1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
SMAN “X” Kota Purwakarta merupakan satu-satunya Sekolah Menengah Atas Di Kota Purwakarta yang mengalami perubahan standar menjadi Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional RSBI sejak tahun 2009. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya
berdasarkan Standar Nasional Pendidikan SNP Indonesia dan bertaraf internasional, sehingga lulusannya diharapkan memiliki kemampuan daya saing
internasional. Dengan adanya perubahan program peningkatan standar sekolah, maka
berubah pula tujuan dan cara mencapai tujuan dari program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, hal ini dapat terlihat dari visi misi yang dimiliki oleh
SMAN “X”. Visi dari SMAN “X” adalah mewujudkan manusia unggul yang kreatif dan inovatif yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang mampu bersaing dikancah Internasional. Misinya adalah mewujudkan standar tentang pendidikan plus, mewujudkan sekolah bertaraf
internasional, memberikan
pengayaan pendidikan
secara profesional,
mengembangkan kerjasama yang efektif dan efisien antara seluruh komponen sekolah dan masyarakat, menjalin kerjasama dan meningkatkan peran serta stake
holder, mewujudkan budaya Purwakarta berkarakter.
Universitas Kristen Maranatha
Untuk mewujudkan visi misi sekolah, maka diperlukan peran serta dari
seluruh komponen sekolah termasuk guru- guru. SMAN “X” memiliki tuntutan
untuk para guru yaitu mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan, menciptakan lingkungan sekolah yang mencintai budaya tanah air, meningkatkan
pengetahuan dan teknik mengajar. Selain itu, meningkatkan pemanfaatan teknologi dan kegiatan mengajar, melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan KTSP dan melaksakanan pelayanan pendidikan secara profesional. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah, guru-guru SMAN
“X” Di Kota Purwakarta pada dasarnya sudah melakukan sebagian besar tugas- tugas utamanya dapat dilihat dari, guru yang telah melaksanakan tuntuan secara
profesional dapat mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan, yaitu dengan adanya pembentukan budaya rapih dan bersih dilingkungan sekolah melalui
proses modeling dari keteladanan kepala sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah didapatkan hasil sebagian besar guru 90 dapat menjaga
kebersihan lingkungan kerjanya termasuk ruang guru agar dapat bekerja dengan nyaman. Selain itu, juga dengan menciptakan lingkungan sekolah yang mencintai
budaya tanah air, para guru wajib mengikuti upacara bendera dan wali kelas secara bergiliran bertugas sebagai pembina upacara.
Sedangkan untuk memenuhi tuntutan meningkatkan pengetahuan dan teknik mengajar, guru diharapkan menggunakan Bahasa Inggris dalam mengajar
dan membuat soal, melakukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran MGMP dalam rangka penyamaan persepsi tentang materi. Selain itu, diharapkan mengikuti
workshop misalnya tentang penerapan Information and Communication
Universitas Kristen Maranatha
Technologies ICT dalam kegiatan belajar mengajar, mengikuti pelatihan Bahasa Inggris atau pelatihan mengenai cara mengajar yang baik. MGMP merupakan
kegiatan rutin yang dilakukan oleh guru SMAN “X”. Sedangkan untuk tuntutan
penggunaan media teknologi dan juga sedikit penyertaan Bahasa Inggris dalam mengajar dan membuat soal, kepala sekolah mengatakan sebagian besar guru
mampu mengoprasikan laptop, infocus dan memanfaatkan blog untuk mengumumkan dan memeriksa tugas siswa secara online, selain itu juga guru
sedikit mampu menggunakan Bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar. Guru dihadapkan pada harapan-harapan di luar job description nya seperti
dalam rangka meningkatkan kemampuan guru, guru diharapkan dapat berpartisipasi pada pelatihan Bahasa Inggris dan juga sebagai tambahan pelatihan
pembuatan blog yang bersifat tidak wajib. Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 orang guru SMAN “X” Di kota Purwakarta diperoleh hasil, sebanyak 7 orang
guru 87,5 tidak hadir dalam kegiatan pelatihan tersebut. Hal ini terkait dengan kondisi guru yang dihayati sudah lelah ketika pelaksanaan pelatihan dimulai pada
sore hari, dan juga penghayatan guru mengenai materi Information and Communication Technologies pembuatan blog yang dirasakan terlalu sulit.
Tuntutan lainnya adalah guru melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP yang telah ditentukan. Guru diharapkan dapat melaksakanan
pelayanan pendidikan secara profesional, yaitu guru mampu membantu proses belajar siswa di sekolah, bekerja sesuai dengan keahliannya masing-masing,
memberikan pelayanan bimbingan secara informal mengenai jurusan untuk kelas XI yang akan penjurusan dan untuk siswa kelas XII melanjutkan pendidikan
Universitas Kristen Maranatha
kejenjang Perguruan Tinggi. Banyaknya tuntutan-tuntutan tersebut membuat guru menjadi lebih sibuk, ini terlihat saat guru diharapkan dapat menambah teknik
mengajar, guru lebih memilih menggunakan teknik mengajar pada umumnya seperti ceramah, diskusi, presentasi. Hal ini diperkuat dengan hasil survei kepada
60 siswa SMAN “X” Di Kota Purwakarta, yang terdiri dari siswa kelas X, XI dan XII didapatkan hasil sebanyak 45 siswa 75 menyatakan guru kurang memiliki
inovasi cara mengajar di kelas dan hanya menggunakan teknik ceramah, diskusi atau presentasi. Sedangkan sebanyak 15 siswa 25 menyatakan guru memiliki
inovasi mengajar, seperti menggunakan teknik belajar sambil bermain atau sebelum memulai pelajaran siswa diminta untuk bercerita di depan kelas
mengenai pengalamannya yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan. Dampak lainnya yang dirasakaan adalah guru memiliki jadwal yang lebih
padat, sehingga sulit untuk menyediakan waktu ekstra dalam rangka menjawab kebutuhan siswa di luar tatap muka di kelas. Sedangkan para guru menghadapi
harapan berupa guru bisa lebih memperhatikan lingkungan kerjanya, bersedia menyediakan waktu ekstra untuk menjawab kebutuhan siswa di luar tatap muka
kelas, inisiatif untuk memberikan pengayaan materi tambahan bahkan menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan dan membimbing siswa
yang memiliki prestasi yang kurang baik di luar jam tatap muka di kelas. Berdasarkan hasil survei kepada 8 orang guru SMAN “X” Di Kota
Purwakarta didapatkan hasil, sebanyak 7 orang guru 75 jarang menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing siswa yang
memliki prestasi akademik kurang baik di luar jam tatap muka di kelas sedangkan
Universitas Kristen Maranatha
sebanyak 2 orang guru 25 sering menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing siswa yang memiliki prestasi akademik
kurang baik di luar tatap muka di kelas. Hal ini diperkuat dengan hasil survei kepada 60 siswa SMAN “X” Di Kota Purwakarta, yang terdiri dari siswa kelas X,
XI, dan XII, didapatkan hasil sebanyak 45 siswa 75 menyatakan guru jarang menyediakan waktu khusus untuk melayani pertanyaan siswa dan membimbing
siswa yang memiliki prestasi kurang baik di luar jam tatap muka di kelas. Sebanyak 15 siswa 35 menyatakan guru sering menyediakan waktu untuk
melayani kebutuhan siswa di luar tatap muka di kelas. Selain berdampak pada siswa banyaknya tuntutan-tuntutan tersebut
berdampak juga pada guru yang lain. Dengan jadwal yang padat guru cenderung hanya terfokus pada job description saja, dapat terlihat tidak akan ada guru yang
menggantikan mengajar saat salah satu kelas tidak ada guru yang mengajar dan hanya diberikan tugas yang harus dikumpulkan hari itu juga. Hal ini diperkuat dari
hasil wawancara yang dilakukan pada 8 orang guru SMAN “X” Di Kota Purwakarta diperoleh hasil yaitu, meskipun memiliki waktu luang sebanyak 8
orang guru 100 kurang bersedia menggantikan guru lain mengajar mata pelajaran yang sama dengannya. Sebanyak 3 orang guru 37,5 dikarenakan
merasa sudah padat dengan jadwal mengajar masing-masing dan sebanyak 5 orang guru 62,5 mengatakan karena dirasakan cukup lelah.
Mengenai kehadiran guru di sekolah didapatkan data bahwa sebesar 98 guru hadir setiap hari untuk memenuhi jadwal mengajarnya dan juga guru hadir
pada rapat-rapat penting sekolah, tetapi kepala sekolah mengatakan kurangnya
Universitas Kristen Maranatha
partisipasi dan minimnya kehadiran guru pada kegiatan sekolah di luar job description nya. Seperti guru tidak akan menghadiri Pentas Seni PENSI yang
diadakan siswa apabila kepala sekolah tidak memintanya, hal yang sama juga terjadi pada saat pelatihan Bahasa Inggris dan pelatihan Information and
Communication Technologies ICT yang bersifat tidak wajib. SMAN “X” adalah RSBI oleh karena itu, guru disediakan fasilitas
mengajar atau bekerja yang cukup memadai seperti disediakannya laptop, infocus, blog sekolah dan ruangan guru yang nyaman. Berdasarkan hasil wawancara
kepada 8 orang guru SMAN “X” Di Kota Purwakarta, diperoleh hasil 5 orang guru 62,5 merasa ada satu hal yang dirasakan dapat menghambat pekerjaannya
yaitu lokasi mengajar yang berbeda sehingga membuat guru merasa lelah karena harus berpindah-pindah lokasi mengajar. Oleh karena itu, guru lebih memilih
berpindah tempat mengajar saat mendekati jam masuk kelas pelajaran berikutnya. Berdasarkan hasil survei
awal, dapat dikatakan bahwa guru SMAN “X” Di Kota Purwakarta pada dasarnya sudah melakukan tugas-tugas yang tercantum
dalam job description, nam un guru SMAN “X” Di Kota Purwakarta kurang
melayani siswa di luar jam tatap muka di kelas atau sekolah, kurang mau mengembangkan diri, kurang dapat mentoleransi situasi dan kondisi sekolah yang
kurang ideal dan kurang menunjukan komitmen dan tanggung jawabnya terhadap kelangsungan hidup sekolah extra-role.
Extra-Role atau yang biasa disebut dengan Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku individu yang dilakukan atas kehendaknya sendiri
discretionary, meskipun tidak langsung berkaitan dengan sistem reward formal,
Universitas Kristen Maranatha
dan pada aggregatnya dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari fungsi organisasi Organ, 2006. OCB terdiri dari lima dimensi yaitu altruism,
conscientiousness, sportsmanship, courtesy, civic virtue Podsakoff, MacKenzie, Moorman dan Fetter, 1990 dalam Organ, 2006.
Dimensi altruism yaitu inisiatif guru untuk membantu rekan kerja dan siswa yang sedang membutuhkan bantuan, dimensi sportsmanship merupakan
perilaku mentoleransi kondisi-kondisi sekolah yang kurang ideal tanpa mengeluh. Dimensi conscientiousness merupakan kemauan guru untuk bekerja melebihi dari
standar yang ditetapkan sekolah, dimensi courtesy merupakan perilaku mencegah atau menghindari terjadinya suatu masalah kerja dengan guru lain. Dimensi yang
terakhir yaitu civic virtue merupakan perilaku menunjukan minat dan komitmen sebagai rasa tanggung jawab atau kepedulian terhadap kelangsungan hidup
sekolah. Oleh karena itu, Organizational Citizenship Behavior diperlukan oleh
SMAN “X” Di Kota Purwakarta guna meningkatkan efektifitas sekolah agar dapat mempertahankan standar sekolah tetap Rintisan Sekolah Beraraf Internasional
atau bahkan guna meningkatkan standar sekolah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini juga berkaitan dengan aturan pemerintah yaitu bila sekolah
dalam jangka waktu lima tahun belum berubah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional maka akan dilakukan evaluasi mengenai kelayakan sekolah tersebut
http:www.pastibos.comevaluasi-rsbi-kacaukan-sisdiknas.html. Bertitik tolak dari fenomena-fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
Organizational Citizenship Behavior pada guru SMAN “X” Di Kota Purwakarta.
Universitas Kristen Maranatha
1.2 Identifikasi Masalah