Identifikasi Bahan Kimia Obat Fenilbutazon Dalam Jamu Linurat Secara Kromatografi Lapis Tipis

(1)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT FENILBUTAZON DALAM JAMU LINURAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

TUGAS AKHIR

OLEH: YULI ANNISA NIM 092410014

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT FENILBUTAZON DALAM JAMU LINURAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS ” yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ayahanda M.Nazif dan Ibunda Raminah dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

4. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.


(3)

5. Bapak Drs. Agus Prabowo, MS., Apt., selaku Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

6. Ibu Dra. Nina Refida, Apt., selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

7. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm, Apt., selaku Koordinator Pembimbing PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Balai Besar POM di Medan.

8. Seluruh staf dan karyawan Balai Besar POM di Medan yang telah membantu kami selama melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan).

9. Sahabatku Ria Agustin, Osi Dwi Olyvia, Rezeki Dewi Astuti, Wiwiet Gesty Utami, Tian Havwini, Intan Zahara, kakak Aulia Prasiwi, dan teman terkasihku Agus Purnomo yang selalu mendoakan dan memberikanku semangat saat jenuh dan lelah. Untuk Bang Denny Satria terima kasih atas kritik dan sarannya serta dorongan dan doa – doanya.

10.Fauzi dan fhizri Ayuningtyas selaku teman sekelompok selama PKL di BBPOM Medan.

11.Seluruh teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.


(4)

Dalam menulis Tugas Akhir ini penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Harapan kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2012

Penulis


(5)

Identifikasi Bahan Kimia Obat Fenilbutazon Dalam Jamu Linurat Secara Kromatografi Lapis Tipis

Abstrak

Jamu merupakan obat tradisional karena berasal dari bahan-bahan alami yang berkhasiat khusus untuk penyakit tertentu tergantung dari bahan alami atau tumbuhan apa yang di gunakan. Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis adalah untuk mengetahui apakah pada salah satu jamu linurat yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.

Untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat dalam sediaan obat tradisional yaitu dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 gr). Selain itu hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana.

Pada pengujian identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis, didapatkan hasil bahwa sediaan jamu yang diperiksa positif mangandung bahan kimia obat (BKO) Fenilbutazon. Dimana harga Rf untuk baku fenilbutazon dan sampel jamu yang diperiksa ialah 0,92.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I.PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Obat Tradisional ... 4

2.2 Jamu ... 5

2.3 Pegal Linu dan Asam Urat ... 5

2.3.1 Pegal Linu... 5

a. Penyebab Pegal Linu ... 6

b. Gejala Pegal linu ... 6

c. Pengobatan Pegal Lini ... 7

2.3.2 Asam Urat ... 7

a. Penyebab Asam Urat ... 8

b. Gejala Asam Urat ... 9

c. Pengobatan Asam Urat ... 10

2.4 Fenilbutazon ... 11

2.4.1 Struktur Fenilbutazon ... 12


(7)

2.4.3 Efek Samping ... 13

2.4.4 Dosis... 13

2.5 Identifikasi Bahan Kimia Obat Fenilbutazon Dalam Jamu Linurat Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 13

2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 13

2.5.1.1 Komponen KLT ... 15

a. Fase Diam ... 15

b. Fase Gerak ... 15

c. Bejana Pemisahan dan Penjenuhan ... 16

d. Penotolan Sampel ... 16

e. Deteksi Bercak ... 16

BAB III. METODOLOGI ... 18

3.1 Tempat Pengujian ... 18

3.2 Alat ... 18

3.3 Bahan ... 18

3.4 Sampel ... 18

3.5 Prosedur ... 19

3.5.1 Larutan Uji ... 19

3.5.2 Larutan Baku ... 19

3.5.3 Identifikasi... 19

3.5.3.1 Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 19

3.6 Persyaratan ... 20

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 23


(8)

LAMPIRAN ... 26 DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf... 26 Lampiran 2. Hasil Kromatogram Identifikasi Fenilbutazon pada Jamu ... 27


(9)

Identifikasi Bahan Kimia Obat Fenilbutazon Dalam Jamu Linurat Secara Kromatografi Lapis Tipis

Abstrak

Jamu merupakan obat tradisional karena berasal dari bahan-bahan alami yang berkhasiat khusus untuk penyakit tertentu tergantung dari bahan alami atau tumbuhan apa yang di gunakan. Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis adalah untuk mengetahui apakah pada salah satu jamu linurat yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.

Untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat dalam sediaan obat tradisional yaitu dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 gr). Selain itu hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana.

Pada pengujian identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis, didapatkan hasil bahwa sediaan jamu yang diperiksa positif mangandung bahan kimia obat (BKO) Fenilbutazon. Dimana harga Rf untuk baku fenilbutazon dan sampel jamu yang diperiksa ialah 0,92.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa perlu terus dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Produksi, dan penggunaan obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecenderungan terus meningkat, baik jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman obat, usaha industri obat tradisional, penjaja dan penyeduh obat tradisional atau jamu. Bersamaan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik ke arah pengembangan fitofarmaka (Dirjen POM, 1999).

Jamu merupakan obat tradisional karena berasal dari bahan-bahan alami yang berkhasiat khusus untuk penyakit tertentu tergantung dari bahan alami atau tumbuhan apa yang digunakan. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Akan tetapi, yang paling penting dari semuanya itu kita harus mengetahui khasiat setiap bahan jamu. Selain itu, kita harus dapat meramu bahan-bahan jamu itu agar dapat berkhasiat untuk mengobati jenis penyakit tertentu. Misalnya saja, untuk mengobati radang persendian tulang seperti reumatik, asam urat,


(11)

maupun pegal linu, bahan apa saja yang diperlukan dan bagaimana takarannya, kita harus tahu dan benar-benar memahaminya. Dengan begitu, kita tidak salah meramu jamu. Jika salah meramu, bisa jadi bukan kesembuhan yang di dapat, melainkan pasien justru bertambah sakit (Mursito, 2002; Suyono, 1996).

Mengetahui jamu yang beredar di pasaran, yang telah dicemari oleh bahan kimia obat ialah jamu pegal linu dan asam urat. Bahan kimia obat tersebut salah satunya adalah fenilbutazon. Fenilbutazon digunakan untuk pengobatan simptom nyeri yang berhubungan dengan encok, untuk mengobati rheumatoid arthritis dan sejenisnya, yang biasanya ditambahkan pada jamu yang klaim kegunaannya ditunjukkan untuk mengobati pegal linu dan asam urat. Efek samping dari fenilbutazon sendiri yaitu reaksi kulit, anemia aplastik serta dapat menyebabkan iritasi lambung sampai menimbulkan pendarahan lambung. Menyadari hal tersebut, bahwa BKO dalam jamu dapat membahayakan para konsumen, maka penulis ingin sekali melakukan identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis. Adapun pengujian dilakukan oleh penulis di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis adalah untuk mengetahui apakah pada salah satu jamu linurat yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat fenilbutazon.


(12)

1.3 Manfaat

Adapun manfaat yang diperoleh dari identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis adalah agar mengetahui bahwa pada salah satu jamu linurat yang beredar di pasaran mengandung bahan kimia obat Fenilbutazon sehingga masyarakat lebih hati-hati dalam memilih jamu yang akan dikonsumsi.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1994).

Obat tradisional biasanya terdiri dari bahan alami, secara tunggal ataupun sebagai ramuan dari berbagai macam bahan. Obat tradisional dengan formula yang sama ternyata dapat digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit yang berbeda oleh satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena dalam satu tanaman terdapat berbagai senyawa kimia yang mempunyai khasiat yang berbeda sehingga dapat digunakan untuk berbagai indikasi. Disamping itu zat berkhasiat dalam tanaman yang sejenis, kadarnya dapat berbeda-beda apabila tanaman tersebut ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda, juga kebiasaan masyarakat di suatu daerah dalam menggunakan suatu tanaman obat berbeda dengan daerah yang lain, tergantung dari penyakit endemis yang ada.

Obat herbal Indonesia lebih dikenal dengan nama jamu dan izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) RI juga digolongkan dalam jamu.


(14)

Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Harmanto, (2008) mengelompokkan obat bahan alam Indonesia menjadi tiga jenis yaitu:

1. Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang.

2. Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku.

3. Fitofarmaka, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan baku dan sudah bisa diresepkan dokter.

2.2 Jamu

Jamu adalah obat tradisional yang merupakan ramuan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Tjokronegoro, 1992). Jamu harus memenuhi kriteria:

1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 2. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris. 3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

2.3 Pegal Linu dan Asam Urat 2.3.1 Pegal Linu

Pengertian gejala reumatik ataupun pegal linu cukup luas. Nyeri, pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan jaringan sekitarnya termasuk gejala reumatik. Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan otot disebut reumatik yang sebagian besar masyarakat mengenalnya sebagai pegal linu. Pegal linu merupakan penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan tulang rawan


(15)

(kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang terkena (Priyanto, 2009).

a. Penyebab Pegal Linu

Rasa capek, pegal & tegang adalah indikasi menumpuknya asam laktat di otot. Jika diraba otot terasa lebih kaku dan keras. Hal ini terjadi karena penumpukan asam laktat di dalam otot kita akibat dari otot yang dipaksa bekerja melebihi beban. Penumpukan asam laktat berlebih di dalam otot akan menyebabkan pegal-pegal dan rasa sakit di otot (Sudoyo, 2007).

Menurut Priyanto (2009), adapun beberapa faktor pendukung yang berhubungan dengan reumatik ataupun pegal linu, antara lain:

- Usia di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi. - Genetik.

- Kegemukan dan penyakit metabolik. - Cedera sendi yang berulang.

- Kepadatan tulang berkurang (osteoporosis).

- Beban sendi yang terlalu berat (olah raga atau kerja tertentu).

- Kelainan pertumbuhan (kelainan sel-sel yang membentuk tulang rawan, seperti kolagen).

b. Gejala Pegal Linu

Gejala klinis utama adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris.


(16)

Secara umum, gejala klinis yang dapat dilihat, antara lain: 1. Nyeri sendi, terutama pada saat bergerak.

2. Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti panggul, tulang belakang, dan lutut.

3. Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas (perubahan bentuk).

4. Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan.

5. Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-jari. 6. Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara (cracking).

c. Pengobatan Pegal Linu

Pengobatan pegal linu dilakukan dengan cara terapi non-farmakologi yaitu ; Fisioterapi dan olah raga yang tepat (peregangan dan penguatan) untuk membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi, dan kekuatan otot. Serta pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin, kondrotin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan sendi. Selanjutnya dilakukan dengan terapi farmakologi, yang menggunakan obat umumnya bersifat simtomatik, yaitu menggunakan analgetika dan antiinflamasi (Priyanto, 2009).


(17)

Asam urat adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar asam urat di dalam darah, yang ditandai dengan gangguan linu-linu terutama di daerah persendian tulang dan tidak jarang timbul rasa amat nyeri bagi penderitanya. Rasa sakit tersebut diakibatkan adanya radang pada persendian. Radang sendi tersebut ternyata disebabkan oleh penumpukan kristal di daerah persendian akibat tingginya kadar asam urat di dalam darah (Krisnatuti, 2004).

Tingginya kadar asam urat darah yang disebut hiperurisemia bila tidak terkontrol dengan baik, tidak saja menyebabkan reumatik, tetapi dapat menimbulkan komplikasi yang fatal pada ginjal. Peninggian asam urat darah yang ringan, cukup di atasi dengan menghindari makanan tertentu. Bila peninggian asam urat cukup signifikan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi, perlu masukan obat yang bisa menghambat terbentuknya asam urat atau melancarkan pembuangan asam urat melalui urin (Dalimartha, 2008).

a. Penyebab Asam Urat

Normalnya, asam urat sebagai hasil samping dari pemecahan sel terdapat dalam darah karena tubuh secara berkesinambungan memecah dan membentuk sel yang baru. Kadar asam urat meningkat atau abnormal ketika ginjal tidak sanggup mengeluarkannya melalui air kemih.

Peningkatan asam urat dalam darah disebut dengan hiperurisemia. Berdasarkan penyebabnya hiperurisemia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu primer dan sekunder. Hiperurisemia primer biasanya tidak diketahui penyebabnya, tetapi sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Sedangkan


(18)

hiperurisemia sekunder disebabkan adanya komplikasi dengan penyakit lain seperti anemia hemolitik, kelainan ginjal, kegemukan dan sebagainya (Utami, 2003).

Kurang lebih 20-30% penderita asam urat atau gout terjadi akibat kelainan sintesa purin dalam jumlah besar yang menyebabkan kelebihan asam urat dalam darah. Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin, baik purin yang berasal dari bahan pangan maupun dari hasil pemecahan purin asam nukleat tubuh. Dalam serum, urat terutama berada dalam bentuk natrium urat, sedangkan dalam saluran urin, urat dalam bentuk asam urat. Kadar asam urat normal untuk wanita berkisar 2,4 – 5,7 mg/dl dan untuk pria berkisar 3,4 – 7 mg/dl. Jika kadar asam urat dalam serum melebihi standar diatas maka disebut hiperurisemia. Dan kurang lebih 75% penderita gout terjadi akibat kelebihan produksi asam urat, tetapi pengeluarannya tidak sempurna (Krisnatuti, 2004).

Salah satu penyebab meningkatnya asam urat dalam darah adalah semakin tinggi asupan makanan yang mengandung purin. Akibatnya pembentukan purin dalam tubuh akan meningkat. Asupan purin yang berlebihan berasal dari sumber sebagai berikut: Makanan kaleng, seperti kornet dan sarden, makanan laut seperti udang, kerang dan kepiting, jeroan seperti hati, ginjal, limfa, babat, usus, paru dan otak, kacang-kacangan beserta olahannya, melinjo dan emping melinjo, minuman beralkohol, keju, susu, telur, buah-buahan seperti avokad, nenas dan air kelapa dan sayuran seperti daun bayam, daun singkong, kangkung, kembang kol dsb (Utami, 2003).


(19)

Tanda-tanda khas dari penyakit gout adalah terjadinya serangan mendadak pada sendi, terutama sendi ibu jari kaki. Sendi menjadi cepat bengkak, panas dan kemerah-merahan. Pembengkakan yang khas terjadi di pinggiran sendi yang disertai nyeri, kemudian diikuti dengan meningkatnya suhu badan.

Dalam dunia kedokteran, asam urat memiliki tanda-tanda sebagai berikut: 1. Dijumpai adanya hiperurisemia.

2. Terdapat kristal yang urat yang khas dalam cairan sendi. 3. Terdapat tofi yang dibuktikan dengan pemeriksaan kimiawi. 4. Telah terjadi lebih dari satu kali serangan arthritis akut. 5. Adanya serangan pada satu sendi, terutama sendi ibu jari. 6. Sendi terlihat kemerahan.

7. Pembengkakan asimetris pada satu sendi.

8. Tidak ditemukan bakteri pada saat serangan atau inflamasi. c. Pengobatan Asam Urat

Obat-obat penurunan kadar asam urat darah terdiri dari golongan urikosurik dan golongan penghambat xantin oksidase (urikostatik). Kedua golongan obat ini diindikasikan untuk pengobatan gout jangka panjang. Obat golongan urikosurik adalah probenesid. Obat ini menghambat reabsorbsi (penyerapan kembali) asam urat oleh ginjal. Golongan penghambat xantin oksidase adalah obat yang menghambat kerja enzim xantin oksidase yang mengubah hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Dengan demikian produksi asam urat berkurang dan produksi


(20)

xantin maupun hipoxantin meningkat dan dibuang melalui ginjal. Obat penghambat xantin oksidase adalah allopurinol.

Allopurinol adalah senyawa pyrazolo-pyrimidine dan suatu isomer hipoxantin. Penggunaan allopurinol jangka panjang akan mengurangi frekwensi serangan reumatik akut, menghambat pembentukan tofus, dan memperkecil tofus yang sudah terbentuk. Allopurinol juga bisa digunakan untuk pengobatan penyakit gout sekunder akibat penyakit leukemia, hiperurisemia akibat obat dan radiasi. Obat ini bekerja dengan cara menghambat xantin oksidase (Dalimartha, 2008).

2.4 Fenilbutazon

Fenilbutazon merupakan derivat dari pirazolon. Fenilbutazon digunakan untuk mengobati reumatoid arthritis dan sejenisnya, kemudian secara berurutan didapat turunan fenilbutazon ialah oksifenbutazon, sulfinpirazon dan ketofenilbutazon. Fenilbutazon dan oksifenbutazon juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasi sama dengan salisilat. Efek urikosuriknya lemah dengan menghambat reabsorbsi asam urat melalui tubuli. Dalam dosis kecil fenilbutazon justru mengurangi sekresi asam urat oleh tubuli (Munaf, 1994).

Fenilbutazon mula-mula disintesis bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai obat, melainkan untuk digunakan sebagai pelarut bagi amidopirin yang sukar larut dalam air. Fenilbutazon merupakan asam dengan kekuatan sedang yang mampu membentuk garam misalnya dengan amin. Dalam pengobatan, disamping bentuk asam bebas juga digunakan terutama dalam bentuk garam natrium dan garam kalsium (Ebel, 1979).


(21)

2.4.1 Struktur Fenilbutazon

N N

O O

CH2.CH2.CH2.CH3 4-Butil -1,2-difenil-3,5-pirazolodinadion

Nama Kimia : 4-Butil-1,2-difenil-3,5-pirazolodinadion Rumus Empiris : C19H20N2O2

Berat Molekul : 308,38

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau agak putih, tidak berbau Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam aseton dan dalam eter; larut dalam etanol

(Ditjen POM, 1995). 2.4.2 Farmakokinetik

Bila diberikan peroral absorbsinya cepat dan sempurna. Konsentrasi tertinggi dicapai dalam waktu 2 jam. Dengan dosis terapi 98% fenilbutazon dalam plasma terikat pada protein plasma, bila konsentrasi lebih tinggi pengikatan dengan plasma


(22)

protein mungkin hanya 90%. Masa paruh fenilbutazon adalah lama yaitu 50-100 jam. Biotransformasi terjadi di hati oleh sistem mikrosom hati. Ekskresi melalui ginjal dengan lambat.

2.4.3 Efek Samping

Menurut Munaf, (1994) efek samping dari fenilbutazon yaitu:

1. Reaksi alergi berupa reaksi kulit, anemia aplastik, agranulositosis, leucopenia, trombositopeni dll.

2. Iritasi lambung, dapat menimbulkan pendarahan lambung. Namun efek samping yang terlalu kuat dapat diperkecil dengan pembentukan garam dengan basa.

2.4.4 Dosis

Arthritis gout akut: dosis awal 500-800 mg sehari dalam 2-3 dosis selama 1-3 hari selanjutnya jika perlu 200-400 mg sehari, lama pengobatan tidak boleh lebih dari 7 hari. Sediaan fenilbutazon 200 mg, 3 × 1 tablet, terapi tidak boleh lebih dari 7 hari (ISFI, 2009).

2.5 Identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis

2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh dalam bejana ditutup rapat yang


(23)

berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi).

Untuk mengidentifikasi bahan kimia obat yang terdapat dalam sediaan obat tradisional yaitu dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Kromatografi adalah prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri atas dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion, dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).

Kromatografi lapis tipis merupakan yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), dan memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 gr). Selain itu hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana (Stahl, 1985).

Kromatografi lapis tipis mempunyai keuntungan yaitu, dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang


(24)

digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Rohman, 2009).

Mengidentifikasi komponen dalam kromatografi lapis tipis yaitu, dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet.

2.5.1.1 Komponen KLT a. Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µ m. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009)

Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya. Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdangangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).


(25)

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak didalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanya pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan digunakan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran yang dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa, sehingga volume tetap 100, misalnya: benzen: kloroform: asam asetat 96% (50:40:10).

c. Bejana Pemisah dan Penjenuhan

Bejana harus dapat menampung plac 200×200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18–20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah dalam bejana dengan uap pelarut pengembangan mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1985).

b. Penotolan Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih dari pada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda.


(26)

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan flouresensi sinar ultrafiolet (Rohman, 2009).


(27)

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat Pengujian

Identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis pengujiannya dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan yang bertempat di jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah gelas ukur, erlenmeyer, batang pengaduk, pipet tetes, corong, corong pisah, kertas saring, chamber, vial, hair drier, timbangan analitik, gelas ukur.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah NaOH 1N, HCl 0,1N, kloroform, aseton, etanol, akuadest, sampel jamu linurat.

3.4 Sampel

Nama : Jamu Linurat Wadah/kemasan : Bungkus Sachet No. Registrasi : 003 202 17


(28)

Pabrik : PJ. Sido Mekar

Komposisi : Zingiberis Rhizomae 20%, Curcumae Rhizomae 10%, Andrographidis Folium 15%, Caryophylli Flos 10%, dan bahan lain-lain hingga 100%.

3.5 Prosedur 3.5.1 Larutan Uji

Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 50 ml akuades, diaduk sampai larut, dibasakan dengan NaOH 1 N hingga pH 9-10 dan dikocok 30 menit dengan alat shaker lalu disaring dengan corong pisah. Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1 N hingga pH 3-4, diekstraksi 4 kali, setiap kali dengan 20 ml kloroform, dikocok di dalam corong pisah. Setelah memisah sempurna pisahkan bagian bawah dan atasnya. Hasil ekstraksi dikumpulkan dalam beaker gelas kemudian diuapkan dengan penguap rotasi vakum hingga hampir kering. Sisa dilarutkan dengan 5 ml etanol. (A)

3.5.2 Larutan Baku

Sejumlah lebih kurang 10 mg Fenilbutazon BPFI ditimbang, dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan etanol. (B)

3.5.3 Identifikasi


(29)

Larutan uji dan Larutan baku masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi lapis tipis sebagai berikut:

Lempeng : Silika gel GF 254 Eluen : kloroform : aseton (4:1) Penjenuhan : Dengan kertas saring Jarak rambat : 15 cm

Volume penotolan : larutan A dan B masing-masing 25 µ l Penampak bercak : Cahaya UV 254 nm

3.6 Persyaratan


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Pada pengujian identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara Kromatografi Lapis Tipis, didapatkan hasil bahwa sediaan jamu yang diperiksa positif mangandung bahan kimia obat (BKO) Fenilbutazon. Dimana harga Rf untuk baku fenilbutazon dan sampel jamu yang diperiksa ialah 0,92.

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, harga Rf menunjukkan sampel positif mengandung Fenilbutazon karena harga Rf baku Fenilbutazon diperoleh sama dengan harga Rf sampel jamu pegel linu dan asam urat dengan menggunakan eluen kloroform : aseton (4:1).

Zat kimia berkhasiat (obat) tidak diperbolehkan digunakan dalam campuran obat tradisional karena obat tradisional diperjual belikan secara bebas. Dengan demikian dapat berakibat yang kurang baik, ini merupakan salah satu persyaratan untuk semua bentuk sediaan Obat Tradisional di Indonesia ialah tidak boleh mengandung bahan kimia obat. Obat tradisional yang telah ditambahkan BKO


(31)

umumnya dimaksudkan untuk menghilangkan gejala sakit segera seperti pada pegal linu dan asam urat, ataupun secara farmakologis menekan rangsang makan pada susunan syaraf pusat seperti pada obat-obat pelangsing.

Umumnya, BKO yang digunakan adalah obat keras (daftar G) yang sebagian besar menimbulkan efek samping ringan sampai berat seperti iritasi saluran pencernaan, kerusakan hati/ginjal, serta gangguan penglihatan. Pada efek samping ringan, gangguan/kerusakan terjadi dapat bersifat sementara atau reversible. Pada efek samping berat, bisa terjadi gangguan/kerusakan permanen pada jaringan/organ sampai kematian. Hal ini jelas disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya.

Fenilbutazon memang digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dan sejenisnya. Fenilbutazon dan oksifenbutazon juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasi sama dengan salisilat. Efek urikosuriknya lemah dengan menghambat reabsorbsi asam urat melalui tubuli. Dalam dosis kecil fenilbutazon justru mengurangi sekresi asam urat oleh tubuli (Munaf, 1994).


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat fenilbutazon dalam jamu linurat secara kromatografi lapis tipis, dimana jamu yang diperiksa diketahui positif mengandung bahan kimia obat yaitu fenilbutazon.

5.2 Saran

Sebaiknya jamu yang beredar dipasaran benar-benar sudah memenuhi persyaratan. Dan pengujiannya tidak hanya dilakukan pada satu daerah saja melainkan pada semua daerah. Pengujian yang dilakukan tidak hanya pada kandungan bahan kimia obatnya saja, dilakukan juga uji yang lainya seperti kadar air, angka lempeng total, angka kapang khamir, mikroba patogen sampai dengan wadah, untuk mencegah peredaran jamu-jamu yang tidak memiliki izin edar, nomor registrasi, sampai dengan yang sudah melewati tanggal kadaluarsa agar jamu-jamu tersebut memang benar-benar aman bila digunakan.

Perusahaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan maka perusahaan itu harus diberi peringatan oleh instansi terkait seperti penarikan obat dari peredaran termasuk penarikan iklan, penghentian sementara kegiatan pembuatan,


(33)

distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan obat, serta pencabutan izin edar obat untuk selanjutnya tidak akan ditemukan lagi sediaan yang tidak memenuhi persyaratan.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, Setiawan. (2008). Resep Tumbuhan Obat Untuk Asam Urat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 3-4, 33-35.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : DEPKES RI. Hal. 665-666, 1002, 1061.

Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta : DEPKES RI

Ebel, Siegfried. (1979). Obat Sintetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 64.

Egon, Stahl. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 3-17.

Harmanto, N. (2008). Herbal Jamu Pengaruh dan Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal. 95.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. (2009). Informasi Spesialite Obat Volume 44. Jakarta : PT. ISFI. Hal. 37.

Krisnatuti, Diah. (2004). Perencanaan Menu Untuk Penderita Gangguan Asam Urat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 1-14.

Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 185-186.

Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Cetakan I. Jakarta : Penerbit Swadaya. Hal. 24.

Priyanto. (2009). Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jawa Barat : Lembaga Studi dan Farmakologi. Hal. 41, 43, 51-52.

Rohman, Abdul. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, 360.


(34)

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 28-29.

Sudoyo, Aru. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Penerbit FKUI. Hal. 1073 dan 1331.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya : Penerbit Airlangga. Hal. 25.

Tjokronegoro, Arjatmo. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.

Utami, Prapti. (2003). Tanaman Obat Untuk Mengatasi Rematik dan Asam Urat. Tangerang : PT Agromedia Pustaka. Hal. 23-38.


(35)

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf Harga Rf

Jarak rambat eluen : jarak titik pusat bercak

Baku Fenilbutazon : 0,92 15

9 ,

13 =

Sampel jamu : 0,92 15

9 ,


(36)

(1)

umumnya dimaksudkan untuk menghilangkan gejala sakit segera seperti pada pegal linu dan asam urat, ataupun secara farmakologis menekan rangsang makan pada susunan syaraf pusat seperti pada obat-obat pelangsing.

Umumnya, BKO yang digunakan adalah obat keras (daftar G) yang sebagian besar menimbulkan efek samping ringan sampai berat seperti iritasi saluran pencernaan, kerusakan hati/ginjal, serta gangguan penglihatan. Pada efek samping ringan, gangguan/kerusakan terjadi dapat bersifat sementara atau reversible. Pada efek samping berat, bisa terjadi gangguan/kerusakan permanen pada jaringan/organ sampai kematian. Hal ini jelas disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya.

Fenilbutazon memang digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dan sejenisnya. Fenilbutazon dan oksifenbutazon juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik. Efek antiinflamasi sama dengan salisilat. Efek urikosuriknya lemah dengan menghambat reabsorbsi asam urat melalui tubuli. Dalam dosis kecil fenilbutazon justru mengurangi sekresi asam urat oleh tubuli (Munaf, 1994).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat fenilbutazon dalam jamu linurat secara kromatografi lapis tipis, dimana jamu yang diperiksa diketahui positif mengandung bahan kimia obat yaitu fenilbutazon.

5.2 Saran

Sebaiknya jamu yang beredar dipasaran benar-benar sudah memenuhi persyaratan. Dan pengujiannya tidak hanya dilakukan pada satu daerah saja melainkan pada semua daerah. Pengujian yang dilakukan tidak hanya pada kandungan bahan kimia obatnya saja, dilakukan juga uji yang lainya seperti kadar air, angka lempeng total, angka kapang khamir, mikroba patogen sampai dengan wadah, untuk mencegah peredaran jamu-jamu yang tidak memiliki izin edar, nomor registrasi, sampai dengan yang sudah melewati tanggal kadaluarsa agar jamu-jamu tersebut memang benar-benar aman bila digunakan.

Perusahaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan maka perusahaan itu harus diberi peringatan oleh instansi terkait seperti penarikan obat dari peredaran termasuk penarikan iklan, penghentian sementara kegiatan pembuatan,


(3)

distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan obat, serta pencabutan izin edar obat untuk selanjutnya tidak akan ditemukan lagi sediaan yang tidak memenuhi persyaratan.

DAFTAR PUSTAKA

Dalimartha, Setiawan. (2008). Resep Tumbuhan Obat Untuk Asam Urat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 3-4, 33-35.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta : Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : DEPKES RI. Hal. 665-666, 1002, 1061.

Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta : DEPKES RI

Ebel, Siegfried. (1979). Obat Sintetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hal. 64.

Egon, Stahl. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : Penerbit ITB. Hal. 3-17.

Harmanto, N. (2008). Herbal Jamu Pengaruh dan Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal. 95.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. (2009). Informasi Spesialite Obat Volume 44. Jakarta : PT. ISFI. Hal. 37.

Krisnatuti, Diah. (2004). Perencanaan Menu Untuk Penderita Gangguan Asam Urat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 1-14.

Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 185-186.

Mursito, B. (2002). Ramuan Tradisional Cetakan I. Jakarta : Penerbit Swadaya. Hal. 24.

Priyanto. (2009). Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jawa Barat : Lembaga Studi dan Farmakologi. Hal. 41, 43, 51-52.

Rohman, Abdul. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, 360.


(4)

Sastrohamidjojo, Hardjono. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 28-29.

Sudoyo, Aru. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Penerbit FKUI. Hal. 1073 dan 1331.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya : Penerbit Airlangga. Hal. 25.

Tjokronegoro, Arjatmo. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.

Utami, Prapti. (2003). Tanaman Obat Untuk Mengatasi Rematik dan Asam Urat. Tangerang : PT Agromedia Pustaka. Hal. 23-38.


(5)

Lampiran 1. Perhitungan Harga Rf

Harga Rf

Jarak rambat eluen : jarak titik pusat bercak

Baku Fenilbutazon : 0,92 15

9 , 13 =

Sampel jamu : 0,92 15

9 , 13 =


(6)