KONDISI PBJ DI INDONESIA

2.3 KONDISI PBJ DI INDONESIA

REGULASI

PBJ DI INDONESIA 24

Pengaturan tentang Pengadaan Barang dan Jasa memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara. Setidaknya ada lima alasan;

1) Dibutuhkan untuk memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah mencapai tujuan agar mendapatkan barang dan jasa dalam harga yang kompetitif dengan kualitas yang tinggi. Pengaturan ini menjadi panduan bagi para penyelenggara yang memiliki tugas melakukan pengadaan barang dan jasa.

2) Agar ada pengaturan yang relative seragam ketika berbagai instansi publik melakukan pengadaan barang dan jasa. Keseragaman dibutuhkan untuk memudahkan melakukan proses PBJ dan pemantauan.

3) Agar instansi public dan penyedia barang dan jasa dapat mengetahui secara akurat proses dan prosedur serta berbagai persyaratan dalam PBJ oleh instansi publik.

4) Agar dapat dicegah tindakan yang bersifat kolutif dan koruptif, termasuk prosedur yang benar dan salah.

5) Dapat menjadi panduan bagi auditor untuk memastikan bahwa syarat, proses, dan prosedur telah diikuti.

Sejak tahun 1973, Indonesia telah memiliki aturan terkait pengadaan barang dan jasa namun masih disisipkan dalam Keppres mengenai Pedoman Pelaksanaan APBN. Keppres pertama yang dikeluarkan terkait pengadaan barang dan jasa adalah Keppres nomor 11 tahun 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Setelah Keppres no.11 tahun 1973 lahir, hampir setiap tahun secara berturut-turut lahir keppres baru sebagai penyempurnaan pengaturan pelaksanaan APBN. Barulah setelah tahun 2000 lahir keppres yang secara khusus mengatur pengadaan barang dan jasa.

24 Disarikan dari Buku Prof. Sogar Simamora, Op Cit.Hal 100-154

Keputusan/peraturan presiden yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah:

1. Keppres No. 11 tahun 1973 tentang Pedoman pelaksanaan APBN

2. Keppres No. 17 tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1974/1975 (Keppres no. 17/1974)

3. Keppres No. 7 tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 1975/1976 (Keppres No. 7/1975)

4. Keppres No. 14 tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 176/1977 (Keppres No. 14/1976)

5. Keppres No. 12 tahun 1977 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 12/1977)

6. Keppres No. 14 tahun 1979 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14/1979)

7. Keppres No. 14 A tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 14A/1980)

8. Keppres No. 18 tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 18/1981)

9. Keppres No. 29 tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 19/1984)

10. Keppres No. 16 tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 16/1994)

11. Keppres No. 24 tahun 1995 tentang Perubahan Atas Keppres No. 16/1994 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 24/1995)

12. Keppres No. 6 tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keppres No. 16/1994 sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24/1995 tentang APBN (Keppres No. 6/1999)

13. Keppres No. 17 tahun 2000 tentang Pelaksanaan APBN (Keppres No. 17/2000)

14. Keppres No. 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah (Keppres No. 18/2000)

15. Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 80/2003)

16. Keppres No. 61 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No. 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 61/2004)

17. Keppres No. 32 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 32/2005)

18. Keppres No. 70 tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Keppres No. 70/2005)

19. Perpres No. 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 8/2006)

20. Perpres No. 79 tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 79/2006)

21. Perpres No. 85 tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 85/2006)

22. Perpres No. 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keppres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 95/2007)

23. Perpres No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 54/2010)

24. Perpres No. 35 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 35/2011)

25. Perpres No. 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 70/2012)

26. Perpres No. 172 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 172/2014)

27. Perpres No. 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 4/2015)

Dilihat dari sejarahnya, Perpres tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-undang tentang APBN. Sebelum terbit UU no. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, keppres atau perpres mengacu kepada UU no. 9 tahun 1968 dan undang-undang Dasar 1945 khususnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang keuangan.

Beberapa poin penting dalam regulasi pada periode 1973 – 2000: • Prinsip pengeluaran adalah penghematan dan efisiensi, pengarahan dan pengendalian yang sesuai

dengan fungsi masing-masing departemen, koodinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi, tidak bergaya mewah.

• Tahun 1975 ada keharusan mengutamakan produksi dalam negeri dalam PBJ. Pelaksanaan pengeluaran anggaran sejauh mungkin diusahakan standarisasi.

• Tahun 1980 memuat partisipasi golongan ekonomi lemah dalam PBJ (sekurang-kurangnya 50% modal perusahaan milik pribumi, lebih dari separo Dewan Komisaris dan Direksi adalah pribumi, dan jumlah modal dan kekayaan bersih dibawah 25 juta untuk bidang usaha perdagangan jasa dan dibawah 100 juta untuk industri dan konstruksi.)  pemerataan kesejahteraan.

• S.d Tahun 1984 pelelangan berkembang menjadi 4 jenis; pelelangan umum, pelelangan terbatas, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung.

• Tahun 1984 melarang perumusan klausula sanksi ganti rugi bagi pemerintah dalam perjanjian, hanya untuk rekanan.

Beberapa poin penting pada regulasi setelah tahun 2000: • Adanya ratifikasi dari WTO (uu no. 7 tahun 1994), isu utama pada keppres: transparansi dan anti

diskriminasi. Keppres 18 tahun 2000 merupakan regulasi pertama di Indonesia yang khusus mengatur PBJ. Prinsip pengadaan: efisien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan bertanggungjawab.

• Keppres juga menetapkan etika pengadaan bagi pengguna dan penyedia barang dan jasa (kewajiban dan larangan).

• Jenis metode pengadaan disesuaikan dengan jenis objek pengadaannya. Mengharuskan adanya pendapat hukum dari ahli hukum kontrak (diatas 50M). Kontrak dibatalkan jika ada KKN. Sanksi bagi kedua belah pihak. Aturan bersifat teknis diatur dalam lampiran kepres 80/2003.

• Mensyaratkan adanya sertifikat keahlian atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang dan jasa.

• Dibentuk organisasi pengadaan yang lengkap.

E-PROCUREMENT DI INDONESIA

III.1.1 Lembaga yang Melaksanakan E-Procurement di Indonesia

Hingga tahun ini e-procurement di Indonesia sudah terlaksana selama 8 tahun (2008-2011). E-Procurement di Indonesia dimulai pada tahun 2008 dengan keluarnya Keppres nomor 80 tahun 2003 yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Secara eksplisit keppres tersebut mengijinkan proses pengadaan melalui e-procurement.

Untuk mengakomodasi e-procurement di Indonesia, pemerintah dengan berlandaskan beberapa hal mendirikan lembaga yang mengakomodasi layanan pengadaan tersebut yang dinamakan LPSE (Lembaga Pengadaan Secara Elektronik). LPSE sebenarnya merupakan unit kerja yang dibentuk oleh Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN dan Pemerintah Daerah untuk melayani Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang akan melaksanakan pengadaan secara elektronik. Bagi ULP atau instansi yang tidak membentuk LPSE maka dapat melaksanakan pengadaan secara elektronik dengan menjadi pengguna dari LPSE terdekat.

Sumber: http://www.lkpp.go.id

Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/jasa – Bappenas pada tahun 2006 sesuai dengan instruksi Presiden no 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. E-procurement menjadi salah satu dari 7 flagship Dewan Teknologi Informasi Nasional (Detiknas) dan di bawah koordinasi Bappenas. Pada tahun 2007 telah dilakukan pelelangan secara elektronik melalui LPSE oleh Bappenas dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada waktu itu baru terdapat satu server LPSE yang berada di Jakarta dengan alamat www.pengadaannasional-bappenas.go.id yang dikelola oleh Bappenas.

Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Keppres nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Le aga i i erupaka pe ekara Pusat Pe gadaa ya g sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Keppres ini, seluruh tugas menyangkut kebijakan pengadaan Pada bulan Desember 2007, Presiden mengeluarkan Keppres nomor 106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Le aga i i erupaka pe ekara Pusat Pe gadaa ya g sebelumnya berada di Bappenas. Dengan adanya Keppres ini, seluruh tugas menyangkut kebijakan pengadaan

Peran LKPP adalah membantu pemerintah dalam menyusun dan merumuskan strategi, penentuan kebijakan dan standar prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk pembinaan sumber daya manusia. LKPP juga diberi tugas untuk mengembangkan sistem informasi serta melakukan pengawasan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik. Selain itu, LKPP juga diberi tugas untuk melakukan bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum.

Pada tahun 2008, instansi pemerintah pusat dan daerah mulai menerapkan e-procurement di pemerintahnya. Pada kuartal 2 tahun 2008, Departemen Keuangan meluncurkan lelang e-proc perdana. Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional juga meluncurkan lelang perdana melalui LPSE pada Desember 2008.

Sejak diberlakukannya Perpres 54 tahun 2012, LPSE berkembang jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Tabel 3 Transaksi melalui LPSE Per Oktober 2015

No. Deskripsi 2008

151.289 543.279 2. Nilai Pagu

1. Jumlah Lelang

316.205.646 1.097.073.407 (Juta Rp)

3. Jumlah Lelang

241.799.630 869.995.620 Selesai (Juta Rp)

4. Nilai Pagu 42.898

5. Nilai Hasil 36.286

218.548.017 783.817.738 Lelang (Juta Rp) 6. Selisih Pagu

23.251.613 86.177.883 dan Hasil Lelang (Juta Rp)

7. Selisih Pagu 15,41

9,62 9,91 dan Hasil Lelang (%)

8. Selisih HPS dan

12.195.956 38.651.434 Hasil Lelang (Juta Rp) 9. Selisih HPS dan

5,04 4,44 Hasil Lelang (%)

(Sumber: LKPP 2015)

Tabel 4 Jumlah LPSE di Indonesia

Per Oktober 2015

LPSE System Provider

LPSE Service Provider

Jumlah LPSE

Provinsi terlayani

Instansi terlayani

(Sumber: LKPP 2015) Pada tahun 2010, LKPP mengembangkan sistem Otoritas Sertifikat Digital (OSD) bekerja sama dengan Lembaga

Sandi Negara. Sistem ini merupakan perwujudan konsep PUBLIK KEY INFRASTRUKTUR/INFRASTRUKTUR KUNCI PUBLIK/IKP. Pengembangan telah dimulai sejak 2009 dan diharapkan dapat diterapkan secara bertahap pada tahun 2010. Melalui penerapan OSD ini, setiap penyedia barang/jasa akan memiliki satu sertifikat digital yang dapat digunakan untuk melakukan pengamanan dokumen penawaran.

.com) LKPP juga sedang merancang sistem e-purchasing seperti diamanatkan draf perpres pengadaan barang/jasa. Sistem e-purchasing ini diharapkan dapat selesai segera setelah Perpres Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditetapkan oleh Presiden.

Implementasi LPSE yang tersebar membawa konsekuensi bahwa setiap LPSE INDEPENDEN satu dengan lainnya. Penyedia harus mendaftar di setiap LPSE untuk mengikuti lelang di LPSE tersebut. Di Jakarta misalnya, seorang penyedia akan mendaftar dan melakukan verifikasi di LPSE Kem. Keuangan, LPSE Kem. Pendidikan Nasional, LPSE Kepolisian RI, dan LPSE Kem. Kesehatan. Pada tahun 2010 ini LKPP akan mengembangkan sistem AGREGRASI MELALUI INAPROC yang memungkinkan penyedia cukup mendaftar & verifikasi hanya di satu LPSE untuk dapat mengikuti lelang di seluruh LPSE. Implementasi sistem agregrasi ini akan dilakukan secara bertahap dimulai dari LPSE Kota Yogyakarta dan LPSE Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta.

Struktur Organisasi LPSE

Lembaga Pengadaan Secara Elektronik memiliki struktur organisasi sebagai berikut: Struktur Organisasi LPSE

Sumber: http://lkpp.go.id/eproc/app?service=page/PublicStrukturOrganisasi