Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Arifin, Satu Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2014 Abdur, Priyatna Rasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Air & Space Law

Centre, Jakarta, 1972

Boer Mauna. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Edisi Kedua. Bandung, Alumni. 2005.

Bagus,Ida. dkk Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, penerbit CV Mitra Karya, Jakarta, 2003.

JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I,Edisi Kesepuluh, Jakarta, Sinar Grafika, 1999.

Kristanto, Philip. Ekologi Industri, Andi, Yagyakarta, 2002.

Makaarim, Mufti A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia: Tantngan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, Disampaikan Dalam Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan, Dep. Pertahanan RI, Jakarta, 2008.

Martono. H. K, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Edisi Pertama, 2007. May Rudi, Hukum Internasional 2, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006.

Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional Dan Internasional Publik (public international and national air law, PT. Rajawali Prrees, Jakarta, 2012.

Martono,K. Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional bagian

Pertama, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,2007.

Martono,K. Hukum Udara, Angkutan Udara dan hukum Angkasa, Hukum laut Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1995.

Martono, H.K dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, PT. RajaGrafindo Persada , Jakarta, 2013

Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.


(2)

Philip Kristanto, Ekologi Industri,Penerbit Andi, Yagyakarta, 2002

Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Sutha, Indra. Revolusi Pelayaran dan Penerbangan Sejumlah Masalah Transportasi Indonesia, Penertbit: Kasatua Publising, Jakarta, 2005.

Thontowi. J. dan Iskandar. P, Hukum Internasional Kontemporer , 2006.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang tentang Pengelolaan Ruang Udara Nasional Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, Tentang Wilayah Negara Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, tentang Penerbangan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional

Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 170 Peraturan Lalu Lintas Udara, 170.024.

Internet

Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia Guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka

Memperkokoh Kedaulatan

NKRI http://www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/humas/jurn al/edisi16/jurnal%20edisi%2016_materi%208.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2016)

Hakim, Chappy. Wilayah Udara dikelola negara lain diam, apalagi Penyadapan, melalui :http://politik.rmol.co/read/2013/11/12/132983 (diakses tanggal 1 Maret 2016)

TNI AU Akan Kembalikan Kadaulatan Udara Dari Negara Asing, posted oleh Efran Syah, 17 April 2004, melalui : http://www.artileri.org/2014/04/ (diakses tanggal 1 Maret 2016


(3)

Gerald Aditya Bunga. Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Di Wilayah Kedaulatan Indonesia (Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun

1944 dan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982)

http://www.academia.edu/3691216/(diakses tanggal 1 Desember 2015).

http://baiqsetiani.blogspot.co.id/2014/06/ruang-udara-dan-wilayah-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)

http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-udara-dan-angkasa-kejahatan.html diakses 14 Februari 2016

http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/04/09/diakses tanggal 1 Maret 2016

Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia Guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka

Memperkokoh Kedaulatan

NKRI http://www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/humas/jurnal/edisi 16/jurnal%20edisi%2016_materi%208.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2016) http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/s4/f2/dsk1/tape10/PQDD_0023/MQ5092

1.pd f, hal.177, diakses 22 Januari 2016

Artikel

Yasidi Hambali, “Aspek-Aspek Hukum dari Penataan dan pengawasan Wilayah

Udara Nasional”, makalah pada penataran hukum udara dan ruang angkasa,

FH Universitas Padjadjaran, Bandung 5-17 September 1994.

Evi Zuraida,” Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi

Penerbangan pada Flight Information Region (FIR) Singapura di Atas Wilayah Udara Indonesia berdasarkan Perjanjian antara Indonesia

Singapura Tahun 1995”(Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta, 2012).

Disampaikan Direktur Bandar Udara, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub,

Bambang Tjahjono pada acara “Jakarta Soekarno-Hatta International Airport Capacity Optimization Workshop” yang diselenggarakan Ditjen Perhubungan Udara bekerjasama dengan Konsultan Penerbangan, Egis Avia di Hotel Gran Melia Jakarta, Rabu (2/4/1014).

Lemhamnas, “Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia guna

Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional dalam rangka

Memperkokoh Kedaulatan NKRI”, Jurnal Kajian Lemhamnas RI, Edisi 16,


(4)

James Crawfod, “Execution of Judgment and Foreign Sovereign Immunity”,

dalam 75 AJIL 820,1981.

Eddy Suyanto,” Pengaturan penggunaan ruang Udara (suatu tanggung jawab

negara Terhadap kemanaan dan keselamatan penerbangan)”, makalah FH

Universitas di ponegoro, Semarang, 19 Mei 2011.

I H Ph. Diedericks-Verschoor, An Ontroduction to Air Law, Kluwer Law, Neherlands, 1983.

Christopher M Petras, “The Law of Air Mobility-The International Legal

principles Behind The US Mobility Air Forces Mission”, dalam Jurnal Air

Force Law Review, 66 A.F. L. Rev. 1, 2010.

John V Augustin, ICAO and The Use of Force against Civil Aerial Intruders, A thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Researchin partial fulfihent of the degree of aster of Laws ((LLM.), Institute of Air and Space Law Faculty of Law, McGill University Montreal, Quebec, Canada, August 1998,

Trans Likadja, Masalah Lintas di Ruang Udara, Mandar Maju, Bandung, 1987,

hal. 30, Lihat juga Priyatna Abdurrasyid, “Prinsip-Prinsip Hukum Angkasa

(Hukum Udara dan Ruang Angkasa)”, makalah pada penataran hukum

udara dan ruang angkasa, FH Universitas Padjadjaran, Bandung 5-17 September 1994.

Gbenga Oduntan, Sovereignty and Jurisdiction in Air Space and Outer Space: Legal Criteria for Spatial Delimitation, Routledge, New York, 2012.

Eddy Suyanto, “Pengaturan Penggunaan Ruang Udara (Suatu Tanggung Jawab

Negara Terhadap Kemanan dan Keselamatan Penerbangan)”, makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pertanggungjawaban Hukum atas Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Internasional, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Internasional FH Universitas Diponegoro, Semarang, 19 Mei 2011.

Koesnadi Kardi, Masyarakat Internasional Wajib Menghormati Wilayah Kedaulatan Laut dan Udara RI, dalam Prosiding Seminar Sehari Penerbangan TNI Angkatan Laut, Juanda Juni 2004.


(5)

D. Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia dan Pelanggaran Kedaulatan Negara

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.28 Ruang wilayah negara meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh atas wilayah udara, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional, Pasal 1 disebutkan bahwa “every State has complete and exclusive sovereignity over the

airspace above its territory.”29 Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan, menyebutkan negara Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu negara, salah satunya dilihat dari aspek integritas wilayah dan keamanan nasional, yang harus di dayagunakan sebaik-baiknya. 30 Sebagai bagian dari kedaulatan suatu negara, ruang udara mempunyai fungsi strategis sebagai aset

28 Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, Tentang Wilayah Negara 29 Pasal 5, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, tentang Penerbangan

30 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan


(6)

nasional yang sangat berharga termasuk didalamnya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.31

Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan. Udara selain mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan untuk kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain misalnya kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di udara terdiri dari: sumber daya energi (surya dan angin), sumber daya gas, sumber daya ruang.32 Kekhasan wilayah udara Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di antara Benua Asia-Australia, serta di dua Samudera Pasifik-Hindia menyebabkan wilayah udara Indonesia menjadi penggerak sirkulasi udara global dan pembentukan iklim dunia yang merupakan keunggulan strategis wilayah udara Indonesia.33

Pasal 1 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Tiga aspek yang harus diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya, yakni:

1. Aspek keamanan dan keselamatan, 2. Aspek pertahanan negara, dan

3. Aspek lingkungan hidup. Pertahanan dan keamanan negara adalah segala upaya untuk mempertahankan kadaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

31 Ibid, 285

32 Philip Kristanto, Ekologi Industri,Penerbit Andi, Yagyakarta, 2002, hal. 40 33


(7)

Kegiatan di wilayah udara Indonesia, terlihat dari kegiatan penerbangan melalui angkutan udara. Hampir tidak ada daerah yang tidak bisa dimasuki maskapai penerbangan.34 Pertumbuhan penumpang angkutan udara di Indonesia dari tahun 2009 s.d. 2012 sebesar 18,31%, di tahun 2013, penerbangan Indonesia telah mengangkut lebih dari 85 juta penumpang ke berbagai daerah.35 Wilayah udara Indonesia yang luas, dengan banyaknya kegiatan penerbangan berpotensi mengundang kerawanan terjadi kecelakaan udara dan ancaman pelanggaran wilayah udara Indonesia. Ancaman pelanggaran wilayah udara nasional, selain mengganggu keamanan nasional yang berkaitan dengan kegiatan penerbangan, juga berpengaruh terhadap kedaulatan wilayah apabila ditinjau dari aspek pertahanan negara. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada saat penerbangan antara lain; pesawat tidak teridentifikasi terdiri atas pesawat yang dianggap menyimpang dari jalurnya atau pesawat yang dilaporkan beroperasi di daerah tertentu tetapi tidak memberikan identitasnya kepada ATS (otoritas pelayanan lalu lintas udara). Pesawat yang menyimpang bisa dicurigai sebagai pesawat yang di bajak (penerbangan MH370 milik Malaisya).36

34 Indra Sutha, Revolusi Pelayaran dan Penerbangan Sejumlah Masalah Transportasi Indonesia, Penertbit: Kasatua Publising, Jakarta, 2005, hal. 118.

35 Disampaikan Direktur Bandar Udara, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub,

Bambang Tjahjono pada acara “Jakarta Soekarno-Hatta International Airport Capacity

Optimization Workshop” yang diselenggarakan Ditjen Perhubungan Udara bekerjasama dengan

Konsultan Penerbangan, Egis Avia di Hotel Gran Melia Jakarta, Rabu (2/4/1014).

36 Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 170 Peraturan Lalu Lintas


(8)

Beberapa kasus pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat-pesawat komersil dan militer asing, misalnya :37 terjadi ketegangan antara Indonesia-Australia terkait banyaknya penerbangan gelap (black flight) dan penerbangan tanpa izin. Pesawat-pesawat F-5 Tiger TNI AU mengusir pesawat jet F-18 Hornet milik angkatan udara Australia yang dinilai telah memasuki wilayah udara Indonesia di atas pulau Roti tanpa izin. Tahun 2003, lima pesawat F-18 Hornet AS nyaris menembak pesawat F-16 TNI AU yang sedang melakukan identifikasi atas penerbangan yang di lakukan di barat laut Pulau Bawean, ketika pesawat F-16 TNI AU mengontak pesawat F-18, kedua peswat tersebut tidak ada jawaban, mereka mengunci (lock on) dan bersiap untuk menembak pesawat F-16 TNI AU.

Di Gunung Salak pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat penumpang Rusia, menghilang dalam penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Salah satu peran yang dipertanyakan dalam kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet ini adalah peran ATS atau Air Traffic Control Services karena memberi ijin pesawat untuk turun dari 10.000 ft ke ketinggian 6000 ft.

Tanggal 15 Maret 2014, penerbangan MH370 milik Malaysia dinyatakan hilang, banyak media asing yang menyatakan bahwa pesawat tersebut melewati wilayah Indonesia, namun hal ini dibantah oleh Menteri Pertahanan Indonesia.38 Menurut Direktur Teknologi PT Dirgantara Indonesia, pesawat tersebut tidak

37

Mufti Makaarim A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia: Tantngan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, Disampaikan Dalam Seminar Perumusan Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Perbatasan, Dep. Pertahanan RI, Jakarta, 2008, hlm. 4.

38


(9)

terdeteksi radar sipil Indonesia karena zona menengah yang menjadi wilayah terbang penerbangan sipil memiliki lalu lintas udara sangat padat sehingga tidak teridentifikasi saat berpindah jalur, dan radar militer lebih sulit untuk mengidentifikasi pesawat sipil karena data yang ditampilkan sangat banyak. Pesawat udara Indonesia yang terbang di atas teritorial Indonesia diwajibkan melapor ke menara pengontrol lalu lintas udara yang dikendalikan FIR Singapura sehingga dirasa kurang nyaman bagi pesawat udara Indonesia. 39 Pendelegasian pengaturan lalu lintas udara di wilayah Batam, Provinsi Kepulauan Riau, kepada otoritas Singapura sejak tahun 1946 hingga sekarang. Penerbang Indonesia yang hendak melintas wilayah udara di Batam harus meminta izin dahulu ke Singapura.

Pengendalian lalu lintas udara, mengoperasikan dua wilayah FIR (flight Information Region), yakni FIR Jakarta dan FIR Makassar, dan masih dibantu FIR Singapura untuk sektor a, b dan c (wilayah di atas Batam, Matak dan Natuna).[16] Terkait dengan pengendalian lalu lintas udara di Indonesia, dalam seminar Internasional Air Power 2014 Klub Eksekutif Persada Purnawira, Kamis 17 April 2014 membahas khusus mengenai pentingnya FIR di kendalikan dan dikontrol oleh Indonesia. Pada tahun 2008, Kosekhanudnas mencatat militer Singapura 18 kali melanggar batas wilayah Indonesia, pelatihan militer negara Singapura di wilayah udara Indonesia khususnya di atas wilayah udara kepulauan Riau tanpa izin negara Indonesia karena FIR di atas wilayah tersebut berada pada

39 Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia Guna Memantapkan Stabilitas

Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI http://www.lemhannas.go.id/portal/images/stories/humas/jurnal/edisi16/jurnal%20edisi%2 016_materi%208.pdf (diakses tanggal 1 Maret 2016)


(10)

kontrol negara Singapura. Pengendalian wilayah udara Indonesia oleh negara lain tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tentang Penerbangan, Pasal 6 dan Pasal 5 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara salah satunya untuk kepentingan pertahanan negara. Dalam pendahuluan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, ancaman, yang dihadapi Indonesia dapat berupa ancaman militer maupun ancaman non militer, sehingga kekuatan pertahanan diperlukan untuk menghadapi kedua jenis ancaman tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Agar pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan dapat terlaksana secara efektif dan efisien, diupayakan keterpaduan yang sinergis antara unsur militer dengan unsur militer lainnya, maupun antara kekuatan militer dengan kekuatan nir militer. Keterpaduan antara unsur militer diwujudkan dalam keterpaduan Tri-Matra, yakni keterpaduan antar kekuatan darat, kekuatan laut, dan kekuatan udara.

E. Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut Hukum Nasional

Pengaturan kedaulatan Indonesia atas ruang udara beserta penegakan hukumnya perlu dilakukan kajian terhadap beberapa peraturan terkait seperti Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,


(11)

Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang-Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.40

Mengadopsi dari Konvensi Chicago 1944, Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Wilayah Udara Indonesia adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.41

Penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara NKRI, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Meskipun tidak sama persis dengan apa yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, namun istilah-istilah yang digunakan oleh UU Penerbangan Indonesia pada hakekatnya merujuk pada apa yang sudah ditetapkan oleh Konvensi Chicago 1944. Beberapa istilah yang digunakan uu penerbangan Indonesia ini antara lain adalah pesawat udara sipil asing; pesawat udara sipil, pesawat udara Indonesia dan pesawat udara negara. Penjelasan mengenai macam-macam pesawat tersebut adalah sebagai berikut. Pesawat udara Indonesia menurut UU Penerbangan Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tandakebangsaan Indonesia. Adapun Pesawat Udara Negara adalah pesawat udara yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, kepabeanan, dan

40 Lemhamnas, “Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia guna

Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional dalam rangka Memperkokoh

Kedaulatan NKRI”, Jurnal Kajian Lemhamnas RI, Edisi 16, November 2013, hal. 75-76.

41


(12)

instansi pemerintah lainnya untuk menjalankan fungsi dan kewenangan penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga. Adapun Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing. Terkait dengan pengoperasian pesawat udara asing di wilayah NKRI, Pasal 63 ayat (2) menjelaskan bahwa Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia. Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).42

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal adalah pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur.43 Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:

a. rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuanyang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);

b. kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);

42 Pasal 83 (3) UU Nomor 1 Tahun 2009.


(13)

c. seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udarauntuk kepentingan sendiri (own use charter);

d. Taksi udara (air taxi); atau

e. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.44

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri setelah mendapat persetujuan dari menteri terkait.45 Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).46 Sanksi pidana yang sama juga akan diberikan kepada pesawat udara sipil maupun asing yang berangkat atau melakukan pendaratan dan atau tinggal landas tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU penerbangan.47

Dari paparan dalam UU Penerbangan, nampak bahwa yang dimaksud pesawat udara negara dalam undang-undang nasional Indonesia ini adalah pesawat negara milik Indonesia. UU ini tidak menyebutkan secara khusus tentang pesawat negara atau pesawat militer asing. Hal ini bisa dimaklumi karena keduanya tunduk pada rezim hukum internasional. Jenis pesawat ini tidak tunduk pada rezim hukum nasional Indonesia. Pesawat negara atau state aircraft sangat kental sekali dengan fungsi negara untuk menjalankan kedaulatannya seperti pertahanan keamanan juga fungsi pemerintahan.

44 Pasal 92 UU Nomor 1 Tahun 2009. 45 Pasal 93 (2) UU Nomor 1 Tahun 2009. 46 Pasal 418 UU Nomor 1 Tahun 2009. 47


(14)

Foreign State aircraft memiliki absolute immunity berdasarkan hukum internasional. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa negara kolong tidak memiliki jurisdictional immunity maupun enforcement immunity terhadap pesawat jenis ini.48

Pemrosesan hukum termasuk di dalamnya penyitaan atau eksekusi terhadap state aircraft dikhawatirkan dapat memicu konflik yang serius bahkan mungkin peperangan antara negara forum dengan negara pemilik aset. Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa pesawat negara tidak diperbolehkan terbang di atas atau mendarat di wilayah territorial negara lain tanpa otorisasi berdasarkan perjanjian khusus atau sejenisnya dari negara kolong. UU penerbangan Indonesia tidak menggunakan istilah pelanggaran kedaulatan bagi pesawat asing yang masuk ke wilayah ruang udara Indonesia tanpa izin. Istilah yang digunakan adalah pelanggaran wilayah kedaulatan.

F. Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut Hukum Internasional

Wilayah atau territorial adalah unsur yang sangat penting yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk melaksan akan kedaulatan teritorialnya. Ruang udaramerupakan salah satu bagian terpenting dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan suatu negara. Negara dapat melakukan berbagai kegiatan komersialisasi terhadap ruang udaranya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Tidak hanya untuk aktifitas komersial, wilayah atau ruang udara juga merupakan medium atau ruang gerak bagi pesawat-pesawat militer. Ruang udara

48 James Crawfod, “Execution of Judgment and Foreign Sovereign Immunity”, dalam 75 AJIL 820,1981, hal. 862.


(15)

dapat digunakan oleh negara lain untuk menyerang kepentingan negara kolong dengan keuntungan pendadakan dan efek serangan yang sangat luas, juga dapat digunakan untuk keuntungan spionase pada masa damai.49

Dilihat dari sisi hankam, ruang udara dapat menjadi jalan potensial bagi datangnya ancaman asing terhadap keamanan nasional. Oleh karena itu dapat dipahami apabila mayoritas negara sangat ketat dalam menjaga kedaulatan negara di wilayah udaranya. Negara menyadari pentingnya penataan ruang udara yang tidak hanya untuk keperluan kesejahteraan tetapi juga dipersiapkan dan ditata bagi kegiatan Hankam.50

Sangat strategisnya wilayah ruang udara bagi pertahanan keamanan negara kolong telah disadari oleh pembentuk Konvensi Paris 1919 tentang the regulation of aerial navigation. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan oleh Konvensi Chicago 1944 tentang international civil aviation menegaskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya.51 Adapun yang dimaksud wilayah territorial adalah wilayah daratan dan laut territorial yang berhubungan dengannya dikuasai karena kedaulatan, kekuasaan mutlak, proteksi atau mandat dari suatu negara.52

Negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan kewenangan yang penuh untuk mengontrol ruang udara di atas wilayahnya. Kata-kata penuh dan eksklusif

49 Eddy Suyanto,” Pengaturan penggunaan ruang Udara (suatu tanggung jawab negara

Terhadap kemanaan dan keselamatan penerbangan)”, makalah FH Universitas di ponegoro, Semarang, 19 Mei 2011.

50 Yasidi Hambali, “Aspek-Aspek Hukum dari Penataan dan pengawasan Wilayah Udara Nasional”, makalah pada penataran hukum udara dan ruang angkasa, FH Universitas Padjadjaran,

Bandung 5-17 September 1994, hal. 7

51 I H Ph. Diedericks-Verschoor, An Ontroduction to Air Law, Kluwer Law, Neherlands,

1983, hal. 2


(16)

menunjukkan betapa besarnya kedaulatan yang dimiliki suatu negara atas ruang udaranya. Sampai batas mana kedaulatan negara di ruang udara sebenarnya dapat dilihat secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal negara memiliki kedaulatan atas ruang udara di atas daratan dan perairan sampai laut teritorialnya. Ruang udara di atas zona tambahan, ZEE sudah bukan di bawah kedaulatan negara kolong. Apalagi ruang udara di atas laut lepas, milik seluruh umat manusia. Adapun batas kedaulatan negara atas ruang udara secara vertikal sampai saat ini belumlah jelas. Hal ini dikarenakan belum adanya kesepakatan sampai dimana ketinggian ruang udara dan mulai ketinggian berapa ruang angkasa dimulai.

Dengan kedaulatan yang penuh dan eksklusif yang dimilikinya, negara berhak melakukan pengaturan terhadap penerbangan di ruang udaranya. Pengaturan ini diperlukan agar penyelenggaraan penerbangan berlangsung dengan aman dan efisien dan teratur. Di samping konvensi Paris 1919, salah satu instrumen hukum lainnya yang terpenting adalah Konvensi Chicago 1944 tentang penerbangan sipil. Sesuai namanya, konvensi ini ditujukan untuk pesawat udara sipil , tidak untuk pesawat negara (state aircraft). Tidaklah mudah membedakan antara pesawat sipil atau pesawat komersial dengan pesawat negara atau pesawat militer. Hukum internasional tidak mengaturnya dengan jelas. Sebagai contoh dalam konvensi Chicago hanya disebutkan bahwa konvensi tidak berlaku untuk state aircraft /military aircraft, tapi tidak ada penjelasan rinci mengenai hal itu, hanya dalam bentuk pernyataan negatif.53

53 Michael Milda, Op.Cit. hal 89


(17)

Menurut Boer Mauna pembedaan apakah suatu pesawat termasuk pesawat sipil ataukah pesawat negara tergantung pada fungsinya bukan kualitas pemiliknya. Praktek negara yang menjadi dasar pembentukan hukum kebiasaan internasional juga tidak memiliki keseragaman serta transparansi. Perhatian hukum internasional terhadap military aircraft lebih banyak pada posisi pesawat ini dalam situasi konflik bersenjata, sebagai belligerent, neutral atau humanitarian mission dibandingkan di masa damai. Sejak awal pesawat militer disimbolkan sebagai kedaulatan negara, merupakan tunduk pada hukum internasional. Untuk kepentingan keamanan nasional, negara-negara sepakat membatasi hak lintas pesawat militer ke wilayah negara lain.54

Konvensi Paris 1919 membedakan antara “private aircraft” dengan “State

aircraft”. Pasal 30 konvensi ini menegaskan bahwa State Aircraft adalah:

a. Military aircraft;

b. Aircraft exclusively employed in State service, such as posts, customs, police.

Selain jenis pesawat di atas merupakan private aircraft. Semua pesawat negara selain military, customs and police aircraft, harus diperlakukan sebagai private aircraft dan tunduk pada konvensi Paris 1919. Selanjutnya, Pasal 31 konvensi ini menjelaskan bahwa: Every aircraft commanded by a pers on in military service detailed for the purpose shall be deemed to be a military aircraft. Pasal 30 dan 31 tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan military aircraft.

54 Ibid


(18)

Ketidakjelasan ini sering menimbulkan konflik, sebagaimana dalam Versailles Peace Treaty, dimana menurut negara-negara sekutu the German aeronautical equipment adalah pesawat militer, sedangkan menurut Jerman itu pesawat sipil. Sebaliknya menurut Jerman banyak civil aviation equipment yang dioperasikan oleh tentara sekutu memasuki wilayah Jerman sesungguhnya masuk kriteria pesawat militer.55

Konvensi Paris 1919 disempurnakan oleh Konvensi Chicago 1944. Sama dengan konvensi 1919, konvensi 1944 ini juga tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan state aircraft. Pasal 3b konvenis ini hanya menyebutkan bahwa “Aircraft used in military, customs and police services shall be deemed to

be state aircraft”. Ini bukan definisi tapi hanya sekedar a rebuttable presumption

(presumptio iuris). Banyak tipe aktifitas negara yang lain yang menggunakan pesawat yang juga dimiliki oleh negara seperti coastguards, search and rescue, medical services, mapping atau geological survey services, di saster relief, VIP and Government transport, dan lain-lain. Dengan demikian menurut Michael Milda, apa yang dinyatakan Pasal 3b bukanlah sesuatu yang eksklusif dan

comprehensive.56

Konvensi Chicago juga gagal memberikan definisi apa yang dimaksud dengan military aircraft. Preparatory works dari konvensi 1944 ini juga tidak memberikan bantuan apa yang dimaksud dengan military aircraft. Meskipun demikian di dalam praktek beberapa elemen yang umumnya digunakan untuk

55 Ibid., hal.4.

56


(19)

mengkategorikan sebuah pesawat sebagai military aircraft adalah sebagai berikut:57

4. design of the aircraft and its technical characteristics;

5. registration marks;

6. ownership fakta bahwa pesawat dimiliki oleh kesatuan militer dalam kasus-kasus tertentu tidak otomatis bisa menjadi bukti bahwa pesawat itu “used in military services”;

7. Type of operation, terdiri dari: the nature of the flight, documents carried on

board, flight plan, communications procedures, composition of the crew (military or civilian?), secrecy or open nature of the flight

Dalam hal tidak ada petunjuk apakah pesawat itu military aircraft atau bukan maka harus fokus pada kata used and servicesdalam Pasal 3b. Dengan demikian dapat dipahami apabila suatu pesawat mungkin dalam satu kondisi masuk kriteria state/military aircraft sekaligus juga masuk kriteria sebagai civil aircraftdalam kondisi lainnya.58

Sebagai contoh adalah tidak adanya dokumentasi rencana penerbangan sebuah an unarmed fighter plane F-18 yang dipiloti oleh seorang anggota militer tetapi dipandu oleh a civil flight plan untuk penerbangan ke bandara sipil negara lain untuk menyerahkan serum untuk serangan wabah penyakit tertentu sebagai a humanitarian “mercy flight”dapat mengklaim bahwa pesawat itu bersatus pesawat sipil. Sebaliknya dalam kasus lain sebuah pesawat sipil B-737, misalkan Air flight

57 Ibid., hal 9

58Christopher M Petras, “The Law of Air Mobility-The International Legal principles Behind The US Mobility Air Forces Mission”, dalam Jurnal Air Force Law Review, 66 A.F. L.


(20)

2843 yang digunakan oleh pemerintah untuk penerbangan dari Kairo ke Tunisia, membawa tersangka teroris yang dengan kawalan polisi militer ditersepsi oleh US fighter planes, dipaksa mendarat di Itali, tidak ada protes dari ICAO. Dalam penjelasan resminya pemerintah AS menyatakan bahwa pesawat itu merupakan pesawat negara saat diintersepsi berdasarkan faktor–faktor yang relevan seperti tujuan khusus negara, fungsi misi, kehadiran personel militer bersenjata di pesawat, serta sifat rahasianya misi.59 Contoh lain adalah USAF CT-43A (a military version of B-737-200), registrasi 31149 yang bertabrakan pada 3 April 1996, di Dubrovnik, Croatia; saat membawa penumpang VIP. Hasil investigasi kecelakaan dari Croatia dengan tegas menyatakan bahwa pesawat tersebut pada saat kecelakaan terjadi merupakan “civil aircraft sesuai dengan Pasal Konvensi Chicago 1944 dan bukan sebagai penerangan untuk tujuan militer.60

Dalam praktek negara-negara, definisi military aircraft terbukti sangat sempit hanya untuk penerbangan tertentu yang misinya benar-benar misi militer. Suatu perbandingan analogi dapat dirujuk Pasal 29 the UN Convention on the Law of the Sea 1982, yang mendefinisikan warship sebagai: ...a ship belonging to the armed forces of a state bearing the external marks distinguishing such ship of its nationality, under the command of an officer duly commissioned by the government of the State and whose name appears in the appropriate service list

59 Ibid, hal. 11-12.

60 John V Augustin, ICAO and The Use of Force against Civil Aerial Intruders, A thesis

submitted to the Faculty of Graduate Studies and Researchin partial fulfihent of the degree of aster of Laws ((LLM.), Institute of Air and Space Law Faculty of Law, McGill University Montreal, Quebec, Canada, August 1998,

http://www.collectionscana da.gc.ca/obj/s4/f2/dsk1/tape10/PQDD_0023/MQ50921.pd f, hal.177, diakses 22 Januari 2016


(21)

or its equivalent, and manned by a crew which is under regular armed forces discipline.

Ketidakjelasan status hukum sebuah pesawat dalam situasi tertentu berpotensi menimbulkan masalah yang serius khususnya tentang hukum yang seharusnya berlaku untuk pesawat tersebut apakah Konvensi Chicago dan instrumen hukum udara internasional lainnya, perjanjian bilateral untuk layanan udara, validitas polis asuransi. Isu yang tak kalah kontroversinya apakah peswat militer juga dapat dituntut pembayaran jasa pelayanan navigasi udara, airport charges, ATC, dan lain sebagainya meskipun pada umumnya dianggap sebagi keadilan bahwa pesawat militerpun tidak dikecualikan dari pembayaran jasa dan fasilitas yang telah dinikmatinya kecuali sudah diperjanjikan sebelumnya dalam perjanjian antar mereka.61

Masalah yang paling krusial terkait penetapan status hukum suatu pesawat adalah terkait penegakan hukum yang dilakukan oleh negara kolong dan muncul tidaknya tanggung jawab negara. Pelanggaran ruang udara sampai saat ini tetap dianggap sebagai masalah yang sangat serius dalam hubungan internasional. Dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap atau mengin tersepsi pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Penggunaan kekerasan terhadap pesawat asing yang melakukan pelanggaran ini merupakan tindakan yang sah dimata hukum internasional, sepanjang tindakan kehati-hatian telah dilakukan.62

61 Ibid, hal 179

62


(22)

Argumen self defence untuk keamanan nasional merupakan hak yang melekat pada negara merdeka. Tidak dipungkiri penggunaan pesawat termasuk di dalamnya pesawat sipil untuk kegiatan mata-mata atau pengintaian (reconnaissance) mengancam keamanan nasional negara kolong. Hukum internasional yang selama ini bersikap diam seharusnya melarang dengan tegas aktifitas aerial reconnaissance untuk mencegah dilakukannya tindakan kekerasan terhadap pesawat yang melanggar wilayah ruang udara dan dicurigai melakukan aktivitas tersebut.

Meskipun demikian sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya telah dilanggar tidak dapat menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersikap bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Pilihan untuk putar balik atau mematuhi perintah mendarat di bandara yang diperintahkan oleh pesawat penyergap serta senantiasa melakukan komunikasi dengan otoritas bandara merupakan putusan yang terbaik untuk mencegah dilakukannya tindakan kekerasan terhadap pesawat apapun yang tertangkap melanggar kedaulatan wilayah negara kolong.63

Ketentuan yang mengakomodasikan kedaulatan teritorial negara kolong di satu sisi dan konsiderasi-konsiderasi kemanusiaan yang mendasar di sisi lain, haruslah berlaku bagi semua orang, diingatkan dan ditegaskan oleh Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago dan diterima pada 10 Mei 1984, sebagai akibat dari peristiwa penembakan pesawat

63


(23)

Boeing 747 Korean Airlines 1 September 1983. Pada 26 Pebruari 1996 Dewan Keamanan PBB menyerukan negara kolong untuk menahan diri dari tindakan eksekusi terhadap pesawat sipil. Seruan ini sebagai respon terhadap eksekusi yang dilakukan militer kuba terhadap dua pesawat cesna, pesawat sipil yang diduga digunakan oleh pemberontak Kuba yang bermarkas di Amerika Serikat, melakukan pelanggaran wilayah udara Kuba. Pembelaan Kuba dalam kasus ini ad alah bahwa Kuba melakukan tindakan self defence karena pesawat sipil tersebut membahayakan keamanan nasional Kuba.64

State aircraft hanya dapat terbang di atas territorial negara lain dengan otorisasi dari negara yang bersangkutan yang harus diberikan dalam bentuk a special agreement atau lainnya. Praktek negara menunjukkan otorisasi diberikan melalui bilateral atau multilateral agreement antara negara-negara yang berkepentingan atau dalam bentuk “ad hoc” permission melalui saluran diplomatik. Fakta adanya operational air traffic control (ATC) clearance untuk terbang belumlah cukup menurut Pasal 3 Konvensi Chicago 1944. Pasal 3 (c) konvensi ini menyatakan bahwa jika “state aircraft” masuk ruang udara Negara. lain tanpa otorisasi yang sah maka negara kolong dapat melakukan:

a. intercepted for purposes of identification;

b. directed to leave the violated air space by a determined route;

c. directed to land for the purpose of further investigation/prosecution;

d. forced to land for further investigation/prosecution.

64


(24)

Disinilah satu poin lagi pentingnya pembedaan status pesawat apakah merupakan pesawat sipil ataukan state aircraft/military aircraft. Pelanggaran ruang udara yang dilakukan state aircraft ini akan melahirkan state responsibility pada negara pelanggar. Meskipun demikian, sifat dan bentuk pertanggungjawaban tersebut sangat tergantung pada hubungan baik antara kedua negara terkait, dapat berupa kewajiban meminta maaf, janji untuk mempidanakan individu yang bertanggungjawab, janji untuk tidak mengulangi pelanggaran (infraction) tersebut, sanksi-sanksi yang lain adalah perampasan pesawat pelanggar (the forfeiture of the violating aircraft) dan pemenjaraan awak pesawat. Penggunaan senjata terhadap pesawat pelanggar di masa damai dianggap tercela (reprehensible) dan bertentangan dengan semua konsep kemanusiaan. Use of force ini tidak hanya menghancurkan pesawat tetapi juga merupakan penerapan hukuman mati atau eksekusi langsung kepada semua penumpang pesawat tanpa melalui proses hukum atau hak untuk banding. Tindakan yang diambil negara kolong dalam menggunakan use of force menurut Michael Milda haruslah merefleksikan a “proportionate” use of force.65

Meskipun dianggap tercela namun kodifikasi hukum internasional khususnya Pasal 3 bis Konvensi Chicago mengakui larangan penggunaan senjata hanyalah terhadap civil aircraft in flight. Pesawat negara khususnya pesawat militer tidak menikmati perlindungan semacam ini dalam hukum internasional. Pasal 8 Konvensi Chicago 1944 menambahkan bahwa pesawat tanpa awak seperti

65


(25)

balloons, drones, some miniature insize yang terbang di atas wilayah negara lain diperlakukan sebagai pesawat negara atau pesawat militer yang harus tunduk pada otorisasi khusus negara kolong. Negara peserta konvensi Chicago sepakat bahwa penerbangan pesawat berawak tersebut di daerah terbuka untuk pesawat sipil harus dikendalikan untuk menghindarkan bahaya bagi civil aircraft.66

Pembedaan pesawat udara negara dengan pesawat udara sipil juga ditemukan di konvensi PBB 1958 dan Konvensi PBB 1982 tentang hukum laut. Istilah yang digunakan oleh Konvensi 1958 adalah pesawat udara militer dan pesawat udara dinas pemerintah (govenment services) di satu sisi dengan privat aircraft di sisi lain. Private aircraft tidak memiliki kewenangan penegakan hukum sebagaimana yang dimiliki pesawat militer dan pesawat udara dinas pemerintah.67 Selain membedakan antara pesawat udara negara dengan pesawat udara sipil, konvesi juga membedakan antara penerbangan terjadwal dengan tidak terjadwal. Pasal 5 Konvensi Chicago 1944 memberikan hak bagi penerbangan sipil yang termasuk kategori penerbangan tidak terjadwal (non-scheduled flight) melakukan penerbangan melewati wilayah udara atau melaksanakan pendaratan untuk sekedar transit (non-traffic purposes) seperti halnya “refuelling” tanpa harus minta izin terlebih dahulu. Namun demikian, hal ini juga dibatasi bahwa untuk kepentingan keselamatan penerbangan pesawat yang ingin terbang di suatu daerah yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan navigasi udara untuk mengikuti rute-rute yang diberikan atau memiliki izin khusus. Adapun bagi penerbangan

66 Pasal 9 Konvensi Chicago 1944

67K Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan hukum Angkasa, Hukum laut


(26)

terjadwal (scheduled air services) melewati atau mendarat di daerah territorial negara lain harus memiliki izin khusus.68Dalam praktek pengaturan penerbangan, pada umumnya negara kolong atas nama keselamatan penerbangan menerapkan persyaratan yang berat bagi pesawat yang melintas atau masuk kewilayah ruang udaranya. Termasuk bagi penerbangan tidak terjadwal. Atas nama hankam, atau keselamatan, negara kolong dapat membuat aturan zona larangan terbang (prohibited zone), zona yang terbatas (restricted zone), zona bahaya (dangered zone), zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ)), mandala operasi pertahanan udara, dan lain-lain. Larangan terbang di Prohibited zone bersifat permanen dan menyeluruh69 Adapun kawasan udara terbatas hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara.70

Pada akhirnya, dalam praktek tidak ada satu jenis pesawat pun yang dapat melintas di ruang udara negara lain tanpa izin negara kolong.71 Dalam praktek pula, sesungguhnya di ruang udara tidak ada yang namanya the right ofinnocent

Passage sebagaimana yang berlaku di laut teritorial.72 Hal ini sejalan dengan

prinsip yang berlaku di ruang udara yaitu prior consent.73 Konvensi Chicago 1944 dilengkapi dengan Air Transport Agreement. Pasal 1 perjanjian ini mengatur mengenai the five freedom of the air yang terdiri dari hak untuk terbang melewati

68

Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional

69 Pasal 7 (3) UU Nomor 1 Tahun 2009

70 Pasal 7 (4) UU Nomor 1 Tahun 2009 71 Yasidi Hambali, Loc.Cit

72 Trans Likadja, Masalah Lintas di Ruang Udara, Mandar Maju, Bandung, 1987, hal. 30, Lihat juga Priyatna Abdurrasyid, “Prinsip-Prinsip Hukum Angkasa (Hukum Udara dan Ruang

Angkasa)”, makalah pada penataran hukum udara dan ruang angkasa, FH Universitas Padjadjaran, Bandung 5-17 September 1994, hal. 3-4.

73 Gbenga Oduntan, Sovereignty and Jurisdiction in Air Space and Outer Space: Legal


(27)

wilayah teritorial negara lain tanpa mendarat, hak untuk mendarat di negara lain untuk non traffic purposes seperti hanya untuk refuelling, hak untuk menurunkan penumpang, surat dan kargo yang berangkat dari negara dimana pesawat tersebut terdaftar, hak untuk mengambil penumpang, surat dan kargo untuk dibawa ke negaranya dan hak untuk mengambil penumpang, suratdan kargo untuk tujuan negara lain dan menurunkannya di setiap negara tujuan.74

Negara pihak dalam Konvensi Chicago 1944 wajib mengadopsi semua prosedur dan standar-standar internasional di dalam ketentuan penerbangan nasionalnya, termasuk di dalamnya rules of the air and air traffic control practices. Setiap negara wajib memberikan kemudahan pada navigasi udara internasional.75Salah satunya dengan menyediakan rute udara yang dijelaskan dalam Pasal 68 konvensi tersebut.76Meskipun wajib memberikan kemudahan dengan menyediakan rute udara bagi penerbangan sipil internasional, namun negara tetap berhak atas nama kepentingan militer atau untuk keselamatan umum karena ada aktivitas yang dapat membahayakan penerbangan seperti ada peluncuran satelit, instalasi nuklir, dan obyek vital nasional untuk menetapkan daerah larangan terbang atau terbatas.77

Annex 2 Konvensi Chicago memberikan rekomendasi dan standar yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan pelaksanaan penerbangan sebagaimana

74ddy Suyanto, “Pengaturan Penggunaan Ruang Udara (Suatu Tanggung Jawab Negara Terhadap Kemanan dan Keselamatan Penerbangan)”, makalah pada Seminar Nasional Menggugat

Pertanggungjawaban Hukum atas Keselamatan dan Keamanan Penerbangan Internasional, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Internasional FH Universitas Diponegoro, Semarang, 19 Mei 2011, hal. 3.

75 Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional 76 Ibid, Pasal 68


(28)

yang diamanatkan oleh Pasal 37 Konvensi Chicago 1944. Beberapa persyaratan penting yang harus dipatuhi dalam penerbangan sipil internasional yang diatur dalam annex ini antara lain adalah pertama tentang flight plan atau rencana penerbangan. Pesawat sipil yang melaksanakan penerbangan internasional harus menyampaikan kepada air traffic services units tentang flight plan-nya. Pesawat yang bersangkutan harus menjelaskan hal-hal seperti identifikasi pesawat, jenis, penerbangan yang dipilih dapat berupa terbang instrumen atau visual (terbang dengan menggunakan tanda-tanda darat sebagai petunjuk) dan tipe dari penerbangan yaitu sipil atau militer; nomor dan tipe pesawat; rute yang dipilih; tujuan pendaratan dan lain sebagainya. Flight plan ini harus disampaikan satu jam sebelum penerbangan atau bisa disampaikan pada saat terbang dengan menggunakan radio komunikasi paling lambat sepuluh menit sebelum memasuki titik dimana ada area pengaturan atau titik dimana melewati udara atau rute-rute yang telah ditetapkan.

Ada 5 bentuk penerbangan yang diwajibkan menyerahkan flight plan yaitu:78

a. setiap penerbangan yang diberikan pelayanan lalu lintas udara;

b. setiap penerbangan dengan instrumen flight rules (terbang dengan menggunakan instrumen sebagai pedoman) di dalam suatu wilayah udara yang telah ditetapkan seperti menggunakan rute-rute yang telah ada;

c. setiap penerbangan di dalam atau menuju wilayah yang telah ditetapkan atau sepanjang rute yang telah ditetapkan, hal ini diperlukan oleh otoritas air traffic

78


(29)

service (ATS) yang berwenang untuk memudahkan pelayanan informasi penerbangan, kewaspadaan, dan layanan pencarian dan pertolongan;

d. setiap penerbangan di dalam atau menuju wilayah yang telah ditetapkan atau sepanjang rute yang telah ditetapkan, hal ini diperlukan oleh otoritas air traffic service (ATS) yang berwenang untuk memudahkan koordinasi dengan unit angkatan udara yang berwenang atau unit pelayanan lalu lintas udara negara tetangga dalam rangka menghindari kemungkinan intersepsi untuk tujuan identifikasi;

e. setiap penerbangan yang melewati perbatasan internasional.

Hal penting kedua yang diatur oleh Annex 2 adalah kewajiban melakukan komunikasi dua arah dengan pengatur lalu lintas udara untuk melaporkan posisinya setiap kali melewati reporting point seperti tentang waktu dan ketinggian. Hal ini sangat penting untuk mencegah tubrukan (collision) pesawat.

Setiap pesawat juga harus mempertahankan memonitor radio dan melaksanakan komunikasi dua arah dengan unit otoritas setempat. Dari paparan di atas nampak bahwa keberadaan unit ATS sangatlah penting untuk mencegah tabrakan antar pesawat, mencegah tabrakan antara pesawat di area penerbangan dengan suatu benda yang ada di area tersebut dan memberikan saran dan informasi yang berguna bagi keselamatan dan efisiensi pelaksanaan penerbangan serta memberikan informasi bila suatu pesawat harus dilakukan pencarian dan pert olongan dan membantu badan search and rescue (SAR) jika diperlukan. ATS diatur secara khusus dalam Annex 11 tentang ATS. Dalam pelaksanaan ATS dijelaskan bahwa setiap negara anggota wajib menentukan bagian-bagian dari


(30)

wilayah udaranya tempat pemberian pelayanan lalulintas udara untuk kepentingan keselamatan. Dalam hal ini dimungkinkan kerjasama yang saling menguntungkan antar negara untuk mendelegasikan tanggung jawab ruang udaranya ke negara lain seperti adanya pelayanan lalu lintas udara tersebut, yang dikenal dengan flight information region (FIR). Sebagaimana diketahui sebagian wilayah udara NKRI masuk ke dalam FIR Singapura. Namun demikian pendelegasian ini tidak termasuk pendelegasian kedaulatan negara. Hal ini dijelaskan secara lengkap dalam Annex 11 yang menyatakan bahwa, “If one state delegates to another state the responsibility for the provision of air traffic services over its territory, it does

so without t derogation of its national soveeignt”. Dengan demikian kewenangan

penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran kedaulatan tetap ada pada negara yang memiliki wilayah tersebut.

Dari paparan di atas nampak bahwa hukum internasional memberikan kedaulatan yang penuh dan eksklusif pada negara kolong untuk mengatur penerbangan di atas wilayahnya. Negara kolong berhak mengatur jalur-jalur penerbangan bagi pesawat asing, menentukan zona larangan terbang yang siftanya permanen ataupun terbatas. Di sisi lain negara kolong wajib mengadopsi semua prosedur dan standar-standar internasional di dalam ketentuan penerbangan nasionalnya, termasuk di dalamnya rules of the air and air traffic control practices. Setiap negara wajib memberikan kemudahan pada navigasi udara internasional. Terkait dengan pelanggaran terhadap ruang udaranya, penentuan status hukum pesawat pelanggar sangatlah penting. Negara kolong berhak melakukan intersepsi atau penyergapan dan memaksa turun pesawat yang


(31)

melakukan pelanggaran untuk kemudian diproses hukum menurut hukum yang berlaku di negara tersebut. Penentuan status hukum pesawat sangatlah penting untuk pelaksanaan penegakan hukum terkait pelnggaran wilayah tersebut. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya telah dilanggar tidak dapat menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bersikap bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat. Pelanggaran ruang udara yang dilakukan pesawat sipil tidak menimbulkan state responsibility apabila negara tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran tersebut.

Dengan demikian segala macam sanksi yang diberikan oleh negara kolong menjadi tanggung jawab dari maskapai penerbangan yang bersangkutan. Pelanggaran yang dilakukan pesawat sipil ini akan dapat dilimpahkan pada negara (attributable) dan menimbulkan tanggung awab negara (state responsibility) hanya apabila negara memberi fasilitas terhadap pelanggaran yang dilakukan atau bahkan negara memberikan perintah pada pesawat sipil tersebut untuk melakukan pelanggaran ruang udara negara kolong. Manakala pelanggaran ini dapat dilimpahkan pada negara maka yang terjadi tidak lagi sekedar pelanggaran terhadap hukum nasional negara kolong namun sekaligus juga menjadi pelanggaran hukum internasional yang penyelesaiannya juga berdasarkan mekanisme penyelesaian sengketa menurut hukum internasional.


(32)

D. Hak dan Kewajiban Pesawat Asing di Indonesia

Hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara Asing dalam melaksanakan hak lintas Alur laut kepulauan

Menurut Pasal 2 Kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas bAlurLaut Kepulauan, untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.

Pasal 3 Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui alur laut atau melalui udara di atas alur laut yang ditetapkan sebagai alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11.

(1) Pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini di bagian-bagian lain Perairan Indonesia dapat dilaksanakan setelah di bagian-bagian lain tersebut ditetapkan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tersebut.

Menurut Pasal 4 berbunyi:

(1) Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut


(33)

kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.

(2) Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut.

(3) Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.

(5) Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.


(34)

(6) Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar- mandir, kecuali dalam hal force majeure atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.

(7) Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.

Ketentuan Pasal 5 berbunyi Kapal atau pesawat udara asing, tennasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey hidrografi, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.

Menurut Pasal 6 berbunyi:

(1) Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan perikanan. (2) Kapal penangkap ikan asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut

Kepulauan, selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga wajib menyimpan peralatan penangkap ikannya ke dalam palka. (3) Kapal dan pesawat udara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut


(35)

orang, barang atau mata uang dengan cara yang bertentangan dengan perundang-undangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan kesehatan, kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan musibah.

Ketentuan Pasal 7 berbunyi:

(1) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek internasional mengenai keselamatan pelayaran yang diterima secara umum, termasuk peraturan tentang pencegahan tubrukan kapal di laut.

(2) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dalam suatu alur laut di mana telah ditetapkan suatu Skema Pemisah Lintas untuk pengaturan keselamatan pelayaran, wajib menaati pengaturan Skema Pemisah Lintas tersebut.

(3) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan pada sarana atau fasilitas navigasi serta kabel-kabel dan pipa-pipa bawah air.

(4) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut kepulauan dalam suatu alur lautkepulauan di mana terdapat instalasi-instalasi untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya alam hayati atau non hayati, tidak boleh berlayar terlalu dekat dengan zona terlarang yang lebamya 500 (lima ratus) meter yang ditetapkan di sekeliling instalasi tersebut.


(36)

Pasal 8

(1) Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :

a. menaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan;

b. setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi radio darurat internasional yang sesuai

(2) Pesawat udara negara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus :

a. menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a;

b. memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. Pasal 9

(1) Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan bahan-bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut, dan atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan dan standar intenasional untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran laut yang berasal dari kapal.

(2) Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan dilarang melakukan dumping di Perairan Indonesia.

(3) Kapal asing bertenaga nuklir; atau yang mengangkut bahan nuklir, .atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya nuklir, .atau barang atau


(37)

bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal-kapal yang demikian.

Pasal 10

(1) Orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas pengoperasian atau muatan kapal atau pesawat udara niaga asing atau kapal atau pesawat udara pemerintah asing yang digunakan untuk tujuan niaga wajib bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan- ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.

(2) Negara bendera kapal atau negara pendaftaran pesawat udara memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Indonesia sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 oleh suatu kapal perang atau pesawat udara negara asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Perairan Indonesia.

E. Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara Nasional dan Internasional

Kedaulatan wilayan negara tidak terlepas dari pengaturan ruang udara (airspace) diatas wilayah teritorial yang disebut flight information region (FIR).


(38)

Pelayanan FIR diatas kedaulatan suatu negara dapat didelegasikan kepada negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dalam Pasal 262 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 diatur pelayanan ruang udara diatas wilayah RI . menurut Pasal tersebut, pelayanan ruang udara yang didelegasikan oleh negara lain atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan sebaliknya ruang udara diatas wilayah Indonesia juga didelegasikan kenegara lain berdasarkan perjanjian, khususnya wilayah udara atau Flight Information Region (FIR) diatas pulau Natuna. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 secara tegas bahwa pelayanan FIR yang didelegasikan kepada negara lain, khususnya Pulau Natuna dalam kurun waktu 15 tahun terhitung sejak UU No. 1 tahun 2009 berlaku harus sudah dikembalikan kepada Indonesia.

Secara yuridis, tidak perlu disangsikan lagi bahwa Indonesia berhak untuk mengambil alih FIR di atas kepulauan Natuna dari pengawasan Singapura, walaupun Indonesia harus menyediakan semua fasilitas, sumber daya manusia serta pelayanan yang harus bersaing dengan Singapura. Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kewajiban internasional untuk memberi pelayanan navigasi penerbangan yang memadai sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Konvensi Chicago 1944.79

Konferensi Paris 1910 telah membahas mengenai perbedaan antara pesawat udara sipil dan pesawat udara militer yang dikategorikan ke dalam pesawat udara negara, namun konferensi tersebut tidak berhasil mengesahkan konvensi internasional mengenai pengaturan penerbangan internasional sehingga

79 H.K Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional,


(39)

tidak berhasil merumuskan perbedaan pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara secara formil. Selanjutnya pada tahun 1919, telah berhasil mengesahkan Konvensi Internasional dengan judul Convention Relating to Regulation of Aerial

Navigation, di Paris.80

Konvensi tersebut telah dirumuskan secara formal perbedaan antara pesawat udara sipil dan pesawat udara Negara. Pasal 30 Konvensi Paris 1919 mengatakan bahwa pesawat udara Negara adalah pesawat udara militer, pesawat udara yang semata-mata untuk pelayanan public (public services) misalnya, pesawat udara militer, polisi dan bea cukai.81

Pengaturan lebih jelas terdapat dalam Pasal 32 yang berbunyi: “No military aircraft of a contracting states shall fly over the territory of another Contracting State nor land thereon without special authorization (permission).” Dijelaskan bahwa pesawat udara militer (Negara) tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas wilayah Negara anggota Konvensi Paris 1919. Sedangkan pesawat udara sipil diwaktu damai dalam Konvensi Chicago 1944 termempunyai hak untuk melakukan penerbangan lintas damai di atas wilayah Negara anggota lainnya, namun demikian wilayah Negara tersebut tidak berlaku untuk pesawat udara sipil yang melakukan dinas penerbangan internasional nasional berjadwal maupun pesawat udara Negara.82 Hal ini berarti pesawat udara militer tidak dapat dikenakan ketentuan hukum Negara lain yang berlaku seperti halnya terhadap pesawat udara sipil. Tambahan pula, awak pesawat udara militer memperoleh manfaat dari hak imunitas di dalam yurisdiksi kedaulatan Negara

80 Ibid 81 Ibid 82


(40)

territorial lain hanya sepanjang tindakan dan sikapnya itu sesuai dengan apa yang menjadi misinya. Jika terjadi sengketa berkaitan dengan imigrasi, bea cukai, atau karantina, maka hak tuan rumah hanya terbatas pada meminta pesawat udara Negara tersebut untuk meninggalkan wilayahnya Ketentuan-ketentuan penerbangan internasional (termasuk perbedaan pesawat udara sipil dengan pesawat udara Negara) dalam Konvensi Paris 1919, diambil alih oleh Konvensi Havana 1928, yang kemudian kedua konvensi tersebut dicabut oleh Pasal 80 Konvensi Chicago 1944.

Ketentuan pembedaan pesawat udara sipil dengan pesawat udara Negara dalam Konvensi Chicago 1944 tercantum dalam Pasal 3 (c). Menurut Pasal tersebut pesawat udara sipil adalah selain daripada pesawat udara Negara, sedangkan yang dimaksud pesawat udara Negara adalah pesawat udara yang dipergunakan untuk militer, polisi dan bea cukai. Pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas wilayah Negara anggota. Sebaliknya menurut Pasal 5 Konvensi Chicago 1944, pesawat udara selain pesawat udara militer, polisi dan bea cukai yang melakukan penerbangan internasional tidak berjadwal dapat melakukan di atas wilayah Negara anggota tanpa memperoleh izin terlabih dahulu. Dalam praktek, ketentuan Pasal 5 ini tidak dapat dilaksanakan karena setiap Negara berdasarkan paragraph 2 dapat mengenakan persyaratan-persyaratan tertentu yang berat dilaksanakan.

Menurut Priyatna, klasifikasi pesawat udara adalah sebagai berikut:

Pesawat udara (air craft) : (1)Pesawat udara Negara (a) Pesawat udara militer (a1) Pesawat udara Angkatan Udara (a2) Pesawat udara Angkatan Laut (a3) Pesawat


(41)

udara Angkatan Darat. (a4) Pesawat udara yang dimilterisasi (b)Pesawat udara Negara lainnya (b1) Pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan Negara (b2) Pesawat udara polisi (b3) Pesawat udara bea-cukai (b4) Pesawat udara suatu jawatan pemerintah (2) Pesawat udara sipil (a) Pesawat udara komersial (b)Pesawat udara privat/ non komersial. Angkatan Laut Amerika Serikat mendefinisikan Pesawat udara militer dalam salah satu pedoman militernya.83

F. Akibat Hukum Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia dalam Hukum Nasional dan Internasional

Di Indonesia zona larangan terbang terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992. Menurut Pasal tersebut Indonesia berhak menetapkan zona larangan terbang atas dasar pertimbangan pertahanan keamanan dan keselamatan penerbangan. Namun Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara, Indonesia melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan, dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara, karena itu pemerinatah dpat menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang. Bilamana terdapat pesawat udara yang melanggar zona larangan personel lalu lintas udara akan menginformasikan bahwa adanya pesawat udara yang melanggar zona larangan kepada aparat yang bertugas

83 Priyatna Abdur Rasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Air & Space Law Centre, Jakarta, 1972, hal 28


(42)

dibidang pertahanan negara. Dalam hal perinagtan dan larangan tidak ditaati, maka dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara (state aircraft) untuk keluar wilayah Indonesia atau zona larangan untuk mendarat dipangkalan udara terdekat, kemudian semua awak pesawat beserta muatannya diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.84

Praktiknya larangan tersebut tidak terbatas alasan pertahanan dan keamanan umum, tapi juga alasan ekonomi dan keselamatan penerbangan, misalnya pesawat udara tidak boleh terbang di atas Bontang, karena Bontang merupakan sumber devisa negara yang berpotensi menghasilkan gas alam, demikian juga zona larangan terbang atas pertimbangan keselamatan penerbangan seperti dalam hal terjadi gunung meletus seperti pernah terjadi pada saat gunung Galunggung tahun 1982 atau gunung Merapi di Jawa Tengah pernah meletus sehingga pesawat udara dilarang terbang diatasnya.

Di Indonesia paling tidak pernah terjadi empat kali pelanggaran kedaulatan wilayah di udara, salah satunya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara militer F-18 Hornet milik Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu pesawat tersebut melakukan penerbangan diatas pulau Bawean yang mengadakan manuver diatas kapal yang sedang dikawal. Peristiwa tersebut sempat menjadi bahan polemik di media masa karena pesawat udra militer tersebut belum memperoleh diplomatic clearance yang dikeluarkan oleh kementerian pertahanan. Menurut keterangannya pesawat tersebut telah mengajukan oermohonan izin tetapi izin tersebut belum diperoleh pesawat udara sudah terbang diatas pulau Bawean.

84


(43)

Sebagaimana diketahui bahwa International Maritime Organization (IMO) pada 1998 telah menyetujui tiga alur laut perairan negara kepulauan I, II, III masing-masing untuk Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, namun demikian tampaknya Amerika Serikat tetap pada menginginkan alur laut perairan kepulauan seperti biasanya yang membelah wilayah Indonesia Utara-Selatan, Barat-Timur seperti biasanya. Amerika Serikat tampaknya mencoba memancing reaksi Indonesia apabila pesawat militer Amerika Serikat tidak mematuhi ketentuan UNCLOS 1982, karena Amerika Serikat sejak semula secara tegas tidak mau meratifikasi UNCLOS. Amerika Srikat menafsirkan UNCLOS hanya berlaku bagi negara anggota, sedangkan bagi negara anggota tidak berlaku.

Penafsiran Amerika sebenarnya kurang tepat, karena UNCLOS merupakan Universal Law yang mengikat kepada negara mana pun, terlepas menjadi anggota atau tidak. Secara yuridis, UNCLOS merupakan Law Making Treaty yang berlaku epada negara mana pun, bukan bersifat Treaty Contract yang berlaku terhadap negara anggota. Hal ini secara tegas dapat dibaca dalam Pasal 3 dan Pasal 8 UNCLOS. Dengan demikian tindakan F-18 Hormet militer Amerika Serikat diatas pulau Bawean beberapa waktu yang lalu, kemungkinan bersifat provokatif mencoba bagaimana reaksi Indonesia apabila terjadi pelanggaran terhadap UNCLOS yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 17 tahun 1985. Berdasarkan hukum Internasional, walaupun F-18 Hormet melakukan manufer yang melanggar hukum nasional Indonesia dan hukum Internasional, tidak dapat dipaksa harus mendarat dipangkalan udara terdekat, karena F-18 Hormet tersebut merupakan pesawat udara negara (state aircraft). Dalam hukum


(44)

Internasional pesawat udara negara tidak boleh disidik atau diperiksa oleh pejabat penyidik, namun demikian pesawat udara negara, khususnya F-18 Hormet dapat diusir oleh pesawat udara negara Indonesia dalam hal ini pesawat TNI, keluar wilayah wilayah kedaulatan RI. Dalam hal ini pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh pesawat udara F-18 Hormet, pemerintah Indonesia dapat protes melalui saluran diplomatik, dalam hal ini Departemen Luar Negeri ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.85

Adanya kontradiksi pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS dengan Konvensi Chicago 1944 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 pada Pasal 19 tentang pengertian lintas damai, sub Pasal 2e menyebutkan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap mem-bahayakan terhadap kedamaian, keter-tiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teitorial melakukan salah satu kegiatan ;pelun-curan, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal.86 Sifatnya mempunyai kedudukan yang menggambarkan akan adanya suatu an-caman, meskipun tidak diketahui kapan dan di mana akan dilaksanakan, sehingga bagi kapal perang yang lewat meskipun secara “damai” mau tidak mau menem-patkan negara pantai dalam keadaan khawatir. Sebagai salah satu contoh ter-hadap peristiwa yang dianggap melang-gar berkaitan dengan peluncuran pesawat militer asing di wilayah ALKI Indonesia adalah insiden yang terjadi di Bawean, di sana Kapal Induk Amerika mener-bangkan atau meluncurkan pesawat

85 Ibid., hlm262-263

86 Koesnadi Kardi, Masyarakat Internasional Wajib Menghormati Wilayah Kedaulatan

Laut dan Udara RI, dalam Prosiding Seminar Sehari Penerbangan TNI Angkatan Laut, Juanda Juni 2004, hal. 17.


(45)

F-18 Hornet sampai mendekat wilayah pulau Bawean tanpa berkomunikasi dengan ATC (Air Traffic Control), sehingga dapat membahayakan terhadap lalu lintas udara yang ada.

Ditinjau dari posisi pesawat F-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang sedang melaksanakan peng-awalan rombongan atau gugus Kapal Induk USS Carl Vinson terhadap ALKI, posisi pesawat F-18 tersebut jelas-jelas berada di luar ALKI. Dikaitkan dengan hukum yang menjelaskan tentang penger-tian lintas damai (Innocent Passage), keberadaan F-18 Hornet yang mengawal rombongan Kapal Induk USS Carl Vinson jelas bertentangan dengan penger-tian lintas damai yang tercantum pada UNCLOS 1982 Pasal 19 Sub Pasal 1 yang berbunyi; Lintas damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ke-tertiban atau keamanan negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya (yaitu ICAO). Pesawat tersebut harus pula mengikuti jalur penerbangan sipil yang telah ditentukan oleh ICAO.87

Dalam Annex 11 “Air Trafic Ser-vices” ditentukan pada ayat (3):

“Lintas alur penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk mela-kukan transit yang secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang …..”. Sedangkan pada ayat (4) dalam Annex ini termuat: “… mencakup semua rute lintas normal yang digunakan sebagai rute …”.

87


(46)

Dengan adanya ketentuan 3 ALKI berdasarkan Peratuan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 menjadi dasar argumen-tasi bagi Amerika Serikat menggunakan alasan lain sesuai Pasal 53 ayat (12) UNCLOS 1982 yakni:

If an archipelagic state does not designate sea lanes or air routes, the right of

archipelagic sea lanes passage may be excercised through the routes normally

used for international navi-gation”

Terjemahan

“Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan Alur Laut atau rute pener -bangan, maka hak lintas Alur Laut ke-puluan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional”.

Ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur tentang hak lintas damai bagi pesawat sipil dan pesawat negara di udara dapat menimbulkan permasalahan hukum udara di Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa ayat yang terdapat dalam ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur hak lintas damai di atas ALKI oleh pesawat udara sipil maupun pesawat udara negara bertentangan dengan ketentuan dalam Konvensi Chicago 1944. Guna menghindari persoalan yang dapat ditimbulkan dari perbedaan ketentuan ini, maka sesuai ruang lingkup berlakunya dalam melaksanakan ketentuan penerbangan ke wilayah Indonesia harus tun-duk pada hukum udara Indonesia.

Dalam hal negara dalam keadaan bahaya, ini ditentukan Presiden sebagai-mana ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 12, bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya”. Kewenangan penggunaan ruang udara nasional negara dalam keadaan bahaya dilakukan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara


(47)

(TNI-AU), semen-tara kewenangan tersebut tidak diatur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 88

Sehubungan itu pemanfaatan ruang udara nasional untuk kegiatan pener-bangan pada saat negara dalam keadaan tidak damai (dalam keadaan bahaya) atau di daerah-daerah atau kawasan konflik perlu diatur atau ditetapkan secara tegas. Atas dasar uraian di atas, penegakan hukum atas pelanggaran penerbangan di wilayah ruang udara nasional diperlukan dua unsur penting, yaitu kelembagaan dan sarana pendukungnya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara ditetapkan bahwa TNI-AU sebagai lembaga yang berwenang atas pene-gakan hukum atas penerbangan di ruang udara nasional termasuk pengendalian ke-giatan dan atau usaha lain di udara pada saat negara tidak damai atau di daerah-daerah konflik.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, hal wewenang dan tanggungjawab insti-tusi sebagai penegakan hukum di ruang udara tidak diatur secara tegas. Oleh sebab itu, tugas dan tanggung jawab TNI-AU perlu diatur secara tegas dalam undang-undang pengelolaan ruang udara nasional.

88


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

1. Kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan Konvensi Chicago 1944, yaitu Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut maupun udara, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif pada ruang udara diatasnya. Namun demikian kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak–hak negara lain untuk melintas diwilayah ruang udara

2. Pelanggaran kedaulatan wilayah yang telah dilakukan oleh pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat. Pelanggaran kedaulatan wilayah udara RI oleh Amerika Serikat (AS) berkait dengan manuver lima pesawat f-18 Hornet di Bawean, Jawa Timur. Maka dari itu, Indonesia tengah menyiapkan nota protes kepada AS. Di samping itu, menurut Panglima TNI, ternyata, AS belum menyampaikan surat izin kepada Indonesia mengenai rombongan Navy Seal yang akan melintasi perairan Indonesia. Padahal, sebelumnya, pihak AS menyatakan telah mengajukan izin kepada pemerintah Indonesia.

3. Akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari Konvensi Chicago Tahun


(1)

LEMBAR PENGESAHAN

PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA

DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Muhammad Hadiid Asyari 090200482

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum

NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum Dr.Sutiarnoto, SH., M.Hum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA KECIL, MIKRO DAN MENENGAH PADA CV. KARYA

MAKMUR PERKASA KOTA BINJAI uhammad Hadiid Asyari

**Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum ***Dr.Sutiarnoto, SH., M.Hum

Udara merupakan salah satu sumber daya alam dan unsur lingkungan. Udara selain mengandung sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan untuk kemakmuran rakyat, udara juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain misalnya kepentingan politik. Karakteristik sumber daya alam di udara terdiri dari: sumber daya energi (surya dan angin), sumber daya gas, sumber daya ruang.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan Konvensi Chicago 1944. Bagaimana pelanggaran kedaulatan wilayah yang telah dilakukan oleh pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat. Akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari Konvensi Chicago Tahun 1944.

Jenis penelitian yang digunakan adalah ini yuridis normatif, penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan kepustakaan (library research). Kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan Konvensi Chicago 1944, yaitu Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut maupun udara, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif pada ruang udara diatasnya. Pelanggaran kedaulatan wilayah yang telah dilakukan oleh pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat. Pelanggaran kedaulatan wilayah udara RI oleh Amerika Serikat berkait dengan manuver lima pesawat f-18 Hornet di Bawean, Jawa Timur. Maka dari itu, Indonesia tengah menyiapkan nota protes kepada AS. Di samping itu, Panglima TNI, ternyata, AS belum menyampaikan surat izin kepada Indonesia mengenai rombongan Navy Seal yang akan melintasi perairan Indonesia. Pihak AS menyatakan telah mengajukan izin kepada pemerintah Indonesia. Akibat hukum pelanggaran pesawat F-18 Hornet milik Amerika Serikat diwilayah kedaulatan Indonesia ditinjau dari Konvensi Chicago Tahun 1944. hukum Internasional pesawat udara negara tidak boleh disidik atau diperiksa oleh pejabat penyidik, namun demikian pesawat udara negara, khususnya F-18 Hormet dapat diusir oleh pesawat udara negara Indonesia dalam hal ini pesawat TNI, keluar wilayah wilayah kedaulatan RI.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944 Salah satu salah persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Sutiarnoto, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua ayahanda H.Samsul Syarif,SE dan ibunda Intansri Kemala,SE dan adinda Anissa Safira,Aisy Javas serta keluarga penulis yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Ilham dunovan,Saed,Abdul Hadi,,Jean, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Maret 2016 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944... 22

A. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia ... 22

B. Batas Kedaulatan Negara di Wilayah Udara ... 24

C. Pengaturan Hukum terhadap Kedaulatan Negara berdasarkan di Ruang Udara Konvensi ... 25

BAB III PELANGGARAN KEDAULATAN WILAYAH YANG TELAH DILAKUKAN OLEH PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT ... 33

A. Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia dan Pelanggaran Kedaulatan Negara ... 33

B. Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut Hukum Nasional ... 38


(6)

C. Pelanggaran Pesawat Udara Militer Asing menurut

Hukum Internasional ... 42

BAB IV AKIBAT HUKUM PELANGGARAN PESAWAT F-18 HORNET MILIK AMERIKA SERIKAT DIWILAYAH KEDAULATAN INDONESIA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 ... 60

A. Hak dan Kewajiban Pesawat Asing di Indonesia ... 60

B. Pengaturan Mengenai Pesawat Udara Militer Menurut Hukum Udara Nasional dan Internasional ... 65

C. Akibat Hukum Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia dalam Hukum Nasional dan Internasional ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 3 10

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 23

PENUTUP KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 34

Penetapan Laik Terbang Pesawat Udara Indonesia Dikaitkan Dengan Konvensi Chicago 1944.

0 0 6

STATUS HUKUM PESAWAT UDARA SIPIL YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SENJATA PENGHANCUR BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944.

0 0 2

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 7

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 1

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 21

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

0 1 11

Pelanggaran Pesawat F-18 Hornet Milik Amerika Serikat Diwilayah Kedaulatan Indonesia Ditinjau Dari Konvensi Chicago Tahun 1944

0 0 4