Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi di DAS Padang

(1)

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI

DI DAS PADANG

SKRIPSI

Oleh :

Triskin Puji. A. S

101201124

Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI

DI DAS PADANG

SKRIPSI

Oleh :

TRISKIN PUJI. A. S 101201124 MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi di DAS Padang Nama : Triskin Puji A. S

NIM : 101201124

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D. Muhammad Irsan, S.Si., M.Si. Ketua Pembimbing Anggota Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D.


(4)

ABSTRAK

TRISKIN PUJI. A. S. Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi di DAS Padang. Dibawah bimbingan RAHMAWATY dan MUHAMMAD IRSAN.

DAS Padang ditetapkan sebagai DAS prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang penetapan DAS prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014. Berdasarkan pengamatan BPDAS Wampu Sei Ular, kondisi hutan di daerah aliran sungai Padang semakin memprihatinkan. Perubahan peruntukan lahan hutan menjadi lahan-lahan pertanian mengakibatkan terjadi perubahan keseimbangan di dalam tanah. Tanah yang tidak bervegetasi, curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang tinggi menjadi pemicu masalah erosi tanah. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memetakan tingkat bahaya erosi dan mengetahui debit sedimen melayang yang terjadi di DAS Padang. Penelitian ini dilakukan pada April-September 2014 di Kabupaten Serdang Bedagai, kota Tebing Tinggi dan Kabupaten Simalungun, menggunakan metode survey dengan pengambilan sampel secara purposive sampling dan dilanjutkan perhitungan prediksi erosi tanah dengan metode USLE (Universal Soil Loss

Equation).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Padang adalah 41,58% tingkat bahaya erosi sedang, 34,70% tingkat bahaya erosi ringan, 13,47% tingkat bahaya erosi berat, 5,50% tingkat bahaya erosi sangat ringan dan 4,75% tingkat bahaya erosi berat. Tingkat bahaya erosi sedang jika dibiarkan akan mengalami kenaikan pada tahun-tahun berikutnya menjadi tingkat bahaya erosi berat. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan khusus pada daerah-daerah yang mengalami tingkat bahaya erosi sedang.


(5)

ABSTRACT

TRISKIN PUJI. A. S. Mapping Erosion Hazard Level in Padang Watershed. Under Academic Supervision of RAHMAWATY and MUHAMMAD IRSAN.

Padang watershed is defined as the first priority by Decree of the Minister of Forestry 328/Menhut-II/2009 on the establishment of priority watersheds in the framework of the Medium Term Development Plan (RPJM) 2010-2014. Based on observations BPDAS Wampu Sei Ular, forest conditions in Padang watershed is getting worse. The forest land that come into agricultural land along Padang watershed is change the balance in the soil. The unvegetated soils, high rainfall and high slope is come into soil erosion’s problem. Therefore, this research is aims to map the level of erosion and float sediment that occurred in the Padang watershed. The research was performed in April-September 2014 in Serdang Bedagai, Tebing Tinggi and Simalungun, using purposive sampling method and continued by the method of USLE (Universal Soil Loss Equation) to predict the calculation for soil erosion.

The results of this research showed that the rate of erosion that occurred in the Padang watershed is 41.58% rate of medium erosion hazard level, 34.70% rate of light erosion hazard, 13.47% rate of heavy erosion hazard, 5.50% rate of very light erosion hazard and 4.75% rate of heavy erosion hazard. If medium erosion hazard is not taken care, it will increase in subsequent years became a heavy erosion hazard. Therefore, special care needs to be done in medium erosion hazard areas.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi di DAS Padang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rahmawaty S.Hut., M.Si., Ph.D dan Muhammad Irsan, S.Si., M. Si, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan yang membangun dalam penulisan hasil penelitian ini.

Penulis menyadari penulisan dan penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Medan, Januari 2015


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Daerah Aliran Sungai (DAS)... 4

Peranan Aliran Permukaan Terhadap Erosi ... 5

Proses Erosi ... 6

Macam dan Bentuk Erosi ... 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi ... 10

Prediksi Erosi ... 14

Debit Aliran Sungai ... 16

Sedimentasi ... 16

Sistem Informasi Geografis ... 18

Kondisi Umum Wilayah DAS Padang... 21

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

Alat dan Bahan Penelitian ... 24

Prosedur Penelitian ... 24

Perhitungan (Prediksi) Laju Erosi Menggunakan Metode USLE ... 26

Penentuan Tingkat Bahaya Erosi ... 30

Analisis Spasial ... 30

Analisis Sedimen ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Faktor Erosivitas (R) ... 34

Analisis Faktor Erodibilitas (K) ... 35


(8)

Prediksi Erosi Menggunakan Metode USLE ... 40

Tingkat Bahaya Erosi ... 42

Analisis Debit Sedimen Melayang ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Data wilayah administrasi di DAS Padang ... 23

2. Klasifikasi kelas laju erosi ... 27

3. Kode struktur tanah ... 28

4. Kode permeabilitas profil tanah ... 28

5. Klasifikasi erodibilitas tanah ... 28

6. Penilaian kelas lereng dan faktor LS... 29

7. Nilai CP untuk berbagai faktor penggunaan lahan ... 30

8. Tingkat bahaya erosi berdasarkan laju erosi dan kedalaman tanah ... 30

9. Nilai erosivitas di berbagai stasiun pengukuran CH ... 34

10. Nilai faktor erodibilitas tanah di DAS Padang ... 35

11. Nilai faktor LS di DAS Padang... 38

12. Nilai faktor CP pada berbagai penggunaan lahan di DAS Padang ... 39

13. Laju erosi di DAS Padang ... 41

14. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dan luasannya di DAS Padang ... 42


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 23

2. Diagram alir penelitian ... 33

3. Peta erosivitas (R) di DAS Padang ... 34

4. Peta erodibilitas (K) di DAS Padang ... 36

5. Peta kemiringan di DAS Padang ... 38

6. Peta penutupan lahan (CP) di DAS Padang ... 40

7. Peta prediksi erosi di DAS Padang ... 41

8. Peta tingkat bahaya erosi di DAS Padang ... 43


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Data hasil analisis sampel tanah di laboratorium ... 47 2. Data curah hujan rataan bulanan di 12 stasiun ... 51 3. Data perhitungan debit sedimen ... 53


(12)

ABSTRAK

TRISKIN PUJI. A. S. Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi di DAS Padang. Dibawah bimbingan RAHMAWATY dan MUHAMMAD IRSAN.

DAS Padang ditetapkan sebagai DAS prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang penetapan DAS prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014. Berdasarkan pengamatan BPDAS Wampu Sei Ular, kondisi hutan di daerah aliran sungai Padang semakin memprihatinkan. Perubahan peruntukan lahan hutan menjadi lahan-lahan pertanian mengakibatkan terjadi perubahan keseimbangan di dalam tanah. Tanah yang tidak bervegetasi, curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang tinggi menjadi pemicu masalah erosi tanah. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memetakan tingkat bahaya erosi dan mengetahui debit sedimen melayang yang terjadi di DAS Padang. Penelitian ini dilakukan pada April-September 2014 di Kabupaten Serdang Bedagai, kota Tebing Tinggi dan Kabupaten Simalungun, menggunakan metode survey dengan pengambilan sampel secara purposive sampling dan dilanjutkan perhitungan prediksi erosi tanah dengan metode USLE (Universal Soil Loss

Equation).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Padang adalah 41,58% tingkat bahaya erosi sedang, 34,70% tingkat bahaya erosi ringan, 13,47% tingkat bahaya erosi berat, 5,50% tingkat bahaya erosi sangat ringan dan 4,75% tingkat bahaya erosi berat. Tingkat bahaya erosi sedang jika dibiarkan akan mengalami kenaikan pada tahun-tahun berikutnya menjadi tingkat bahaya erosi berat. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan khusus pada daerah-daerah yang mengalami tingkat bahaya erosi sedang.


(13)

ABSTRACT

TRISKIN PUJI. A. S. Mapping Erosion Hazard Level in Padang Watershed. Under Academic Supervision of RAHMAWATY and MUHAMMAD IRSAN.

Padang watershed is defined as the first priority by Decree of the Minister of Forestry 328/Menhut-II/2009 on the establishment of priority watersheds in the framework of the Medium Term Development Plan (RPJM) 2010-2014. Based on observations BPDAS Wampu Sei Ular, forest conditions in Padang watershed is getting worse. The forest land that come into agricultural land along Padang watershed is change the balance in the soil. The unvegetated soils, high rainfall and high slope is come into soil erosion’s problem. Therefore, this research is aims to map the level of erosion and float sediment that occurred in the Padang watershed. The research was performed in April-September 2014 in Serdang Bedagai, Tebing Tinggi and Simalungun, using purposive sampling method and continued by the method of USLE (Universal Soil Loss Equation) to predict the calculation for soil erosion.

The results of this research showed that the rate of erosion that occurred in the Padang watershed is 41.58% rate of medium erosion hazard level, 34.70% rate of light erosion hazard, 13.47% rate of heavy erosion hazard, 5.50% rate of very light erosion hazard and 4.75% rate of heavy erosion hazard. If medium erosion hazard is not taken care, it will increase in subsequent years became a heavy erosion hazard. Therefore, special care needs to be done in medium erosion hazard areas.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

DAS Padang merupakan salah satu dari sembilan DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai DAS Prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014. Hal tersebut dapat diartikan bahwa DAS Padang tergolong

sebagai salah satu DAS yang prioritas pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan sosek DAS yang

paling kritis atau tidak sehat. Wilayah sungai Padang terbentang mulai dari kabupaten Simalungun dengan hulu sungai Gunung Simbolon dan bagian hilir sungai wilayah kota Tebing Tinggi dengan luas DAS Padang 110.671,85 hektar (BPDAS Wampu Sei Ular, 2013).

Menurut pengamatan BPDAS Wampu Sei Ular, kondisi hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang semakin memprihatinkan. Luas penggunaan lahan hutan kering sekunder sebesar 6,77% dari luas total DAS Padang, sedangkan berdasarkan status kawasan hutannya DAS Padang memiliki 27,35% hutan produksi terdiri dari hutan lindung (0,83%) dan hutan produksi terbatas (0,76%).

Perda Provsu No.7/2003 tentang Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara 2003-2018 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.44/2005, merupakan salah satu penyebab kerusakan DAS Padang. Ketentuan itu telah menetapkan pegunungan Simbolon sebagai hutan produksi, padahal sebelumnya status hutan pegunungan Simbolon adalah hutan lindung. Alih fungsi hutan yang terjadi dalam


(15)

dua ketentuan itu mengakibatkan terjadi penjarahan besar besaran terhadap hutan, mulai dari kaki hingga lereng pegunungan Simbolon.

Alih fungsi hutan tersebut mengakibatkan terjadi perubahan keseimbangan di dalam tanah, khususnya kualitas tanah. Air mengalir dan membawa massa tanah di permukaan lahan menuju aliran air ke sungai. Erosi yang terjadi terus-menerus mengikis lapisan bahan organik di permukaan tanah. Endapan yang semakin tinggi mengurangi kapasitas sungai menampung curah hujan yang lebat sehingga air sungai meluap dan menyebabkan banjir.

Banjir di DAS Padang pada umumnya terjadi pada saat perkebunan melaksanakan replanting yang bersamaan dengan musim hujan. Kegiatan tersebut menggunakan alat berat dengan luasan lahan yang sangat luas. Hal ini menyebabkan aliran permukaan dari areal planting cepat terkonsentrasi ke parit dan menuju ke sungai dengan membawa sedimen.

Sumber dari sedimentasi di sungai Padang tidak hanya berasal dari perkebunan, perilaku masyarakat yang berada di kaki pegunungan Simbolon serta masyarakat pengguna lahan di bantaran sungai menjadi faktor penting penyumbang kerusakan. Bantaran sungai dijadikan kebun yang jenis tumbuhan dan pola tanamnya sama dengan perkebunan. Sedangkan kegiatan perladangan juga mengabaikan aspek keseimbangan lingkungan, terutama pertanian yang sejajar dengan lereng. Kualitas air terutama di Kota Tebing Tinggi ke arah hilir pun mulai tercemar oleh limbah pabrik.

Oleh karena itu perhitungan tingkat bahaya erosi di kawasan DAS Padang perlu dilakukan. Untuk mengetahui besaran erosi di permukaan DAS dapat dilakukan secara kuantitatif dengan beberapa cara, salah satunya dengan


(16)

menggunakan metode empiris Universal Soil Loss Equation (USLE). Metode ini dikembangkan oleh United States Department of Agriculture (USDA) dan dapat diterapkan pada lahan pertanian maupun non pertanian dengan segala keterbatasannya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Memetakan tingkat bahaya erosi di DAS Padang dengan metode USLE. 2. Mengetahui debit sedimen melayang di DAS Padang.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sumber informasi kepada pihak yang berkepentingan tentang laju erosi dan sedimentasi di DAS Padang.

2. Sebagai informasi yang bermakna dan menjadi rujukan bagi tahapan perencanaan pengelolaan DAS Padang selanjutnya.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, pasal 1, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefenisikan sebagai “suatu wilayah daratan yang

merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan”.

Secara biogeofisik daerah hulu dimaksudkan sebagai daerah konservasi, dengan karakteristik memiliki kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan vegetasi umumnya adalah tegakan hutan. Sedangkan daerah DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan, mempunyai kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan vegetasi umumnya adalah tanaman pertanian kecuali daerah pantai yang didominasi hutan bakau atau gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang di atas dengan ciri utama penggunaan lahannya berupa lahan budidaya tanaman tahunan (perkebunan, agroforestry, hutan produksi dan sejenisnya) (Rauf et al, 2011).


(18)

Peranan Aliran Permukaan Terhadap Erosi

Aliran permukaan adalah bagian dari air hujan yang tidak terabsorbsi oleh tanah dan tidak menggenang di permukaan tanah, tetapi bergerak ke tempat yang lebih rendah, mengumpul dalam parit dan saluran (Hillel, 1980 dalam Banuwa, 2013). Pergerakan aliran air di permukaan tanah akan mengangkut tanah dan bagian-bagian tanah sehingga mengakibatkan terjadinya erosi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan dapat dikelompokkan atas : (1) faktor presipitasi, yaitu lamanya hujan, distribusi dan intensitas hujan yang mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan; dan (2) faktor DAS, yaitu ukuran, bentuk, topografi, geologi dan kondisi permukaan (Schwab, dkk., 1981 dalam Banuwa, 2013). Jumlah dan kecepatan aliran permukaan akan meningkat dengan semakin curamnya lereng, karena aliran permukaan dari bagian atas akan menambahkan air ke lereng bagian bawah dan menyebabkan bertambahnya kedalaman aliran (Troeh, dkk., 1980 dalam Banuwa, 2013).

Aliran permukaan meningkat karena berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air tersedia dalam tanah, akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan berarti berkurangnya sisa-sisa tanaman yang kembali ke tanah, akibatnya erosi akan semakin besar. Oleh karena erosi berkaitan dengan aliran permukaan, maka dengan meningkatnya aliran permukaan, erosi juga meningkat (Arsyad, 2010).


(19)

Proses Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air atau angin. Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi oleh air disebabkan oleh kekuatan air.

Erosi terjadi sebagai akibat aliran radiasi, angin atau air, dan seringkali karena kombinasi ketiga-tiganya. Tanah sangat peka terhadap radiasi, khususnya di daerah beriklim kering. Ketika suhu tanah terlalu tinggi atau tanah terlalu kering, misalnya setelah terjadi penggundulan dari vegetasi atau penutup mulsa, kehidupan tanah menjadi terancam, pertumbuhan dan berfungsinya akar menjadi tidak optimal, dan humus pada lapisan atas terurai. Sebagai akibatnya permukaan tanah liat akan tertutup karena terpaan air hujan, sedangkan tanah pasir akan kehilangan ikatannya. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan meningkatnya erosi oleh air dan angin. Pengaruh negatif radiasi dan suhu yang tinggi dapat dikurangi dengan mencegah cahaya matahari agar tidak langsung mengenai permukaan tanah. Ini bisa dilakukan dengan menutup tanah langsung dengan vegetasi atau mulsa, atau dengan memberi naungan (Reijntjes et al, 1999).

Dua macam erosi yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal disebut juga erosi geologi atau erosi alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi secara normal di lapangan melalui tahap-tahap :

a. Pemecahan agregat-agregat tanah atau bongkah-bongkah tanah ke dalam partikel-partikel tanah yaitu butiran-butiran tanah yang kecil;

b. Pemindahan partikel-partikel tanah tersebut baik dengan melalui penghanyutan ataupun karena kekuatan angin;


(20)

c. Pengendapan partikel-partikel tanah yang terangkut ke tempat-tempat yang lebih rendah atau di dasar-dasar sungai.

Erosi secara alamiah dapat dikatakan tidak menimbulkan musibah yang hebat karena banyaknya partikel-partikel tanah yang dipindahkan atau terangkut seimbang dengan banyaknya tanah yang terbentuk di tempat-tempat yang lebih rendah. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah (Kartasapoetra dkk, 1987).

Macam dan Bentuk Erosi

Berdasarkan penyebabnya erosi dapat dibedakan mejadi erosi percik (splash erosion) dan erosi gerusan (scour erosion). Erosi percik (splash erosion) adalah erosi yang disebabkan oleh pemecahan struktur tanah menjadi butir-butir primer tanah oleh energi kinetik butir-butir hujan. Energi kinetik butir-butir hujan ditentukan oleh massa dan kecepatan jatuh butir-butir hujan. Semakin besar massa dan kecepatan jatuh butir-butir hujan maka erosi percik juga akan semakin besar (Asdak, 2002).

Erosi gerusan (scour erosion) adalah erosi yang disebabkan oleh gerusan aliran permukaan. Gerusan terjadi akibat adanya aliran permukaan tanah sehingga tanah mengalami pengangkutan. Apabila dibandingkan daya erosi antara erosi percik dan erosi gerusan, maka diyakini bahwa erosi percik jauh lebih erosif daripada erosi gerusan, hal ini berkaitan dengan kecepatan jatuh butir-butir hujan yang jauh lebih cepat daripada kecepatan aliran permukaan (Banuwa, 2013).


(21)

Para ahli menguraikan bentuk erosi ke dalam beberapa bentuk. Menurut bentuknya, erosi terbagi atas erosi lembar/kulit (sheet erosion atau interrill

erosion), erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai

(stream/river bank erosion), longsor (land slide) dan erosi internal. 1. Erosi Lembar (sheet erosion atau interrill erosion)

Erosi lembar adalah pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. Penyebab utama erosi ini adalah kekuatan jatuh butir-butir hujan dan aliran air di permukaan tanah. Dari segi energi, pengaruh butir-butir hujan lebih besar karena kecepatan jatuhnya sekitar 6 hingga 10 meter/detik, sedangkan kecepatan aliran air di permukaan tanah hanya 0,3 sampai 0,6 meter/detik. Karena erosi yang terjadi seragam maka bentuk erosi ini tidak segera terlihat. Proses erosi ini disadari setelah tanaman mulai ditanam di atas lapisan bawah tanah (subsoil) yang tidak baik bagi pertumbuhan tanaman.

2. Erosi Alur (rill erosion)

Erosi alur terjadi karena air terkonsentrasi dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut. Erosi alur biasanya terjadi pada tanah-tanah yang ditanam berbaris menurut lereng. Erosi lembar dan erosi alur lebih banyak dan lebih luas terjadinya dibandingkan dengan bentuk lain.

3. Erosi Parit (gully erosion)

Proses terjadinya erosi parit sama dengan erosi alur, yang membedakan adalah pada erosi parit saluran-saluran yang terbentuk sudah sedemikian dalam sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa. Erosi parit yang baru terbentuk berukuran sekitar 40 cm lebarnya dengan kedalaman sekitar 25


(22)

cm. Erosi parit yang telah lanjut dapat mencapai 30 m dalamnya. Erosi parit dapat berbentuk V atau U, tergantung dari kepekaan erosi substratnya. Diantara kedua bentuk tersebut bentuk U lebih sulit diperbaiki daripada bentuk V.

4. Erosi Tebing Sungai (stream/river bank erosion)

Erosi tebing sungai terjadi sebagai akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan sungai. Erosi tebing akan lebih hebat terjadi jika vegetasi penutup tebing telah habis atau jika dilakukan pengolahan tanah yang terlalu dekat tebing.

5. Longsor (land slide)

Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan tesebut yang terdiri dari liat atau mengandung kadar liat tinggi setelah jenuh air berlaku sebagai peluncur.

6. Erosi Internal

Erosi internal adalah terangkutnya butir-butir primer ke bawah ke dalam celah-celah atau pori-pori tanah sehingga tanah menjadi kedap air dan udara. Erosi internal tidak menyebabkan kerusakan yang berarti oleh karena sebenarnya bagian-bagian tanah tidak hilang ke tempat lain, dan tanah akan baik kembali jika strukturnya diperbaiki. Akan tetapi erosi internal menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah dengan cepat sehingga aliran permukaan meningkat yang menyebabkan terjadinya erosi lembar atau erosi alur. Erosi internal juga disebut erosi vertikal.


(23)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi

Banyak faktor yang mempengaruhi laju erosi. Morgan (1979) mengemukakan bahwa terjadinya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : curah hujan, aliran permukaan, jenis tanah, lereng, penutup tanah, jumlah penduduk dan ada atau tidaknya tindakan konservasi tanah.

Secara ringkas Baver (1959) menyatakan bahwa erosi merupakan hasil interaksi kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi, tanah dan tindakan manusia terhadap tanah, yang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan deskriptif berikut :

� = � (�,�,�,�,�) Keterangan :

E = erosi

F = faktor-faktor yang mempengaruhi atau menimbulkannya i = iklim

r = relief atau topografi v = vegetasi

t = tanah m = manusia Iklim

Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Oleh karena itu besarnya curah hujan dapat dinyatakan dalam


(24)

meter kubik (m3) per satuan luas atau secara lebih umum dinyatakan dalam tinggi air yaitu milimeter (mm). Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa tertentu seperti per hari, per bulan, per musim, atau per tahun.

Topografi

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 450. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan dan energi angkut air akan semakin besar (Arsyad, 2010 dalam Banuwa, 2013).

Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng berkurang sedemikian rupa sehingga kecepatan aliran air berubah. Semakin besar nilai kemiringan lereng, maka kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya bahaya erosi (Dewi et al, 2012 dalam Tufaila, 2012).

Vegetasi

Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Karena kebutuhan manusia akan pangan, sandang dan pemukiman semua tanah tidak dapat dibiarkan tertutup hutan dan padang rumput. Pengaruh vegetasi terhadap aliran permukaan dan erosi dapat dibagi dalam lima bagian, yakni (a)


(25)

intersepsi hujan oleh tajuk tanaman; (b) mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air; (c) pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah; dan (d) transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang.

Tanah

Menurut Arsyad (1989) berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah yaitu mudah atau tidaknya tanah

tererosi dan merupakan fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas, dan kapasitas menahan air dan (2). Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan aliran permukaan. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah a. tekstur, b. struktur, c. bahan organik, d. kedalaman, e. sifat lapisan, dan f. tingkat kesuburan tanah.

Tekstur adalah ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer bagian mineral tanah. Butir-butir primer terbagi dakam liat (clay), debu (silt), dan pasir (sand). Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang berat.

Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder atau agregat. Susunan butir-butir primer tersebut menentukan tipe struktur. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau granular lebih terbuka dan lebih sarang dan akan menyerap


(26)

air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Terdapatnya dua aspek struktur yang penting dalam hubungannya dengan erosi. Pertama adalah sifat fisiko-kimia liat yang menyebabkan terjadinya flokulasi, dan aspek yang kedua adanya bahan pengikat butir-butir primer

sehingga terbentuk agregat yang mantap.

Bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum hancur yang menutupi permukaan tanah merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan itu hanya faktor kecil dalam pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah.

Tanah-tanah yang dalam dan permeabel kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeabel, tetapi dangkal. Kedalaman tanah sampai lapisan kedap air menentukan banyaknya air yang dapat diserap tanah dan dengan demikian mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Permeabilitas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah yang lapisan bawahnya berstruktur granuler dan permeabel kurang peka erosi dibandingkan dengan tanah yang lapisan bawahnya padat dan permeabilitasnya rendah.

Manusia

Pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif


(27)

secara lestari. Banyak faktor yang menentukan apakah manusia akan memperlakukan dan merawat serta mengusahakan tanahnya secara bijaksana sehingga menjadi lebih baik dan dapat memberikan pendapatan yang cukup untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Prediksi Erosi

Prediksi erosi adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang digunakan untuk penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Prediksi erosi merupakan alat untuk menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil mengurangi erosi dari suatu bidang tanah atau suatu daerah aliran sungai (DAS). Disamping itu, prediksi erosi juga sebagai alat bantu untuk mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah pada suatu areal.

Banyak model erosi yang telah dikembangkan, dimulai dengan USLE dan beberapa model empiris lainnya, misalnya RUSLE, MUSLE (Modified Universal

Soil Loss Equation) yang dikembangkan atau berpatokan pada konsep USLE.

Beberapa model fisik dikembangkan setelah USLE, salah satu diantaranya adalah model fisik GUEST (Griffith University Erosion System Template). Beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan hidrologi yang juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWER (Areal Non-point Sources Watershed

Environment Response Simulation) yang selanjutnya diperbaiki dengan model

AGNPS atau Agricultur Non-point Sources Pollution Model (Vadari et al., 2004

dalam A’Yunin, 2008).

Prediksi erosi yang umum digunakan pada saat ini adalah model parametrik, terutama tipe kotak kelabu. Suatu model parametrik untuk


(28)

memprediksi erosi dari suatu bidang tanah telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978), yang disebut The Universal Soil Loss Equation (USLE). USLE adalah suatu model pendugaan erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur pada keadaan tertentu. USLE dikembangkan di National Run off and Soil Loss Data Centre yang didirikan dalam tahun 1954 oleh The Science and Education Administration Amerika Serikat (dahulu namanya Agricultural Research Service) bekerja sama dengan Universitas Purdue (Wischmeier dan Smith, 1978).

Kelemahan metode USLE adalah sebagai berikut :

1. Tidak dapat melakukan prediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai.

2. Akurasi terbatas pada panjang lereng < 400 feet, kemiringan lereng 3-18%, tekstur tanah medium, pada tanaman dan manajemen yang konsisten, tergantung dari akurasi nilai-nilai parameter yang digunakan, apabila terdapat kesalahan dalam menghitung atau menilai parameter (RKLSCP) maka prediksi erosi akan bias dan menyimpang.

3. Pada kondisi curah hujan spesifik dalam waktu tertentu maka prediksi dapat mejadi bias.

4. Pada skala luas nilai rata-rata parameter pada daerah yang beragam drainasenya maka akan mengurangi akurasi.

5. Tidak dapat mengukur pencucian unsur hara dan pestisida. 6. Tidak dapat mengukur penurunan kualitas air.


(29)

Meskipun terdapat kelemahan, persamaan USLE hingga saat ini masih relevan dan paling banyak digunakan dan hingga saat ini belum ada yang menggantikan metode USLE ini.

� =������

Keterangan :

A = banyaknya tanah tererosi dalam (ton/ha/th).

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) tahunan.

K = faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 kaki (22 meter) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman.

L = faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kaki (22 meter) di bawah keadaan yang identik.

S = faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik.

C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman.


(30)

P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.

Debit Aliran Sungai

Debit alian sungai merupakan volume air yang mengalir melewati penampang sungai pada luasan dan kecepatan tertentu yang saling mempengaruhi terutama curah hujan dan sifat fisik. Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelolaan sumber daya air.

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintasi sungai persatuan waktu, satuan debit adalah m3/detik. Debit sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau pelampung untuk mengetahui data kecepatan aliran sungai (Asdak, 2002).

Sedimentasi

Tanah atau bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam suatu badan air secara umum disebut sedimen. Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan alirannya melambat atau terhenti. Peristiwa pengendapan ini dikenal dengan peristiwa atau proses sedimentasi (Arsyad, 2010 dalam Mokonio, dkk 2013).


(31)

Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk, dengan kata lain bahwa sedimen merupakan pecahan, mineral, atau material organik yang ditransferkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk di dalamnya material yang diendapakan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia (Asdak, 2007).

Setiap sungai membawa sejumlah sedimen terapung (suspended sediment) serta menggerakkan bahan-bahan padat di sepanjang dasar sungai sebagai muatan dasar (bed load). Karena berat jenis bahan-bahan tanah adalah kira-kira 2,65 g/cc, maka partikel-partikel sedimen terapung cenderung untuk mengendap ke dasar alur, tetapi arus ke atas pada aliran turbulen menghalangi pengendapan secara gravitasi tersebut. Bila air yang mengandung sedimen mencapai suatu waduk, maka kecepatan dan turbulensinya akan sangat jauh berkurang. Muatan sedimen terapung pada sungai-sungai diukur dengan cara mengambil contoh air, menyaringnya untuk memisahkan sedimen, mengeringkannya, dan kemudian menimbang bahan-bahan yang disaring tersebut. Muatan sedimen dinyatakan dalam mg/l. Sedimen yang tererosi dalam suatu lembah sungai dalam suatu kejadian hujan dapat diendapkan di alur sungai dan tinggal disana hingga hujan


(32)

berikutnya mendorongnya ke hilir. Bagian-bagian tertentu dari lembah sungai mungkin lebih peka terhadap erosi daripada bagian-bagian lainnya, sehingga muatan sedimen yang lebih besar dapat diharapkan bila curah hujan terpusat pada daerah semacam ini (Sasongko, 1991).

Menurut sumber asalnya angkutan sedimen dibedakan menjadi muatan material dasar (bed material load), dan muatan bilas (wash load). Sedangkan menurut mekanisme pengangkutannya dibedakan menjadi muatan sedimen melayang (suspendead load), dan muatan sedimen dasar (bed load). Sedimen melayang (suspended load) merupakan material dasar sungai (bed material) yang melayang di dalam aliran yang terdiri dari butir pasir halus yang senantiasa mengambang di atas dasar sungai karena selalu didorong ke atas oleh turbulensi aliran (Loebis, dkk, 1993).

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990 dalam Prahasta, 2002). Pada awalnya SIG hanya dipergunakan khusus untuk tujuan yang terkait erat dengan masalah pemetaan (mapping), perencanaan dan geosciences, tetapi saat ini implementasi dan aplikasi SIG sudah berkembang untuk berbagai tujuan dengan bidang yang lebih beragam dan jangkauan yang lebih luas, seperti dalam ilmu rekayasa (engineering) dan desain.


(33)

Data geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting, yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial mempresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu obyek di permukaan bumi. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai format, sumber data spasial antara lain mencakup data grafis peta analog, foto udara, citra satelit, survei lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran menggunakan Global Positioning System (GPS). Sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa informasi numerik, foto, narasi dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan sensus dan lain sebagainya.

Salah satu perangkat lunak SIG yang dikeluarkan ESRI (Environmental

Systems Research Institute) adalah ArcView. ArcView dapat melakukan

pertukaran data, operasi-operasi matematik, menampilkan informasi spasial maupun atribut secara besamaan, membuat peta tematik, menyediakan bahasa pemrograman (script) serta melakukan fungsi-fungsi khusus lainnya dengan bantuan extensions (ESRI, 1996).

Teknik overlay menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari operasi SIG ini. Albrecht (2007) dalam Irsan (2011) menyatakan bahwa proses overlay memerlukan ketepatan dalam kesamaan lokasi. Dengan kata lain, pada suatu lokasi tertentu, suatu data yang terdapat dalam sebuah kelas fitur dan data yang terdapat dalam kelas fitur lain digabungkan menjadi sebuah set data hasil dan membentuk geometri yang sebelumnya tidak ada, sehingga menghasilkan data yan benar-benar baru.


(34)

Geoprocessing merupakan salah satu fungsi extensions yang dilakukan

untuk proses tumpang tindih peta (overlay) untuk membuat peta erosi. Operasi tumpang tindih dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu cara dari empat cara yang dikenal, yaitu :

a. Pemanfaatan fungsi logika seperti gabungan (union), irisan (intersection), pilihan (and dan or), perbedaan (difference) dan pernyataan bersyarat (if, then, dan else).

b. Pemanfaatan fungsi relasional seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama besar dan kombinasinya.

c. Pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, pengalian dan pembagian.

d. Menyilangkan dua peta langsung berbagai manipulasi teknik tumpang-tindih ini umumnya bervariasi yang ditentukan pengetahuan operator dan tingkat kemampuan perangkat lunak. Selain itu salah satu faktor utama adalah struktur data yang sedang dipakai.

Ada 4 (empat) operasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Dissolve : merupakan analisis yang menghasilkan sebuah peta (theme) baru

dari penggabungan data baris (record) yang sama dari sebuah kolom (field). 2. Merge : merupakan analisis penggabungan dua buah theme menjadi sebuah

theme.

3. Clip one theme : merupakan analisis pemotongan sebuah theme dengan


(35)

4. Intersect : merupakan analisis penggabungan sekaligus pemotongan dua buah theme. Theme pertama merupakan theme yang akan dipotong sedangkan theme

yang kedua merupakan batas pemotongan. (Jayusri, 2012).

Kondisi Umum Wilayah DAS Padang

Secara geografis DAS berada pada lintang bujur 20 57’25,56”-3029’15,83”LU dan 98048’59,6”-99017’42,83”BT dengan luas 110.671,85 Ha. DAS Padang terletak pada 3 (tiga) Wilayah Administrasi Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi.

Kabupaten Simalungun seluas 44.571,13 Ha atau 40,27% dari luas DAS Padang terdiri dari 5 (lima) kecamatan, yaitu Dolok Batunanggar seluas 1.077,22 Ha, Kecamatan Raya seluas 11.017,85 Ha, Kecamatan Raya Kahean seluas 20.843,03 Ha, Kecamatan Silau Kahean dan Kecamatan Tapian Dolok seluas 9.943,18.

Kabupaten Serdang Bedagai seluas 62.197,35 Ha atau 56,20% dari luas DAS Padang terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Tanjung Beringin seluas 1.017,09 Ha, Kecamatan Bandar Khalifah seluas 5.730,51 Ha, Kecamatan Tebing Tinggi seluas 12.083,31 Ha, Kecamatan Dolok Masihul seluas 3.769,05 Ha, Kecamatan Sipispis seluas 22.022,37 Ha, Kecamatan Dolok Merawan seluas 11.387,69 Ha, dan Kecamatan Tebing Tinggi Syahbandar seluas 6.187,33 Ha.

Sementara Kota Tebing Tinggi seluas 3.903,37 Ha terdiri dari 5 (lima) kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Hulu seluas 859,50 Ha, Kecamatan Tebing Tinggi Kota seluas 251,63 Ha, Kecamatan Rambutan seluas 759,44 Ha,


(36)

Kecamatan Bajenis seluas 959,88 Ha dan Kecamatan Padang Hilir seluas 1.072,93 Ha.

Suatu DAS dibentuk oleh gabungan beberapa Sub DAS yang menjadi satu kesatuan dengan DAS itu sendiri. Sub-Sub DAS yang membentuk DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Sub-Sub DAS di DAS Padang

No. Sub DAS Luas

Ha %

1. Sub DAS Bah Hilang 9.541,12 8,62 2. Sub DAS Bah Kaliat 12.803,10 11,57 3. Sub DAS Bah Sumbu 11.009,56 9,95 4. Sub DAS Sei Kalembah 4.360,45 3,94 5. Sub DAS Sei Padang 30.276,28 27,36 6. Sub DAS Sei Padang Hilir 17.677,27 15,97 7. Sub DAS Sei Sibarau 25.004,07 22,59

Total 110.671,85 100

Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2010)


(37)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga September 2014 di kawasan DAS Padang. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu survey lapangan dan analisis data. Survey lapangan dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Simalungun, dan Kota Tebing Tinggi. Analisis data dilakukan di Laboratorium Riset Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Tabel 2. Data wilayah administrasi DAS Padang

No. Kabupaten/Kota Luas

Ha %

1. Kabupaten Serdang Bedagai 62.197,49 56,20 2. Kota Tebing Tinggi 3.903,39 3,53 3. Kabupaten Simalungun 44.570,97 40,27

Total 110.671,85 100

Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2010)


(38)

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), bor tanah, ring sampel tanah, meteran, pita ukur, turbidimeter, kantong

plastik, plastik kiloan, kertas label, karet gelang, parang, cutter, botol plastik, sekop semen, broti, kamera digital, software ArcView GIS 3.3 dan perangkat komputer.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sampel tanah, sampel air, peta administrasi, peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta kedalaman tanah, peta penutupan dan penggunaan lahan, dan data sekunder curah hujan selama 10 tahun terakhir.

Prosedur Penelitian 1. Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil peninjauan langsung ke lapangan. Data primer tersebut berupa pengambilan contoh tanah, air dan pengecekan lapangan. Data sekunder yang digunakan yaitu data peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta kedalaman tanah, peta penutupan dan penggunaan lahan yang diperoleh dari BPDAS Wampu Sei Ular, dan data curah hujan di beberapa stasiun selama 10 tahun terakhir yang diperoleh dari BMKG. 2. Penentuan lokasi

Lokasi yang menjadi titik pengambilan sampel meliputi bagian hilir DAS Padang, bagian tengah DAS Padang dan bagian hulu DAS Padang. Dari masing-masing bagian akan diambil sampel sebanyak 3 (tiga) titik.


(39)

3. Pengambilan sampel tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara purposive sampling. Pengambilan sampel tanah dilakukan dalam dua bentuk, yaitu tanah utuh (tanah tidak terganggu) dengan menggunakan ring sampel dan tanah biasa (tanah terganggu) dengan menggunakan plastik. Sampel tanah utuh bertujuan untuk analisis sifat fisik tanah seperti permeabilitas, kerapatan isi (bulk

density) dan struktur tanah. Sedangkan tanah biasa bertujuan untuk analisis

tekstur dan bahan organik tanah (C organik). Teknik pengambilan sampel tanah utuh :

- Tentukan titik yang menjadi tempat pengambilan sampel. - Bersihkan permukaan tanah dari serasah.

- Letakkan ring sampel lalu tekan hingga seluruh bagian masuk ke dalam tanah.

- Angkat ring sampel yang telah terbenam di dalam tanah tanpa merusak sampel.

Teknik pengambilan tanah biasa :

- Tentukan titik yang menjadi tempat pengambilan sampel. - Bor tanah di ketiga titik sampai kedalaman 20 cm hingga 30 cm. - Tanah hasil pemboran dikompositkan dan diambil sebanyak 1 kg.

Untuk memperoleh kedalaman efektif tanah lakukan pemboran hingga mencapai batuan.

4. Pengambilan sampel air

Pengambilan sampel air dimaksudkan untuk pengukuran uji konsentrasi sedimen/sedimen layang yang terbawa oleh aliran sungai. Sampel air diambil


(40)

dengan menggunakan botol pada 3 titik, yaitu pada bagian tepi kiri dan kanan sungai serta bagian tengah sungai. Sebagai data penunjang dilakukan juga pengukuran kecepatan arus sungai dan luas penampang basah.

5. Analisis laboratorium

Parameter-parameter yang dianalisis di laboratorium adalah tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik tanah, bulk density, permeabilitas dan konsentrasi sedimen melayang.

6. Pengolahan data dan perhitungan

Data yang telah diperoleh dari laboratorium kemudian diolah dan dihitung sesuai dengan rumus yang digunakan.

7. Pembuatan peta menggunakan ArcView GIS 3.3

Indeks erosivitas, erodibilitas, topografi, faktor vegetasi dan konservasi lahan setelah diolah dan dihitung kemudian dipetakan masing-masing. Setelah itu peta-peta tersebut dioverlay hingga menjadi peta tingkat bahaya erosi.

Perhitungan (Prediksi) Laju Erosi Menggunakan Metode USLE

Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah suatu persamaan untuk

memperkirakan kehilangan tanah yang telah dikembangkan oleh Smith dan

Wichmeier tahun 1978. Alasan utama penggunaan metode USLE untuk

memprediksi erosi DAS karena model tersebut relatif sederhana dan input parameter model yang diperlukan mudah diperoleh.

�= ������

Keterangan:

A = Besarnya erosi yang diperkirakan (ton/ha/tahun) R = Faktor erosivitas hujan


(41)

K = Faktor erodibilitas tanah L = Panjang lereng

S = Kemiringan lereng

C = Faktor pengolahan tanah dan tanaman penutup tanah P = Faktor teknik konservasi tanah

Hasil akhir yang diperoleh dari perhitungan faktor-faktor tersebut merupakan nilai erosi yang terjadi pada suatu lahan tertentu (ton/ha/thn). Distribusi nilai erosi tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelas seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Klasifikasi kelas laju erosi

Kelas Keterangan Laju Erosi (ton/ha/thn)

I Sangat Rendah <`15

II Rendah 15-60

III Sedang 60-180

IV Tinggi 180-480

V Sangat Tinggi >480

Sumber : Kementerian Kehutanan (2005) dalam Rahmawaty, dkk (2011)

Masing-masing faktor tersebut akan ditentukan nilainya dengan mempergunakan rumus seperti berikut ini:

Faktor erosivitas hujan (R)

Erosivitas merupakan kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi pada tanah. Penelitian ini menggunakan data curah hujan bulanan di 12 stasiun penakar curah hujan yang tersebar di sepanjang DAS Padang. Data curah hujan diperoleh dari BMKG Sampali dan BPDAS Wampu Sei Ular. Data tersebut kemudian dihitung nilai erosivitasnya melalui persamaan Lanvine (1989) dalam Rahmawaty, dkk (2011) :

R = 2,21�(Rm)1,36 12


(42)

Keterangan : R = erosivitas

Rm = curah hujan bulanan (cm)

Setelah mengetahui nilai erosivitas dilakukan analisis distribusi curah hujan dengan menggunakan metode Thiessen Polygons yang diolah dalam aplikasi

ArcView GIS 3.3. Pembuatan peta curah hujan di DAS Padang dengan metode Thiessen Polygons dapat dilihat pada Lampiran 4.

Faktor erodibilitas (K)

Erodibilitas adalah tingkat kepekaan tanah terhadap erosi atau mudah tidaknya suatu tanah tererosi. Faktor erodibilitas dihitung dengan persamaan berikut (Arsyad, 1989 dalam Rahmawaty, dkk, 2011).

K = 0,027�1,14× 10−4(12− ��) + 0,0325(� −2) + 0,025(� −3)

Keterangan :

K = faktor erodibilitas tanah

M = ukuran partikel yaitu (% debu)(100-% liat)

OM = organic matter, yaitu bahan organik tanah (% C x 1,724) A = kode struktur tanah (Tabel 4)

B = kode permeabilitas profil tanah (Tabel 5)

Untuk menentukan kode struktur dan kode permeabilitas tanah, hasil perhitungan yang diperoleh dari laboratorium dipadankan ke Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Kode Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah (Ukuran Diameter) Kode

Granuler sangat halus (< 1 mm) 1

Granuler halus (1 hingga 2 mm) 2

Granuler sedang sampai kasar (2 hingga 10 mm) 3 Kubus/gumpal, gumpal bersudut, plat, masif 4


(43)

Tabel 5. Kode Permeabilitas Profil Tanah

Kelas Permeabilitas Kecepatan (cm/jam) Kode

Sangat Lambat < 0,5 6

Lambat 0,5 hingga 2,0 5

Lambat sampai sedang 2,0 hingga 6,3 4

Sedang 6,3 hingga 12,7 3

Sedang sampai cepat 12,7 hingga 25,4 2

Cepat > 25,4 1

Sumber : Arsyad (2010) dalam Banuwa (2013).

Faktor Topografi (LS)

Faktor ini merupakan gabungan antara pengaruh panjang dan kemiringan lereng. Nilai LS dalam penelitian ini ditentukan hanya dengan menggunakan faktor kemiringan saja, sedangkan faktor panjang lereng dapat diabaikan karena sulit untuk mendapatkan atau menghitung panjang lereng.

Data kemiringan lereng dalam penelitian ini bersumber dari peta kelerengan DAS Padang yang dibuat oleh BPDAS Wampu Sei Ular. Untuk memperoleh nilai LS maka kemiringan lereng tersebut dipadankan dengan Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Penilaian Kelas Lereng dan Faktor LS

Kelas Lereng Kemiringan Lereng Nilai LS

I 0 – 8 0,40

II 8 – 15 1,40

III 15 – 25 3,10

IV 25 – 40 6,80

V > 40 9,50

Sumber : Kementerian Kehutanan (2006) dalam Rahmawaty, dkk (2011).

Faktor Pengelolaan Lahan (CP)

Nilai C dan P adalah faktor pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi lahan yang sangat berpengaruh terhadap laju erosi permukaan/DAS. Dalam penelitian ini nilai C dan P diduga dari hasil penelitian terdahulu seperti pada Tabel 7.


(44)

Tabel 7. Nilai CP untuk berbagai faktor penutupan lahan

No. Penutupan Lahan Nilai CP

1. Belukar Rawa 0,010

2. Rawa 0,010

3. Semak / Belukar 0,300

4. Pertanian Lahan Kering Campur 0,190

5 Pertanian Lahan Kering 0,280

6. Perkebunan 0,500

7. Pemukiman 0,950

8. Hutan Lahan Kering Sekunder 0,010

9. Hutan Mangrove Sekunder 0,010

10. Hutan Rawa Sekunder 0,010

11. Hutan Tanaman 0,050

12. Sawah 0,010

13. Tambak 0,001

14. Tanah Terbuka 0,950

15. Tubuh Air 0,001

Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)

Penentuan Tingkat Bahaya Erosi

Penentuan tingkat bahaya erosi dapat dihitung dengan menggunakan tabel hubungan nilai kedalaman tanah dan kelas laju erosi seperti disajikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) berdasarkan laju erosi dan kedalaman tanah KEDALAMAN

TANAH (CM)

KELAS LAJU EROSI (TON/HA/THN) I (<15) II (15-60) III (60-180) IV (180-480) V (>480) Dalam

(>90) SR R S B SB

Sedang

(60-90) R S B SB SB

Dangkal

(30-60) S B SB SB SB

Sangat Dangkal

(<30) B SB SB SB SB

Sumber : Kementerian Kehutanan (2005) dalam Rahmawaty (2011)

Analisis Spasial

Analisis spasial dilakukan dengan menumpang-tindihkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu erosi) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan untuk analisis erosi. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya, yaitu data tabular, sehingga


(45)

Untuk mencapai tujuan tersebut pengolahan data spasial dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) memanfaatkan perangkat lunak ESRI ArcView GIS 3.3. Software tambahan (extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView sangat berperan dalam proses ini. Terdapat fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti : union, dissolve,

merge, clip, intersect, asign data.

Proses tumpang tindih ini dilakukan secara bertahap dengan urutan

overlay pertama theme erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (R) dengan indeks

erodibilitas tanah (K), kemudian hasillnya dioverlaykan kembali dengan theme indeks panjang dan kemiringan lereng (LS), kemudian hasilnya dioverlaykan kembali dengan theme penutupan lahan (CP) sehingga dihasilkan sebuah peta baru yaitu peta erosi. Kemudian peta erosi dioverlay dengan peta kedalaman tanah (solum) sehingga dihasilkan peta tingkat bahaya erosi.

Analisis Sedimen

Analisis sedimen diperlukan untuk mengetahui besarnya angka produksi sedimen dan tingkat erosi. Muatan layang (suspended load) dapat juga dihitung dengan menggunakan metode USBR (United State Beureu Reclamation), dimana untuk menghitung debit muatan layang diperlukan pengukuran debit air (Qw) yang dikombinasikan dengan konsentrasi sedimen (Cs). Debit muatan layang dihitung dengan persamaan Strand (1982:7) dalam Saud (2008).

�� = �����

Keterangan :

Qs = Debit muatan layang / debit sedimen (ton/hari)


(46)

Qw = Debit aliran sungai (m3/s) Debit aliran sungai (Q = A x V)

A : Luas bagian penampang basah (m2) V : kecepatan aliran sungai (m/detik)


(47)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Erosivitas (R)

Hasil dari pengolahan data curah hujan (data sekunder) di DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai erosivitas di berbagai stasiun pengukuran CH Nama Stasiun

Pengukuran CH Erosivitas (R)

Luas

Ha %

Sinder Raya-Sambosar 1.861

44.008,3

3 39,76 Mulai

Studi Pengumpulan

Data Primer - Sampel Tanah - Sampel Air

Pengujian sampel di laboratorium: - Tekstur - Struktur - BO - BD - Permeabilitas

Data Sekunder : - Peta jenis tanah - Peta kelas lereng - Peta kedalaman tanah - Peta penutupan dan

penggunaan lahan

- Data curah hujan 10 tahun terakhir

Perhitungan dan pengolahan data (Manual dan menggunakan ArcView GIS 3.3) Peta

R (E Peta

K Peta LS (Kemiringan L Peta CP )

(Pengelolaan Peta Prediksi

Erosi

Peta Tingkat Bahaya Peta Kedalaman T h T O l O l Debit

sedimen Peta Prediksi Erosi Peta distribusi sedimen melayang O


(48)

Berohol 829 6.549,14 5,92

Rambutan 1.019

12.392,8

5 11,20

Bangun Bandar 1.507 3.088,72 2,79

Gunung Para 1 1.470

15.482,6

1 13,99

Sei Rejo 621 82,36 0,07

Gunung Pamela 1.085 7.854,90 7,10

Gunung Monako 1.034 9.031,23 8,16

Pabatu Empls 1.616

11.109,4

6 10,04

Silau Dunia 1.503 804,93 0,73

Total

110.671,

50 100,00

Sumber : Hasil pengolahan data sekunder

Gambar 4. Peta erosivitas di DAS Padang

Dari peta erosivitas tersebut dapat dilihat bahwa indeks erosivitas tertinggi sebesar 1.861 terdapat pada stasiun curah hujan Sinder Raya-Sambosar yang mencakup 39,76% dari luas DAS Padang. Sedangkan indeks erosivitas terendah sebesar 621 terdapat pada stasiun curah hujan Sei Rejo yang mencakup 0,07% dari luas DAS Padang. Indeks erosivitas sebesar 1861 terjadi pada bagian hulu DAS Padang. Hal ini menunjukkan bahwa pada bagian hulu DAS intensitas curah


(49)

hujannya tinggi sehingga sangat memungkinkan terjadinya aliran permukaan yang besar.

Sifat curah hujan yang mempengaruhi erosivitas dipandang sebagai energi kinetik butir-butir hujan yang menumbuk permukaan tanah. Hujan dengan intensitas tinggi (lebat) dalam periode yang panjang maupun pendek dapat menyebabkan kehilangan tanah (erosi) yang besar, demikian sebaliknya hujan dengan intensitas rendah jarang menimbulkan pengikisan tanah yang besar. Air hujan yang jatuh ke atas tanah menyebabkan aliran permukaan. Pergerakan aliran air ini akan mengangkut tanah dan bagian-bagiannya sehingga mengakibatkan terjadinya erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schwab, dkk (1981) dalam Banuwa (2013) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi aliran permukaan adalah faktor presipitasi. Lamanya hujan, distribusi dan intensitas hujan mempengaruhi laju dan volume air permukaan. Data curah hujan dari berbagai stasiun dapat membantu keakuratan data. Semakin banyak stasiun pengamatan curah hujan yang digunakan maka nilai erosivitas yang terjadi pada daerah tersebut semakin akurat.

Faktor Erodibilitas (K)

Nilai faktor erodibilitas di DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai faktor erodibilitas tanah di DAS Padang

Nilai K Luas


(50)

0,0712 4.520,79 4,08

0,0726 11.803,05 10,66

0,073 34.848,34 31,49

0,075 7.891,67 7,13

0,0802 1.575,65 1,42

0,0841 2.790,29 2,52

0,0889 8.785,94 7,94

0,1006 641,56 0,58

0,108 10.167,85 9,19

0,1085 1.832,87 1,66

0,1288 1.536,49 1,39

0,149 104,80 0,09

0,168 1.447,75 1,31

0,241 2.452,90 2,22

0,260 1.998,49 1,81

0,265 258,37 0,24

0,270 237,23 0,21

0,276 4.753,63 4,29

0,310 10.596,89 9,58

0,320 1.444,45 1,3

0,323 982,86 0,89

Total 110.671,87 100,00

Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2011)

Gambar 4. Peta erodibilitas (K) di DAS Padang

Berdasarkan Tabel 10 tersebut nilai erodibilitas (K) tertinggi sebesar 0,323 dan yang terendah sebesar 0,0712. Semakin besar nilai erodibilitas suatu tanah berarti semakin mudah tanah tersebut untuk mengalami erosi dan sebaliknya.


(51)

Nilai erodibilitas dihitung dengan mengetahui sifat fisik tanah, yaitu tekstur tanah (% debu, % pasir, % liat), struktur tanah, nilai permeabilitas tanah, kadar C organik yang terkandung dalam bahan organik tanah, dimana sifat fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi besarnya erosi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (1989) yang menyatakan bahwa sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan dan tingkat kesuburan tanah.

Tekstur tanah merupakan perbandingan antara fraksi debu, pasir, dan liat. Fraksi tersebut digunakan untuk menentukan besarnya ukuran partikel (M). Karena data yang tersedia hanya % pasir, maka penelitian ini hanya menggunakan % debu dan liat sesuai dengan persamaan Arsyad (1989) dalam Rahmawaty, dkk (2011). Dalam hubungannya dengan erodibilitas, semakin besar nilai tekstur tanah, maka semakin besar pula nilai erodibilitasnya.

Kadar C organik diperoleh dari bahan organik yang telah mengalami pelapukan yaitu berupa ranting, daun, dan sebagainya yang memiliki kemampuan dalam menyerap dan menahan air. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalam tanah maka semakin besar kemampuannya dalam menyerap dan menahan air yang menyebabkan aliran permukaan (run-off) semakin kecil. Selain itu bahan organik juga dapat meningkatkan infiltrasi dan juga pemantapan agregat tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asyad (1989) yang menyatakan bahwa bahan organik yang telah mulai mengalami pelapukan mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Pengaruh bahan organik dalam mengurangi aliran permukaan terutama berupa perlambatan aliran, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah. Dalam hubungannya dengan


(52)

erodibilitas, semakin banyak kandungan bahan organik dalam tanah maka erodibilitas semakin kecil.

Struktur tanah merupakan bentuk dan kumpulan dari partikel tanah. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa struktur sampel tanah yang paling dominan adalah tipe remah dan bernilai 1 (Lampiran 1).

Permeabilitas merupakan kemampuan tanah dalam melewatkan air. Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa kelas permeabilitas yang paling dominan pada tanah yang disurvey adalah kelas lambat sampai sedang. Dalam hubungannya dengan erodibilitas, semakin cepat laju permeabilitas maka erodibilitas semakin kecil.

Faktor Topografi (LS)

Nilai faktor topografi di DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai faktor LS di DAS Padang

Kelas Kemiringan (%) Nilai

LS

Luas

Ha %

1 0-8 0,4

65.991,3

75 59,63

2 8-15 1,4

21.279,2

66 19,23

3 15-25 3,1

7.824,56

7 7,07

4 25-40 6,8

4.193,12

5 3,79

5 >40 9,5

11.383,5

2 10,29

Total

110.671,


(53)

Gambar 5. Peta kemiringan di DAS Padang

Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa DAS Padang didominasi oleh wilayah yang datar dengan kemiringan 0-8% seluas 65.991,375 Ha. Kemiringan lereng berpengaruh terhadap kecepatan dan jumlah aliran permukaan. Kemiringan lereng yang rendah akan memberikan kontribusi yang kecil terhadap nilai LS, dan nilai LS yang kecil menyebabkan erosi yang ringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2010) dalam Banuwa (2013) yang menyatakan bahwa makin curam lereng jumlah tanah yang terpercik oleh tumbukan hujan akan semakin banyak. Jika kecuraman lereng meningkat menjadi dua kali, maka jumlah erosi menjadi 2,0-2,5 kali lebih besar. Dewi et al (2012) juga menyatakan bahwa makin besar nilai kemiringan lereng, maka kesempatan air untuk masuk ke dalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya bahaya erosi. Peta kemiringan lereng DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 5.


(54)

Faktor Penutupan Lahan dan Pengelolaan Lahan (CP)

Klasifikasi jenis penutupan dan pengelolaan lahan DAS Padang ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai faktor CP pada berbagai penutupan lahan di DAS Padang

Tipe Penutupan Lahan Nilai

CP

Luas

Ha %

Badan air 0,00 452,29 0,41

Belukar 0,30 7.155,62 6,47

Belukar rawa 0,01 31,54 0,03

Hutan lahan kering sekunder 0,01 7.856,32 7,10 Hutan mangrove sekunder 0,01 301,55 0,27

Perkebunan 0,50

40.043,0

3 36,18

Pemukiman 0,95 2.213,90 2,00

Pertanian lahan kering 0,28

44.931,1

4 40,60

Sawah 0,01 6.534,48 5,90

Tambak 0,01 10,67 0,01

Tanah terbuka 0,85 1.141,30 1,03

Total 110.671,

85 100,00

Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular dalam Jayusri (2012)

Gambar 6. Peta penutupan lahan (CP) di DAS Padang

Berdasarkan Tabel 12 penutupan lahan pada DAS Padang dapat diklasifikasikan menjadi 11 tutupan lahan, yaitu badan air, belukar, belukar rawa,


(55)

hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove sekunder, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak dan tanah terbuka. Penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering merupakan penggunaan lahan yang paling dominan pada DAS Padang dengan luas 44.931,14 ha atau 40,60% dari total luas DAS Padang. Penggunaan lahan berupa perkebunan juga mendominasi pola pengunaan lahan pada DAS Padang dengan luas 40.043,03 ha atau 36,18% dari total luas DAS Padang.

C adalah nilai faktor tanaman dan P adalah nilai faktor tindakan konservasi tanah. Hubungan laju erosi dengan faktor CP maka, semakin besar nilai CP laju erosi yang terjadi pun semakin besar.

Prediksi Erosi Menggunakan Metode USLE

Laju erosi diperoleh dari hasil perhitungan faktor erosivitas, erodibilitas, topografi dan faktor penggunaan dan pengelolaan lahan. Laju erosi yang terjadi di DAS Padang dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Prediksi erosi di DAS Padang K

elas Keterangan ton/ha/thn

Luas

Ha %

I Sangat

Rendah <15

39.886,

22 36,04

II Rendah 15-60 47.766,

96 43,16

III Sedang 60-180 17.450,

50 15,77 I

V

Tinggi

180-480 3.004,0

1 2,71 V Sangat Tinggi >480 2.564,1

6 2,32

Total 110.67

1,85

100,0 0


(56)

Gambar 7. Peta prediksi erosi di DAS Padang

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat laju erosi dominan yang terjadi di wilayah DAS Padang termasuk dalam kelas II (15-60 ton/ha/thn) dengan persentase 43,16% dari luas DAS Padang dan kelas I (<15 ton/ha/thn) dengan persentase 36,04% dari luas DAS Padang.

Perbedaan laju erosi yang terjadi pada setiap bagian DAS dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya yang paling berpengaruh adalah kemiringan lahan (kelerengan). Semakin tinggi nilai kemiringan suatu lahan (curam) maka semakin besar pula kecepatan aliran permukaan yang terjadi sehingga kekuatan angkut terhadap butiran tanah semakin besar sehingga akan menimbulkan laju erosi yang besar. Demikian sebaliknya, semakin kecil nilai kemiringan suatu lahan (datar) maka laju erosi yang ditimbulkan oleh aliran permukaan akan kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Troeh, dkk (1980) dalam Banuwa (2013) yang menyatakan bahwa jumlah dan kecepatan aliran permukaan akan meningkat dengan semakin


(57)

curamnya lereng, karena aliran permukaan dari bagian atas akan menambahkan air ke lereng bagian bawah.

Faktor penggunaan lahan juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap penentuan laju erosi. Lahan dengan tutupan vegetasi baik dan pengelolaan yang baik akan melindungi permukaan tanah dari air hujan yang jatuh pada lahan tersebut. Dengan demikian tanah dengan tutupan vegetasi yang baik dapat mengurangi laju erosi.

Tingkat Bahaya Erosi

Tingkat bahaya erosi yang terjadi di DAS Padang dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat bahaya erosi dan luasannya di DAS Padang Tingkat

Bahaya Erosi

Lokasi Luas

Sub-sub DAS Morfologi

DAS Ha %

Sangat Ringan (SR)

Sei Padang

Hilir, Bah Hilang Hilir, Tengah

6.0 82,57

5, 50 Ringan (R) Seluruh

sub-sub DAS Hilir, Tengah, Hulu 38. 401,55 3 4,70 Sedang (S) Seluruh

sub-sub DAS Hilir, Tengah, Hulu 46. 014,00 4 1,58 Berat (B) Sei Sibarau, Bah Sumbu, Sei

Padang, Sei Kalembah, Bah Hilang, Bah Kaliat

Tengah, Hulu 14. 912,53 1 3,47 Sangat Berat (SB) Sei Sibarau, Sei Padang, Sei Kalembah, Bah Hilang, Bah Kaliat

Tengah, Hulu 5.2 61,20

4, 75

Total 110

.671,85

1 00,00


(58)

Gambar 8. Peta tingkat bahaya erosi di DAS Padang

Berdasarkan Tabel 14 diperoleh hasil bahwa tingkat bahaya erosi yang terjadi di wilayah DAS Padang termasuk kategori sedang dengan persentase 41,58% dari luas DAS Padang dan tingkat bahaya erosi kategori ringan dengan persentase luas 34,70%. Dari Gambar 8 tersebut terlihat bahwa distribusi tingkat bahaya erosi sangat berat umumnya terjadi pada bagian hulu DAS, dimana pada bagian hulu terdapat subdas Sei Sibarau dan Sei Padang. Tingka bahaya erosi sangat berat berdasarkan gambar 8 juga terjadi pada sebagian kecil subdas Sei Sibarau, Bah Kaliat, Bah Hilang dan Sei Kalembah. Sangat beratnya tingkat bahaya erosi pada wilayah DAS bagian hulu lebih disebabkan kondisi topografi yang sangat curam (kemiringan >40%), perambahan hutan yang mengakibatkan kerapatan vegetasi berkurang dan penggunaan lahan yang tidak tepat. Lahan dengan kemiringan sangat curam jika sistem penutupan tanah memiliki kerapatan vegetasi yang rendah maka akan menimbulkan bahaya erosi yang besar. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang lebih serius di bagian hulu agar nilai erosi yang dihasilkan tidak semakin berbahaya.


(59)

Tidak hanya di bagian hulu DAS, bagian tengah DAS Padang juga harus mendapat tindakan konservasi. Dari gambar 8 terlihat bahwa tingkat bahaya erosi sedang hampir terjadi di seluruh bagian tengah DAS Padang. Artinya sangat memungkinkan pada masa-masa mendatang tingkat bahaya erosi sedang berubah menjadi tingkat bahaya erosi berat. Pada bagian tengah DAS Padang jika dilihat berdasarkan peta penggunaan lahan maka wilayah tengah tersebut didominasi oleh perkebunan dan pertanian lahan kering. Perkebunan dan pertanian lahan kering jika tidak dilakukan tindakan konservasi yang tepat maka akan berpotensi meningkatkan nilai bahaya erosi.

Debit Sedimen Melayang

Untuk menghitung debit sedimen melayang digunakan data konsentrasi sedimen dan debit aliran sungai. Setelah melakukan analisis pada setiap parameter tersebut maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil perhitungan debit sedimen melayang (Qs)

Kode Sampel

Lokasi Pengambilan Sampel Air

Konsentrasi Sedimen (Cs)

(mg/l)

Debit Aliran (Qw) (m3/s)

K

Debit Sedimen Melayang (Qs)

(ton/hari)

T1 Bah Bulian (Hulu) 200 2,5974 0,0864 44,883

T2 Sungai Padang

(Tengah) 240 60,7808 0,0864 1.260,351


(60)

Gambar 9. Peta debit sedimen melayang di DAS Padang

Berdasarkan tabel hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa debit sedimen melayang yang tertinggi terjadi pada Sungai Padang di bagian hilir DAS Padang dengan nilai 7.612,414 ton/hari. Sementara debit sedimen melayang terendah terjadi pada Bah Bulian dengan nilai 44,883 ton/hari. Hal ini dapat dilihat dari nilai kualitas air sungai. Air sungai di titik 1 lebih jernih dari air sungai di titik sampel 2, dan pada titik sampel 3 air sungai keruh sekali (coklat kekuningan).

Nilai debit sedimen melayang yang relatif besar tersebut menggambarkan bahwa kondisi biogeofisik sebagian besar DAS Padang telah mengalami gangguan. Jika dihubungkan dengan nilai laju erosi yang terjadi di bagian hulu dan tengah, maka hubungannya adalah semakin besar erosi yang terjadi di bagian hulu dan tengah maka nilai sedimen melayang pada bagian hilir akan semakin besar pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sasongko (1991) yang menyatakan bahwa sedimen yang tererosi dalam suatu lembah sungai dalam suatu kejadian


(61)

hujan diendapkan di alur sungai dan tinggal disana hingga hujan berikutnya mendorongnya ke hilir. Oleh karena itu untuk mengurangi nilai sedimen tersebut perlu perhatian yang optimal di keseluruhan DAS terutama bagian hulu DAS.


(62)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tingkat bahaya erosi yang terjadi pada DAS Padang adalah 41,58% tingkat bahaya erosi sedang, 34,70% tingkat bahaya erosi ringan, 13,47% tingkat bahaya erosi berat, 5,50% tingkat bahaya erosi sangat ringan dan 4,75% tingkat bahaya erosi sangat berat.

2. Debit sedimen melayang tertinggi terjadi pada bagian hilir DAS Padang sebesar 7.612,414 ton/hari, sedangkan yang terendah terjadi pada bagian hulu DAS Padang sebesar 44,883 ton/hari.

Saran

Sebaiknya perlu dilakukan tindakan khusus pada pengelolaan DAS Padang terutama pada daerah-daerah yang diperoleh tingkat bahaya erosi sedang sampai sangat berat agar pada masa mendatang tingkat bahaya erosi tersebut tidak semakin tinggi.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : Serial Pustaka IPB Press.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. Yogyakarta.

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University. Yogyakarta.

A’Yunin, Q. 2008. Prediksi tingkat bahaya erosi dengan metode USLE di lereng timur Gunung Sindoro. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Banuwa, I. S. 2013. Erosi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Baver, L. D. 1959. Soil Physics. John Wiley and Sons Inc. New York. USA.

[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu-Sei Ular. 2010. Pelaksanaan Sistem dan Standar Operasional Prosedur (SSOP) Banjir dan Tanah Longsor DAS Padang. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular. Medan.

[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu-Sei Ular. 2011. Peta

Digital Faktor Erosi DAS Belawan-Ular. BPDAS Wampu-Sei Ular.

Medan.

[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu-Sei Ular. 2013. Base

Line DAS Padang. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei

Ular. Medan.

Irsan, M. 2011. Kajian kerawanan banjir di wilayah DAS Padang menggunakan sistem informasi geografis. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan. Jayusri. 2012. Analisa potensi erosi pada DAS Belawan menggunakan sistem

informasi geografis. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Juwita, M., K. S. Lubis, G. Sitanggang. 2013. Pendugaan erosi tanah di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun berdasarkan metode USLE.

Jurnal Online Agroekoteknologi Vol 1: 2

Kartasapoetra, G., A. G. Kartasapoetra., M. M. Sutedjo. 1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Bina Aksara. Jakarta.


(64)

Loebis, J., Soewarno, Suprihadi. B. 1993. Hidrologi Sungai. Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta.

Mokonio, O., T. Mananoma, L.Tanudjaja, A. Binilang. 2013. Analisis sedimentasi di muara Sungai Saluwangko di Desa Tounelet Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Jurnal Sipil Statistik Vol 1:6

Morgan, R. P. C. 1979. Soil Erosion. National College of Agricultural Engineering. Bedfordshire, Longman. London and New York.

Prahasta, E. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Informatika. Bandung.

Rahmawaty, T. R. Villanueva, M. G. Carandang. 2011. Participatory Land Use

Allocation, Case Study In Besitang Watershed, Langkat, North Sumatra, Indonesia. Lambert Academic Publishing. Jerman.

Rauf, A., K. S. Lubis, Jamilah. 2011. Dasar-Dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. USU Press. Medan.

Reijntjes C., B. Haverkort, A. Waters Bayer. 1999. Pertanian Masa

Depan-Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.

Kanisius. Yogyakarta.

Sasongko, Dj. 1991. Teknik Sumber Daya Air Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Saud, I. 2008. Prediksi sedimentasi Kali Mas Surabaya. Jurnal Aplikasi

ISSN.1907-753X Vol 4:1

Tufaila, M. Analisis spasial tingkat bahaya erosi di daerah aliran sungai (DAS) Moramo dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS). Jurnal

Agroteknos ISSN.2087-7706 Vol 2:3 hal 134-142

Wischmeier, W. H. And D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A guide to Conservation Planning. USDA Hand Book. No. 537.


(65)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data hasil analisis sampel tanah di laboratorium Tekstur tanah

KODE TANAH

FRAKSI

NAMA TEKSTUR M

LIAT DEBU PASIR

T1

44 20 36 LIAT 1120

T2

16 16 68 LEMPUNG BERPASIR 1344

T3

12 12 76 LEMPUNG BERPASIR 1056

T4

16 12 72 LEMPUNG BERPASIR 1008

T5

40 20 40 LEMPUNG BERLIAT 1200

T6

28 16 56 LEMPUNG LIAT

BERPASIR 1152

T7

56 32 12 LIAT 1408

T8

32 24 44 LEMPUNG BERLIAT 1632

T9

56 16 28 LIAT 704

Bahan organik tanah Kode

Tanah

Vol Blanko (ml)

Vol Titrasi

(ml) % C-Organik

% Bahan Organik

T1 45,5 34,2 0,969 1,6698

T2 45,5 9,6 3,077 5,3050

T3 45,5 35,5 0,857 1,4777

T4 45,5 38,6 0,591 1,0196

T5 45,5 26,3 1,646 2,8372

T6 45,5 22,2 1,997 3,4431

T7 45,5 34 0,986 1,6994

T8 45,5 38,6 0,591 1,0196

T9 45,5 42,8 0,231 0,3990

Struktur sampel tanah KODE

TANAH TIPE UKURAN

TARAF PERKEMBANGAN

KELAS KODE

T1 GUMPAL SEDANG SEDANG 2

T2 REMAH HALUS LEMAH 1

T3 BUTIR HALUS LEMAH 1

T4 REMAH HALUS LEMAH 1

T5 GRANULAR SEDANG SEDANG 1

T6 GUMPAL HALUS SEDANG 1

T7 REMAH HALUS LEMAH 1

T8 REMAH HALUS LEMAH 1


(66)

Permeabilitas profil tanah Kode

Tanah

Kecepatan

(cm/jam) Kelas Permeabilitas Kode

T1 2,16 lambat sampai sedang 4

T2 1,42 lambat 5

T3 1,54 lambat 5

T4 4,95 lambat sampai sedang 4

T5 5,70 lambat sampai sedang 4

T6 1,91 lambat 5

T7 5,40 lambat sampai sedang 4

T8 4,66 lambat sampai sedang 4

T9 4,83 lambat sampai sedang 4

Faktor erodibilitas tanah Kode Tanah Tekstur tanah (M) % Bahan organik tanah (OM) Kode struktur tanah (A) Kode permeabilitas profil tanah (B) Faktor K

T1 1120 1,6698 2 4 0,1085

T2 1344 5,3050 1 5 0,0841

T3 1056 1,4777 1 5 0,0970

T4 1008 1,0196 1 4 0,0712

T5 1200 2,8372 1 4 0,0726

T6 1152 3,4431 1 5 0,0889

T7 1408 1,6994 1 4 0,1006

T8 1632 1,0196 1 4 0,1288


(67)

Nilai erosi (A) di lokasi pengambilan sampel Kode Tanah Erosivitas (R) (cm/thn) Erodibilitas (K) Topografi (LS) Konservasi Tanah dan Tanaman (CP) Erosi (A) (ton/ha /thn) Klasifikasi Tingkat Laju Erosi

T1 1861 0,1085 6,8 0,3 411,914 Tinggi

T2 1861 0,0841 1,4 1,0 219,114 Sedang

T3 1861 0,0970 6,8 0,3 368,255 Tinggi

T4 1616 0,0712 0,4 0,5 23,012 Sangat

Rendah

T5 1616 0,0726 0,4 0,50 23,464 Rendah

T6 1616 0,0889 0,4 0,50 28,732 Rendah

T7 1019 0,1006 0,4 0,50 20,502 Sangat

Rendah

T8 1019 0,1288 0,4 0,50 26,250 Sangat

Rendah

T9 1019 0,0802 0,4 0,50 16,345 Sangat

Rendah Nilai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di lokasi pengambilan sampel

Kode Tanah

Kedalaman Tanah

(Solum) (cm) Laju Erosi (A) TBE

T1 1250 411,914 Berat

T2 1250 219,114 Berat

T3 1250 368,255 Berat

T4 1250 23,012 Ringan

T5 1250 23,464 Ringan

T6 1250 28,732 Ringan

T7 1250 20,502 Ringan

T8 1250 26,250 Ringan

T9 1250 16,345 Ringan

Keterangan kode sampel tanah Kode

Tanah

Lokasi Pengambilan

Sampel Letak Morfologi Koordinat

T1 Bah Bulian, Kec. Raya Hulu 03

0

03’33,2” 098051’5,3” T2 Dusun Juma Ujung, Nagori

Siporkas, Kec. Raya Hulu

03000’11,1” 098051’27,7”

T3 Bah Bulian, Kec. Raya Hulu 03

0

03’2,7” 098051’3,5” T4 Naga Kasiangan, Kec.

Tebing Tinggi Tengah

03016’20,0” 099006’13,3” T5 Pabatu, Kec. Tebing Tinggi Tengah 03

0

17’19,7” 099006’48,7”

T6 Kec. Dolok Merawan Tengah 03

0

14’06,7” 099006’29,6” T7 Desa Pasar Balok, Kec. Hilir 03022’17,3”


(68)

Bandar Khalifah 099015’17,8” T8 Desa Sei Sarimah, Kec.

Bandar Khalifah Hilir

03026’09,2” 099015’28,4” T9 Kampung Gelam, Bandar

Khalifah Hilir

03025’27” 099016’13,3”


(1)

Nilai erosi (A) di lokasi pengambilan sampel Kode Tanah Erosivitas (R) (cm/thn) Erodibilitas (K) Topografi (LS) Konservasi Tanah dan Tanaman (CP) Erosi (A) (ton/ha /thn) Klasifikasi Tingkat Laju Erosi T1 1861 0,1085 6,8 0,3 411,914 Tinggi T2 1861 0,0841 1,4 1,0 219,114 Sedang T3 1861 0,0970 6,8 0,3 368,255 Tinggi T4 1616 0,0712 0,4 0,5 23,012 Sangat Rendah T5 1616 0,0726 0,4 0,50 23,464 Rendah T6 1616 0,0889 0,4 0,50 28,732 Rendah T7 1019 0,1006 0,4 0,50 20,502 Sangat

Rendah T8 1019 0,1288 0,4 0,50 26,250 Sangat

Rendah T9 1019 0,0802 0,4 0,50 16,345 Sangat

Rendah Nilai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di lokasi pengambilan sampel

Kode Tanah

Kedalaman Tanah

(Solum) (cm) Laju Erosi (A) TBE

T1 1250 411,914 Berat

T2 1250 219,114 Berat

T3 1250 368,255 Berat

T4 1250 23,012 Ringan

T5 1250 23,464 Ringan

T6 1250 28,732 Ringan

T7 1250 20,502 Ringan

T8 1250 26,250 Ringan

T9 1250 16,345 Ringan

Keterangan kode sampel tanah Kode

Tanah

Lokasi Pengambilan

Sampel Letak Morfologi Koordinat

T1 Bah Bulian, Kec. Raya Hulu 03

0

03’33,2” 098051’5,3” T2 Dusun Juma Ujung, Nagori

Siporkas, Kec. Raya Hulu

03000’11,1” 098051’27,7”

T3 Bah Bulian, Kec. Raya Hulu 03

0

03’2,7” 098051’3,5” T4 Naga Kasiangan, Kec.

Tebing Tinggi Tengah

03016’20,0” 099006’13,3” T5 Pabatu, Kec. Tebing Tinggi Tengah 03

0

17’19,7” 099006’48,7”


(2)

Bandar Khalifah 099015’17,8” T8 Desa Sei Sarimah, Kec.

Bandar Khalifah Hilir

03026’09,2” 099015’28,4” T9 Kampung Gelam, Bandar

Khalifah Hilir

03025’27” 099016’13,3”


(3)

Lampiran 3. Data perhitungan debit sedimen (Qs) 1. Bah Bulian (Hulu DAS Padang)

Qw = A x V

= 3,33 m2 x 0,78 m/s = 2,5974 m3/s

Qs = Qw x Cs x K

= 2,5974 m3/s x 200 mg/L x 0,0864 = 44,883072 ton/hari

= 44,883 ton/hari

2. Sungai Padang (Tengah DAS Padang) Qw = A x V

= 110,31 m2 x 0,551 m/s = 60,7808 m3/s

Qs = Qw x Cs x K

= 60,7808 m3/s x 240 mg/L x 0,0864 = 1.260,350669 ton/hari

= 1.260,351 ton/hari

3. Sungai Padang (Hilir DAS Padang) Qw = A x V

= 63,295 m2 x 1,16 m/s = 73,4222 m3/s

Qs = Qw x Cs x K

= 73,4222 m3/s x 1200 mg/L x 0,0864 = 7.612,413696 ton/hari


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi kegiatan penelitian


(5)


(6)