Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional Pada Guru SMP "X" Bandung.

(1)

ii

Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ”Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Guru SMP ”X” Bandung”. Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional guru SMP ”X” Bandung, serta bertujuan untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam mengenai gambaran setiap aspek dari kecerdasan emosional guru-guru SMP “X” Bandung sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, yang berusia antara 20 hingga 40 tahun. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner kecerdasan emosional yang terdiri dari 36 item. Kuesioner ini disusun oleh peneliti berdasarkan teori kecerdasan emosional dari Salovey (dalam Goleman, 2001). Berdasarkan pengolahan data diketahui bahwa validitas dari alat ukur kecerdasan emosional ini berkisar antara 0.32 hingga 0.85, sedangkan reliabilitasnya sebesar 0.92.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60% guru SMP ”X” memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dan 40% memiliki kecerdasan emosional yang cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru SMP ”X” memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Pada penelitian ini, faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor keluarga dan usia, dimana guru yang berusia lebih tua memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada guru dengan usia yang lebih muda.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian lanjutan mengenai pengaruh usia dan kematangan, pengalaman, dan lingkungan terhadap derajat kecerdasan emosional guru.


(2)

vi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...i

Abstrak... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi...vi

Daftar Tabel...x

Daftar Bagan...xi

Daftar Lampiran...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...8

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis...9

1.4.2 Kegunaan Praktis...9

1.5 Kerangka Pemikiran...10

1.6 Asumsi...18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional 19


(3)

vii

Universitas Kristen Maranatha 2.1.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional...20 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 22 2.1.4 Dua Jenis Pikiran...22 2.1.5 Ciri Utama Pikiran Emosional...23 2.2 Masa Dewasa

2.2.1 Pengertian Masa Dewasa...24 2.2.2 Tugas Perkembangan Masa Dewasa...25 2.2.3 Hubungan Regulasi Emosi - Konteks Perkembangan...26 2.3 Guru

2.3.1 Pengertian Guru...26 2.3.2 Peran dan Fungsi Guru... 29 2.3.3 Kode Etik Guru...32

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian...34 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.2.1 Variabel Penelitian...34 3.2.2 Definisi Operasional... 34 3.3 Alat Ukur

3.3.1 Kuesioner sebagai Data Utama...36 3.3.2 Data Penunjang... 39 3.3.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...39


(4)

viii

Universitas Kristen Maranatha 3.4 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling

3.4.1 Populasi Sasaran...40

3.4.2 Karakteristik Populasi...40

3.4.3 Teknik Penarikan Sampel...40

3.5 Teknik Analisis Data...41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden 4.1.1 Jenis Kelamin...42

4.1.2 Usia...42

4.1.3 Pendidikan Terakhir... 43

4.1.4 Lama Bekerja...43

4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Derajat Kecerdasan Emosional...43

4.2.2 Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek...44

4.3 Pembahasan...46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...54


(5)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA...56 DAFTAR RUJUKAN...57


(6)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kemampuan yang Harus Dimiliki oleh Guru 30

Tabel 3.1 Aspek dan Indikator Kecerdasan Emosional 37

Tabel 4.1 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 42

Tabel 4.2 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Usia 42

Tabel 4.3 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 43

Tabel 4.4 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Lama Bekerja 43

Tabel 4.5 Tabel Persentase Derajat Kecerdasan Emosional Responden 43

Tabel 4.6 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengenali Emosi Diri 44

Tabel 4.7 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengelola Emosi 44

Tabel 4.8 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Memotivasi Diri Sendiri 45

Tabel 4.9 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengenali Emosi Orang Lain 45

Tabel 4.10 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Membina Hubungan 46


(7)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir 17


(8)

xii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Lampiran II. Alat Ukur

Lampiran III. Skor Responden

Lampiran IV. Tabulasi Silang antara Kecerdasan Emosional dengan Data Penunjang


(9)

Lampiran I. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional

Validitas

Reliabilitas

0.92, yang berarti reliabilitas kuesioner kecerdasan emosional tergolong sangat tinggi

No Item Koefisien Korelasi

1 0.773

2 0.447

3 0.484

4 0.702

5 0.570

6 0.773

7 0.686

8 0.730

9 0.551

10 0.611

11 0.748

12 0.783

13 0.801

14 0.748

15 0.783

16 0.809

17 0.748

18 0.702

19 0.723

20 0.757

21 0.832

22 0.685

23 0.713

24 0.731

25 0.911

26 0.783

27 0.794

28 0.785

29 0.740

30 0.655

31 0.641

32 0.570

33 0.854

34 0.742

35 0.783


(10)

Lampiran II. Alat Ukur - Kata Pengantar

- Kuesioner Kecerdasan Emosional - Kuesioner Data Penunjang


(11)

KATA PENGANTAR

Saya mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung sedang menyusun skripsi dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Guru SMP “X” Bandung. Oleh karena itu dengan hormat saya ingin meminta kesediaan Saudara untuk mengisi kuesioner ini. Hasil dari kuesioner ini bersifat rahasia, sehingga sangat diharapkan Saudara dapat menjawab setiap pernyataan dengan jujur sesuai dengan diri Saudara.


(12)

Kuesioner Kecerdasan Emosional

PETUNJUK PENGISIAN

Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan empat alternatif pilihan jawaban, yaitu:

SS : Sangat Sesuai

S : Sesuai

KS : Kurang Sesuai TS : Tidak Sesuai

Anda diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda checklist (√) pada salah satu kolom jawaban yang sesuai dengan diri Anda.

No Pernyataan SS S KS TS

1 Saya merasa bingung akan perasaan yang saya alami.

2 Saya biasanya menenangkan diri terlebih dahulu ketika sedang marah sebelum melanjutkan aktivitas saya.

3 Saya mampu melakukan pekerjaan saya dengan lebih baik walaupun sebelumnya saya

mengalami kegagalan.

4 Saya bisa menerima jika guru lain tidak suka dengan pendapat saya.

5 Saya tetap menerapkan cara mengajar yang sama meskipun siswa tidak menyukainya. 6 Saya tetap memiliki relasi yang baik meskipun

dengan siswa yang pernah membuat saya marah.

7 Hubungan saya dengan siswa menjadi renggang karena saya jengkel dengan siswa tersebut.

8 Saya merasa ditolak oleh siswa tanpa mengetahui dengan jelas alasannya.

9 Saya merasa sulit untuk melihat hal-hal positif ketika saya sedang tertekan.

10 Saya bisa merasakan ketika siswa merasa senang di dalam kelas.

11 Saya mudah tanggap ketika rekan kerja saya sudah tidak ingin melanjutkan percakapannya dengan saya.

12 Saya tetap dapat bersikap adil meskipun sedang kesal kepada salah satu siswa.

13 Saya tidak tertarik untuk mendengar apa yang sedang dialami oleh siswa.


(13)

No Pernyataan SS S KS TS 14 Saya akan berusaha membantu menyelesaikan

masalah yang dihadapi siswa.

15 Saya kurang memberi waktu untuk memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh siswa.

16 Saya menikmati pekerjaan saya sebagai guru. 17 Saya merasa tidak mampu menjadi guru ketika

siswa sulit diatur.

18 Saya tetap memperhatikan kepentingan sekolah ketika saya membuat suatu keputusan.

19 Saya mengambil keputusan berdasarkan pemikiran saya sendiri.

20 Saya tetap bersikap tenang ketika sedang cemas.

21 Saya mudah kehilangan kesabaran ketika menghadapi siswa yang nakal.

22 Saya bersedia menerima masukan dari siswa. 23 Saya menjadi lupa mengenai materi yang

hendak disampaikan di kelas ketika saya sedang mengalami kecemasan.

24 Saya mengenali bahwa saya sedang marah dari nada bicara saya.

25 Saya sulit mengendalikan emosi ketika saya sedang kesal kepada siswa.

26 Saya tetap antusias mengajar walaupun di awal pertemuan siswa tampak kurang menghormati saya.

27 Saya suka merasa cemas tanpa penyebab yang jelas.

28 Saya sulit menerima ketika tujuan saya tidak tercapai.

29 Gurauan saya seringkali menyinggung perasaan siswa maupun guru lain.

30 Saya sulit untuk merasakan ketika rekan kerja saya ingin beralih ke topik pembicaraan yang lain.

31 Saya akan tetap bekerja sama dengan tim walaupun saya tidak suka dengan salah satu anggota.

32 Saya mampu mengungkapkan rasa marah dengan sikap yang tenang sehingga tidak menyinggung perasaan guru lain.

33 Saya akan langsung memarahi siswa yang menyinggung perasaan saya.


(14)

No Pernyataan SS S KS TS 34 Saya mudah merasa bosan ketika

mendengarkan permasalahan yang dialami siswa.

35 Saya bersedia dievaluasi oleh pihak sekolah atas kinerja saya dalam bekerja.

36 Saya tetap dapat mengerjakan tugas saya dengan baik walaupun saya tidak menyukainya.


(15)

Data Penunjang Identitas Diri

Nama :

Usia :

Pendidikan terakhir :

Lama bekerja sebagai guru di tempat ini :

Status (lingkari yang sesuai) : a. Menikah / Belum menikah

b. Tinggal bersama orang tua / sendiri

Petunjuk pengisian:

Pilihlah jawaban yang sesuai dengan diri Anda dengan cara melingkari huruf yang ada di depan setiap pilihan.

1. Apakah sebelum mengajar di tempat ini Anda pernah mengajar di tempat lain?

a. Ya, di...selama... ...selama... ...selama... b. Tidak

2. Bagaimana pengalaman Anda akan reaksi orang tua ketika Anda melakukan suatu kesalahan?

a. tidak peduli

b. langsung memarahi tanpa penjelasan apapun c. memarahi sambil menjelaskan alasannya d. menerima, memaafkan


(16)

3. Apa yang Anda rasakan ketika orang tua bereaksi seperti itu? a. senang, merasa dimengerti

b. merasa bersalah c. tidak suka, kesal

d. ... 4. Faktor yang berperan dalam memotivasi Anda untuk bangkit kembali dari

kegagalan yang pernah Anda alami? Lalu seberapa besar peranannya? 4.1.Faktor dari dalam diri

a. sangat besar b. besar

c. cukup besar d. biasa saja e. kurang

4.2.Faktor dari luar diri, yaitu... a. sangat besar

b. besar c. cukup besar d. biasa saja e. kurang

5. Bagaimana pengalaman Anda akan sikap orang tua ketika Anda berbeda pendapat dengan mereka?

a. diam saja, tidak memberi respon

b. pada akhirnya tetap pendapat mereka yang harus benar c. langsung menyerahkan keputusan pada saya

d. menerima sambil tetap melanjutkan pembicaraan


(17)

Lampiran III. Skor kuesioner Emotional Intelligence

Resp Item

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 1 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 2 3 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4 4 3 4 3 2 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 2 3 3 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 2 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 1 3 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 6 3 4 3 3 3 4 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 4 3 4 3 2 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 7 4 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 4 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 2 3 8 3 4 4 3 3 3 2 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 2 3 2 4 2 4 4 3 4 3 4 3 3 4 2 3 3 3 9 4 4 3 3 4 3 2 4 3 4 3 4 4 4 4 4 2 4 4 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 4 3 4 3 4 4 4 10 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 2 1 3 3 2 2 3 3 3 36 37 35 32 35 35 33 38 30 38 35 35 36 36 34 35 34 32 28 31 31 36 33 35 35 31 37 30 35 35 34 33 29 34 35 34

Skor Derajat 138 Tinggi 128 Tinggi 128 Tinggi 118 Tinggi 142 Tinggi

115 Cenderung Tinggi 109 Cenderung Tinggi 115 Cenderung Tinggi 128 Tinggi

101 Cenderung Tinggi 1222


(18)

Lampiran IV. Tabulasi Silang Antara Kecerdasan Emosional dengan Data Penunjang

A. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Pengalaman Mengajar di Tempat Lain dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Pengalaman mengajar di tempat lain

Pernah Count 6 2 8

Total 75% 25% 100%

Tidak

Pernah Count Total 0% 0 100% 2 100% 2

B. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Lama Pengalaman Mengajar di Tempat Lain dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Lama pengalaman mengajar di tempat lain

< 1 tahun Count 0 1 1

Total 0% 100% 100%

1 – 10 tahun Count 5 1 6

Total 83.33% 16.67% 100%

11 – 20 tahun Count 1 0 1

Total 100% 0% 100%

C. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Reaksi Orang Tua Ketika Responden Melakukan Kesalahan dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Reaksi orang tua ketika responden melakukan kesalahan

Tidak peduli Count 0 0 0

Total 0% 0% 0%

Langsung memarahi tanpa penjelasan apapun

Count 0 0 0

Total 0% 0% 0%

Memarahi sambil menjelaskan

alasannya

Count 1 1 2

Total 50% 50% 100%

Menerima,

memaafkan Count Total 50% 3 50% 3 100% 6

Berbeda-beda Count 1 0 1

Total 100% 0% 100%

Introspeksi diri Count 1 0 1


(19)

D. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Perasaan Responden terhadap Reaksi Orang Tua dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Perasaan responden terhadap reaksi orang tua ketika responden melakukan kesalahan Senang, merasa

dimengerti Count Total 33.33% 1 66.67% 2 100% 3

Merasa

bersalah Count Total 50% 2 50% 2 100% 4

Tidak suka,

kesal Count Total 0% 0 0% 0 0% 0

Mengerti,

memahami Count Total 100% 2 0% 0 100% 2

Biasa saja Count 1 0 1

Total 100% 0% 100%

E. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Faktor yang Paling Berperan untuk Bangkit Kembali dari Kegagalan dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Faktor yang paling berperan dalam memotivasi responden untuk bangkit kembali dari kegagalan Faktor dari

dalam diri Count Total 100% 5 0% 0 100% 5

Faktor dari luar diri: keluarga dan

teman

Count 0 1 1

Total 0% 100% 100%

Faktor dari dalam dan luar diri

Count 1 3 4


(20)

F. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Sikap Orang Tua dalam Menangani Perbedaan Pendapat dengan Derajat Kecerdasan Emosional

Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi

Sikap orang tua ketika responden

berbeda pendapat dengan mereka

Diam saja, tidak

memberi respon Count Total 0% 0 0% 0 0% 0

Pada akhirnya tetap pendapat mereka yang

harus benar

Count 0 1 1

Total 0 100% 100%

Langsung menyerahkan

keputusan kepada responden

Count 0 1 1

Total 0 100% 100%

Menerima sambil tetap melanjutkan pembicaraan

Count 3 0 3

Total 100% 0% 100%

Berdiskusi untuk mencari solusi yang paling tepat

Count 3 2 5


(21)

1

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peranan pendidikan menjadi sangat vital jika melihat perkembangan yang terjadi dalam dunia globalisasi saat ini. Dunia pendidikan mampu memotivasi terciptanya teknologi yang bisa diadaptasi, diimitasi bahkan disebarkan dengan cara yang cepat dan mudah. Hal tersebut dapat mendukung laju perkembangan suatu negara (http://re-searchengines.com/). Begitu pentingnya pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa, tahun 1972, The International Comission for Education Development dari UNESCO sudah mengingatkan bangsa-bangsa bahwa jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan sebuah bangsa harus dimulai dengan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan inilah yang membuat sebagian besar negara di dunia memberi prioritas tinggi akan pendidikan, mengadakan modernisasi dan penyempurnaan lembaga-lembaga pendidikan serta tidak segan-segan mengadakan pembaruan (Sindhunata, 2001).

Salah satu jenjang yang ada dalam lembaga pendidikan yaitu jenjang SMP. Siswa SMP yang pada umumnya berusia sekitar 13 tahun hingga 15 tahun, berada pada masa remaja ketika pencarian identitas dan mengejar kebebasan menjadi suatu hal yang sangat penting (Santrock, 2002). Dalam menghadapi karakteristik siswa yang sedang dalam masa pencarian identitas dan pengejaran kebebasan, dibutuhkan peran seorang guru yang bukan hanya mampu mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga mampu mendidik dan membimbing


(22)

2

Universitas Kristen Maranatha siswanya. Guru membimbing siswa agar ketika mereka ingin bebas, mereka tetap paham bahwa kebebasannya juga dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga tidak bisa semaunya melakukan kehendak mereka, ada aturan-aturan yang harus ditaati. Selain itu, siswa SMP yang sedang dalam masa pencarian identitas diri seringkali melakukan modelling (Santrock, 2002). Mereka mencontoh perilaku atau sifat-sifat yang ada dalam diri orang-orang yang signifikan baginya. Dalam hal ini, guru turut berperan untuk menjadi sosok panutan yang patut ditiru dan diteladani siswa.

Mendidik dan membimbing siswa bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Ada kalanya siswa yang dibimbing tidak mau menuruti aturan yang dibuat oleh guru, bahkan sampai berani melawan gurunya. Ada beberapa guru yang karena terlalu kesal kepada siswa, pada akhirnya sampai melakukan tindak kekerasan kepada siswa. Berdasarkan pengakuan dari salah seorang siswa di suatu sekolah negeri, ada guru yang suka mencubit, memukul memakai penggaris panjang dan menghukum lari lapangan, hanya karena siswa terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tersebut (http://nuritaputranti.wordpress.com/).

Suparlan (2006) menjelaskan bahwa guru memiliki satu kesatuan peran dan fungsi yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai pendidik, pembimbing, pengajar dan pelatih. Guru sebagai pendidik lebih banyak sebagai sosok panutan yang memiliki nilai moral dan agama yang patut ditiru serta diteladani oleh siswa. Contoh dan keteladanan itu lebih merupakan aspek-aspek sikap dan perilaku. Guru sebagai pengajar diharapkan memiliki pengetahuan yang luas tentang


(23)

3

Universitas Kristen Maranatha disiplin ilmu yang diajarkannya. Guru harus menguasai materi yang akan diajarkan dan metode mengajar yang akan digunakan. Dalam perannya sebagai pembimbing, guru perlu memiliki kemampuan membimbing siswa dan memberikan dorongan psikologis agar siswa dapat mengesampingkan hal-hal yang akan mengganggu proses belajarnya. Guru sebagai pelatih harus memberikan sebanyak mungkin kesempatan bagi siswa untuk dapat menerapkan teori ke dalam praktik yang akan digunakan langsung dalam kehidupan.

Kasus kekerasan guru terhadap siswa, yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya, jika dikaitkan dengan peran seorang guru tentunya akan menjadi suatu hal yang berlawanan, terutama dengan perannya sebagai pendidik. Tindakan mencubit dan memukul siswa bukanlah suatu contoh dan teladan yang baik untuk ditiru. Dalam hal ini guru telah gagal menjalankan perannya sebagai pendidik yang seharusnya menjadi sosok panutan yang memiliki nilai moral yang patut ditiru serta diteladani oleh siswa. Guru seharusnya belajar untuk mengendalikan emosinya agar dapat diungkapkan dengan cara yang tepat. Salah satu kecerdasan yang berperan penting dalam pengelolaan emosi yaitu kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memonitor perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, membedakan emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini untuk menuntun atau mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional meliputi lima area utama yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.


(24)

4

Universitas Kristen Maranatha Salah satu sekolah yang menarik perhatian peneliti adalah SMP “X” di Bandung. Berdasarkan penjelasan dari salah seorang guru Bimbingan dan Konseling di SMP ”X”, jumlah siswa SMP ”X” sekitar 117 orang, dengan jumlah kelas sebanyak enam kelas, terdiri dari satu kelas VII, dua kelas VIII, dan tiga kelas IX. Jumlah siswa dalam setiap kelasnya kurang lebih 20 orang. Siswa SMP ”X” jika dibandingkan dengan siswa SMP lainnya dalam hal akademik tergolong kurang mampu, dan sebagian besar dari mereka merupakan siswa yang tidak diterima di SMP lain. Siswa SMP ”X” juga kreatif, dalam arti kemampuan mereka dalam bidang lain, seperti seni, musik, lebih berkembang dibandingkan dengan bidang akademik.

Jumlah guru di SMP “X” ini berjumlah kurang lebih 20 orang dengan usia kurang lebih antara 20 hingga 40 tahun. Pengalaman mengajar sebagian besar guru masih di bawah lima tahun. Dengan usia yang relatif masih muda dan pengalaman mengajar yang belum terlalu lama, beberapa di antara mereka merasa kesulitan untuk menangani siswa SMP ”X” yang pada umumnya kurang dalam hal akademik, sehingga seringkali tingkah laku siswa pun menjadi sulit diatur. Siswa masih banyak yang bertindak sesuka hatinya tanpa memperhatikan aturan-aturan yang berlaku di SMP “X” ini, seperti sering tidak mengerjakan PR, kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas, melawan perintah guru. Ada guru yang bahkan pernah memukul kepala siswanya memakai buku karena sangat kesal terhadap tingkah laku siswa tersebut.

Koordinator Bimbingan dan Konseling di SMP “X” Bandung mengatakan bahwa sebagian besar guru di SMP “X” kurang mampu untuk mengendalikan


(25)

5

Universitas Kristen Maranatha emosinya ketika menghadapi siswa yang bermasalah di kelas. Beberapa guru menjadi sering marah di kelas karena kelakuan siswa yang dinilai kurang ajar, meskipun hanya sedikit guru yang pernah melakukan hukuman fisik, seperti memukul siswa. Guru membentak siswa sehingga merusak relasi antara guru dengan murid. Hal ini jika dibiarkan tentunya akan berlawanan dengan harapan SMP “X”, yaitu guru diharapkan dapat mendidik siswa bukan hanya supaya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang baik.

Siswa SMP “X” yang kurang secara akademik sehingga sering bertindak sesuka hatinya tanpa mempedulikan aturan-aturan yang berlaku di sekolahnya, tentunya membutuhkan bimbingan dari guru agar siswa bisa mulai belajar untuk mengendalikan emosinya, yang merupakan salah satu penunjang terciptanya karakter yang baik dalam diri siswa. Oleh karena itu, guru SMP “X” turut memiliki peran yang cukup besar sebagai pembimbing bagi siswanya. Guru dapat mengajarkan kepada siswa bagaimana cara mengungkapkan emosinya dengan tepat. Guru sebagai pembimbing diharapkan sudah terlebih dahulu mampu untuk mengungkapkan emosinya dengan tepat, agar dapat menjadi contoh bagi siswa. Dalam hal ini guru SMP ”X” perlu memiliki kecerdasan emosional.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam orang guru SMP “X”, diperoleh hasil sebanyak dua orang menghayati dirinya kurang mampu untuk mengenali emosi apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Mereka pernah beberapa kali merasa bingung antara sedih, kesal dan benci misalnya, dan tidak mampu mengenali penyebab munculnya emosi tersebut. Empat orang lainnya menghayati bahwa mereka sudah cukup mampu untuk mengenali emosi dalam


(26)

6

Universitas Kristen Maranatha dirinya karena mereka suka merenungkan kembali setiap hal yang sudah dialaminya sehingga lebih mengenali emosi yang dirasakannya.

Dalam hal pengelolaan emosi, empat orang menghayati dirinya kurang mampu mengelola emosinya terutama ketika marah atau kesal kepada siswa. Mereka menghayati dirinya sering kesulitan untuk menghadapi siswa yang tingkah lakunya sangat sulit untuk diatur, berani bersikap kurang ajar dan bertindak semaunya. Mereka jadi sering membentak siswa yang menyebabkan hubungan antara guru dengan siswa tersebut menjadi renggang. Sedangkan dua orang lainnya menghayati dirinya mampu mengelola emosinya. Mereka merasa mampu untuk menahan emosinya dan berusaha untuk tetap sabar menghadapi siswa yang sulit diatur. Dari empat orang guru yang menghayati dirinya kurang mampu mengelola emosi, dua orang di antaranya terkadang menyimpan kemarahan atau kekesalannya kepada siswa di dalam hatinya karena tidak dapat mengungkapkannya secara langsung sehingga ada kalanya kemarahan itu keluar pada saat atau orang yang tidak tepat. Ketika mereka berelasi dengan rekan pengajar lainnya dan ada sesuatu hal yang menyinggung perasaan mereka, emosi mereka langsung terpancing, sehingga menimbulkan pertengkaran di antara sesama rekan pengajar.

Dari enam orang guru yang diwawancara, semua menghayati dirinya mampu memotivasi diri untuk bangkit kembali dari rasa kecewanya. Mereka mengaku sempat kaget melihat kondisi siswanya ketika pertama kali mengajar di SMP “X” ini. Ada yang pernah dilempari pensil oleh siswa ketika sedang menegur salah seorang siswa, ada juga yang kaget karena ternyata sulit sekali


(27)

7

Universitas Kristen Maranatha membuat para siswa agar patuh pada aturan. Mereka mengatakan bahwa mereka sempat kecewa dan bahkan sampai menangis (di luar kelas) ketika proses belajar mengajar masih berlangsung. Kekecewaan mereka disebabkan oleh ketidaksesuaian antara harapan mereka ketika melamar menjadi guru di SMP ”X” dengan kondisi siswa SMP ”X” yang sebenarnya. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut, mereka tidak terus menerus berada dalam kekecewaannya, tetapi lebih melihat peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pengalaman agar bisa lebih menyiapkan diri ketika hendak mengajar. Sama halnya dalam membina relasi dengan para siswa, semua guru yang diwawancara mengatakan bahwa mereka tidak merasa kesulitan untuk membina relasi dengan siswa-siswinya, bahkan ada beberapa di antara mereka yang sering menjadi teman bicara dan sharing para siswa.

Dalam hal pengenalan emosi orang lain atau empati, empat orang guru masih merasa kesulitan untuk berempati. Mereka lebih sering menyarankan agar siswa berkonsultasi dengan guru yang lain, seperti guru BP, ketika ada siswa yang datang untuk menceritakan masalahnya. Hal ini disebabkan mereka merasa kurang mampu untuk memahami masalah yang dihadapi siswanya, kurang mampu untuk menempatkan diri pada posisi siswa tersebut. Bahkan beberapa guru sempat mengatakan bahwa mereka hanya “menyediakan telinga” saja untuk mendengar keluhan para siswa yang bercerita kepada mereka tanpa melibatkan perasaan atau pikirannya untuk memahami masalah siswanya itu. Seorang dari empat orang guru yang merasa kesulitan untuk berempati ini jika ada siswa yang ingin menceritakan masalahnya, langsung menolak dan menyarankan agar siswa


(28)

8

Universitas Kristen Maranatha tersebut bercerita ke guru lain saja karena guru ini merasa tidak mampu untuk memahami masalah siswa tersebut, terlebih dengan kondisi dirinya yang sedang bermasalah juga. Sedangkan dua orang sisanya menghayati dirinya mampu untuk berempati

Berdasarkan hasil wawancara dengan enam orang guru di SMP “X”, diperoleh gambaran bahwa ada guru yang menghayati dirinya mampu mengenali emosi, memotivasi diri dan membina relasi, tetapi kurang mampu berempati. Ada juga yang menghayati dirinya mampu mengenali emosi dan memotivasi diri, tetapi kurang mampu mengelola emosinya. Dengan adanya hasil yang berbeda-beda pada setiap aspek kecerdasan emosional yang dimiliki masing-masing guru maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kecerdasan emosional guru SMP “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana gambaran kecerdasan emosional pada guru-guru SMP “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional pada guru-guru SMP “X” Bandung.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam mengenai gambaran setiap aspek dari kecerdasan emosional pada


(29)

9

Universitas Kristen Maranatha guru-guru SMP “X” Bandung sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional guru, khususnya bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan.

2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti mengenai kecerdasan emosional pada guru.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMP “X” mengenai gambaran kecerdasan emosional guru-guru SMP “X” sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mengadakan kegiatan atau penyuluhan bagi guru yang berkaitan dengan kecerdasan emosi.

2. Memberikan informasi kepada para guru SMP “X” mengenai gambaran kecerdasan emosional mereka sehingga dari penelitian ini diharapkan para guru dapat menyadari kelemahan dan kelebihan yang ada dalam dirinya terutama yang berkaitan dengan kehidupan emosi.


(30)

10

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pemikiran

Guru di SMP “X” rata-rata berada pada tahap perkembangan dewasa awal yang merupakan periode perkembangan yang dimulai dari akhir masa remaja (awal usia 20 tahun) dan berlangsung sampai usia sekitar 30 tahun. Masa dewasa awal ini merupakan saatnya untuk membangun kemandirian ekonomi maupun personal, perkembangan karier dan bagi kebanyakan orang, waktunya untuk memilih pasangan, belajar untuk hidup dengan seseorang secara intim, memulai sebuah keluarga dan mengasuh anak (Santrock, 2002).

Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan di atas, Hurlock (1994) menjelaskan masa dewasa awal merupakan masa untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Guru memiliki tugas untuk menyesuaikan diri dengan sifat dan macam pekerjaannya, yang di dalamnya tercakup juga penyesuaian terhadap rekan kerja dan para siswa. Bagi sebagian besar guru, terutama guru yang kurang mempunyai pengalaman kerja, sering mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Kesulitan ini akan berpengaruh juga terhadap perkembangan karier mereka yaitu cenderung akan menghambat para guru untuk dapat berkembang dalam kariernya. Apabila masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, salah satu dampaknya yaitu menimbulkan ketegangan emosional. Hal ini kurang sesuai karena pada masa dewasa awal guru diharapkan mampu memecahkan setiap permasalahan dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional.

Salah satu kecerdasan yang berperan penting dalam hal penyesuaian pekerjaan dan perkembangan karier adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan


(31)

11

Universitas Kristen Maranatha emosional yaitu kemampuan untuk memonitor perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, membedakan emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini untuk menuntun atau mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey dalam Goleman, 2001). Di dalam diri setiap guru tentunya terdapat komponen emosi sehingga mereka bisa merasakan marah, sedih, bahagia dan jenis-jenis emosi lainnya. Namun yang membedakan adalah bagaimana mereka mengenal emosinya, mengelola emosinya, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain, dimana kelima hal ini merupakan aspek dari kecerdasan emosional (Salovey dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional tidak dapat dinilai hanya dari satu aspek saja, melainkan dari lima aspek yang “membangun” kecerdasan emosional tersebut.

Aspek yang pertama yaitu mengenali emosi diri. Hal ini berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional itu sendiri, karena guru tidak mungkin mampu untuk mengelola dan mengendalikan emosinya jika ia tidak mengenali emosi apa yang harus dikelolanya. Guru yang mampu mengenali emosinya menyadari kapan dia merasa marah, sedih ataupun bahagia, dan mengetahui penyebabnya. Berbeda dengan guru yang kurang mampu mengenali emosinya, mereka kurang mampu mengenali perasaan mereka sendiri ketika sesuatu terjadi dan kurang mampu mengenali penyebab emosi yang mereka rasakan.

Aspek yang kedua yaitu mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Guru yang kurang mampu mengelola emosinya


(32)

12

Universitas Kristen Maranatha akan terus-menerus bertarung melawan perasaan sedih misalnya, sementara guru yang mampu mengelola emosinya dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari rasa sedihnya. Ketika seorang guru dibuat kesal oleh para siswanya, ia menjadi marah dan menunjukkan sikap maupun perlakuan yang kasar kepada siswanya, seperti membentak atau memukul siswanya, dan biasanya rasa kesal itu tidak bisa langsung hilang melainkan terbawa terus dan mungkin saja akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru tersebut kurang mampu mengelola emosinya. Jika ia mampu untuk mengelola rasa kesalnya tersebut, misalnya dengan mengungkapkan rasa kesalnya dengan cara yang lebih tepat, seperti menyampaikan secara verbal dengan nada yang “enak” didengar bahwa yang dilakukan siswa tersebut telah membuat guru tersebut merasa kesal, maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut mampu mengelola emosinya. Guru tersebut tidak terus terperangkap dalam rasa marahnya dan diharapkan hubungan antara guru dan siswa tidak menegang, tetapi tetap dapat terjalin baik.

Aspek yang ketiga yaitu memotivasi diri sendiri. Hal ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Guru yang kurang mampu memotivasi dirinya ketika dikecewakan oleh perlakuan siswanya dapat menjadi orang yang terus-menerus tinggal dalam kekecewaannya dan tidak bersemangat, tidak berinisiatif dalam melakukan tugasnya. Guru yang mampu memotivasi dirinya akan cenderung menjadi seorang guru yang mampu untuk memanfaatkan rasa kecewanya menjadi sebuah pengalaman yang berguna untuk kemajuannya di masa mendatang. Dengan adanya pengalaman


(33)

13

Universitas Kristen Maranatha dikecewakan tersebut, ia mampu untuk tetap melakukan pekerjaannya secara optimal dan memanfaatkan pengalaman kecewanya untuk lebih bisa menyesuaikan diri dengan kondisi siswa yang diajarnya.

Aspek yang keempat yaitu mengenali emosi orang lain. Guru yang mampu mengenali emosi orang lain akan mampu mengenali dan memahami hal-hal apa yang dibutuhkan atau dikehendaki para siswanya. Mereka memiliki kemampuan untuk mengenali ketika siswanya sedang merasa takut, jengkel atau putus asa, sehingga akan lebih mudah untuk menjalin atau membangun relasi awal dengan siswanya karena guru dapat memperlakukan siswanya secara tepat sesuai dengan kondisi emosi yang sedang dirasakan oleh siswa tersebut. Guru dengan kemampuan mengenali emosi orang lain juga mampu untuk menerima jika sudut pandangnya berbeda dengan siswa. Lain halnya dengan guru yang kurang mampu mengenali emosi orang lain, mereka kurang mampu untuk mengenali apa yang dirasakan atau sedang dibutuhkan oleh para siswanya sehingga mereka kurang mampu memilih cara yang tepat ketika menghadapi siswa. Hal ini menyebabkan relasi yang tercipta pun kurang baik. Mereka juga kurang mampu untuk menerima sudut pandang siswa yang berbeda dengan sudut pandang mereka.

Aspek yang kelima yaitu membina hubungan. Dalam membina hubungan dengan orang lain perlu adanya emosi yang tepat, karena setiap kali guru berinteraksi dengan siswa maupun rekan pengajar yang lain, emosi dalam dirinya akan turut berperan untuk menentukan tingkah laku yang akan dimunculkannya. Guru yang mampu membina relasi akan mampu untuk mengolah hubungan dengan para siswa maupun rekan kerjanya, di antaranya mengusahakan titik temu


(34)

14

Universitas Kristen Maranatha dalam perbedaan untuk mencapai kesepakatan, menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama serta bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda karakter sekalipun. Berbeda dengan guru yang kurang mampu membina hubungan, mereka akan kurang mampu bekerjasama dengan rekan kerja maupun para siswa.

Kemampuan setiap guru dapat berbeda-beda dalam wilayah atau lima aspek di atas. Beberapa orang guru mungkin amat terampil dalam menangani kecemasan yang ada dalam dirinya, tetapi kurang terampil ketika harus meredam kemarahan siswanya atau rekan kerjanya. Hal ini menyebabkan derajat kecerdasan emosional yang berbeda-beda pada setiap guru. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, pada umumnya akan memiliki kemampuan yang baik dalam kelima aspek kecerdasan emosional yang dimilikinya. Guru dengan kecerdasan emosional cenderung tinggi, mungkin memiliki kemampuan yang baik hanya pada sebagian besar aspek saja. Misalnya guru yang mampu mengelola rasa kecewanya dan mengetahui penyebab kekecewaannya, serta mampu untuk memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit kembali dari kondisinya ini, tetapi ia mengalami kesulitan jika harus berempati kepada siswa, walaupun ia masih mampu untuk membangun relasi dengan siswanya. Guru yang memiliki kecerdasan emosional cenderung rendah, mungkin hanya mampu dalam satu atau dua aspek saja. Sebagai contoh, guru yang mampu untuk mengenali penyebab kemarahannya dan mengelola emosinya tersebut, mungkin saja dia kesulitan untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik di saat kondisi emosinya seperti itu, serta kurang mampu untuk berempati, sehingga mengalami kesulitan juga untuk


(35)

15

Universitas Kristen Maranatha membangun relasi dengan sesamanya. Guru dengan kecerdasan emosional yang rendah, pada umumnya akan kurang mampu dalam kelima aspek kecerdasan emosional yang dimilikinya. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional ini dapat diperbaiki dan terus dikembangkan.

Terbentuknya kecerdasan emosional, khususnya pada guru, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga, sehingga memungkinkan setiap guru

mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang berbeda-beda (Salovey dalam Goleman, 2001). Kehidupan keluarga merupakan sarana

pendidikan pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan keluarga, seorang guru (pada masa kecilnya) belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaannya itu; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran emosi ini tidak hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung pada anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang diberikan sewaktu orang tua menangani perasaan mereka sendiri. Misalkan saja seorang anak yang melihat orang tuanya selalu membentak jika anak melakukan kesalahan, maka ada kemungkinan setelah anak itu bertumbuh dewasa, ia akan menjadi seseorang yang mudah membentak orang lain jika ada yang melakukan kesalahan, karena itulah yang didapatkannya selama proses belajar dalam keluarganya.

Guru yang pada masa kecilnya mengalami reaksi orang tua yang mau memaafkan ketika anaknya melakukan kesalahan, dan dapat menerima ketika ada


(36)

16

Universitas Kristen Maranatha perbedaan pendapat, kemungkinan besar akan menjadi guru yang mampu untuk memaafkan siswanya ketika siswa tersebut melakukan kesalahan dan mampu untuk menerima setiap perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara guru dengan siswa ataupun dengan rekan pengajar lainnya. Sebaliknya, guru yang pada masa kecilnya langsung dimarahi oleh orang tua ketika melakukan kesalahan, tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahannya itu, dan pendapatnya selalu dianggap salah, kemungkinan besar akan menjadi guru yang cepat marah dan kurang bisa menerima adanya perbedaan pendapat dengan siswa maupun rekan kerjanya. Hal ini tentunya akan turut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya derajat kecerdasan emosional yang dimiliki oleh guru.


(37)

17

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Faktor yang berpengaruh: Peran orang tua

Kecerdasan emosional Guru SMP “X”

Bandung

Tinggi Cenderung

tinggi Cenderung

rendah

Aspek-aspek kecerdasan emosional: 1. Mengenali emosi diri

2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri

4. Mengenali emosi orang lain 5. Membina hubungan


(38)

18

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

1. Setiap guru di SMP “X” Bandung memiliki derajat yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan emosionalnya, yang dipengaruhi oleh peran orang tua.

2. Perbedaan di antara kelima aspek yang membangun kecerdasan emosional, yaitu aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan, akan mempengaruhi tinggi rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki guru di SMP “X” Bandung.


(39)

54

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebanyak 60% guru SMP ”X” Bandung memiliki kecerdasan emosional

yang tergolong tinggi.

2. Guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, hampir di semua aspek kecerdasan emosionalnya juga tergolong tinggi. Mereka semuanya menghayati dirinya mampu untuk mengenali dan mengendalikan emosinya, berempati serta membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa. Tetapi dalam aspek memotivasi diri sendiri, hanya sebagian besar saja yang menghayati dirinya mampu untuk memotivasi dirinya.

3. Sebanyak 40% guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional cenderung tinggi memiliki penghayatan bahwa dirinya cukup mampu untuk mengenali dan mengendalikan emosinya, memotivasi dirinya, berempati dan membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa.


(40)

55

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain seperti usia dan kematangan, pengalaman, dan lingkungan, yang mungkin berpengaruh terhadap derajat kecerdasan emosional guru.

2. Untuk Kepala Sekolah SMP ”X” diharapkan untuk dapat membuat beberapa kegiatan yang berkaitan dengan cara memotivasi diri sendiri bagi guru ketika menghadapi kegagalan, misalnya dengan mengadakan pelatihan atau seminar mengenai motivasi.

3. Untuk para guru SMP ”X” diharapkan dapat mempertahankan kemampuannya dalam mengenali dan mengelola emosinya, dalam berempati serta dalam membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa. Selain itu diharapkan juga lebih berusaha untuk meningkatkan motivasi diri, terutama setelah menghadapi kegagalan, misalnya dengan mencari sumber motivasi dan mulai mengikuti seminar-seminar maupun pelatihan tentang motivasi.


(41)

56

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Goleman, Daniel. 2001. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hurlock, Elizabeth B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development. New York: McGraw-Hill. Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: HIKAYAT Publishing.


(42)

57

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Risanto. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Remaja Putri Panti Asuhan “X” di Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Winselly, Lea Oke. 2008. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Perawat di Rumah Sakit “X” Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

(http://re-searchengines.com/, diakses 18 September 2008)

(http://nuritaputranti.wordpress.com/, diakses 24 September 2008) (http://ta-tugasakhir.blogspot.com/, diakses 15 Agustus 2009) (http://skripsimahasiswa.blogspot.com/, diakses 10 Oktober 2009)


(1)

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Faktor yang berpengaruh: Peran orang tua

Kecerdasan emosional Guru SMP “X”

Bandung

Tinggi

Cenderung tinggi Cenderung

rendah

Aspek-aspek kecerdasan emosional: 1. Mengenali emosi diri

2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri

4. Mengenali emosi orang lain 5. Membina hubungan


(2)

18

1.6Asumsi

1. Setiap guru di SMP “X” Bandung memiliki derajat yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan emosionalnya, yang dipengaruhi oleh peran orang tua.

2. Perbedaan di antara kelima aspek yang membangun kecerdasan emosional, yaitu aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan, akan mempengaruhi tinggi rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki guru di SMP “X” Bandung.


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebanyak 60% guru SMP ”X” Bandung memiliki kecerdasan emosional

yang tergolong tinggi.

2. Guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, hampir di semua aspek kecerdasan emosionalnya juga tergolong tinggi. Mereka semuanya menghayati dirinya mampu untuk mengenali dan mengendalikan emosinya, berempati serta membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa. Tetapi dalam aspek memotivasi diri sendiri, hanya sebagian besar saja yang menghayati dirinya mampu untuk memotivasi dirinya.

3. Sebanyak 40% guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional cenderung tinggi memiliki penghayatan bahwa dirinya cukup mampu untuk mengenali dan mengendalikan emosinya, memotivasi dirinya, berempati dan membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa.


(4)

55

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain seperti usia dan kematangan, pengalaman, dan lingkungan, yang mungkin berpengaruh terhadap derajat kecerdasan emosional guru.

2. Untuk Kepala Sekolah SMP ”X” diharapkan untuk dapat membuat beberapa kegiatan yang berkaitan dengan cara memotivasi diri sendiri bagi guru ketika menghadapi kegagalan, misalnya dengan mengadakan pelatihan atau seminar mengenai motivasi.

3. Untuk para guru SMP ”X” diharapkan dapat mempertahankan kemampuannya dalam mengenali dan mengelola emosinya, dalam berempati serta dalam membina hubungan dengan rekan kerja maupun para siswa. Selain itu diharapkan juga lebih berusaha untuk meningkatkan motivasi diri, terutama setelah menghadapi kegagalan, misalnya dengan mencari sumber motivasi dan mulai mengikuti seminar-seminar maupun pelatihan tentang motivasi.


(5)

Utama.

Hurlock, Elizabeth B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development. New York: McGraw-Hill. Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: HIKAYAT Publishing.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Risanto. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Remaja Putri Panti Asuhan “X” di Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Winselly, Lea Oke. 2008. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Perawat di Rumah Sakit “X” Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

(http://re-searchengines.com/, diakses 18 September 2008)

(http://nuritaputranti.wordpress.com/, diakses 24 September 2008) (http://ta-tugasakhir.blogspot.com/, diakses 15 Agustus 2009) (http://skripsimahasiswa.blogspot.com/, diakses 10 Oktober 2009)