PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : Rizkyasri Suminar Putri NIM. E 0005276 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Disusun oleh :

RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM : E. 0005276

Disetujui untuk Dipertahankan

Pembimbing I Pembimbing II

SUNARNO DANUSASTRO, S.H., MH DR. HARI PURWADI, S.H., MH NIP. 130 516 359

NIP. 196 412 012

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Oleh RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM. E. 0005276

Telah diterima dan dipertahankan oleh di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada :

DEWAN PENGUJI

1. Suranto, S.H, M.H : ........................................... Ketua

2. Sunarno Danusastro, S.H., M.H : ........................................... Sekretaris

3. DR. Hari Purwadi, S.H., M.Hum : ........................................... Anggota

Mengetahui : Dekan,

Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154

MOTTO

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kau selalu menghargai kemanusiaan, baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan

hanya sebagai sarana, melainkan sekaligus sebagai tujuan. (Immanuel Kant)

Agama ini untuk Allah, namun tanah air ini adalah milik kita semua (pepatah Arab)

…maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan ¾ dunia!!! (R.A. Kartini via Pramoedya Ananta Toer)

Sukses sering datang kepada orang yang berani bertindak. Jarang kepada penakut yang tidak berani menerima konsekuensi.

(Jawaharlal Nehru)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku ini untuk ayahku dengan ketegasan dan sikap keras sebagai dukungan luar biasa untuk mempersiapkan putrinya menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab, Untuk ibuku yang senantiasa menyebut namaku di setiap doa dan sholat malamnya serta kasih tulus dan cintanya yang tidak pernah bersyarat, Untuk mbak Annie, yang masih bisaselalu tersenyum di setiap kondisi,

Untuk mbak Anna, atas lecutan semangat bahwa aku bisa, bahwa kita satu tak

terpisahkan atas nama keluarga.

PERNYATAAN

Nama : Rizkyasri Suminar Putri

NIM

: E0005276

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK

ASASI MANUSIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi ini).

Surakarta, Januari 2010 Yang membuat pernyataan

Rizkyasri Suminar Putri NIM. E0005276

ABSTRAK RIZKYASRI SUMINAR PUTRI, 2010. PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau no vote decision atau golongan putih (golput) termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan bagaimanakah nilai hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dengan melakukan penelitian terhadap UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan jaminan HAM atas golput dan nilai hukum fawa haram MUI tentang Golput. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu UUD 1945, UU UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right , UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah studi kepustakaan dan cybermedia. Dalam melakukan analisis bahan hukum digunakan logika deduksi dan interpretasi atau penafsiran teleologis atau sosiologis, serta interpretasi sistematis untuk menjawab kedua permasalahan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu, penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25. Kedua, Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat.

Kata kunci : golput, fatwa, haram, HAM

ABSTRACT

PUTRI, RIZKYASRI SUMINAR, 2010. THE USING OF THE UNDECIDED VOTERS RIGHT IN CORRELATION WITH MUI’S FATWA HARAM OF GOLPUT DECISION IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE.

This research aimed to determine whether the option of a person use not the vote in general election or ‘no vote decision’ or golongan putih (golput) included in Human Rights and how the legal value of the MUI’s fatwa on golput unlawful by doing research on UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election spending.

This research is a perscriptively normative legal research, finding Human Rights’s legal security of golput and legal value of MUI’s fatwa haram on golput, or fatwa ”undecided voters is forbidden” . The sources on legal materials that being used are of primary legal materials of UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election. Secondary law materials that should be applied as investigating material with the technique of collecting the law materials study documents or literary reviews both printed and electronic (internet) sources are used. The analysis of legal materials use deductive logic, the sociological or teleological interpretation and systematic interpretation to answer the both of research problems.

Based on research results and discussion, conclussion is being generated. The first one, the using of right to not vote or ‘no vote decision’ or golput is the political rights of person that is a basic freedoms and included in Human Rights. Legal security of goput as a part of the political rights of each person set forth in UUD 1945 (the constitution) Article 28D paragraph (3), Article 28I paragraph (1), and Article 28J paragraph (2); Act No. 39/ 1999 on Human Rights Article 23 paragraph (1), Article 23 paragraph (2), and Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights Article 18, 19, and 25. Second, unlawful MUI’s fatwa haram of golput not conflict with Human Rights because of legal opinion and recommendations are suggestion, and MUI is not the State Institution so that MUI’s rulling, so does fatwa, is not binding.

Keywords: golput, fatwa, haram, Human Rights

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul : “PENGGUNAAN HAK PILIH

UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”.

Penulisan hukum ini mencoba untuk mengetahui apakah keputusan seseorang untuk tidak memilih atau no vote decision atau yang biasa disebut dengan golput merupakan HAM atau tidak. Selain itu penulisan hukum ini juga membahas mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM. Permasalahan golput, fatwa MUI, serta HAM merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Fenomena golput akhir-akhir ini semakin merebak, dan hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka golput di berbagai pemilihan umum serta pemilihan umum daerah. Namun demikian, penulis merasa bahwa pengeluaran fatwa golput oleh MUI tersebut bukanlah sesuatu yang tepat. Oleh karenanya, dalam perspektif HAM, penulis kemudian mencoba untuk mengetahui nilai hukum dari fatwa golput haram MUI tersebut.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III dan atas segala bimbingan dan bantuan selama penulis menjadi mahasiswa.

3. Bapak Soenarno Danusastro, S.H., MH sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan 3. Bapak Soenarno Danusastro, S.H., MH sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan

4. Bapak DR. Hari Purwadi, S.H., M. Hum sebagai pembimbing yang telah berhasil memacu motivasi penulis untuk terus belajar.

5. Ibu Erna Dyah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai bekal untuk menggapai masa depan, beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Ayahku tercinta, Ibunda terkasih, Kakakku tersayang. Karena kalian aku ada dan berjuang untuk selesaikan kewajiban ini....

8. Untuk seseorang yang selalu sangat hidup dalam mimpiku. Guru terbaik atas semua yang terjadi, akan terjadi, dan telah tidak akan terjadi lagi. Menyerah bukan berarti kalah dan salah, sebab menyerah adalah karena banyak hal lain yang ternyata belum sempat dicintai. Selaksa rasa, berjuta pengalaman, dan akhirnya berakhir pada mengerti dan memaafkan.... Ternyata mencintai tidak cukup untuk saling memiliki. Namun mencintai memang untuk dapat saling memiliki, Kanda Rahmad Winarto S.H.

9. Keluarga besar HMI Cabang Surakarta Komisariat Fakultas Hukum UNS. Untuk Anung Razaini Firmansyah, sang Ketum yang memberikan banyak pengertian dan pemakluman, syukur tiada akhir milikimu sebagai sahabat terbaik. Aldian Andrew Wirawan, semoga selalu bersemangat dengan atau tanpa seseorang di sisimu, Al.... Didit Suryo Tri Puspito, adek lelakiku yang sangat baik dan memanjakan, sukses selalu buat kamu. Buyung Loding, M. Adzkar Arifian, Dedi Tri Yulianto, M. Ali Ridho, Zuhri mas Say, Teuku Marliansyah, Hidayat Dwi P, Bintang, Edi, Veni, Shinta, semoga akan dan selalu tetap menjadi generasi insan cita.... Untuk Ahmad Marthin Hadiwinata sosok kakak yang ’sadis’ sekaligus menyenangkan, Yasser Arafat, Arif Maulana S.H., Nurrahman Aji Utomo, Okky Meidia Fajar, Adilla Prasetyo, Mas Hudhan. Terimakasih atas penyadaran, pencerahan, semua tawa dan hujatan canda penuh makna.

10. Ucapan terimakasih secara khusus untuk Okky Meidia Fajar, Arif Maulana S.H, Nurrahman Aji Utomo, Rendy Harindraputra S.Ked, dan Wisnu Wicaksono, yang bersedia meluangkan waktu serta memaklumi untuk terus membantu proses ini, dari berdiskusi, mengantar ke pembimbing hingga mengisikan printer,,,, J

11. Sahabatku tersayang Windarizti Yuniastried Putri dan Cahya Dwi Wardhani, terima kasih atas persahabatan yang telah kita jalin dengan hangat selama ini.

12. Kawan-kawan Kos Kinasih 2 shift A: Mbak Dian, Mbak Nova, Mbak Pinta, Mbak Rina, Mbak Kristy, Mbak Harmy, Mbak Dinar, Te-Je.... dan Shift B: Achi, Mbak Niken, Rahma, Lita, Sari, Wury.... terimakasih, karena kalian terkadang aku tersadar bahwa aku perempuan juga... Senyum, dong?

13. Mayang Mayurantika S.H., semoga kita sudah sempat bersenang-senang karena kita memang akhirnya hanya menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan...terimakasih dan semoga kita masih bisa dipertemukan dengan kondisi yang jauh lebih baik.

14. Seluruh teman–teman program strata satu reguler Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2005 yang telah memberikan bantuan dan saran dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini.

15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis sendiri, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta, Januari 2010

Penulis

DAFTAR BAGAN

Bagan : Kerangka Pemikiran ................................................................................ 44

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Golongan Putih (Golput) selalu menjadi fenomena di setiap perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Meningkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya cukup menjadi sorotan dalam setiap Pemilu. Rendahnya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya tidak hanya terjadi dalam Pemilu Legislatif namun juga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam Kompas edisi Selasa, 17 Juni 2008 dinsebutkan bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 %. Pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 %. Adapun tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing-masing sebesar 78,23 % dan 77,44 %. (Kompas, 17/06/2008). Menurut catatan LBH Jakarta , persentase yang diperoleh golput pada Pemilu 2004 cukup signifikan yaitu 23,34%.

Dalam Pilkada yang diselenggarakan menjelang Pemilu 2009, angka Golput juga cukup tinggi. Di Jawa Timur, pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 %. Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 % dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 % atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 %. Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 % dan NTT 20 %. ( http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/ ) .

Dengan begitu tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia maka hasil Pemilu tidak dapat dikatakan mutlak sebagai aspirasi Dengan begitu tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia maka hasil Pemilu tidak dapat dikatakan mutlak sebagai aspirasi

Lontaran pertama mengenai desakan untuk pengeluaran fatwa mengenai golput adalah dari Hidayat Nur Wahid, yang ketika itu menjabat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI digelar di Padang Panjang, pada bulan November 2008, Hidayat Nurwahid mengusulkan fatwa haram golput tersebut. Saat menjawab pertanyaan wartawan tentang pendapatnya atas usulan Dien Samsudin tentang poros tengah jilid II ia menjawab,

Poros tengah jilid II berarti bicara tentang hasil pemilu. Sementara yang terjadi sekarang ini ada orang mengajak golput. Fenomena golput begitu meruyak di mana-mana. Golput pada Pilkada meninggi luar biasa (Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009).

MUI akhirnya mengeluarkan fatwa haram tentang golput. Fatwa tersebut dikeluarkan pada forum Ijtima’ Ulama III yang dihadiri para utusan pengurus MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Daerah di Padang Panjang Sumatera Barat. Dalam forum yang berlangsung pada tanggal 24-25 Januari 2009 tersebut, juga dibahas mengenai masalah kontemporer lain seperti yoga, pernikahan usia dini, dan rokok (http://www.mediaumat.com/content/view/).

Dalam naskah fatwa golput haram tersebut antara lain disebutkan bahwa:

1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa,

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama,

3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat,

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib, dan

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Secara lebih lanjut, MUI juga memberikan rekomendasi dari fatwa tersebut. Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas (amar makruf nahi munkar). Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi ( http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi/ ).

Pengeluaran fatwa tersebut disambut pro dan kontra dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Sebab, fatwa tersebut ditengarai sebagai salah satu upaya politik dari beberapa partai Politik Islam, bukan hanya untuk memaksimalkan kedaulatan rakyat di Indonesia. Hukum haram yang dikeluarkan MUI tersebut juga dianggap sebagai persoalan serius. Dalam buku ‘Islamic Environmental System Engineering’ karya Waqar A. Husainini sebagaimana dikutip Rohadi Abd. Fatah dinyatakan bahwa hukum haram atas suatu hal bukan merupakan hal yang sederhana bagi kalangan umat muslim. Haram ialah larangan keras. Dengan pengertian, jika dikerjakan akan berdosa dan jika tidak dikerjakan (ditinggalkan) maka akan mendapatkan pahala (Sulaiman Rasjid, 1992: 17).

Ketika seorang individu dihadapkan pada posisinya sebagai umat muslim yang wajib untuk berpartisipasi dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya maka haram baginya untuk menjadi Golput. Namun, sebagai Warga Negara Indonesia, setiap individu memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya. Termasuk dalam menyampaikan atau tidak menyampaikan pendapatnya. Bahkan, beberapa pelaku Golput menyatakan bahwa Golput pun merupakan cara untuk menyalurkan aspirasinya.

Istilah golput sendiri pertama kali muncul menjelang pemilu orde baru tahun 1971. Pencetus gerakan golput antara lain Arief Budiman, Julius Usman, dan Almarhum Imam Malujo Sumali. Kemunculan Golput terutama setelah terjadi ketidakpuasan sejak lahirnya UU No. 16/ 1969 dan Peraturan Menteri No. 12/ 1969 yang dinilai tidak demokratis dan dipaksakan oleh Partai Politik. Pada intinya, peraturan perundang-undangan tersebut telah mematikan tampilnya kekuatan politik baru dalam pemilu selain parpol-parpol yang sudah ada dan Golongan Karya (Golkar).

Golput ketika itu merupakan bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Golkar adalah pendukung terbesar dari kekuasaan orde baru.

Suharto’s “New Order” regime created Golkar, a progovernment party based on bureaucratic and military interests. The government also embarked on a development program that helped the economy grow by an annual average of 7 percent for three decades. By the 1990s, Suharto’s children and cronies were the major beneficiaries of state privatization schemes and in many cases ran business monopolies with little oversight ( http://www.freedomhouse.org/ ) .

Dalam kondisi seperti itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.

Di dalam wacana yang selama ini berkembang, Golput sesungguhnya tidak selalu murni kesengajaan. Apabila dicermati, terdapat tiga alasan yang menyebabkan munculnya golput. Pertama yaitu alasan administratif, misalnya yaitu nama pemilih yang bersangkutan tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Kedua adalah alasan teknis ketika pemilih tersebut tidak berada di lingkungan tempatnya terdaftar dalam DPT sehingga tentu saja tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketiga adalah alasan ideologis. Pemilih tersebut memang sengaja untuk tidak mempergunakan hak pilihnya karena berbagai hal. Diantaranya yang paling menonjol adalah karena mereka menganggap pemilu yang akan berlangsung tersebut tidak akan memberikan perbaikan maupun pengaruh positif apapun terhadap masyarakat.

Adalah sebuah realitas yang harus dihadapi, termasuk dalam Ketatanegaraan Indonesia, bahwa di Indonesia terdapat pluralitas agama yang tidak dapat dihindari.

Indonesia officially recognizes Islam, Protestantism, Roman Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. Members of unrecognized religions have difficulty obtaining national identity cards. Atheism is not accepted. Concern remains regarding the national government’s failure to respond to intolerance in recent years (http://www.freedomhouse.org/ ).

Masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran sesuai sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sedikit banyak, hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kehidupan bernegara di Indonesia. Indonesia bukanlah Masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran sesuai sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sedikit banyak, hal tersebut memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kehidupan bernegara di Indonesia. Indonesia bukanlah

Pluralitas agama maupun dianutnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tak jarang menjadi sebuah problematika bila berhadapan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia yang diterapkan. Agama merupakan hak pribadi setiap individu yang otonom. Namun, hak tersebut memiliki implikasi sosial dalam masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v).

Islam sarat dan menjunjung tinggi HAM, antara lain dengan disusunnya piagam Madinah. Sedangkan adanya anggapan adanya pengaruh HAM dari budaya barat sesungguhnya merupakan bagian dari sifat universal HAM itu sendiri. Sehingga HAM perlu dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan muatan adat dan agama serta nilai-nilai universalnya.

HAM merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, di negara maju pun HAM merupakan isu yang tak pernah berhenti dibicarakan. Untuk dapat berbicara tentang HAM dengan baik, seseorang memerlukan komitmen yang tulus. Komitmen yang tulus selalu berakar dalam kesadaran tentang makna dan tujuan hidup, yang umumnya diajarkan oleh agama. Tanpa akar keagamaan, pengertian tentang HAM dan komitmen kepada nilai-nilainya dapat terasa hambar dan dangkal (Nurcholis Madjid, 1997: 57).

Oleh karena itu, terjadi perbincangan serius ketika MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa haram bagi seorang muslim jika dalam pemilihan umum tidak memberikan suaranya atau dikenal dengan istilah golput. Fatwa yang dinilai banyak kalangan sangat kontroversial ini muncul menjelang bangsa Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2009.

Berbagai persoalan kemudian dibenturkan terhadap fatwa tersebut, termasuk masalah HAM.

Pascaperang Dunia II, terdapat banyak kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis sehingga muncul paham bahwa pemerintah dilarang campurtangan dalam bidang sosial ekonomi. Namun, paham staats- onthouding dan laissez faire tersebut lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada perkembangannya, negara tersebut dikenal sebagai Welfare State (Negara Kesejahteraan) maupun Social Service State (negara yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat). Oleh karena itu, isu hak asasi manusia kemudian muncul sebagai salah satu wujud penghargaan terhadap manusia dan mewujudkan Welfare State atau Social Service State.

PBB, dalam salah satu rumusan yang dikemukakan pada tahun 1974 menekankan bahwa, bicara soal HAM, “don’t speak the biological need, we mean those condition of life which allow as fully to developed and use our human qualities of intelligence and conscience and to satisdy our spiritual need. ” Dengan demikian, bicara HAM, selain terkait dengan kebutuhan biologis (terpenuhinya sandang, pangan, dan papan) juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (adanya kondisi yang kondusif terjaminnya perkembangan dan kebutuhan rohani manusia (Masyur Effendi, 2005: 11).

Salah satu kebutuhan nonbiologis manusia yang tercakup sebagai bagian dari hak asasi manusia adalah kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapat. Dalam konteks kehidupan bernegara, hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada. Golput merupakan salah satu bentuk ungkapan pendapat individu. Ketika seseorang dilarang untuk golput, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut tidak lagi memiliki kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapatnya. Fatwa Haram MUI tentang golput menyebabkan setiap muslim yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu berdosa karena melakukan larangan keras yang dilarang oleh agama.

Berdasarkan pertimbangan dan berbagai latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan penelitian apakah pengeluaran fatwa golput haram oleh MUI tersebut bertentangan dengan HAM. Oleh karena itu, penulis memilih judul penulisan hukum ini adalah:

“PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupakan hak asasi seseorang yang masuk di dalam Hak Asasi Manusia (HAM)?

2. Bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif Hak Asasi Manusia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi dua tujuan, yaitu:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupan hak asasi manusia (HAM).

b. Untuk mengetahui nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis melalui suatu penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum Tata Negara yang berhubungan dengan demokrasi dan hak asasi manusia serta dalam bidang Hukum dan Masyarakat khususnya Hukum Politik Islam dan perspektif Hukum Islam dalam penegakan demokrasi serta Hak Asasi Manusia (HAM).

b. Untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan penulis dalam penyusunan skipsi untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Untuk memberikan pandangan lebih luas kepada penulis dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai Warga Negara Indonesia yang baik sekaligus umat Muslim yang taat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu Hukum pada umumnya untuk kemudian memberikan kontribusi pada perkembangan Hukum Tata Negara pada khususnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia serta Hukum dan Masyarakat dalam hal ini Hukum Islam.

b. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran terhadap adanya fenomena Golput yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai bagian dari hak asasi individu namun dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia yang dalam mengeluarkan fatwa tersebut menggunakan hukum Islam sebagai bahan pertimbangan utama.

c. Memberikan masukan dan membuka wacana dengan menambah referensi mengenai adanya keterkaitan antara Hukum Islam dengan hukum positif Negara Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Meningkatkan daya kritis dan pola pikir penulis sebagai implementasi pengetahuan hukum yang diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum UNS.

b. Memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang terkait untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan Hukum Islam, sebab meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas Warga Negara Indonesia.

c. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat agar tetap menjalankan syariat Islam secara benar disamping menjalankan fungsi dan peran sebagai Warga Negara Indonesia yang baik tanpa menafikan hak konstitusional yang dimiliki masing-masing individu tersebut.

E. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Dimana metodologis itu berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Kemudian sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2005 : 42).

Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian guna mendapatkan bahan yang sesuai dengan tujuan penelitian juga untuk mempermudah pengembangan data kelancaran penyusunan penulisan hukum.

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

Metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenisnya, maka penelitian yang akan dilakukan adalah

penelitian hukum normatif atau doktrinal yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka atau data-data sekunder dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi menjadi suatu rangkaian hasil penelitian. Jenis penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar dalam hukum.

2. Sifat Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengharapkan jawaban right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

Dilihat dari jenisnya, penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian preskriptif, karena dalam penelitian ini dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi bahwa golput merupakan HAM serta konsep baru mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM.

3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum, dikenal adanya lima pendekatan.

Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) , pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa pendekatan. Pertama, penulis menggunakan pendekatan undang-undang dengan menelaah UUD 1945 dan Undang-undang yang terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right , serta UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum. Penulis melakukan pendekatan kasus dengan menelaah mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa golput haram termasuk landasan fatwa tersebut dikeluarkan. Penulis melakukan pendekatan konseptual mengenai posisi ideal MUI di Indonesia termasuk kewenangan dan kedudukannya dalam negara Republik Indonesia.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-

sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan- bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hukum. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis antara lain yaitu:

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right

4. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah

buku teks, jurnal, koran, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, makalah, dan koran. Selain melalui dokumen-dokumen maupun data-data tertulis, penulis juga menggunakan cyber media, yaitu pengumpulan bahan melalui internet untuk mendapatkan perkembangan berita yang up to date.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis menggunakan interpretasi dan logika deduksi sebagai teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Adapun berdasarkan dasar penemuan hukum oleh hakim terdapat beberapa jenis interpretasi, diantaranya adalah interpretasi gramatikal, interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, dan interpretasi futuristik. Interpretasi gramatikal yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, Interpretasi teleologis atau sosiologis yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan atau peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru, penafsiran sistematis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai

bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah, diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu interpretasi yang hendak memperoleh penjelasan dengan jalan memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan dari ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada undang- undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno Mertokusumo, 2003: 170-173).

Berkenaan dengan pengkajian masalah penelitian dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknis analisis interpretasi teleologis atau sosiologis dan penafsiran sistematis. Melalui interpretasi teleologis, penulis berupaya untuk menafsirkan golput maupun fatwa haram MUI tentang golput berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Selanjutnya penulis menggunakan interpretasi sistematis dengan menafsirkan Undang-undang Dasar 1945 serta Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum sebagai undang-undang yang mengatur mengenai masalah hak politik warga negara dalam hal ini golput.

Adapun logika deduksi adalah pola berfikir dari yang umum kepada yang khusus (Sudikno Mertokusumo, 2003:176). Penulis mencoba berfikir mengenai HAM secara umum untuk mengetahui apakah golput merupakan HAM dan bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diketengahkan mengenai latar belakang pengambilan judul penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Sedangkan pada bab kedua, penulis menguraikan teori- teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang terdiri dari kerangka teori dan kerangka pemikiran, antara lain meliputi tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hak Pilih, Hukum Islam, serta MUI dan Fatwa. Selain itu, untuk memaparkan mengenai ide dilakukannya penelitian, permasalahan, serta hasil penulisan serta guna memberikan gambaran terkait logika berfikir penulis dalam memecahkan problematika isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, maka dalam bab ini juga disertakan kerangka pemikiran dalam bentuk bagan. Adapun dalam bab ketiga, penulis akan menguraikan serta memaparkan hasil penelitian. Bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana posisi MUI di Indonesia terkait dengan pengaruh fatwa yang dikeluarkannya terhadap masyarakat Indonesia. Akan diketahui apakah terjadi perbenturan antara hak konstitusional yang dimiliki setiap individu sebagai Warga Negara Indonesia dengan posisi individu sebagai umat Muslim, dan bagaimana konsekuensi yuridis terkait pilihan individu tersebut untuk tidak memilih (Golput). Sanksi apakah yang diterimanya, sehingga dapat diketahui sesungguhnya posisi MUI dalam negara Indonesia, apakah berhak untuk masuk terlalu dalam pada wilayah privat individu serta hak asasi manusia tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab ketiga akan diuraikan dalam bab empat sebagai jawaban singkat atas permasalahan yang diteliti dan saran terhadap hasil penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hukum

a. Hukum Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hukum dapat

didefinisikan secara memuaskan. Menurut pendapat Immanuel Kant, Lemaire, Gustav Radbruch, dan Walter Burkhardt, hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan luas cakrawalanya. Oleh karena itu, hukum tidak dapat didefinisikan secara memuaskan. Pandangan berbeda dinyatakan oleh Aristoteles, Hugo de Groot (Grotius), Thomas Hobbes, van Vollen Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen, dan Utrecht. Menurut mereka, meski tidak memuaskan, definisi hukum tetap harus diberikan karena memberikan manfaat minimal sebagai pegangan sementara bagi pemula yang mempelajari hukum (http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/).

Arnold (Achmad Ali, 1996 : 27) salah seorang sosiolog, mengakui bahwa dalam kenyataan hukum memang tidak akan pernah dapat didefinisikan secara lengkap, jelas dan tegas. Sehingga sampai sekarang ini tidaka da kesepakatan bersama tentang definisi hukum. Namun Arnold juga menyadari bahwa bagaimanapun para juris tetap akan terus berjuang mencari bagaimana hukum didefinisikan sebab definisi hukum merupakan bagian yang substansial dalam meberi arti keberadaan hukum sebagai ilmu. Hukum juga merupakan sesuatu yang rasional dan dimungkinkan untuk dibuatkan definisi sebagai penghormatan para juris terhadap eksistensi hukum

( http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu- hukum/ ).

Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan ”Recht” yang berasal dari bahasa Latin “Rectum” yang berarti kebaikan, kebajikan. Selanjutnya kata latin lainnya tentang hukum adalah “Ius” yang berarti hukum, berasal dari kata “lubere” artinya mengatur, memerintah. Kata “Ius” bertalian erat dengan “lustitia” atau keadilan. Pengertian hukum (law) dalam Black’s Law Dictionary yaitu: “That which is laid down, ordained, or established.

A rule or method according to which phenomena or actions co-exist or fallow each other . Law, in its generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal force”. (Henry Campbell Black, 1979:795).

Paul Scholten dalam “Algemeen Deel” dijelaskan bahwa untuk mengerti tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang kedudukan manusia di dalam masyarakat, dengan memperhitungkan keduanya secara bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan tentang hukum harus mengandung unsur-unsur :

a) Hukum adalah perintah Yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang berasal dari

negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya diberlakukan di bidang publik, dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan. Contoh hukum pidana, dimana negara dengan perantara perlengkapannya mengambil inisiatif untuk menahan, menangkap dan selanjutnya diajukan ke muka pengadilan.

b) Hukum adalah suatu ijin Maksudnya adalah ijin yang diberikan oleh negara kepada setiap

individu agar setiap individu dapat melaksanakan tugasnya dengan semestinya. Misalnya untuk mendirikan rumah, dipersyaratkan ijin dari pemerintah setempat.

c) Hukum adalah suatu janji Maksudnya yaitu janji yang diucapkan oleh satu pihak terhadap

pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, adalah merupakan hukum atau undang-undang bagi pihak- pihak yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas “pacta sunt servanda ”, yang artinya setiap janji harus ditepati.

d) Hukum yang disediakan Maksud dari hukum yang disediakan adalah peraturan undang-

undang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada setiap warga negara, seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh para pihak belum lengkap syarat-syaratnya (Soeroso, 1993: 31-34).

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan: Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:15).

Menurut Wiryono Kusumo, Hukum merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki beberapa unsur yaitu :

a) Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa

b) Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis

c) Mengatur kehidupan masyarakat

d) Mempunyai sanksi.

b. Arti Hukum Hukum memiliki arti sebagai berikut :

1) Hukum dalam Arti Ketentuan Penguasa Hukum adalah perangkat-peraturan peraturan tertulis yang dibuat

oleh pemerintah melalui badan-badan yang berwenang.

2) Hukum dalam Arti Para Penguasa Hukum adalah dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam

dan bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan- tindakan yang membahayakan warga masyarakat, seperti petugas Polisi patroli, Jaksa dan hakim dengan toganya. Disini hukum dilihat dalam arti wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas menegakkan hukum.

3) Hukum dalam arti sikap tindak Yaitu hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang

teratur. Hukum ini tidak nampak seperti dalam arti petugas yang patroli, yang memeriksa orang yang mencuri atau hakim yang mengadili, melainkan hidup bersama dengan perilaku individu terhadap yang lain secara terbiasa dan senantiasa terasa wajar serta rasional. Dalam hal ini sering disebut hukum sebagai suatu kebiasaan (hukum kebiasaan).

4) Hukum dalam arti sistem kaidah

a) Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-kaidah secara hirarkis

b) Susunan kaidah-kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat bawah ke atas meliputi :

- Kaidah-kaidah individual dari badan2 pelaksana hukum

terutama pengadilan - Kaidah-kaidah umum didalam UU hukum atau hukum

kebiasaan - Kaidah-kaidah konstitusi

c) Sahnya kaidah2 hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah2 yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.

5) Hukum dalam arti jalinan nilai Hukum dalam artian ini bertujuan mewujudkan keserasian dan