Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat)

(1)

TATA CARA PEMBUATAN AKTA PPAT

(STUDI PADA PPAT DI KABUPATEN LANGKAT)

TESIS

Oleh:

FINE HANDRYANI 097011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TATA CARA PEMBUATAN AKTA PPAT

(STUDI PADA PPAT DI KABUPATEN LANGKAT)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FINE HANDRYANI 097011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama : Fine Handryani

NIM : 097011108

Program : Magister Kenotariatan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. K e t u a

Syafnil Gani, SH, M.Hum. Hj. Chairani Bustami, SH, SpN,M.Kn. Anggota Anggota

Ketua Program Magister Kenotariatan Dekan


(4)

Tanggal : 19 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. ANGGOTA : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum.

2. Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn.

3. Dr.T. Keizerina Devi Azwar, SH. CN. M.Hum. 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS.


(5)

PPAT mempunyai peranan besar dalan peralihan hak atas tanah karena memiliki tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang merupakan akta otentik. Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi potensi konflik atau sengketa tersebut dibutuhkan perangkat hukum dan sistem administrasi pertanahan yang teratur dan tertata rapi. Karenanya diharuskan pemindahan hak atas tanah agar bisa didaftar harus dibuktikan dengan akta PPAT. Sebagai akta otentik akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat membuat suatu akta batal demi hukum dan akan mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta tersebut.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT menurut ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya dapat mengakibat akta tersebut batal demi hukum. Akibat dari pembatalan akta tersebut, maka akta PPAT dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan. Selanjutnya sanksi terhadap PPAT yang membuat akta jual beli tersebut dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta.

Sebagai saran dalam penelitian adalah dalam melakukan pembuatan akta jual beli agar PPAT selalu bersandar kepada ketentuan tata cara pembuatan akta PPAT yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, karena akta jual beli yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. Selain itu, diperlukan peran dari Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tugas jabatan PPAT secara periodik.


(6)

A PPAT (official empowered to draw up land deeds) plays an important role in the transfer of land rights because he is responsible for assisting the Head of Land Office cary on the activities of land registration in drawing up an authentic notarial instrument as an evidence of the legal act on the land rights. A set of regulations or an ordely and neatened up land administration system is needed to restraint or, at least, to reduce a potencial conflict or dispute. Therefore, the transfer of land rights, in order that it can be registered, should be proved by a deed signed by the PPAT. As an authentic notarial instrument, the deed should meet the procedures of drawing up the PPAT’s deed which is stipulated in legal provisions and other regulations. If it does not meet the procedures, the deed will be legally void and will eventually be detrimental to one of the parties in the deed.

The research used desciptive method and judicial empirical approach. The data were obtained from the primary and secondary data. The primary data were collected by using interviews with the informants. The secondary data were collected by using primary, secondary, and tertiary data. The device for collecting the data was documentary study interviews, and the data were analyzed qualitatively.

The result of the research showed that legal consequence of drawing up a deed on land rights which did not meet the procedures of drawing up the PPAT’s legally void. The effect of the revocation of the deed was that the PPAT’s deed could degrade its evidence so that it became a private deed. The administrative, civil, or criminal sanction could be imposed on the PPAT who had drawn up the sales deed if is was confirmed by the evidence that he had done criminal act in drawing up the deed. Therefore, it was recommended that, in drawing up the sales deed, the PPAT should comply with legal provisions because the sales deed drawing up by the PPAT was the authentic notarial instrument which had dominant influence on legal certainty on the transfer of land rights. Besides that, the National Land Board should play its role in developing and controlling the PPAT’s job regularly.


(7)

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, atas terselesaikannya penulisan Tesis dengan judul “Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat)”

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.

Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.


(8)

menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Ketua Komisi Pembimbing dalam penelitian ini.

4. Bapak Syafnil Gani, SH, M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

5. Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini

6. Ibu Dr.T. Keizerina Devi Azwar, SH. CN. M.Hum., selaku Anggota Komisi

Penguji yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

7. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., selaku Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.

8. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

10. Kepada PPAT di Kabupaten Langkat yang namanya tidak bisa disebut satu per satu, terima kasih atas masukan, informasi dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada Badan Pertanahan Kabupaten Langkat, terima kasih atas masukan, informasi dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Kepada Abangda Heroylife dan kakak-kakak tercinta, terima kasih atas masukan, informasi dan dukungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Seluruh keluarga besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Kepada rekan seperjuangan stambuk 2009 Group A dan seluruh rekan-rekan lainnya di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya selama ini.


(10)

almarhum Ayahanda H. Habsyah Habib dan almarhummah Ibunda Hj. Rasyidah Rasyid, yang telah membesarkan penulis dan memberikan kasih sayang yang tak terhingga serta telah memberikan doa restunya dan kepada suami tercinta Ardiansyah, untuk kesabaran serta ketulusannya mendampingi penulis dalam menyelesaikan tesis ini serta untuk ananda tersayang Pretty Fakhirah dan Felita Alfiyyah yang selama ini menjadi pemicu semangat penulis sehingga dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Study Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah disisi-Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa Robbal’alamin

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Agustus 2011

Penulis


(11)

I. Identitas Pribadi :

1. N a m a : Fine Handryani

2. Tempat/Tanggal lahir : Pangkalan Brandan, 21 April 1974

3. Alamat : Jalan Palmer I Lingkungan VII Kwala Bingai

Stabat – Kabupaten Langkat.

II. Identitas Keluarga :

1. Nama Suami : Ardiansyah

Tempat/Tanggal Lahir : Kebun Balok, 23 Maret 1978

2. Nama Anak

Anak I : Pretty Fakhirah

Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 12 Juni 2003

Anak II : Felita Alfiyyah

Tempat/Tanggal Lahir : Stabat, 27 Nopember 2008

3. Nama Orang Tua

Bapak : Almarhum H. Habsyah Habib

Ibu : Almarhummah Hj. Rasyidah Rasyid

III. Keterangan Pendidikan :

1. Sekolah Dasar : SD Negeri 020254 Binjai

Tamat tahun 1987 2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 2 Binjai

Tamat tahun 1990

3. Sekolah Menengah Atas : SMU Methodist Binjai

Tamat tahun 1993

4. S-1 Fakultas Hukum : Universitas Pembangunan Panca Budi Medan

Tamat tahun 1999

5. S-2 Magister Kenotariatan : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitan... 23

1. Spesifikasi Penelitian ... 23

2. Metode Pendekatan ... 24

3. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4. Sumber Data... 25


(13)

KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH... 29

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli.. ... 29

1. Pengertian Hak Atas Tanah... 29

2. Pengertian Jual Beli... 31

3. Syarat-syarat Jual Beli Tanah... 33

4. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli. ... 36

B. Peranan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah ... 38

C. Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Beli Oleh Pejabat Pembuat Tanah... 43

D. Pembuatan Akta Jual Beli Yang Tidak Sesuai Ketentuan Peraturan perundang-undangan... 51

BAB III PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN ATAS TATA CARA PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 61 A. Tinjauan Umum Badan Pertanahan Nasional. ... 61

1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional... 61

2. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional ... 62

3. Tugas Badan Pertanahan Nasional... 62

B. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan... 68

C. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT oleh Badan Pertanahan Nasional.. ... 69

D. Kedudukan Blangko Akta PPAT Dalam Pendaftaran Tanah ... 74

E. Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 79


(14)

A. Keabsahan dan Otentisitas Akta PPAT... 86

B. Akibat Hukum Terhadap Akta Jual Beli Yang Tidak Sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.... ... 96

C. Tanggung Jawab PPAT Akibat Cacat Hukum Akta Jual Beli Yang Dibuat Dihadapannya.. ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA


(15)

PPAT mempunyai peranan besar dalan peralihan hak atas tanah karena memiliki tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang merupakan akta otentik. Untuk mencegah atau paling tidak mengurangi potensi konflik atau sengketa tersebut dibutuhkan perangkat hukum dan sistem administrasi pertanahan yang teratur dan tertata rapi. Karenanya diharuskan pemindahan hak atas tanah agar bisa didaftar harus dibuktikan dengan akta PPAT. Sebagai akta otentik akta PPAT haruslah memenuhi tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dapat membuat suatu akta batal demi hukum dan akan mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akta tersebut.

Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT menurut ketentuan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya dapat mengakibat akta tersebut batal demi hukum. Akibat dari pembatalan akta tersebut, maka akta PPAT dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan. Selanjutnya sanksi terhadap PPAT yang membuat akta jual beli tersebut dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta.

Sebagai saran dalam penelitian adalah dalam melakukan pembuatan akta jual beli agar PPAT selalu bersandar kepada ketentuan tata cara pembuatan akta PPAT yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, karena akta jual beli yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. Selain itu, diperlukan peran dari Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tugas jabatan PPAT secara periodik.


(16)

A PPAT (official empowered to draw up land deeds) plays an important role in the transfer of land rights because he is responsible for assisting the Head of Land Office cary on the activities of land registration in drawing up an authentic notarial instrument as an evidence of the legal act on the land rights. A set of regulations or an ordely and neatened up land administration system is needed to restraint or, at least, to reduce a potencial conflict or dispute. Therefore, the transfer of land rights, in order that it can be registered, should be proved by a deed signed by the PPAT. As an authentic notarial instrument, the deed should meet the procedures of drawing up the PPAT’s deed which is stipulated in legal provisions and other regulations. If it does not meet the procedures, the deed will be legally void and will eventually be detrimental to one of the parties in the deed.

The research used desciptive method and judicial empirical approach. The data were obtained from the primary and secondary data. The primary data were collected by using interviews with the informants. The secondary data were collected by using primary, secondary, and tertiary data. The device for collecting the data was documentary study interviews, and the data were analyzed qualitatively.

The result of the research showed that legal consequence of drawing up a deed on land rights which did not meet the procedures of drawing up the PPAT’s legally void. The effect of the revocation of the deed was that the PPAT’s deed could degrade its evidence so that it became a private deed. The administrative, civil, or criminal sanction could be imposed on the PPAT who had drawn up the sales deed if is was confirmed by the evidence that he had done criminal act in drawing up the deed. Therefore, it was recommended that, in drawing up the sales deed, the PPAT should comply with legal provisions because the sales deed drawing up by the PPAT was the authentic notarial instrument which had dominant influence on legal certainty on the transfer of land rights. Besides that, the National Land Board should play its role in developing and controlling the PPAT’s job regularly.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah dan bangunan merupakan benda-benda yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, Tanah dan bangunan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia (kebutuhan papan) yang mempengaruhi eksistensi tiap-tiap individu karena setiap manusia membutuhkan tempat unutuk menetap.Hak-hak atas tanah mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia ini, makin maju masyarakat, makin padat penduduknya, akan menambah lagi pentingnya kedudukan hak-hak atas tanah itu.

Mengingat besarnya peranan hak-hak atas tanah dengan makin meningkatnya harga tanah, maka dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, peralihan hak atas tanah itu dipandang perlu ditingkatkan lebih tinggi dan diatur tersendiri.Dalam pembangunan nasional peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat baik untuk keperluan pemukiman maupun kegiatan usaha. Sebagai capital asset, tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, tidak saja sebagai bahan perniagaan tapi juga sebagai obyek spekulasi. Disatu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan disisi lain harus dijaga kelestariannya.1

1

Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang,


(18)

Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka mulai tanggal tersebut merupakan salah satu tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan pembaruan hukum agraria/hukum tanah Indonesia pada khususnya.2

Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. karena itu perlu diciptakan suatu kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas tanah maupun bagi masyarakat umum, melalui suatu proses pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik mengenai data fisik maupun data yuridis, dan kegiatan semacam ini dikenal dengan sebutan pendaftaran tanah.

Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 2 sub b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (selanjutnya disebut UUPA), merupakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Dibidang ini, pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan 2 tugas, yaitu:

1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.

2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.3

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007, hal. 3.

3

Ali Achmad Chomsah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Jakarta, Prestasi


(19)

Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan penjabaran fungsi ini dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan diantaranya yaitu:

1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data yuridis dan data fisik yang termuat di dalamnya (Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

2. Sertipikat yang telah diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 Tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut (Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

3. Pejabat Pembuat Akta Tanah bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas tanah atau hak atas milik satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu (Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT)


(20)

Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), hal tersebut sesuai dengan ketentuan tentang Peraturan Jabatan PPAT yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang pada Pasal 2 menyatakan :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. jual beli;

b. tukar menukar;

c. hibah;

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. pembagian hak bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik

g. pemberian Hak Tanggungan;

h. pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Pejabat Pembuat Akta Tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Dalam perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia, kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dikukuhkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yaitu:

4

Jimly Asshiddiqie, Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah


(21)

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4) adalah: “Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa PPAT adalah: “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tersebut”.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, secara khusus diatur dalam Pasal 1 butir 1, yang berbunyi: “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.

Selanjutnya Kepala Badan Pertahanan Nasional melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3/1997 telah mengatur bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan (dicetak) oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk artinya tanpa blangko akta PPAT yang dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT. Aturan ini menimbulkan ketergantungan pelaksanaan tugas jabatan PPAT sebagai pejabat umum dengan keberadaan blangko akta PPAT.


(22)

Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA.5

Untuk menjamin hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para pihak.

Pada setiap pembuatan akta dihadapan PPAT, wajib menggunakan blangko yang telah tercetak dan pendistribusiannya melalui Kantor Pertanahan Kota/ Kabupaten. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain dengan mencek bersih sertipikat atau mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.6

Tata cara dan formalitas pembuatan akta otentik adalah merupakan ketentuan hukum yang memaksa, artinya tata cara dan prosedur pembuatan itu harus diikuti dengan setepat-tepatnya tanpa boleh disimpangi sedikitpun. Penyimpangan dari

5

Boedi Harsono, Op.cit., hal. 74.

6Ibid.,


(23)

tatacara dan prosedur pembuatan akta otentik akan membawa akibat hukum kepada kekuatan pembuktian akta itu.

Keberadaan suatu akta otentik dan pejabat umum di Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: “akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.” Pasal tersebut menghendaki adanya Undang-Undang organik yang mengatur tentang bentuk akta otentik dan pejabat umum, tidak mengatur tentang blangko akta otentik.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah merumuskan “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik…” kata-kata membuat diartikan dalam pengertian luas (verlijden) yaitu memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang termasuk mempersiapkan, menyusun dan membuat akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan.

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai tanah tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus di bidang pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya adalah akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti.

Fungsi blangko akta PPAT secara tegas dicantumkan sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan, peralihan hak dan data pendaftaran tanah, hal ini dimuat dalam Pasal 96 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Peraturan


(24)

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap terbuka kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini bisa disebabkan oleh karena adanya cacat hukum pada akta Jual Beli tanah bersertipikat baik yang disebabkan oleh karena adanya penyimpangan atau kesalahan pada pembuatan akta Jual Belinya ataupun karena adanya kesalahan pada prosedur penandatanganan akta Jual Beli tersebut.

Pada saat ini seringkali dalam prakteknya PPAT membuat akta jual beli yang dilakukan dihadapan tidak sesuai dengan tata cara menurut ketentuan peraturan yang berlaku, sehingga hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan. Contoh-contoh pelanggaran yang sering terjadi dalam praktek pembuatan akta PPAT adalah:

a. Menandatangani akte jual beli sebelum dilakukan cek bersih sertifikat dan hanya melakukan cek lisan;

b. Akta jual beli tidak dibacakan oleh PPAT secara rinci namun hanya menerangkan isi akta secara garis besar;

c. Penandatanganan terhadap akte jual beli dilakukan oleh para pihak tidak secara bersamaan;

d. Saksi-saksi tidak pernah terlibat secara langsung dalam suatu proses penandatanganan akta;


(25)

e. Menerima pekerjaan dari rekan sejawat, akan tetapi terhadap akta yang akan dibuat telah ditandatangani sebelumnya oleh para pihak;

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat).

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah?

2. Bagaimanakah peran Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan pengawasan atas tata cara pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah?

3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan prosedur?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui terjadinya pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Untuk mengetahui peran Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan pengawasan atas tata cara pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.


(26)

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan prosedur.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Secara Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat akademis

untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum pertanahan. b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan PPAT sehingga menyadari akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dan dengan demikian dapat menghindarkan PPAT dari kesalahan dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada Kantor PPAT di Kabupaten Langkat)” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Meskipun ada


(27)

peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, namun menyangkut judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut yang pernah dilakukan adalah :

1. Pantas Situmorang, NIM: 067011122, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2008, dengan judul “Problematika Keotentikan Akta PPAT,” dengan permasalahan yang dibahas:

a. Apakah Akta PPAT yang dibuat dalam bentuk blanko atau formulir yang ditetapkan oleh Menteri memenuhi syarat sebagai akta otentik ?

b. Apakah PPAT yang tugas pokoknya membantu kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah memenuhi syarat sebagai pejabat yang membuat akta otentik ?

c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi PPAT dalam melaksanakan tugas dan profesinya ?

2. Nelly Sriwahyuni Siregar, NIM: 067011059, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2008, dengan judul “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah),” dengan permasalahan yang dibahas:

a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan ?

b. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan notaris/PPAT ?


(28)

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak

Jika diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.7

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. “Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui”.8

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto,

7

Lawrence M. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996,

hal. 2.

8


(29)

bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”9

Snelbecker mendefenisikan “teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi

sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.10

Dalam pembahasan mengenai akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT, maka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, yaitu hukum dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri. Keterkaitan dengan elemen-elemen lain merupakan penanda khas atas sistem hukum tersebut. Elemen lain yang dimaksudkan friedman adalah ekonomi dan politik. Gambaran tentang kaitan antar subsistem tersebut tercakup dalam uraiannya mengenai sistem hukum dalam suatu masyarakat merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat tersebut. 11

Lebih lanjut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa tiga komponen utama yang dimiliki sistem hukum, yaitu:

1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal. 6.

10

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja

Rosdakarya, 1993, hal. 34-35.

11

Lawrence M. Friedman, American Law, New York-London, W.W. Norton & Company,


(30)

2. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

3. Komponen kultural yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.12

Ketiga komponen tersebut penting diterapkan dalam kaitannya dengan kegiatan pendaftaran tanah sehingga masyarakat, instansi/pejabat terkait merasa aman dan terlindungi dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah guna mencapai kepastian hukum.

Komponen struktur hukum misalnya merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang. Substansi hukum, sebagai suatu aspek dari sistem hukum, merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut. Tercakup dalam konsep tersebut adalah bagaimana apresiasi masyarakat terhadap aturan-aturan formal yang berlaku. Disinilah muncul konsep hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Oleh karena itu, maka konsep legal subtance juga meliputi apa yang dihasilkan oleh masyarakat.13

Sedangkan budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam komponen tersebut adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide atau gagasannya dan harapan-harapannya. Dengan kata lain hal itu merupakan bagian dari budaya secara umum

12Ibid.,

hal. 17.

13Ibid.,


(31)

yang diorientasikan pada sistem hukum. Gagasan-gagasan dan opini harus dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan perkembangan proses hukum.14

Sistem hukum, sebagai bagian dari sistem sosial harus dapat memenuhi harapan sosial. Oleh karena itu maka sistem hukum harus menghasilkan sesuatu yang bercorak hukum (output of law) yang pada dirinya signifikan dengan harapan sosial. Terdapat 4 (empat) hal yang harus dihasilkan atau di penuhi oleh suatu sistem hukum, yaitu:

1. Sistem hukum secara umum harus dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan masyarakat atas sistem tersebut.

2. Harus dapat menyediakan skema normatif, walaupun fungsi penyelesaian konflik tidak semata-mata menjadi monopoli sistem hukum.Dimana sistem hukum harus dapat menyediakan mekanisme dan tempat dimana orang dapat membawa kasusnya untuk diselesaikan.

3. Sistem hukum sebagai kontrol sosial yang esensinya adalah aparatur hukum, Polisi dan hakim misalnya harus menegakkan hukum.

4. Dalam kaitan dengan fungsi kontrol sosial, desakan kekuatan sosial untuk membuat hukum, harus direspon oleh institusi hukum, mengkristalkannya, menuangkannya kedalam aturan hukum, dan menentukan prinsipnya. Dalam konteks ini, sistem dapat dikatakan sebagai instrumen perubahan tatanan sosial atau rekayasa sosial.15

Hukum pertanahan tidak terlepas dari sistem sosial, yang mana salah satu syarat untuk memperoleh Hak atas tanah harus melalui prosedur pendaftaran tanah yang tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hak atas tanah. Selain itu, pendaftaran yang dilakukan atas hak seseorang mencegah klaim seseorang atas tanah kecuali dia lebih berhak dan dapat mengajukan ke pengadilan negeri setempat dengan membuktikan tentang kebenaran haknya itu sesuai dengan asas pendaftaran tanah

14Ibid.,

hal. 218.

15


(32)

yang negatif yang dianut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pada dasarnya tujuan pelayanan pendaftaran tanah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintahan dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. Catur tertib pertanahan tersebut merupakan tugas yang tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri, tetapi merupakan tugas dan fungsi lintas departemen. Dari keempat tertib pertanahan tersebut di atas salah satu sasaran yang cukup urgen adalah menyangkut administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional merupakan pelaku utama untuk tercapainya tertib administrasi pertanahan.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum atas hak dan batas tanah, Pasal 19 UUPA menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah yang sangat penting artinya untuk mendapat ketenangan dan kepercayaan diri bagi masyarakat yang mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah pertama kali yang meliputi kegiatan pengukuran dan pemetaan, pembukuan tanah, ajudikasi, pembukuan hak atas tanah dan penerbitan sertipikat memerlukan biaya yang relatif tinggi.16

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan

16Ibid.,


(33)

secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya agar orang dalam melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah mendapat jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah.17

Muhammad Yamin berpendapat ”memperbaiki kepastian hukum, memang bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak terjadi sengketa”18 artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan yang dapat memberikan suatu kepastian hukum.

Sementara menurut Soerjono Soekanto bagi kepastian hukum yang penting adalah peraturan dan dilaksanakan peraturan itu sebagaimana yang ditentukan. Apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan kepastian hukum. Dengan demikian kepastian hukum sebagai nilai selalu menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping.19

Dengan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, siapa pun yang berkepentingan akan mudah mengetahui kemungkinan apa yang tersedia baginya untuk menguasai dan menggunakan tanah yang diperlukannya, bagaimana cara memperolehnya, hak-hak, kewajiban serta larangan-larangan apa yang ada didalam

17

Boedi Harsono, Op.cit., hal 69.

18

Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa

Press, 2003, hal. 41-42.

19

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,


(34)

menguasai tanah dengan hak-hak tertentu, sanksi apa yang dihadapinya jika diabaikan ketentuan-ketentuan yang bersangkutan, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan

penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai.20

Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut maka diperlukan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai salah satu pelaksanaan pendaftaran tanah dengan membuat akta PPAT, dimana akta PPAT merupakan salah satu sumber utama kedalam rangka pemilharaan data pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan tanah dan benda-benda di atasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis (juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat; dilakukan melalui prosedur yang telah ditetapkan; menggunakan

dokumen; dibuat dihadapan PPAT.21

PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai pertanahan tentunya harus memiliki kemampuan dan kecakapan khusus dibidang pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari mengingat akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya perbuatan hukum pengalihan hak.

20

Boedi Harsono, Op.cit., hal. 69.

21

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Bandung, Citra Aditya


(35)

PPAT telah diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu,22 sedangkan sebagian lagi dari kegiatan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.

Pendaftaran disini bukan merupakan syarat terjadinya pemindahan hak karena pemindahan hak telah terjadi setelah dilakukan jual belinya dihadapan PPAT. Dengan demikian jual beli tanah telah sah dan selesai dengan pembuatan akta PPAT dan akta PPAT tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi jual beli, yakni bahwa pembeli telah menjadi pemiliknya dan pendaftaran peralihan hak di Kantor Agraria bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual beli tanah dan pendaftaran di sini hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktiannya terhadap pihak ketiga atau umum.23

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud salah satunya adalah jual beli tanah dengan dibuatkan akta jual beli tanah oleh PPAT yang merupakan transaksi yang sering terjadi didalam kehidupan bagi setiap orang, tidak hanya untuk tempat tinggal melainkan juga sebagai investasi atau bisnis yang harganya cenderung meningkat dari waktu ke waktu, karena tanah semakin banyak dibutuhkan orang.

22

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat 1.

23

Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Bandung, Alumni, 1993,


(36)

Selain itu dalam membuat akta jual beli, PPAT harus memperhatikan beberapa hal, yang juga merupakan kewenangannya yaitu:24

1. Kedudukan atau status penjual adalah pihak yang berhak menjual tanah. 2. Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.

3. Pembeli adalah pihak yang diperkenankan membeli tanah.

Ketentuan mengenai administrasi akta PPAT sebagaimana disebutkan pada Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor : 37/1998 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa akta PPAT dibuat sebanyak dua lembar asli, satu lembar disimpan di kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan diberikan salinannya.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional”.25 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, “kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional

24

Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Cetakan Kedua, Jakarta, Rajawali, 1990,

hal. 2-7.

25

Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998,


(37)

yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”26

Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep, yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yangdigeneralisasikandarihal-halyangkhusus,yang disebut dengan defenisi operasional”.27 Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.

Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

1. Akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Misalnya, kesepakatan dua belah pihak yang cakap, dapat mengakibatkan lahirnya perjanjian, yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa.28

2. Akta Otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.29

3. Jual Beli Tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual

mengikatkan

26

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.cit., hal. 133.

27

Samadi Surya Barata, Op.cit, hal. 3.

28

http://www.wikipedia.com, Pengertian Akibat Hukum, diakses tanggal 31 Maret 2011.

29

Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, lembar negara Republik Indonesia No.76 Tahun 1981, Pasal 1868.


(38)

dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual dengan harga yang telah disetujui.30

4. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah

dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.31

5. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.32

6. Tata cara adalah aturan, kaidah, sistem dan susunan menurut ketentuan yang berlaku.33

7. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.34

8. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah Kabupaten atau Kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah

30

Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, lembar negara Republik Indonesia No.76 Tahun 1981, Pasal 1457.

31

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka 20.

32

Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 angka 1.

33

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1457.

34

Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 angka 4.


(39)

dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.35

9. Para pihak adalah perorangan atau badan hukum yang melakukan perbuatan hukum tertentu dihadapan PPAT, mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun.36

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang terdapat dari literature buku-buku maupun ilmu teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematika, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian

tersebut dilakukan analisa dan konstruksi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah.37

1. Spesifikasi Penelitian

“Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi”.38 Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data

35

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka 23.

36

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 ayat 9.

37

Soejono Soekanto dan Sri Mulyadji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7.

38


(40)

secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT, sehingga akan diketahui akibat hukum pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT.

3. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Populasi, adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh, gejala/ kejadian atau seluruh unit yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

Populasi adalah seluruh PPAT di Kabupaten Langkat yang pada saat ini berjumlah sebanyak 20 PPAT, karena untuk mengambil data tidak harus seluruh populasi, maka ditetapkan hanya kepada sebanyak 10 PPAT. Penetapan sampel dilakukan berdasarkan purposive sampling, yang artinya sampel telah ditentukan dahulu berdasar objek yang diteliti. Teknik ini dipakai karena didasarkan pada


(41)

banyaknya akta yang dibuat oleh PPAT tersebut pada setiap bulannya dan selain itu, karena alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya. Selanjutnya data yang diambil dalam penelitian ini adalah pada 10 PPAT yang dijadikan sampel tersebut.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder.

Data Primer dalam penelitian ini, akan dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam (deft interview) dilakukan secara langsung kepada responden dan narasumber. Dalam hal ini, mula-mula diadakan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh jawaban yang memperdalam data primer dan sekunder lainnya.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari :

1. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan


(42)

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

2. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.”39

3. Bahan Hukum Tertier

yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil

39

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,


(43)

penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data.

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka dilakukan wawancara terhadap para responden yang dilakukan secara langsung yaitu antara lain terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Langkat.

6. Analisis Data

Data diperoleh diklasifikasikan yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.40

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia yang didapat dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Semua data yang diperoleh terlebih dahulu diolah agar memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer

maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah- pilah berdasarkan kualitas dan relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang ditidak penting untuk menjawab

permasalahan.

40

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002,


(44)

Kemudian data yang didapat tersebut dipilih dan disistematisasi berdasarkan kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji dengan pemikian yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian. Sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.41

41


(45)

BAB II

PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli 1. Pengertian Hak Atas Tanah

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.

Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa:

Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya.

Sehingga dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga


(46)

penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.42

Hak-hak atas tanah memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.43 Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan. hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum dengan tanah yang bersangkutan.

Adanya hubungan hukum itu, dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah dengan pihak lain seperti jual beli, tukar menukar dan sebagainya.

Seeorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut.

UUPA menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun dengan menelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.

UUPA telah menentukan beberapa macam hak-hak atas tanah yaitu, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

42

Boedi Harsono, Op.cit., hal. 18.

43

Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, Jakarta, Raja


(47)

2. Pengertian Jual Beli

Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, yang dimaksud dengan jual beli adalah “suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk meinbayar harga yang telah dijanjikan”. Dengan kata lain jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjuai.44 Dengan demikian perkataan jual beli ini menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan membeli, jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli yang bertimbal balik.45

Berdasarkan ketentuan diatas, barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.46 Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah adanya barang dan harga yang sesuai dengan asas konsensualisme dalam hukum perjanjian bahwa perjanjian jual beli tersebut lahir sejak terjadinya kata sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak setuju mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka

44

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003,

hal. 7.

45

Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 10, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 1.

46


(48)

mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Dalam perjanjian jual beli yang terdapat penjual dan pembeli memiliki hak dan kewajiban yang bertimbal balik dimana bagi si penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan serta menjamin kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi dan terhadapnya berhak untuk menerima pembayaran harga barang, sedangkan kewajiban si pembeli yang utama adalah membayar harga yang berupa sejumlah uang pada saat pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana yang ditetapkan menurut perjanjian, sedangkan haknya adalah menerima barang yang diperjualbelikan dari penjual tersebut.47

Sementara jual beli menurut hukum pertanahan nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu:48

1) Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

2) Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

3) Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.

Perbuatan hukum jual beli dalam peralihan hak atas tanah merupakan penyerahan tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli untuk selamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada pihak penjual.

47

Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, cet. 11, Jakarta, Intermasa, 1975, hal. 135.

48


(49)

Sehingga pada saat jual beli hak atas tanah itu langsung beralih dari penjual kepada pembeli.

3. Syarat-syarat Jual Beli Tanah

Syarat-syarat dalam perbuatan hukum terhadap pengalihan hak atas tanah terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu:49

a. Syarat Materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut:

1) Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya.

a. Harus jelas calon penjual, ia harus berhak menjual tanah yang hendak dijualnya, dalam hal ini tentunya si pemegang yang sah dari hak atas tanah itu yang disebut pemilik.

b. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual, seandainya suami atau isteri tidak dapat hadir maka harus dibuat surat bukti secara tertulis dan sah yang menyatakan bahwa suami atau isteri menyetujui menjual tanah.

c. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak mengakibatkan jual beli tersebut batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.

49

Erza Putri, Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah, http://erzaputri.blogspot.com,


(50)

Dalam hal yang demikian kepentingan pembeli sangat dirugikan, karena pembeli telah membayar harga tanah sedang hak atas tanah yang dibelinya tidak pernah beralih kepadanya. Walaupun penjual masih menguasai tanah tersebut, namun sewaktu-waktu orang yang berhak atas tanah tersebut dapat menuntut melalui pengadilan.

2) Pembeli adalah orang yang berhak untuk mempunyai hak atas tanah yang dibelinya.

Hal ini bergantung pada subyek hukum dan obyek hukumnya. Subyek hukum adalah status hukum orang yang akan membelinya, sedangkan obyek hukum adalah hak apa yang ada pada tanahnya. Misalnya menurut UUPA yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Apabila hal ini dilanggar maka jual beli batal demi hukum dan tanah jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

3) Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan atau tidak dalam sengketa.

Menurut UUPA hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek peralihan hak adalah:

a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha


(51)

c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai

Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, atau dikatakan penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah menurut undang-undang atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.

b. Syarat Formil

Setelah semua persyaratan materiil tersebut terpenuhi, maka dilakukan jual beli dihadapan PPAT. Dalam pelaksanaan jual beli yang dibuat oleh PPAT hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1) Pembuatan akta tersebut harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan

jual beli atau kuasa yang sah dari penjualdan pembeli serta disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi-saksi yang memenuhi syarat sebagai saksi.

2) Akta dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan dan lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya .

3) Setelah akta tersebut dibuat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang


(52)

bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan.

4. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli

Istilah “hak” selalu tidak dapat dipisahkan dengan istilah hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hak itu adalah sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Lili Rasjidi, “bahwa suatu hak itu mengharuskan kepada orang yang terkena hak itu untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan sesuatu”.50

Dapat diartikan Peralihan hak sebagai suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atau barang atau benda bergerak atau tidak bergerak. Perbuatan yang mengakibatkan dialihkan hak atau barang atau benda tersebut antara lain dapat berupa jual-beli, tukar-menukar, hibah yang diatur dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Dalam hal ini yang termasuk ”peralihan hak atas tanah tidak hanya meliputi jual beli tetapi dapat juga terjadi karena hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan tanah”.51 Pada umumnya peralihan hak atas tanah ini yang paling banyak terjadi di dalam masyarakat adalah peralihan hak atas tanah dengan jual beli.

50

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum apakah Hukum Itu, Bandung, Remaja Karya, 1988, hal. 73

51

Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak atas Tanah Negara, Jakarta,


(1)

111

Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT antara lain: renvoi tidak ditandatangani oleh seluruh pihak yang berkepentingan dalam akta, kesalahan dalam pembuatan komparisi, berkas pendukung dalam warkah tidak lengkap dan dalam penjilidan akta PPAT melebihi jumlah yang telah ditentukan.

3. Akibat hukum terhadap akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan prosedur dapat mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan atau peraturan-peraturan lain. Sedangkan sanksi yang akan dikenakan PPAT atas kesalahan yang dilakukannya dalam pembuatan akta jual beli, PPAT dapat dikenakan sanksi:

a. Tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT.

b. Tuntutan ganti rugi dari pihak-pihak yang menderita kerugian.

c. Sanksi dibidang perpajakan apabila saat penandatanganan akta jual beli belum membayar kewajiban pajak, dapat dikenakan denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

B. Saran

1. Diharapkan dalam melakukan pembuatan akta jual beli seorang PPAT selalu tunduk kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menyangkut tentang keabsahan suatu akta otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah. Selain itu, dalam menjalankan


(2)

112

tugas jabatannya PPAT juga perlu lebih memahami ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembuatan akta PPAT.

2. Diharapkan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap tugas jabatan PPAT dilakukan secara periodik. Selain itu dalam rangka pengawasan terhadap tugas jabatan PPAT perlu adanya pemberian pelatihan moral kepada para PPAT, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Diharapkan kepada PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya selalu bertindak secara profesional dan memiliki prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akta PPAT. Hal tersebut diperlukan agar akta yang dibuat oleh PPAT tidak menjadi cacat hukum yang akan berakibat adanya sanksi hukum maupun tuntutan ganti rugi dari para pihak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku:

Adjie, Habieb, Meneropong Khazanah dan PPAT di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009.

____________, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2009.

Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Garanit, 2004.

Adiwinata, Saleh, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, cet. 2, Bandung, Alumni, l980.

Badrulzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.

Barata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum

Perjanjian Berlandaskan AsasAsas Wigati Indonesia, Bandung,

Citra Aditya bakti, 2006.

Chomzah, Ali Ahmad, Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak atas Tanah Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2002.

____________, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2004.

Dja’is, Mochammad dan RMJ Koosmargono, Memahami dan Mengerti HIR, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 2008.

Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979. Effendi, Bachtiar, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, Bandung, Alumni, 1993. Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Bandung,

Citra Aditya Bakti, 2002.

Friedman, Lawrence M., Law, New York-London, W.W. Norton & Company, 1984. ____________, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.


(4)

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2007. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Harta Kekayaan, Cetakan I, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993.

Perangin, Effendi, Praktik Jual Beli Tanah, Cetakan Kedua, Jakarta, Rajawali, 1990. ____________, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, Jakarta, Raja

Grafindo Persada, 1994.

Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. 8, Bandung, Mandar Maju, 2000.

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum apakah Hukum Itu, Bandung, Remaja Karya, 1988. Rubaie, Achmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang,

Bayumedia, 2007.

Saleh, K. Wantjik, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977.

Soedjindro, J. Kartini, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta, Kanisius, 2001.

Soekanto, Soerjono, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Bandung, Alumni, 1982.

____________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

____________, dan Sri Mulyadji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.


(5)

Sitepu, Runtung, Penelitian Evaluasi Produk-Produk Akta PPAT yang Menimbulkan Masalah Pertanahan, Draft Laporan, Medan, Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2003. Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, cet. 11, Jakarta, Intermasa, 1975. ____________, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1994.

____________, Aneka Perjanjian, cet. 10, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Sutedi, Adrian, Tinjauan Hukum Pertanahan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2009. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2003.

Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003.

___________, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2008.

B. Majalah, Kamus dan Internet:

Asshiddiqie, Jimly, Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah, Majalah Renvoi Edisi 3 Juni 2003.

Budiono, Herlien, Perwakilan, kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi No.6.42.IV Tahun 2006.

Buwana, Herman Teja, Wewenang Notaris Dan PPAT Masih Menyisakan Persoalan,, http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/wewenang-notaris-dan-ppat-masih.html, diakses tanggal 2 Juli 2011.

Putri, Erza, Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah, http://erzaputri. blogspot.com, diakses tanggal 20 Juli 2011.

___________, Tinjauan Mengenai Tugas dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional, http://erzaputri.blogspot.com, diakses tanggal 28 Juli 2011.


(6)

Suhardjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Varia Peradilan No. 123 Tahun 1995.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

http://www.bpn.go.id/tentangbpn.aspx, Tentang Badan Pertanahan Nasional, diakses tanggal 19 Juni 2011.

http://www.wikipedia.com, Pengertian Akibat Hukum, diakses tanggal 31 Maret 2011.

C. Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembar Negara Republik Indonesia No. 104 Tahun 1960.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lembar Negara Republik Indonesia No.76 Tahun 1981.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, lembaran negara Republik Indonesia No. 130 Tahun 2009.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Badan Pertanahan Nasional.


Dokumen yang terkait

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA (PPAT SEMENTARA) DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA

11 68 87

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 14

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 28

Akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan PPAT.

1 3 136

Akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta ppat HALAMAN DEPAN

0 0 13

AKIBAT HUKUM DARI PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH YANG TIDAK SESUAI DENGAN TATA CARA PEMBUATAN AKTA PPAT - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) Akmelen Zulda Putra

0 0 132

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dan Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPAT Sementara) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya Dari Segi Hukum Agraria

0 1 3

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dan Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPAT Sementara) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya Dari Segi Hukum Agraria

0 0 29

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dan Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPAT Sementara) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya Dari Segi Hukum Agraria

0 0 16

Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dan Pejabat Pembuat Akta Sementara (PPAT Sementara) Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya Dari Segi Hukum Agraria

0 0 1