Perjanjian Jual-Beli Melalui Internet Ditinjau Dari Aspek Hukum Perjanjian Perdata

(1)

PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET

DITINJAU DARI ASPEK HUKUM

PERJANJIAN PERDATA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

CHANDRA YADI SIMATUPANG 060200024

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET

DITINJAU DARI ASPEK HUKUM

PERJANJIAN PERDATA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

CHANDRA YADI SIMATUPANG NIM. 060200024

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum NIP. 195611101985031022 NIP. 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRAK

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli malalui internet merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.

Adapun yang menjadi permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana syarat-syarat dan proses pengikatan jual-beli melalui Internet, bagaimana keabsahan perjanjian jual-beli melalui Internet serta bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual-beli malalui Internet. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research).

Dalam pengikatan jual-beli melalui internet terdapat beberapa syarat yaitu cara komunikasi, garansi, biaya, pembayaran, dan kerahasiaan. Proses pengikatan transaksi jual-beli melalui internet dilakukan dalam beberapa tahap yaitu, penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman. Hal-hal yang mempengaruhi keabsahan hukum perjanjian jual-beli melalui internet yakni, perizinan dan domisili perusahaan virtual (virtual company), tanda tangan digital (digital signature), kunci umum pengacakan (public-key crythography),

certification authority, dan pembayaran secara elektronik. Penyelesaian

sengketa yang terjadi dalam perjanjian jual-beli melalui internet dilakukan dengan 2 cara yaitu penyelesaian sengketa di Pengadilan dan penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas Kasih Karunia-Nya, Penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada tahap penyelesaian skripsi pada Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, karena tanpa pertolongan-Nya Penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini, tetapi oleh karena hikmat yang diberikan-Nya akhirnya Penulis dapat menyelesaikan semuanya dengan baik.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Adapun judul dari skripsi ini adalah “PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN PERDATA”. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, Penulis akan sangat berterima kasih jika ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini kedepan dan terlebih-lebih kepada Penulis sendiri.

Dalam proses penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada :


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Syarifuddin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan II dan Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, dan Ibu , selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing I

Penulis yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Puspa Melati Hasibuan SH, M.Hum, sebagai Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan beserta seluruh staf pegawai yang telah memberikan pelayanan dengan baik selama perkuliahan.

7. Kepada Bapak tersayang H.N Simatupang, love u daddy. Untuk Mama yang hebat luar biasa M. Br. Sitopu, atas semuanya yang tidak bisa ku sebutkan disini. Love u so much mom. Untuk Lae Gr. R. Siahaan (Papa Angel), Kakak J. R. Br. Simatupang (Mama Angel), Kakak A. M. Br. Simatupang (Mama Rani), Lae Ambarita (Papa Rani), Abangnda Jan Erwin Simatupang, Adinda Sumedi Roma Arta, makasi banyak atas dukungan selama ini dan semua yang telah diberikan kepada Penulis.


(6)

8. Keluarga Besar Simatupang dan Keluarga Besar Sitopu, yang tak bisa dituliskan satu-persatu atas bantuan, doa dan dukungan kepada Penulis.

9. Sahabat-sahabat terbaik Penulis,yang tak bisa dituliskan satu-persatu, makasi buat semua kebersamaan yang dilewati bersama dan dukungan kepada Penulis.

10. Rekan-rekan satu meja yaitu Hutur-Hutur Group. One song One Dorguk,

Ho do na manggoyang, Dohot au hutur-hutur.

11. Kepada Keluarga Besar Civitas GMKI Cabang Medan khususnya Komisariat FH USU, atas bantuan dan dukungannya kepada Penulis.

Ut Omnes Unum Sint, syalom !!!

Akhir kata, Penulis ucapkan terimakasih atas semua partisipasi dari berbagai pihak lain, dan Penulis juga minta maaf apabila masih ada pihak yang mendukung Penulis tetapi belum sempat dimuat namanya. Dan untuk itu semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penulisan ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II : SYARAT-SYARAT DAN PROSES PENGANGKATAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET ... 10

A. Konsep Perjanjian... 10

1. Pengertian Perjanjian Jual-Beli ... 10

2. Hak dan Kewajiban Dalam Suatu Perjanjian Jual-Beli 13 2.1 Kewajiban Penjual ... 13

2.2 Kewajiban Pembeli ... 16

2.2.1 Tempat Pembayaran ... 17

2.2.2 Hak Menunda Pembayaran ... 18

3. Resiko Dalam Perjanjian Jual-Beli ... 20


(8)

B. Asas-asas Hukum Perjanjian Jual-Beli ... 26

C. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Syarat Pengikatan Jual-Beli melalui Internet... 30

D. Proses Pengikatan Jual-Beli melalui Internet ... 36

BAB III : KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET... 40

A. Pihak-pihak dalam Transaksi pada Internet ... 40

B. Masa Berlakunya Perjanjian Jual-Beli ... 44

C. Dasar Hukum Transaksi di Internet ... 46

D. Keabsahan Perjanjian Jual-Beli melalui Internet ... 50

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI MELALUI INTERNET ... 59

A. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ... 59

B. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ... 72

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran-saran ... 77


(9)

ABSTRAK

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli malalui internet merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.

Adapun yang menjadi permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana syarat-syarat dan proses pengikatan jual-beli melalui Internet, bagaimana keabsahan perjanjian jual-beli melalui Internet serta bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual-beli malalui Internet. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research).

Dalam pengikatan jual-beli melalui internet terdapat beberapa syarat yaitu cara komunikasi, garansi, biaya, pembayaran, dan kerahasiaan. Proses pengikatan transaksi jual-beli melalui internet dilakukan dalam beberapa tahap yaitu, penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman. Hal-hal yang mempengaruhi keabsahan hukum perjanjian jual-beli melalui internet yakni, perizinan dan domisili perusahaan virtual (virtual company), tanda tangan digital (digital signature), kunci umum pengacakan (public-key crythography),

certification authority, dan pembayaran secara elektronik. Penyelesaian

sengketa yang terjadi dalam perjanjian jual-beli melalui internet dilakukan dengan 2 cara yaitu penyelesaian sengketa di Pengadilan dan penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Internet, jaringan komputer terbesar di dunia pada saat ini digunakan oleh berjuta-juta orang yang tersebar di segala penjuru dunia. Internet membantu mereka sehingga dapat berinteraksi, berkomunikasi, belajar bahkan melakukan perdagangan dengan orang dari segala penjuru dunia dengan mudah, cepat dan murah. Penggunaan internet untuk berbagai macam kegiatan ini sudah berbeda jauh dengan tujuan semula adanya jaringan ini. Sejak bisnis terkait dengan komputer dan sistem jaringan global atau yang disebut dengan internet muncul ke permukaan, maka terjadi suatu momentum perubahan terhadap aspek kehidupan masyarakat terutama di dalam bidang transaksi perdagangan.

Transaksi yang dilakukan dengan cara yang konvensional yakni sistem perdagangan dimana penjual dan pembeli bertemu langsung. Barang yang akan dijual berada di dekat pembeli, beralih kepada sistem online yang kebalikan dari jual beli yang biasanya (konvensional) dimana pembeli dan penjual tidak bertemu langsung dan barang yang diperjualbelikan hanya berbentuk gambar atau tulisan yang menjelaskan spesifikasi dari barang yang akan dijual. Mengakibatkan transaksi dapat dilakukan setiap saat dengan cara mengakses sistem produk yang diinginkan dalam jaringan internet.


(11)

Internet dalam dunia bisnis mau tidak mau telah merambah hingga terjadi transformasi ruang perdagangan di dunia nyata, tetapi ruang perdagangan di dunia maya (cyber) juga turut dirambah. Teknologi internet mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian dunia. Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih popular dengan istilah digital economics atau perekonomian digital. Makin banyak kegiatan perekonomian dilakukan melalui media internet. Perdagangan misalnya, semakin banyak mengandalkan

e-commerce sebagai media transaksi. E-commerce pada dasarnya adalah

merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses pemesanan barang, pembayaran transaksi hingga pengiriman barang dikomunikasikan melalui internet.

Penggunaan internet sebagai media perdagangan terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan karena berbagai manfaat yang didapat oleh perusahaan ataupun konsumen dengan melakukan transaksi melalui internet, tetapi hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas karena hanya pada masyarakat golongan tertentu saja yang dapat melakukan transaksi ini. Selain hal tersebut di atas pengaturan mengenai hukum tentang transaksi di internet dan perlindungan konsumen belum ada sehingga kemungkinan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata belum dapat mengatur sehingga kekuatan hukumnya masih perlu dipertanyakan agar kepentingan hukum konsumen atau pembeli dapat terlindungi.


(12)

Dalam upaya menyikapi perkembangan hukum terkait dengan jual-beli melalui internet, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menimbang bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru; bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional; bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.


(13)

Hal-hal yang telah diuraikan di ataslah yang telah menimbulkan rasa ketertarikan bagi penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perjanjian jual-beli melalui internet, yang diangkat dalam sebuah penulisan Karya Ilmiah berbentuk Skripsi dengan judul : “PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN PERDATA”.

B. Rumusan Masalah

Kegiatan atau transaksi jual-beli melalui Internet (E-Commerce) sangat marak dilakukan pada saat sekarang ini oleh masyarakat banyak, akan tetapi dalam implementasinya selain telah memberikan dampak positif bagi masyarakat berupa kemudahan dalam bertransaksi jual-beli ternyata transaksi jual-beli melalui Internet juga masih memiliki kekurangan/kelemahan khusunya mengenai keabsahan hukumnya.

Adapun rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana syarat-syarat dan proses pengikatan jual-beli melalui Internet? 2. Bagaimana keabsahan perjanjian jual-beli melalui Internet?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual-beli malalui Internet?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang maupun sekelompok orang, tentunya akan memiliki tujuan-tujuan yang hendak kita capai. Demikian juga halnya dalam penulisan Karya Ilmiah yang berbentuk Skripsi ini.


(14)

Adapun yang menjadi tujuan dari penulis dalam penulisan Karya Ilmiah yang berbentuk Skripsi ini, antara lain adalah :

1. Untuk mengetahui syarat-syarat dan proses pengikatan jual-beli melalui Internet.

2. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan perjanjian jual-beli melalui internet.

3. Untuk mengetahui mengenai cara yang dapat ditempuh oleh para pihak apabila terjadi sengketa dalam transaksi/perjanjian jual-beli melalui internet.

Setelah Menguraikan tujuan dari penulisan skripsi ini, penulis menemukan beberapa manfaat dalam pembahasan Skripsi ini, yaitu :

1. Merupakan informasi bagi penulis/mahasiswa/dosen/praktisi hukum dalam memahami tinjauan aspek hukum perjanjian perdata mengenai jual-beli melalui internet.

2. Menambah ilmu pengetahuan bagi penulis tentang tinjauan aspek hukum perjanjian perdata yang berlaku di dalam jual-beli melalui internet.

3. Menambah wawasan penulis dalam bidang hukum umumnya, khususnya dalam jual-beli melalui internet.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran penulis serta masukan yang berasal berbagai pihak guna membantu penulisan ini dari awal hingga akhir. Penulis memaparkan suatu “Perjanjian jual-beli melalui


(15)

Internet ditinjau dari aspek Hukum Perjanjian Perdata”. Skripsi ini belum pernah dibuat oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Kalaupun terdapat kesamaan, hal tersebut tidak merupakan suatu kesengajaan dan tentunya dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda, seperti : Judul Skripsi “Aspek hukum Perpajakan dalam transaksi jual-beli melalui internet “, ditulis oleh Launenda Sembiring Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan pembahasan skripsi ini mengenai Aspek-aspek hukum Perpajakan dalam transaksi jual-beli melalui Internet.

Oleh karena itu, penulisan yang berjudul “Perjanjian Jual-Beli melalui Internet Ditinjau dari Aspek Hukum Perjanjian Perdata“ belum ada dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah “Perjanjian”, tentunya bukanlah hal yang asing lagi untuk didengar oleh telinga kita. Mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Mengenai perjanjian sangatlah banyak jenis-jenisnya, antara lain perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, perjanjian hibah, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidupnya maka manusia tak akan terlepas dari perjanjian/transaksi jual-beli.


(16)

Suatu perjanjian jual beli dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pihak pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUHPerdata).

Menurut ketentuan pada Pasal 1457 KUHPerdata, yang dimaksud dengan Perjanjian jual-beli adalah :

“Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.

Pada saat sekarang ini transaksi jual-beli melalui internet sudah sangat lazim/sering digunakan oleh para pelaku usaha. Transaksi jual-beli melalui internet ini sudah menjadi trend dan telah memberikan berbagai manfaat dan keuntungan bagi para pihak. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa perjanjian itu sendiri sangatlah banyak jenis-jenisnya. Apabila berbicara mengenai perjanjian dan jenis-jenisnya tentunya akan membutuhkan pembahasan yang sangat luas dan komprehensif.

Karena keterbatasan waktu, literatur dan pengetahuan dari penulis, maka dalam hal penulisan Skripsi ini, penulis hanya akan membahas mengenai perjanjian jual-beli melalui Internet (e-commerce). Dengan harapan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penulisan Skripsi ini.

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan ini, agar dapat dipertanggungjawabkan sebagai Karya Ilmiah, maka dalam penulisannya digunakan metode penelitian hukum. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan Skripsi ini


(17)

adalah hanya menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), dimana penulis menggunakan dan membaca berbagai buku, literatur, maupun referensi yang berkaitan dengan penulisan judul Skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan tentang perjanjian jual-beli malalui internet ditinjau dari aspek hukum perjanjian perdata tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan tentang apa media internet tersebut, serta bagaimana syarat dan proses pengikatan jual-beli melalui internet. Bagaimanakah keabsahan hukum dari transaksi jual-beli melalui internet bagi para pihak, dan bagaimana penyelesaian jika terjadi sengketa dalam transaksi jual-beli melalui media internet.

Karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini akan mencoba memberikan jawaban terhadap persoalan tersebut di atas dengan sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini disajikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, serta Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : SYARAT-SYARAT DAN PROSES PENGIKATAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET

Dalam bab ini menguraikan secara singkat mengenai Konsep Perjanjian, Asas-asas Hukum Perjanjian Jual-beli, Syarat-syarat Sahnya suatu Perjanjian dan Syarat Pengikatan Jual-beli melalui Internet, Proses Pengikatan Jual-beli melalui Internet.


(18)

BAB III : KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL-BELI MELALUI INTERNET Dalam bab ini sebagai landasan teoritis yang bertujuan untuk

menunjang bab pembahasan yang terdiri dari Pihak-pihak dalam Transaksi, Masa Berlakunya Perjanjian Jual-beli, Dasar Hukum, Keabsahan perjanjian Jual-beli melalui Internet.

BAB IV : PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI MELALUI INTERNET

Dalam bab ini dibahas tentang Penyelasaian sengketa di Luar Pengadilan, Penyelesaian sengketa di Pengadilan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang menjadi pokok-pokok pikiran penulis, berdasarkan atas uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam skripsi ini sebelumnya.


(19)

BAB II

SYARAT-SYARAT DAN PROSES PENGIKATAN JUAL-BELI

MELALUI INTERNET

A. Konsep Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Jual-Beli

Untuk mengetahui perjanjian jual-beli, ada baiknya dilihat Pasal 1457 KUHPerdata yang menentukan “jual-beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk

membayar harga”.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan :

“Jual-beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk wajib menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua”.1

“Jual-beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang”.

Selanjutnya Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan bahwa :

2

Di dalam sistem obligator, apabila barang telah dijual tetapi belum ada penyerahan kepada pembeli, tetapi barang yang dijual itu kemudian dijual kembali untuk yang kedua kalinya oleh si penjual, dan diserahkan kepada pembeli

1

Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Sumur, Bandung, 1991), hal 17

2

R.M Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, (Tarsito, Bandung, 1996), hal 14


(20)

kedua (2), maka barang tidak menjadi milik pembeli kedua, tegasnya apabila A selaku penjual, menjualkan barangnya kepada si B, selaku pembeli yang pertama, sebelum barang diserahkan kepada B, A menjualkannya kepada C, selaku pembeli yang kedua, di dalam Sistem Obligator, perbuatan A, tidak dibenarkan, hal ini seperti yang dimuat di dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Juni 1983, No. 101 K/Sip/63 di dalam perkara ini PT. Daining diputuskan oleh Mahkamah Agung telah menyalahi janjinya untuk menjual sebuah pabrik kepada PT. Ichsani, dalam perkara ini Mahkamah Agung tidak membenarkan Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, bahwa dengan penyetoran uang harga pabrik tersebut oleh tergugat dalam kasasi (PT. Ichsani) di suatu Bank atas rekening penjual, dengan sendirinya pabrik sudah menjadi milik tergugat dalam kasasi, dan juga penyerahan kepada PT. Ichsani tidak mungkin dilaksanakan karena

pabrik tidak lagi barada di tengah PT. Daining, karena telah dikuasai oleh PN. Areal Survey.

Sifat obligator ini sangat berlainan sekali dengan Code Civil Prancis, yang menyatakan bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual adalah sudah berpindah ke tangan pembeli pada waktu persetujuan jual-beli diadakan. Di dalam Hukum Adat di Indonesia, perincian-perincian pengertian obligator dan

sifatnya sama sekali tidak diperlukan.

Menurut Hukum Adat Indonesia yang dinamakan jual-beli, bukanlah persetujuan belaka, yang berada diantara kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik, atas barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu,


(21)

berupa uang oleh pembeli kepada penjual. Dengan demikian dalam Hukum Adat setiap hubungan jual-beli tidak mengikat kepada asas atau Sistem Obligator, atau sistem/asas yang lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa :

“Dalam Hukum Adat ada juga persetujuan antara kedua belah pihak yang berupa mufakat tentang maksud untuk memindahkan hak milik dari tangan penjual ke tangan pembeli dan pembayaran harga pembeli oleh pembeli kepada penjual, tetapi persetujuan itu hanya bersifat pendahuluan untuk suatu perbuatan hukum tertentu yaitu berupa penyerahan tadi. Selama penyerahan barang belum terjadi, maka belum ada jual-beli, dan pada hakekatnya belum ada mengingat apa-apa bagi kedua belah pihak”.3

Cara dan terbentuknya perjanjian jual-beli, bisa terjadi secara

openbar/terbuka, seperti yang terjadi pada penjualan atas dasar Eksekutorial atau

yang disebut excutoriale verkoop. Penjualan Eksekutorial mesti dilakukan melalui lelang di muka umum oleh pejabat lelang. Akan tetapi cara dan bentuk penjualan

Eksekutorial yang bersifat umum ini, jarang sekali terjadi. Penjualan demikian

Tentang perjanjian jual-beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (pasal 1458 KUHPerdata). Jual-beli tiada lain dari persesuaian kehendak (wis overeensteeming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensial perjanjian jual-beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tidak mungkin terjadi jual-beli. Sebaliknya jika barang objek jual-beli tidak dibayar dengan sesuatu harga, jual-beli dianggap tidak ada.

3


(22)

harus memerlukan keputusan pengadilan. Karena itu jual-beli yang terjadi dalam lalu lintas kehidupan masyarakat sehari-hari, adalah jual-beli antara tangan ke tangan, yakni jual-beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak resmi, dan tidak perlu di muka umum. Bentuk jual-belinyapun, terutama jika objeknya barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan. Kecuali mengenai benda-benda tertentu, terutama mengenai objek benda-benda tidak bergerak pada umumnya, selalu memerlukan bentuk akta jual-beli. Tujuan akta ini hanya sekedar mempelajari jual-beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadang-kadang memerlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata.

2. Hak dan Kewajiban Dalam Suatu Perjanjian Jual-Beli

Hal-hal yang berhubungan dengan perjanjian jual-beli pada dasarnya meliputi kewajiban pihak penjual maupun pihak pembeli.

2.1 Kewajiban Penjual

Tentang kewajiban penjual ini, pengaturannya dimulai dari Pasal 1427 KUHPerdata yaitu :

“Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah maka pembelian adalah batal”.

Memang ketentuan penafsiran yang merugikan penjual ini seolah-olah dengan pembeli ketentuan umum. Penjual yang dibebani kewajiban untuk menyerahkan barang ditinjau dari segi ketentuan umum hukum perjanjian, adalah berkedudukan sebagai pihak debitur. Akan tetapi, barangkali rasionya terletak pada hakekat jual-beli itu sendiri.


(23)

Umumnya pada jual-beli, pihak penjual selamanya yang mempunyai kedudukan lebih kuat dibanding dengan kedudukan pembeli yang lebih lemah. Jadi penafsiran yang membebankan kerugian pada penjual tentang pengertian persetujuan yang kurang jelas atau yang mengandung pengertian kembar, tidak bertentangan dengan ketertiban umum (openbare-orde).

Jika pasal 1473 KUHPerdata tidak menyebut apa-apa yang menjadi kewajiban pihak penjual, kewajiban itu baru dapat dijumpai pada pasal berikutnya, yakni Pasal 1473 KUHPerdata pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal tersebut terdiri dari dua, yakni :

1. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli,

2. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembedaan.

Penyerahan barang dalam jual-beli merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis (Juridische Levering) disamping penyerahan nyata (Eitel Jke Levering), agar pemilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut (pasal 1475 KUHPerdata). Misalnya penjualan rumah atau tanah. Penjual menyerahkan kepada pembeli, baik secara nyata maupun secara yuridis, dengan jalan melakukan akte balik nama (overschijving) dari nama penjual kepada nama pembeli, umumnya terdapat pada penyerahan benda-benda tidak bergerak.


(24)

Lain halnya dengan benda-benda bergerak. Penyerahannya sudah cukup sempurna dengan penyerahan nyata saja (pasal 612 KUHPerdata). Mengenai ongkos penyerahan barang yang dijual, diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata yang berbunyi :

“Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli jika tidak telah diperjanjikan sebelumnya” :

- Ongkos penyerahan barang ditanggung oleh penjual

- Biaya untuk datang mengambil barang dipikul oleh pembeli

Namun demikian kedua belah pihak dapat mengatur lain, di luar ketentuan yang disebut di atas. Karena Pasal 1476 KUHPerdata itu sendiri ada menegaskan, ketentuan pembayaran ongkos penyerahan yang dimaksud Pasal 1476 KUHPerdata tadi berlaku, sepanjang para pihak, penjual dan pembeli tidak memperjanjikan lain. Malah kalau dalam praktek sering ditemukan, pembelilah yang menanggung ongkos penyerahan. Jika demikian halnya, sedikit banyak harga penjual akan lebih tinggi dari pembeli yang menanggung ongkos penyerahan.

Jika para pihak tidak menentukan tempat penyerahan dalam persetujuan jual-beli, maka penyerahan dilakukan di tempat terletak barang yang dijual pada saat persetujuan jual-beli terlaksana. Ketentuan ini terutama jika barang yang yang dijual terdiri dari benda tertentu (bepaalde zaak). Bagi jual-beli barang-barang di luar barang-barang tertentu, penyerahan dilakukan menurut ketentuan Pasal 1393 ayat (2) KUHPerdata, penyerahan dilakukan di tempat tinggal


(25)

Adapun barang yang diserahkan harus dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat persetujuan dilakukan. Serta mulai saat terjadinya penjualan, segala hasil dan buah yang timbul dari barang, menjadi kepunyaan pembeli (Pasal 1481 KUHPerdata). Berarti sejak terjadinya persetujuan jual-beli, pembeli berhak atas segala hasil dan buah yang dihasilkan barang sekalipun barang belum diserahkan kepada pembeli. Hal ini erat sekali hubungannya yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembeli adalah atas tanggung si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya. Atas pembebanan risiko yang demikian, tentu pantas untuk mensejajarkannya dengan kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh dari benda tersebut sejak persetujuan jual-beli diadakan, adalah pantas menjadi hak pembeli sekalipun barangnya belum diserahkan. Karena itu, semua hasil atau buah yang timbul sebelum saat penyerahan harus dipelihara dan diurus oleh penjual sebagaimana layaknya seorang bapak yang berbudi baik.

2.2Kewajiban Pembeli

Adapun kewajiban pembeli adalah :

Kewajiban membayar harga (Pasal 1513 KUHPerdata) yang berbunyi :

“Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan”.


(26)

Kewajiban membayar harga merupakan kewajiban yang paling utama bagi pihak pembeli. Pembeli harus menyelesaikan pelunasan harga bersamaan dengan penyerahan barang. Jual-beli tidak akan ada artinya tanpa pembayaran harga. Itulah sebabnya Pasal 1513 KUHPerdata sebagai pasal yang menentukan kewajiban pembeli dicantumkan sebagai pasal pertama, yang mengatur kewajiban pembeli membayar harga barang yang dibeli. Oleh karena itu, sangat beralasan sekali menganggap pembeli yang menolak melakukan pembayaran, berarti telah melakukan “Perbuatan Melawan Hukum” (onrechtmatig).

2.2.1 Tempat Pembayaran

Tempat dan saat pembayaran pada prinsipnya bersamaan dengan tempat dan saat penyerahan barang. Inilah prinsip umum mengenai tempat dan saat pembayaran. Tentu tempat dan saat pembayaran yang utama harus dilakukan di tempat dan saat yang telah ditentukan dalam persetujuan. Jika tempat dan saat pembayaran tidak ditentukan dalam perjanjian, barulah dipedomani prinsip umum di atas. Yakni pembeli wajib malakukan pembayaran di tempat dan saat dilakukan penyerahan barang.

Atas dasar aturan yang diuraikan, maka dapat dilihat :

a. Pembayaran barang generic harus dilakukan di tempat tinggal pembeli. Hal ini sesuai dengan ketentuan, bahwa penyerahan atas barang generik dilakukan di tempat tinggal/kediaman pembeli.

b. Pembayaran barang-barang tertentu dilakukan di tempat dimana barang tertentu tadi terletak ataupun di tempat penjual. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1429 KUHPerdata, yang menentukan penyerahan atas barang-barang tertentu harus dilakukan di tempat dimana barang tertentu terletak ataupun di tempat kediaman penjualan.


(27)

Sesuatu hal yang barangkali dikejar oleh ketentuan Pasal 1514 KUHPerdata, yang pembayaran harus dilakukan di tempat penyerahan barang, bertujuan agar pembayaran dan penyerahan barang yang dibeli, terjadi bersamaan dalam waktu yang sama, sehingga pembayaran dan penyerahan barang terjadi serentak pada tempat dan saat yang sama.

2.2.2 Hak Menunda Pembayaran

Hak menangguhkan/menunda pembayaran terjadi sebagai akibat gangguan (stornis) yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya.

Gangguan itu berupa gugatan/tuntutan berupa hak hipotik pihak ketiga yang masih melekat pada barang. Bisa juga berupa gabungan hak reklame penjual semula oleh karena harganya belum dilunasi. Gangguan itu sedemikian rupa sehingga pembeli benar-benar terganggu menguasai dan memiliki barang tersebut. Hak menunda pembayaran sengaja diberikan kepada pembeli, demi untuk melindungi kepentingan pembeli atas kesewenangan penjual yang tidak bertanggung jawab atas jaminan barang yang dijualnya terbebas dari gangguan dan pembebanan. Oleh karena itu hak menangguhkan pembayaran akibat gangguan baru berakhir sampai ada kepastian lenyapnya gangguan. Kalau yang mengalami gangguan hanya sebagian saja, bagaimana penyelesaiannya. Peristiwa seperti ini tidak ada diatur dalam Pasal 1516 KUHPerdata. Sehingga untuk mencari penyelesaiannya atas kasus-kasus seperti itu, paling tepat mempergunakan analogi aturan yang dirumuskan pada Pasal 1500 KUHPerdata yang berbunyi :


(28)

“Jika yang harus diserahkan hanya sebagian dari harganya, sedangkan bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah sedemikian pentingnya hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan membeli barangnya maka ia dapat meminta pembatalan pembelinya”.

Dengan demikian, jika yang terganggu hanya sebahagian dari harganya, sedangkan bagian itu dalam hubungan dengan keseluruhannya adalah sedemikian pentingnya hingga si pembeli seandainya bagian itu tidak ada, takkan membeli barangnya maka ia dapat meminta pembatalan pembelinya.

Dengan demikian, jika yang terganggu hanya sebahagian saja pembeli dapat memilih :

a. Menuntut pembatalan jual-beli,

b. Jual-beli jalan terus, dan menangguhkan pembayaran hanya untuk sejumlah harga atau sebahagian yang terganggu saja.

Atas kebijaksanaan mempergunakan analogi Pasal 1500 KUHPerdata tersebut, dengan sendirinya telah dapat diatasi permasalahan penanggulangan pembayaran atas gangguan yang terjadi atas sebagian barang. Yakni jual-beli bisa dilanjutkan dengan jalan menunda pembayaran hanya sekedar harga bahagian barang yang terganggu. Selebihnya dapat dilunasi pembeli. Bagaimana halnya, jika pembeli tidak melunasi pembayaran atau menangguhkan pembayaran tanpa alasan? Gangguan maupun cacat tidak ada, namun pembeli tidak mau melakukan pembayaran. Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, penjual dapat menuntut pembatalan jual-beli sesuai dengan ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata. Sebenarnya Pasal 1517 KUHPerdata ini sudah agak berlebihan. Sudah cukup jelas dipergunakan alasan wanprestasi atas dasar moral kredit. Sebab keingkaran


(29)

melakukan pembayaran telah menetapkan pembelian dalam keadaan lalai (mora). Sedangkan keadaan lalai itu sendiri adalah dasar hukum untuk menempatkan seseorang dalam keadaan wanprestasi.

Apa yang diterangkan di atas, menyangkut pembatalan jual-beli atas barang-barang tidak bergerak, jika pembeli enggan membayar harga barang. Kalau objek jual-belinya terdiri dari barang-barang yang bergerak (barang-barang biasa, perabotan rumah tangga dan sebagainya), jika dalam persetujuan telah ditetapkan jangka waktu tertentu bagi si pembeli untuk mengambil barang dan waktu tersebut tidak ditepati oleh si pembeli, jual-beli dengan sendirinya batal menurut hukum tanpa memerlukan teguran lebih dulu dari pihak penjual atau disebut wanprestasi zonder rechtelijke toessennkomst (Pasal 1518 KUHPerdata).

3. Risiko Dalam Perjanjian Jual-Beli

- Objek jual-beli terdiri dari barang tertentu (een zeker en hepaalde-zaak) Jika objek jual-beli terdiri dari barang tertentu, risiko atas barang berada pada pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan pembelian. Sekalipun penyerahan barang belum terjadi, penjual menuntut pembayaran harga seandainya barang tersebut musnah (Pasal 1460 KUHPerdata).

Dari ketentuan pasal 1460 KUHPerdata, jual-beli mengenai barang tertentu, sekejap setelah penjualan berlangsung, risiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak di levering lenyap, pembeli tetap wajib


(30)

membayar. Hanya saja ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata di atas adalah hukum yang mengatur, bukan hukum yang memaksa, karenanya ketentuan tersebut dapat dikesampingkan oleh persetujuan.

Sebenarnya adalah lebih memenuhi logika, bahwa dalam perjanjian timbal balik seperti pada jual-beli apabila salah satu prestasi gugur, dengan sendirinya prestasi yang lainpun harus gugur. Dengan demikian lebih masuk akal, jika barang yang dijual musnah sebelum diserahkan pada pembeli, gugurlah kewajiban pembeli untuk membayar harga.

Adalah lebih baik untuk menentukan risiko dalam jual-beli barang tersebut, tetap berada pada pihak penjual selama barang belum diserahkan pada pembeli. Paling tidak risiko kemusnahan barang tidak menyebabkan pembeli harus membayar harga. Kurang baik rasanya jika pembeli dibebani membayar harga barang yang musnah. Bagaimana dapat diterima akal, jika tetap ada kewajiban membayar sesuatu yang telah musnah nilainya.

Apalagi jika ketentuan Pasal 1460 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan Pasal 1237 KUHPerdata yang menentukan sejak terjadinya perjanjian,

barang yang hendak diserahkan menjadi keuntungan bagi pihak kreditur. Jika debitur melakukan kealpaan, debitur harus menanggung kealpaan tersebut,

terhitung sejak debitur melakukan kealpaan tersebut. Akan tetapi oleh karena

Pasal 1460 KUHPerdata merupakan lex spesialis, ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata sebagai lex generalis, dengan sendirinya tersingkir.

Namun demikian diyakini, Pasal 1460 KUHPerdata itu sendiri belum dapat memberi jawaban atas semua keadaan. Terutama atas persoalan, jika barang


(31)

yang menjadi objek jual-beli tadi benar-benar tidak dapat diserahkan, bukan karena barangnya musnah. Misal, barangnya tidak dapat diserahkan atas alasan impossibilitas objektif, umpamanya karena adanya larangan pemerintah menjual barang tersebut atau karena barang itu dicabut (onteigening) oleh pemerintah. Apakah dalam peristiwa-peristiwa seperti ini pembeli masih tetap diwajibkan membayar harga? Kalau dalam hal-hal seperti inipun pembeli tetap wajib membayar harga, benar-benarlah Pasal 1460 KUHPerdata merupakan ketentuan undang-undang yang paling merugikan bagi pembeli barang tertentu.

- Objek jual-beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan bilangan atau ukuran, risiko atas barang, tetap berada di pihak penjual, sampai pada saat barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1416 KUHPerdata)

Akan tetapi jika barang telah dijual dengan tumpukan atau onggokan, barang-barang menjadi risiko pembeli, meskipun barang-barang itu belum ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1462 KUHPerdata).

Memperhatikan ketentuan Pasal 1461 KUHPerdata, risiko beli atas barang-barang nyata tetap berada pada pihak penjual sampai saat barang-barang itu ditimbang, diukur atau dihitung. Dengan syarat jika barang nyata tadi dijual tidak dengan tumpukan. Apabila barangnya dijual dengan tumpukan/onggokan, barang menjadi risiko beli, sekalipun belum dilakukan penimbangan, pengukuran atau perkiraan.


(32)

4. Saat Terjadinya Perjanjian Jual-Beli

Harga ini harus berupa uang, sebab kalau harga itu berupa suatu barang, maka tidak terjadi jual-beli, melainkan yang terjadi tukar-menukar.

Sifat konsensual dari jual-beli tersebut dapat dilihat pada Pasal 1458 KUHPerdata, yang mengatakan :

“Jual-beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Jadi, dengan lahirnya kata sepakat, maka lahirlah perjanjian itu dan sekalian pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban, oleh karena itu maka perjanjian jual-beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil dan sering juga disebut Perjanjian Obligatoir.

Kadang-kadang para pihak yang mengadakan perjanjian, setelah lahirnya hak dan kewajiban, menganggap dirinya sudah mempunyai status yang lain, artinya sudah menganggap dirinya sebagai pemilik atas barang yang diperjanjikan itu. Sebenarnya belum, pembeli dikatakan menjadi pemilik atas barang semenjak diadakannya penyerahan atau sudah diadakan penyerahan.

Mengenai penyerahan hak milik ini, perlu diperhatikan barang-barang yang harus diserahkan, karena penyerahan barang tidak bergerak berbeda dengan penyerahan barang yang bergerak. Kalau barang bergerak, penyerahannya cukup dilakukan penyerahan secara nyata saja, atau penyerahan dari tangan ke tangan, atau penyerahan yang menyebabkan seketika si pembeli menjadi pemilik barang.


(33)

Penyerahan ini dilakukan berdasarkan Pasal 612 KUHPerdata, Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 616 KUHPerdata, ini sudah ditegaskan dalam Pasal 1549 KUHPerdata, yang mengatakan: Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612 KUHPerdata, Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 616 KUHPerdata.

Pasal 616 KUHPerdata berbunyi :

“Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan Pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata”.

Supaya penyerahan itu sah, menurut sistem kausal harus dipenuhi dua syarat, yakni :

1. Adanya alasan hal yang sah (titel)

2. Orang yang dapat berbuat bebas atas barang itu.

ad.1. Titel adalah hubungan hukum yang mengakibatkan terjadinya penyerahan itu, misalnya, jual-beli, pemberian hibah, tukar-menukar. Kalau perjanjian ini tidak sah, maka penyerahannya tidak sah pula, atau dianggap tidak ada pemindahan hak milik.

ad.2. Orang yang dapat berbuat bebas atas barang itu, yaitu orang yang berkewenangan penuh untuk memindah-tangankan barang itu atau orang yang diberi kuasa oleh si pemiliknya. Ini juga harus diperhatikan supaya penyerahannya itu sah.


(34)

Dengan demikian, agar prinsip perjanjian melalui internet tersebut dapat terlaksana dengan baik, dapat diperhatikan pula ciri-ciri perjanjian melalui internet atau ciri kontrak dagang elektronik, yaitu :

1. Cara berkomunikasi kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan informasi untuk hal yang tidak pantas (illegal).

2. Garansi dan vrijwaring

Bahwa di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh salah satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.

3. Biaya

Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban untuk mambayar ganti rugi dilakukan dengan risk sharing (pembagian risiko).

4. Pembayaran

Mengenai harga dan cara pembayaran apakah pembayaran sekaligus, kredit ataupun pembayaran berdasarkan jumlah tertentu dari tugas yang telah diselesaikan.

5. Kerahasiaan

Dalam hal ini perlu dibuat untuk mamastikan agar para pihak terikat untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian.


(35)

Jadi kalau perjanjiannya tidak sah, seperti yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa atau tidak ada kata sepakat, menyebabkan alasan haknya tidak sah, maka penyerahannya tidak sah, juga bila dilakukan oleh orang yang tidak berhak maka penyerahannyapun tidak sah. Tetapi meskipun orang yang diberi kuasa oleh pemiliknya, maka penyerahannya itu adalah sah, ini sebagai pengecualian (lihat Pasal 1977 KUHPerdata).

Mengenai hal pengecualian ini yang dibenarkannya hanya bila penyerahannya mengandung unsur dagang dan unsur itikad baik, maksudnya bila dalam perjanjian jual-beli (ini unsur perdagangan), terdapat pula unsur itikad baiknya, artinya orang yang membeli itu tidak mengerti, bahwa yang menjualnya itu bukan pemiliknya. Dengan demikian penyerahan itu tetap sah sekalipun dilakukan oleh orang yang bukan pemiliknya, asalkan memenuhi kedua unsur tersebut.

B. Asas-asas Hukum Perjanjian Jual-Beli

Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam asas yang dapat diterapkan, antara lain :

1. Asas Kebebasan Berkontrak atau Sistem Terbuka

Dikatakan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisikan apa saja,


(36)

asalkan tidak melanggar aturan yang memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. Para pihak diperkenankan untuk memperjanjikan hal-hal di luar Undang-Undang sesuai dengan kesepakatan bersama. Hal ini lebih dikenal dengan istilah “hukum perlengkapan” yang berarti bahwa pasal-pasal boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu permasalahan, maka dalam hal permasalahan tersebut mereka tunduk pada ketentuan-ketentuan yan ada pada Undang-Undang. Hal ini dapat kita berikan contoh dalam perjanjian jual-beli, cukuplah kiranya kita untuk setuju tentang barang dan harganya. Sedangkan tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang memikul biaya pengantaran barang, tentang bagaimana kalau barang itu musnah dalam perjalanan, soal-soal itu lazimnya tidak kita pikirkan dan tidak diperjanjikan. Cukuplah mengenai hal-hal tersebut kita tunduk saja pada hukum dan Undang-undang.

Asas ‘sistem terbuka’ dalam perjanjian, mengandung suatu prinsip kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata lainnya disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”


(37)

Dengan menekankan keadaan ‘semua’ maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat, bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-undang. Dengan kata lain, hal membuat atau melakukan perjanjian, kita diperbolehkan memperjanjikan sesuatu bagi kita sendiri yang akan berlaku bagi para pihak dan mempunyai kekuatan hukum seperti halnya sebuah Undang-undang.

2. Asas Konsensualisme

Dalam hukum perjanjian berlaku asas yang dinamakan asas konsensualisme. Perikatan ini berasal dari Bahasa Latin “consensus” yang berarti sepakat. Asas konsensualisme bukanlah berarti suatu perjanjian disyaratkan adanya sepakat, tetapi hal ini merupakan suatu hal yang semestinya, karena suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua belah pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti konsensualisme ialah dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan, mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas tertentu, kecuali untuk perjanjian yang memang oleh Undang-undang dipersyaratkan suatu formalitas tertentu.

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan secara tegas, sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dengan istilah


(38)

“semua”. Kata “semua” menunjukkan setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan, yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.4

3. Asas Itikad Baik

Hukum perjanjian, mengenai pula asas itikad baik seperti yang terdapat pada Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Asas itikad baik ini mengkehendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni dengan mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan. Asas ini adalah salah satu sendi terpenting dari hukum perjanjian.

4. Asas Kepercayaan, yang harus ditanamkan diantara para pihak yang membuat perjanjian.

5. Asas Kekuatan Mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku. 6. Asas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para

pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum.

7. Asas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

4


(39)

8. Asas Moral, adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian.

9. Asas Kepastian Hukum, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.

10.Azas Kepatutan, maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

11.Asas Kebiasaan, maksudnya bahwa perjanjian harus mengikuti kebiasaan yang lazim dilakukan, sesuai dengan isi pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.

C. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian dan Syarat Pengikatan Jual-Beli melalui Internet

Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :5

5

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Jual Beli, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hal 11


(40)

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

Maksudnya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang menjadi kehendak pihak yang satu, juga dikehendaki oleh yang lain. Mereka yang menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian dimulai dari adanya unsur penawaran oleh salah satu pihak dan diikuti dengan penawaran dari pihak lainnya.

Pada Pasal 1321 KUHPerdata ditegaskan :

“Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Perihal unsur paksaan pada pasal tersebut dimaksud adalah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terkena paksaan tadi timbul rasa takut, baik terhadap dirinya sendiri maupun harta, hendaknya dari suatu kerugian yang terang dan nyata (Pasal 1324 KUHPerdata).

Penipuan yang dimaksud adalah suatu tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, sehingga menyebabkan pihak lain dalam perjanjian tersebut menandatangani perjanjian yang bersangkutan, dan jika

seandainya tidak ada unsur penipuan ini (dalam keadaan normal) maka pihak tidak akan bersedia menandatangani perjanjian (Pasal 1328


(41)

Sedangkan unsur kesilapan dalam membuat perjanjian, ketika manakala perjanjian tersebut seseorang dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.6

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Maksudnya hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Ketentuan mengenai kecakapan seseorang diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata.

Tentu saja bila dipandang dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian pada akhirnya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar tanggung jawab yang akan dipikul dengan perbuatan itu.

Orang yang tidak sehat pikirannya tentu tidak mampu menerima tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang yang belum dewasa, harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.

6

Ningrum Sirait, Makalah Hukum Bisnis Kontrak Internasional, (Fakultas Hukum USU, Medan, 2004), hal. 7


(42)

3. Suatu hal tertentu;

Maksudnya sebagai syarat ketiga untuk sahnya suatu perjanjian. Suatu hal tertentu ini mengacu kepada apa (objek) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Barang atau objek tersebut paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang tersebut sudah ada atau sudah berada di tangan si berutang pada saat perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.

4. Suatu sebab yang halal;

Maksudnya perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab disini tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian jual-beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang dan pihak yang lain menginginkan hak milik atas barang tersebut. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal yang mempunyai arti bahwa isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku disamping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan.

Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Artinya, setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Semuanya merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, dan selain itu terdapat juga syarat tambahan bagi perjanjian tertentu saja, misalnya perjanjian perdamaian yang harus dibuat secara tertulis. Keempat syarat ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu :


(43)

a. Syarat Subjektif, yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan dengan subjek perjanjian yang terdiri dari kesepakatan dan kecakapan. Apabila syarat subjektif ini tidak dipenuhi, salah satunya apakah itu kesepakatan para pihak atau kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, dengan kata lain perjanjian ini sah atau mengikat selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan itu. Sesuai dengan bunyi Pasal 1446 KUHPerdata dimana dinyatakan bahwa :

“Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah batal, adalah demi hukum dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka. Harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Pembatalan ini langsung melumpuhkan perbuatan hukumnya, akibatnya ialah bahwa bagi hukum, perbuatan tidak pernah dilakukan”.7

b. Syarat objektif, kelompok syarat yang berhubungan dengan objeknya, yang terdiri dari satu hal yang tertentu dan suatu sebab hal. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta pembatalannya maka perjanjian itu tetap beralih. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, maka perjanjian yang demikian tidak boleh dilaksanakan, karena melanggar hukum dan kesusilaan.

Para ahli hukum Indonesia ,umumya berpendapat bahwa dalam syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, melainkan dapat diminta pembatalannya.8

7

Idris Zainal, Ketentuan Jual-Beli Menurut Hukun Perdata, (Fakultas Hukum USU, Medan, 1983), hal. 18

8

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993), hal. 44


(44)

antara perjanjian yang dapat diminta pembatalan dan perjanjian yang batal demi hukum menurut Prof. Subekti ialah :

“Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh Hakim”.

Agar prinsip perjanjian melalui internet dapat terlaksana dengan baik, dapat diperhatikan pula syarat pengikatan jual-beli melalui internet, yaitu :

a. Cara komunikasi

Kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan informasi untuk hal yang tidak pantas (illegal).

b. Garansi

Bahwa di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh salah satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.

c. Biaya

Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban untuk menggantikan kerugian dilakukan dengan rishk sharing (pembagian risiko).

d. Pembayaran

Mengenai harga dan cara pembayaran, apakah pembayaran sekaligus, kredit ataupun pembayaran berdasarkan jumlah uang yang telah diselesaikan.


(45)

e. Kerahasiaan

Dalam hal ini perlu dibuat untuk memastikan para pihak terikat untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian, kecuali diwajibkan oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku, tidak ada satu pihak pun dalam perjanjian ini yang dibenarkan untuk membeberkan isi dari perjanjian ini dan atau memanfaatkan data-data yang digunakan dalam pelaksanaan perjanjian ini baik yang bersifat teknis, maupun komersial dalam bentuk apapun.

D. Proses Pengikatan Jual-Beli melalui Internet

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Proses pengikatan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut :9

1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui

website pada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront

yang berisi katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual beli melalui di toko online ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.

9

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000), hal. 82


(46)

Penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran melalui internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu, apabila seseorang tidak menggunakan media internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk, maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian penawaran melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut.

2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah

e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju.

Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk ke dalam

website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh

penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu, dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual-beli secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau


(47)

pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran. 3. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak

langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpu pada keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :10 a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan

institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing; b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung

antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya.

c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umunya merupakan

proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain :

sistem pembayaran melalui kartu kredit online serta sistem pembayaran checkin line.

Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pengalihan dari

10


(48)

rekening pembeli kepada rekening penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit dengan cara memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual-beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli walaupun dimungkinkan untuk dilakukan.

4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.

Berdasarkan proses transaksi jual-beli secara elektronik yang telah diuraikan di atas, menggambarkan bahwa ternyata jual-beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.


(49)

BAB III

KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL-BELI

MELALUI INTERNET

A. Pihak-pihak dalam Transaksi pada Internet

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elekteronik (UU ITE), disebutkan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi jual-beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual-beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait di dalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.

Pada transaksi jual-beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual-beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh para pihak yang terkait, walaupun dalam jual-beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui internet.

Dalam transaksi jual-beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain :11

11

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000), hal. 65.


(50)

1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;

2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi jual-beli produk yang ditawarkan oleh penjual pelaku usaha atau merchant.

3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha merchant, karena pada transaksi jual-beli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini Bank;

4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

Pada dasarnya, pihak-pihak dalam jual-beli secara elektronik tersebut di atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban.

Penjual/pelaku usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen. Di samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak ataupun mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjual-belikan. Dengan demikian, transaksi jual-beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi pembelinya.


(51)

Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya, juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual-beli secara elektronik ini.

Seorang pembeli/konsumen memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut. Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan.

Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari seorang penjual, sehingga pembeli tidak dirugikan atas produk yang telah dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak baik.

Bank sebagai perantara dalam transaksi jual-beli secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi yang letaknya saling berjauhan, sehingga pembeli termaksud harus menggunakan fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).


(52)

Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual-beli secara elektronik,

dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli, untuk dapat melakukan transaksi jual-beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerjasama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui internet ini.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual-beli secara elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak di bawah ini :12

1. Business to Business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan

dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual-beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerjasama antara perusahaan itu.

2. Customer to Customer, merupakan transaksi jual-beli yang terjadi antara

individu dengan individu yang akan saling menjual barang.

3. Customer to Business, merupakan transaksi jual-beli yang terjadi antara

individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya. 4. Customer to Government, merupakan transaksi jual-beli yang dilakukan

antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam pembayaran pajak. 12


(53)

Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam suatu transaksi jual-beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu saja tetapi dapat individu dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termaksud secara perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual-beli.

B. Masa Berlakunya Perjanjian Jual-Beli 1. Terjadinya Perjanjian Jual-Beli

Harga ini harus berupa uang, sebab kalau harga itu berupa barang, maka tidak terjadi jual-beli, melainkan terjadinya tukar-menukar. Sifat konsensual dari jual-beli tersebut dapat dilihat dari Pasal 1458 KUHPerdata yang mengatakan :

“Jual-beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kesepakatan tentang barang dan harga. Meskipun barang itu belum diserahkan maupun harga belum dibayar”.13

Kadang-kadang para pihak yang mengadakan perjanjian setelah lahirnya hak dan kewajiban, menganggap dirinya sudah mempunyai status yang lain, artinya sudah menganggap dirinya sebagai pemilik atas barang yang diperjanjikan itu, sebenarnya belum, pembeli baru menjadi pemilik atas barang semenjak diadakannya penyerahan barang, pembeli baru jadi pemilik setelah diadakannya penyerahan atau sudah diadakan penyerahan.

Jadi, dengan lahirnya kata sepakat, maka lahirlah perjanjian itu dan sekalian pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban, oleh karena itu perjanjian jual-beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensual.

13


(54)

Mengenai penyerahan hak milik ini, perlu diperhatikan barang-barang yang diserahkan, karena penyerahan barang tidak bergerak, berbeda dengan penyerahan barang yang bergerak. Kalau barang bergerak, cara penyerahannya cukup dilakukan secara nyata saja atau dilakukan dari tangan ke tangan, suatu penyerahan yang menyebabkan seketika si pembeli menjadi si pemilik barang.

Penyerahan ini dilakukan berdasarkan Pasal 612 KUHPerdata, Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 616 KUHPerdata, yang mengatakan :

“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya dilakukan menurut Pasal 612 KUHPerdata, Pasal 613 KUHPerdata, dan Pasal 616 KUHPerdata.”

Pasal 616 KUHPerdata berbunyi :

“Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara yang seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata”.

Supaya penyerahan itu sah, menurut sistem causal harus dipenuhi dua syarat, yakni :

1. Adanya alasan yang sah (title)

Title itu adalah hubungan hukum yang mengakibatkan terjadinya

penyerahan itu, misalnya jual-beli, memberi hadiah, tukar-menukar. Kalau perjanjian ini tidak sah, maka penyerahannya tidak sah pula, atau dianggap tidak ada pemindahan hak milik.

2. Orang yang dapat berbuat bebas atas barang itu

Yaitu orang yang berkewenangan penuh untuk memindahtangankan barang itu atau orang yang diberi kuasa oleh si pemiliknya. Ini juga harus diperhatikan supaya penyerahan itu sah.


(55)

2. Berakhirnya Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata, perikatan-perikatan hapus (berakhirnya) :

“Karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan dan penitipan; karena pembaharuan utang; karena perjumpaan utang dan kompensasi; karena pencampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat batal; karena lewatnya waktu”.

C. Dasar Hukum Transaksi di Internet

Perubahan drastis dari perilaku komunikasi yang biasanya mempergunakan kertas dan kemudian mempergunakan elektronik merubah sistem kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang beralih kepada bentuk fisik (alam wujud) ke alam elektronik (non fisik) disebutkan sebagai ruang maya (cyberspace). Di dalam ruang maya ini, anggota masyarakat melakukan kegiatan berupa perbuatan hukum yang berfokus pada bisnis yang mempunyai dampak pada seluruh bidang hukum, antara lain hukum pidana, hukum administrasi, hukum internasional, hukum pajak dan sebagainya.

Dalam bidang hukum perdata bisnis, kegiatan alam maya ini terjadi dalam bentuk kontrak dagang elektronik (electronic commerce), kontrak dagang tidak lagi merupakan paper based economy, tetapi digital economy. Pemakaian benda tidak berwujud semakin tumbuh dan mungkin secara relatif akan mengalahkan penggunaan benda yang berwujud. Jika pengaturan electronic commerce dilakukan dengan menerapkan KUHPerdata secara analogi14

14

Analogi yang dimaksud adalah mencari persamaan di dalam sebuah perjanjian yang baru dengan arti perjanjian yang terdapat di dalam KUHPerdata, jadi yang terpenting adalah jika lahir sebuah perjanjian baru maka haruslah terbit Undang-Undang baru yang lebih sesuai dengan bentuk perjanjian baru tersebut. J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Alumni, Bandung, 1993)


(56)

electronic commerce akan diterapkan ketentuan-ketentuan dari KUHPerdata

Buku III (tiga) tentang Perikatan dan KUHDagang) dalam kaitan itu maka secara garis besar dikemukakan beberapa ketentuan yang terpenting di dalam hukum perjanjian.

Apabila melihat segi perjanjian atas pelaksanaan bisnis electronic commerce, maka yang menjadi dasar hukum adalah KUHPerdata, KUHDagang dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dengan adanya perkembangan kebutuhan yang lebih mengikat di dalam perdagangan saat ini, maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk dapat memiliki peraturan electronic commerce adalah :

1. UNCITRAL Model Law on Electronic commerce

Suatu bentuk model law yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan aturan yang dapat digunakan oleh negara-negara baik yang menganut sistem hukum Kontinental ataupun sistem hukum Anglo Saxon. Beberapa ketentuan prinsip utama yang digariskan di dalam

UNCITRAL Model Law on E-Commerce yang merupakan dasar hukum

yang sangat penting adalah bahwa :15

a. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat dikatakan memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum.

15


(57)

b. Dalam hal hukum mengharuskan adanya suatu informasi harus dalam bentuk tertulis, maka suatu data elektronik dapat memenuhi syarat untuk itu jika melihat pembebanan pembuktian dan daluarsa, bahwa yang merupakan alat bukti salah satunya adalah bukti tertulis. Apabila hal ini digunakan, maka data elektronik dapat dijadikan sebagai bukti yang sah.

c. Dalam hal kekuatan pembuktian data yang bersangkutan, maka Data Message memiliki kekuatan pembuktian. Data Message

merupakan informasi yang diperoleh, dikirim, diterima ataupun disimpan biasanya dalam bentuk Electronic Data Interchange (EDI), pesan electronic. telegram, telex, ataupun telecopy.

2. Singapore Electronic Transaction Act (ETA) 1998

Peraturan ini dikeluarkan untuk memfasilitasi perkembangan electronic

commerce. Terdapat beberapa hal yang digariskan dalam ETA ini,

yaitu :16

a. Tidak ada perbedaan antara data elektronik dengan dokumen kertas b. Suatu data elektronik dapat menggantikan suatu dokumen tertulis c. Para pihak dapat melakukan kontrak secara elektronik

d. Suatu data elektronik dapat berupa bukti di pengadilan

e. Jika suatu data elektronik telah diterima oleh para pihak, maka mereka harus bertindak sebagaimana kesepakatan yang terdapat pada data tersebut.

16


(58)

3. EU Model Law on E-Commerce (8 Juni 2000)

Terdapat adanya beberapa hal yang penting diperhatikan khususnya mengenai masalah kontrak ini bahwa :

a. Setiap negara-negara anggota akan memastikan bahwa sistem hukum mereka memperbolehkan kontrak dibuat dengan menggunakan sarana elektronik.

b. Namun para Negara anggota dapat pula mengadakan pengecualian terhadap ketentuan di atas dalam hal :

1) Kontrak dalam hal menciptakan atau melakukan pengalihan hak real estate;

2) Kontrak yang diatur dalam hukum keluarga; 3) Kontrak pengamanan;

4) Kontrak yang melibatkan kewenangan pengadilan;

c. Setiap Negara harus dapat memberikan pengaturan yang relevan atas kontrak elektronik yang berlangsung.

Di Indonesia sendiri, yang menjadi landasan aspek hukum lainnya dari bisnis electronic commerce adalah KUHPerdata, dan perundang-undangan positif lainnya seperti :

1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


(1)

Pada saat sekarang ini, para pihak yang memiliki sengketa jual-beli melalui internet akan lebih condong untuk memilih penyelesaian sengketa melalui di luar jalur pengadilan (non-litigasi) daripada menyelesaikan sengketa melalui jalur peradilan (litigasi). Hal tersebut dapat terjadi karena penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan akan memakan waktu yang lama mengingat banyaknya kasus-kasus yang harus diputus. Selain itu, ada kesan di masyarakat bahwa pengadilan adalah tempat orang-orang jahat.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi yang tepat pada saat sekarang ini adalah melalui jalur perdamaian, arbitrase, mediasi dan konsiliasi. Keunggulan dari penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi tersebut antara lain adalah :

1. Prosedur cepat dan sederhana 2. Biaya yang murah

3. Keputusan dapat diambil dalam waktu yang relatif singkat 4. Putusannya juga telah bersifat final dan mengikat.

Walaupun demikian, perbuatan melawan hukum yang timbul dalam transaksi jual-beli secara elektronik/melalui internet dapat diselesaikan baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai kesepakatan para pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang dapat berakibat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan di atas, dapatlah penulis mengambil jawaban-jawaban yang menjadi inti permasalahan dalam penulisan Skripsi ini. Jawaban dari permasalahan tersebut yang menjadi kesimpulan dalam penulisan Skripsi ini. Maka berdasarkan hasil pembahasan ini, dapatlah dihasilkan rekomendasi yang menjadi catatan untuk perubahan-perubahan di kemudian hari yang merupakan saran pada penulisan Skripsi ini.

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan bagi penulisan Skripsi ini adalah : 1. Bahwa proses pengikatan jual-beli melalui Internet adalah sebagai berikut :

a. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website pada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan.

b. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk ke dalam website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh


(3)

c. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpu pada keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal.

d. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud.

2. Keabsahan hukum dari adanya perjanjian/transaksi jual-beli melalui internet

adalah pada dasarnya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, akan mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang telah membuatnya. Selain itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka tanda tangan yang telah dibuat oleh para pihak dalam transaksi jual-beli melalui internet, akan dapat digunakan sebagai bukti otentik yang mendukung keabsahan dari transaksi tersebut.

3. Bahwa cara yang ditempuh oleh para pihak apabila terjadi sengketa dalam transaksi jual-beli melalui internet tersebut pada dasarnya dapat dilakukan melalui jalur peradilan (litigasi) maupun di luar jalur peradilan (non-litigasi) seperti arbitrase, mediasi, perdamaian dan konsiliasi. Akan tetapi pada umunya para pihak yang bersengketa akan lebih condong untuk menyelesaikan sengketanya melalui jalur non-litigasi karena biayanya relatif murah, keputusan dapat diambil dalam waktu yang relatif singkat, serta kekuatan putusannya juga sama dengan putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat (final and binding).


(4)

B. Saran-saran

Adapun yang menjadi saran bagi penulis dalam penulisan Skripsi ini adalah :

1. Agar transaksi jual-beli melalui internet ini dapat lebih dipublikasikan bagi masyarakat luas, karena melalui transaksi tersebut akan jauh lebih banyak memberikan keuntungan bagi para pihak yang melaksanakannya.

2. Agar peradilan dapat lebih meningkatkan citranya sehingga dapat menumbuhkan rasa kepercayaan dari masyarakat untuk mau menyelesaikan sengketa melalui jalur peradilan, serta dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan para hakimnya dalam rangka penyelesaian sengketa transaksi jual-beli melalui elektronik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Perikatan: Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

Zainal, Idris, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU, Medan, 1983.

Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.

Darus Badrulzaman, Mariam, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994. Sirait, Ningrum, Makalah Hukum Bisnis Kontrak Internasional, Fakultas Hukum

USU, Medan, 2004.

Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, Alumni, Bandung, 1981. ---, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, PT Intermasa, Jakarta, 1987. ---, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1979.

Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1996.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1991.

Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oerip, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 2000.

Hassanah, Hetty, Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa, Materi Perkuliahan, Unikom, Bandung, 2005.


(6)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

KItab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

INTERNET

Uncitral Model Law on Electronic Commerce, Model Law.Com, diunduh tanggal 11 Mei 2011.