Latar Belakang Masalah Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional Pada Siswa Kelas 6 di SD 'X' Bandung.

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi dan Intelligence Quotion IQ dipandang sebagai salah satu komponen penting dalam meraih prestasi dan keberhasilan, namun terdapat dimensi lain yang menjadi komponen keberhasilan seseorang dalam kehidupan, yaitu Kecerdasan Emosional EQ Goleman, 2001. Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menurut hasil penelitian, setidaknya 75 kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya dan hanya 4 yang ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya IQ Eko Iman, www. Google.com. Di dunia pendidikan, kecerdasan emosional yang tinggi dalam proses belajar juga diperlukan. Kecerdasan emosional dalam belajar biasanya berkaitan dengan kestabilan emosi untuk bisa tekun, konsentrasi, tenang, teliti, dan sabar dalam memahami materi yang dipelajari. Seorang siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, akan mampu mengetahui apa yang siswa rasakan dan mengetahui apa penyebab Universitas Kristen Maranatha perasaan yang timbul, selain itu siswa mampu untuk mengendalikan emosinya ketika mengalami suatu emosi tertentu seperti akan berdampak pada berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan di ruang kelas. Dalam proses pembelajaran, siswa juga mampu memotivasi diri untuk lebih memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan. Ketika harus berhadapan dengan orang lain, siswa mampu menerima sudut pandang orang lain, misalnya siswa bersedia mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari guru atau temannya, mau mendengarkan cerita orang lain dan mempunyai empati terhadap orang lain. Siswa juga mampu bekerja sama dalam kelompok, lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang ada ketika berteman, lebih suka menolong dan akan lebih terampil dalam berkomunikasi. Sebaliknya siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah akan mempunyai toleransi yang rendah terhadap penanganan masalah yang sedang dihadapi Goleman, 2006, misalnya memukul teman, melawan guru. Selain itu siswa kurang mempunyai motivasi dalam belajar dan menyelesaikan tugas- tugas yang dikerjakan, kurang mampu menguasai diri ketika siswa sedang merasakan suatu perasaan tertentu, misalnya ketika siswa sedang merasa marah dan dihadapkan dengan tugas-tugas yang banyak, siswa akan mengeluh dan memilih untuk tidak mengerjakan tugasnya. Dalam berteman, siswa juga akan sulit untuk menerima pendapat orang lain dan kurang peka terhadap temannya. Ketika harus bekerja sama dengan orang lain, siswa akan sulit untuk bertenggang rasa dengan teman yang lain, siswa juga kurang mampu untuk menyelesaikan pertengkaran dengan teman Goleman, 2006. Universitas Kristen Maranatha Ketika siswa berada di tingkat Sekolah dasar SD, siswa dituntut untuk mempelajari hal-hal baru, pengetahuan baru yang lebih luas melalui mata-mata pelajaran yang diberikan sekolah. Selain itu anak juga memasuki dunia sosial, yaitu pertemanan. Pada siswa kelas 6, siswa dituntut untuk belajar lebih giat, mempelajari materi pelajaran yang berat dan banyak, terlebih mereka akan menghadapi Ujian Nasional. Pada siswa kelas 6 SD yang memasuki masa akhir anak-anak ini pun, terjadi perkembangan emosi, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol emosinya. Selain itu, ditemukan bahwa pertemanan dengan teman sebaya mengambil peranan penting ketika memasuki dunia SD Santrock, 2002. Menurut penelitian Barker Wright dalam Santrock, 1995 anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10 dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40 waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi, siswa akan mampu menghadapi tekanan dari teman sebaya, mampu mengatasi rasa marah, belajar tentang akibat dari tindakan yang telah dilakukan, berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah mereka. Universitas Kristen Maranatha Dari hasil wawancara dengan guru- guru kelas 6 di SD ‘X’ Bandung, terungkap bahwa siswa kelas 6 dituntut untuk mengingat dan mengulang materi pelajaran kelas 4 sampai dengan kelas 6 secara cepat karena guru-guru harus mengejar materi untuk persiapan ujian. Selain itu murid disibukkan dengan banyaknya pekerjaan rumah yang diberikan untuk memantapkan materi yang diajarkan guru. Kegiatan lain di luar jam sekolah yang cukup menguras tenaga dan pikiran siswa, seperti les pelajaran, latihan futsal, bulu tangkis mengakibatkan siswa menjadi kurang istirahat dan kurang waktu bermain. Jadwal yang cukup padat, ulangan dan latihan ujian yang terus menerus menuntut siswa untuk dapat terus memotivasi diri agar tetap fokus terhadap pelajaran agar mampu memperoleh nilai yang baik. Dalam menghadapi semua kegiatan tersebut, setiap anak memiliki penghayatan emosi yang berbeda-beda. Sebagian anak menjadi tidak fokus terhadap pelajaran, seperti mengobrol dengan temannya sehingga prestasinya menurun. Sedangkan tuntutan dari orangtua dan guru terhadap nilai mereka dan tuntutan untuk lulus dengan nilai yang baik semakin besar. Guru juga menghayati bahwa ketika tugas-tugas yang diberikan semakin banyak, motivasi berprestasi dalam diri siswa kelas 6 menjadi turun. Siswa menjadi malas untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Selain itu adanya pengaruh teman sebaya, seperti pergaulan siswa dengan teman yang mempunyai need of achievement tinggi, hal tersebut akan memacu siswa untuk berprestasi, dan sebaliknya pergaulan siswa dengan teman yang emmpunyai need of achievement rendah akan membuat siswa Universitas Kristen Maranatha malas untuk berprestasi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, siswa juga menjadi lebih senang bermain game online dan mencari informasi-informasi melalui internet, salah satunya situs porno. Ada juga beberapa siswa yang bergaul dengan siswa SMP yang kurang berprestasi sehingga siswa SD terbawa tidak mau belajar. Menurut salah seorang guru kelas 6, siswa melampiaskan emosi dengan seenaknya seperti membanting pintu sampai pegangan pintu rusak, lari dari sekolah, berkata kasar kepada guru, menyakiti diri sendiri dengan menyayatkan penggaris besi ke tubuh. Data-data kenakalan dan pelanggaran, seperti keterlambatan, tidak membawa buku, berkata kasar juga tercatat dalam buku pelanggaran dan buku konseling Berdasarkan wawancara denga n 10 siswa kelas 6 SD ‘X’, terungkap fakta bahwa seluruh siswa 100 mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang mereka rasakan ketika marah, sedih, kesal atau bosan sewaktu mengerjakan pelajaran. Mereka juga mengetahui apa yang menjadi penyebab dari kemarahan atau rasa bosan tersebut, seperti bosan terhadap pelajarannya, terlalu banyak menulis, terlalu banyak tugas, soal-soal yang sulit. Hal ini mencerminkan kemampuan untuk mengenali emosi. Dari 10 siswa tersebut, 4 siswa 40 mengatakan bahwa mereka dapat menahan diri ketika merasa bosan atau kesal terhadap tugas yang dikerjakan, mereka akan diam beberapa menit baru kemudian akan mengerjakan lagi ketika ia sudah tenang. Sedangkan sebanyak 5 siswa 50 menyatakan bahwa ketika mereka merasa marah, bosan atau kesal sewaktu di sekolah, mereka menyatakan Universitas Kristen Maranatha ketidaksukaan ataupun ketidaksetujuan mereka mengenai tugas yang seharusnya dikerjakan, tidak mau mengerjakan tugas sama sekali, memukul pintu, mengeluarkan kata-kata kasar ketika guru keluar kelas, bertengkar dengan orangtua dan adik ketika sampai di rumah. Seorang siswa 10 menyatakan bahwa kadang-kadang tidak mampu menahan diri ketika bosan, kesal atau marah, misalnya tidak mau mengerjakan tugas dari guru dan setelah dipaksa baru akan mengerjakan tugasnya. Hal ini mencerminkan beragamnya kemampuan siswa untuk mengelola emosi. Sebanyak 6 siswa 60 menyatakan bahwa ketika mereka merasa malas atau bosan ataupun kesal, mereka akan menenangkan diri terlebih dahulu, atau menonton TV, mengobrol dengan teman, setelah merasa tenang, mereka akan melanjutkan pekerjaan. Sedangkan 4 siswa 40 menyatakan ketika merasa malas, jenuh terhadap tugas yang seharusnya mereka kerjakan, mereka lebih memilih untuk sama sekali tidak mengerjakan tugas dan lebih baik dihukum, mereka juga memilih untuk tidak mengerjakan tugas karena berpikir bila mengerjakan akan menjadi berantakan, atau bahkan lebih memilih keluar kelas. Hal ini menunjukkan beragamnya kemampuan siswa dalam memotivasi diri. Sebanyak 7 siswa 70 menyatakan bahwa mereka mau berteman dengan siapa saja walaupun temannya mempunyai kekurangan seperti berteman dengan anak berkebutuhan khusus, selain itu, ketika ada anak berkebutuhan khusus yang tantrum, mereka membantu menenangkan seperti menyuruhnya duduk dan mengelus punggungnya kemudian ada yang Universitas Kristen Maranatha memanggil guru. Selain itu, ketika ada teman yang diganggu, mereka membela, ketika salah satu teman sedang mempunyai masalah, mereka mau mendengarkan cerita temannya. Sedangkan 3 siswa 30 menyatakan mereka memilih-milih teman, mereka tidak mau berteman dengan siswa yang kurang pintar atau kurang mau diajak kerjasama. Selain itu mereka tidak senang satu kelompok dengan anak berkebutuhan khusus karena mengganggu. Fakta tersebut mencerminkan beragamnya kemampuan siswa dalam memahami sesama. Sebanyak 7 siswa 70 menyatakan bahwa mereka mau menerima saran dan kritik dari teman-temannya ketika melakukan diskusi, mau membantu temannya yang kesulitan dalam mengerjakan tugas, membantu teman ketika temannya mempunyai masalah. Sedangkan 3 siswa 30 menyatakan mereka tidak suka dikritik orang lain karena merasa tidak tenang bila dikritik dan langsung memusuhi temannya atau kurang suka apabila pendapat orang lain yang lebih diterima ketika berdiskusi kelompok. Hal ini menunjukkan beragamnya kemampuan siswa dalam mengolah hubungan dengan sesamanya. Dengan adanya kesenjangan antara fakta dengan apa yang diharapkan dari sekolah, maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran aspek-aspek kecerdasan emosional pada siswa kelas 6 di SD ‘X’. Universitas Kristen Maranatha

1.2. Identifikasi Masalah