barunya saja, ketimbang mensosialisasikan atau memberi pengarahan bagaimana siswa menggunakan informasi yang diberikan tersebut. Dalam hal ini, guru BK kurang berupaya dalam memberikan informasi berharga mengenai jurusan yang paling tepat untuk siswa tertentu, dan cenderung memberikan informasi tersebut tanpa melihat kompetensi, minat, dan bakat yang telah diraih mahasiswa.

Tentu, jika kita melihatnya dari sudut pandang efektivitas, maka kita harus mengakui bahwa sulit untuk mengakomodasi kebutuhan siswa secara spesifik, karena akan banyak sekali siswa yang harus dibimbing satu-persatu dalam menentukan pilihan mereka. Dengan asumsi seperti itu, maka tak heran bahwa yang harus banyak aktif (dalam bertanya seputar informasi) adalah siswa kepada BK, dengan asumsi bahwa para siswa telah memiliki orientasi mereka sendiri-sendiri dalam menentukan perguruan tinggi yang emreka inginkan. Namun, justru kasus yang banyak terjadi adalah, bayak siswa yang justru bingung menentukan pilihan karena terlalu banyak informasi mengenai perguruan tinggi, dan semua informasi tersebut hanya memberikan gambaran-gambaran positifnya saja mengenai perguruan tinggi tersebut.

Sebagai saran, fungsi fasilitasi dan penyaluran seharusnya bukan hanya aktif pada akhir masa sekolah saja (aktif dalam menentukan jurusan studi siswa menuju perguruan tinggi saja), melainkan harus terdistribusi pada setiap tahun akademik, dengan tujuan siswa diharapkan lebih mampu dan siap mengorientasikan dirinya terhadap jurusan tertentu yang diminatinya.

Fungsi bimbingan yang dijalankan guru BK yang berdasarkan pengalaman penulis di masa SMA tersebut memberikan gambaran bahwa ternyata fungsi bimbingan yang sejati masih belum teroptimalisasi dengan baik. Hal ini bukan saja berdampak pada munculnya paradigma yang keliru mengenai fungsi dan prinsip bimbingan itu sendiri, namun juga berdampak pada perkembangan peserta didik yang justru seharusnya menjadi fokus utama dalam tiap elemen pendidikan itu sendir, termasuk elemen bimbingan. Namun, perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi mengenai kecenderungan para guru BK di Indonesia dalam menjalanka fungsi bimbingan, karena satu sampel dari SMA penulis semata tidak akan cukup sebagai acuan dalam mengambil kesimpulan yang bersifat luas.

3. Bidang Garapan Bimbingan dan Konseling

a. Bidang Garapan Bimbingan Disesuaikan dengan Fase Anak Usia Sekolah

1. Bimbingan sosial pribadi

Bimbingan ini memuat layanan bimbingan yang memuat pengembangan karakter anak didik. Konsep-konsep pemahaman akan dirinya sendiri dan juga orang lain adalah yang menjadi fokus dari bimbingan ini. Ruang lingkupnya adalah:

  • Pemahaman diri.

  • Mengembangkan sikap positif

  • Membuat pilihan kegaiatan secara sehat

  • Menghargai orang lain

  • Mengembangkan rasa tanggungjawab

  • Mengembangkan keterampilan hubungan antar pribadi

  • Keterampilan menyelesaikan masalah

  • Membuat keputusan secara baik

Sesuai dengan fungsinya, bimbingan sosial pribadi ini akan mengarahkan peserta didik dalam usia anak dan remaja dalam memahami arti dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini akan membentuk karakternya sebagai manusia, dan memberikan pengarahan terhadap peran yang seharusnya dan sepantasnya dia laksanakan di dalam masyarakat.

Contohnnya, seorang remaja harus memiliki pandangan positif terhadap perbedaan yang ada di dunia di sekitarnya, termasuk teman-temannya, keluarganya, dan orang lain. Hal ini dapat menciptakan hubungan sosial yang positif yang dibutuhkan oleh remaja tersebut untuk dapat beradaptasi. Hal ini juga berdampak pada bagaimana remaja tersebut berpikir kritis, dan pikiran yang kritis akan mampu membantu remaja tersebut dalam menyelesaikan berbagai macam masalah dan tak mudah terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh yang belum tentu positif.

2. Bimbingan Pengembangan Pendidikan

Bimbingan ini memuat layanan yang berkaitan dengan pengembangan prestasi belajar dan peserta didik. Fokusnya lebih kepada bagaimana peserta didik melaksanakan kegiatan belajarnya dengan efektif dan efisien. Ruag lingkupnya adalah:

  • Belajar yang benar

  • Menetapkan tujuan dan rencana pendidikan

  • Mencapai prestasi belajar secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya Keterampilan untuk menghadapi ujian

Pendidikan, bagi manusia dalam usia anak dan remaja tentulah sangat penting peranannya. Hal ini, selain mengacu pada fakta bahwa manusia dalam usia anak-anak dan remaja memang cenderung sedang menyenyam pendidikan, juga mengacu pada kesadaran bahwa pendidikan adalah media yang sangat penting bagi peserta didik untuk menentukan peta kehidupannya ke depan.

Pendidikan, dalam arti sempit, bisa diartikan sekolah. Walaupun definisi ini berada dalam perspektif yang sempit, namun implikasinya dapat dirasakan secara nyata dan berpengaruh langsung pada peserta didik. Selain itu, sekolah dipandang sebagai media paling signifikan dan besar dalam mengadakan fungsi pendidikan. Sekolah, dengan begitu, menjadi tempat yang sangat penting untuk diperhatikan. Bimbingan dalam konteks sekolah kemudian mulai memegang peranan dalam mengarahkan peserta didik usia anak dan remaja mencapai keberhasilan belajar yang efektif.

3. Bimbingan pengembangan karier

Bimbingan ini meliputi pengarahan peserta didik terhadap tujuannya di masa depan. Fokusnya adalah bagaimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk menjalani pekerjaan atau karir yang dicita-citakannya di masa depan. Ruang lingkupnya adalah:

  • Mengenali macam-macam dan ciri-ciri berbagai jenis pekerjaan

  • Menentukan cita-cita dan merencanakan masa depan

  • Mengeksplorasi arah pekerjaan

  • Menyesuaikan keterampilan, kemampuan dan minat dengan jenis pekerjaan

Bimbingan pengembangan karir ini memiliki fungsi dalam menentukan orientasi masa depan peserta didik yang sedang menyenyam pendidikan di sekolah. Umumnya, bimbingan ini lebih mengena pada peserta didik usia remaja, dimana mereka telah memiliki gambaran mengenai orientasi mereka. Bimbingan ini dapat ditujukkan pada peserta didik usia anak, namun fokusnya lebih kepada bagaimana anak-anak mendefinisikan cita-citanya di masa depan, dan eksplorasi terhadap apa yang saat itu menjadi minat dan bakat mereka. Eksplorasi terhadap minat dan bakat ini akan menjadi dasar pijakan untuk menentukan tempat mereka yang sesungguhnya di masa depan. Dalam menjalankan fungsi bimbingan semacam ini, maka peran orangtua atau pengasuh pun diikutsertakan, karena mereka akan memiliki semacam fungsi pengawasan dan pengamatan dimana mereka akan mengawasi perkembangan anak-anak mereka.

Pengamatan ini akan membuat orangtua menyadari potensi anak-anak mereka dan kemudian mengarahkannya. Hal ini diperlukan, karena anak-anak tidak mungkin mengamati diri mereka sendiri secara sadar, bahkan kita bisa mengasumsikan bahwa mungkin mereka sendiri pun belum sadar potensi yang mereka miliki. Dalam hal ini, oragtua akan mendorong mereka untuk menemukan jati diri mereka sendiri.

  1. Peran Guru Bidang Studi dalam Bidang Garapan Tertentu Dilihat dari Sudut Pandang Psikologi dan Sosiologi

Dari tiga bidang garapan yang telah dijelaskan diatas, yang memiliki kecenderungan lebih besar sebagai bidang yang paling sering membutuhkan campur tangan guru bidang studi adalah bidang garapan pengembangan pendidikan. Hal ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, diantaranya sudut pandang psikologi dan sosiologi.

1. Dari sudut pandang psikologi

Sudut pandang psikologi disini sebenarnya lebih berperan dalam mengulas latar belakang kenapa guru bidang studi muncul ke permukaan dalam konteks pengembangan pendidikan ini. Bidang psikologi disini akan menguraikan gejolak jiwa yang terjadi dalam diri peserta didik yang mendorong para guru bidang studi untuk turun tangan. Gejolak jiwa yang dimaksud tentunya yang berhubungan dengan masalah belajar. Untuk itu, sub bab ini akan mengambil contoh masalah siswa dalam menghadapi ujian nasional, karena contoh ini dapat memberi gambaran yang parallel dengan uraian psikologi yang akan dijelaskan dan mencakup siswa, guru, dan pembelajaran yang menjadi elemen yang akan diselidiki.

Para siswa, ditengah kesibukan menghadapi ujian nasional, cenderung memiliki masalah-masalah yang terkait dengan belajar. Pertanyaan terbesar mereka adalah “bagaimana belajar secara efektif agar materi yang dipelajari bisa dipahami dengan jelas?”. Ketika pertanyaan ini tidak terjawab, maka mereka cenderung akan menghadapi kebingungan, kegelisahan, kekhawatiran, dan mungkin kegalauan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka tertekan di dalam batin dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap diri sendiri. Ketidakpercayaan inilah yang menjadi salah satu pendorong mereka melakukan kecurangan dalam ujian.

Hal diatas adalah kasus yang perlu diantisipasi, dan antisipasi ini sesuai dengan fungsi bimbingan sebagai upaya preventif. Dalam mengupayakan pencegahan masalah kegelisahan dan ketidakpercayaan peserta didik terhadap diri mereka sendiri dalam menghadapi ujian nasional, maka sederhananya, harus ada pihak yang mampu membekali siswa dengan kemampuan belajar yang efektif. Siapa lagi pihak (di lingkungan sekolah) yang mampu memenuhi hal tersebut jika bukan guru bidang studi? Karena itulah, peran guru bidang studi menjadi sangat penting dalam memberikan layanan bimbingan berupa bimbingan aktivitas belajar yang efektif.

Ketika siswa memiliki cukup “tips dan trik” dalam belajar yang efektif, maka kepercayaan diri mereka akan kembali, atau setidaknya mereka tidak terlalu gelisah dengan ujian nasional. Bimbingan yang dilakukan oleh guru mereka telah memberikan dampak psikologis yag positif terhadap mereka, dan kemungkinan munculnya masalah kecurangan dalam ujian nasional di masa mendatang dapat ditekan hingga titik yang seminimal mungkin.

Pencegahan terhadap masalah-masalah ini merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan, karena jika terlalu banyak masalah yang muncul, maka siswa tidak akan memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangkan dirinya, atau pencegahan masalah itu sendiri sebenarnya dapat dirtikan sebagai salah satu bentuk pengembangan siswa itu sendiri, dan perkembangan siswalah yang memang menjadi tujuan utama pendidikan.

2. Dari sudut pandang sosiologi

Pendekatan sosiologis disini juga mengambil contoh kasu ujian nasional sebagai media uraiannya. Pendekatan sosiologis akan menguraikan bagaimana kehidupan sosial mempengaruhi kegiatan belajar, kecenderungan dalam mencontek, serta akan meninjau sejauh mana hubungan yang dapat terjalin antara guru dan siswanya dalam upaya peningkatan kualitas belajar.

Ada beberapa macam interaksi yang terjalin antar teman sebaya yang mempengaruhi sistem pengambilan keputusan seorang individu. Ketika interaksi tersebut terjalin dalam ruang lingkup yang sehat, misalnya tiap individu memberikan dukungan terhadap individu yang lain (salah satunya dalam belajar), maka ada kemungkinan yang besar bahwa kegiatan belajar siswa yang bersangkutan tidak akan menemui kendala berarti. Bahkan, jika para siswa yang berteman akrab satu sama lain memutuskan untuk belajar bersama dalam sebuah kelompok, maka efektivitas kegiatan belajar dapat tercapai dengan mudah. Sebaliknya, interaksi yang misalnya lebih bersifat hedonis, akan cenderung mendorong seorang individu untuk malas mengerjakan kegiatan yang lain selain kegiatan untuk memuaskan dirinya sendiri. Ketika individu tersebut dihadapkan pada fakta bahwa dia harus belajar, maka dia akan cenderung terkejut dan tidak siap. Pada akhirnya, siswa semacam inilah yang sering mendapat masalah.

Uraian diatas hanya merupakan contoh dan pendekatan yang sederhana tentang bagaimana interaksi sosial dapat mempengaruhi kegiatan belajar. Walaupun begitu, kadang-kadang fenomena yang terjadi di lapanga lebih bervariatif dan membutuhkan kacamata seorang ahli yang lebih tebal. Bisa saja, solidaritas yang terjalin dengan baik sebelumnya malah menjadikan kelompok siswa tertentu bukannya memanfaatkan solidaritas tersebut untuk belajar secara efektif, namun untuk “mencontek” secara efektif.

Atau, mungkin ada bentuk interaksi lain yang tidak saja berwujud persahabatan, melainkan permusuhan. Misalnya, seorang siswa di-bully oleh anak seusianya, dan anak tersebut selalu menuntut sang siswa untuk mengerjakan seluruh PR-nya. Karena takut dengan ancaman anak itu, maka siswa ini secara tidak langsung dan tidak disadarinya, telah menciptakan suatu sistem belajar yang efektif dalam mengerjakan tugas. Dalam kasus ini, sang siswa mengembangkan tehnik yang efektif dalam mengisi PR sang anak yang mengancamnya. Namun, saat bertemu dengan ujian nasional, siswa ini justru tidak dapat mengisi lembar jawaban dengan baik, karena tehnik yang dia terapkan hanya berlaku pada PR biasa saja, dan bisa jadi karena sepanjang jam diadakannya ujian, anak yang mengancamnya masih tetap mengancamnya untuk memberikan jawaban lewat SMS. Hal ini akan mengganggu proses sang siswa, dan pada akhirnya, sang siswa menyadari bahwa tehnik belajarnya salah.

Interaksi yang beragam diatas dapat selalu memiliki kemungkinan-kemungkinan terbaik dan terburuk, dan yang terburuknya selalu mengarahkan siswa kepada permasalahan dalam belajar (jika konteksnya adalah pembelajaran). Tidak peduli bagaimana interaksinya, masalah yang muncul sama, yaitu siswa tidak memahami bagaimana cara belajar yang efektif, yang akhirnya akan melahirkan kecenderungan mereka untuk mencontek pada waktu ujian nasional. Dalam hal ini, peran guru akan berfungsi dengan baik sebagai seorang fasilitator belajar, dan dalam prosesnya, guru pun dapat membantu siswanya dalam memecahkan masalahnya terkait dengan interaksi-interaksi sosial yang dijelaskan diatas. Masalah yang kemudian muncul adalah, sejauh manakah hubungan yang harus dan dapat terjalin antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut.

Mungkin tidak ada pengukuran yang pasti untuk mengukur tingkat keakraban hubungan antar manusia, walaupun sebenarnya dalam ilmu psikologi lingkungan, ada pembahasan mengenai jarak antara seorang individu dengan individu lainnya (saat berkomunikasi) yang menunjukkan tingkat keintiman mereka. Contoh, jarak yang kurang dari 0.25 meter merupakan jarak sangat intim antara 2 orang. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya intim atau tidaknya guru dan peserta didik, namun lebih kepada se-efektif apa komunikasi yang dibangun antara mereka. Hal ini muncul dari asumsi bahwa tidak selamanya jarak komunikasi yang dekat digunakan untuk berkomunikasi (yang efektif). Selain itu, kedekatan yang terlalu intim pun bukan hal yang bisa dikatakan baik antara guru dan siswa. Hal ini karena pembahasan mengenai jarak kedekatan ini cenderung muncul dalam studi yang berkaitan dengan aktivitas seksual.

Komunikasi yang efektif akan terjalin bila kedua belah pihak yang berkomunikasi telah membuka pikiran dan hati satu sama lain dan menempatkan pemikiran mereka tersebut dalam satu dimensi yang sama dimana keduanya siap menerima pemahaman yang beragam, kemudian mengambil kesimpulan yang tepat. Saat mengambil kesimpulan inilah, komunikasi dapat dikatakan “berdampak”, atau mampu menghasilkan perubahan. Jika kita melihat komunikasi dari konteks ini, maka komunikasi sangat berhubungan erat dengan istilah belajar, karena belajar sendiri adalah suatu proses menuju suatu perubahan. Dengan begitu, komunikasi dapat digunakan oleh seorang guru bidang studi dalam kegiatan mengajar-belajar.

Tentu saja, sebagai guru, komunikasi ini harus sesuai dengan kode etik dan kaidah yang berlaku, dan guru pun harus memperhatikan keberhasilan komunikasi yang dibangunnya dalam membangun pemahaman belajar yang lebih baik dalam pikiran peserta didiknya. Ketika komunikasi yang terjalin terlalu intim, maka yang ada adalah, guru mungkin menjadi orang yang dianggap peserta didik sebagai tempat yang menyenangkan, namun pemahaman mengenai konsep belajar yang efektifnya itu sendiri mungkin akan terlupakan. Begitupun jika komunikasinya terlalu formal, mungkin siswa akan merasa bosan dan itu berdampak pada responnnya dalam menerima penjelasan guru. Guru harus tetap akrab dengan siswa, namun dengan memperhatikan atributnya sebagai pengajar dan pendidik dalam ruang lingkup yang normal.

4. Permasalahan Individu dalam Fase Anak dan Remaja

Dalam tiap fase perkembangannya, manusia selalu memiliki masalah, dan masalah dari fase yang satu dengan fase yang lainnya akan berbeda-beda, sesuai dengan pencapaian individu manusia tersebut. Fase-fase perkembangan manusia tersebut dibagi atau dipisah-pisahkan dalam konteks/kategori usia, dimana jangka waktu tertentu mewakili satu fase tertentu pula. Pembagian ini mendasarkan dirinya pada pandangan bahwa anak dalam jangka usia tertentu memiliki ciri-ciri yang khas yang membedakannya dengan bila ia berada pada jangka usia yang lain. Dengan mengetahui fakta ini, maka kita akan lebih mudah menganalisis berbagai permasalahan individu, karena permasalahan yang dihadapi individu dalam fase yang berbeda akan memiliki pendekatan yang berbeda pula, dan fakta ini akan memberi kita batasan mengenai pendekatan mana yang lebih relevan untuk digunakan.

Dibawah ini adalah fase perkembangan manusia sampai usia remaja (berbagai sumber):

  • Masa kanak-kanak: 0-4

  • Masa anak-anak: 4-8

  • Masa muda: 8-12

  • Masa remaja: 12-25

Fokus permasalahan yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah permasalahan individu usia anak-anak dan usia remaja. Untuk masing-masing permasalahan, satu buah artikel akan disajikan terlebih dahulu sebagai sumber bahan analisis. Baru kemudian disertakan analisisnya.

a. Permasalahan Anak

Judul Artikel : Masalah Anak Usia Dini

Sumber : http://www.psychologymania.com/2012/06/masalah-anak-usia-dini.html

Penulis : Anonim

Tgl publikasi : -

Tgl diakses : 7 Mei 2013

Masalah : Kenakalan anak (beragam)

Masalah anak usia dini merupakan hal yang umum terjadi. Semua orang tua dalam interaksinya dengan anak, merasa ada permasalahan yang dianggap kurang sesuai pada tingkah laku anaknya. Penilaian permasalahan anak usia dini ini seperti kenakalan, susah diatur, susah belajar, susah konsentrasi dan lain-lain.