TINJAUAN PUSTAKA

4. Hukum dan Hak Asasi Manusia

a. Hak Asasi Manusia Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan

dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya (Miriam Budiardjo, 1996: 120).

Dalam berbagai versi sejarah munculnya Hak Asasi Manusia, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa HAM memang berasal dari barat. Pendapatnya tersebut serupa dengan pendapat Baehr yang menyatakan bahwa “tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama dirumuskan di Barat.” Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of The Rights of Man and of The Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika, 1791) (Muladi_edt, 2005: 217).

Pengakuan dunia Internasional atas Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam Universal Declaration of Human Right, deklarasi yang kemudian menjadi dasar didirikannya PBB. Universal Declaration of Human Right tersebut mengandung dua makna, makna ke dalam dan makna ke luar yang berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing- masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia tersebut harus senantiasa menjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya (Peter Baehr dkk, 2001: xx).

b. Hukum dan Hak Asasi Manusia Hukum (rechts, bahasa Jerman Kuno, menurut asal kata berarti prajurit

yang bermakna ‘lurus’) disebut juga aturan, norma, kaidah sebagai kata benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan (Masyur Effendi, 2005: 32). Hak asasi manusia dengan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujunnya melindungi hak asasi yang bermakna ‘lurus’) disebut juga aturan, norma, kaidah sebagai kata benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan (Masyur Effendi, 2005: 32). Hak asasi manusia dengan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujunnya melindungi hak asasi

Kaitan antara hukum dan hak asasi manusia sangatlah erat, seperti yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, “negara hukum (allgemeine staatslehre ) akan lahir, apabila sudah dekat identieit der Staatsordnung mit der rechtsordnung , semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, berarti semakin dekat kita dalam pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Oleh karenanya, negara hukum hanya dapat disebut sebagai negara hukum apabila dalam praktik kenegaraannya mengakui dan menghormati sendi-sendi hak asasi manusia.

Dalam pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jimly Ashidiqie membagi ketentuan Hak Asasi Manusia UUD 1945 ke dalam beberapa kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan;

3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;

4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;

5. Setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;

6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;

8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;

10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;

12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi:

1. setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai;

2. setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;

3. setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

4. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;

5. setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;

6. setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi;

7. setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;

8. setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;

9. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;

10. setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;

11. negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;

12. negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;

13. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

masing-masing

dan

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:

1. setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;

2. hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;

3. hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

4. setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;

5. setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;

6. setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

7. kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksud untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:

1. setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetpkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam msyarakat yang demokratis;

3. negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;

4. untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

2. Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih 2. Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, yaitu orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28D ayat (3) ).

Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2005. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal- Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal dan berisikan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Ratifikasi ini menjadikan kovenan tersebut mengikat secara hukum di Indonesia.

Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak pilih dalam pemilu yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Hak pilih sendiri terbagi atas hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Hak pilih aktif adalah hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia untuk memilih dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden maupun dalam

Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa yang memiliki hak memilih adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin serta terdaftar dalam daftar pemilih oleh penyelenggara Pemilu.

Hak pilih pasif merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada apabila memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota harus memenuhi persyaratan:

a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

h. sehat jasmani dan rohani; h. sehat jasmani dan rohani;

Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

b. Golongan Putih (Golput) Golongan Putih (golput) adalah fenomena dalam demokrasi. Golput

atau disebut juga ‘No Vote Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No Vote Decision ’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari atau disebut juga ‘No Vote Decision’ selalu ada pada setiap pesta demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No Vote Decision ’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari

Dengan kata lain, “golput” dapat digolongkan dalam beberapa bentuk dan cara, berupa: (a) merusak kartu suara, misalnya dengan sengaja mencoblos lebih dari satu gambar atau pilihan; (b) membiarkan kartu suara tidak dicoblos sehingga tidak terdefi nisi pilihannya, dan (c) tidak menggunakan haknya dengan cara absen dari tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan spiritnya, “golput” dapat dilakukan dengan: Pertama, cara tidak sengaja (kecelakaan semata) yang bisa terjadi karena alasan teknis administratif, misalnya lupa, tidak/belum terdaftar, atau karena kendala dan halangan darurat yang tidak dikehendaki; Kedua, ketidakpedulian politik (apatisme) yang biasanya terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan dirinya secara langsung; dan Ketiga, semangat kesengajaan yang biasanya dilandasi oleh prinsip perlawanan (pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu, tidak sesuai dengan partai kontestan, atau karena melihat adanya fakta- fakta manipulasi (Muntoha, 2009: 59).

Hal tersebut muncul dikarenakan sistem kepartaian yang tercipta saat itu bersigat hegemonik. Terciptanya sistem kepartaian yang hegemonik itu karena dukungan beberapa faktor sebagai berikut :

1. Dibentuknya aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas negara. Stabilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan pemerintah dan militer selama masa Orde Baru itu, maka dibentuklah berbagai lembaga untuk mendukungnya, seperti BKIN, Kopkamtib, dan Opsus;

2. Proses depolitisasi massa agar negara dapat memutuskan perhatian pada pembangunan ekonomi. Depolitisasi massa dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan ekonomi. Aktivitas mobilisasi massa dalam proses politik biasanya dilakukan oleh Parpol pada massa Orde Baru itu;

3. Emaskulasi dan restrukturisasi partai-partai politik yang dominan selain Golkar, terutama sebelum pemilu; dan

4. Dikeluarkannya hukum-hukum pemilu dan aturan pemerintahan sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung oleh pemerintah/militer (Golkar) selalu menang dalam pemilu, seperti dalam proses seleksi calon, kampanye, dan intervensi pemerintah dalam kehidupan parpol (Muntoha, 2009: 61).

Golput sesungguhnya merupakan fenomena politik ‘mata pedang demokrasi’. Dari perspektif pelakunya Golput bertujuan mendelegitimasi pemilu yang diselenggarakan pemerintah, sedangkan dari perspektif demokrasi justru memberikan legitimasi terhadap demokrasi yang berlangsung dimana itu membuktikan bahwa pemerintah telah memberikan ruang aspirasi bagi kepentingan kelompok ekstra parlementer. Pendeknya, golput adalah barometer kualitas demokrasi. Arief Budiman menyatakan bahwa golput bukan organisasi, tanpa pengurus dan hanya pertemuan solidaritas (Arbi Sanit, 1992: 178).

3. Hukum Islam 3. Hukum Islam

agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2005: 42). Berkaitan dengan hal- hal tersebut, maka sebelum melangkah lebih lanjut perlu adanya sedikit pembahasan mengenai beberapa istilah yang berhubungan dengan penggunaan istilah hukum Islam tersebut. Beberapa istilah tersebut yaitu:

1) Hukm dan Ahkam Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan, baik hubungan

manusia dengan Tuhan, manusia lain, dirinya sendiri, mupun dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm. Adapun ahkam adalah bentuk jamak dari hukm tersebut (Mohammad Daud Ali, 2005:43).

Hukm menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali adalah norma atau kaidah, yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Istilah ini memang hampir sama dengan hukum, sebab perkataan hukum yang dipergunakan di Indonesia berasal dari kata hukm tersebut. Dalam hukm inilah kemudian dikenal adanya hukum taklifi menurut Masyfuk Zuhdi, yaitu norma atau kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu perbuatan. Disebut juga sebagai al-ahkam al-khamsah menurut Sajuti Thalib, yaitu ja’iz atau mubah atau ibahah, sunnat, makruh, wajib, dan haram (Mohammad Daud Ali, 2005: 44).

Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian karena hukum takllifi menghendaki permintaan suatu pekerjaan. Jika tuntutannya itu terdiri atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah hukum

wajib, pengaruhnya adalah kewajiban, yang dituntut pelaksanaannya adalah wajib. Dan jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu ialah sunnat, pengaruhnya adalah kesunatan, yang dituntuk pelaksanaannya adalah yang disunnatkan (al- mandub ). Dan apabila menghendaki larangan suatu pekerjaan, maka jika tuntutan itu atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman, yang dituntut berupa larangan suatu pekerjaan itu adalah yang diharamkan (al-muharram). Dan jika tuntutannya itu tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah makruh, pengaruhnya adalah kemakruhan, yang dituntut berupa meninggalkan pekerjaan itu adalah makruh. Dan apabila menghendaki memerintah memilih kepada mukallaf di antara mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah. Pengaruhnya adalah kebolehan dan pekerjaan yang disuruh memilih di antara melaksanakan dan meninggalkan adalah mubah (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 162).

2) Syariat Syariat secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan

lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Mohammad Daud Ali, 2005: 46).

3) Fiqih Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan

norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkan dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkan dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk

b. Jenis Sumber Hukum Islam

1) Alquran Al-Quran adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan

olehNya dengan perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah dengan lafazh (kata-kata) Bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul SAW dalam penakuannya sebagai Rasulullah. Juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 22).

Sayyid Hussein Nasr menyatakan bahwa Alquran adalah intisari semua pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam Alquran hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja (Mohammad Daud Ali, 2005: 79). Di dalamnya terdapat ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makluk termasuk manusia serta benda di jagad raya, petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Selain itu, dalam Alquran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa karena berasal dari firman Tuhan (Mohammad Daul Ali, 2005: 81).

Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran adalah (Mohammad Daud Ali, 2005: 84): Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran adalah (Mohammad Daud Ali, 2005: 84):

b) hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk ‘menghiasi’ dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela;

c) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-huum yang bersangkutan dengan perkataan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerjasama antarsesama manusia. Terbagi atas:

1. hukum ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan salat, melakasanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji;

2. hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur hubugnan manusia dengan manusia, baik hubungan antarpribadi maupun hubungan antarorang perorangan dalam masyarakat.

2) As-Sunnah (Al Hadist) As-Sunnah atau Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua

setelah Alquran, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fo’liyah), dan sikap diam (sunnah taqriyah atau sunah sukutiyah ) Rasulullah yang sekarang tercatat dalam kitab-kitab hadist. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Alquran (Mohammad Daud Ali, 2005: 97).

Menurut istilah syara, As-sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, maupun pengakuan (taqrir). Sedangkan As-sunnah menurut Qauliah (ucapan) adalah hadist-hadist Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai Menurut istilah syara, As-sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, maupun pengakuan (taqrir). Sedangkan As-sunnah menurut Qauliah (ucapan) adalah hadist-hadist Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai

3) Akal Pikiran (al-Ra’yu atau ijtihad) Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang

memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang diterapkan pada kasus tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:112). Secara harfiah ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan. Seseorang yang memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra’yu atau dzu’l ra’y (Mohammad Daud Ali, 2005:115).

Menurut Othman Ishak sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya bersungguh- sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada serta dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi syarat yang ada untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran atau Sunah Rasul (Mohammad Daud Ali, 2005:116). Adapun metode dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut.

1. Ijma’ Ijma’ ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat

Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas

2. Qiyas Al Qiyas menurut bahasa ialah mengukur sesuatu dengan benda

lain yang dapat menyamainya. Dapat juga dikatakan Qiyas ialah menyamakan, karena mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan di antara dua benda tersebut. Sedangkan menurut Ulama Ushul, Qiyas ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian tersebut dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 76).

3. Istidal Menurut A. Siddik (A.Siddik, 1982: 225) sebagaimana dikutip

Mohammad Daud Ali, istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.

4. Al-masalih al-mursalah Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah

adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum (Mohammad Daud Ali, 2005:121).

Pendekatan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali untuk merealisir kemaslahatan umat manusia. Artinya mendatangkan Pendekatan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali untuk merealisir kemaslahatan umat manusia. Artinya mendatangkan

5. Istihsan Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,

sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 120).

6. Istishab Istishab menurut bahasa Arab adalah mengakui adanya

hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, Istishab yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 137).

7. ‘urf. ‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan

telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 134).

4. MUI dan Fatwa

1. MUI Majlis Ulama Indonesia adalah wadah atau majlis yang menghimpun

para ulama , zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majlis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah , bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di

Jakarta , sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari pelbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 07 Rajab 1395 H,

bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta. (http://id.wikipedia.org/wiki/MUI)

Musyawarah tersebut kemudian dinamakan Musyawarah Nasional Ulama I yang dihadiri oleh diantaranya dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari organisasi Islam tingkat pusat, yaitu NU , Muhammadiyah , Syarikat Islam , Perti , Al Washliyah , Math’laul Anwar , GUPPI , PTDI , DMI dan Al Ittihadiyyah , 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.

Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim , yang tertuang dalam sebuah ‘Piagam Berdirinya MUI’ yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang perduli

rohani umat (http://id.wikipedia.org/wiki/MUI/).

Dalam khittah pengabdian Majlis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah ).

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.

5. Sebagai penegak (amar ma'ruf nahi munkar) ( http://id.wikipedia.org /wiki/MUI) .

2. Fatwa Fatwa merupakan salah satu bentuk dari hasil ijtihad para ahli atau

ulama (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41). Dengan kata lain, fatwa merupakan penetapan suatu hukum setelah melalui proses ijtihad (Rohadi Abd. Fatah, 1991:123). Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna ”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah maka maksudnya adalah menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang- undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya ( http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/29/kedudukan- fatwa-dalam-syariat-islam/ ).

Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Al-fatwa secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminta fatwa disebut al-mustafti.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan fatwa bagi seorang mufti (pemberi fatwa) adalah (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 26) :

1. memiliki niat, bila belum memiliki niat maka tidak ada pada dirinya nur cahaya yang akan menranginya.

2. hendaknya memiliki ilmu pengetahan, kesantunan, keagungan, dan ketenangan hati.

3. hendaknya memiliki kekuatan untuk menguasai apa yang ada dalam dirinya dan menguasai ilmu pengetahuan.

4. memiliki kecukupan dalam hidupnya, kalau tidak maka ia akan dikuasai (ditunggangi) oleh manusia.

5. hendaknya ia mengetahui prinsip-prinsip hidup kemsyarakatan (hal ihwal manusia dikaitkan dengan alam sekitarnya/ environmental)

Fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas/ terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingn yakni kepentingan pribadi atau kepentingan rakyat banyak (Rohadi Abd. Fatah, 1991:7). Fatwa memberi jawaban hukum atas pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum yang tidak diketemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan kedudukan suatu persoalan dalam kaca mata ajaran hukum Islam. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar, melainkan seorang yang memberi Fatwa (Mufti) harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil yang menopangnya dan otoritas keilmuannya diakui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat datang kepadanya untuk meminta pertimbangan hukum. Dalam hal ini, dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan fatwa, dalam konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam sebuah Fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas/ terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingn yakni kepentingan pribadi atau kepentingan rakyat banyak (Rohadi Abd. Fatah, 1991:7). Fatwa memberi jawaban hukum atas pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah hukum yang tidak diketemukan dalam al-Quran maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan kedudukan suatu persoalan dalam kaca mata ajaran hukum Islam. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar, melainkan seorang yang memberi Fatwa (Mufti) harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil yang menopangnya dan otoritas keilmuannya diakui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat datang kepadanya untuk meminta pertimbangan hukum. Dalam hal ini, dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan fatwa, dalam konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam sebuah

( http://elkhalil.wordpress.com/ 2009/10/05/kedudukan-fatwa-mui ). Fatwa dihasilkan dari sumber- sumber yang terpercaya, yakni Hadist Rasulullah SAW, yang sangat besar pengaruhnya dalam masyarakat, dan fatwa tersebut sangat jauh dari nilai kehormatan. Fatwa dimaksudkan hanya untuk memberikan arah dan kejelasan terhadap masalah-masalah yang muncul dan timbul di kalangan masyarakat (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 17).

Tarjih

Muhammadiyah

Oleh karena itu, menurut Rohadi Abd fatah, fatwa mengandung beberapa unsur pokok. Beberapa unsur pokok tersebut meliputi fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syar’iyah yang sedang diperselisihkan (terjadi perbedaan pendapat), fatwa sebagai jalan keluar dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama/ para ahli, fatwa harus mempunyai konotasi kuat baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan, dan mengarahkan pada perdamaian umat. Sebab ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat (Rohadi Abd. Fatah, 1991:35).

B. Kerangka Pemikiran

Negara Republik Indonesia

UUD 1945

Negara Hukum

Kedudukan?

Pengakuan atas Hak

Majelis Ulama Asasi Manusia

Kebebasan

berserikat

Indonesia (MUI)

Hak Pilih Aktif

Bertentangan?

Dasar pertimbangan?

Digunakan

Tidak

Fatwa Golput

Nilai Hukum dalam Hak Asasi Manusia?

Bagan 1 Kerangka Pemikiran

Penjabaran:

Negara Republik Indonesia adalah negara Hukum. Hal tersebut ditegaskan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam negara hukum, baik dalam konsep Rule of Law maupun Rechstaat . Dua diantara penghargaan atas HAM adalah pengakuan atas kebebasan berserikat serta hak pilih. Kebebasan berserikat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, sedangkan hak pilih warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1).

Salah satu wujud dari kebebasan berserikat di Indonesia adalah adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Majelis Ulama Indonesia adalah LSM di Indonesia yang merupakan perkumpulan para ulama di Indonesia. Oleh karena mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim, maka MUI kemudian memiliki pengaruh yang cukup kuat di Indonesia serta menjadi sumber acuan atas hukum agama suatu hal. Salah satu fungsi dari MUI adalah memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat muslim dengan berdasar pada ijtihad. Jawaban tersebut disebut sebagai fatwa, oleh karenanya MUI juga disebut sebagai lembaga mufti atau lembaga pemberi fatwa. Sejak berdiri pada tanggal 26 Juli 1975, MUI telah mengeluarkan berbagai fatwa di berbagai bidang, termasuk sosial kemasyarakatan. Permasalahan muncul ketika MUI mengeluarkan fatwa haram mengenai golongan putih (golput).

Golput adalah suatu keputusan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilih aktifnya. Dengan kata lain, karena satu atau lain hal, seseorang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Tidak semua peristiwa golput adalah kesengajaan. Terkadang seseorang golput karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau sedang berhalangan sehingga tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Oleh karena itu, fatwa yang dikeluarkan MUI justru menimbulkan permasalahan sendiri. Sebab, fatwa tersebut telah memberikan justifikasi hukum secara Islam bahwa golput adalah haram. Golput yang akan diteliti Oleh karena itu, fatwa yang dikeluarkan MUI justru menimbulkan permasalahan sendiri. Sebab, fatwa tersebut telah memberikan justifikasi hukum secara Islam bahwa golput adalah haram. Golput yang akan diteliti