Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

(1)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID

PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

TUGAS AKHIR

OLEH :

HENDRA GUNAWAN

NIM 112410006

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID

PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK SECARA

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HENDRA GUNAWAN

NIM 112410006

Medan, Mei 2014 Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing,

Dr. Sumaiyah, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197712262008122002

Disahkan Oleh : Pembantu Dekan I,


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)”, yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, dengan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Sumaiyah S.Si., M.Si., Apt. yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU. 4. Bapak Drs. I Gde Nyoman Suandi, M.M., Apt., selaku Kepala Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

5. Ibu Lambok Oktavia SR, S.Si., M.Kes., Apt., selaku koordinator pembimbing praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.


(4)

6. Bapak dan Ibu seluruh staf di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

7. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda Ade Burhan dan Ibunda Yusniati tercinta serta Kak Lia, Kak Yuli, dan Bang Asep yang telah memberikan do’a, semangat dan motivasi sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

Terima kasih kepada teman dekat dan sahabat penulis Bang Denny, Adhli, Alfalah, Faisal, Boston, Nevi, Ecik, Sofhy, Nurzah dan Winda yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Seluruh teman-teman mahasiswa Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis berharap Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak, penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, untuk itu penulis mengharapankan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Mei 2014 Penulis

Hendra Gunawan NIM 112410006


(5)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK

SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) ABSTRAK

Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Judul ………. i

Lembar Pengesahan ...……… ii

Kata Pengantar ....…..……….………... iii

Abstrak ……….………. v

Daftar Isi ……….……….. vi

Daftar Tabel ……….. ix

Daftar Gambar ……….. x

Daftar Lampiran ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ……….……….. 1

1.1 Latar Belakang ……….………. 1

1.2 Tujuan ………..……….………. 3

1.3 Manfaat ……….………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……..………. 5

2.1 Obat Tradisional ………..…………... 5

2.1.1 Jamu ……….………. 6

2.2 Serbuk Obat Tradisional ………. 6

2.3 Diabetes ………..……… 8

2.3.1 Obat Hipoglikemik Oral ……… 11

2.3.2 Golongan Sulfonilurea ……….. 12


(7)

2.4 Kromatografi Lapis Tipis …….………... 14

2.4.1 Komponen Kromatografi Lapis Tipis ……….. 17

2.4.1.1 Fase Diam ………. 17

2.4.1.2 Fase Gerak ……… 18

2.4.1.3 Bejana Pemisah dan Penjenuh ……….. 18

2.4.1.4 Penotolan Sampel ………... 18

2.4.1.5 Deteksi Bercak ……….. 19

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ……….. 20

3.1 Tempat Pengujian ……….. 20

3.2 Alat ……… 20

3.3 Bahan ………... 20

3.4 Prosedur ………... 21

3.4.1 Larutan Uji .………... 21

3.4.2 Larutan Baku ……… 21

3.4.3 Identifikasi ……… 21

3.5 Persyaratan ………. 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...………. 23

4.1 Hasil ………..………. 23

4.2 Pembahasan ……… 23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……..……….. 25

5.1 Kesimpulan ……… 25

5.2 Saran ……….. 25


(8)

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 ... 9 Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid …………... 12


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid

Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi

Lapis Tipis (KLT) ……….. 26 Lampiran 2. Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada

Jamu Diates ...………. 28 Lampiran 3. Sampel Jamu Diates ………... 29


(12)

IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT GLIBENKLAMID PADA JAMU DIATES BENTUK SERBUK

SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) ABSTRAK

Bahan kimia obat umumnya digunakan pada pengobatan secara modern. Penggunaan bahan kimia obat pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan bahan kimia obat yang ada di dalam jamu. Bahan kimia obat di dalam jamu tidak disertai takaran/dosis, aturan pakai yang jelas, dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam penggunaannya. Hal ini jelas menjadi sangat berbahaya dalam penggunaannya dan dikarenakan juga Glibenklamid termasuk salah satu golongan obat keras. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu bentuk serbuk ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu Diates yang akan diedarkan di pasaran ada mengandung bahan kimia obat atau tidak. Glibenklamid digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah. Identifikasi Glibenklamid dalam jamu Diates dilakukan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan, identifikasinya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis. Hasil yang diperoleh dari harga Rf baku pembanding Glibenklamid BPFI adalah 0,167 sedangkan pada sampel tidak memiliki noda, dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa obat tradisional negatif mengandung bahan kimia obat Glibenklamid sehingga sampel yang diuji dinyatakan memenuhi persyaratan sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Ditjen POM, 1994).

Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa perlu terus dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Produksi dan penggunaan obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat, baik jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman obat, usaha industri obat tradisional, penjaja dan penyeduh obat tradisional atau jamu. Bersamaan dengan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik ke arah pengembangan fitofarmaka (Ditjen POM, 1999).

Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996).


(14)

Komposisi jamu yang ada pada umumnya terdiri dari beberapa macam simplisia yang satu sama lain saling berinteraksi, mendukung maupun menetralisasikan. Itulah sebabnya daya kerja jamu tidak dapat diharapkan secepat efek obat dalam bentuk kimia murni yang dapat dengan langsung ditujukan kepada penyakit (Soeparto, 1999).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.661/Menkes/SK/VII/1994 telah ditetapkan bahwa dalam jamu tidak boleh mengandung bahan kimia obat. Jika dalam jamu mengandung bahan kimia obat maka jamu tersebut dikatakan tidak memenuhi syarat karena bahan kimia obat dalam jamu bersifat racun.

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional (Anonim, 2008). Bahan kimia obat di dalam obat tradisional inilah yang menjadi selling point bagi produsen. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya, atau bahkan semata-mata meningkatkan penjualan, karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh (Yuliarti, 2008).


(15)

Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik atau obat yang menurunkan kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai petunjuk dokter. Jangan mengubah dosis atau mengganti jenis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang terjadi bila dosis obat terlalu rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi kronis yang lebih dini. Dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia (Dalimartha, 2007).

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang dipisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid dalam Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah untuk mengetahui apakah jamu yang akan diedarkan di pasaran mengandung bahan kimia obat Glibenklamid.


(16)

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid dalam Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis adalah agar mengetahui bahwa jamu yang akan diedarkan di pasaran tersebut memenuhi persyaratan yang disyaratkan sehingga aman untuk dikonsumsi.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan, mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

Dalam pembuatan dan pengolahan obat tradisional biasanya ditambahkan zat tambahan atau eksipien agar obat tradisional yang dihasilkan memiliki penampakan atau rasa yang lebih menarik, lebih awet dalam penyimpanan, dan menstabilkan senyawa yang dikandungnya. Bahan tambahan yang biasa digunakan dapat dibedakan menjadi bahan tambahan alami dan bahan tambahan kimia. Bahan tambahan kimia pada umunya bersifat racun karena itu perlu ada pembatasan penggunaanya serta sejauh mungkin agar dihindari. Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam obat tradisional antara lain bahan pengawet, pewarna, dan bahan pengisi (Wasito, 2011).


(18)

Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).

2.1.1 Jamu

Jamu adalah obat tradisional berupa ramuan yang berasal dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit batang, dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996). Jamu harus memenuhi kriteria, yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Tjokronegoro, 1992).

Jamu tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Di pasaran, kita bisa menjumpainya dalam herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam bentuk segar rebusan (jamu godok) sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong. Demi alasan kepraktisan, kini jamu juga diproduksi dalam kapsul dan dalam bentuk pil siap minum. Pada umumnya jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan leluhur, yang belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal secara empiris (berdasarkan pengalaman turun temurun) (Yuliarti, 2008).

2.2 Serbuk Obat Tradisional

Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok;


(19)

bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan serbuk ini penggunaannya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat tumbuh-tumbuhan yang dikeringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua atau lebih unsur kimia murni yang dibuat menjadi serbuk dalam perbandingan tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi:

Kadar air : Tidak lebih dari 10% Angka lempeng total : Tidak lebih dari 106 kol/g Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 104 kol/g Mikroba patogen : Negatif

Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj.

Bahan tambahan : Pengawet; serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari air atau campuran etanol-air bila diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet. Pemanis; gula tebu (gula pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang belum menjadi zat kimia murni. Pengisi; sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan galenik.


(20)

Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 1994).

2.3 Diabetes

Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2007).

Penyebabnya ialah kekurangan hormon insulin untuk pembakaran glukosa sebagai sumber energi dan untuk sintesa lemak; akibatnya terjadi hiperglikemik (meningkatnya kadar gula darah) (Anief, 2010).

Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun alias kronis. Penderitanya dari semua lapisan umur serta tidak membedakan orang kaya ataupun miskin (Dalimartha, 2007)

Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes proses tersebut terganggu dimana glukosa tidak dapat masuk ke dalam


(21)

sel, oleh karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).

Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama di malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh (Waspadji, dkk., 2002).

Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: a. Diabetes melitus tipe 1

Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).

Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal memberi respons terhadap masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek, dkk., 2001).

b. Diabetes melitus tipe 2

Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Penderita terutama yang berada pada tahap awal, umumnya


(22)

masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, dkk., 2001). Di samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh walaupun kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan gaya hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).

Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007). Perbandingan perbedaan diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 dapat dilihat pada tabel 2.1.


(23)

Tabel 2.1 Perbandingan Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Mula muncul Umumnya masa kanak-kanak dan remaja, walaupun ada juga pada masa dewasa < 40 tahun

Pada usia tua, umumnya > 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosis

Berat Ringan

Kadar Insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal Pengelolaan yang

disarankan

Terapi Insulin, diet, olah raga

Diet, olah raga, hipoglikemik oral (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005)

2.3.1 Obat Hipoglikemik Oral

Apabila perencanaan makan, latihan jasmani, dan penurunan berat badan tidak cukup berhasil menurunkan kadar glukosa darah sampai ke batas normal barulah penderita memerlukan obat. Obat untuk penderita diabetes mellitus dikenal sebagai obat hipoglikemik atau obat yang menurunkan kadar glukosa dalam darah. Walaupun efektif dan mudah dipakai tetapi harus digunakan sesuai petunjuk dokter. Tidak diperbolehkan mengubah dosis atau mengganti jenis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu. Bahaya yang terjadi bila dosis obat terlalu rendah yaitu mengakibatkan timbulnya komplikasi kronis yang lebih dini. Dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia.

Hipoglikemia merupakan komplikasi akut dari penderita diabetes melitus. Hipoglikemia adalah kadar gula darah (true glucose) penderita yang sangat rendah, yakni kurang dari 50 mg/dl. Kadang-kadang gejala timbul pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat


(24)

cepat. Keadaan ini terjadi mendadak dan dapat dipastikan dengan mengukur kadar glukosa darah. Hipoglikemia yang terjadi harus diatasi dengan segera, bila tidak akan cepat menjadi parah dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dan kejang-kejang.

Ada 2 macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang dapat diminum. Yang berupa tablet, biasa disebut juga obat hipoglikemik oral (OHO) atau oral antidiabetes (OAD). Pemakaian istilah obat antidiabetes (OAD) pada beberapa pustaka sudah mulai ditinggalkan, karena memang tidak ada obat yang dapat menyembuhkan diabetes mellitus. Obat ini sebaiknya tidak digunakan pada penderita diabetes mellitus yang disertai gangguan fungsi ginjal dan hati (Dalimartha, 2007).

Untuk sediaan Obat Hipoglikemik Oral terbagi menjadi 2 golongan : 1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin atau merangsang sekresi insulin

di kelenjar pankreas, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonylurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Gliburida/Glibenklamid, Glipizida, Glikazida, Glimepirida, Glikuidon, Repaglinide, Nateglinide, Tolbutamid, dan Klorpropamid.

2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara efektif. Contoh-contoh senyawa dari golongan ini adalah Metformin, Rosiglitazone, Troglitazone, dan Pioglitazone.


(25)

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung kepada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).

2.3.2 Golongan Sulfonilurea

Obat yang termasuk golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi dengan cara merangsang keluarnya insulin dari sel ß pankreas. Bila pankreas sudah rusak sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi maka obat ini tidak dapat menurunkan kadar glukosa darah. Itulah sebabnya obat golongan ini tidak berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I. Namun, akan berkhasiat bila diberikan pada pasien DM tipe II yang mempunyai berat badan normal (Dalimartha, 2007).

2.3.3 Glibenklamid

Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)etil]benzen sulfonil]-3-sikloheksilurea. Glibenklamid juga dikenal sebagai 5-kloro-N-[2-[4-{{{(sikloheksilamino)karbonil}amino}sulfonil}-fenil] etil]-2-metoksibenzamida dan sebagai 1-[[p-[2-(5-kloro-o-anisamido)etil]fenil]sulfonil]-3-sikloheksilurea. Sinonim glibenklamid adalah gliburid (Depkes RI, 1995).


(26)

Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid Berat Molekul : 494,0

Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam eter; sukar larut dalam etanol dan dalam methanol; larut sebagian dalam kloroform (Depkes RI, 1995).

Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih kuat dari Tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea lainnya. Gliburid/Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. Gliburid/Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal pagi hari. Efek biologi Gliburid/Glibenklamid jelas menetap 24 jam setelah dosis tunggal pagi hari pada pasien diabetes. Dosis awal yang biasa 2,5 mg/hari dan dosis pemeliharaan rata-rata 5-10 mg/hari yang diberiikan sebagai dosis tunggal pagi hari, dosis pemeliharaan yang lebih dari 20 mg/hari tidak direkomendasikan. Bila pemberian dihentikan obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Handoko dan Suharto, 1995).


(27)

2.4 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (titik awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh dalam bejana ditutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Depkes RI, 1995).

Kromatografi lapis tipis mempunyai keuntungan yaitu, dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakannya setiap saat secara cepat.

Mengidentifikasi komponen dalam kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultra violet. (Rohman, 2009).

Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan melihat florosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu:

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya


(28)

Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap harga-harga Rf meskipun menggunakan fase gerak dalam larutan yang sama, tetapi hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap yang sama juga ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen.

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.

4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase gerak

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan. 5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan 6. Teknik percobaan

Arah gerakan pelarut di atas plat (metode aliran penaikan yang hanya diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun teknik aliran penurunan dan mendatar juga digunakan).

7. Jumlah cuplikan yang digunakan

Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.


(29)

8. Suhu

Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.

9. Kesetimbangan

Kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah.

Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).

2.4.1 Komponen Kromatografi Lapis Tipis 2.4.1.1 Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya (Rohman, 2009).


(30)

Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya. Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdangangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri, dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.1.2 Fase Gerak

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanya pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan digunakan sistem pelarut multi komponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran yang dinyatakan dalam bagian volume sedemikian rupa, sehingga volume tetap 100, misalnya: benzen: kloroform: asam asetat 96% (50 : 40 : 10).

2.4.1.3 Bejana Pemisah dan Penjenuhan

Bejana harus dapat menampung plat 200×200 mm dan harus tertutup rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya 18–20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah


(31)

dalam bejana dengan uap pelarut pengembangan mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram (Stahl, 1985).

2.4.1.4 Penotolan Sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih dari pada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan

ditotolkan lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan

bercak yang menyebar dan puncak ganda. 2.4.1.5 Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar ultraviolet. Lapisan tipis sering mengandung indikator fluoresensi yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak berwarna pada lapisan yang telah dikembangkan. Indikator fluoresensi ialah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar ultraviolet. Indikator fluoresensi yang paling berguna ialah sulfida anorganik yang memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm. Indikator fluoresensi terdapat


(32)

dalam penjerap niaga dan lapisan siap pakai sekitar 1% dan tampaknya tidak berperan dalam proses kromatografi (Rohman, 2009).


(33)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Tempat Pengujian

Pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis dilakukan di Laboratorium Obat Tradisional, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Medan yang berada di Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.

3.2 Alat

Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, beaker glass, bejana, corong, corong pisah, erlenmeyer, gelas ukur, kertas perkamen, kertas saring, labu tentukur, lemari asam, magnetic stirer with heating, neraca analitik, pemanas, pipet tetes, seperangkat alat klt, spatula, statif dan klem, syringe, dan vial.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah akuades, asam format, butil asetat, etanol, glibenklamid BPFI, H2SO4 1 N, kloroform, NaOH 1 N, sampel Jamu Diates, dan toluen.


(34)

3.4 Prosedur 3.4.1 Larutan Uji

Sejumlah satu dosis cuplikan serbuk halus ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 125 ml, ditambahkan 50 ml air dan dibasakan dengan larutan natrium hidroksida 1 N hingga pH 9-10 dan dikocok selama 30 menit dan saring. Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes larutan asam sulfat 1 N hingga pH 3-4 dan diekstraksi tiga kali. Setiap kali menggunakan 30 ml kloroform. Ekstrak kloroform dikumpulkan dan diuapkan hingga kering. Sisa penguapan dilarutkan dalam 5,0 ml etanol (A).

3.4.2 Larutan Baku

Sejumlah lebih kurang 10 mg Glibenklamid BPFI ditimbang seksama. Masukkan ke dalam labu tentukur 5 ml. Larutkan dan encerkan dengan etanol hingga garis tanda (B).

3.4.3 Identifikasi

Larutan A dan B masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi lapis tipis sebagai berikut :

Fase diam : Silika gel GF 254

Fase gerak : Butil Asetat : Toluen : Asam Format (50 : 50 : 0,4) Penjenuhan : Dengan kertas saring

Volume penotolan : Larutan A 100 µL dan larutan B 50 µL Jarak rambat : 15 cm


(35)

3.5 Persyaratan

Obat tradisional tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Sesuai dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.


(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa jamu yang diuji tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada Jamu Diates tidak menghasilkan kromatogram.

Perhitungan Rf dan kromatogram hasil pengujian dari kromatografi lapis tipis (KLT) dapat dilihat pada lampiran.

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengujian kromatografi lapis tipis, menunjukkan bahwa sampel tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid karena pada sampel tidak menghasilkan kromatogram.

Masyarakat mengenal obat tradisional sebagai obat yang berasal dari obat bahan-bahan alam saja sehingga aman jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, adanya bahan kimia obat dalam obat tradisional dapat menyebabkan reaksi samping/efek samping jika digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Obat alam tidak dapat memberikan efek dalam waktu singkat setelah pemakaian. Selain itu, penambahan bahan kimia obat dalam obat tradisional juga memungkinkan terjadinya interaksi antara bahan alam dan bahan kimia yang ditambahkan sehingga dapat membahayakan konsumen. Ciri obat


(37)

tradisional yang mengandung bahan kimia obat adalah produk tidak terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia atau produk mencantumkan nomor registrasi yang palsu dan memberikan efek dalam waktu yang singkat setelah dikonsumsi (Christin, 2011).


(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil pengujian identifikasi bahan kimia obat Glibenklamid pada Jamu Diates bentuk serbuk secara kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa Jamu Diates tidak mengandung bahan kimia obat Glibenklamid, sehingga dapat disimpulkan bahwa jamu yang diuji memenuhi persyaratan menurut dengan KepMenkes.No.661/Menkes/SK/VII/1994.

5.2 Saran

Sebaiknya pengujian untuk sediaan obat tradisional tidak hanya pada pengujian bahan kimia obat saja, akan tetapi pengujian-pengujian lain untuk memenuhi persyaratan dari sediaan obat tradisional juga harus dilakukan agar sediaan obat tradisional yang akan dipasarkan benar-benar merupakan sediaan yang memenuhi persyaratan dalam segala aspek-aspeknya.

Agar instansi yang terkait terus melakukan upaya yang berkesinambungan untuk memeriksa sediaan-sediaan obat tradisional yang beredar di pasaran, dan jika menemukan sediaan obat tradisonal yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan monografinya, maka perusahaan penghasilnya harus diberi peringatan dan sanksi yang tegas agar untuk selanjutnya tidak ditemukan kembali sediaan-sediaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2010). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 18.

Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tgl: 11 Maret 2014. Christin, D. (2011). Analisis Bahan kimia Obat Dalam BKO.

http://www.scribd.com/doc/75216948/Analisis-Bahan-Kimia-Obat-Dalam-BKO. Tgl: 11 April 2014.

Dalimartha, S. (2007). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 3, 33-34, dan 47.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen Bina Farmasi & ALKES. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: DEPKES RI. Hal 1, 7, 11-12, 25-27, dan 32. Ditjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional

Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal

410.

Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: DEPKES RI.

Handoko, T. dan Suharto, B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Hal 476-477.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal 260-261, 264-265.

Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, dan 360.

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 28-29.


(40)

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Hal 3, 4, 7, dan 11.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya: Penerbit Airlangga. Hal. 25.

Tjay, T.H. dan Kirana R. (2007). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 739, 741-744, dan 748.

Tjokronegoro, A. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.

Wasito, H. (2011). Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 52-55.

Waspadji, S., Sukardji, K., Syono, S., dan Moenarko, R. (2002). Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 7-8.

Yuliarti, N. (2008). Tips Cerdas mengkonsumsi Jamu. Yogyakarta: Bayu Media. Hal 5-9.


(41)

LAMPIRAN Lampiran 1

Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pelarut : Etanol

Fase Diam : Silika GF254

Fese Gerak : Butil Asetat : Toluen : As. Format (50 : 50 : 0,4) Baku Pembanding : Glibenklamid BPFI

Penjenuhan : Dengan kertas saring Jarak Rambat : 15 cm

Penampak Noda : UV 245 nm, terjadi peredaman fluoresensi Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu

Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis

Nama Zat Bobot Faktor Pengenceran Volume Penotolan Tinggi Bercak Rf Wadah + Zat Contoh Baku Pembanding Glibenklamid BPFI

10 mg 10 mg 10 ml 50 µL 2,5 cm 0,167

Zat Uji

Jamu Diates 10 g 5 ml 100 µL - -

I. Perhitungan Rf Baku Pembanding Glibenklamid BPFI Diketahui : Tinggi Bercak = 2,5 cm


(42)

Perhitungan :

Rf = ������������

�����������

= 2,5��

15��


(43)

Lampiran 2

Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates

Rf =

2,5

15 = 0,167


(44)

Lampiran 3

Sampel Jamu Diates

Nama Contoh : Jamu Diates Komposisi : -

No. Reg : -

No. Batch : - Tanggal Kadaluarsa : -

Netto : 10 bungkus / pot plastik @ 1,5 g Pabrik : Swasta

Tanggal diterima : 04 Februari 2014 Pemerian

Bentuk : Serbuk Rasa : Pahit

Warna : Coklat


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2010). Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 18.

Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tgl: 11 Maret 2014. Christin, D. (2011). Analisis Bahan kimia Obat Dalam BKO.

http://www.scribd.com/doc/75216948/Analisis-Bahan-Kimia-Obat-Dalam-BKO. Tgl: 11 April 2014.

Dalimartha, S. (2007). Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 3, 33-34, dan 47.

Depkes RI. (1994). Persyaratan Obat Tradisional. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ditjen Bina Farmasi & ALKES. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: DEPKES RI. Hal 1, 7, 11-12, 25-27, dan 32. Ditjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional

Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: DEPKES RI. Hal

410.

Ditjen POM. (1999). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: DEPKES RI.

Handoko, T. dan Suharto, B. (1995). Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Hal 476-477.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal 260-261, 264-265.

Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Hal. 45, 52, 252, 261-262, 353-354, dan 360.

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 28-29.

Soeparto, S. (1999). Jamu Jawa Asli. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offest. Hal. 45.


(2)

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Hal 3, 4, 7, dan 11.

Suyono, H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya: Penerbit Airlangga. Hal. 25.

Tjay, T.H. dan Kirana R. (2007). Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi VI. Cetakan Pertama. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hal 739, 741-744, dan 748.

Tjokronegoro, A. (1992). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 27.

Wasito, H. (2011). Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 52-55.

Waspadji, S., Sukardji, K., Syono, S., dan Moenarko, R. (2002). Pedoman Diet Diabetes Mellitus. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 7-8.

Yuliarti, N. (2008). Tips Cerdas mengkonsumsi Jamu. Yogyakarta: Bayu Media. Hal 5-9.


(3)

LAMPIRAN Lampiran 1

Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Pelarut : Etanol

Fase Diam : Silika GF254

Fese Gerak : Butil Asetat : Toluen : As. Format (50 : 50 : 0,4) Baku Pembanding : Glibenklamid BPFI

Penjenuhan : Dengan kertas saring Jarak Rambat : 15 cm

Penampak Noda : UV 245 nm, terjadi peredaman fluoresensi Tabel 4.1 Data Hasil Identifikasi Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu

Diates Bentuk Serbuk Secara Kromatografi Lapis Tipis

Nama Zat Bobot Faktor Pengenceran Volume Penotolan Tinggi Bercak Rf Wadah + Zat Contoh Baku Pembanding Glibenklamid BPFI

10 mg 10 mg 10 ml 50 µL 2,5 cm 0,167

Zat Uji

Jamu Diates 10 g 5 ml 100 µL - -

I. Perhitungan Rf Baku Pembanding Glibenklamid BPFI Diketahui : Tinggi Bercak = 2,5 cm

Jarak Rambat = 15 cm


(4)

Perhitungan :

Rf = ������������

�����������

= 2,5��

15��


(5)

Lampiran 2

Kromatogram Uji Bahan Kimia Obat Glibenklamid Pada Jamu Diates

Rf = 2,5

15 = 0,167


(6)

Lampiran 3

Sampel Jamu Diates

Nama Contoh : Jamu Diates Komposisi : -

No. Reg : -

No. Batch : - Tanggal Kadaluarsa : -

Netto : 10 bungkus / pot plastik @ 1,5 g Pabrik : Swasta

Tanggal diterima : 04 Februari 2014 Pemerian

Bentuk : Serbuk Rasa : Pahit Warna : Coklat