bahan  lain  yang  karena  sifatnya  berbahaya  atau  beracun  yang melaksanakan  Hak  Lintas  Alur  Laut  Kepulauan,  harus  membawa
dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal-kapal yang demikian.
Pasal 10 1
Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas pengoperasian atau muatan  kapal  atau  pesawat  udara  niaga  asing  atau  kapal  atau  pesawat
udara  pemerintah  asing  yang  digunakan  untuk  tujuan  niaga  wajib bertanggung  jawab  atas  kerugian  atau  kerusakan  yang  diderita  oleh
Indonesia  sebagai  akibat  tidak  ditaatinya  ketentuan-  ketentuan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7,  Pasal  8,  dan  Pasal  9  sewaktu
melaksanakan  Hak  Lintas  Alur  Laut  Kepulauan  melalui  Perairan Indonesia.
2  Negara  bendera  kapal  atau  negara  pendaftaran  pesawat  udara  memikul
tanggung  jawab  internasional  untuk  setiap  kerugian  atau  kerusakan  yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7,  Pasal  8,  dan  Pasal  9  oleh  suatu kapal perang atau pesawat udara negara asing, sewaktu melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.
E.  Pengaturan  Mengenai  Pesawat  Udara  Militer  Menurut  Hukum  Udara Nasional dan Internasional
Kedaulatan  wilayan  negara  tidak  terlepas  dari  pengaturan  ruang  udara airspace  diatas  wilayah  teritorial  yang  disebut  flight  information  region  FIR.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan FIR diatas kedaulatan suatu negara dapat didelegasikan kepada negara anggota  Organisasi  Penerbangan  Sipil  Internasional.  Dalam  Pasal  262  Undang-
Undang  Nomor  1  tahun  2009  diatur  pelayanan  ruang  udara  diatas  wilayah  RI  . menurut  Pasal  tersebut,  pelayanan  ruang  udara  yang  didelegasikan  oleh  negara
lain  atau  Organisasi  Penerbangan  Sipil  Internasional  dan  sebaliknya  ruang  udara diatas wilayah Indonesia juga didelegasikan kenegara lain berdasarkan perjanjian,
khususnya  wilayah  udara  atau  Flight  Information  Region  FIR  diatas  pulau Natuna.  Dalam  Undang-undang  Nomor  1  tahun  2009  secara  tegas  bahwa
pelayanan  FIR  yang  didelegasikan  kepada  negara  lain,  khususnya  Pulau Natuna   dalam  kurun  waktu  15  tahun  terhitung  sejak  UU  No.  1  tahun  2009
berlaku harus sudah dikembalikan kepada Indonesia. Secara yuridis, tidak perlu disangsikan lagi bahwa Indonesia berhak untuk
mengambil  alih  FIR  di  atas  kepulauan  Natuna  dari  pengawasan  Singapura, walaupun  Indonesia  harus  menyediakan  semua  fasilitas,  sumber  daya  manusia
serta pelayanan yang harus bersaing dengan Singapura. Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk memberi pelayanan navigasi
penerbangan yang memadai sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Konvensi Chicago 1944.
79
Konferensi  Paris  1910  telah  membahas  mengenai  perbedaan  antara pesawat  udara  sipil  dan  pesawat  udara  militer  yang  dikategorikan  ke  dalam
pesawat  udara  negara,  namun  konferensi  tersebut  tidak  berhasil  mengesahkan konvensi  internasional  mengenai  pengaturan  penerbangan  internasional  sehingga
79
H.K Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, PT. RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2013, hal .267
Universitas Sumatera Utara
tidak  berhasil  merumuskan  perbedaan  pesawat  udara  sipil  dan  pesawat  udara Negara  secara  formil.  Selanjutnya  pada  tahun  1919,  telah  berhasil  mengesahkan
Konvensi Internasional dengan judul Convention Relating to Regulation of Aerial Navigation, di Paris.
80
Konvensi  tersebut  telah  dirumuskan  secara  formal  perbedaan  antara pesawat  udara  sipil  dan  pesawat  udara  Negara.  Pasal  30  Konvensi  Paris  1919
mengatakan  bahwa  pesawat  udara  Negara  adalah  pesawat  udara  militer,  pesawat udara  yang  semata-mata  untuk  pelayanan  public  public  services  misalnya,
pesawat udara militer, polisi dan bea cukai.
81
Pengaturan  lebih  jelas  terdapat  dalam  Pasal  32  yang  berbunyi: “No
military  aircraft  of  a  contracting  states  shall  fly  over  the  territory  of  another Contracting State nor land thereon without special authorization permission.”
Dijelaskan  bahwa  pesawat  udara  militer  Negara  tidak  mempunyai  hak  untuk melakukan  penerbangan  di  atas  wilayah  Negara  anggota  Konvensi  Paris  1919.
Sedangkan  pesawat  udara  sipil  diwaktu  damai  dalam  Konvensi  Chicago  1944 termempunyai  hak  untuk  melakukan  penerbangan  lintas  damai  di  atas  wilayah
Negara  anggota  lainnya,  namun  demikian  wilayah  Negara  tersebut  tidak  berlaku untuk  pesawat  udara  sipil  yang  melakukan  dinas  penerbangan  internasional
nasional berjadwal maupun pesawat  udara Negara.
82
Hal ini berarti pesawat udara militer  tidak  dapat  dikenakan  ketentuan  hukum  Negara  lain  yang  berlaku  seperti
halnya terhadap pesawat udara sipil. Tambahan pula, awak pesawat udara militer memperoleh  manfaat  dari  hak  imunitas  di  dalam  yurisdiksi  kedaulatan  Negara
80
Ibid
81
Ibid
82
Ibid
Universitas Sumatera Utara
territorial lain hanya sepanjang tindakan dan sikapnya itu sesuai dengan apa yang menjadi misinya. Jika terjadi sengketa berkaitan dengan imigrasi, bea cukai, atau
karantina,  maka  hak  tuan  rumah  hanya  terbatas  pada  meminta  pesawat  udara Negara
tersebut untuk
meninggalkan wilayahnya
Ketentuan-ketentuan penerbangan  internasional  termasuk  perbedaan  pesawat  udara  sipil  dengan
pesawat  udara  Negara  dalam  Konvensi  Paris  1919,  diambil  alih  oleh  Konvensi Havana  1928,  yang  kemudian  kedua  konvensi  tersebut  dicabut  oleh  Pasal  80
Konvensi Chicago 1944. Ketentuan  pembedaan  pesawat  udara  sipil  dengan  pesawat  udara  Negara
dalam  Konvensi  Chicago  1944  tercantum  dalam  Pasal  3  c.  Menurut  Pasal tersebut  pesawat  udara  sipil  adalah  selain  daripada  pesawat  udara  Negara,
sedangkan  yang  dimaksud  pesawat  udara  Negara  adalah  pesawat  udara  yang dipergunakan  untuk  militer,  polisi  dan  bea  cukai.  Pesawat  udara  negara  tidak
mempunyai  hak  melakukan  penerbangan  di  atas  wilayah  Negara  anggota. Sebaliknya  menurut  Pasal  5  Konvensi  Chicago  1944,  pesawat  udara  selain
pesawat  udara  militer,  polisi  dan  bea  cukai  yang  melakukan  penerbangan internasional  tidak  berjadwal  dapat  melakukan  di  atas  wilayah  Negara  anggota
tanpa memperoleh izin terlabih dahulu. Dalam praktek, ketentuan Pasal 5 ini tidak dapat  dilaksanakan  karena  setiap  Negara  berdasarkan  paragraph  2  dapat
mengenakan persyaratan-persyaratan tertentu yang berat dilaksanakan. Menurut Priyatna, klasifikasi pesawat udara adalah sebagai berikut:
Pesawat udara air craft : 1Pesawat udara Negara a Pesawat udara militer a1 Pesawat  udara  Angkatan  Udara  a2  Pesawat  udara  Angkatan  Laut  a3  Pesawat
Universitas Sumatera Utara
udara  Angkatan  Darat.  a4  Pesawat  udara  yang  dimilterisasi  bPesawat  udara Negara  lainnya  b1  Pesawat  udara  yang  digunakan  untuk  kepentingan  Negara
b2 Pesawat udara polisi b3 Pesawat udara bea-cukai b4 Pesawat udara suatu jawatan  pemerintah  2  Pesawat  udara  sipil  a  Pesawat  udara  komersial
bPesawat  udara  privat  non  komersial.  Angkatan  Laut  Amerika  Serikat mendefinisikan Pesawat udara militer dalam salah satu pedoman militernya.
83
F.  Akibat Hukum Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah  Kedaulatan  Indonesia  dalam  Hukum  Nasional  dan
Internasional
Di  Indonesia  zona  larangan  terbang  terdapat  dalam  Pasal  6  Undang- Undang  Nomor  15  tahun  1992.  Menurut  Pasal  tersebut  Indonesia  berhak
menetapkan zona larangan terbang atas dasar pertimbangan pertahanan keamanan dan  keselamatan  penerbangan.  Namun  Undang-undang  Nomor  15  tahun  1992
telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Menurut  Pasal  6  Undang-Undang  Nomor  1  tahun  2009  dalam  rangka
penyelenggaraan  kedaulatan  negara  atas  wilayah  udara,  Indonesia  melaksanakan wewenang  dan  tanggung  jawab  pengaturan  ruang  udara  untuk  kepentingan
penerbangan,  perekonomian  nasional,  pertahanan,  dan  keamanan  negara,  sosial budaya,  serta  lingkungan  udara,  karena  itu  pemerinatah  dpat  menetapkan  zona
larangan  atau  pembatasan  terbang.  Bilamana  terdapat  pesawat  udara  yang melanggar zona larangan personel lalu lintas udara akan menginformasikan bahwa
adanya pesawat udara yang melanggar zona larangan kepada aparat yang bertugas
83  Priyatna  Abdur  Rasyid,  Kedaulatan  Negara  di  Ruang  Udara,  Air    Space  Law Centre, Jakarta, 1972, hal 28
Universitas Sumatera Utara
dibidang  pertahanan  negara.  Dalam  hal  perinagtan  dan  larangan  tidak  ditaati, maka  dilakukan  tindakan  pemaksaan  oleh  pesawat  udara  negara  state  aircraft
untuk  keluar  wilayah  Indonesia  atau  zona  larangan  untuk  mendarat  dipangkalan udara  terdekat,  kemudian  semua  awak  pesawat  beserta  muatannya  diperiksa  dan
disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
84
Praktiknya  larangan  tersebut  tidak  terbatas  alasan  pertahanan  dan keamanan  umum,  tapi  juga  alasan  ekonomi  dan  keselamatan  penerbangan,
misalnya  pesawat  udara  tidak  boleh  terbang  di  atas  Bontang,  karena  Bontang merupakan  sumber  devisa  negara  yang  berpotensi  menghasilkan  gas  alam,
demikian juga zona larangan terbang atas pertimbangan keselamatan penerbangan seperti  dalam hal  terjadi gunung meletus  seperti  pernah terjadi pada saat  gunung
Galunggung  tahun  1982  atau  gunung  Merapi  di  Jawa  Tengah  pernah  meletus sehingga pesawat udara dilarang terbang diatasnya.
Di Indonesia paling tidak pernah terjadi empat kali pelanggaran kedaulatan wilayah di udara, salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat
udara  militer  F-18  Hornet  milik  Amerika  Serikat.  Beberapa  waktu  lalu  pesawat tersebut melakukan penerbangan diatas pulau Bawean yang mengadakan manuver
diatas  kapal  yang  sedang  dikawal.  Peristiwa  tersebut  sempat  menjadi  bahan polemik  di  media  masa  karena  pesawat  udra  militer  tersebut  belum  memperoleh
diplomatic  clearance  yang  dikeluarkan  oleh  kementerian  pertahanan.  Menurut keterangannya  pesawat  tersebut  telah  mengajukan  oermohonan  izin  tetapi  izin
tersebut belum diperoleh pesawat udara sudah terbang diatas pulau Bawean.
84
H.K martono dan Agus Pramono, Op., Cit,  hlm 260-261
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana  diketahui  bahwa  International  Maritime  Organization IMO pada 1998 telah  menyetujui  tiga alur laut perairan  negara kepulauan  I,  II,
III  masing-masing  untuk  Indonesia  bagian  barat,  tengah,  dan  timur,  namun demikian tampaknya Amerika Serikat tetap pada menginginkan alur laut perairan
kepulauan  seperti  biasanya  yang  membelah  wilayah  Indonesia  Utara-Selatan, Barat-Timur  seperti  biasanya.  Amerika  Serikat  tampaknya  mencoba  memancing
reaksi  Indonesia  apabila  pesawat  militer  Amerika  Serikat  tidak  mematuhi ketentuan  UNCLOS  1982,  karena   Amerika  Serikat  sejak  semula  secara  tegas
tidak  mau  meratifikasi  UNCLOS.  Amerika  Srikat  menafsirkan  UNCLOS  hanya berlaku bagi negara anggota, sedangkan bagi negara anggota tidak berlaku.
Penafsiran Amerika sebenarnya kurang tepat, karena UNCLOS merupakan Universal Law yang mengikat kepada negara mana pun, terlepas menjadi anggota
atau tidak. Secara yuridis, UNCLOS merupakan Law Making Treaty yang berlaku epada  negara  mana  pun,  bukan  bersifat  Treaty  Contract  yang  berlaku  terhadap
negara  anggota.  Hal  ini  secara  tegas  dapat  dibaca  dalam  Pasal  3  dan  Pasal  8 UNCLOS. Dengan demikian tindakan F-18 Hormet militer Amerika Serikat diatas
pulau  Bawean  beberapa  waktu  yang  lalu,  kemungkinan  bersifat  provokatif mencoba  bagaimana  reaksi  Indonesia  apabila  terjadi  pelanggaran  terhadap
UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 17 tahun 1985. Berdasarkan  hukum  Internasional,  walaupun  F-18  Hormet  melakukan
manufer  yang  melanggar  hukum  nasional  Indonesia  dan  hukum  Internasional, tidak  dapat  dipaksa  harus  mendarat  dipangkalan  udara  terdekat,  karena  F-18
Hormet tersebut merupakan pesawat udara negara state aircraft. Dalam hukum
Universitas Sumatera Utara
Internasional pesawat udara negara tidak boleh disidik atau diperiksa oleh pejabat penyidik,  namun  demikian  pesawat  udara  negara,  khususnya  F-18  Hormet  dapat
diusir  oleh  pesawat  udara  negara  Indonesia  dalam  hal  ini  pesawat  TNI,  keluar wilayah  wilayah  kedaulatan  RI.  Dalam  hal  ini  pelanggaran  wilayah  udara  yang
dilakukan  oleh  pesawat  udara  F-18  Hormet,  pemerintah  Indonesia  dapat  protes melalui  saluran  diplomatik,  dalam  hal  ini  Departemen  Luar  Negeri  ke  Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta.
85
Adanya  kontradiksi  pada  Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  1985  tentang Ratifikasi UNCLOS dengan Konvensi Chicago 1944 dan Undang-Undang Nomor
15  Tahun  1992.  Dalam  Undang-Undang  Nomor  17  Tahun  1985  pada  Pasal  19 tentang  pengertian  lintas  damai,  sub  Pasal  2e  menyebutkan  bahwa  lintas  suatu
kapal asing harus dianggap mem-bahayakan terhadap kedamaian, keter-tiban atau keamanan  negara  pantai,  apabila  kapal  tersebut  di  laut  teitorial  melakukan  salah
satu  kegiatan  ;pelun-curan,  pendaratan  atau  penerimaan  setiap  pesawat  udara  di atas  kapal.
86
Sifatnya  mempunyai  kedudukan  yang  menggambarkan  akan  adanya suatu an-caman, meskipun tidak diketahui kapan dan di mana akan dilaksanakan,
sehingga bagi kapal perang  yang lewat meskipun sec ara “damai” mau tidak mau
menem-patkan negara pantai dalam keadaan khawatir. Sebagai salah satu contoh ter-hadap  peristiwa  yang  dianggap  melang-gar  berkaitan  dengan  peluncuran
pesawat  militer  asing  di  wilayah  ALKI  Indonesia  adalah  insiden  yang  terjadi  di Bawean, di sana Kapal Induk Amerika mener-bangkan atau meluncurkan pesawat
85
Ibid.,  hlm262-263
86
Koesnadi Kardi, Masyarakat Internasional Wajib Menghormati Wilayah Kedaulatan Laut dan Udara RI, dalam Prosiding Seminar Sehari Penerbangan TNI Angkatan Laut, Juanda
Juni 2004, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
F-18  Hornet  sampai  mendekat  wilayah  pulau  Bawean  tanpa  berkomunikasi dengan  ATC  Air  Traffic  Control,  sehingga  dapat  membahayakan  terhadap  lalu
lintas udara yang ada. Ditinjau  dari  posisi  pesawat  F-18  Hornet  milik  Angkatan  Laut  Amerika
Serikat  yang  sedang  melaksanakan  peng-awalan  rombongan  atau  gugus  Kapal Induk  USS  Carl  Vinson  terhadap  ALKI,  posisi  pesawat  F-18  tersebut  jelas-jelas
berada di luar ALKI. Dikaitkan dengan hukum yang menjelaskan tentang penger- tian  lintas  damai  Innocent  Passage,  keberadaan  F-18  Hornet  yang  mengawal
rombongan Kapal Induk USS Carl Vinson jelas bertentangan dengan penger-tian lintas  damai  yang  tercantum  pada  UNCLOS  1982  Pasal  19  Sub  Pasal  1  yang
berbunyi;  Lintas  damai  sepanjang  tidak  merugikan  bagi  kedamaian,  ke-tertiban atau  keamanan  negara  pantai.  Lintas  tersebut  harus  dilakukan  sesuai  ketentuan
konvensi  ini  dan  peraturan  hukum  internasional  lainnya  yaitu  ICAO.  Pesawat tersebut  harus  pula  mengikuti  jalur  penerbangan  sipil  yang  telah  ditentukan  oleh
ICAO.
87
Dalam Annex 11 “Air Trafic Ser-vices” ditentukan pada ayat 3:
“Lintas alur penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dalam cara  normal  semata-mata  untuk  mela-kukan  transit  yang  secara  terus-menerus,
langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang …..”. Sedangkan pada ayat 4  dalam  Annex  ini  termuat:  “…  mencakup  semua  rute  lintas  normal  yang
digunakan sebagai rute …”.
87
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dengan  adanya  ketentuan  3  ALKI  berdasarkan  Peratuan  Pemerintah  Nomor  37 Tahun  2002  menjadi  dasar  argumen-tasi  bagi  Amerika  Serikat  menggunakan
alasan lain sesuai Pasal 53 ayat 12 UNCLOS 1982 yakni: “If an archipelagic state does not designate sea lanes or air routes, the right of
archipelagic  sea  lanes  passage  may  be  excercised  through  the  routes  normally used for international navi-
gation” Terjemahan
“Apabila  suatu  negara  kepulauan  tidak  menentukan  Alur  Laut  atau  rute  pener- bangan,  maka  hak  lintas  Alur  Laut  ke-puluan  dapat  dilaksanakan  melalui  rute
yang bia sanya digunakan untuk pelayaran internasional”.
Ketentuan  UNCLOS  1982  yang  mengatur  tentang  hak  lintas  damai  bagi pesawat  sipil  dan  pesawat  negara  di  udara  dapat  menimbulkan  permasalahan
hukum udara di Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa ayat yang terdapat dalam ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur hak lintas damai di atas
ALKI  oleh  pesawat  udara  sipil  maupun  pesawat  udara  negara  bertentangan dengan  ketentuan  dalam  Konvensi  Chicago  1944.  Guna  menghindari  persoalan
yang dapat ditimbulkan dari perbedaan ketentuan ini, maka sesuai ruang lingkup berlakunya  dalam  melaksanakan  ketentuan  penerbangan  ke  wilayah  Indonesia
harus tun-duk pada hukum udara Indonesia. Dalam hal negara dalam keadaan bahaya, ini ditentukan Presiden sebagai-
mana  ditetapkan  dalam  UUD 1945  Pasal  12,  bahwa  “Presiden  menyatakan
keadaan  bahaya”.  Kewenangan  penggunaan  ruang  udara  nasional  negara  dalam keadaan  bahaya  dilakukan  Tentara  Nasional  Indonesia  Angkatan  Udara  TNI-
Universitas Sumatera Utara
AU,  semen-tara  kewenangan  tersebut  tidak  diatur  secara  tegas  dalam  Undang- undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 88
Sehubungan  itu  pemanfaatan  ruang  udara  nasional  untuk  kegiatan  pener- bangan pada saat negara dalam keadaan tidak damai dalam keadaan bahaya atau
di  daerah-daerah  atau  kawasan  konflik  perlu  diatur  atau  ditetapkan  secara  tegas. Atas  dasar  uraian  di  atas,  penegakan  hukum  atas  pelanggaran  penerbangan  di
wilayah  ruang  udara  nasional  diperlukan  dua  unsur  penting,  yaitu  kelembagaan dan sarana pendukungnya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Pertahanan  dan  Keamanan  Negara  ditetapkan  bahwa  TNI-AU  sebagai  lembaga yang berwenang atas pene-gakan hukum atas penerbangan di ruang udara nasional
termasuk  pengendalian  ke-giatan  dan  atau  usaha  lain  di  udara  pada  saat  negara tidak damai atau di daerah-daerah konflik.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, hal  wewenang  dan  tanggungjawab  insti-tusi  sebagai  penegakan  hukum  di  ruang
udara tidak diatur secara tegas. Oleh sebab itu, tugas dan tanggung jawab TNI-AU perlu diatur secara tegas dalam undang-undang pengelolaan ruang udara nasional.
88
Ibid
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
C.  Kesimpulan